Oleh:
Laras Pratiwi
DPJP:
dr. Desi Fitriani, Sp.PD
Pembimbing:
dr. Anindyagari
dr. Akhlia Ayu
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui penegakan diagnosis COVID-19
1.2.2 Mengetahui penegakan diagnosis Diabetes Melitus
1.2.3 Mengetahui penatalaksanaan COVID-19 dengan komorbid Diabetes Melitus
1.3 Manfaat
Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai COVID-19 dengan
komorbid Diabetes Melitus mulai dari teori sampai pada pelaksanaan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, penatalaksanaan,
serta monitoringnya sesuai dengan standar kompetensi sebagai dokter umum.
BAB 2
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. S
Usia : 52 tahun
Alamat : Cinangka, Sawangan
Tanggal MRS : 4 Juli 2020
No RM : 374422
Keluhan utama : Pasien datang dengan membawa hasil swab PCR COVID-19
positif
Pasien datang ke RSUD Depok dengan membawa hasil swab PCR covid-19
positif. Pada awalnya pasien mendapatkan fasilitas pemeriksaan rapid test massal
dari kantor pada tanggal 01/07/20 dengan hasil IgM reaktif dan IgG reaktif.
Kemudian pasien inisiatif untuk periksa swab ke RS Pantai Indah Kapuk pada
tanggal 02/07/20, hasil positif pada tanggal 04/07/20. Keluhan demam/ riwayat
demam (-), batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), sesak nafas (-), mual (-),
muntah (-), diare (-).
Keluhan sering pipis dimalam hari (+) 2-3x setiap malam, sering merasa haus
(+), mudah lapar (-), penurunan BB (+) ±10kg dalam 3 bulan terakhir. Pasien juga
merasa lebih mudah lelah dan mengantuk beberapa bulan terakhir. Pandangan
kabur (-), kaki merasa kebas dan kesemutan (-).
Riwayat keluarga:
Riwayat sosial:
GCS 456
BB : 83 kg BP: 115/87 mmHg
TB : 165 cm HR: 88 x/menit, regular kuat
BMI : 30,49 RR: 20 x/mnt
Kesan Obesitas Tax: 36,10 C
SpO2: 98% RA
Auskultasi: V V Rh - - Wh - -
V V -- --
V V -- --
Rounded, soefl, bising usus (+) normal, liver span 8 cm,
Abdomen Traube’s space tympani, bruit (-), shifting dullness (-),
epigastric tenderness (-), nyeri tekan suprapubic (-).
Ekstremitas Akral hangat, edema tungkai -/-
Laboratorium (04/07/2020)
Lab Value Lab Value
EKG (04/07/2020)
Kesimpulan : Sinus ryhtm dengan heart rate 82x/menit, QTc (Corrected QT interval )
441 ms
2.5 Diagnosis
2.6 Planning
2.6.1 Diagnosis
Urinalisis, BGA, Serum Elektrolit, Hba1c
2.6.2 Terapi
Loading NaCl 0,9% 1000cc dalam 1 jam, cek GDS ulang post loading
Infus NaCl 0,9% 500cc/8 jam
Diet DM
Isulin KGDH correctional dose
Oseltamivir 2x75mg
Inj levofloxacin 1x750mg
Hyloquin 2x200mg
Inj vit C 1x1000mg
Zinc 1x20mg
2.6.3 Monitoring
TTV
Subjektif
GDS serial
Serial chest xray
Evaluasi PCR nCoV-2
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 COVID-19
3.1.1 Definisi Kasus
1. Pasien Dalam Pengawasan (PDP)
a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38°C)
atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan
seperti: batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga
berat DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi
lokal.
b. Orang dengan demam (≥38°C) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada
14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi COVID-19.
c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan
di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis
yang meyakinkan.
2. Orang Dalam Pemantauan (ODP)
a. Orang yang mengalami demam (≥38°C) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN
tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau
tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal.
b. Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti
pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul
gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.
3. Orang Tanpa Gejala (OTG)
Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang konfirmasi
COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) merupakan kontak erat dengan kasus
konfirmasi COVID-19.
Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam
ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam
pengawasan atau konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan
hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
Pada pasien ini didapatkan anamnesa memiliki riwayat perjalanan atau tinggal
didaerah yang merupakan transmisi local pada 14 hari terakhir. Pemeriksaan fisik
dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran
bronkopneumonia pada chest xray dan hasil positif pada test swab
orofaring/nasofaring (PCR nCoV-2).
3.1.3 Klasifikasi Kasus Menurut Derajat Keparahan Gejala
1. COVID-19 terkonfirmasi:
a. Terkonfimasi Tanpa Gejala (TTG)
b. Gejala Ringan
c. Gejala Sedang – Berat
3.1.5 Komorbiditas
Merupakan suatu keadaan dimana pasien telah memiliki penyakit yang
sudah diderita sebelumnya, bersifat kronik dan akan memperberat perjalanan
penyakit COVID-19 nya. Penyakit tersebut meliputi:
3.1.6 Tatalaksana
A. Pasien COVID-19 yang dirawat jalan:
1. Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
2. Pasien dipantau klinis melalui Dinkes / Puskesmas setempat
3. Edukasi pasien sesuai poin edukasi di bawah.
4. Vitamin C 2-3x500mg
5. Zinc 1x20mg
6. Antibiotik sesuai indikasi: levofloxacin atau azitromisin.
7. Antivirus : oseltamivir 2x75 mg jika diperlukan sesuai pertimbangan DPJP
8. Terapi simtomatis sesuai indikasi klinis.
3.1.8 Komplikasi
Sepsis, syok sepsis, ARDS, gagal napas, multiorgan dysfunction syndrome (MODS),
kematian.
3.2.1 Definisi
Diabetes Mellitus adalah penyakit kronik yang terjadi diakibatkan kegagalan
pankreas memproduksi insulin yang mencukupi atau tubuh tidak dapat
menggunakan secara efektif insulin yang diproduksi. Hiperglikemia, atau
peningkatan gula darah adalah efek utama pada DM tidak terkontrol dan pada
jangka waktu lama bisa mengakibatkan kerusakan serius pada syaraf dan pembuluh
darah. Diabetes Mellitus mempunyai sindroma klinik yang ditandai adanya poliuria,
polidipsia dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia
(kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dl atau postprandial ≥ 200 mg/dl atau glukosa
sewaktu ≥ 200 mg (American Diabetes Association, 2014).
Dari anamnesis pada pasien ini ditemukan kakak kandung pasien juga menderita
DM, pasien juga mengaku jarang berolahraga/ kurangnya aktivitas fisik. Dan dari
pemeriksaan fisik pasien memiliki BMI 30,49 (kesan obesitas).
3.2.3 Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pancreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam
gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar
patofisiologi ini memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multiple dari patofisiologi DM tipe-2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan
toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel
beta pancreas saja yang berperan sentral dalam pathogenesis penderita DM tipe-2
tetapi terdapat organ lain berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet
(gambar-1)
Gambar-1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam
pathogenesis hiperglikemia pada DM tipe-2 (Ralph A. DeFronzo. From the
Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type
2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)
Secara garis besar pathogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi
sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetic yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free
Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar disbanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-
dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan
ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis
glucagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glucagon
atau menghambat reseptor glucagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan
amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%
sisanya akan di absorbs melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2
ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2
inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obesitas baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi
di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.
Pada pasien ini terdapat manifestasi akut dan kronik dari DM tipe 2 yaitu
polyuria (sering buang air kecil, terutama saat malam pasien bisa bangun
sampai 3x untuk buang air kecil), polydipsi (sering merasa haus/ banyak
minum), dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
sekitar ±10kg dalam 3 bulan terakhir. Selain itu, terdapat gejala lain seperti
merasa mudah lelah dan mengantuk dalam beberapa bulan terakhir.
3.2.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
- Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria Diagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). (B)
Pada pasien ini GDS 519 dengan gejala klasik (+) -> Diabetes Melitus
3.2.6 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan Diabetes Melitus meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup,
dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
Langkah-langkah penatalaksanaan khusus pada Diabetes Melitus meliputi (4 Pilar
Tatalaksana DM) :
1. Edukasi
2. Terapi Nutrisi Medis
3. Jasmani
4. Terapi Farmakologis
Obat Antihiperglikemis Oral
Oabt Antihperglikemia Suntik
Terapi Kombinasi
3.2.6.1 Edukasi
1. Pola makan sehat, rutin minum obat
2. Pantau kadar gula darah dan tekanan darah
3. Berhenti merokok maupun minum alcohol
3.2.6.3 Jasmani
Latihan jasmani yang dianjurkan adalah sebanyak 3-5 kali per minggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total latihan 150 menit per minggu. Namun,
yang harus diperhatikan adalah antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Latihan yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobik seperti jalan cepat, bersepeda
santai, jogging, dan berenang.
Sebelum melakukan latihan, dianjurkan untuk memeriksakan glukosa darah.
Apabila glukosa darah <100 ml/dL maka konsumsi karbohidrat terlebih dahulu,
namun apabila >250 ml/dL, latihan jasmani ditunda terlebih dahulu.
insulin
c. Intermediat
e acting
-Human
NPH
d. Basal
insulin
analogs
- Glargine
- Detemir
- Degludec*
e. Premixed
(beberapa
tipe)
* saat ini obat belum tersedia di Indonesia
Pada pasien ini terdapat kompikasi akut yaitu krisis hiperglikemia yang ditandai
dengan GDS yang tinggi yaitu 519. Namun masih diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu analisa gas darah, urinalisis, dan serum elektrolit untuk menentukan KAD
atau HHS.
DAFTAR PUSTAKA