Anda di halaman 1dari 4

SEHAT BERMEDIA SOSIAL, CEGAH KEKERASAN SEKSUAL

REMAJA
Oleh :
Cosmas Eko Suharyanto, S.Kom., MMSI., CIH
Dosen Teknik Informatika, Universitas Putera Batam

“Indonesia darurat kekerasan seksual”, itulah judul headline media-media


tanah air menyorot kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir
ini. Era informasi yang dibarengi dengan menjamurnya media sosial telah
memompa reaksi netizen mengekspresikan kemarahan. Diantara bombardir
ungkapan kegeraman, cacian, dan sumpah serapah, muncul juga desakan
untuk segera menerapkan hukuman kebiri bagi para pelaku. Desakan itu
semakin kuat setelah korban semakin banyak berjatuhan; setelah kasus
Yuyun, muncul lagi pemerkosaan balita di Bogor dan pembunuhan sadis
Eno di Dadap. Dari sebagian besar kasus kekerasan seksual itu, yang
mengagetkan justeru pelakunya masih remaja tanggung; umur belasan
tahun.

Media Sosial dan Kekerasan Seksual


APJII (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia) merilis: dari 88,1 juta
pengguna internet di Indonesia, 85% diantaranya diakses dari telepon
seluler. Apa yang dilakukan ketika mengakses internet? 87,4% mengaku
untuk mengakses media sosial. Tak dapat dipungkiri, media sosial yang
telah merasuk pada sendi-sendi aktivitas masyarakat akan berdampak pula
pada perilaku pemakainya, mulai dari rakyat jelata sampai pejabat, dari
anak-anak sampai lansia, dari urusan dapur rumah tangga sampai politik,
dari urusan profan sampai yang sakral.

Berbagai analisis tentang pemicu kekerasan seksual pada anak dan remaja
mengerucut pada pengaruh media sosial. Kuatnya pengaruh media sosial
khususnya pada konten pornografi terletak pada kemampuan media sosial
yang tak hanya memuat teks dan gambar, namun juga audio/video visual.
Pengaruhnya semakin kuat oleh fitur share media sosial, yang dalam
hitungan detik konten-konten pornografi akan viral tanpa filter apapun.
Data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menegaskan, khusus
kekerasan pada anak yang dipicu dari media sosial dan internet sebanyak
322 kasus di tahun 2014. Jumlahnya terus naik dari tahun 2011 sekitar 100
kasus. Kejahatan seksual lewat internet menjadi kategori kasus yang tinggi.
Sampai tahun 2014 ada 53 anak yang menjadi korban. Sementara anak
pelaku kejahatan seksual online ada 42 anak, anak korban pornografi dari
media sosial ada 163 orang. Terakhir anak pelaku kepemilikan media
pornografi di video dan diunggah di media sosial ada 64 anak.

Keluarga, Sekolah Pertama Pencegahan Kekerasan Seksual


Hampir dapat dipastikan pelaku dan korban kekerasan seksual pada anak
dan remaja memiliki benang merah adanya “masalah” pada hubungan anak
dan orang tua. Bagaimana pola komunikasi anak dan orang tua saat ini?
Kecenderungan keluarga perkotaan; ayah dan ibunya sibuk bekerja,
intensitas kedekatan dengan anak sangat terbatas. Hal itu semakin buruk
ketika di rumah pun, anak dan orang tua masing-masing sibuk dengan
gadget nya sehingga interaksipun terkikis habis. Orang tua pun perlu
mendapat warning keras untuk hal ini.

Kembali mereformasi pola komunikasi orang tua dengan anak harus


diupayakan. Pola komunikasi yang baik akan membuat anak merasa
nyaman dan aman, sehingga ruang-ruang negatif yang dialamai anak
mendapat pencerahan yang benar dari orang tua. Keteladanan orang tua
juga menjadi hal penting berikutnya; orang tua harus berani
“meninggalkan” gadget-nya dan membangun interaksi yang intens dengan
anaknya sepulang bekerja. Ketika interaksi terbangun, orang tua mendapat
ruang untuk menanamkan nilai-nilai agama dan kultur budaya; mana yang
boleh/tidak boleh, mana yang membahayakan/tidak membahayakan.
Sekolah, Meng-edukasi Internet Sehat
Di beberapa sekolah, memang ada larangan pegang ponsel/gadget pada
siswa ketika proses belajar mengajar, namun bagaimana ketika di luar?
Mereka tetap bisa memakai. Lalu bagaimana peran sekolah? justeru perlu
dilakukan penguatan edukasi tentang teknologi informasi dan media sosial.

Bagaimana meng-edukasi siswa tentang teknologi informasi dan media


sosial jika gurunya malah gaptek (gagap teknologi) ? Maka guru pun perlu
wawasan dan belajar lagi, guru tidak boleh berhenti hanya pada ilmu yang
telah diterimanya dulu. Sekolah bisa membangun kerjasama dengan
komunitas-komunitas IT, Universitas atau pemerhati IT lainnya untuk
memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang teknologi informasi dan
media sosial.

Pola komunikasi Guru-murid juga perlu dievaluasi. Guru tidak boleh


ditakuti; sebaliknya guru harus mampu mengkikis gap yang terjadi
sehingga murid tidak merasa takut untuk menceritakan (curhat) apabila
mengalami pelecehan dan atau kekerasan seksual melalui media online.

Membalik peran Media Sosial dari Pemicu menjadi Pencegah


Menjauhkan secara radikal antara anak dan gadget tampaknya hanya akan
menjadi masalah baru. Dibutuhkan sentuhan pendekatan dan pandangan
baru dalam membangun komunikasi dengan anak masa kini. Media sosial
harus dijadikan media membangun kesadaran pencegahan tentang bahaya
pelecehan/kekerasan seksual melalui media online.
Interaksi keluarga bisa ditingkatkan dengan media sosial; keluarga dapat
membuat group media sosial yang beranggotakan keluarga terdekat.
Misalnya group Whatsapp keluarga, group Facebook keluarga, BBM
keluarga, dan group media sosial lainnya. Keluarga bisa saling memantau
aktivitas online, demikian juga arus komunikasi juga semakin cepat dan
efektif.

Dengan media sosial, anak-remaja juga bisa diarahkan untuk mengikuti


page-page facebook, Instagram, channel youtube, blog-blog yang berisikan
edukasi internet sehat dan kampanye-kampanye pencegahan kekerasan
seksual. Bagi pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) dengan bekerja sama dengan Polri perlu mempunyai
sosial media toolkit/ Action Center yang juga berbasis media sosial sebagai
sarana kampanye, pelaporan dan edukasi pencegahan pelecehan/kekerasan
seksual dalam dan melalui media online. ***

Anda mungkin juga menyukai