Nama Kelompok 3
Istiqomah Hasanah Nim 2020 155 577
Ermita Era Anjela Nim 2020 155 570
Fitria Rizka Nim 2020 155 573
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami
bisa menyelesaikan makalah ini. Sholawat beserta salam selalu
tercurahkan kepada nabi kita Muhammad SAW. beserta keluarga-Nya,
sahabat-sahabat-Nya dan kita selaku umat-Nya hingga akhir zaman.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
hal ini karena kemampuan dan pengalaman kami yang masih ada dalam
keterbatasan. Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun, demi perbaikan makalah ini untuk yang akan datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................ii
BAB I..................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..............................................................................................................................1
A.Latar Belakang.........................................................................................................................1
B.Rumusan Masalah...................................................................................................................1
C.Tujuan Penulisan.....................................................................................................................2
BAB II.................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................................................3
A.Pengertian Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku.................................3
B.Karakteristik Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku..............................5
C.Klasifikasi Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku..................................6
D.Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Hambatan Emosi dan Perilaku...............................7
E.Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan Kognitif..................8
F.Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan Sosial.....................9
G.Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan Emosi..................12
H.Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan Kepribadian........13
I.Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan Perolehan Bahasa
......................................................................................................................................................14
J.Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan Belajar..................14
K.Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku bagi Individu dan Lingkungan dalam
kehidupan sehari-hari...............................................................................................................15
BAB III..............................................................................................................................................17
PENUTUP.......................................................................................................................................17
A.Kesimpulan...............................................................................................................................17
B.Saran.......................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu proses mengembangkan potensi manusia
agar menjadi dewasa dan aktual. Pendidikan berfungsi untuk menyiapkan
manusia agar mempunyai kemampuan atau modal yang kelak akan
berguna bagi kehidupannya, dan tujuan dari Pendidikan adalah untuk
membekali manusia yang masih belum mempunyai kemampuan agar
kelak menjadi manusia dewasa mempunyai kemampuan.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan anak dengan hambatan emosi-perilaku?
2. Bagaimanakah karakteristik anak yang mengalami hambatan emosi-
perilaku?
3. Bagaimanakah klasifikasi pada anak yang mengalami hambatan emosi-
perilaku?
1
4. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya hambatan emosi-perilaku
pada anak?
5. Bagaimanakah dampak anak yang mengalami hambatan emosi-
perilaku terhadap perkembangan kognitif, sosial-emosi dan perilaku,
perolehan bahasa, proses belajar, dan dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari?
C.Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku
Secara etimologi tunalaras terdiri dari kata tuna yang berarti cacat atau
rusak dan laras yang berarti perilaku atau tingkah laku, selain itu banyak
istilah-istilah mengenai tunalaras antara lain: mental illness, emotional
distubance, emotional disorder, emotional handicap, social maladjusment,
Rosenberg (Dalam Nafsiah Ibrahim, 1996:3). Sehingga anak tunalaras
berarti seorang anak yang memiliki gangguan emosi dan perilaku
menyimpang yang disebabkan karena berbagai faktor sehingga
diperlukan pendidikan khusus.Menurut Hallahan & Kauffman (Dalam
Mohammad Efendi, 2006:142) “Sebutan anak berkelainan perilaku
(Tunalaras) didasarkan pada realitanya bahwa penderita kelainan perilaku
mengalami problema intrapersonal dan atau interpersonal secara ekstrem.
Saya sependapat dengan teori tersebut, dalam kehidupan sehari-hari
anak tunalaras memang terdapat masalah penyesuaian baik intrapersonal
maupun interpersonal.Menurut ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-
Undang Pokok Pendidikan No.12 Tahun 1952, anak tunalaras adalah
individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/ erkelainan, tidak
memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-
norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar, tidak/kurang
mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah
terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri
maupun orang lain.Menurut Kauffman (dalam Nafsiah Ibrahim, 1996:5),
banyak sekali pendapat tentang pengertian anak tunalaras sehingga
belum ada istilah yang baku yang dapat diterima oleh semua ahli dibidang
tunalaras. perbedaan itu karenakan adanya perbedaan konsep, tujuan,
dalam merumuskan definisi, masalah pengukuran, sangat bervariasinya
gejala tingkah laku normal, perkembangan ilmu tentang gangguan tingkah
3
laku pada anak-anak dan masalah pemberian label terhadap anak
tunalaras.
Anak tunalaras sering juga disebut dengan anak tunasosial karena
tingkah laku anak ini menunjukan penentangan terhadap norma-norma
sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan
menyakiti orang lain. Dengan kata lain tingkah lakunya menyusahkan
lingkungan.
Di kalangan praktis, istilah yang digunakan untuk anak yang mengalami
kesulitan dalam menyelaraskan perilakunya (tunalaras) dengan norma
umum yang berlaku di masyarakat memang bervariasi. Perbedaan
pemberian julukan kepada anak yang berkelainan perilaku tidak lepas dari
konteks dan pemahaman pihak yang berkepentingan. Misalnya, para
orang tua cenderung menyebut anak tersebut dengan sebutan anak nakal
(bad boy), para psikiater atau psikolog lebih senang menyebutnya sebagai
anak yang tidak dapat mengikuti norma sosial yang berlaku (sosial
maladjusted child). Jika anak itu terlibat konflik atau masalah hukum, para
hakim menyebutnya dengan anak-anak yang melanggar hukum
(delinquent).
Pengertian yang hampir serupa dikemukakan dalam dokumen
kurikulum SLB bagian E tahun 1977, yang disebut tunalaras adalah
sebagai berikut.
1. Anak yang mengalami gangguan atau hambatan emosi dan tingkah
laku sehingga tidak atau kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik
terhadap lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
2. Anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang
melakukan kejahatan.
3. Anak yang melakukan kejahatan.
Adapun definisi anak tunalaras menurut para ahli, diantaranya
sebagai berikut.
1. Samuel A.Kirk bahwa anak tunalaras adalah mereka yang terganggu
perkembangan emosi, menunjukan adanya konflik dan tekanan batin,
4
menunjukan kecemasan, penderita neorotis atau bertingkah laku
psikotis. Dengan terganggunya aspek emosi dapat merugikan dirinya
sendiri dan orang lain atau lingkungannya.
2. Menurut Nelson (1981) : Seorang anak dikatakan tunalaras, apabila
tingkah laku mereka menimpang dari ukuran menurut norma usia dan
jenis kelaminnya, dilakukan dengan frekuensi dan intensitas relatif
tinggi, serta dalam waktu yang relatiflama.
3. Romli Atmasasmita, (1985) menjelaskan : Delinquency adalah suatu
perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seorang anak yang
dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta
ditafsirkan sebagai perbuatan tercela.
4. Kvaraceus dan Miller (Depdikbud, 1985) Memberikan batasan bahwa :
Anak tunalaras adalah individu yang tingkah lakunya tidak dewasa,
melanggar peraturan yang tertulis atau tidak tertulis dengan frekuensi
yang cukup tinggi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras
adalahseseorang yang bertingkah laku tidak sesuai/melangggar norma
yang ditetapkan dalam masyarakanya dengan frekuensi pelanggaran
yang cukup tinggi sehingga dapat membahayakan ataupun merugikan
masyarakat dilingkungannya.
Untuk pembahasan selanjutnya, anak tunalaras akan kami sebut
dengan anak dengan hambatan emosi-perilaku.
5
5. Kurang ajar, lancang, melawan;
6. Tidak mau bekerja sama, tidak mau memperhatikan, memecah
belah, ribut;
7. Tidak bisa diam, menolak arahan;
8. Cepat marah, menganggap enteng, sok aksi, ingin menguasai
orang lain;
9. Mengancam, pembohong, tidak dapat dipercaya, suka bebicara
kotor;
10. Cemburu, suka bersoal jawab, tak sanggup berdikari, mencuri,
mengejek;
11. Menyangkal berbuat salah, egois;
12. Mudah terpengaruh untuk berbuat salah;
13. Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri, dengan ciri-
ciri:
a. Khawatir, cemas, ketakutan, kaku;
b. Pemalu, segan;
c. Menarik diri, terasing, tak berteman, rasa tertekan, sedih,
terganggu, rendah diri, dingin, malu, kurang percaya diri,
mudah bimbang, sering menangis, pendiam, suka berahasia.
14. Anak yang kurang dewasa, dengan ciri-ciri:
a. Pelamun, kaku, berangan-angan;
b. Pasif, mudah dipengaruhi, pengantuk, pembosan dan kotor.
15. Anak yang agresif bersosialisasi, dengan ciri-ciri:
a. Mempunyai komplotan penjahat, mencuri bersama
kelompoknya, loyal terhadap teman nakal;
b. Berkelompok dengan geng, suka diluar rumah sampai larut
malam, bolos sekolah, dan minggat dari rumah.
6
kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang
mengalami gangguan emosi. Tiap jenis anak tersebut dapat dibagi lagi
sesuai dengan berat dan ringannya kelainan yang dialaminya.
Demikian pula dengan anak yang mengalami gangguan emosi, mereka
dapat diklasifikasikan menurut berat ringannya masalah atau gangguan
yang dialaminya. Anak-anak ini mengalami kesulitan dalam menyesuaikan
tingkah laku dengan lingkungan sosialnya karena ada tekanan-tekanan
dari dalam dirinya. Adapun anak yang mengalami gangguan emosi
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Neurotic behavior (perilaku neurotik)
Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi
mereka mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu
diselesaikannya. Mereka sering mudah dihinggapi rasa sakit hati, marah,
cemas dan agresif, serta rasa bersalah. Disamping itu juga mereka
kadang-kadang melakukan tindakan lain seperti yang dilakukan oleh anak
unsosialized (mencuri, bermusuhan). Keadaan neurotik ini biasanya
disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga yang menolak atau
sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu
karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang
berat.
b. Children with psychotic processes
Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga
memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang
dari kehidupan nyata, dimana sudah tidak mempunyai kesadaran diri serta
tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh
gangguan pada sistem syaraf.
7
1. Faktor Internal
Faktor internal yaitu factor penyebab yang berasal dari diri individu
(anak). Seperti kondisi: inteligensi/kecerdasan, fifik , fisiologis, jenis
kelamin, usia/umur, dan kondisi emosi.
a. Intelegensi
b. Kondisi Fisik
c. Jenis kelamin
d. Usia/umur
2. Faktor Eksternal.
Faktor eksternal yaitu factor penyebab yang bersumber dari lingkungan.
Baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas.
E.Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan
Kognitif
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-
anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan
mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah
gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah
seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi
yang rendah. Memang anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru karena
diantara anak tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan
mental. Kelemahan dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang
menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku. Masalah yang
dihadapi anak dengan intelegensi yang rendah di sekolah adalah
ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, sedangkan pada
dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya
terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar.Misalnya: membolos, lari
dari rumah, berkelahi, mengacau dalam kelas, dan sebagainya. Akibat lain
dari kelemahan intelegensi ini terhadap timbulnya gangguan tingkah laku
adalah ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab akibat dari
suatu perbuatan, mudah dipengaruhi sehingga mudah pula terperosok ke
dalam tingkah laku yang negatif.
8
Disamping anak yang berintelegensi rendah, tidak berarti bahwa anak
yang memiliki intelegensi tinggi tidak bermasalah. Anak berintelegensi
tinggi seringkali mempunyai masalah dalam penyesuaian diri dengan
teman-temannya. Ketidaksejajaran antara perkembangan intelegensi
dengan kemampuan sosial mengakibatkan anak mengalami kesulitan
penyesuaian diri dengan kelompok anak yang lebih tua (tetapi setara
dalam kemampuan mentalnya). Anak yang pintar dengan hambatan ego
emosional seringkali mempunyai anggapan yang negatif terhadap
sekolah. Ia menganggap sekolah terlalu mudah dan guru menerangkan
terlalu lambat.
Masalah lain yang dihadapi anak ini dalam hubungannya dengan orang
lain adalah sikap tidak mau kalah. Mereka selalu ingin berhasil dan tidak
mau ikut dalam permainan dengan kemungkinan dikalahkan oleh orang
lain. Hal ini nampak dari sikap anak yang selalu ingin menang sendiri dan
sealalu ingin lebih unggul dari teman-temannya sehingga bila suatu waktu
anak mengalami kekalahan, maka ia cenderung untuk mudah merasa
kecewa.
Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa pada dasarnya perkembangan
intelegensi anak tunalaras tidak berbeda dengan anak pada umumnya,
ada yang memiliki intelegensi rendah, rata-rata (sedang), dan ada pula
yang memiliki intelegensi tinggi.
9
memuaskan dan pengalaman psikologis yang kurang menyenangkan
akan menimbulkan perasaan tidak mempercayai sesuatu (mistrust).
Semakin bertambahnya usia, maka pengalaman sosial anak semakin
berkembang dengan berbagai dinamikanya, dan pengalaman berinteraksi
dengan lingkungan ini akan mewarnai perkembangan kepribadiannya.
Sebagimana kita pahami bahwa anak tunalaras mengalami hambatan
dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau lingkungannya.
Hal ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan
untuk membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam banyak
kejadian, mereka ternyata dapat menjalani hubungan sosial yag sangat
erat dengan teman-temannya. Mereka mampu membentuk suatu
kelompok yang kompak dan akrab serta membangun keterikatan antara
yang satu dengan yang lainnya.
Ketidakmampuan anak tunalaras dalam melaui interaksi sosial yang
baik dengan lingkungannya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman
yang tidak/kurang menyenangkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada
uraian terdahulu bahwa pada waktu memasuki tahapan perkembangan
baru, anak dihadapkan pada tantangan yag timbul dari lingkungannya
agar egonya menyesuaikan diri.
Dengan demikian, setiap mencapai tahapan perkembangan baru, anak
menghadapi krisis emosi. Apabila egonya mampu menghadapi krisis ini
maka perkembangan egonya akan mengalami kematangan dan anak
akan mampu menyesuaikan diri secara baik dengan lingkungan sosial da
masyarakatnya.
Emosi atau perasaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
perkembangan hubungan antarindividu. Gangguan emosi dapat
diperlihatkan dalam hubungannya dengan orang lain dalam bntuk seperti
kecemasan, agresif, dan implusif. Anak yang mengalami gangguan emosi
menunjukkan kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan. Dapat pula anak
menjadi suka menyerang, memberontak, dan susah diatur. Tindakannya
kadang-kadang begitu spontan dan suli diramalkan. Keadaan ini dapat
10
terjadi dalam berbagai lingkungan, baik di sekolah maupun di rumah. Di
sekolah mereka menjadi malas utuk belajar, kurang perhatian terhadap
pelajaran, dan mengalami kegagalan dalam belajar. Di lingkungan rumah,
mereka merasa tidak kerasan dan senang berkeluyuran.
Jarak yang memisahkan hubungan anak dengan lingkungannya mula-
mula bersifat objektif, akan tetapi kemudian menjadi lebih bersifat
subjektif. Hal ini tergantung kepada bagaimana sikap anak, bagaimana
penghayatan anak akan dirinya (self-concept), dan penghayatan anak
terhadap lingkungan sosialnya.
Anak tunalaras memiliki hal yang keliru, baik terhadap dirinya sendiri
maupun terhadap lingkungan sosialnya. Mereka menganggap dirinya tidak
berguna bagi orang lain dan merasa tidak berperasaan. Oleh karena itu,
timbullah kesulita apaila kita menjalani hubungan dengan mereka, ingin
mencoba medekati dan menyayangi mereka; dan apabila berhasil
sekalipun mereka akan menjadi sangat tergantung kepada seseorang
yang pada akhirnya dapat menjalin hubungan sosial dengannya.
Di antara betuk-bentuk kelainan tingkah laku, anak yang cemas dan
menarik diri memiliki ancaman yang lebih besar terhadap dirinya daripada
lingkungan sosialnya. Karena mereka yang menunjukkan tingkah laku
yang mengganggu dan tidak terlalu menimbulkan masalah bagi orang lain
sehingga biasanya kurang menarik perhatian.
Masalah yang dihadapi anak menarik diri ini adalah pengendalian dan
kelenturan ego. Mereka terlalu mengekang dorongan hati, keinginan, dan
nafsu dalam berbagai situasi. Hal ini menyebabkan mereka tidak sanggup
berlaku spontan. Dalam dirinya tampak suatu keadaan tidak berdaya yang
dipelajari (learned helplessness) yang mana hal ini dapat menimbulkan
masalah serius bila ia mengalami kekecewaan, ia merasa bahwa
kekecewaan adalah bagian dari dirinya.
Anak dengan masalah ini mempunyai konsep yang demikian rendah
sehingga kegagalan dalam tugas sekolah atau kehidupa sosialnya hanya
menujukkan ketidakberdayaannya di hadapan lingkungannya. Penampilan
11
yang buruk dalam suatu situasi mungkin akan dilakukannya lebih buruk
lagi hanya karena ia merasa pesimis dengan diri dan kemampuannya.
Perasaan dan sikap rendah diri Nampak menonjol dalam penampilan
mereka.
12
kurang bervariasi dan ia pun kurang dapat mengerti dan menghayati
bagaimana perasaan orang lain. Mereka juga kurang mampu
mengendalikan emosinya dengan baik, sehingga seringkali terjadi
peledekan emosi. Ketidakstabilan emosi ini menimbulkan penyimpangan
tingkah laku, misalnya: mudah marah dan mudah tersinggung, kurang
mampu memahami perasaan orang lain (perasaannya’dangkal’),
berprilaku agresif, menarik diri, dan sebagainya. Perasaan-perasaan
seperti itu akan mengganggu situasi belajar dan akan mengakibatkan
prestasi belajar yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Karena itu mereka memerlukan pengajaran remedial.
13
I.Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan
Perolehan Bahasa
Pada anak yang mengalami hambatan emosi-sosial akan mengalami
karateristik yang berbeda pada anak umumnya. Ketidakmatangan emosi
dan sosial selalu berdampak pada keseluruhan perilaku dan pribadinya.
Hasil pengamatan menunjukan bahwa kemampuan anak yang mengalami
emosi-sosial berpengaruh pada kemampuan memperoleh bahasa dan
berkomunikasi dengan orang lain, sebab dalam berkomunikasi terlebih
dahulu harus memiliki keterampilan berbahasa yang cukup, yaitu terampil
menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
Faktor yang mengakibatkan lemahnya kemampuan berbahasa pada
anak yang mengalami hambatan sosial-emosi, Anderson S. Lynch dalam
Nursaid (1992:6) mengemukakan:
1) Faktor lingkungan, misalnya keakuratan penyimak mendengarkan
bunyi-bunyi bahasa atau ujar-ujaran.
2) Tingkat kesukaran fakta, frase dan kalimat-kalimat yang digunakan
pengajar
3) Kondisi kejiwaan penyimak, misalnya tidak memiliki waktu yang
memadai untuk melakukan kegiatan menyimak atau terburu-buru.
4) Kecenderungan isi pesan yang mempengaruhi sikap penyimak.
5) Faktor extra linguistik, misalnya kemampuan penyimak untuk
mendayagunakan isyarat-isyarat lingkungan tempat berlangsungnya
proses menyimak untuk menyusun pemahamannya.
14
dialami siswa dengan gangguan emosi-perilaku dalam perkembangan
belajarnya.
15
mempunyai perilaku yang baik sekali pun mereka tidak mau
mempergunakannya.
2. Keterampilan sosial yang minim (sosial skill deficiency)
Perkembangan kepribadian yang tertekan akan menimbulkan
kekurangterampilan dalam memperoleh penguatan (reinforcement)
perilaku sosial yang positif. Kondisi ini akan mengurangi terjadinya
interaksi sosial yang positif.
3. Konsekuensi paksaan (coercive consequences)
Jika anak yang cenderung cemas menarik diri menerima reaksi positif
dari lingkungannya mereka tetap gagal mengembangkan perilaku
pribadi dan keterampilan sosial yang mengarah kepada perilaku yang
efektif.
Menghadapi keadaan diatas, kita hendaknya dapat mempengaruhi
lingkungan mereka, mengajar dan menguatkan keterampilan sosial
antarpribadi yang lebih efektif, serta menghindarkan mereka dari
ketergantungan dan penguatan ketakberdayaan.
Bahwa perilaku menyimpang pada anak dengan hambatan emosi-
perilaku merugikan lingkungannya kiranya sudah jelas dan seringkali
orang tua maupun guru merasa kehabisan akal menghadapi anak dengan
gangguan perilaku seperti ini.
16
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Anak dengan hambatan sosial-emosi adalah seseorang yang
bertingkah laku tidak sesuai/melangggar norma yang ditetapkan dalam
masyarakanya dengan frekuensi pelanggaran yang cukup tinggi
sehingga dapat membahayakan ataupun merugikan masyarakat
dilingkungannya.
2. Anak dengan gangguan sosial emosi memiliki karakteristik akademis
dengan pencapaian prestasi yang relatif rendah, kondisi sosial yang
tidak terampil dalam hal berinteraksi dan kondisi fisik yang yang sering
merasa cemas serta merasa sakit padahal sehat.
3. Anak yang mengalami hambatan emosi-perilaku diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu anak yang mengalami hambatan sosial dan anak yang
mengalami gangguan emosi (Willian M. Cruickshank (1975:567))
4. Faktor yang menyebabkan anak mengalami gangguan emosi-perilaku
ada 2, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
5. Sedangkan prosese perkembangan yang dialami oleh anak dengan
hambatan emosi-perilaku tidak terlalu mengalami hambatan, hambatan
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya IQ anak yang bersangkutan.
B.Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
18