Anda di halaman 1dari 11

1|Sejarah Hellenisme Islam

Reza Ary aryani

SEJARAH HELLENISME ISLAM


Oleh:
Reza ary aryani
Univesitas Sains Al-Qur’an Wonosobo
Email : Reza.aryani78@gmail.com
Abstrak
Istilah Hellenisme dalam istilah modern diambil dari bahasa yunani kuno
hellenizein yang berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang yunani” (to speak or
make greek). Awal kebudayaan Hellenisme ini ditandai dengan keberhasilan Alexander
Agung dalam menaklukkan berbagai wilayah di muka bumi, dan pada akhirnya berhasil
mendirikan kerajaan raksasa yang meliputi wilayah India barat sampai yunani dan mesir,
yang nantinya membentuk perpaduan kebudayaan antara Yunani, Mediterania, Mesir dan
Persia yang disebut dengan peradaban Hellenisme. Kebudayaan ini berlangsung kurang
lebih 300 tahun, yaitu mulai dari 323 SM – 20 SM (dari masa Alexander Agung atau
Meninggalnya Aristoteles hingga Berkembangnya Agama Kristen atau zaman Philo).
Difusi yang terjadi menyebabkan keberagamaan budaya tersebut melebur menjadi satu
yang menampung gagasan politik, ilmu pengetahuan dll. Pada masa itu pula muncul
beberapa kota yang menjadi pusat Ilmu pengetahuan yang menjadi landasan
berkembangnya ilmu matematika, astronomi, biologi, dan ilmu pengetahuan. Sementara di
Athena fokus kajian lebih mengutamakan kajian mengenai filsafat Plato dan Aristoteles.
Adapun tiga aliran filsafat yang menonjol pada zaman Hellenisme yakni Stoisisme,
Epikurisme dan Neoplatonisme.
Kata kunci: Hellenisme, Mufassir, Filsafat
Pendahuluan
Dua hal penting yang akan penulis kaji dalam makalah ini, meliputi: bagaimana
pertumbuhan tradisi hellenistik ke dalam Islam Arab klasik; dan kapan saja masa-masa
besar yang menjadi fokus terjadinya pengembangan tradisi hellenistik secara massif.
Khusus pada kajian di masa-masa besar yang menjadi berkembangnya ilmu pengetahuan
secara massif, penulis hanya membatasi pada dua masa saja, yakni pada masa daulah Bani
Umayyah dan Bani Abbas. Dua hal tersebut cukup akan menjadi sebuah kajian yang dapat
dipaparkan secara baik (semoga) pada makalah ini mengenai seluk beluk perkembangan
2|Sejarah Hellenisme Islam
Reza Ary aryani

yang dilakukan oleh bangsa Arab lampau yang teramat memberikan sumbangsih besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, yang pada gilirannya akan
memberikan pengaruh di dunia barat pasca jaman kegelapan.

Pengenalan Awal
Istilah “Hellenisme” mengacu pada dunia pemikiran dan tradisi Yunani Kuno.
Hellenisme1 menurut Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa zaman hellenik merupakan
peralihan antara Yunani Kuno dan dunia Kristen yang terjadi semenjak tahun 323 SM
sampai 30 SM atau dari saat kematian Iskandar Agung sampai penggabungan Mesir ke
dalam kekaisaran Romawi. Sederhananya, budaya dan tradisi hellenistik merupakan
sebuah misi yang pernah dilaksanakan oleh Iskandar Agung di tengah-tengah dirinya
menaklukkan daerah-daerah di dunia, seperti di Mesir dan Persia yang notabene-nya dekat
dengan bangsa Arab.
Melompat jauh ke depan, pada sekitar abad ke-8 s/d 10 Masehi, lahirlah gelombang
Hellenisme pertama yang menjadi cikal bakal masa kejayaan umat Islam pada abad ke-12.
Gelombang hellenisme itu ditandai dengan penerjemahan karya-karya monumental asing
(khususnya ilmu pengetahuan Yunani) agar dapat dipelajari oleh umat Islam.2
Philip K. Hitti berpendapat bahwa sebenarnya kontributor terbesar kaitannya dengan
kemajuan umat manusia abad pertengahan diberikan oleh orang-orang Arab dan orang-
orang yang berbahasa Arab. 3 Bisa dikatakan, bangsa Arab adalah jembatan paling penting
yang turut memberikan andil besar mentransmisikan hampir seluruh ilmu pengetahuan
Yunani ke dalam wilayah keilmuan di Eropa sampai sekarang ini. Mengingat, Eropa yang
notabene-nya sebagai pencetus kelahiran rainassance dan aufklarung, pada saat itu
(dengan tradisi Kekristenan) menolak habis tradisi hellenistik. Bisa dikatakan, tanpa
bangsa Arab Islam yang membawa pengetahuan ini ke ranah kehidupan manusia, akan
sangat tidak mungkin mampu terjadi apa yang disebutkan barusan. Rainassance dan

1
Terma “Hellenisme” diperkenalkan pertama kali oleh J.G. Droysen, ahli sejarah dari Jerman. Ia
memakai istilah “Hellenismus” sebagai sebutan untuk masa yang dianggapnya sebagai periode peralihan
antara Yunani Kuno dan dunia Kristen. Lihat; Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta
Selatan: Paramadina, 1999), hlm. 229.
2
M. Anis Bachtiar, Gerakan Hellenisme dalam Islam, Jurnal Tribakti, Vol 20, No. 2, Juli 2009,
hlm. 110.
3
Achmad Gholib, Filsafat Islam (Jakarta: Faza Media, 2009), hlm. 4.
3|Sejarah Hellenisme Islam
Reza Ary aryani

Aufklarung. Bahkan Abraham S. Halkin mengatakan bahwa orang Arab sangat berjasa
besar dalam menerjemahkan kumpulan ilmu yang di luar tradisi Islam ke dalam bahasa
Arab.4
Bangsa Arab pada saat memenangkan pertarungan militer dan politik, para khalifah,
gubernur dan tokoh-tokoh intelektual lain khususnya, mereka tidak memandang remeh
tradisi dan kebudayaan daerah taklukkan mereka. Paradigma inlusif yang mereka usung
inilah yang akan menjadi cikal bakal berkembangnya gerakan hellenisme dalam Islam.
Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamien, para pemimpin mengajarkan hal tersebut
sebagai sebuah pegangan utuh dalam menaklukkan.
Dalam menaklukkan beberapa daerah di bawah naungan Islam, para pemimpin
mengajarkan untuk jangan memaksakan penduduknya agar memeluk Islam. Melainkan
agar secara sukarela dalam memeluk agama Islam.5 Hal tersebut yang merupakan menjadi
prinsip utama dalam menaklukkan daerah-daerah kekuasaan di bawah kekuasaan orang-
orang Islam. Sebuah paradigma inklusif yang diusung dalam menerima buday, karakter,
tradisi, kebiasaan di luar Islam-Arab. Sehingga sifat yang terbuka inilah yang menjadikan
ujung tombak dalam tersebar-luasnya tradisi hellenistik dan mengakibatkan Islam
mencapai masa kejayannya.
Meminjam pandangan Watt, Islam mengalami tiga gelombang hellenisme yang ke
semuanya merupakan bentuk pertemuan antara peradaban Islam dengan peradaban Barat.
Gelombang hellenisme pertama dan kedua terjadi manakala Islam berinteraksi dengan ide-
ide filsafat Yunani. Kedua gelombang ini, menurut Watt dikategorisasikan sebagai
gelombang hellenisme yang murni intelektual. Bedanya, jika pada gelombang pertama
masih didominasi pola-pola “copy paste” pengetahuan dalam bentuk penerjemahan. Di
mana nalar iman masih mendominasi. Adapun gelombang kedua sudah mulai terjalin
sintesa yang harmonis antara sistem filsafat Yunani yang bercorak atheis dengan sistem

4
Abraham S. Halkin, The Judeo-Islamic Age, The Great Fusion, dalam Leo W. Schwarz, ed., Great
Ages: Ideas of the Jewish People (New York: The Modern Library, 1956), hlm. 218-219.
5
Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah hadits yang berbunyi, “Aku (Muhammad) diperintahkan
untuk memerangi manusia hingga mereka berikrar ‘la ilaha illa Allah’, jika mereka mengikrarkan kalimat
tersebut, darah dan harta mereka terjaga dengan aman. Apabila mereka menolak maka hendaknya mereka
menyerahkan negara mereka untuk dikuasai orang Islam, mereka masih diperbolehkan menganut agama
asalnya tapi harus siap dengan membayar pajak. Jika mereka menerima tawaran untuk masuk Islam, maka
hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya”. (H.R. Bukhori dan Muslim dari Umar bin
Khathab dalam Mukhtar Ahadits Muhammadiyah)
4|Sejarah Hellenisme Islam
Reza Ary aryani

filsafat Islam yang monotheis. Sementara gelombang ketiga tidak lagi menyoal interaksi
intelektual, namun lebih meluas ke area-area lain seperti sosial, ekonomi, dan politik. Pada
gelombang ketiga ini menghasilkan sikap marginalisasi terhadap Islam oleh kekuatan Barat
yang berakibat pada ketergantungan Islam yang hebat terhadap Barat, baik dalam konteks
intelektual, politik maupun ekonomi.6

Perkembangan Gelombang Hellenisme


1) Pada Masa Daulah Bani Umayyah
Pasca wafatnya Nabi Muhammad tahun 632 M, dalam beberapa dekade selanjutnya,
para pengikut Nabi Saw. telah berhasil menguasai seluruh semenanjung Arabia,
menyerang kerajaan Byzantium dan Persia, kedua kerajaan besar itu telah membagi Timur
Tengah di antara mereka, dan merebut wilayah-wilayah yang luas dari keduanya. Kerajaan
Persia ditaklukkan dan menduduki hampir seluruhnya. Dari dunia kerajaan Byzantium
Muslim Arab menduduki Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara.7
Bersama dengan seluruh daerah-daerah taklukannya semenjak dinasti Umayyah yang
didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abis Sufyan, cicit dari Umayyah ibn Abdi Syam, telah
bersentuhan dengan tradisi pemikiran filsafat Yunani-Romawi. Dinasti ini berkuasa selama
91 tahun, dimulai pada tahun 41-132 H di bawah kekuasaan 14 Khalifah.8 Di bawah
kekuasaan mereka, daulah bani Umayah berhasil menaklukkan seluruh jazirah Arabia,
teluk Persi, Mesir, Afrika Utara, ke barat sampai ke Andalusia (Spanyol) dan ke timur
sampai ke negeri Sind (India).9

6
M. Anis Bachtiar, Gerakan Hellenisme dalam Islam, hlm. 109-110.
7
Jago Ritonga, Arabisasi dan Perspektif Bangsa Arab Terhadap Bahasa Asing (Tinjauan Historis),
Jurnal Innovatio, Vol. 6, No, 12, Ed. Juli-Desember 2007, hlm. 350.
8
A. Shalabi, Mawsu’at al-Tarikh al-Islam, jilid II (Mesir: al-Nahdah al-Misriyyah, 1971), hlm. 22.
9
Bermula dari ekspansi militer Raja Macedonia, Iskandar Agung (356-326 SM) ke kawasan Asia
Kecil dan Afrika Utara yang melibatkan sejumlah prajurit dan kaum cendekiawan yang turut serta dalam
ekspedisi tersebut. Melalui mereka, kebudayaan dan filsafat Yunani tersebar ke daerah-daerah penaklukkan
yang melahirkan suatu kebudayaan baru yang dikenal dengan kebudayaan hellenisme. Setelah Iskandar
Agung wafat, kerajaannya pecah menjadi tiga, yakni: Macedonia di Eropa, kerajaan Ptelomeus di Mesir
beribu kota Iskandariyah dan kerajaan Seleucid di Asia. Raja-Raja Ptelomeus mendirikan Universitas
Iskandariyah sebagai pusat studi ilmu pengetahuan dan filsafat, yang kemudian berkembang dengan pesat
berkat datangnya para mahaguru dari Athena yang diusir dari Yunani. Universitas Iskandariyah sangat
terkenal karena melahirkan beberapa pemikir seperti Archimedes (ahli ilmu Fisika), Galenus (kedokteran),
Ptelomeus (astronomi), dan Plotinus (ilmu filsafat). Lihat: Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), hlm. 2.
5|Sejarah Hellenisme Islam
Reza Ary aryani

Lalu ketika terdapat sebuah Universitas tersohor akan pusat studi filsafatnya di
daerah Iskandariyah sebagai sebuah ibu kota Mesir yang berhasil ditaklukkan oleh umat
Islam. Seluruh fasilitas yang menjadi aset besar bagi umat Islam seperti teleskop,
perpustakaan besar dan laboratorium penelitian. Belum lagi di Jundaisapur yang letaknya
tidak terlalu jauh dari Baghdad (sekarang), dan kota Harran yang terletak di negeri Syam
(Suriah). Di tangan daulah Umayyah, kota Jundisapur10 dikembangkan dan telah
ditemukan suatu akademi filsafat dan sebuah rumah sakit yang dipimpin oleh Girgis ibn
Bakhtyshu11 (Kakek dari Gabriel ibn Bakhtyshu). Karena banyaknya buku-buku yang
semula berbahasa Suryani dan Persia lalu pada masa daulah Umayyah diterjemahkan hasil
terjemahan sebelumnya ke dalam bahasa Arab. Agaknya pada titik ini, bangsa Arab
bersifat otonom menyoal bahasa, dibuktikan dengan teguh pendirian mereka dalam
penggunanaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi kerajaan.
Berangkat dari laporan sejarah perkembangan filsafat di atas, menunjukkan bahwa
penduduk pribumi kota Iskandariyah (Mesir), Jundisapur (Persia) dan Harran
(Syam/Suriah) pada masa Bani Umayyah telah memiliki kebudayaan hellenistik dan
bahkan sebagai pusat studi filsafat, dengan berdirinya lembaga-lembaga bercorak
akademis. Dengan dikuasainya kota-kota tersebut maka terjadilah interaksi sosial yang
mendalam antara umat Islam (pendatang) dengan bangsa pribumi. Gejala sosial ini
mengakibatkan adanya akulturasi budaya, tidak hanya perilaku sosial tetapi juga cara
berpikir dari khazanah intelektual Yunani-Romawi. Kesimpulannya adalah, bahwa umat

10
Kota ini menjadi pusat studi ilmu pengetahuan dan filsafat, bermula dari kekalahan tentara
Romawi oleh panglima Persia yang bernama Sabur, sehingga banyak serdadu Romawi yang ditawan di kota
tersebut. Di antara para tawanan perang tersebut terdapat para ilmuwan dan cendekiawan yang diberi
kebebasan oleh Kisra Persia untuk mengembangkan keahlian mereka masing-masing. Terlebih lagi, ketika
kaisar Romawi bernama Justinianus (529 M) menutup seluruh perguruan filsafat dari Athena, serta mengusir
para filosof dari Romawi, mereka sebagian mengungsi ke Jundisapur dan Harran. Persia menyambut gembira
kedatangan mereka dengan disediakannya fasilitas yang memadai untuk mereka. Sejak saat itu, Jundisapur
menjadi pusat kelahiran kembali filsafat dan kedokteran, berkat diterjemahkannya buku-buku Yunani-
Romawi ke dalam bahasa Suryani dan Persia. Lihat: Ahmad Fuad al-Akhwani, al-Falsafah al-Islamiyyah,
terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 31.
11
Atau bisa ditulis dalam bentuk lain menjadi Georgius bin Jabra’il. Ia diangkat menjadi dokter
utama istana oleh Khalifah al-Mansur beserta muridnya yang bernama Isa ibn Syahlata. Al-Mansur dikenal
merupakan seorang khalifah yang sangat tertarik dengan ilmu-ilmu Yunani Kuno. Pada masanya, ia
dinobatkan sebagai khalifah yang paling dini dalam melakukan penerjemahan buku-buku Yunani. Pada tahun
762 M, ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Baghdad, dekat ibu kota Persia, Ctesiphon. Ia juga
mengangkat pengawalnya yang berasal dari Persia, Khalid bin Barmark yang berasal dari Persia, yang
kemudian diangkat menjadi wazir. Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I
(Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 16 dan lihat pula: Bayard Dodge, Muslim Educational in Medieval Times
(Washington: The Middle East Institute, 1962), hlm. 16
6|Sejarah Hellenisme Islam
Reza Ary aryani

Islam pada masa Bani Umayyah telah berada pada posisi interaksi dengan warisan
intelektual Yunani yang merupakan embrio lahirnya filsafat Islam.
Ketika khalifah Marwan ibn Hakam (64-65 H) memimpin, terjadi penerjemahan
buku-buku Yunani untuk tujuan tertentu. Mulanya hanya beberapa buku yang
diterjemahkan yang orientasinya praktis, misalnya kimia, kedokteran, astronomi dan
beberapa yang lain. Tetapi pada giliran selanjutnya berkembang ke bidang filsafat. Ilmu
pengetahuan yang paling perta diterjemahkan mengenai ilmu kedokteran yang ditulis oleh
pendeta Ahran ibn A’yun dalam bahasa Suryani ke dalam bahasa Arab. Buku tersebut
terjaga dengan baik sampai pada khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H). Buku-buku
tersebut dirilis sesaat khalifah melakukan istikharah terlebih dahulu, dengan tujuan agar
dapat bermanfaat untuk umat Islam. Sejak saat itu mulailah berbagai cabang ilmu
pengetahuan asing sedikit demi sedikit diserap oleh dunia Islam sampai zaman Daulah
Abbasyiah.12
Menurut Hasan Ibrahim Hasan bahwasannya orang yang pertama menaruh perhatian
terhadap kajian ilmu filsafat dan penerjemahan buku-buku kedokteran ke dalam bahasa
Arab adalah Khalid ibn Yazid ibn Mu’wiyah (85-84 H). Ia memanggil sekelompok orang
Yunani yang bermukim di Mesir untuk menyalin buku-buku yang berbahasa Yunani dan
Qibti (masih di daerah Mesir) tentang kimia ke dalam bahasa Arab.13 Khalid juga
memerintahkan seorang ilmuwan Yunani yang tinggal di Iskandariyah untuk
menerjemahkan buku berjudul Organon dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dari seluruh paparan di atas, nampaknya penulis menemukan alasan lain mengapa
banyak ilmu pengetahuan yang diimpor dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Karena
memang selain kebutuhan umat Islam terhadap ilmu-ilmu tersebut (faktor internal),
menurut Watt, terdapat pula faktor eksternal mengapa umat Islam mau mempelajari ilmu
pengetauhan yang notabene-nya bertolak belakang dengan tradisi mereka, bahwa sebab
penerimaan orang Islam mau menerima ilmu pengetahuan dari Yunani dikarenakan
memang orang-orang pribumi yang dihadapi umat Islam pada saat itu memiliki budaya
akademis yang kuat.14 Banyak pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul dari mereka,

12
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, hlm. 31.
13
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid II (Mesir: al-Nahdah al-Misriyyah, 1976), hlm. 345
14
Montgomery Watt, Islamic Theology and Philosophy, terj. Umar Basalim (Jakarta: P3M, 1987),
hlm. 58.
7|Sejarah Hellenisme Islam
Reza Ary aryani

sehingga umat Islam perlu mengcounter pernyataan-pernyataan yang bersifat akademis itu
dengan pengetahuan milik mereka sendiri. Adanya kesadaran akan code-code yang
dimiliki oleh pribumi Mesir, Persia dan Suriah telah menghabitus di sendi-sendi kehidupan
mereka agar Islam dapat dipeluk oleh mereka. Perlu adanya pemikiran kritis pula
menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

2) Munculnya Gerakan Keagamaan pada Masa Daulah Bani Umayyah


Pendapat Watt pada sub-bab sebelumnya merupakan salah satu faktor eksternal bagi
kaum Muslimin yang berasaskan rasionalis dalam mempelajari filsafat dengan dalih
membela keyakinan agama terhadap kritik yang berasal dari umat non-Muslim. Terdapat
beberapa aliran teologis pada masa Bani Umayyah yang pola berpikirnya terkena sentuhan
filsafat Yunani, yakni aliran Qadariyah yang akan menjadi cikal bakal munculnya aliran
Mu’tazilah. Muncul perdebatan pada paruh akhir abad pertama Hijriah yang telah
membicarakan persoalan qudrah dan iradah manusia (af’al al-‘ibad), sebagai sebuah
kemerdekaan atas dua hal tersebut, bahkan Tuhan tidak mengetahui apa yang diperbuat
oleh manusia. Secara epistemologis perdebatan tersebut merupakan hasil dari transfer
pemikiran filosof Yunani yang kemudian ditransfer oleh orang-orang Suryani, lalu menjadi
15
perdebatan panjang antara orang-orang Zoroaster dan Masehi. Terdapat dua khalifah
Bani ‘Umayyah yang beraliran Qadariyah, yakni Mu’awiyah II dan Yazid II.
Para baruh pertama abad ke-8, di Bashrah hidup seorang tokoh terkenal bernama
Washil ibn ‘Atha’ (w. 748 M), seorang pendiri aliran Mu’tazilah yang mempertahankan
pendapat di atas. Ia pernah berguru pada Hasan al-Bashri yang cenderung mendoktrinkan
kebebasan berkehendak.16 Namun, pada aliran Mu’tazilah ini mereka lebih memperdalam
dan filosofis. Mereka sudah menapaki gerbang metafisika. Seperti ketika ia berpendapat
mengenai penolakan atas kesatuan Tuhan beserta sifat-sifatnya, seperti Yang Maha Esa,
Perkasa, Maha Mengetahui. Dengan memberikan sifat tersebut, secara tidak langsung
sedang membatasi akumulasi keberadaan Tuhan dengan kebendaan. Yang Maha Esa,
secara pengetahuan dipahami oleh manusia, sedangkan Yang Maha Esa Tuhan tidak ada
yang mengetahuinya. Memberikan sifat pada Tuhan sama saja dengan mengkonsepkan

15
Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Mesir: al-Nahdah al-Misriyyah, 1965), hlm. 284 dan Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan BIntang, 1979), hlm. 21.
16
Phillip K. Hitti, History of The Arabs, terj. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 306.
8|Sejarah Hellenisme Islam
Reza Ary aryani

Tuhan dengan pengetahuan duniawi. Hal itu yang ditolak keras oleh aliran Mu’tazilah ini.
Pendapat lainnya tentang posisi akal manusia. Bahwa sebenarnya sekalipun pernyataan
syara’ tidak menyebutkan secara jelas, akal manusia bisa membedakan baik dan buruk
sendiri. Manusia dapat memiliki kemerdekaan untuk memilih yang baik sekalipun tanpa
ada risalah Nabi/Rasul. Maka menurut al-Shahrastani, berdasarkan pendapat tersebut,
bahwa para mutakallimin klasik seperti Washil ibn ‘Atha’ dan kawan-kawan telah
mempelajari pengetahuan filsafat Yunani Kuno.17

3) Pada Masa Daulah Bani Abbas


Setelah banyaknya karya-karya Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada
masa daulah Bani Umayyah, seperti pada jaman al-Manshur ketika ia memerintahkan salah
seorang yang bakal menjadi pioneer dalam penerjemahan bernama Abu Yahya al-Batriq.
Di tangannya karya-karya besar Galen, Hippocrates, Ptolemi berjudul Quadripatrium,
Elements karya Euclid dan Magiste. Adapun tradisi penerjemahan dan kajian ilmu
pengetahuan pada saat bani Abbas ini akan mengalami masa puncaknya. Setelah Bani
Umayyah turun, lantas Daulah Abbasyiah berkuasa, banyak para pejabat yang menjadikan
ajang tradisi tersebut sebagai sebuah life style di kehidupan bangsa Arab. Menjadikan
peradaban pada saat itu, mencapai kejayaan bagi umat Islam.
Pesatnya penerjemahan buku-buku asing pada masa dinasti Bani Abbas dimulai oleh
khalifah kedua bernama Ja’far al-Manshur dengan membangun kota Baghdad menjadi
mercusuar dan jantung dunia dalam beberapa abad.18 Khalifah tersebut dikenal sangat
sayang dengan ilmu pengetahuan, khususnya astronomi, kedokteran dan juga ilmu hitung.
Ia menyuruh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazazi (ahli falak pertama dalam Islam) untuk
menerjemahkan buku Sirhind yang berasal dari India ke dalam bahasa Arab, yang berisi
ilmu astrnomi dan ilmu hitung India. Dari bahasa Persia diterjemahkan buku Kalilah wa
Daminah, sedangkan dari buku-buku Yunani diterjemahkan melalui bahasa Suryani.
Kegiatan ini masih berjalan pada masa Khalifah al-Mahdi, al-Hadi dan Harun al-Rasyid
yang menyuruh menerjemahkan buku berjudul Enclides, sebuah karya yang berbicara

17
Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz. I (Mesir: al-Qahirah, 1320), hlm. 58
18
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987), hlm. 246.
9|Sejarah Hellenisme Islam
Reza Ary aryani

tentang ilmu ukur. Tak lupa, buku yang berjudul Alamageste karya Ptolemeus tentang ilmu
falak.19
Gerakan penerjemahan mencapai puncaknya pada masa Khalifah al-Makmun (813-
833 M) di Baghdad. Sebagai penganut aliran Mu’tazilah, sudah barang tentu ia bersikap
sangat liberal mengenai pengetahuan rasional. Terbukti dengan didirikannya sebuah
lembaga fenomenal bernama Bayt al-Hikmah sebagai pusat studi ilmu pengetahuan dan
kajian ilmiah. Di tangan al-Makmun, ilmu pengetahuan dan filsafat yang pernah
berkembang di Yunani, Romawi ditransfer bahkan dikuasai dan akhirnya dikembangkan
oleh umat Islam secara luar biasa hebat. Ia mengirim utusan ke seluruh kerajaan
Byzantium untuk mencari buku-buku Yunani tentang berbagai bidang, yang kemudian
diterjemahkan.
Di antara para pakar penerjemah pada masa itu ialah Hunain ibn Ishak, Ya’qub al-
Kindi, Tsabit ibn Qurra’, dan Umar ibn Bakhtyshu. Mereka dibantu beberapa staf,
sehingga dapat menerjemahkan buku-buku Yunani, Romawi, Persia dengan sangat baik.
Di antara berbagai disiplin ilmu yang mereka kaji meliputi; filsafat, kedokteran, astronomi,
matematika, musik, logika, sejarah, hukum, sastra dan lain sebagainya. Di antara para
pakar tersebut, al-Kindi terpilih sebagai guru istana sekaligus dokter pribadi pada masa
Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq.20
Kegiatan penerjemahan ini tetap berjalan meskipun seusai sepeninggal Khalifah al-
Ma’mun dalam waktu yang cukup lama. Sekapiun Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M)
membatasi kebebasan berpikir dan menindak orang-orang yang bekerja di lapangan
filsafat. Selanjutnya dalam beberapa waktu, umat Islam berhasil menguasai hampir seluruh
warisan intelektual dari tiga jenis sumber, yakni Yunani, Persia dan India. Berkat
penerjemahan dan terdapat kajian yang sangat massif banyak terlahir tokoh-tokoh filsafat
Islam sebagai penerus pemikiran umat manusia, malah mungkin sudah melampui mereka
karena tidak hanya menerjemahkan saja, melainkan juga diberi pendapat tambahan,
komentar, sanggahan dan kritik. Sehingga menjadikan khazanah pengetahuan Islam yang
luas didapati di dalam peradaban pada masa Bani Abbas. Di mana pemikiran mereka

19
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 247.
20
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, hlm. 347.
10 | S e j a r a h H e l l e n i s m e I s l a m
Reza Ary aryani

banyak sekali membantu para tokoh rainassance dan filosof abad modern mengembangkan
ilmu pengetahuan dan filsafat. Di bawah ini tokoh ilmuwan muslim yang masyhur:
a. Ibnu Shina (980-1037 M)
b. Al-Farabi (870-950 M)
c. Ibn-Rusyd (1126-1198 M)
d. Al-Khawarizm (780–850 M)
e. Al-Ghazali (1058–1111 M)
f. Al-Kindi (801–869 M)
g. Al-Razi (251 – 320 H)

Konklusi
Tradisi Hellenisme dapat berkembang di dalam tubuh Islam dikarenakan oleh luasnya
ekspansi pada daerah-daerah di sekitar Arab yang Islam lakukan. Pada saat itu, mulailah
terdapat dialog pengetahuan, mengingat banyak dari tempat taklukan Islam yang
mempertahankan tradisi hellenistik, seperti peninggalan perpustakaan di Iskandariah,
Mesir salah satunya. Namun pada saat masa sahabat, kebutuhan terhadap produk-produk
pemikiran hellenistik tidak terlalu semassif pada jaman Bani Umayyah, apalagi pada masa
Bani Abbas. Pada masa Bani Umayyah, terdapat penemuan mengenai kebutuhan mereka
terhadap produk-produk pemikiran hellenistik, seperti ilmu kedokteran. Pada saat masa
Bani Umayyah, memang, kebutuhan mereka terhadap karya-karya hellenistik hanya
cenderung seputar ilmu-ilmu yang bersifat praktis. Barulah pada saat Bani Abbas,
pengolahan ilmu pengetahuan bercorak hellenistik berkembang sangat pesat. Umat Islam
pada saat itu tidak hanya mengambil ilmu-ilmu yang bersifat praktis, namun, ditemukan
beberapa karya fonumenal hampir di seluruh bidang ilmu pengetahuan. Sampai-sampai
banyak terlahir tokoh yang nantinya akan dijadikan rujukan oleh para pemikir barat sampai
kini. Bisa dikatakan, Islam merupakan jembatan bagi ilmu pengetahuan yang berkembang
di dunia barat masa kini.

Bibliografi
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986)
Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz. I (Mesir: al-Qahirah, 1320)
11 | S e j a r a h H e l l e n i s m e I s l a m
Reza Ary aryani

Amin, Ahmad, Fajr al-Islam (Mesir: al-Nahdah al-Misriyyah, 1965), hlm. 284
dan Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979)
Bachtiar, Anis, Gerakan Hellenisme dalam Islam, Jurnal Tribakti, Vol 20, No.
2, Juli 2009
Dodge, Bayard, Muslim Educational in Medieval Times (Washington: The
Middle East Institute, 1962)
Fuad al-Akhwani, Ahmad, al-Falsafah al-Islamiyyah, terj. (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1985)
Gholib, Achmad, Filsafat Islam (Jakarta: Faza Media, 2009)
Halkin, Abraham S., The Judeo-Islamic Age, The Great Fusion, dalam Leo W.
Schwarz, ed., Great Ages: Ideas of the Jewish People (New York: The
Modern Library, 1956)
Ibrahim Hasan, Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid II (Mesir: al-Nahdah al-Misriyyah,
1976)
K. Hitti, Phillip, History of The Arabs, terj. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2006)
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta Selatan:
Paramadina, 1999)
Mukhtar Ahadits Muhammadiyah
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI
Press, 1985)
Ritonga, Jago, Arabisasi dan Perspektif Bangsa Arab Terhadap Bahasa Asing
(Tinjauan Historis), Jurnal Innovatio, Vol. 6, No, 12, Ed. Juli-Desember
2007
Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987)
Watt, Montgomery, Islamic Theology and Philosophy, terj. Umar Basalim
(Jakarta: P3M, 1987)

Anda mungkin juga menyukai