Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Pendidikan“. Adapun materi yang dibahas dalam makalah ini adalah
“Filsafat Pendidikan Realisme”.
Akhirnya saya berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para
pembaca. Saya menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kesalahan, dan
kekurangan serta jauh dari sempurna maka dari itu saya mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca.

Palu, November 2019


Penulis

Kelompok III

1
DAFTAR ISI

KATA PEGANTAR…………………………………………………………………..1
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….....2
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………….....3
1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………………3
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………..4
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………4
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………...…5
2.1 Pengertian Realisme…………………………………………………………..5
2.2 Bentuk-Bentuk Aliran Realisme………………………………………………6
1. Realisme Rasional…………………………………………………………….6
2. Realisme Natural Ilmiah………………………………………………………9
3. Neo Realisme dan Realisme Kritis……………………………………………9
2.3 Konsep Filsafat Menurut Aliran Realisme………………………………….10
1. Metafisika-Realisme…………………………………………………………10
2. Humanologi-Realisme……………………………………………………….10
3. Epistemologi-Realisme………………………………………………………11
4. Aksiologi-Realisme…………………………………………………….……12
2.4 Filsafat Pendidikan Realisme……………………………………………..…12
BAB III PENUTUP………………………………………………………………….16
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………...16
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..17

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang Masalah


Filsafat pendidikan adalah aplikasi dari filsafat umum dalam pendidikan.
Filsafat pendidikan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang menyangkut
dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya serta hakikat ilmu pendidikan yang
menyangkut struktur kegunaannya.
Terdapat banyak alasan untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnya
apabila ada pertanyaan rasional yang tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-
ilmu pendidikan. Pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas
konsep dan praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang sangat
penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Terlebih lagi, di tengah arus
globalisasi dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi inovasi
agar tidak ketinggalan perkembangan serta memiliki arah tujuan yang jelas.
Pendidikan membutuhkan filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya
menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang terbatas pada pengalaman. Dalam
kegiatan pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks, dan mendalam
serta tidak terbatas oleh pengalaman indrawi maupun fakta-fakta sehingga tidak dapat
dijangkau oleh ilmu pendidikan (science of education). Masalah-masalah tersebut
antara lain adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan
nilai sebagai pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan
suatu fakta, namun pembahasannya tidak dapat dikaji hanya dengan menggunakan
pendekatan sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam
melalui filsafat.
Filsafat ilmu pendidikan dapat dibataskan sebagai salah satu bentuk teori
pendidikan yang dihasilkan melaui riset baik kualitatif maupun kuantitatif. Filsafat
pendidikan ini perlu dipedomani para perencana pendidikan tentang tujuan, isi,

3
kurikulum yang merumuskan tujuan-tujuan pengubahan perilaku yang bersifat
personal, sosial dan ekonomi.
Dalam filsafat ditemukan adanya aliran seperti idealisme, realisme,
materialisme, pragmatisme, eksistensialime, dan lain-lain. Dengan demikian,
pendekatan filosofis dalam memaknai teori pendidikan akan didasari oleh berbagai
aliran filsafat tersebut. Pembahasan dalam makalah ini menekankan pada topik
tentang teori pendidikan berdasarkan aliran filsafat realisme.

1.2     Rumusan Masalah


1.      Apa yang dimaksud dengan realisme?
2.      Apa saja bentuk-bentuk aliran realisme?
3.      Bagaimana konsep filsafat menurut aliran realisme?
4.      Bagaimana filsafat pendidikan realisme?

1.3    Tujuan
1.      Mengetahui dan memahami pengertian realisme
2.      Mengetahui dan memahami bentuk-bentuk aliran realisme
3.      Mengetahui dan memahami konsep filsafat menurut aliran realisme
4.      Mengetahui dan memahami filsafat pendidikan realisme

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Realisme


Realisme merupakan suatu aliran yang lahir di Eropa pada abad ke 16-17
yang menunjukkan keinginan untuk mengetahui segala sesuatu dalam alam. Ini
berarti beralihnya perhatian dari pelajaran-pelajaran tentang manusia kepada realita
(kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan alam).
Menurut Kattsof (1996:126) realisme dalam berbagai bentuk menarik garis
pemisah yang tajam antara yang mengetahui dan yang diketahui, dan pada umumnya
cenderung ke arah dualisme atau monisme materialistik. Dengan berpandangan
bahwa objek atau dunia luar itu adalah nyata pada sendirinya, realisme memandang
pula bahwa kenyataan itu berbeda dengan jiwa yang mengetahui objek atau dunia
luar tersebut. Maka dari itu pengamatan, penelitian dan penarikan kesimpulan
mengenai hasil-hasilnya perlu agar dapat diperoleh gambaran yang tepat secara
langsung atau tidak langsung mengenai sesuatu.
Menurut Realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual
terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bila
dihayati oleh subjek tertentu dan selanjutnya akan tergantung pula dari sikap subjek
tersebut. Sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa yang ada yang
ditangkap panca indra dan yang konsepnya ada itu memang nyata ada.
Definisi kebenaran menurut penganut realisme adalah ukuran kebenaran suatu
gagasan mengenai sesuatu yaitu menentukan apakah gagasan itu benar-benar
memberikan pengetahuan kepada kita mengenai sesuatu itu sendiri ataukah tidak
dengan mengadakan pembedaan antara apakah sesuatu itu yang senyatanya dengan
bagaimanakah tampaknya sesuatu itu.

5
2.2 Bentuk-Bentuk Aliran Realisme
1. Realisme Rasional
Bentuk utama dari realisme religius ialah “Scholastisisme”. Realisme klasik
ialah filsafat Yunani yang pertama kali dikembangkan oleh Aristoteles, sedangkan
realisme religius terutama Scholastisisme oleh Thomas Aquinas. Aristoteles
membahas teologi gereja dengan menggunakan filsafat. Thomas Aquinas
menciptakan filsafat baru dalam agama Kristen, yang disebut Tomisme, pada saat
filsafat gereja dikuasai oleh Neoplatonisme yang dipelopori oleh Plotinus.
Realisme Klasik maupun realisme religius menyetujui bahwa dunia materi
adalah nyata, dan berada di luar pikiran (ide) yang mengamatinya. Tetapi sebaliknya,
Tomisme berpandangan bahwa materi dan jiwa diciptakan oleh Tuhan, dan jiwa lebih
penting daripada materi karena Tuhan adalah rohani yang sempurna. Tomisme juga
mengungkapkan bahwa manusia merupakan suatu perpaduan atau kesatuan materi
dan rohani, dimana badan dan roh menjadi satu. Manusia bebas dan bertanggung
jawab untuk bertindak, namun manusia juga abadi lahir ke dunia untuk mencintai dan
mengasihi pencipta, karena itu manusia mencari kebahagiaan abadi.
a.    Realisme Klasik
Realisme klasik oleh Brubacher (1950) disebut humanisme rasional. Realisme
klasik berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki rasional. Dunia
dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip “self evident”, dimana manusia dapat
menjangkau kebenaran umum. Self evident merupakan hal yang penting dalam
filsafat realisme karena evidensi merupakan asas pembuktian tentang realitas dan
kebenaran. Self evident merupakan suatu bukti yang ada pada diri (realitas, eksistensi)
itu sendiri. Jadi, bukti tersebut bukan pada materi atau pada realitas yang lain. Self
evident merupakan asas untuk mengerti kebenaran dan sekaligus untuk membuktikan
kebenaran. Self evident merupakan asas bagi pengetahuan artinya bahwa pengetahuan
yang benar buktinya ada didalam pengetahuan atau kebenaran pengetahuan itu
sendiri.

6
Pengetahuan tentang Tuhan, sifat-sifat Tuhan, eksistensi Tuhan, adalah
bersifat self evident. Artinya, bahwa adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan
bukti-bukti lain, sebab Tuhan itu self evident. Sifat Tuhan itu Esa, artinya Esa hanya
dimiliki oleh Tuhan, tidak ada yang menyamainya terhadap sifat Tuhan tersebut.
Eksistensi Tuhan merupakan prima kausa, penyebab pertama dan utama dari segala
yang ada, yakni merupakan penyebab dari realitas alam semesta.
Tujuan pendidikan bersifat intelektual. Memperhatikan intelektual adalah
penting, bukan saja sebagai tujuan, melainkan dipergunakan sebagai alat untuk
memecahkan masalah. Bahan pendidikan yang esensial bagi aliran ini, yaitu
pengalaman manusia. Yang esensial adalah apa yang merupakan penyatuan dan
pengulangan dari pengalaman manusia. Kneller (1971) mengemukakan bahwa
realisme klasik bertujuan agar anak menjadi manusia bijaksana, yaitu seseorang yang
dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan fisik dan sosial.
Menurut Aristoteles, terdapat aturan moral universal yang diperoleh dengan
akal dan mengikat manusia sebagai makhluk rasional. Di sekolah lebih menekankan
perhatiannya pada mata pelajaran (subject matter), namun selain itu, sekolah harus
menghasilkan individu-individu yang sempurna. Menurut pandangan Aristoteles,
manusia sempurna adalah manusia moderat yang mengambil jalan tengah. Pada anak
harus diajarkan ukuran moral absolut dan universal, sebab apa yang dikatakan baik
atau benar adalah untuk keseluruhan umat manusia, bukan hanya untuk suatu ras atau
suatu kelompok masyarakat tertentu. Hal ini penting bagi anak untuk mendapatkan
kebiasaan baik. Kebaikan tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari.
b.   Realisme Religius
Realisme religius dalam pandangannya tampak dualisme. Ia berpendapat
bahwa terdapat dua order yang terdiri atas “order natural” dan “order supernatural”.
Kedua order tersebut berpusat pada Tuhan. Tuhan adalah pencipta semesta alam dan
abadi. Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri, guna mencapai
yang abadi. Kemajuan diukur sesuai dengan yang abadi tersebut yang mengambil
tempat dalam alam. Hakikat kebenaran dan kebaikan memiliki makna dalam

7
pandangan filsafat ini. Kebenaran bukan dibuat, melainkan sudah ditentukan, di mana
belajar harus mencerminkan kebenaran tersebut.
Menurut pandangan aliran ini, struktur sosial berakar pada aristokrasi dan
demokrasi. Letak aristokrasinya adalah pada cara meletakkan kekuasaan pada yang
lebih tahu dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasinya berarti bahwa setiap orang
diberi kesempatan yang luas untuk memegang setiap jabatan dalam struktur
masyarakat. Hubungan antara gereja dan negara adalah menjaga fundamental dasar
dualisme antara order natural dan order supernatural. Minat negara terhadap
pendidikan bersifat natural, karena negara memiliki kedudukan lebih rendah
dibandingkan dengan gereja. Moral pendidikan berpusat pada ajaran agama.
Pendidikan agama sebagai pedoman bagi anak untuk mencapai Tuhan dan akhirat.
Menurut realisme religius, karena keteraturan dan keharmonisan alam semesta
sebagai ciptaan Tuhan, maka manusia harus mempelajari alam sebagai ciptaan
Tuhan. Tujuan utama pendidikan mempersiapkan individu untuk dunia dan akhirat.
Tujuan pendidikan adalah mendorong siswa memiliki keseimbangan intelektual yang
baik, bukan semata-mata penyesuaian terhadap lingkungan fisik dan sosial saja.
William Mc Gucken (Brubacher, 1950), seorang pengikut Aristoteles dan Thomas
Aquinas yang berakar pada metafisika dan epistemologi, membicarakan pula natural
dan supernatural. Tujuan pendidikan adalah keselamatan atau kebahagiaan jasmani
dan rohani sekaligus. Anak yang lahir pada dasarnya rohaninya dalam keadaan baik,
penuh rahmat, diisi dengan nilai-nilai ketuhanan. Anak akan menerima kebaikan dan
menjauhi kejahatan bukan hanya karena perintah akal, melainkan juga karena
perintah Tuhan.
Johan Amos Comenius merupakan pemikir pendidikan yang dapat
digolongkan pada realisme religius, mengemukakan bahwa semua manusia harus
berusaha untuk mencapai dua tujuan. Pertama, keselamatan dan kebahagiaan hidup
yang abadi. Kedua, keadaan dan kehidupan dunia yang sejahtera dan damai. Tujuan
pertama merupakan tujuan yang inheren dalam diri manusia, dimana tujuannya
terletak di luar hidup ini. Pada tujuan yang kedua, Comenius tampaknya memandang

8
kebahagiaan dan perdamaian dunia merupakan sebagian dari kebahagiaan hidup yang
abadi.

2.     Realisme Natural Ilmiah


Realisme natural ilmiah mengatakan bahwa manusia adalah organisme
biologis dengan sistem saraf yang kompleks dan secara inheren pembawaan sosial
(social dispossition). Apa yang dinamakan berfikir merupakan fungsi yang sangat
kompleks dari organisme yang berhubungan dengan lingkungannya. Kebanyakan
penganut realisme natural menolak eksistensi kemauan bebas (free will). Mereka
bersilang pendapat dalam hal bahwa individu ditentukan oleh akibat lingkungan fisik
dan sosial dalam struktur genetiknya. Apa yang tampaknya bebas memilih,
kenyataannya merupakan suatu determinasi kausal (ketentuan sebab akibat).
3.      Neo Realisme dan Realisme Kritis
Selain aliran-aliran realisme, masih ada lagi pandangan lain yang termasuk
realisme. Aliran tersebut disebut “Neo Realisme” dari Frederick Breed, dan
“Realisme Kritis” dari Imanuel Kant. Menurut pandangan Breed, filsafat pendidikan
hendaknya harmoni dengan prinsip demokrasi. Prinsip pertama demokrasi adalah
hormat menghormati atas hak-hak individu. Pendidikan sebagai pertumbuhan harus
diartikan sebagai menerima arah tuntunan sosial dan individu. Istilah demokrasi harus
di definisikan sebagai pengawasan dan kesejahteraan sosial.
Realisme kritis di dasarkan atas pemikiran Imanuel Kant, seorang
pensistensis yang besar. Ia mensistensiskan pandangan yang berbeda antara
empirisme dan rasionalisme, antara skeptisisme dan paham kepastian antara
eudaemonisme dengan puritanisme. Ia bukan melakukan elektisisme yang dangkal,
melainkan suatu sintesis asli yang menolak kekurangan yang berada pada kedua
pihak yang disintesiskannya, dan ia membangun filsafat yang kuat.
Menurut Kant, semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak
berarti semuanya dari pengalaman. Objek luar dikenal melalui indra namun pikiran
atau rasio dan pengertian yang diperoleh dari pengalaman tersebut. Aliran filsafat

9
realisme berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang baik
dan tepat dari kebenaran.

2.3 Konsep Filsafat Menurut Aliran Realisme


1.         Metafisika-Realisme
Menurut metafisika-realisme bahwa kenyataan yang sebenarnya hanyalah 
kenyataan fisik (materialisme), kenyataan material dan imaterial (dualisme), dan
kenyataan yang terbentuk dari berbagai  kenyataan (pluralisme). Metafisika realitas
merupakan sisi lain idealisme. Jika ontologis idealisme selalu merujuk bahwa yang
ada adalah yang ideal atau sesuatu yang ada dan bisa difikirkan, sebaliknya realisme
justru meyakini bahwa yang ada adalah sesuatu yang bisa teramati oleh indra.
Dalam pandangan tersebut realisme menjadikan indra atau pengamatan
sebagai instrumen atau epistemologi dalam memperoleh pengetahuan serta
kebenaran. Para realis termasuk Bacon, memandang bahwa ilmu pengetahuan
bukanlah suatu titik tempat bertolak dan mengambil kesimpulan darinya, melainkan
ilmu pengetahuan sesuatu tempat sampai ketujuan. Untuk memahami dunia, orang
harus “mengamati”. Kemudian mengumpulkan fakta, lalu membuat kesimpulan
berdasarkan kepada fakta-fakta itu dengan cara membuat argumentasi induktif yang
logis.
Di sini bagi seorang realis, akal memiliki ide tentang sesuatu hal. Akan tetapi,
jika ia tidak bisa teramati oleh indra, sesuatu itu bukanlah sesuatu yang ada. W.E
Hocking dengan nada sarkastiknya membuat pernyataan, betapa sebagai watak umum
dari akal, realisme adalah sebuah kecenderungan untuk menjaga diri dan preferensi
hidup agar seseorang tidak mencampuri keputusan tentang segala sesuatu dan
membiarkan objek-objek berbicara untuk dirinya.
2. Humanologi-Realisme
Menurut humanologi-realisme bahwa hakekat manusia terletak pada apa yang
dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai
kemampuan berpikir.

10
3. Epistemologi-Realisme
Menurut epistemologi-realisme bahwa kenyataan hadir dengan sendirinya
tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat
diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan.
Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan  memeriksa kesesuaiannya dengan
fakta.
Realisme berpandangan bahwa mengetahui itu sama artinya dengan memiliki
pengetahuan tentang suatu objek. Kognisi atau hasil mengetahui itu melibatkan
interaksi antara pikiran manusia dan dunia di luar pikiran manusia. Bagi kaum realis,
mengetahui adalah dua buah sisi proses yang melibatkan sensasi dan abstraksi. Proses
ini sesuai dengan konsep realis tentang alam raya yang dualistik, tersusun atas materi
dan struktur (komponen dan forma). Bila sensasi diperkenalkan dengan objek dan
memberi kita informasi tentang aspek material dari objek ini dan kemudian data
masuk ke dalam pikiran kita seperti data yang masuk ke dalam program komputer.
Ketika masuk kedalam pikiran data sensor ini dipilih, digolongkan  dan didaftar.
Melalui sesuatu proses abstraksi, akal sehat merangkai data dalam dua kategori besar,
yaitu sebagai sesuatu yang harus ada yang selalu ditemukan dalam sebuah objek dan
yang lainnya bersifat kontingen atau kadang-kadang ditemukan dalam sebuah objek.
Yang selalu hadir itulah yang harus ada atau esensial bagi objek, disebut sebagai
bentuk atau struktur. Bentuk adalah objek tepat dari abstraksi.
Dengan pendapatnya ini juga, epistemologi kaum realisme disebut juga
epistemologi “teori pengamat” artinya manusia sebagai pengamat kenyataan. Karena
manusia biasanya terlibat dalam proses mengetahui yang melibatkan sensasi dan
abstraksi, “pengamatan” dapat berkisar dari hal-hal yang paling kasar sampai
pengumpulan data yang menggunakan cara-cara terlatih serta tepat akurat. Melalui
perjalanan waktu, manusia telah mengembangkan alat paling canggih seperti
teleskop, mikroskop, dan lain lain.

11
4. Aksiologi-Realisme
Menurut aksiologi-realisme bahwa tingkah laku manusia diatur oleh hukum-
hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur
oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.

2.4 Filsafat Pendidikan Realisme


Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan pandangan John
Locke bahwa akal, pikiran, dan jiwa manusia tidak lain adalah tabularasa, ruang
kosong tak ubahnya kertas putih kemudian menerima impresi dari lingkungan. Oleh
karena itu, pendidikan dipandang dibutuhkan karena untuk membentuk setiap
individu agar mereka menjadi sesuai dengan apa yang dipandang baik. Dengan
demikian, pendidikan dalam realisme kerap diidentikkan sebagai upaya pelaksanaan
psikologi behaviorisme ke dalam ruang pengajaran.
Murid adalah sosok yang mengalami inferiorisasi secara berlebih sebab ia
dipandang sama sekali tidak mengetahui apapun kecuali apa-apa yang telah
pendidikan berikan. Disini dalam pengajaran setiap siswa atau subjek didik tak
berbeda dengan robot. Ia mesti tunduk dan takluk sepatuh-patuhnya untuk diprogram
dan mengerti materi-materi yang telah ditetapkan sedemikian rupa.
Pada ujung pendidikan, realisme memiliki proyeksi ketika manusia akan
dibentuk untuk hidup dalam nilai-nilai yang telah menjadi common sense sehingga
mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan-lingkungan yang ada. Sisi buruk
pendidikan model ini kemudian cenderung lebih banyak dikendalikan skeptisisme
positivistik, ketika mereka dalam hal apa pun akan meminta bukti dalam bentuk-
bentuk yang bisa didemonstrasikan secara indrawi.
Realisme memiliki jasa bagi perkembangan dunia pendidikan. Salah satunya
adalah dengan temuan gagasan Crezh, salah seorang pendidik di Mosenius pada abad
ke-17 dengan karya Orbic Pictusnya. Pada periode itu, temuan Orbic Pictus sempat
mengejutkan dunia pendidikan dan dipandang sebagai gagasan baru. Ini disebabkan
oleh dalam periode tersebut belum ada satupun yang memiliki pemikiran untuk

12
memasukkan alat bantu visual seperti gambar-gambar, perlu digunakan dalam
pengajaran anak, terutama dalam mempelajari bahasa. Diabad selanjutnya, yaitu ke-
18 menjelang abad 19, gagasan Moravi ini menginspirasi seorang pestalozzi. Ia
menghadirkan objek-objek peraga fisik dalam ruang pengajaran di dalam kelas.
Comenius dalam bukunya “Didacita Magna” (Didaktik besar), dan “Orbis
Sensualium Pictus” (Dunia panca indera dengan gambar-gambar) merupakan peletak
dasar didaktik modern. Ia mengubah cara berfikir anak yang deduktif spekulatif
dengan cara berfi kir induktif, yang merupakan metode berfikir ilmiah. Peragaan
merupakan suatu keharusan dalam proses belajar mengajar, sehingga ia dijuluki
sebagai Bapak keperagaan dalam belajar mengajar. Beberapa prinsip mengajar yang
dikemukakan oleh Comenius (Sadulloh,2003) adalah sebagai berikut :
1. Pelajaran harus didasarkan pada minat peserta didik. Keberhasilan dalam belajar
tidak karena dipaksakan dari luar, melainkan merupakan suatu hasil
perkembangan pribadinya.
2. Setiap mata pelajaran harus memiliki out-line atau garis besar proses belajar
mengajar, silabus, dan rencana pembelajaran, dan sudah ada pada awal
pembelajaran.
3. Pada pertemuan awal atau permulaan pembelajaran, guru harus menyiapkan dan
menyampaikan informasi tentang garis-garis besar pembelajaran yang akan
dipelajari peserta didik.
4. Kelas harus diisi dengan gambar-gambar, peta, motto, dan sejenisnya yang
berkaitan dengan rencana pelajaran yang akan diberikan.
5. Pembelajaran harus berlangsung secara sikuens atau berkesinambungan dengan
pelajaran sebelumnya sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh dan
mengikuti perkembangan pengetahuan secara terus menerus.
6. Setiap aktivitas yang dilakukan guru bersama peserta didik hendaknya membantu
untuk pengembangan hakikat manusia, dan kepada peserta didik ditunjukkan
kepentingan yang praktis dari setiap sistem nilai.
7. Pelajaran dalam subjek yang sama diperuntukkan bagi semua peserta didik.

13
Corak lain pendidikan realisme adalah tekanan-tekanan hidup yang terarah
kedalam pengaturan-pengaturan serta keteraturan yang bersifat mekanistik. Meskipun
tidak semua pengaturan yang bersifat mekanistik buruk, apa yang diterapkan realisme
dalam ruang pendidikan melahirkan berbagai hal yang kemudian menuai banyak
kecaman sebab telah menjadi penyebab berbagai dehumanisasi.
Dalam hubungan filsafat aliran realisme dengan pendidikan yaitu pendidikan
harus universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan
merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, peserta
didik akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia
sama pada semua orang. Oleh karena itu metode, isi, dan proses pendidikan harus
seragam. Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, dimana ia dapat
mencapainya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak
boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam jenis
pendidikan.
Inisiatif dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik.
Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi
kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta didik. Namun, yang paling penting
bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan
memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan pada peserta didik. Memberi
kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan alat dalam
mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang bermanfaat.
Realisme dalam Pendidikan (Purnawan :2009 : 24) yaitu sebagai berikut :
1. Pendidikan sebagai Institusi Sosial
John Amos Comenius di dalam bukunya Great Didactic, mengatakan bahwa
manusia tidak diciptakan hanya kelahiran biologinya saja. Jika ia menjadi seorang
manusia, budaya manusia harus memberi arah dan wujud kepada kemampuan
dasarnya.
Dalam bukunya Membangun Filsafat Pendidikan, Harry Broudy secara
eksplisit menekankan bahwa masyarakat mempunyai hak dengan mengabaikan

14
keterlibatan pemerintah, yang akan membawa pendidikan formal di bawah wilayah
hukumnya karena ini merupakan suatu lembaga atau institusi sosial. Implikasinya
yaitu pendidikan adalah kebutuhan dasar dan hak yang mendasar bagi manusia dan
kewajiban penting bagi semua masyarakat untuk memastikan bahwa semua anak-
anak dilahirkan dengan pendidikan yang baik.
2. Siswa
Guru adalah pengelola KBM di dalam kelas (classroom is teacher-centered),
guru penentu materi pelajaran, guru harus menggunakan minat peserta didik yang
berhubungan dengan mata pelajaran, dan membuat mata pelajaran sebagai sesuatu
yang konkret untuk dialami peserta didik. Peserta didik berperan untuk menguasai
pengetahuan yang diandalkan, peserta didik harus taat pada aturan dan disiplin, sebab
aturan yang baik sangat diperlukan untuk belajar. Peserta didik memperoleh disiplin
melalui ganjaran dan prestasi.
3. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan realisme adalah untuk penyesuaian diri dalam hidup dan
mampu melaksanakan tanggung jawab sosial. Pendidikan bertujuan agar peserta didik
dapat bertahan hidup di dunia yang bersifat alamiah, memperoleh keamanan dan
hidup bahagia, dengan jalan memberikan pengetahuan esensial kepada peserta didik.
Pengetahuan tersebut akan memberikan keterampilan-keterampilan yang penting
untuk memperoleh keamanan dan hidup bahagia.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitas.
2. Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia
rohani.
3. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan
mengetahui di satu pihak, dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar
manusia, yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan manusia.
4. Realisme berarti beralihnya perhatian dari pelajaran-pelajaran tentang manusia
kepada realita (kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan alam).
5. Ada beberapa bentuk aliran realisme yaitu realisme rasional, realisme natural
ilmiah, neo realisme dan realisme kritis.
6. Konsep filsafat menurut aliran realisme yaitu metafisika-realisme, humanologi-
realisme, epistemologi-realisme, aksiologi-realisme.
7. Pendidikan menurut aliran filsafat realisme menekankan pada pembentukan peserta
didik agar mampu melaksanakan tanggung jawab sosial dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat dengan cara diadakannya pendidikan yang ketat dan sistematis
dengan dukungan kurikulum yang komprehensif dan kegiatan belajar yang teratur
di bawah arahan tenaga pendidik.
8. Pendidikan dalam realisme kerap diidentikkan sebagai upaya pelaksanaan psikologi
behaviorisme ke dalam ruang pengajaran.

16
DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam. 1990. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi
Offset.
Purba, Edward dan Yusnadi. 2015. Filsafat Pendidikan. Medan: Unimed Press
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar filsafat pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

17

Anda mungkin juga menyukai