Anda di halaman 1dari 19

1

BAB 1. PENDAHULUAN

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(IDAI, 2006). Namun pada tahun 2016, IDAI memiliki definisi yang lebih baru
terkait kejang demam. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu
di atas 380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan
oleh proses intrakranial (IDAI, 2016).
Pendapat para ahli, kejang demam terbanyak terjadi pada waktu anak
berusia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun. Berkisar 2%-5% anak di bawah 5
tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% kasus kejang
demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan,
insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Di Amerika
Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2%-5%. Di Asia prevalensi
kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di
Amerika (Fuadi et al., 2010). Di Indonesia tahun 2005, kejang demam termasuk
sebagai lima penyakit anak terpenting yaitu sebesar 17,4%, meningkat pada tahun
2007 dengan kejadian kejang demam sebesar 22,2%. Prevalensi demam pada
balita di daerah pedesaan lebih tinggi (33%) dibanding di perkotaan yaitu sebesar
29%. Kejadian kejang demam disebabkan oleh demam dan dapat berulang
(Indrayati dan Haryanti, 2019).
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik, namun kelainan
neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum
maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory
pada anak yang mengalami kejang lama (IDAI, 2016). Selain tenaga medis,
kemampuan orang tua terutama ibu dalam penanganan kejang demam sangat
penting sehingga apabila terjadi kejang demam pada anak, orangtua mampu
mengatasi terlebih dahulu (Indrayati dan Haryanti, 2019).
2

BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

2.2 Anamnesis
Heteroanamnesis dilakukan kepada ibu pasien pada tanggal 15 Februari

2.2.1 Keluhan Utama


Kejang.

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dikeluhkan kejang kurang dari satu menit sekitar pukul 12.40 WIB
(15/02/2021). Pasien kejang untuk yang pertama kalinya. Saat kejang, mata pasien
melirik ke atas disertai kedua tangan menekuk. Pasien langsung dibawa ke IGD
sebelumnya (14/02/2021) pasien demam, batuk, dan pilek. Pasien tidak ada
keluhan mual, muntah, diare, nyeri kencing, maupun kencing gelap atau merah.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami kejang sebelumnya.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak didapatkan anggota keluarga yang mengeluhkan hal yang sama
dengan pasien.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Tanggal 14/02/2021 malam hari pasien minum obat dari mantri untuk
keluhan demam, batuk, dan pilek.

2.2.6 Riwayat Alergi


Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
3

2.2.7 Anamnesis Sistem


a. Sistem serebrospinal : penurunan kesadaran (+), pusing (-),
demam (+), kejang (+)
b. Sistem kardiovaskular : palpitasi (-), nyeri dada (-)
c. Sistem pernapasan : sesak napas (-), batuk (+), pilek (+),
retraksi dinding dada (-).
d. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nafsu makan
menurun (-), perut membesar (-)
e. Sistem urogenital : BAK lancar, BAB lancar
f. Sistem integumen : turgor kulit normal, sianosis (-)
g. Sistem muskuloskeletal : tremor (-), fraktur (-), ROM terbatas (-).

Kesan: terdapat gangguan sistem serebrospinal dan pernapasan.

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : kompos mentis
Vital Sign :
HR : 128 x/menit
RR : 24 x/menit
Tax : 39,2 oC
SpO2 : 97-98%
Status gizi : BB : 12 kg
TB : 90 cm
Berat badan(kg) 12 12
BMI = 2 = 2 = = 14,81 (berat badan kurang)
Tinggi badan(m) 0,9 0 , 81
4

2.3.2 Pemeriksaan Khusus


a. Kepala
- Bentuk : normosefal, oval, simetris, edema (-)
- Rambut : hitam, lurus
- Mata : edema periorbita : -/-
konjungtiva anemis: -/-
sklera ikterus : -/-
eksoftalmus : -/-
refleks cahaya : +/+
pupil isokor berukuran 3mm/3mm
- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), plak berwarna putih di lidah (-), atrofi papil lidah
(-)
Kesan: Pemeriksaan fisik kepala dalam batas normal

b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : tidak ada pembesaran

Kesan: Pemeriksaan fisik leher dalam batas normal

c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL S
- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S
- Auskultasi : S1S2 (+) tunggal reguler, suara tambahan (-) murmur (-)
5

2. Pulmo :
Ventral Dorsal

Inspeksi: Inspeksi:
 Bentuk thoraks normal  Bentuk thoraks normal
 Simetris  Simetris
 Retraksi -/-  Retraksi -/-
 Ketertinggalan gerak -/-  Ketertinggalan gerak -/-
 Deviasi trakea -

Ventral P: Dorsal
Palpasi: Pa Palpasi:
 Fremitus raba  Fremitus raba
N N N N

N N N N

N N N N

Perkusi : Perkusi :

S S S S

S S S S

S S S S S S S S

S S S S
6

Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
Suara nafas dasar: Suara nafas dasar:

V V V V

V V V V

V V V V

Suara nafas tambahan: Suara nafas tambahan:

Rhonki Rhonki

- - - -

- - - -

- - - -

Wheezin Wheezin
g g

- - - -

- - - -

- - - -

Kesan: Pemeriksaan fisik cor dan pulmo tidak terdapat kelainan pada inspeksi,
palpasi, dan auskultasi

d. Abdomen
- Inspeksi : flat, striae (-), spider naevi (-), pelebaran vena (-)
7

- Auskultasi : bising usus (+) normal


- Perkusi : timpani di semua kuadran abdomen
- Palpasi : soepel, nyeri tekan abdomen (-), hepatomegali (-)

Kesan: Pemeriksaan fisik abdomen dalam batas normal

e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema -/-, tremor (-)
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-, tremor (-)
-
Kesan: Pemeriksaan fisik ekstremitas dalam batas normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Laboratorium
Tanggal 15 Februari 2021
8

Pemeriksaan Nilai Normal


2.4.2Darah Lengkap
Hb 11,8 Anak perempuan 14,5-24,5 gr/dl
Perempuan 11,4-15,1 gr/dl
Anak laki-laki 10,3-15,7 gr/dl
Laki-laki 13,4-17,7 gr/dl
Leukosit 8.200 5-10 1000/ul
Anak-anak 4,8-10,8 1000/ul
MCV 74,8 80-94 fl
MCH 23,1 27-31 pg
26-38 pg
MCHC 30,9 32-37 g/dl
Hitung Jenis 0/1/67/23/9 0-4/0-1/3-5/54-62/25-33/3-5
PCV/Hematokrit 38% Perempuan 36-48%
Anak-anak 32-44%
Laki-laki 42-52%
Trombosit 317.000 150.000-350.000 mm2
CRP (LL) 1,43 0-0,3 mg/dl
Antibodi COVID-19
IgM Non reaktif Non reaktif
IgG Non reaktif Non reaktif
Faal Hati
SGOT 44 Laki-laki 0-37 u/L
SGPT 15 Perempuan 0-36 U/L
Laki-laki –43 U/L
Gula Darah
Glukosa Acak 82 <200 mg/dl
Anak-anak 70-106 mg/dl
Foto Thoraks
Tanggal 15 Februari 2021
9

Kesan: tak tampak kelainan


2.5 Diagnosis
Post Kejang Demam Sederhana + ISPA

2.6 Penatalaksanaan
Planing Monitoring
 Keluhan
 Vital sign

Planning Terapi
Inf. D5 ½ NS 1.100 cc / 24 jam
Inj. Cefotaxime 250 mg / 12 jam
Inf. Paracetamol 150 mg / 8 jam
Inj. Dexamethasone 2,5 mg / 12 jam
Inj. Ranitidin 10 mg / 12 jam
Ferro-K drop 1 ml / 12 jam
Ambroxol syr 1 cth / 12 jam

Planing Edukasi
 Edukasi orang tua pasien tentang penyakit pasien
 Edukasi orang tua pasien mengenai penanganan pertama kejang demam

2.7 Prognosis
10

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Definisi Kejang Demam


Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(IDAI, 2006). Namun pada tahun 2016, IDAI memiliki definisi yang lebih baru
terkait kejang demam. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu
di atas 380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan
oleh proses intracranial (IDAI, 2016).

3.2 Epidemiologi Kejang Demam


Pendapat para ahli, kejang demam terbanyak terjadi pada waktu anak
berusia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun. Berkisar 2%-5% anak di bawah 5
tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% kasus kejang
demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan,
insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Di Amerika
Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2%-5%. Di Asia prevalensi
kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di
Amerika (Fuadi et al., 2010). Di Indonesia tahun 2005, kejang demam termasuk
11

sebagai lima penyakit anak terpenting yaitu sebesar 17,4%, meningkat pada tahun
2007 dengan kejadian kejang demam sebesar 22,2%. Prevalensi demam pada
balita di daerah pedesaan lebih tinggi (33%) dibanding di perkotaan yaitu sebesar
29%. Kejadian kejang demam disebabkan oleh demam dan dapat berulang
(Indrayati dan Haryanti, 2019).

3.3 Mekanisme Kejang Demam


Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan
letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin
yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian
demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya
dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau
lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS
menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-
1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengkatalis konversi asam arakhidonat menjadi PGE2 yang kemudian
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu
tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen
endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABA-ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal
ini yang menimbulkan kejang (Arief, 2015).

3.4 Klasifikasi Kejang Demam


Kejang demam dibagi menjadi dua yaitu kejang demam sederhana (simple
febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure). Kejang
demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari
15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang
dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana terjadi 80% di antara seluruh
kejang demam. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari
12

5 menit dan berhenti sendiri. Kejang demam kompleks adalah kejang demam
dengan salah satu ciri yaitu: kejang lama (lebih dari 15 menit); kejang fokal atau
parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial; berulang atau lebih
dari satu kali dalam waktu 24 jam (IDAI, 2016).

3.5 Anamnesis Kejang Demam


Pada anamnesis kejang demam, berikut hal-hal yang perlu diketahui:
a. adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang;
b. suhu sebelum atau saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
pascakejang, penyebab demam di luar infeksi saraf pusat (gejala infeksi saluran
napas akut, infeksi saluran kemih, otitis media akut, dan lainnya);
c. riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsy dalam keluarga;
d. singkirkan penyebab kejang lain misalnya diare atau muntah yang
menyebabkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia (IDAI, 2009).

3.6 Pemeriksaan Fisik Kejang Demam


Pemeriksaan fisik pada kejang demam yaitu:
a. kesadaran, suhu tubuh;
b. tanda rangsang meningeal;
c. pemeriksaan nervus kranial;
d. tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti ubun-ubun besar menonjol,
papail edema;
e. tanda infeksi di luar sistem saraf pusat seperti ISPA, OMA, ISK, dan lain-lain;
f. pemeriksaan neurologis meliputi tonus, motorik, refleks fisiologis, refleks
patologis (IDAI, 2009).

3.7 Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam


Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang kejang demam. Pemeriksaan
laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan
13

laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit,
dan gula darah (level of evidence 2, derajat rekomendasi B). Pemeriksaan cairan
serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal
tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia kurang dari 12 bulan yang
mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik. Indikasi pungsi
lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B): terdapat tanda dan gejala
rangsang meningeal, terdapat kecurigaan adanya infeksi sistem saraf pusat
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis; dipertimbangkan pada anak
dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan
pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali apabila
bangkitan bersifat fokal. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala)
tidak rutin dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana (level of
evidence 2, derajat rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat
indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis
atau paresis nervus kranialis (IDAI, 2016).

3.8 Indikasi Rawat Inap Kejang Demam


Indikasi rawat inap kejang demam yaitu:
a. kejang demam kompleks;
b. hiperpireksia;
c. usia di bawah enam bulan;
d. kejang demam pertama kali;
e. terdapat kelainan neurologis (IDAI, 2009).

3.9 Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
a. riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga;
b. usia kurang dari 12 bulan;
14

c. suhu tubuh kurang dari 390C saat kejang;


d. interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang;
e. apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama (IDAI, 2016).

3.10 Tatalaksana Kejang Demam


Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada
waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam
keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-
lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 10 mg (IDAI, 2016).
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang
pada umumnya. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12
kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg (IDAI, 2016).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
setelah dua kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke
rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang
masih berlanjut, ikuti algoritme tatalaksana status epileptikus (IDAI, 2016).
15
16

3.11 Prognosis Kejang Demam


Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang,
baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition
memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan
pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama (IDAI,
2016).

3.12 Edukasi Kejang Demam


Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orang tua. Pada
saat kejang, sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya akan
meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara di antaranya:
a. meyakinkan orang tua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis
baik;
b. memberitahukan cara penanganan kejang;
c. memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali;
d. pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang
efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak kejang:
a. tetap tenang dan tidak panik;
b. longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher;
17

c. bila anak tidak sadar, posisikan anak miring, bila terdapat muntah, bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung;
d. walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
e. ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang;
f. tetap bersama anak selama dan sesudah kejang;
g. berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit,
jangan berikan bila kejang telah berhenti, diazepam rektal hanya boleh
diberikan satu kali oleh orang tua;
h. bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,
suhu tubuh lebih dari 400C, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal,
kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan (IDAI,
2016).
18

DAFTAR PUSTAKA

Arief, R. F. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam. CDK, 42(9): 659.

Fuadi, Bahtera, T., Wijayahadi, N. 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam
pada Anak. Sari Pediatri, 12(3): 142-143.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang


Demam. Jakarta: IDAI.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta: IDAI.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan


Kejang Demam. Jakarta: IDAI.

Indrayati, N. dan Haryanti, D. 2019. Peningkatan Kemampuan Orang Tua dalam


Penanganan Pertama Kejang Demam Pada Anak. Jurnal Peduli
Masyarakat, 1(1): 8.

Anda mungkin juga menyukai