Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

PENDIDIKAN INKLUSIF

“Jenis-Jenis Anak Kategori Luar Biasa”

Oleh:
Kelompok 1
Maria Rizky Amalia (A1I1 18 001)
Ulfiani Usman (A1I1 18 003)
Marsalina (A1I1 18 005)
Faqihah Nur Zahirah M (A1I1 18 007)
Harsan (A1I1 18 011)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, puja dan puji syukur kami panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah pendidikan inklusif tentang Jenis-jenis anak kategori luar
biasa.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar penulis dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Kendari, 4 November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................iv
1.1. Latar belakang..............................................................................................iv

1.2. Rumusan Masalah........................................................................................iv

1.3. Tujuan..........................................................................................................iv

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................1
Jenis-jenis anak kategori luar biasa....................................................................................1
2.1. Tunanetra......................................................................................................1

2.2. Tunarungu.....................................................................................................8

2.3. Tunadaksa...................................................................................................16

2.4. Anak Berbakat.............................................................................................20

2.5. Anak Lamban Belajar.................................................................................26

2.6. Tunagrahita.................................................................................................30

2.7. Anak yang Kesulitan Belajar Spesifik.......................................................35

BAB III PENUTUP.........................................................................................................41


3.1. Kesimpulan.................................................................................................41

3.2. Saran............................................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................42

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Di dunia ini, tidak semua anak adalah anak yang normal yang dapat
berinteraksi dengan baik, melihat dengan baik, memiliki anggota tubuh yang
lengkap, dan memiliki mental dan IQ yang normal. Ada juga anak anak yang
tidak dapat mendengar dengan baik, tidak dapat berbicara dengan
baik,memiliki cacat pada tubuh, memiliki IQ dibawah rata-rata, lambat
belajar dan lain lain. Disisi lain, ada pula anak berbakat yang memiliki IQ di
atas rata-rata. Anak anak ini dapat kita sebut dengan Anak Berkebutuhan
Khusus atau ABK. Untuk itu, pada makalah ini akan disajikan penjelasan
mengenai 7 anak anak yang termasuk dalam kategori anak berkebutuhan
khusus yaitu anak tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, anak berbakat, tuna
grahita, anak lama belajar (slow learning) dan anak yang kesusahan belajar
secara spesifik.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana ciri-ciri , media dan strategi pembelajaran anak-anak yang


termasuk dalam kategori anak tunanetra,,tunadaksa, anak yang berbakat, anak
yang lamban belajr, tunagrahita dan anak yang kesusahan belajar secara
spesifik?

1.3. Tujuan

Untuk megetahui ciri-ciri , media dan strategi pembelajaran anak-anak


yang termasuk dalam kategori anak tunanetra,,tunadaksa, anak yang berbakat,
anak yang lamban belajr, tunagrahita dan anak yang kesusahan belajar secara
spesifik.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

Jenis-jenis anak kategori luar biasa

2.1. Tunanetra

2.1.1. Pengertian Tunanetra

Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya


penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan
walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih
tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Pengertian tunanetra
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat
(KBBI, 1989:p.971) dan menurut literatur berbahasa Inggris visually
handicapped atau visual impaired.

2.1.2. Jenis-jenis Tunanetra

Tunanetra berdasarkan kemampuan daya pengelihatan terbagi


menjadi 3, yaitu:
a. Tunanetra berat (totally blind), yaitu keadaan dimana dua matanya
tidak berfungsi yang disebabkan pada kerusakan pada kornea mata
atau pada putusnya syaraf mata

b. Tunanetra setengah berat (pastially sighted), yaitu keadaan dimana


satu mata dari seseorang tidak berfungsi dengan baik dikarenakan
kerusakan kornea mata atau terputusnya saraf mata dari orang
tersebut.

c. Tunanetra ringan (Low Vision), yaitu suatu keadaan yang terjadi


pada penglihatan seseorang, dimana orang tersebut tidak dapat
melihat wujud asli dari suatu benda melainkan hanya berupa
bayangan yang kabur dan itupun apabila disekitar benda tersebut

1
terdapat banyak cahaya. Low Vision yang semakin parah akan
menyebabkan kebutaan total.
Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan:
a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir Adalah individu yang dilahirkan
dalam keadaan tanpa pengelihatan, sehingga mereka tidak memiliki
pengalaman pengelihatan.

b. Tunanetra setelah lahir atau pada usia dini Adalah individu yang
sempat memiliki pengelihatan, tapi pengelihatannya hilang di usia
dini. Tunanetra jenis ini telah memiliki kesan-kesan serta
pengalaman visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.

c. Tunanetra pada usia sekolah atau remaja Adalah individu yang


miliki kemampuan dan pengalaman visual dan kehilangan
kemampuan pengelihatannya pada usia remaja. Individu yang
kehilangan pengelihatan pada usia remaja seperti ini biasanya
meninggalkan pengaruh positif dan negatif yang mendalam dalam
proses perkembangan pribadinya. Pengaruh negatif yang timbul bisa
berupa pengurungan diri dari dunia luar dan percobaan bunuh diri
sebagai bentuk penolakan pada takdir. Pengaruh positif yang muncul
adalah menjadikan remaja tersebut tumbuh sebagai remaja yang
tangguh.

d. Tunanetra pada usia dewasa Adalah individu yang kehilangan


kemampuan pengelihatannya pada usia dewasa. Biasanya, tunanetra
jenis ini memiliki kesadaran untuk melakukan berbagai latihan
penyesuaian diri terhadap ketunanetraannya.

Berdasarkan pemeriksaan klinis

2
a. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman pengelihatan antara 20/70
sampai dengan 20/200, dan pengelihatannya dapat diperbaiki melalui
beberapa alat bantu
b. Tunanetra yang memiliki ketajaman pengelihatan kurang dari 20/200
dan atau memiliki bidang pengelihatan kurang dari 20 derajat.
c. Astigmatisma Adalah individu yang memiliki gangguan dalam
bentuk kornea matanya yang tidak teratur dan berpengaruh pada
kesimetrisan pengelihatan. Sehingga perlu diperbaiki dengan
kacamata silinder.

Berdasarkan kelainannya

a. Myopia (rabun jauh) Adalah individu yang memiliki hambatan


melihat objek dalam jarak jauh dan masih bisa diperbaiki dengan
kacamata minus.
b. Hypermiopi (rabun dekat) Adalah individu yang memiliki hambatan
melihat objek dalam jarak dekat dan masih bisa diperbaiki dengan
kacamata plus.

2.1.3. Ciri-Ciri Anak Tunanetra

Ciri-ciri anak tunanetra, yaitu:


a. Tidak mampu melihat

b. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter

c. Kerusakan nyata pada kedua bola mata

d. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan

e. Mengalami kesulitan saat mengambil benda kecil disekitarnya

f. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/bersisik/kering

3
g. Peradangan hebat pada kedua bola mata

h. Mata bergoyang terus

2.1.4. Karakteristik anak tunanetra

Anak yang mengalami keterbatasan penglihatan memiliki


karakteristik atau ciri khas. Karakteristik tersebut merupakan implikasi
dari kehilangan informasi secara visual. Menurut Sari Rudiyati (2002:
34-38) karakteristik anak tunanetra yaitu:
a. Rasa curiga terhadap orang lain, maksudnya Tidak berfungsinya
indera penglihatan berpengaruh terhadap penerimaan informasi
visual saat berkomunikasi dan berinteraksi. Seorang anak tunanetra
tidak memahami ekspresi wajah dari teman bicaranya atau hanya
dapat melalui suara saja. Hal ini mempengaruhi saat teman bicaranya
berbicara dengan orang lainnya secara berbisik-bisik atau kurang
jelas, sehingga dapat mengakibatkan hilangnya rasa aman dan cepat
curiga terhadap orang lain. Anak tunanetra perlu dikenalkan dengan
orang-orang di sekitar lingkungannya terutama anggota keluarga,
tetangga, masyarakat sekitar rumah, sekolah dan masyarakat sekitar
sekolah.

b. Perasaan mudah tersinggung, maksudnya, perasaan mudah


tersinggung juga dipengaruhi oleh keterbatasan yang ia peroleh
melalui auditori/ pendengaran. Bercanda dan saling membicarakan
agar saat berinteraksi dapat membuat anak tunanetra tersinggung.
Perasaan mudah tersinggung juga perlu diatasi dengan
memperkenalkan anak tunanetra dengan lingkungan sekitar. Hal ini
untuk memberikan pemahaman bahwa setiap orang memiliki
karakteristik dalam bersikap, bertutur kata dan cara berteman. Hal
tersebut bila diajak bercanda, anak tunanetra dapat mengikuti tanpa
ada perasaan tersinggung bila saatnya ia yang dibicarakan.

4
c. Verbalisme, maksudnya Pengalaman dan pengetahuan anak
tunanetra pada konsep abstrak mengalami keterbatasan. Hal ini
dikarenakan konsep yang bersifat abstrak seperti fatamorgana,
pelangi dan lain sebagainya terdapat bagian-bagian yang tidak dapat
dibuat media konkret yang dapat menjelaskan secara detail tentang
konsep tersebut, sehingga hanya dapat dijelaskan melalui verbal.
Anak tunanetra yang mengalami keterbatasan dalam pengalaman dan
pengetahuan konsep abstrak akan memiliki verbalisme, sehingga
pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkan kata-kata saja (secara
verbal) pada konsep abstrak yang sulit dibuat media konkret yang
dapat menyerupai.

d. Perasaan rendah diri, maksudnya Perasaan rendah diri, keterbatasan


yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada konsep dirinya.
Implikasi keterbatasan penglihatan yaitu perasaan rendah diri untuk
bergaul dan berkompetisi dengan orang lain. Hal ini disebabkan
bahwa penglihatan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
memperoleh informasi. Perasaan rendah diri dalam bergaul terutama
dengan anak awas. Perasaan tersebut akan sangat dirasakan apabila
teman sepermainannya menolak untuk bermain bersama.
e. Adatan, maksudnya Adatan merupakan upaya rangsang bagi anak
tunanetra melalui indera nonvisual. Bentuk adatan tersebut misalnya
gerakan mengayunkan badan ke depan ke belakang silih berganti,
gerakan menggerakkan kaki saat duduk, menggeleng- gelengkan
kepala, dan lain sebagainya. Adatan dilakukan oleh anak tunanetra
sebagai pengganti apabila dalam suatu kondisi anak yang tidak
memiliki rangsangan baginya.

f. Suka berfantasi, maksudnya implikasi dari keterbatasan penglihatan


pada anak tunanetra yaitu suka berfantasi. Hal ini bila dibandingkan
dengan anak awas dapat melakukan kegiatan memandang, sekedar
melihat-lihat dan mencari informasi saat santai atau saat-saat

5
tertentu. Kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh anak
tunanetra, sehingga anak tunanetra hanya dapat berfantasi saja.

g. Berpikir kritis, maksudnya Keterbatasan informasi visual dapat


memotivasi anak tunanetra dalam berpikir kritis terhadap suatu
permasalahan. Hal ini bila dibandingkan anak awas dalam mengatasi
permasalahan memiliki banyak informasi dari luar yang dapat
mempengaruhi terutama melalui informasi visual. Anak tunanetra
akan memecahkan permasalahan secara fokus dan kritis berdasarkan
informasi yang ia peroleh sebelumnya serta terhindar dari pengaruh
visual (penglihatan) yang dapat dialami oleh orang awas.
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda
jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra
ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat
pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka
lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan
sebagainya.

h. Pemberani, maksudnya pada anak tunanetra yang telah memiliki


konsep diri yang baik, maka ia memiliki sikap berani dalam
meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan
pengalamannya. Sikap pemberani tersebut merupakan konsep diri
yang harus dilatih sejak dini agar dapat mandiri dan menerima
keadaan dirinya serta mau berusaha dalam mencapai cita-cita.

2.1.5. Media pembelajaran

Media pembelajaran adalah alat yang digunakan dalam proses


belajar/mengajar, yang dapat menyalurkan pesan dan    menstimulasi
proses belajar, sehingga materi yang disampaikan dapat dengan mudah
dimengerti dan dipahami oleh anak. Pemanfaatan media pembelajaran

6
bagi anak tunanetra (A) Media pembelajaran yang dapat digunakan bagi
anak tunanetra adalah sebagai berikut :
a. Tulisan braille, serta buku-buku yang menggunakan huruf braille.
Misalnya dalam pelajaran bahasa indonesia, anak tunanetra tentunya
harus menggunakan huruf braille dalam menulis serta membaca isi
bacaan.

b. Miniature binatang atau hewan, media ini biasanya digunakan pada


pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Namun dalam
pelaksanaannya, guru harus menjelaskan bahwa miniature tersebut
merupakan bentuk kecil dari contoh binatang yang sedang
dipelajarinya.
c. Peta timbul, media ini digunakan dalam pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS)
d. Alat-alat musik, media tersebut digunakan dalam pembelajaran
kesenian. Dimana guru menyuruh mereka untuk meraba bentuk dari
setiap jenis alat musik yang telah dipalajari.
e. Dalam pembelajaran matematika, khususnya materi konsep tentang
bangun ruang, anak disuruh meraba bentuk bangun ruang yang telah
disediakan oleh guru.
f. Puzzel buahan-buahan, dengan puzzel ini tunanetra dapat
mengetahui bentuk tiruan dari buahan-buahan yang dirabanya.

7
g. Radio, media ini juga  cukup efektif digunakan oleh tunanetra.
Dengan adanya radio, seorang tunanetra dapat menerima informasi
yang disiarkan melalui radio.
h. Kamus bicara, alat ini adalah kamus yang sudah dilengkapi dengan
audio sehingga tunanetra dapat mendengarkan output suara dari alat
tersebut.
i. Komputer atau laptop yang sudah dilengkapi dengan screenreader
(software pembaca layar). Dengan software ini, tulisan-tulisan yang
ada di layar komputer dapat dibaca oleh software tersebut. Sehingga
tunanetra dapat mendengarkan suara yang dihasilkan dari software
tersebut.
Dengan demikian, baik dalam teori atau praktek, media yang
digunakan untuk anak tuna netra lebih spesifik atau lebih mengutamakan
indera pendengaran dan indera perabaan guna menyamakan persepsi
mereka.

2.1.6. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Tunanetra

Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara


tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses
pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode,
siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses
pembelajaran berjalan dengan efektif dan efesien. Beberapa hal yang
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi
pembelajaran , antara lain:
a. Berdasarkan pengolahan pesan terdapat dua strategi yaitu strategi
pembelajaran deduktif dan induktif.
b. Berdasarkan pihak pengolah pesan yaitu strategi pembelajaran
ekspositorik dan heuristic.
c. Berdasarkan pengaturan guru yaitu strategi pembelajaran dengan
seorang guru dan beregu.

8
d. Berdasarkan jumlah siswa yaitu strategi klasikal, kelompok kecil dan
individual.
e. Beradsarkan interaksi guru dan siswa yaitu strategi tatap muka, dan
melalui media.
Selain strategi yang telah disebutkan di atas, ada strategi lain yang
dapat diterapkan yaitu strategi individualisasi, kooperatif dan modifikasi
perilaku.

2.2. Tunarungu

2.2.1. Pengertian

Andreas Dwidjosumarto (dalam Sutjihati Somantri, 1996: 74)


mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu
mendengar suara dikatakan . Istilah diambil dari kata “tuna” dan
“rungu”, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang
dikatakan apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu
mendengar suara.

Murni Winarsih (2007: 22) mengemukakan bahwa adalah suatu


istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan
sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar.

Tin Suharmini (2009: 35) mengemukakan dapat diartikan sebagai


keadaan dari seorang individu yang mengalami kerusakan pada indera
pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai
rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran.

Jadi, anak adalah anak yang memiliki gangguan dalam


pendengarannya, baik secara keseluruhan ataupun masih memiliki sisa

9
pendengaran. Meskipun anak sudah diberikan alat bantu dengar, tetap
saja anak masih memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

2.2.2. Kategori

Tunarunggu dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu


tingkat kehilangan pendengaran, saat terjadinya kean, letak gangguan
pendengaran secara anatomis serta etimologi.
Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang diperoleh melalui
tes dengan menggunakan audiometer, kean dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Ringan (Mild Hearing Loss), Siswa yang tergolong ringan
mengalami kehilangan pendengaran antara 27 – 40 dB. Ia sulit
mendengar suara yang jauh membutuhkan tempat duduk yang
letaknya strategis.
b. Sedang (Moderate Hearing Loss), Siswa yang tergolong sedang
mengalami kehilangan pendengaran antara 41 – 55 dB. Ia dapat
mengerti percakapan dari jarak 3 – 5 feet secara berhadapan (face to
face), tetapi tidak dapat mengikuti diskusi kelas. Ia membutuhkan
alat bantu dengar serta terapi bicara.
c. Agak Berat (Moderatly Severe Hearing Loss), Siswayang tergolong
agak berat mengalami pendengaran antara 56 – 70 dB. Ia hanya
dapat mendengar suara dari jarak dekat, sehingga ia perlu
menggunakan hearing aid. Kepada anak tersebut perlu diberikan
latihan pendengaran serta latihan untuk mengembangkan
kemampuan bicara dan bahasannya.
d. Berat (Severe Hearing Loss), Siswa yang tergolong berat
mengalami kehilangan pendengaran antara 71 – 90 dB. Sehingga ia
hanya dapat mendengar suara-suara yang keras dari jarak dekat.
Siswa tersebut membutuhkan pendidikan khusus secara intensif,

10
alata bantu dengar, serta latihan untuk mengembangkan kemampuan
bicara dan bahasannya.
e. Berat Sekali (Prof ound Hearing Loss), Siswa yang tergolong berat
sekali mengalami kehilangan pendengaran lebih dari 90 dB.
Mungkin ia masih mendengar suara yang keras, tetapi ia lebih
menyadari suara melalui getarannya (vibratios) dari pada melalui
pola suara. Ia juga lebih mengandalkan penglihatannya dari pada
pendengarannya dalam berkomunikasi, yaitu melalui penggunaan
bahasa isyarat dan membaca ujaran.

Berdasarkan saat terjadinya, kean dapat diklasifikasikan sebagai


berikut:
a. Kean prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran
yang terjadi sebelum kemampuan bicara dan bahasa berkembang.
b. Kean pasca bahasa (post lingual deafness), yaitu kehilangan
pendengaran yang terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara
dan bahasa berkembang.

Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, kean


dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh


terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah yang
berfungsi sebagai alat konduksi atau penghantar getaran suara
menuju telinga bagian dalam.
b. tipe sensorineural, yaitu yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan
pada telinga dalam serta syaraf pendengaran (Nervus Chochlearis)
c. tipe campuran yang merupakan gabungan tipe konduktif dan
sensorineural, artinya kerusakan terjadi pada telinga luar/tengah
dengan telinga dalam/syaraf pendengaran.

11
Berdasarkan etiologi atau asal usulnya kean diklasifikasikan sebagai
berikut1:

a. endogen, yaitu endogen yang disebabkan oleh faktor genetik


(keturunan)
b. eksogen, yaitu yang disebabkan oleh faktor nongenetik (bukan
keturunan)

2.2.3. Ciri – Ciri

Berikut ciri-ciri anak yang menderita :


a. Tidak mampu mendengar
b. Terlambat perkembangan bahasa
c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi
d. Kurang/tangga bila diajak bicara
e. Ucapan kata tidak jelas
f. Kualitas suara aneh/monoton
g. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar
h. Banyak perhatian terhadap getaran
i. Keluar nanah dari keluar telinga
j. Terdapat kelainan organis telinga

2.2.4. Karakteristik Anak Tunarungu

a. Perkembangan Bicara dan Bahasa


Kesulitan berkomunikasi yang dialami anak , mengakibatkan mereka
memiliki kosakata yang terbatas, sulit mengartikan ungkapan-
ungkapan bahasa yang mengandung kiasan, sulit mengartikan kata-
kata abstrak, serta kurang menguasai irama dan gaya bahasa.
b. Kemampuan Akademis
Perkembangan kecerdasan anak tidak sama cepatnya dengan mereka
yang mendengar. Anak yang mendengar belajar banyak dari apa
1

12
yanag didengarnya, misalnya cerita kakak tentang kota, cerita ibu
tentang pasar, dan sebagainya. Anak menyerap dari segala yang
didengarnya dan segala sesuatu yang didengarnya itu merupakan
suatu latihan berpikir. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi pada
anak . Di samping itu, bahasa merupakan kunci masuknya berbagai
ilmu pengetahuan sehingga keterbasan dalam kemampuan berbahasa
menghambat anak untuk memahami berbagai pengetahuan lainnya.
c. Sosial-Emosional
Dapat menyebabkan perasaan terasing dari pergaulan sehari-hari.
Pada umumnya keluarga yang mempunyai anak mengalami banyak
kesulitan untuk melibatkan anak tersbut dalam keadaan dan kejadian
sehari-hari agar ia tahu dan mengerti apa yang terjadi di
lingkungannya. Di samping itu, kekurangan pemahaman terhadap
bahasa lisan dan tulisan sering kali menyebabkan anak menafsirkan
segala sesuatu itu negatif atau salah. Keadaan seperti itu
menyebabkan anak memiliki kecenderungan untuk bersikap yang
mengarah pada kesulitan dalam penyesuaian diri. Namun, apabila
keluarga memberikan perhatian dan dukungan yang penuh serta
melaksanakan intervensi dini, anak dapat lebih menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Sikap-sikap yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
a. Pergaulan yang terbatas sesama
b. Memiliki sifat egosentris yang melebihi anak normal
c. Memiliki perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar
d. Perhatian anak sukar dialihkan
e. Memiliki sifat polos

2.2.5. Media Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu

a. Media Stimulasi Visual


1) Cermin artikulasi, yang digunakan untuk mengembangkan feed
back visual, dengan melihat/mengontrol gerakan organ artikulasi

13
diri siswa itu sendiri, maupun dengan menyamakan
gerakan/posisi organ artikulasi dirinya dengan posisi organ
artikulasi guru.
2) Benda asli maupun tiruan
3) Gambar, baik gambar lepas maupun gambar kolektif.
4) Pias kata

14
Sumber : https://www.katabaca.com/baca-tulis-hitung/baca-
online-buku-60-langkah-60-hari-aku-pintar-membaca-dan-
menulis/attachment/aku-pintar-membaca-menulis36

5) Gambar disertai tulisan, dsb.


d. Media Stimulasi Auditoris
1) Speech Trainer, yang merupakan alat elektronik untuk melatih
bicara anak dengan hambatan sensori pendengaran

Sumber : https://www.indiamart.com/proddetail/device-speech-
therapy-auditory-speech-trainer-19636439548.html

1) Alat musik, seperti: drum, gong, suling, piano/organ/


harmonika, rebana, terompet, dan sebagainya.
2) Tape recorder untuk memperdengarkan rekaman bunyi-
bunyi latar belakang, seperti : deru mobil, deru motor, bunyi
klakson mobil maupun motor, gonggongan anjing dsb.
3) Berbagai sumber suara lainnya , antara lain :

15
 Suara alam : angin menderu, gemercik air hujan, suara
petir,dsb.
 Suara binatang : kicauan burung, gongongan anjing,
auman harimau, ringkikan kuda, dsb.
 Suara yang dibuat manusia : tertawa, batuk, tepukan
tangan, percakapan, bel, lonceng, peluit,dsb.
4) Sound System, yaitu suatu alat untuk memperkeras suara.
5) Media dengan sistem amplifikasi pendengaran, antara lain
ABM, Cochlear Implant dan loop system.

2.2.6. Strategi Pembelajaran Bagi Anak

Strategi yang biasa digunakan untuk anak antara lain: strategi


deduktif, induktif, heuristic, ekspositorik, klasikal, kelompok, individual,
kooperatif dan modifikasi perilaku.

2.3. Tunadaksa

2.3.1. Pengertian Tunadaksa

Tunadaksa adalah seseorang yang mengalami masalah / kelainan


pada alat gerak tubuhnya. Kondisi ini bisa saja berupa cacat permanen,
terutama pada anak yang memang mengalami masalah tersebut sejak
lahir. Seorang anak tunadaksa biasanya akan membutuhkan seorang
pendamping dan juga pendidikan khusus untuk melatih gerak tubuhnya.
Ciri-ciri tunadaksa

2.3.2. Ciri-ciri dan Karakteristik Anak tunadaksa

Ciri-ciri anak tunadaksa :


a. Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh

16
b. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna,tidak lentur/tidak
terkendali)
c. Terdapat bagian angggota gerak yang tidak lengkap/tidak
sempurna/lebihh kecil dari biasanya
d. Terdapat cacat pada alat gerak
e. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam
f. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap
tubuh tidak normal
g. Hiperaktif/tidak dapat tenang

2.3.3. Karakteristik anak Tunadaksa

Adapun karakeristik anak tunadaksa, sebagai berikut:

a. Karakteristik akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang
mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal,
sehingga dapat mengikuti pelajaran yang sama dengan anak normal,
adapun anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy
sampai dengan gifted.
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi, anak cerebral palsy
mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan
persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak
mengalami kerusakan, sehingga proses persepsi yang dimulai dari
rangsangan stimulus, diteruskan ke otak oleh saraf sensoris,
kemudian ke otak yang mengalami gangguan. Kemampuan kognisi
terbatas karena adanya kerusakan otak, sehingga menganggu fungsi
kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa,
serta akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi
dengan lingkungan yang terjadi terus menerus melalui persepsi

17
dengan menggunakan media sensori. Gangguan pada simbolisasi
disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang
didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan
mempengaruhi prestasi akademik.
b. Karakteristik sosial dan emosional
Karakteristik sosial dan emosional anak tunadaksa bermula dari
konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan
menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar
dan bermain. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang
tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan
pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak
tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya masalah emosi, seperti
mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul,
pemalu, menyendiri, dan frustasi. Masalah emosi tersebut, banyak
ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral.
Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya
diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
c. Karakteristik fisik dan kesehatan
Karakteristik fisik dan kesehatan anak tunadaksa biasanya selain
mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan
lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan,
gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak
ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara
disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh),
seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga menganggu pembentukan
artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami
orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga
mengalami aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan bicara karena
organ reseptor anak terganggu fungsinya dan aphasia motorik, yaitu
mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui
indera pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi

18
secara lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada
pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungsi mengatur sistem
motorik. Tidak heran mereka mengalami kekauan, gangguan
keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan susah
berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas
gangguannya dikelompokkan atas 1) hiperaktif yang menunjukkan
tidak mau diam dan gelisah, 2) hipoaktif yang menunjukkan sikap
pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan yang
diberikan, dan 3) tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku,
sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan interaksi gerak yang
lebih halus, seperti menulis, menggambar, dan menari.

2.3.4. Klasifikasi Anak Tunadaksa


Penggolongan anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot
dan rangka, dikategorikan sebagai berikut:
a. Poliomyelitis, merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang
belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan
kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang
rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi:
 Tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada,
tangan, dan kaki
 Tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau
lebih saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan pernapasan;
 Tipe encephalitis, yaitu ditandai dengan demam, kesadaran
menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak
menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat-alat indera. Akibat
penyakit ini otot menjadi kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf,
adanya kekauan sendi (kontraktur), pemendekan anggota gerak,
tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, seperti huruf S
(scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke arah luar

19
atau ke dalam, dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), dan
lutut melenting ke belakang (genu recorvatum).
b. Muscle dytrophy
Jenis penyakit ini mengakibatkan otot tidak berkembang karena
mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan sistemsis.
Penyakit ini ada hubungannya dengan faktor keturunan.
c. Spina Bifida
Penyakit ini merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang
ditandai dengan terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang dan
tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya,
fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan
kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena
produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan
ketungrahitaan.

Klasifikasi anak tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak


tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped), dan anak tunadaksa
saraf (neurologically handicapped).Sedangkan menurut France G.
Koening yang dikutip oleh Sutjihati Somantri menyebutkan klasifikasi
untuk anak tunadaksa antara lain club-foot (kaki seperti tongkat), club-
hand (tangan seperti tongkat), polydactylism (jari yang lebih dari lima
pada masing masing tangan atau kaki), syndactylism (jari-jari yang
berselaput atau menempel satu dengan lainnya), torticolis (gangguan
pada leher sehingga kepala terkulai ke muka), spina-bifida (sebagian dari
sum-sum tulang belakang tidak tertutup), cretinism (kerdil),
mycrocephalus (kepala yang kecil atau tidak normal), hydrocephalus
(kepala yang besar karena berisi cairan), clefpalats (langit-langit mulut
yang berlubang), herelip (gangguan pada bibir dan mulut), congenital hip
dislocation (kelumpuhan pada bagian paha), congenital amputation (bayi
yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu), fredresich ataxia
(gangguan pada sum-sum tulang belakang), coxa valga (gangguan pada

20
sendi paha terlalu besar), syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat
penyakit syphilis).

2.3.5. Strategi pembelajaran anak Tunadaksa

Strategi yang bias diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui


pengorganisasian tempat pendidikan, sebagai berikut:
a. Pendidikan integrasi (terpadu)
b. Pendidikan segresi (terpisah)
c. Penataan lingkungan belajar

2.4. Anak Berbakat

2.4.1. Pengertian Anak Berbakat

Menurut Terman, anak berbakat adalah anak yang memiliki IQ di


atas 140 atau anak yang termasuk superior.

Menurut Utami Munandar, seorang pendidik anak berbakat di


Indonesia anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi tertentu.
Anak berbakat menurut Munandar umumnya meiliki IQ di atas rata-rata
minimal 130.

US Office of Education (USOE), dalam Marland


(1971), menyepakati yang dimaksud dengan anak berbakat adalah anak
yang diidentifikasi oleh orang-orang profesional, di mana anak tersebut
karena kemampuannya yang sangat menonjol dapat memberikan prestasi
yang tinggi. USOE menekankan bahwa anak berbakat diperkirakan
mampu menunjukkan prestasi keberbakatannya dan mampu
mengaplikasikan keberbakatannya untuk sekitarnya. Sehingga,
keberbakatannya dapat membawa manfaat untuk negaranya.

21
Dalam Seminar Nasional Pengembangan Pendidikan Luar Biasa
yang dilakukan 15-17 September 1980 silam, dibuat suatu kesimpulan
bahwa yang masuk dalam kategori anak berbakat adalah anak yang oleh
orang-orang profesional diidentifikasi sebagai anak yang mampu
mencapai prestasi tinggi karena mempunyai kemampuan yang unggul.

2.4.2. Ciri-Ciri Anak berbakat

Ciri-ciri anak berbakat menurut Martinson (1974) adalah sebagai berikut:

 Gemar membaca pada usia lebih muda

 Membaca lebih cepat dan lebih banyak

 Memiliki perbendaharaan kata yang luas

 Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat

 Mempunyai minat yang luas, juga terhadap masalah “dewasa”

 Mempunyai inisiatif, dapat bekerja sendiri

 Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal

 Memberi jawaban-jawaban yang baik

 Dapat memberikan banyak gagasan

22
 Luwes dalam berpikir

 Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan

 Mempunyai pengamatan yang tajam

 Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap


tugas atau bidang yang diminati

 Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri

 Senang mencoba hal-hal baru

 Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi

 Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah

 Cepat menangkap hubungan-hubungan (sebab akibat)

 Berperilaku terarah kepada tujuan

 Mempunyai daya imajinasi yang kuat

 Mempunyai banyak kegemaran (hobi)

 Mempunyai daya ingat yang kuat

 Tidak cepat puas dengan prestasinya

23
 Peka (sensitif) dan menggunakan firasat (intuisi)

 Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.

2.4.3. Karakteristik Anak Berbakat

a. Karakteristik Intelektual-Kognitif

1. Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-


gagasan yang tidak lazim, pikiran-pikiran kreatif.

2. Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan


menjadi suatu konsep yang utuh.

3. Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.

4. Mampu menggeneralisir suatu masalah yang rumit menjadi suatu


hal yang sederhana dan mudah dipahami.

5. Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan


masalah.

6. Menunjukkan daya imajinasi yang luar bisaa.

7. Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu


mengartikulasikannya dengan baik.

8. Bisaanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau


merangkai kata-kata.

9. Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang


diberikan.

10. Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang
kuat.

24
11. Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika
dan/atau sains.

12. Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat

13. Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.

14. Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.

15. Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan


dalam waktu yang bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan
yang lainnya.

b. Karakteristik Persepsi/Emosi

1. Sangat peka perasaannya.

2. Menunjukkan gaya bercanda atau humor yang tidak lazim (sinis,


tepat sasaran dalam menertawakan sesuatu hal tapi tanpa terasa
dapat menyakiti perasaan orang lain).

3. Sangat perseptif dengan beragam bentuk emosi orang lain (peka


dengan sesuatu yang tidak dirasakan oleh orang-orang lain).

4. Memiliki perasaan yang dalam atas sesuatu.

5. Peka dengan adanya perubahan kecil dalam lingkungan sekitar


(suara, aroma, cahaya).

6. Pada umumnya introvert.

7. Memandang suatu persoalan dari berbagai macam sudut pandang.

8. Sangat terbuka dengan pengalaman atau hal-hal baru

9. Alaminya memiliki ketulusan hati yang lebih dalam dibanding


anak lain.

c. Karakteristik Motivasi dan Nilai-Nilai Hidup

25
1. Menuntut kesempurnaan dalam melakukan sesuatu
(perfectionistic).

2. Memiliki dan menetapkan standar yang sangat tinggi bagi diri


sendiri dan orang lain.

3. Memiliki rasa ingin tahu dan kepenasaran yang sangat tinggi.

4. Sangat mandiri, sering merasa tidak perlu bantuan orang lain,


tidak terpengaruh oleh hadiah atau pujian dari luar untuk
melakukan sesuatu (self driven).

5. Selalu berusaha mencari kebenaran, mempertanyakan dogma,


mencari makna hidup.

6. Melakukan sesuatu atas dasar nilai-nilai filsafat yang seringkali


sulit dipahami orang lain.

7. Senang menghadapi tantangan, pengambil risiko, menunjukkan


perilaku yang dianggap “nyerempet-nyerempet bahaya” .

8. Sangat peduli dengan moralitas dan nilai-nilai keadilan,


kejujuran, integritas.

9. Memiliki minat yang beragam dan terentang luas. 

d. Karakteristik Aktifitas

1. Punya energi yang seolah tak pernah habis, selalu aktif


beraktifitas dari satu hal ke hal lain tanpa terlihat lelah.

2. Sulit memulai tidur tapi cepat terbangun, waktu tidur yang lebih
sedikit dibanding anak normal.

3. Sangat waspada.

4. Rentang perhatian yang panjang, mampu berkonsentrasi pada satu


persoalan dalam waktu yang sangat lama.

5. Tekun, gigih, pantang menyerah.

26
6. Cepat bosan dengan situasi rutin, pikiran yang tidak pernah diam,
selalu memunculkan hal-hal baru untuk dilakukan.

7. Spontanitas yang tinggi.

e. Karakteristik Relasi Sosial

1. Umumnya senang mempertanyakan atau menggugat sesuatu yang


telah mapan.

2. Sulit melakukan kompromi dengan pendapat umum.

3. Merasa diri berbeda, lebih maju dibanding orang lain, merasa


sendirian dalam berpikir atau pada saat merasakan suatu bentuk
emosi.

4. Sangat mudah jatuh iba, empatik, senang membantu.

5. Lebih senang dan merasa nyaman untuk berteman atau berdiskusi


dengan orang-orang yang usianya jauh lebih tua.

2.4.4. Strategi Pembelajaran Anak Berbakat

Strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berbakat


sangat mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam menentukan strategi pembelajaran adalah
sebagai berikut.
1. Pembelajaran anak berbakat harus diwarnai dengan kecepatan dan
tingkat kompleksitas yang lebih sesuai dengan kemampuannya yang
lebih tinggi dari anak normal.  
2. Pembelajaran pada anak berbakat tidak saja mengembangkan
kecerdasan intelektual semata, tetapi pengembangan kecerdasan
emosional juga patut mendapat perhatian.
3. Pembelajaran anak berbakat berorientasi pada modifikasi proses,
isi/content, dan  produk.

27
2.5. Anak Lamban Belajar

2.5.1. Pengertian Anak Lamban Belajar (Slow Learner)

Anak dengan lamban belajar adalah siswa yang lambat dalam proses
belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan
sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang
sama. Lamban belajar  adalah siswa yang kurang mampu menguasai
pengetahuan dalam batas waktu yang telah ditentukan karena ada faktor
tertentu yang mempengaruhinya.

2.5.2. Ciri–Ciri Anak Lamban Belajar

Roldan dalam bukunya Learning Disabilities and Their Relation to


Reading, mengemukakan pendapatnya bahwa ciri-ciri umum siswa
lamban belajar adalah sebagai berikut :

 Siswa lamban belajar memiliki rentang perhatian yang rendah,


bertingkah bingung dan kacau.

 Derajat aktifitas siswa lamban belajar rendah

 Kurang mampu menyimpan huruf dan kata pada ingatannya dalam


waktu lama.

 Kurang mampu menyimpan pengetahuan hasil pendengaran.

28
 Kurang mampu membedakan huruf, angka dan suara.

 Tidak suka menulis dan membaca

 Tidak sanggup mengikuti penjelasan yang bersifat ganda.

 Tingkah laku yang berubah-ubah dari hari ke hari.

 Suka terdorong oleh perasaan emosional dalam pergaulan, mudah


marah dan tersinggung.

 Kurang mampu melakukan koordinasi dengan lingkungannya.

 Penampilannya kasar.

 Kurang mampu bercerita dan sulit membedakan kiri dan kanan.

 Lambat dalam perkembangan berbicara.

 Susah memahami kata dan konsep

 Sulit akrab dengan orang dan benda.

 Kemampuan berbicaranya terbatas pada satu pokok persoalan.

 Mereaksi tidak cermat terhadap aksi yang datang dari luar.

 Siswa lamban belajar sulit menyesuaikan diri terhadap perubahan-


perubahan yang terjadi dalam lingkungannya.

29
2.5.3. Karakteristik Anak Lamban Belajar

Untuk memahami anak slow learner (lambat belajar) ini ada baiknya
kalau kita memahami konsep MA (Mental Age). Mental Age adalah
kemampuan mental yang dimiliki seseorang pada usia-usia tertentu.
Anak yang mempunyai intelegensi yang normal umur mental harus
sepadan dengan umur kalender (Cronological Age). Jadi seseorang yang
berumur 7 tahun akan memiliki umur mental 7 tahun pula. Apabila umur
mentalnya 6 tahun, maka intelegensinya ada di bawah rata-rata
perhitungan IQ.

Menurut William Stern dalam Suharmini, 2001 digunakan rasio


antara MA dan CA, yaitu:

IQ = MA/ CA x 100

Berikut ini distribusi normal dari intelegensi (dengan rata-rata 100


dan penyimpangan baku 15) menurut Wechsler:

Klasifikasi Intelegensi berdasarkan Tes Intelegensi Standard Binet.

Klasif
IQ
ikasi
130 Very
keatas Superior
120 Super
– 129 ior

30
110 Brigh
– 119 Normal
90 – Avera
109 ge
80 – Dull
89 Normal
70 – Borde
79 rline
69
Defec
kebawa
tive
h

Klasifikasi Intelegensi berdasarkan Tes Intelegensi Standard Binet.

IQ Klasifikasi
130 Very
keatas Superior
120
Superior
– 129
110 High
– 119 Average
90 –
Average
109
80 – Low
89 Average
70 – Borderline
79 Defective
69
Mentally
kebawa
Defective
h

31
Dengan melihat klasifikasi ini berarti anak lambat belajar
mempunyai intelegensi sekitar 80 – 90, atau berdasarkan klasifikasi
Raven tergolong Grade IV.

Transley dan R. Gulliford (1971: 4) menjelaskan bahwa karakteristik


siswa lambat belajar (Slow Learner) adalah sebagai berikut.

a. Keadaan fisik pada umumnya sama dengan murid-murid normal.


Dengan melihat keadaan fisiknya saja tidak dapat dibedakan mana
yang normal dan mana yang lambat belajar. Para ahli baru dapat
membedakan antara murid belajar dengan murid normal setelah
menagdakan pengamatan dan tes psikologi.
a. Kemampuan berfikirnya agak rendah, sehingga lamban dalam
memecahkan masalah-masalah yang sederhana. Hal ini
menyebabkan mereka kalh bersaing dengan teman-temannya yang
normal.
b. Ingatannya agak lemah dan tidak tahan lama. Mereka lekas lupa dan
biasanya tidak mampu mengingat-ingat suatu peristiwa yang terjadi
tiga tahun yang lewat. Dalam proses belajar mengajar di sekolah, apa
yang diterangkan oleh guru hari ini biasanya satu minggu kemudian
sudah terlupakan. Lebih lagi dalam mengingat-ingat isi buku
pelajaran yang telah dipelajari sendiri. Kalau murid-murid normal
dapat mengingat isi pelajaran lebih kurang 50% setelah membaca
dua kali, maka murid lambat belajar hanya mampu mengingat 25%
saja.
c. Dalam menuntut pendidikan di sekolah dasar banyak yang
mengalami putus sekolah. Enam puluh persen di antara murid-murid
yang putus sekolah tergolong murid yang lambat belajar. Lebih dari

32
separoh nilai rapornya merah. Kalau guru mengeahui masalahnya
dan selanjutnya memberikan bimbingan dan bantuan seperlunya
maka putus sekolah 60% itu dapat dikurangi. Biarpun agak
terlambat, mereka akan dapat menyelesaikan pendidikannya di
sekolah dasar. Setelah tamat sekolah dasar, mereka dapat diarahkan
untuk memasuki balai latihan atau sekolah kejuruan yang lebih
singkat.
d. Dalam kehidupan di rumah tangga, murid lambat belajar masih
mampu berkomunikasi dan bergaul secara baik dengan saudara-
saudaranya. Mereka dapat belajar sendiri melakukan pekerjaan-
pekerjaan dalam tata kehidupan keluarga.
e. Emosinya kurang terkendali, suka mementingkan diri sendiri. Inilah
sebabnya mengapa sering timbul perselisihan dengan teman-
temannya. Perasaan mudah terpengaruh oleh orang lain dan
lingkungannya. Tidak mempunyai pendirian yang kuat.
f. Murid lambat belajar dapat dilatih beberapa macam ketrampilan
yang bersifat produktif. Mereka mampu melakukan pekerjaan sendiri
dengan tanggung jawab sepenuhnya.

2.5.4. Strategi Pembelajaran Anak Lamban Belajar

Dalam memilih strategi pembelajaran yang tepat untuk anak lamban


belajar, seorang guru perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Hamzah
B. Uno dan Nurdin Mohamad (2011: 4) mengemukakan bahwa pada
umumnya, pemilihan strategi pembelajaran berdasarkan:

a. Rumusan tujuan pembelajaran;


b. Analisis kebutuhan dan karakteristik siswa yang dihasilkan;
c. jenis materi pembelajaran.

33
Ketiga komponen tersebut selanjutnya disesuaikan dengan media
dan sumber belajar yang tersedia dan mungkin digunakan (Hamzah B.
Uno dan Nurdin Mohamad, 2011: 4).

2.6. Tunagrahita

2.6.1. Pengertian Anak Tunagrahita

Tunagrahita adalah seseorang yang mengalami masalah di dalam


perkembangan mentalnya. Hal ini bahkan bisa saja berupa kondisi
keterbelakangan yang membuatnya mengalami masalah dalam berbagai
bidang, misalnya: kesulitan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi,
kesulitan dalam belajar dan memahami suatu masalah. Pada umumnya
anak tunagrahita memang membutuhkan penanganan khusus, meskipun
tidak tertutup kemungkinan mereka untuk belajar mandiri.

2.6.2. Ciri-ciri Anak Tunagrahita

Beberapa ciri yang bisa tampak dari anak dengan kondisi tuna
grahita ini antara lain:
1. Penampilan fisik yang tidak seimbang, misalnya kepala lebih besar
atau terlalu kecil bila dibandingkan dengan proporsi tubuh
keseluruhan. Kelainan fisik pada ras mongoloid terlihat pada badan
yang bungkuk, muka datar, telinga kecil, mulut seperti melongo, dan
mata yang sipit.
2. Tidak menunjukkan perkembangan yang berarti sesuai dengan
tahapan usianya, bertingkah laku dan menunjukkan interaksi yang
tidak lazim bagi anak seusianya. (baca juga: Teori Belajar dalam
Psikologi )
3. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai perkembangan yang
seharusnya dan kurang mampu menolong dirinya sendiri. (baca juga
tentang:  Peran Keluarga Dalam Pendidikan Anak )
4. Mengalami hambatan perkembangan bicara sehingga memiiki
kemampuan bicara yang kurang.

34
5. Mengalami hambatan perkembangan bahasa sehingga komunikasi
terhambat juga.
6. Kurangnya perhatian terhadap lingkungan atau tidak ada perhatian
sama sekali, yang juga dikenal sebagai sikap apatis dan acuh tak
acuh. (baca juga: Cara Menghilangkan Trauma Pada Anak)
7. Kurang dapat mengkoordinasi gerakan, sehingga gerakan sering
tidak terkendali, mengalami gangguan dalam perkembangan gerak.
8. Memiliki emosi yang sangat labil, sehingga bertingkah laku kurang
wajar secara terus menerus berbeda dengan perkembangan sosial
emosional anak usia dini pada umumnya.
9. Memiliki daya ingat yang sangat lemah, sulit dan lamban
mempelajari hal – hal baru.
10. Kecerdasannya sangat terbatas dan mempunyai minat yang juga
terbatas.

2.6.3. Karakteristik

Karakteristik anak tunagrahita (Moh. Amin, 1995: 18) pada umumnya:


1) Kecerdasan
 Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal
yang kongkrit.
 Dalam belajar tidak banyak membeo.
 Mengalami kesulitan menangkap rangsangan atau lamban.
 Memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan tugas.
 Memiliki kesanggupan yang rendah dalam mengingat
2) Sosial
 Dalam pergaulan mereka tidak dapat, mengurus memelihara
dan memimpin diri.
 Waktu masih kanak-kanak setiap aktivitasnya harus selalu
dibantu.
 Mereka bermain dengan teman yang lebih muda usianya.

35
 Setelah dewasa kepentingan ekonominya sangat tergantung
ada bantuan orang lain.
 Mudah terjerumus ke dalam tingkat terlarang (mencuri,
merusak, pelanggaran seksual).
1) Fungsi mental lainnya
 Mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatiannya.
 Mudah lupa.
 Kepribadian
 Tidak percaya terhadap kemampuannya sendiri.
 Tidak mampu mengontrol dan menyerahkan diri.
 Selalu tergantung pada pihak luar.
 Terlalu percaya diri.

2.6.4. Klasifikasi Anak Tunagrahita

Pengelompokan anak yang termasuk tuna grahita diperlukan bukan


untuk membedakan anak dari teman sebayanya yang tidak mengalami
keterbatasan, melainkan untuk kepentingan pendidikannya. Dengan
mengetahui klasifikasi dari anak yang mengalami keterbatasan tersebut,
akan mudah untuk menentukan pendidikan yang dibutuhkannya. Berikut
ini klasifikasi anak tuna grahita berdasarkan tingkat hambatan yang
dialaminya:
 Tuna Grahita Ringan, kondisi fisik anak tuna grahita ringan pada
umumnya tidak berbeda dengan anak normal yang lain, dan
mempunyai tingkat IQ yang berkisar antara 50-70. Meskipun
mengalami hambatan pada kecerdasan dan adaptasi sosial namun
masih mempunyai kemampuan di bidang akademik penyesuaian
sosial dan kemampuan untuk bekerja. Masih bisa belajar membaca,
menulis dan berhitung, dan bisa menyelesaikan pendidikan setingkat
kelas empat sekolah dasar umum. Seringkali anak tuna grahita
ringan tidak dapat diidentifikasi hingga memasuki usia sekolah,

36
ketika anak mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Sekitar
75% dari anak tuna grahita termasuk kepada kelompok tuna grahita
ringan.
 Tuna Grahita Sedang, anak yang termasuk dalam kelompok ini
kemampuan intelektualnya serta kemampuan adaptasinya berada di
bawah elompok tuna grahita ringan. Kelompok ini pada umumnya
dapat dideteksi sejak bayi atau sejak usia dini karena keterlambatan
perkembangan yag terlihat jelas. Sebagian anak mempunyai kondisi
fisik yang terlihat jelas berbeda dengan anak lainnya, terutama dari
segi wajah. Namun ada pula beberapa anak yang fisiknya tampak
normal. Tingkat IQ berada di antara angka 30 sampai 50. Pendidikan
yang bisa diselesaikan oleh anak dalam kelompok ini biasanya
setingkat dengan kelas dua sekolah dasar umum. Sekitar 20% dari
anak tuna grahita adalah kelompok ini.
 Tuna Grahita Berat, pada kelompok ini inteligensi anak termasuk
yang sangat rendah dan tidak dapat menerima atau menjalani
pendidikan secara akademis seperti dua kelompok lainnya. Dengan
tingkatan IQ rata- rata 30 ke bawah, anak dalam kelompok ini akan
membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan kegiatan sehari
– harinya. Mereka hampir tidak memiliki kemampuan untuk berlatih
mengurus dirinya sendiri, berlatih bersosialisasi ataupun untuk
bekerja. Sekitar 5% anak tuna grahita berat dan sangat berat berada
pada kelompok anak tuna grahita secara keseluruhan.

2.6.5. Media Belajar Anak Tunagrahita

Media belajar anak tunagrahita harus nyata. Seperti Para mahasiswa


UNIMED yang menghadirkan Program SIGAP E4 (Strategi
Pembelajaran Tunagrahita di Era 4.0). Yaitu rangkaian Strategi
pembelajaran dengan menggunakan berbagai media pembelajaran
berbasis teknologi digital dalam berbagai bidang. Media pembelajaran
SIGAP E4 dalam bidang bidang Sains yang dibuat yaitu  Media Tubuh-

37
Ku, Media Lidah-Ku, Media Kerangka Tubuh-Ku, serta Media Makanan-
Ku. Media Sains ini membantu anak tungrahita mengenal bagian-bagian
tubuhnya dan memilih makanan yang baik dan sehat.

2.6.6. Strategi Pembelajaran Anak Tunagrahita

Strategi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di


sekolah umum akan berbeda dengan strategi anak tunagrahita yang
belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam
mengajar anak tunagrahita antara lain;
a. Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan.
b. Strategi kooperatif.
c. Strategi modifikasi tingkah laku

2.7. Anak yang Kesulitan Belajar Spesifik

2.7.1. Pengertian Anak yang Kesulitan Belajar Spesifik

Gangguan belajar spesifik adalah kesulitan belajar pada anak.


Biasanya masalah ini memiliki banyak sebutan lain, seperti learning
disorder, slow disorder, dan learning disability. Anak yang mengalami
kesulitan belajar umumnya adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan
tergolong rata-rata atau bahkan superior. Namun mereka mengalami
hambatan atau gangguan memproses informasi sehingga pencapaian
akademisnya tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki (di bawah rata-
rata).

2.7.2. Ciri-ciri Anak yang Kesulitan Belajar Spesifik

Ada beberapa ciri khas dari anak yang mengalami gangguan ini,
yaitu:
a. Memiliki potensi dan atau fungsi kecerdasan minimal pada tingkat
rata-rata. Hal ini dibuktikan melalui tes intelegensi (skor IQ).

38
b. Memiliki prestasi akademis yang jelek dan tidak sesuai dengan hasil
tes intelegensi, usia, dan tingkat pendidikannya walau sudah
mendapat pembelajaran yang optimal.
c. Mengalami kesulitan dalam memproses informasi, seperti
membedakan bentuk yang mirip, menirukan gerakan, membedakan
kanan dan kiri, serta berbagai kesulitan lainnya.

2.7.3. Klasifikasi Anak yang Kesulitan Belajar Spesifik

Jenis Kesulitan Belajar, terdapat beberapa jenis kesulitan belajar


spesifik, di antaranya:
a. Kesulitan Membaca (Dyslexia)
Ini merupakan salah satu gangguan belajar yang membuat anak
sulit membaca. Anak akan mengalami kesulitan memaknai simbol,
mengeja, mengingat huruf, dan mengenal kata. Ia pun akan kesulitan
membayangkan bagaimana membaca gabungan huruf menjadi sebuah
kata. Gangguan ini bukanlah ketidakmampuan fisik, melainkan otak
mengalami kesulitan untuk mengolah dalam memproses informasi
dari bacaan.
b. Kesulitan Menulis (Dysgraphia)
Kebanyakan anak yang mengalami kesulitan menulis, biasanya
diawali dengan kesulitan membaca. Pada masalah ini, anak akan
sering melakukan kesalahan dalam menulis. Selain itu, ia pun
biasanya memiliki tulisan yang buruk, juga mengalami kesulitan saat
menulis huruf sambung.
c. Kesulitan Berhitung (Dyscalculia)
Kesulitan berhitung merupakan gangguan pemahaman numerik
dan pemahaman mekanisme aritmetika pada anak, di mana
kemampuan berhitungnya di bawah dari rata-rata anak seusianya.
Pada umumnya, ia akan kesulitan mengoperasikan simbol, memahami
soal cerita, juga kurang bisa memahami tahapan-tahapan dalam
menyelesaikan suatu soal.

39
d. Kesulitan Belajar Non-Verbal
Pada jenis ini, anak akan mengalami kesulitan untuk menangkap
hal-hal seputar non-verbal, seperti tanda sosial dan aturan sosial. Anak
dengan gangguan ini biasanya tidak bisa menerjemahkan konteks
bahasa tubuh, dan juga mengerti bahasa atau ekspresi wajah orang
lain.

2.7.4. Strategi Pembelajaram Anak yang Kesulitan Belajar Spesifik

Kegiatan dalam diagnosis kesulitan belajar terdiri dari beberapa


langkah yang dilakukan bertahap. Ross & Stanley dalam Abin Samsudin
(2002) mengemukakan langkah-langkah diagnosis melalui visualisai
sebagai berikut :

Dalam gambar di atas, tahapan diagnosis dimulai dari langkah yang


paling bawah kemudian dilanjutkan pada langkah selanjutnya. Langkah-
langkah di atas lebih terperinci daripada definisi yang dikemukakan di
awal karena menambahkan perencanaan penanganan dan usaha
pencegahan terhadap kondisi kesulitan belajar yang semakin parah.
Namun, dalam makalah ini diagnosis mengacu definisi yang sudah ada
sehingga hanya sampai pada identifikasi latar belakang (penyebab)
kesulitan belajar pada anak. Penjabaran dari langkah-langkah di atas
adalah sebagai berikut :

40
a. Penentuan siswa (identifikasi murid yang diduga mengalami
kesulitan belajar). Hal ini dapat dilakukan dengan membandingkan
posisi murid dengan murid lain dalam hal pencapaian hasil belajar.
Tehnik yang dapat dilakukan antara lain : melihat nilai ulangan,
melihat tipe kesalahan yang dibuat, observasi saat proses belajar. 2.
Menentukan letak kesulitan secara lebih spesifik pada mata pelajaran
tertentu. Cara yang dapat dipergunakan antara lain : tes diagnostic,
menganalisa beberapa hasil ulangan dengan mencermati tipe
kesalahan yang dibuat siswa, memeriksa buku catatan. 3. Mencari
penyebab dari kesulitan anak yang dapat datang dari dalam diri anak
(internal) maupun luar (eksternal). Faktor internal meliputi
inteligensi, fisik, panca indera, gangguan emosi, kebiasaan yang
aneh, kemampuan prasyarat yang belum dikuasai. Faktor eksternal
yang ditelusuri meliputi : situasi rumah, pindah sekolah, proses
belajar mengajar di sekolah, sarana-prasara di sekolah. Data-data di
atas dapat diperoleh melalui tes kecerdasan, skala sikap, pengamatan
intensif di dalam maupun di luar kelas, wawancara terhadap anak
yang bersangkutan, teman, guru kelas dan orang tua. Di sekolah
inklusi, nominasi guru dapat digunakan untuk menentukan siswa
dengan melihat prestasi belajar yang rendah dan tingkat ketercapaian
materi yang belum sesuai dengan tujuan pembelajaran. Nominasi
dari guru kelas diperkuat oleh nominasi guru kelas sebelumnya
mengingat guru kelas saat ini baru mengenal anak selama 1 bulan.
Penentuan letak kesulitan dilakukan dengan mencermati hasil
pekerjaan anak pada ulangan mingguan maupun ulangan akhir
semester. Selain itu juga disertakan tes diagnostic untuk mengetahui
deskriminasi visual dan auditori.
b. Metode pengumpulan data dalam tahapan pelaksanaan diagnosis
dijabarkan oleh Lerner (1985) sebagai berikut :
 Interviu. Data-data yang dikumpulkan melalui interviu
meliputi : case history, kemampuan anak saat ini, faktor sosial

41
dan personal serta faktor sekolah. Case histori terdiri atas data
identitas ( anak, ortu, saudara ), sejarah kelahiran dan data
perkembangan ( kesehatan: kecelakaan, penyakit ), kondisi
kesehatan (kebiasaan makan, tidur ), sejarah perkembangan
(umur untuk bisa berdiri, berjalan, pengucapan kata pertama,
kelainan bahasa atau gerak apabila ada ). Kemampuan saat ini
meliputi kemampuan motorik halus, motorik kasar, kemampuan
berbahasa, emosi, kegiatan anak di sekolah. Faktor personal dan
sosial meliputi hubungan dengan teman, saudara, keluarga,
perlakuan orang tua terhadap anak, hobby, minat dan tanggung
jawab yang sudah diemban. Faktor sekolah meliputi : pergantian
guru, tingkah laku di sekolah.
 Observasi. Hal-hal yang diobservasi meliputi :
1) penerimaan diri (saat mengerjakan tugas, sikap terhadap
materi baru/orang baru )
2) Kondisi gerak ( saat nulis, tulisan anak, cara megang pensil,
sikap selama pelajaran) 3) Ketika membaca, menulis,
bermain.
c. Tes informal, tes ini dibuat oleh guru saat ulangan maupun dengan
melihat dokumen hasil pekerjaan anak.
d. Tes formal dapat menggunakan tes akhir semester.
e. Penanganan di sekolah reguler dapat dilakukan di ruang sumber
maupun bekerjasama dengan guru kelas di ruang kelas. Penggunaan
akomodasi pembelajaran dapat disepakati bersama guru kelas untuk
memberikan layanan kepada anak yang kesulitan belajar
spesifikFahsl (2007) mengemukakan akomodasi yang diperuntukkan
secara khusus untuk membantu ABB mengerjakan soal-soal
matematika. Akomodasi tersebut meliputi:
 Organization, penggunaan petak-petak dengan garis bantu yang
membantu anak dalam proses mengerjakan soal berhitung.

42
 Highlighting, penghitungan yang memerlukan penyimpanan
pada puluhan, ratusan dapat dibantu dengan memberi tanda
tertentu.
 Fact charts, keterbatasan memori pada anak yang kesulitan
belajar Spesifik dapat dibantu dengan tabel perhitungan. Untuk
menghindari ketergantungan, perhitungan yang sudah dihapal
dapat diblok hitam.
 Calculators, fungsi penggunaan kalkulator hampir sama dengan
tabel perhitungan. Ketergantungan pada anak dapat diantisipasi
dengan aturan penggunaan kalkulator yang dibatasi, misal:
untuk mengecek hasil pekerjaan.
 Manipulatives, penandaan pada simbol operasi hitung maupun
pemberian lingkaran pada perintah soal dapat digunakan untuk
mengingatkan anak.
 Time management, penentuan waktu yang dipergunakan untuk
mengerjakan soal oleh anak dapat membantu mereka mengelola
waktu dalam mengerjakan tugas.
 Class presentations, penggunaan media visual maupun auditori
dapat membantu anak memahami materi dari berbagai sensori.
Berkeliling kelas dapat mengurangi kecenderungan anak untuk
beralih fokus pada saat PBM berlangsung. Pengelompokan anak
disarankan dengan memberikan pembagian tugas yang jelas
pada masing-masing anggota kelompok.
 Assignments, pengurangan kualitas maupun kuantitas soal dapat
dilakukan. Pemberian lembar soal yang dipenuhi oleh gambar
dapat meningkatkan minat anak (kecuali pada anak dengan
gangguan perhatian).
 Assessments, pengerjaan ulangan dapat dimodifikasi dengan
observasi langsung pada saat mengerjakan ulangan sehingga
diketahui pemahaman tentang materi

43
44
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Setiap jenis-jenis anak berkebetuhan khusus memiliki karakteristik


yang berbeda-beda. begitupun ada beberapa jenis anak berkebutuhan khusus
yang mempunyai sumber dan strategi pembelajaran yang sama namun ada
juga yang berbeda. Untuk guru yang mengajar di sekolah inklusi diperlukan
pemahaman yang sedalam-dalamnya untuk mampu memberikan
pemahaman materi kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus
yang berbeda-beda tersebut sehingga semua anak berkebutuhan khusus
mampu memahami materi yang diberikan.

3.2. Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi


pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak
berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi kita semua.

45
DAFTAR PUSTAKA

Abcdirga. 2013. Anak berbakat. Diakses pada 4 November 2019, dari


https://abcdirga.wordpress.com/2013/04/02/anak-berbakat/

Bisa Mandiri. 2014. Memilih media pembelajaran yang tepat bagi anak
tunarungu. Diakses pada 4 November 2019, dari
https://bisamandiri.com/blog/2014/11/memilih-media-pembelajaran-yang-
tepat-bagi-anak-tuna-rungu/

Benita. 2016. Jenis-jenis anak berkebutuhan khusus, ciri-ciri, dan terapinya.


Diakses pada 4 November 2019, dari https://www.linkedin.com/pulse/jenis-
jenis-anak-berkebutuhan-khusus-ciri-ciri-dan-benita

Beredukasi. 2013. Pengertian dan karakteristik tunadaksa. Diakses pada 4


November 2019, dari http://beredukasi.blogspot.com/2013/09/pengertian-
dan-karekteristik-tuna-daksa.html

Dosen Psikologi. 2018. 13 Masalah Psikologis pada Anak Tunalaras. Diakses


pada 4 November 2019, dari https://dosenpsikologi.com/masalah-
psikologis-pada-anak-

El-Yazid, Tajallah. Definisi, Ciri-ciri dan Klasifikasi Tunarungu serta Strategi


Pendidikan bagi Anak Tunarungu. Diakses pada 4 November 2019, dari
https://www.academia.edu/34871827/Definisi_Ciri-
ciri_dan_Klasifikasi__serta_Strategi_Pendidikan_bagi_Anak_

Ivander, kevin.2018.Strategi pembelajaran inklusif. http://www.cae-indonesia.


com/article-detail/8/strategi-pembelajaran-pendidikan-inklusi-di-dalam-
kelas. (Terakhir diakses Minggu,06 Oktober 2019).

46
Kantin ilmu. 2012. Media Pembelajarn untuk anak tunarngu. Diakses pada 4
November 2019, dari http://kantingembira.blogspot.com/2012/10/media-
pembelajaran-untuk-anak-tuna-rungu.html

Kobis, Fricillya Sucia. 2013. Makalah “karakteristik anak yang lamban belajar”
(slow learner). Diakses pada 4 November 2019, dari
http://fricillyakobis.blogspot.com/2013/12/karakteristik-anak-yang-lamban-
belajar.html

Madani. 2017. Anak Dengan Lamban Belajar (Slow Learner). diakses pada 4
November 2019, dari https://beritamadani.co.id/2017/01/27/anak-dengan-
lamban-belajar-slow-learner/

Maisyaroh, Siti. 2015. Anak Berbakat. Diakses pada 4 November 2019, dari
https://www.kompasiana.com/memeymaysa/557cf9f1949373716e80ba38/a
nak-berbakat?page=all

Munir, Fatinah. 2012. Memahami Pengertian Anak Berbakat. Diakses pada 4


November 2019, dari https://www.kartunet.com/memahami-pengertian-
anak-berbakat-1231/

Munir, Fatinah. 2012. Mengenal anak dengan hambatan pendengaran. Diakses


pada 4 november 2019, dari https://www.kartunet.com/mengenal-anak-
dengan-hambatan-pendengaran-463/

PSIBK. 2018. Mengenal Seorang Gifted. Diakses pada 4 November 2019, dari
https://www.usd.ac.id/pusat/psibk/category/artikel//

Purwatiningtyas, Maylina. 2014. Strategi Pembelajaran Anak Lamban Belajar


(Slow Learners) Di Sekolah Inklusi Sd Negeri Giwangan Yogyakarta .
diakses pada 4 November 20189, dari
https://eprints.uny.ac.id/14353/1/SKRIPSI.pdf

47
Retno, Devita. 2017. 10 Ciri-Ciri Anak Tunagrahita – Ringan – Berat. Diakses
pada 4 November 2019, dari https://dosenpsikologi.com/ciri-ciri-anak-
tunagrahita

Tugas Sekolah dan Kuliah. 2015. Strategi, Model, dan Evaluasi Pendidikan Anak
Berbakat. Diakses pada 4 November 2019, dari
http://tugassekolahdankuliah.blogspot.com/2015/06/strategi-model-dan-
evaluasi-pendidikan.html

Universitas Negeri Yogyakarta. Tunarungu. Diakses pada 4 November 2019, dari


https://eprints.uny.ac.id/9894/3/BAB%202%20-%2008103244025.pdf

48

Anda mungkin juga menyukai