Anda di halaman 1dari 5

Latar Belakang Masalah

Anak merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap keluarga. Kehadiran
seorang anak merupakan dambaan setiap keluarga. Tidak sedikit juga dari orang tua yang tidak
menghendaki kehadiran seorang anak. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya
memiliki anak di luar nikah, terlalu banyak anak atau cacat yang dialami oleh anak, salah satu
contoh diantaranya yaitu anak yang menderita autis. Orang tua yang memiliki anak autis sering
dibayangi terus menerus oleh pertanyaan: kenapa harus anak saya? Banyak orang tua yang tidak
terima anaknya menderita autis. Autisme terjadi pada 5 dari setiap 10.000 kelahiran, dimana
jumlah penderita laki-laki empat kali lebih besar dibandingkan penderita wanita. Meskipun
demikian, bila kaum wanita mengalaminya, maka penderitaannya akan lebih parah dibandingkan
kaum pria.1
Beberapa dari orang tua yang memiliki anak yang terdiagnosa autis, terus mencari
informasi sebanyak-banyaknya tentang pertanyaan mengapa anak saya autis?, tetapi mereka
tetap tidak mau menerima kenyataan anaknya yang terkena autis. Setiap orang tua selalu
mengharapkan agar buah hatinya dapat tumbuh dan berkembang dengan normal dan sehat.
Orang tua seharusnya bisa menerima anak yang telah dilahirkan ke dunia apapun kondisi
anaknya dan berusaha melawan rasa cemas dan khawatir yang selalu menghantui. Tidak sedikit
juga dari orang tua yang malu untuk mengakui bahkan malu untuk memperkenalkan anak
mereka yang mengalami autis kepada orang lain. Bagi sebagian mereka, memiliki anak autis
merupakan suatu hal yang sangat memalukan. Oleh karena itu, banyak cara yang mereka lakukan
agar orang lain tidak mengetahui hal tersebut. Apakah dengan mengurungnya di rumah atau
berpura-pura tidak tahu kalau anak mereka menderita autis. Bahkan ada orang tua yang
mengisolasikan diri karena merasa bahwa orang lain menutup diri terhadap mereka karena
mereka memiliki anak yang menderita autis.2
Orang tua tidak menyadari bahwa dengan cara mereka yang seperti ini, akan membawa
dampak yang buruk bagi perkembangan sang anak. Orang tua seharusnya tetap memberikan
cinta dan kasih sayang seperti layaknya pada anak normal. Sebagaimana tugas orang tua yang
tertulis di dalam Efesus 6:4 yang menyatakan “dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan

1
Mirza Maulana, Anak Autis : Mendidik Anak Autis Dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas Dan Sehat
(Jogjakarta: Kata Hati, 2007), 11.
2
Ny. Nurmala, Prof Hembing Telah Sembuhkan Anakku Dari Autism (Jakarta, 2002), 54.
amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran nasihat Tuhan.” Dan
di dalam Amsal 29:17 yang menyatakan “didiklah anakmu, maka ia akan memberikan
ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu”. 1 Timotius 5:8 menyatakan,
“tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya,
orang itumurtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman”. Orang tua adalah pembimbing
dan penolong yang paling baik dan berdedikasi tinggi. Dan yang dapat menyelami dunia anak
adalah orangtuanya sendiri.3
Anak autis hanyalah anak yang punya kondisi otak berbeda dengan anak lainnya. Perlu
disadari bahwa anak autis adalah anak spesial karena memiliki kemampuan yang berbeda dengan
anak umumnya, oleh karena itu penanganannya pun harus spesial. Orang tua boleh saja bersedih
jika anaknya mengalami autis, tapi jangan terlalu lama. Karena anak autis punya kelebihan
istimewa yang bisa membuatnya mandiri. Orang tua dari anak autis harus memiliki kesabaran
yang tinggi, mau mencari tahu segala macam informasi serta mau melakukan sesuatu agar
anaknya bisa tumbuh layaknya anak normal, yang memiliki mental dan prestasi yang bisa
dibanggakan. Menurut Billy Graham, kesabaran adalah suatu kemampuan untuk menampung
berbagai tegangan dan tekanan hidup tanpa keluhan dan tidak merasa terganggu oleh berbagai
rintangan, penangguhan, atau kegagalan.4
Orang tua harus memberikan kasih sayang yang tulus kepada anaknya. Karena ini sangat
memegang peranan penting dalam perkembangan anak. Kasih sayang dapat membimbing ibu
untuk memahami sampai seberapa jauh kebutuhan fundamental anak dapat dan boleh dipenuhi
dan pada batas-batas mana anak harus dibiarkan menentukan sendiri respon-responnya untuk
memenuhi kebutuhannya, sehingga proses belajarnya tidak terhambat dan membantu dalam
pembentukan egonya.5
Hal yang tidak boleh dimiliki oleh orang tua dalam mengasuh anak yang menderita autis
yaitu marah, mengeluh dan mengabaikan. Orang tua harus senantiasa bersyukur atas semua hal

3
Mirza Maulana, Anak Autis : Mendidik Anak Autis Dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas Dan Sehat
(Jogjakarta: Kata Hati, 2007), 68.
4
Billy Graham, Buku Pegangan Pelayanan, (Persekutuan Pembaca Alkitab, 1988), 114 .

5
Singgih dan Yulia Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja .
yang terjadi. Tidak mudah untuk bersyukur atas setiap hal buruk yang terjadi. Jangankan hal
buruk, hidup dengan normal saja, orang jarang sekali bersyukur.
Hal klasik yang sering terjadi, yaitu ketika orangtua mengetahui adanya keanehan atau
perbedaan pada anak mereka dibandingkan anak lain, maka lingkungan sekitar mereka akan
merespon dengan mengemukakan mitos-mitos yang tidak benar, misalnya “anakmu kan laki-
laki, jadi bicaranya lambat”, “anakmu kan jalan/tumbuh gigi lebih dulu, jadi bisa bicaranya
belakangan”, “ah anda terlalu khawatir, si x juga dulu lambat bicaranya, sekarang cerewet”, dan
sebagainya. Bahkan mitos-mitos yang salah ini kadang juga diucapkan oleh seorang dokter.
Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, masih sering terjadi “shopping” dokter, yaitu
orangtua membawa anak mereka dari satu dokter ke dokter yang lain untuk mendapatkan
diagnosis, sampai akhirnya jika beruntung, mereka bertemu dengan dokter yang waspada atau
menguasai tentang autisme. Malangnya jika mereka tetap tidak bertemu dengan dokter yang
tepat, ataupun jika bertemu dengan dokter yang dengan yakin (namun ternyata salah) dan dapat
menyakinkan orangtua bahwa anaknya bukan autisme (tidak autistik) yang mungkin sepemikiran
dengan orangtua yang berada dalam “fase denial” (penyangkalan) dalam menerima suatu
keadaan yang berat dalam hidup mereka (coping mechanism), maka mereka akan berkeyakinan
(yang ternyata salah) bahwa anak mereka bukanlah penyandang autisme.
Memang, biasanya respon pertama orangtua ketika mengetahui bahwa anaknya terlahir
dalam kondisi autis adalah sedih atau bahkan menyalahkan diri sendiri dan orang lain dalam
waktu yang cukup lama. Ketidakterimaan orangtua terhadap kondisi anak autis ternyata
membawa mereka pada fase pengabaian anak itu sendiri sehingga anak jadi terabaikan. Padahal,
anak penyandang autisme justru sedang membutuhkan sosok yang dapat memahami keadaannya
dan memberikan pengasuhan yang layak dan baik agar mereka dapat tumbuh dan berkembang
menjadi insan yang tangguh.
Ketika anak memiliki gejala autisme, yang harus orang tua lakukan adalah menerima
dulu kondisi bahwa sang anak menyandang autisme dan butuh perhatian ekstra orangtuanya.
Dukungan dan perhatian orang tua, masyarakat dan lingkungan terdekat anak sangat diperlukan
karena biasanya anak penyandang autisme sering dianggap anak aneh, ada pula yang dianggap
anak nakal atau anak yang sulit diatur bahkan dikira anak gila sehingga mereka mudah sekali
mendapatkan kekerasan atau di diskriminasi lingkungannya.
Ketika orang tua sudah menerima kondisi anak, maka orang tua wajib membawa anak ke
dokter dan tenaga medis yang khusus menangani anak autisme. Hal ini dilakukan agar orang tua
memahami cara penanganan yang benar dalam tumbuh kembang si anak. Orang tua datang
membawa anak ke dokter bukan untuk membuktikan bahwa anak ini menyandang autisme atau
tidak, tapi untuk mempelajari bagaimana penanganan sang anak agar orang tua memahami betul
kebutuhan anak penyandang autisme.
Penerimaan dan perlakuan khusus adalah kunci dari perlindungan anak autisme. Untuk
Ayah dan Bunda yang memiliki anak penyandang autisme, jangan pernah malu dan menyerah
akan keadaan anak kita. Anak penyandang autisme dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal jika Ayah dan Bunda terus mengupayakan perlindungan khusus secara dini dan intensif.
Tidak hanya orang tua, tapi para guru (terutama guru PAUD), tenaga kesehatan
(puskesmas dan dokter anak), dan masyarakat (kader/aktivis) juga mampu melakukan deteksi
dini terhadap anak – anak yang dicurigai menyandang autisme sehingga dapat dilakukan
penanganan sejak dini.
Kita tentunya tidak bisa menutup mata, bahwa ada anak penyandang autisme di sekitar
kita. Kita semua tanpa terkecuali wajib melindungi anak penyandang autisme dimulai dari diri
sendiri, keluarga, hingga masyarakat luas. Mari kita satukan semangat juang kita untuk
melindungi anak penyandang autisme. Anak autisme juga anak kita.
Kesimpulan
Pertama, Penerimaan orang tua berpengaruh terhadap prestasi anak autis. Tingginya
prestasi anak autis ditentukan oleh penerimaan orang tua, seperti: menerima kenyataan memiliki
anak autis, dapat menerima keberadaan anaknya yang autis, melakukan penanganan terhadap
anak autis sesuai kebutuhannya, serta tidak merasa rendah diri terhadap keberadaan anaknya.
Maka prestasi anak autis yang meningkat, antara lain adalah: anak autis menjadi tidak terlalu
sensitif, bisa melakukan kontak mata dan senyum secara sosial, tidak kaku lagi terhadap orang
lain, sudah tidak berteriak- teriak dan tidak membeo, tidak gampang marah (memiliki emosi
yang stabil), tidak mudah menyakiti diri sendiri, sudah bisa bermain dengan teman-temannya
Kedua, bahasa kasih yang ditunjukkan oleh orang tua berpengaruh terhadap prestasi anak autis.
Tingginya prestasi anak autis ditentukan oleh bahasa kasih yang ditunjukkan oleh orang tua
seperti: orang tua selalu mengatakan kepada anaknya yang autis: ”papa/mama sayang kamu”,
anak diberikan pujian yang tulus, orang tua memiliki waktu yang khusus bersama dengan anak
dan memberikan hadiah kepada anak.

Anda mungkin juga menyukai