Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

COVID-19 TERKONFIRMASI DENGAN KOMORBID


DIABETES MELITUS

Oleh:
Laras Pratiwi

DPJP:
dr. Desi Fitriani, Sp.PD

Pembimbing:
dr. Anindyagari
dr. Akhlia Ayu

INTERNSIP RS UMUM DAERAH KOTA DEPOK


PERIODE MEI-AGUSTUS 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari
gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui
menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum
pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini
dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan
manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak
(civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang
menjadi sumber penularan COVID-19 ini sampai saat ini masih belum diketahui
(Kemkes, 2020).
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-
6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat
dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian besar kasus
adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil
rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru (Kemkes, 2020).
Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari manusia ke manusia
melalui kontak erat dan droplet, tidak melalui udara. Orang yang paling berisiko
tertular penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19
termasuk yang merawat pasien COVID-19. Rekomendasi standar untuk mencegah
penyebaran infeksi adalah melalui cuci tangan secara teratur, menerapkan etika
batuk dan bersin, menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan
liar serta menghindari kontak dekat dengan siapa pun yang menunjukkan gejala
penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu, menerapkan Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di fasilitas kesehatan terutama unit
gawat darurat (Kemkes, 2020).
Covid-19 ini bisa menyerang hampir seluruh kalangan usia, namun demikian
data yang ada saat ini menunjukkan bahwa kelompok usia lanjut dan orang yang
mempunyai riwayat penyakit kronis (ko-morbid) memiliki risiko untuk terkena lebih
sering dan dengan komplikasi yang lebih buruk dari penyakit ini. Riwayat penyakit
kronis yang dimaksud antara lain adalah hipertensi, diabetes melitus, penyakit
kardiovaskuler, dan penyakit paru kronis. Khusus untuk mereka dengan diabetes,
merupakan komorbiditas kedua tersering ditemukan, sekitar 8% kasus, setelah
hipertensi, dan dengan angka kematian tiga kali lipat dibandingkan penderita secara
umum (Perkeni, 2020)

Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia


dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan
dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin.
Gejala yang dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu polidipsia, poliuria,
polifagia, penurunan berat badan (Suyono, 2010).
Berdasarkan peta prevalensi diabetes WHO pada tahun 2003, Indonesia
menempati urutan keempat terbesar dalam jumlah penderita DM di dunia setelah
India, China dan Amerika Serikat. Diprediksikan terjadi peningkatan jumlah penderita
DM dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Berdasarkan Diabetes Prevention Program Research Group Faktor (2003)
resiko penyebab terjadinya DM tipe 2 dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor sosio
demografi (seperti: umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan dan
pekerjaan), faktor perilaku dan gaya hidup (seperti: konsumsi sayur dan buah,
kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan aktivitas fisik), dan faktor keadaan klinis
atau mental indeks (seperti: kegemukan, obesitas sentral dan stres).
Diabetes Mellitus disebut juga dengan the silent killer karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit
yang akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit
jantung, sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren,
infeksi paru-paru, gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak jarang,
penderita DM yang sudah parah menjalani amputasi anggota tubuh karena terjadi
pembusukan.Untuk menurunkan kejadian dan keparahan dari Diabetes Melitus tipe
2 maka dilakukan pencegahan seperti modifikasi gaya hidup dan pengobatan seperti
obat oral hiperglikemik dan insulin (Depkes RI, 2014).

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui penegakan diagnosis COVID-19
1.2.2 Mengetahui penegakan diagnosis Diabetes Melitus
1.2.3 Mengetahui penatalaksanaan COVID-19 dengan komorbid Diabetes Melitus

1.3 Manfaat
Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai COVID-19 dengan
komorbid Diabetes Melitus mulai dari teori sampai pada pelaksanaan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, penatalaksanaan,
serta monitoringnya sesuai dengan standar kompetensi sebagai dokter umum.
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien

Nama : Tn. S
Usia : 52 tahun
Alamat : Cinangka, Sawangan
Tanggal MRS : 4 Juli 2020
No RM : 374422

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis)

Keluhan utama : Pasien datang dengan membawa hasil swab PCR COVID-19
positif

Pasien datang ke RSUD Depok dengan membawa hasil swab PCR covid-19
positif. Pada awalnya pasien mendapatkan fasilitas pemeriksaan rapid test massal
dari kantor pada tanggal 01/07/20 dengan hasil IgM reaktif dan IgG reaktif.
Kemudian pasien inisiatif untuk periksa swab ke RS Pantai Indah Kapuk pada
tanggal 02/07/20, hasil positif pada tanggal 04/07/20. Keluhan demam/ riwayat
demam (-), batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), sesak nafas (-), mual (-),
muntah (-), diare (-).

Pada tanggal 19/06/20 pasien sempat dirawat di RS Medika Lestari Tangerang


selama 4 hari dengan diagnosa thypoid dan diberikan obat pulang cefixime 100mg,
omeprazole 20mg, paracetamol 500mg.

Keluhan sering pipis dimalam hari (+) 2-3x setiap malam, sering merasa haus
(+), mudah lapar (-), penurunan BB (+) ±10kg dalam 3 bulan terakhir. Pasien juga
merasa lebih mudah lelah dan mengantuk beberapa bulan terakhir. Pandangan
kabur (-), kaki merasa kebas dan kesemutan (-).

Riwayat penyakit dahulu :


HT (-), DM (-), asma (-), TB (-), penyakit jantung (-), penyakit ginjal (-)

Riwayat keluarga:

HT (-), DM (+) kakak kandung, asma (-)

Riwayat sosial:

Pasien merupakan seorang karyawan swasta di daerah PIK Jakarta Utara,


setiap hari pasien PP Jakarta-Depok. Pasien masih aktif bekerja setiap hari dan baru
wfh setelah mengetahui hasil rapid test reaktif. Ia tinggal dirumah bersama istri dan
kedua anaknya. Riwayat kontak dengan ODP/PDP (-). Pasien mengaku jarang
berolahraga, riw merokok (-).

2.3 Pemeriksaan Fisik

GCS 456
BB : 83 kg BP: 115/87 mmHg
TB : 165 cm HR: 88 x/menit, regular kuat
BMI : 30,49 RR: 20 x/mnt
Kesan Obesitas Tax: 36,10 C
SpO2: 98% RA

Kepala Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)


JVP R+0 cm H2O; posisi 300, pembesaran KGB (-),
Leher
pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax Ictus invisible, palpable at ICS V lateral MCL
Sinistra
Jantung LHM ≈ ictus
RHM ≈ parasternal line Dekstra
S1,S2 tunggal, gallop (-), murmur (-)
Paru Inspeksi: Statis D=S
Dinamis D=S
Palpasi: Ekspansi dada simetris, D=S
Stem Fremitus N N
N N
N N
Perkusi: Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

Auskultasi: V V Rh - - Wh - -
V V -- --
V V -- --
Rounded, soefl, bising usus (+) normal, liver span 8 cm,
Abdomen Traube’s space tympani, bruit (-), shifting dullness (-),
epigastric tenderness (-), nyeri tekan suprapubic (-).
Ekstremitas Akral hangat, edema tungkai -/-

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (04/07/2020)
Lab Value Lab Value

Hemoglobin 15,0 11,7 – 15,5


g/dL
Hematokrit 43,6 35 – 47%

Leukocyte 10,3 3,6 – 11,0 103 SGOT 9 0-50 U/L


/µL

Trombosit 349 150-440 103 SGPT 15 0-50 U/L


/µL
Eritrosit 5,25 3.8 – 5,2 106 GDS 519 74-106 mg/dL
/µL

Eo/Ba/Neu/Ly/M 1/0/62/30/7 Rapid test IgG reaktif


o Antibody
SARS-
COV-2

Neutrofil Limfosit 2,07 <3,13 Rapid test IgM reaktif


Ratio (NLR) 3090 >1500 Antibody
Absolute Limfosit SARS-
Count (ALC) COV-2

Ureum 33 15-40 mg/dL

Creatinine 1,1 0,67-1,5


mg/dL

Rontgen Thorax PA (04/07/2020)


Kesimpulan : Bronchopneumonia

EKG (04/07/2020)

Kesimpulan : Sinus ryhtm dengan heart rate 82x/menit, QTc (Corrected QT interval )
441 ms

2.5 Diagnosis

 COVID-19 Terkonfirmasi Tanpa Gejala

 Diabetes Melitus Tipe 2

2.6 Planning

2.6.1 Diagnosis
Urinalisis, BGA, Serum Elektrolit, Hba1c

2.6.2 Terapi
Loading NaCl 0,9% 1000cc dalam 1 jam, cek GDS ulang post loading
Infus NaCl 0,9% 500cc/8 jam
Diet DM
Isulin KGDH correctional dose
Oseltamivir 2x75mg
Inj levofloxacin 1x750mg
Hyloquin 2x200mg
Inj vit C 1x1000mg
Zinc 1x20mg

2.6.3 Monitoring
TTV
Subjektif
GDS serial
Serial chest xray
Evaluasi PCR nCoV-2
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 COVID-19
3.1.1 Definisi Kasus
1. Pasien Dalam Pengawasan (PDP)
a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38°C)
atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan
seperti: batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga
berat DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi
lokal.
b. Orang dengan demam (≥38°C) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada
14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi COVID-19.
c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan
di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis
yang meyakinkan.
2. Orang Dalam Pemantauan (ODP)
a. Orang yang mengalami demam (≥38°C) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN
tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau
tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal.
b. Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti
pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul
gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.
3. Orang Tanpa Gejala (OTG)
Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang konfirmasi
COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) merupakan kontak erat dengan kasus
konfirmasi COVID-19.

Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam
ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam
pengawasan atau konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan
hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.

Termasuk kontak erat adalah:


a. Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan
membersihkan ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan
APD sesuai standar.
b. Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus
(termasuk tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum
kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
c. Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat
angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14
hari setelah kasus timbul gejala.
4. Kasus terkonfirmasi.
Pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan tes positif melalui
pemeriksaan PCR.

3.1.2 Kriteria Diagnosis


3.1.2.1 Anamnesis
1. Pasien COVID-19 dengan gejala yaitu:
 Demam atau riwayat demam
 Batuk
 Pilek
 Nyeri tenggorokan
 Sesak nafas
2. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi
lokal dalam 14 hari terakhir sebelum timbul gejala.
3. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal COVID-19 di
Indonesia dalam 14 hari terakhir sebelum timbul gejala.
4. Riwayat kontak dengan pasien konfirmasi atau probabel COVID-19 dalam 14
hari terakhir sebelum timbul gejala.
3.1.2.2 Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran kompos mentis atau penurunan kesadaran yang tidak membutuhkan
ventilator.
2. Tanda vital: frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas meningkat, tekanan darah
normal atau menurun, suhu tubuh meningkat ≥ 38oC.
3. Dapat disertai retraksi otot pernapasan.
4. Pemeriksaan fisik paru didapatkan inspeksi dapat tidak simetris statis dan
dinamis, fremitus mengeras, redup pada daerah konsolidasi, suara napas
bronkovesikuler atau bronkial, ronki kasar.
3.1.2.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Chest X-Ray: menunjukkan gambaran pneumonia pada paru unilateral atau
bilateral dan/atau Chest CT-scan: menunjukkan gambaran opasitas ground-
glass.
2. PCR nCoV-2 (dari swab orofaring/nasofaring ataupun aspirat saluran napas
bawah) : menunjukkan positif nCoV-2.
3. Darah perifer lengkap: dapat ditemukan leukopenia/normal, limfopenia.
4. Kimia darah lainnya sesuai indikasi: pada kondisi sedang-berat dapat
menunjukkan gangguan fungsi hepar, fungsi ginjal, gula darah dan peningkatan
PT, D-Dimer, dan laktat.

Pada pasien ini didapatkan anamnesa memiliki riwayat perjalanan atau tinggal
didaerah yang merupakan transmisi local pada 14 hari terakhir. Pemeriksaan fisik
dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran
bronkopneumonia pada chest xray dan hasil positif pada test swab
orofaring/nasofaring (PCR nCoV-2).
3.1.3 Klasifikasi Kasus Menurut Derajat Keparahan Gejala
1. COVID-19 terkonfirmasi:
a. Terkonfimasi Tanpa Gejala (TTG)
b. Gejala Ringan
c. Gejala Sedang – Berat

2. COVID-19 belum terkonfirmasi:


a. OTG, ODP, PDP Gejala Ringan
b. PDP Gejala Sedang- Berat
3. COVID-19(terkonfirmasi/belum terkonfirmasi) dengan komorbid.

Pasien ini merupakan COVID-19 Terkonfirmasi : Pasien yang terinfeksi COVID-


19 dengan hasil pemeriksaan tes positif melalui pemeriksaan PCR. Dan menurut
derajat keparahan gejala termasuk tanpa gejala sehingga bisa disimpulkan
sebagai COVID-19 Terkonfirmasi Tanpa Gejala (TTG).

3.1.4 Derajat Keparahan Gejala


1. Tanpa Gejala:
Kondisi ini merupakan kondisi teringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
2. Gejala Ringan/Tidak berkomplikasi:
Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan,
hidung tersumbat, sesak ringan, malaise, sakit kepala, nyeri otot, kongesti
hidung. Meskipun jarang, pasien dapat dengan keluhan diare, mual, muntah.
Pasien tanpa pneumonia, tanpa komorbid.
Perlu waspada pada usia lanjut dan immunocompromised karena gejala dan
tanda tidak khas.
3. Gejala Sedang/Moderat:
Pasien remaja atau dewasa dengan pneumonia tetapi tidak ada tanda
pneumonia berat dan tidak membutuhkan suplementasi oksigen.
4. Gejala Berat:
Pasien dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran
napas/pneumonia, ditambah satu dari: frekuensi napas ≥ 30 x/menit, distress
pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) ≤ 93% pada udara kamar atau
rasio PaO2/FiO2 ≤ 300 atau rasio SpO2/FiO2 ≤ 315.
5. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dengan kriteria sebagai berikut:
a. Ringan: 200 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg (dengan PEEP atau CPAP
≥ 5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi.
b. Sedang: 100 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 200 mmHg (dengan PEEP ≥ 5 cmH2O,
atau yang tidak diventilasi.
c. Berat: PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥ 5 cmH2O, atau yang tidak
diventilasi.

Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤ 315 mengindikasikan ARDS (termasuk


pasien yang tidak diventilasi).
FiO2 (fraction of inspired oxygen) adalah fraksi oksigen molar atau volumetrik
(konsentrasi oksigen) dalam gas yang dihirup. Berikut adalah nilai FiO2
berdasarkan metode pemberian oksigenasi:

Jenis alat / Aliran FiO2 Jenis alat / Aliran FiO2


Nasal 1-2 lpm 0.24 RM 8 lpm 0.6
3 lpm 0.28 9 lpm 0.7
kanul
4 lpm 0.32 10 lpm 0.8
5 lpm 0.36 NRM 8 lpm 0.8
6 lpm 0.4 9 lpm 0.9
Simple 6 lpm 0.4 10-15 lpm 1.0
7 lpm 0.5
Mask
8 lpm 0.6 RoomAir 0.21
(udara
kamar)
RM = rebreathing masker.
NRM = non-rebreathing masker.
6. Disfungsi Organ dan/atau Sepsis:
Disfungsi organ yang mengancam nyawa disebabkan oleh disregulasi respon
tubuh terhadap dugaan atau terbukti infeksi. Tanda disfungsi organ meliputi:
perubahan status mental/kesadaran, sesak napas, saturasi oksigen rendah, urin
output menurun, denyut jantung cepat, nadi lemah, ekstremitas dingin atau
tekanan darah rendah, petekie/purpura/mottled skin, atau hasil laboratorium
menunjukkan koagulopati, trombositopenia, asidosis, laktat yang tinggi,
hiperbilirubinemia.
Sepsis diindikasikan bilamana terjadi peningkatan skor SOFA
(sequential/sepsis-related organ failure assessment) ≥ 2 angka. Skor SOFA
nilainya berkisar dari 0 - 24 dengan menilai 6 sistem organ yaitu pernapasan
(hipoksemia didefinisikan oleh PaO2/FiO2 rendah), koagulasi (trombosit rendah),
hati (bilirubin tinggi), kardiovaskular (hipotensi), sistem saraf pusat (penurunan
tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale), dan ginjal (urin output rendah
atau kreatinin tinggi). Diasumsikan skor awal adalah nol jika data tidak tersedia.
7. Syok Sepsis:
Hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan dan
membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP)
≥ 65 mmHg.

3.1.5 Komorbiditas
Merupakan suatu keadaan dimana pasien telah memiliki penyakit yang
sudah diderita sebelumnya, bersifat kronik dan akan memperberat perjalanan
penyakit COVID-19 nya. Penyakit tersebut meliputi:

DM Hipertensi paska stroke


penyakit ginjal penyakit jantung penyakit hati
Asma TB PPOK
HIV Kanker penyakit
immunocompromised,
penyakit kronis lain yang dapat memperberat perjalanan
penyakit COVID-19.
Pasien ini memiliki komorbid Diabetes mellitus tipe 2

3.1.6 Tatalaksana
A. Pasien COVID-19 yang dirawat jalan:
1. Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
2. Pasien dipantau klinis melalui Dinkes / Puskesmas setempat
3. Edukasi pasien sesuai poin edukasi di bawah.
4. Vitamin C 2-3x500mg
5. Zinc 1x20mg
6. Antibiotik sesuai indikasi: levofloxacin atau azitromisin.
7. Antivirus : oseltamivir 2x75 mg jika diperlukan sesuai pertimbangan DPJP
8. Terapi simtomatis sesuai indikasi klinis.

B. Pasien COVID-19 yang dirawat inap:


1. Isolasi pada semua kasus, bila ada ruangan dengan tekanan negatif lebih
baik tetapi apabila tidak maka dapat menggunakan ruangan dengan aliran
udara baik dan penempatan antar pasien minimal jarak 1 meter.
2. Implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI).
3. Serial chest x-ray.
4. Serial darah perifer lengkap.
5. Evaluasi PCR nCoV-2.
6. Terapi oksigen (O2) sesuai indikasi klinis.
7. Terapi cairan IVFD sesuai indikasi klinis.
8. Terapi simptomatik sesuai indikasi klinis.
9. Antibiotik empiris berdasarkan epidemiologi dan pola kuman setempat
secepat mungkin sampai diagnosis ditegakkan:
 Levofloksasin 1 x 500-750mg, atau
 Azitromisin 1 x 250-500 mg.
10. Hidroksiklorokuin 2x400mg lalu 1x400mg atau
Klorokuin 2x500mg lalu 1x500mg.
11. Antivirus:
Oseltamivir 2x75-150 mg atau Lopinavir/ritonavir (Aluvia) atau Favipirapir
(Avigan) atau Remdesivir.
12. Vitamin C 1 x 1000 mg iv/oral.
13. Zinc 1x20mg.
14. Hepatoprotektor sesuai indikasi klinis.
15. Steroid dapat dipertimbangkan pada ARDS.
16. Tatalaksana komplikasi dan komorbid sesuai temuan.
17. Cegah komplikasi selama perawatan.

Pasien ini membutuhkan tatalaksana COVID-19 rawat inap karena kondisi


komorbid diabetes mellitus yang tidak stabil

3.1.7 Kriteria Pulang

Pasien dinyatakan sembuh bila :


1. Kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang membaik.
2. Hasil PCR nCoV-2 negatif sebanyak dua kali berturut-turut dengan interval
minimal 48 jam.
Pasien dipulangkan bila:
1. Sudah dinyatakan sembuh.
2. Komorbid dan/atau komplikasi telah teratasi dan stabil
Pasien dipastikan tetap melanjutkan isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
kedepan di bawah pengawasan Dinkes atau Puskesmas

3.1.8 Komplikasi

Sepsis, syok sepsis, ARDS, gagal napas, multiorgan dysfunction syndrome (MODS),
kematian.

3.2 Diabetes Melitus

3.2.1 Definisi
Diabetes Mellitus adalah penyakit kronik yang terjadi diakibatkan kegagalan
pankreas memproduksi insulin yang mencukupi atau tubuh tidak dapat
menggunakan secara efektif insulin yang diproduksi. Hiperglikemia, atau
peningkatan gula darah adalah efek utama pada DM tidak terkontrol dan pada
jangka waktu lama bisa mengakibatkan kerusakan serius pada syaraf dan pembuluh
darah. Diabetes Mellitus mempunyai sindroma klinik yang ditandai adanya poliuria,
polidipsia dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia
(kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dl atau postprandial ≥ 200 mg/dl atau glukosa
sewaktu ≥ 200 mg (American Diabetes Association, 2014).

Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai


oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
dan atau gangguan fungsi insulin (resistensi insulin), (Roglig, 2004).

3.2.2 Faktor Resiko


Kombinasi antara faktor genetik, faktor lingkungan, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin merupakan penyebab DM tipe 2. Faktor lingkungan yang
berpengaruh seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, stres, dan pertambahan
umur (KAKU, 2010). Faktor risiko juga berpengaruh terhadap terjadinya DM tipe 2.
Beberapa faktor risiko diabetes melitus tipe 2 antara lain berusia ≥ 40 tahun,
memiliki riwayat prediabetes ( A1C 6,0 % - 6,4 % ), memiliki riwayat diabetes melitus
gestasional, memiliki riwayat penyakit vaskuler, timbulnya kerusakan organ karena
adanya komplikasi, penggunaan obat seperti glukokortikoid, dan dipicu oleh penyakit
seperti HIV serta populasi yang berisiko tinggi terkena diabetes melitus seperti
penduduk Aborigin, Afrika, dan Asia (Ekoe et al., 2013).

Dari anamnesis pada pasien ini ditemukan kakak kandung pasien juga menderita
DM, pasien juga mengaku jarang berolahraga/ kurangnya aktivitas fisik. Dan dari
pemeriksaan fisik pasien memiliki BMI 30,49 (kesan obesitas).

3.2.3 Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pancreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam
gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar
patofisiologi ini memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multiple dari patofisiologi DM tipe-2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan
toleransi glukosa.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel
beta pancreas saja yang berperan sentral dalam pathogenesis penderita DM tipe-2
tetapi terdapat organ lain berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet
(gambar-1)
Gambar-1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam
pathogenesis hiperglikemia pada DM tipe-2 (Ralph A. DeFronzo. From the
Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type
2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)

Secara garis besar pathogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi
sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetic yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.

3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free
Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.

5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar disbanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-
dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan
ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.

6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis
glucagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glucagon
atau menghambat reseptor glucagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan
amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%
sisanya akan di absorbs melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2
ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2
inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obesitas baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi
di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

3.2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi Klinis diabetes dibagi menjadi 2 yaitu akut dan kronis. Manifestasi
Klinis akut yaitu :
• Polidipsi (banyak minum)
• Poliuri (sering kencing, terutama pada malam hari)
• Poliphagia (banyak makan)
• Nafsu makan bertambah tetapi berat badan berkurang dengan cepat (4-6 kg
dalam 2-4 minggu)
Sedangkan manifestasi klinis kronis yaitu :
• Kesemutan
• Kulit terasa panas atau seperti tertusuk jarum
• Kelelahan
• Kram
• Mudah mengantuk
• Rasa kebas di kulit, terutama pada bagian telapak kaki
• Pandangan mulai kabur
• Kulit kering dan gatal
• Pandangan mulai kabur

Pada pasien ini terdapat manifestasi akut dan kronik dari DM tipe 2 yaitu
polyuria (sering buang air kecil, terutama saat malam pasien bisa bangun
sampai 3x untuk buang air kecil), polydipsi (sering merasa haus/ banyak
minum), dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
sekitar ±10kg dalam 3 bulan terakhir. Selain itu, terdapat gejala lain seperti
merasa mudah lelah dan mengantuk dalam beberapa bulan terakhir.

3.2.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
- Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria Diagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). (B)

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam
<140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
• Diagnosis pre-diabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Kriteria DM Menurut PERKENI 2015
Gejala klasik (+) Gejala klasik (-)
GDS ≥200 GDS ≥200, 2x
GDP ≥126 GDP ≥126, 2x
TTGO ≥200 TTGO ≥200
HbA1c ≥6.5% HbA1c ≥6.5%

Pada pasien ini GDS 519 dengan gejala klasik (+) -> Diabetes Melitus

3.2.6 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan Diabetes Melitus meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup,
dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
Langkah-langkah penatalaksanaan khusus pada Diabetes Melitus meliputi (4 Pilar
Tatalaksana DM) :
1. Edukasi
2. Terapi Nutrisi Medis
3. Jasmani
4. Terapi Farmakologis
 Obat Antihiperglikemis Oral
 Oabt Antihperglikemia Suntik
 Terapi Kombinasi
3.2.6.1 Edukasi
1. Pola makan sehat, rutin minum obat
2. Pantau kadar gula darah dan tekanan darah
3. Berhenti merokok maupun minum alcohol

3.2.6.2 Terapi Nutrisi Medis


Prinsip pengaturan makan pada penderita DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Namun,pada penderita DM
perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis
dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
Komposisi makanan yang dianjurkan :
a. Karbohidrat : 46-65% total asupan energi, terutama yang berserat tinggi
b. Lemak : 20-25% kebutuhan kalori dan tidak melebihi 30% total asupan energi
c. Protein : 10-20% total asupan energi
d. Serat : 20-35 gram/hari
e. Pemanis Alternatif :aman digunakan selama tidak melebihi batas aman
Tujuan terapi nutrisi medis :
- Mencapai dan mempertahankan target berat badan pada pasien Diabetes
Melitus
- Mencapai target glikemik individu, tekanan darah dan profil lipid
- Menunda atau mencegah komplikasi dari Diabetes Melitus

3.2.6.3 Jasmani
Latihan jasmani yang dianjurkan adalah sebanyak 3-5 kali per minggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total latihan 150 menit per minggu. Namun,
yang harus diperhatikan adalah antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Latihan yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobik seperti jalan cepat, bersepeda
santai, jogging, dan berenang.
Sebelum melakukan latihan, dianjurkan untuk memeriksakan glukosa darah.
Apabila glukosa darah <100 ml/dL maka konsumsi karbohidrat terlebih dahulu,
namun apabila >250 ml/dL, latihan jasmani ditunda terlebih dahulu.

3.2.6.4 Terapi Farmakologis

Obat Antihiperglikemia Oral


Golongan Obat Cara Kerja Utama Efek Samping Penurunan HbA1c
Utama
Sulfonilurea Meningkatkan BB naik, 1,0-2,0%
sekresi insulin hipoglikemia
Glinid Meningkatkan BB naik 0,5-1,5%
sekresi insulin hipoglikemia
Metformin Menekan produksi Dispepsia, 1,0-2,0%
glukosa hati & diare, asidosis
menambah laktat
sensitifitas terhadap
insulin
Penghambat Menghambat Flatulen, tinja 0,5-0,8%
Alfa- absorpsi lembek
Glukosidase glukosa
Tiazolidindion Menambah Edema 0,5-1,4%
sensitifitas terhadap
insulin
Penghambat Meningkatkan Sebah, 0,5-0,8%
DPP-IV sekresi muntah
insulin, menghambat
sekresi glukagon
Penghambat Menghambat Dehidrasi, 0,8-1,0%
SGLT-2 penyerapan kembali infeksi saluran
glukosa di tubuli kemih
distal
ginjal

Gambar 3.1 Algoritma Penatalaksanaan DM Tipe 2 (PERKENI, 2015)


Tabel 3.1 Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti hiperglikemik (sumber:
Standard of Medical Care in Diabetes- ADA 2015) (PERKENI, 2015)
Kelas Obat Keuntungan Kerugian Biaya
Biguanide Metformin - Tidak - Efek samping Rendah
menyebabkan gastrointestinal
hipoglikemia - Risiko asidosis
- Menurunkan laktat
kejadian CVD - Defisiensi vit
b12
- Kontra indikasi
pada CKD,
asidosis,
hipoksia,
dehidrasi
Sulfonilurea - Glibenclamide - Efek - Risiko Sedang
- Glipizide hipoglikemik hipoglikemia
- Gliclazide kuat - Berat badan ↑
- Glimepiride - Menurunkan
komplikasi
mikrovaskuler
Metiglinides Repaglinide - Menurunkan - Risiko Sedang
glukosa hipoglikemia
postprandial - Berat badan ↑
TZD Pioglitazone - Tidak - Barat badan Sedang
menyebabkan meningkatkan
hipoglikemia - Edema, gagal
- ↑ HDL jantung
- ↓ TG - Risiko fraktur
- ↓ CVD event meningkat pada
wanita
menopause
Penghambat Acarbose - Tidak - Efektivitas Sedang
α menyebabkan penurunan A1C
glucosidase hipoglikemia sedang
- ↓ Glukosa - Efek samping
darah gastro intestinal
postprandial - Penyesuaian
- ↓ CVD event dosis harus
sering dilakukan
Penghambat - Sitagliptin - Tidak - Angioedema, Tinggi
DPP-4 - Vildagliptin menyebabkan urtica, atau efek
- Saxagliptin hipoglikemia dermatologis
- Linagliptin - Ditoleransi lain yang
dengan baik dimediasi respon
imun
- Pancreatitis
akut?
- Hospitalisasi
akibat gagal
jantung
Penghambat - Dapagliflozin Tidak - Infeksi Tinggi
SGLT2 - Canagliflozin* menyebabkan urogenital
- Empagliflozin* hipoglikemia - Poliuria
- ↓ berat - Hipovolemia/
badan hipotensi/
- ↓ tekanan pusing
darah - ↑ ldl
- Efektif untuk - ↑ creatinin
semua fase (transient)
DM
Agonis - Liraglutide - Tidak - Efek samping Tinggi
reseptor - Exenatide* menyebabkan gastro intestinal
GLP-1 - Albiglutide* hipoglikemia (mual/ muntah/
- Lixisenatide* - ↓ glukosa diare)
- Dulaglutide* darah - ↑ denyut
postprandial jantung
- ↓ beberapa - Hyperplasia ccell
faktor risiko atau tumor
CV medulla tiroid
pada hewan
coba
- Pankreatitis
akut?
- Bentuknya
injeksi
- Butuh latihan
khusus
Insulin a. Rapid- - Responnya - Hipoglikemia Bervariasi
acting universal - Berat badan ↑
Analogs - Efektif - Efek mitogenik ?
- Lispro menurunkan - Dalam sediaan
- Aspart glukosa darah injeksi
- Glulisine - ↓ komplikasi - Tidak nyaman

b. Short-acting mikrovaskuler - Perlu pelatihan

-Human (UKPDS) pasien

insulin
c. Intermediat
e acting
-Human
NPH
d. Basal
insulin
analogs
- Glargine
- Detemir
- Degludec*
e. Premixed
(beberapa
tipe)
* saat ini obat belum tersedia di Indonesia

Obat Antihiperglikemia Suntik


Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
• HbA1c saat diperiksa ≥7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
• HbA1c saat diperiksa ≥9%
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Krisis hiperglikemia
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
• Kehamilan dengan DM atau diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
• Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
- Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
- Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)
- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
Pada pasien ini diberikan tatalaksana farmakologi berupa insulin dikarenakan hasil
GDS 519 diindikasikan adanya krisis hiperglikemia
3.2.7 Komplikasi
3.2.7.1 Krisis Hiperglikemia
KAD adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis
dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan
terjadi peningkatan anion gap. Sedangkan HHS adalah suatu keadaan dimana
terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan
gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma
keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.
3.2.7.2 Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa
adanya gejala-gejala sistem otonom. Penurunan kesadaran yang terjadi pada
penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh
hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea
dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga
harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.
Pengawasan glukosa darah pasien harus dilakukan selama 24-72 jam, terutama
pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO
kerja panjang.
3.2.7.3 Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri
pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent),
namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan
kelainan yang dapat ditemukan pada penderita.
- Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
3.2.7.4 Mikroangiopati
- Retinopati diabetik
- Nefropati diabetik
- Neuropati diabetik

Pada pasien ini terdapat kompikasi akut yaitu krisis hiperglikemia yang ditandai
dengan GDS yang tinggi yaitu 519. Namun masih diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu analisa gas darah, urinalisis, dan serum elektrolit untuk menentukan KAD
atau HHS.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19)


Revisi ke-4, Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit,
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Maret 2020.
2. Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID-19 di
Indonesia, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Maret 2020.
3. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2020, April 7).
Pernyataan Resmi dan Rekomendasi Penanganan Diabetes Melitus di Era
Pandemi COVID-19. PB PERKENI.
4. PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia, PERKENI, Jakarta.
5. PERKENI, 2019, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia, PERKENI, Jakarta.
6. Protokol Tatalaksana COVID-19, PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI 2020.

Anda mungkin juga menyukai