Anda di halaman 1dari 27

PENERIMAAN DIRI ORANG TUA TERHADAP ANAK AUTIES

PROPOSAL SKRIPSI

EULIS MAGHFIRIANA FAHMI

191810004

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS BINA DARMA
BANDAR LAMPUNG
2023

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.4 Tujuan Penelitian...............................................................................................5
1.5 Manfaat Penelitian.............................................................................................5
1.6 Keaslian Penelitian.............................................................................................5
BAB II LANDASAN TEORI................................................................................7
2.1 Penerimaan Diri.................................................................................................7
2.1.1 Pengertian Penerimaan Diri ......................................................................7
2.1.2 Ciri-Ciri Penerimaan Diri...........................................................................8
2.1.3 Faktor-Faktor Penerimaan Diri..................................................................9
2.1.4 Proses Penerimaan Diri............................................................................10
2.1.5 Teori Penerimaan Diri..............................................................................11
2.2 Penerimaan Diri Orang Tua.............................................................................11
2.2.1 Pengertian Penerimaan Orang Tua...........................................................11
2.2.2 Aspek-Aspek Penerimaan Orang Tua......................................................12
2.3 Autisme............................................................................................................13
2.3.1 Pengertian Autisme..................................................................................13
2.3.2 Macam-Macam Autisme..........................................................................14
2.3.3 Gejala-Gejala Autisme.............................................................................15
2.4 Kerangka Pemikiran.........................................................................................16
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................19
3.1 Jenis Penelitian.................................................................................................19
3.2 Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian.........................................................19
3.3 Subjek Penelitian..............................................................................................19
3.4 Metode Pengumpulan Data..............................................................................20
3.5 Analisis Data....................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kehadiran anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu dan sangat


menggembirakan bagi pasangan suami istri. Kehadirannya bukan saja mempererat
tali cinta pasangan suami istri, tetapi juga sebagai penerus generasi yang sangat
diharapkan oleh keluarga tersebut. Setiap orang tua menginginkan anaknya
berkembang sempurna. Namun demikian sering terjadi keadaan dimana anak
memperlihatkan masalah dalam perkembangan sejak usia dini. Salah satu contoh
masalah yang dapat terjadi adalah autisme.

Menurut Rachmawati (2007) Autisme didefinisikan sebagai suatu gangguan


perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan
aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun.
Bahkan pada autisme infantile, gejalanya sudah ada sejak lahir. Anak penyandang
autis mempunyai masalah gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial,
gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi. Menurut Sutadi (2004),
autisme sebenarnya adalah suatu gangguan perkembangan neurobiologist yang
berat atau luas. Penyebab autisme adalah multifaktor. Kemungkinan besar
disebabkan adanya faktor kerentanan genetik, kemudian dipicu oleh faktor-faktor
lingkungan yang multifaktor, seperti infeksi (rubella, cytomegalovirus) saat anak
masih dalam kandungan, bahan-bahan kimia serta polutan seperti timbal, timah
hitam atau air raksa dari ikan yang tercemar merkuri sebagai bahan pengawet
vaksin. Dikarenakan autisme merupakan kelainan genetika yang polimorifis serta
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang multifaktor, maka penanganannya pun
perlu secara holistik dan komprehensif, yang melibatkan banyak bidang keilmuan
atau keahlian.

Reaksi pertama orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak
percaya, syock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah

1
bagi orang tua yang anaknya menyandang autisme untuk mengalami fase ini,
sebelum akhirnya sampai pada tahap penerimaan (acceptance). Ada masa orang
tua merenung dan tidak mengetahui tindakan tepat apa yang harus diperbuat.
Tidak sedikit orang tua yang kemudian memilih tidak terbuka mengenai keadaan
anaknya kepada teman, tetangga bahkan keluarga dekat sekalipun, kecuali pada
dokter yang menangani anaknya tersebut.

Menurut Sri Intan Rahayuningsih (2011), anak yang mengalami gangguan atau
hambatan, keterlambatan, dan memiliki faktor-faktor resiko dalam mencapai
perkembangan yang maksimal dan optimal diperlukan penanganan yang khusus.
Seringkali anak yang mengalami autis jadi bahan bercandaan masyarakat sekitar.
Hal tersebut membuat orang tua juga bisa mengalami stress ketika memiliki anak
yang autis dan merasa terpojok. Padahal, orang tua memiliki peranan yang penting
dalam proses merawat anak autis agar anak autis bisa mandiri dan pulih seperti
anak-anak normal yang lain. Jadi, ketika di luar rumah anak autis tidak diterima
oleh lingkungan, maka saat di rumah orang tua harus bisa mengerti keadaan anak.
Ketika orang tua tidak menerima anak yang autis, maka perkembangan anak juga
bisa terhambat.

Fenomena diatas menggambarkan bahwa anak yang terlahir dengan kondisi


mental kurang sehat akan membuat orang tua sedih dan tidak siap menerima
dikarenakan berbagai alasan. Bahkan ada orang tua yang merasa malu jika
memiliki anak yang kondisi mentalnya tidak sehat. Sehingga, bisa saja orang tua
memperlakukan anak dengan tidak baik. Padahal seorang anak membutuhkan
yang namanya perhatian lebih dari orang tua maupun saudaranya (Faradina,
2016). Jadi, dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa orang tua bisa saja
tidak terbuka kepada siapapun mengenai kondisi anaknya yang mengalami
kebutuhan khusus kepada tetangga, temannya, atau bahkan kepada saudaranya
pun.

Menurut Ballerina (2016). Anak autis digolongkan sebagai anak berkebutuhan


khusus yang memerlukan pelayanan dan perhatian khusus. Autisme merupakan

2
salah satu gangguan pada perkembangan anak. Gangguan autis ini ditandai
dengan kurangnya kemampuan seorang anak pada proses interaksi sosial,
komunikasi secara verbal maupun non-verbal Anak autis secara umum mengalami
hambatan dalam proses belajar karena kurangnya kemampuan sosial dan pola
perilaku yang berbeda dengan anak lain pada umumnya. Menurut Hidayah (2016)
Autis bukan hanya kelemahan mental, akan tetapi gangguan perkembangan
mental sehingga penderita mengalami kelambanan dalam kemampuan,
perkembangan fisik dan psikis. Pada dasarnya, anak yang menderita autis juga
memerlukan pendidikan dan bimbingan seperti anak normal yang lain, karena
anak autis juga mempunyai potensi untuk dikembangkan, sehingga dengan adanya
bimbingan dan pendidikan potensi yang dimiliki dapat dikembangkan dengan
maksimal (Asrizal, 2016). Anak autis perlu dilakukan terapi sejak dini dengan
melibatkan ahli yang profesional dan orang tua. Anak autis semakin cepat
ditangani atau dilakukan terapi akan semakin mudah proses penyembuhannya.

Berdasarkan fenomena yang dipaparkan diatas, menjadi alasan peneliti untuk


mengambil tema penerimaan diri. Penerimaan diri merupakan sikap yang positif
terhadap dirinya sendiri, sehingga dapat menerima kondisi dirinya sendiri dengan
semua kekurangan dan kelebihan. Menurut Maslow, individu yang dapat
menerima diri sendiri akan merasa bebas, bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan
rendah diri dan bebas dari kecemasan adanya penilaian dari orang lain terhadap
dirinya. (Levianti, 2013)

Bagi orang tua tidak mudah ketika memiliki anak yang menyandang berkebutuhan
khusus terutama autis. Reaksi yang dialami orang tua jika mengetahui bahwa
anaknya menyandang autis yaitu kecewa, shock, tidak percaya, sedih, marah, dan
menolak (Faradina, 2016). Dapat dikatakan bahwa bagi orang tua tidak mudah
untuk fase pertama kali dimana mengetahui anaknya menyandang berkebutuhan
khusus sampai pada fase dimana orang tua menerima (acceptance) anaknya.
Orang tua juga akan mengalami kebingungan dan kecemasan sehingga tidak
mengetahui apa yang akan dilakukan untuk anaknya.

3
Dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Faradina, 2016),
mengemukakan bahwa aspek penerimaan diri orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus bermacam-macam pada setiap individu. Sebagian besar
subjek yang diteliti mampu menerima kondisi anak berkebutuhan khusus yaitu
kondisi saat ini. Orang tua mampu menerima kekurangan dan kelebihan anak dan
percaya akan kemampuan anak. NK ini salah satu orang tua yang dari awal dokter
mendiagnosa merasa tidak apa-apa. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Hermiati dikutip dari (Ismartini, 2011) terhadap beberapa orang tua yang
menyatakan bahwa mayoritas orang tua dapat menerima keadaan anaknya yang
cacat, dibuktikan dengan caranya bersikap wajar pada anaknya, akan tetapi ada
saja orang tua yang masih ragu-ragu bahkan juga menolak anaknya.

Pentingnya penerimaan diri tanpa syarat dalam penelitian yang dilakukan oleh
(Jibeen, 2017) yang dapat mengurangi emosional siswa yang menghambat
pertumbuhan pendidikan dan pribadi mereka. Hal ini disebabkan karena hasil
dalam penelitian ini memperlihatkan efek dalam mengatur penerimaan diri tanpa
syarat dan harga diri dalam hubungannya dengan frustasi keyakinan toleransi dan
tekanan psikologis sehingga diperlukan faktor-faktor potensial lainnya yang
kemungkinan penting, termasuk pengalaman yang pernah dialami. Pernyataan
diatas dapat dijelaskan bahwa penerimaan diri orang tua haruslah baik. Ketika
orang tua dapat menerima keadaan dirinya dengan baik, maka orang tua tersebut
akan pula dapat menerima anaknya yang berkebutuhan khusus dengan baik pula

Berdasarkan latar belakang diatas dan hasil penelitian terdahulu yang telah
ditemukan, maka penelitian ini mengambil judul “Penerimaan Diri Orang Tua
Terhadap Anak Autis”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah : bagaimana proses penerimaan diri orang tua terhadap anak
autis ?

4
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana proses
penerimaan diri orang tua terhadap anak autis.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua bagian utama oleh penulis sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu psikologi
perkembangan, dan psikologi klinis anak yang terkait dengan dukungan sosial
dan penerimaan diri pada orangtua dengan anak autisme.

2. Manfaat Praktis
a) Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi penulis dalam menganalisis suatu masalah kemudian
mengambil keputusan dan kesimpulan.
b) Bagi Orang tua
Memberikan pemahaman kepada orangtua mengenai pentingnya dukungan
sosial untuk mencapai suatu proses penerimaan diri orangtua tehadap
anaknya yang autis.

1.5. Keaslian Penelitian


Berikut ini peneliti akan memaparkan hasil penelitian serupa yang dianggap
relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, bahwa penelitian yang
dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistryorini &Wibawa (2018) yaitu Hubungan
Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Penerimaan Diri Ibu Anak Autis Di
ADLB-B dan Autis TPA (Taman Pendidikan dan Asuhan) terdapat perbedaan
pada subjek penelitian. Hasil penelitian Ada hubungan antara dukungan sosial

5
keluarga dengan penerimaan diri ibu anak autis di SDLB-B dan Autis TPA
Kecamatan Patrang Kabupaten Jember.
2. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Rusdiana (2018) yaitu Hubungan antara
Dukungan keluarga Dengan Penerimaan diri pada Orang tua yang Memiliki
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Di Samarinda terdapat perbedaan pada
subjek penelitian. Hasil penelitian disimpulkan bahwa ada hubungan antara
dukungan keluarga dengan penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus (ABK) di Samarinda.

6
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Penerimaan Diri


2.1.1. Pengertian Penerimaan Diri
Menurut Hurlock (dalam Rusdiana 2018), penerimaan diri adalah suatu tingkat
kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik
dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang
tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan
terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan untuk
beradaptasi dengan lingkungan.

Menurut Johnson & Medinnus (dalam Susanto, 2014) penerimaan didefinisikan


sebagai pemberian cinta tanpa syarat sehinga penerimaan anak terhadap orangtua
tercermin melalui adanya perhatian yang kuat, cinta kasih terhadap anak serta
sikap penuh kebahagiaan dalam mengasuh anak.

Menurut Jersild, Brook & Brook (1995) penerimaan diri merupakan seseorang
yang menerima dirinya adalah seseorang yang menghormati dirinya serta hidup
nyaman dengan keadaan dirinya, dia mampu mengenali, harapan, keinginan, rasa
takut serta permusuhan-permusuhannya dan menerima kecendrungan-
kencendrungan emosinya bukan dalam arti puas dengan diri sendiri tetapi
memiliki kebebasan untuk menyadari sifat dari perasaan-perasaan.

Menurut Jersild (dalam pancawati, 2013) Penerimaan diri merupakan seseorang


yang menerima dirinya adalah seseorang yang menghormati dirinya serta hidup
nyaman dengan keadaan dirinya, dia mampu mengenali, harapan, keinginan, rasa
takut serta permusuhan-permusuhannya dan menerima kecenderungan-
kecenderungan emosinya bukan dalam arti puas dengan diri sendiri tetapi
memiliki kebebasan untuk menyadari sifat dari perasaan-perasaan.

Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan penerimaan diri adalah


menerima semua segi yang ada pada dirinya, serta tidak menyerah kepada

7
kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan tersebut. Kemampuan
individu untuk dapat memiliki suatu pandangan positif mengenai siapa dirinya
yang sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya,
melainkan harus dikembangkan oleh individu dan individu mampu menyesuaikan
diri dengan keadaannya dengan cara memanfaatkan apa yang dimilikinya secara
efektif dan memiliki tangguang jawab untuk melakukan perubahan ke arah positif.

2.1.2. Ciri-Ciri Penerimaan Diri


Menurut Sheerer (dalam Cronbach, 1963), ciri-ciri penerimaan diri antara lain
sebagai berikut:
1. Mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi persoalan. Orang
tua mempunyai rasa percaya diri dan lebih memusatkan perhatian kepada
keberhasilan dan kemampuan anaknya dalam menyelesaikan masalah.
2. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan
orang lain. Orang tua merasa dirinya berharga karena telah melahirkan seorang
anak sama seperti orang tua lainnya.
3. Tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak
orang lain. Orang tua tidak merasa sebagai orang yang menyimpang dan
berbeda dari orang lain, sehingga mampu menyesuaikan dirinya dengan baik.
Menyadari dan tidak merasa malu tentang keadaan anaknya yang berbeda
4. Tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri. Orang tua memiliki
keyakinan terhadap diri akan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh
anaknya. Orang tua tidak malu terhadap kekurangan yang dimiliki anaknya.
5. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. Setiap melakukan
sesuatu perbuatan, orang tua bertanggung jawab atas semua yang mereka
lakukan.
6. Dapat menerima pujian atau celaan secara objektif. Orang tua mampu
menerima pujian, saran dan kritikan dari orang lain untuk mengembangkan
kepribadian lebih lanjut.

8
7. Tidak menyalahkan diri atau keterbatasan yang dimilikinya ataupun
mengingkari kelebihannya. Orang tua mengerti dan memahami atas kelemahan
yang dimiliki anaknya, tidak menyalahkan diri sendiri terhadap kekurangannya

2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri


Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri menurut Menurut Hurlock (dalam
Patrayana, 2017) adalah sebagai berikut :
1) Usia masing-masing orang tua. Usia yang matang dan dewasa pada pasangan
suami istri, memperbesar kemungkinan orang tua untuk menerima diagnosa
dengan relatif lebih tenang. Dengan kedewasaan yang mereka miliki, pikiran
serta tenaga mereka fokuskan pada mencari jalan keluar yang terbaik
2) Dukungan dari kelurga besar. Keluarga adalah sumber kekuatan utama. Jika
memiliki masalah kita akan membaginya kepada keluarga. Inilah peran
keluarga besar bagi orang tua yang memiliki anak autisme. Dengan adanya
dukungan keluarga besar, orang tua tersebut memiliki tempat untuk berbagi,
mendapatkan semangat serta tidak merasa sendiri dalam menghadapi masalah
yang dialaminya.
3) Faktor ekonomi keluarga. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor ekonomi juga
turut andil dalam menumbuhkan penerimaan diri orang tua. Orang tua yang
memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi akan memiliki cukup uang untuk
tetap mengusahakan pengobatan dan terpi-terapi yang dibutuhkan oleh anak
autisme.
4) Latar belakang agama. Keyakinan yang kuat terhadap Tuhan Yang Maha Esa
akan membuat orang tua berusaha untuk iklas terhadap apa yang dialami oleh
anak mereka. Karena itu pula orang tua akan berusaha membesarkan hati dan
memahami bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak dapat
dilalui oleh hambanya.
5) Sikap para ahli yang mendiagnosa anak mereka. Jika para ahli yang
mendiagnosa tersebut terlihat pesimis terhadap kemajuan dan kesembuhan dari
sang anak maka kemungkinan besar orang tua juga akan putus asa.

9
6) Tingkat pendidikan pasangan suami istri. Pasangan suami istri dengan tingkat
pendidikan yang tinggi akan lebih mudah mencari informasi tentang masalah
yang dialami anak mereka.
7) Status perkawinan keluarga dengan status perkawinan yang harmonis biasanya
akan membuat pasangan suami istri saling bekerja sama, saling bahu-membahu
dalam menghadapi cobaan hidup.
8) Sikap masyarakat umum.
9) Sarana penunjang.

2.1.4. Proses Penerimaan Diri


Menurut Kubler Ross (2008) proses penerimaan diri meliputi:
1. Penolakan (Denial). Reaksi yang timbul saat pertama kali orang tua mendengar
kondisi anak mereka adalah terkejut dan tidak percaya, ini adalah perasaan
umum yang dirasakan oleh para orang tua ketika pertama kali mengetahui
diagnosis bahwa anaknya mengalami gangguan autism.
2. Kemarahan (Anger). Banyak orang tua merasa marah ketika mengetahui
anaknya didiagnosa mengalami gangguan autism. Sering kali kemarahan itu
berlanjut sehingga membuat perasaan menjadi peka dan sensitif, setiap
kejadian kecil yang dialami bisa menimbulkan kemarahaan yang
menjengkelkan.
3. Tawar menawar (Bargaining).Tahap ini adalah tahap di mana orang tua
berusaha untuk menghibur dirinya sendiri.
4. Depresi (depression). yang kadang kala depresi dapat juga menimbulkan rasa
bersalah terutama apada pihak ibu, yang khawatir apakah keadaan anak mereka
akibat dari kelalaian selama hamil atau akibat dosa dimasa lalu.
5. Penerimaan diri (Acceptance). Tahap yang terakhir pasrah dan menerima
kenyataan. Guna kesembuhan anak, mereka selalu mengikuti saran dokter dan
mengikutsertakan anaknya dalam terapi-terapi yang mendukung kesembuhan
anaknya.

10
2.1.5. Teori Penerimaan Diri
Sheerer (1963) mengemukakan aspek-aspek penerimaan diri sebagai berikut:
1. Perasaan sederajat
2. Percaya kemampuan diri
3. Bertanggung jawab
4. Orientasi keluar diri
5. Berpendirian
6. Menyadari keterbatasan
7. Menerima sifat kemanusiaan.

2.2. Penerimaan Diri Orang Tua


2.2.1. Pengertian Penerimaan Orang Tua
Menurut Porter (Eliyanto dan Hendriani, 2013) penerimaan orang tua adalah
perasaan atau perilaku orang tua yang dapat menerima keberadaan anaknya tanpa
syarat, penerimaan merupakan tujuan akhir dari orang tua saat mengetahui
anaknya berkebutuhan khusus. Penerimaan orang tua terhadap anak ditunjukkan
dengan perasaan senang terhadap statusnya sebagai orang tua yang ditandai oleh
perhatian dan kasih sayang, memberikan waktu untuk berperan serta dalam
kegiatan anak, tidak mengharapkan terlalu banyak pada anak, memperlakukan
anak seperti anak yang lain, serta tidak menjauhkan anak dari pergaulan
masyarakat luas.

Jersild (Hurlock, 2009) mendefinisikan penerimaan orang tua sebagai cinta. Cinta
ini akan lebih tepat apabila orang tua tidak hanya menerima anaknya tetapi juga
menerima dirinya sendiri. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai
individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban
perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak memiliki
kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan.

Menurut Hurlock (2009) penerimaan orang tua merupakan suatu efek psikologis
dan perilaku dari orang tua pada anaknya seperti rasa sayang, kelekatan,
kepedulian, dukungan, dan pengasuhan di mana orang tua tersebut bisa merasakan

11
dan mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya. Penerimaan orang tua ditandai
oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Orang tua yang menerima akan
memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat.
Anak yang diterima umumnya bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah,
royal, secara emosional stabil, dan gembira.

Menurut Rogers (dalam Pancawati, 2013) Penerimaan orang tua merupakan aspek
yang penting dalam kehidupan anak berkebutuhan khusus. Penerimaan akan
tercapai jika orang tua mampu membiasakan diri dan memulai untuk
menyesuaikan diri dengan kondisi yang dialaminya tersebut. Penerimaan orang
tua biasanya digambarkan sebagai orang tua penyayang dan penuh kehangatan.
Rasa sayang akan lebih efektif ketika orang tua tidak hanya menerima anaknya,
tetapi juga menerima keadaan dirinya sendiri. Orang tua bisa menjadi lebih bijak
dalam melakukan penerimaan, jika orang tua mampu menjalankan hidup lebih
realistik.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan


orang tua adalah perasaan atau perilaku orang tua yang dapat menerima
keberadaan anaknya tanpa syarat yang tercermin melalui adanya perhatian kuat,
pengertian, cinta dan kasih sayang terhadap anak yang ditunjukkan dengan sikap
penuh kebahagiaan dalam mengasuh anak.

2.2.2. Aspek-Aspek Penerimaan Orang Tua


Porter (Sadiyah, 2009) mengungkapkan aspek-aspek penerimaan orang tua
terhadap anak sebagai berikut:
1. Menghargai anak sebagai individu dengan segenap perasaan, mengakui hak-
hak anak dan memenuhi kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan.
2. Menilai anak sebagai diri yang unik sehingga orang tua dapat memelihara
keunikan anaknya tanpa batas agar mampu menjadi pribadi yang sehat.
3. Mengenal kebutuhan-kebutuhan anak untuk membedakan dan memisahkan diri
dari orang tua dan mencintai individu yang mandiri.
4. Mencintai anak tanpa syarat

12
Sedangkan Aspek-aspek penerimaan orang tua menurut Zuck (dalam Ningrum,
2007), meliputi :
1. Memperlihatkan kecemasan yang minimal dalam kehadiran anak.
2. Memperlihatkan keadaan membela diri yang minimal tentang keterbatasan
anak.
3. Tidak ada penolakan yang jelas pada anak maupun membantu perkembangan
kepercayaan yang lebih.

Aspek-aspek penerimaan orang tua menurut Musen, dkk (dalam Ningrum, 2007),
sebagai berikut:
1. Adanya kontrol.
2. Tuntutan kematangan, tekanan pada anak untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan kemampuan intelektual, sosial, dan emosional.
3. Komunikasi antara orang tua dan anak.
4. Pengasuhan orang tua, meliputi kehangatan (cinta, perhatian, dan keharuan)
dan keterbukaan (pujian dan kesenangan dalam prestasi anak).

2.3. Autisme
2.3.1. Pengertian Autisme
Autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti
suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya
sendiri. Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943.

Menurut Yayasan Austisma Indonesia (2008) autisme adalah gangguan


perkembangan kompleks yang gejalanya harus sudah muncul sebelum anak
berusia 3 tahun. Gangguan neurologi pervasif ini terjadi pada aspek neurobiologis
otak dan mempengaruhi proses perkembangan anak. Akibat gangguan ini sang
anak tidak dapat secara otomatis belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi
dengan lingkungan sekitarnya, sehingga ia seolaholah hidup dalam dunianya
sendiri.

13
Menurut Puspitha (2016) Gangguan perkembangan biasanya muncul sebelum usia
tiga tahun yang menyebabkan anak dengan autisme tidak mampu membentuk
hubungan sosial atau mengembangkan komunikasi normal. Anak autis menjadi
terisolasi dari kontak dengan orang lain dan tenggelam pada dunianya sendiri
yang diekspresikan dengan kegiatan yang di ulang-ulang. Kelainan pada anak
autis disebut dengan Autism Spectrum Disorder (ASD).

Menurut McCandless J (2003) autisme adalah sebuah masalah kesehatan yang


sering dialami anak Autism Spectrum Disorder (ASD), diantaranya esofagistis
(radang kerongkongan), gastritis (radang lambung), duodenitis (radang usus dua
belas jari), dan kolitis (radang usus besar), hal ini karena pada anak autisme
ditemukan adanya gangguan pencernaan.

Sedangkan menurut Handojo Y (2008), Diketahui pada penderita autisme terdapat


gangguan pencernaan yang disebut leaky gut syndrome. Hal ini menyebabkan
proses pencernaan menjadi tidak sempurna karena adanya gangguan produksi
enzim pencernaan sehingga mengakibatkan protein-protein kompleks, yaitu gluten
dan kasein, tidak dapat tercerna sempurna dan berubah menjadi peptida. Peptida
tersebut masuk ke dalam darah dan dapat meracuni otak karena dapat berfungsi
sebagai false transmitter yang berikatan dengan reseptor opioid dan memberikan
efek terganggunya fungsi otak (persepsi, kognisi, emosi dan perilaku) sama
seperti efek morfin.

2.3.2. Macam-Macam Autisme


Secara umum jika pada seorang anak yang dibawah umur 3 tahun mempunyai
kesulitan berbicara, tidak mampu melakukan kontak mata dan melakukan gerakan
aneh berulang-ulang, maka dapat dikatakan ia mengalami gejala autis. Macam-
macam autis menurut Mujiyanti (2011), diklasifikasikan berdasarkan respon yang
ditunjukkan oleh anak.
1. Autis Ringan
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun
tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit respon ketika

14
dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam
berkomunikasi secara dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali. Tindakan-
tindakan yang dilakukan, seperti memukulkan kepalanya sendiri, mengigit
kuku, gerakan tangan yang steroetif dan sebagainya, masih bisa dikendalikan
dan dikontrol dengan mudah Karena biasanya perilaku ini dilakukan masih
sesekali saja, sehingga masih bisa dengan mudah untuk mengendalikannya.
2. Autis Sedang
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata, namun
tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau
hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereotipik
cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3. Autis Berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan yang
sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya ke
tembok secara berulang-ulang dan terus-menerus tanpa henti. Ketika orang tua
berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap
melakukannya, bahkan dalam kondisi berada dipelukan orang tuanya, anak
autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa
kelelahan kemudian langsung tertidur. Kondisi yang lainnya yaitu, anak terus
berlarian didalam rumah sambil menabrakkan tubuhnya ke dinding tanpa henti
hingga larut malam, keringat sudah bercucuran di sekujur tubuhnya, anak
terlihat sudah sangat kelelahan dan tak berdaya. Tetapi masih terus berlari
sambil menangis. Seperti ingin berhenti, tapi tidak mampu karena semua diluar
kontrolnya. Hingga akhirnya anak terduduk dan tertidur kelelahan.

2.3.3. Gejala-Gejala Autisme


Adapun gejala anak Autisme menurut ASA (dalam Arief, 2010) adalah sebagai
berikut:
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial timbal balik

15
a) Gangguan yang nyata dalam berbagai tingkah laku non-verbal seperti
kontak mata dan ekpresi wajah yang kurang, dan posisi tubuh yang kurang
tertuju.
b) Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai
dengan tingkat perkembangan
c) Kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat atau prestasi
dengan orang lain.
d) Kurang mampu melakukan hubungan sosial atau emosional timbal balik.

2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi


a) Keterlambatan perkembangan bahasa atau tidak bicara sama sekali.
b) Bila bisa berbicara, terdapat gangguan pada kemampuan menulis atau
mempertahankan percakapan dengan orang lain.
c) Penggunaan bahasa yang streotip, repetitive atau sulit dimengerti seperti
mengepak-ngepakkan jari.
d) Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa menipu.

3) Pola-pola repetitive dan stereotip yang kaku pada tingkah laku, minat dan
aktifitas:
a) Preokupasi pada satu pola minat atau lebih
b) Infleksibilitas pada rutinitas atau ritual yang spesifik dan non-fungsional
c) Gerakan motorik yang stereotip dan repetitive
d) Preokupasi yang melekat pada bagian-bagian objek.

2.4. Kerangka Pemikiran


Anak adalah anugerah terindah yang dititipkan Allah SWT kepada orangtua.
Memiliki anak sehat, ceria cerdas, menjadi dambaan bagi pasangan dalam
melengkapi jalinan rumah tangga. menyaksikan tumbuh kembang anak mulai dari
dalam kandungan hingga menyaksikan kesuksesan kelak merupakan saat-saat
indah yang dinanti-nantikan oleh orangtua. Namun sebagian orangtua, impian
tersebut seakan sirna ketika mengetahui anak yang dinantikan dengan penuh

16
harapan didiagnosa menderita suatu gangguan perkembangan. Salah satu bentuk
gangguan perkembangan pada anak ialah autisme.

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasive. Anak yang


mengalami ini biasanya ditandai dengan ketidakmampuan dalam berkomunikasi,
baik verbal maupun non verbal, mengalami hambatan dalam interaksi sosial serta
menunjukan tingkah laku yang tidak biasa. Kehadiran anak autisme dalam sebuah
ikatan keluarga, bisa dihayati sebagai keadaan yang menekan bagi orang tua. Pada
saat itu akan muncul kesulitan-kesulitan yang dialami ibu dan ayah seperti ketika
pertama kali dihadapkan pada kenyataan bahwa sang buah hati tidak seperti anak
pada umumnya. Banyaknya diantara orang tua menunjukkan reaksi yang kecewa,
terpukul dan tidak bisa menerima kondisi anaknya.

Penerimaan orang tua terhadap keberadaan anak autisme melewati berbagai


proses penerimaan diri. Orang tua yang tidak menerima keberadaan anak mereka
akan mengalami banyak reaksi-reaksi penolakan. Merasa shock dengan kenyataan
yang ada karena belum siap untuk merawat anak dengan memiliki banyak
kekurangan dan merasa malu untuk mengungkap keoranglain tentang kekurangan
yang dimiliki anak mereka. Penerimaan diri yang baik ketika orangtua dengan
anak autisme menerima dukungan dari keluarga berupa dukungan emosional
sehingga mampu menghadapi permasalahan, tidak menyalahkan diri sendiri atas
apa yang terjadi, menganggap dirinya berharga, dukungan penghargaan seperti
pendapat orang tua dengan anak autisme dapat diterima oleh keluarga, dukungan
instrumental yaitu dukungan yang diterima langsung seperti keluarga bersedia
membiayai pengobatan atau proses penyembuhan. Dukungan informasi yaitu
memberikan nasehat sehingga orangtua dengan anak autisme merasa diperhatikan,
disayangi dan tidak merasa sendirian.

Menurut Syafaria (2005) Orang tua yang menerima keadaan anak autis akan
menerima kenyataan secara apa adanya dan memahami bahwa anaknya terlahir
sebagai individu yang berbeda, sehingga orangtua anak mengubah persepsi dan
harapan ideal atas anak dan cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan

17
kapasitas kemampuan yang dimiliki anak. Orang tua yang menghargai terhadap
dirinya, orangtua yang lebih sering diberikan dukungan oleh lingkungannya
cenderung bersikap lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara
fisik.

18
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif. Menurut Moleong (2008)
juga menjelaskan bahwa penelitian kualitatif deskriptif adalah data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka. Dengan demikian,
laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran
penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin dari naskah wawancara, catatan
lapangan, foto, video tape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen
resmi lainnya.

3.2. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian


Variabel-Variabel penelitian pada dasarnya adalah suatu hal yang berbentuk apa
saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi
tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Menurut
Haqul (1989), variable penelitian dapat dilihat dari dua sudut yaitu dari sudut
peran dan sifat. Dilihat dari segi perannya, variable ini dapat dibedakan ke dalam
dua jenis yaitu :
1. Variabel dependent ialah Variabel (Y) dependen (terikat) menurut Suliyanto
(2018) adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variasi variabel bebas.
Dalam hal ini yang mejadi variabel terikat adalah Anak Autis (Y).
2. Variabel independent ialah Variabel (X) atau Independen (bebas) menurut
Suliyanto (2018) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi
penyebab besar kecilnya variabel yang lain. Dalam hal ini yang menjadi
variabel bebas adalah Penerimaan Diri Orang Tua (X)

3.3. Subjek Penelitian


Subjek penelitian ini adalah orang tua yang mempunyai anak autis. Ciri-ciri
subjek dalam penelitian ini yaitu bersedia untuk di wawancara dan merupakan
orang tua yang memiliki anak autis. Subjek tinggal bersama anaknya, tidak

19
memiliki gangguan dalam berkomunikasi, dan bersedia berpartisipasi dalam
penelitian secara utuh.

3.4. Metode Pengumpulan Data


Menurut (Sugiyono, 2010) metode pengumpulan data merupakan langkah yang
paling utama dalam penelitian karena tujuan melakukan penelitian yaitu untuk
mendapatkan data. Peneliti yang tidak mengetahui teknik pengumpulan data,
maka peneliti tidak akan mendapatkan data sesuai standar yang ditentukan.
Apabila dilihat dari datanya, pengumpulan data dapat menggunakan sumber
primer, dan sumber sekunder.
1) Sumber primer yaitu sumber data langsung yang memberikan data kepada
peneliti.
2) Sumber sekunder yaitu sumber data tidak langsung yang memberikan data
kepada peneliti seperti orang lain atau lewat dokumen.

Alat pengumpulan data dalam penelitian kualitatif disesuaikan dengan masalah,


tujuan penelitian, dan sifat objek yang diteliti. Pada proses penelitian kualitatif,
peneliti menjadi kunci dalam interaksi dengan narasumber sehingga diharapkan
mendapat informasi yang dapat mengungkap permasalahan secara tuntas dan
lengkap. Berdasarkan penjelasan di atas, cara yang dapat digunakan untuk proses
pengumpulan data yaitu dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi
untuk memperkuat kebenaran data yang diambil.
1) Observasi
Menurut (Moleong L. J., 2007), observasi terhadap partisipan merupakan
pengamatan yang dilakukan dengan menjadi anggota dari kelompok yang
diamati sehingga apa saja yang dibutuhkan dapat diperoleh. Sedangkan
menurut Nasution dalam (Sugiyono, 2010) menyatakan bahwa, observasi
adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Dalam penelitian ini, peneliti akan
mencatat kejadian penting yang ada saat observasi, pencacatan tidak dilakukan
pada saat di lapangan karena dapat mempengaruhi perilaku alamiah

20
narasumber sehingga pencacatan dilakukan segera mungkin setelah peneliti
meninggalkan lapangan.
2) Wawancara
Menurut (Moleong L., 2010) wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu dilakukan dengan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewer) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Wawancara yang akan dilakukan
dalam penelitian ini adalah wawancara langsung secara mendalam dengan
orang tua anak autis lebih tepatnya yaitu kepada ibunya.
3) Dokumentasi
Menurut Sugiyono (2010) Dokumentasi merupakan pelengkap dari metode
observasi dan wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini. Dokumen bisa
berupa tulisan, gambar, foto, dan sebagainya. Dokumentasi dapat menunjang
proses wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti. Adapun dokumentasi
yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut peneliti
menggunakan alat bantu handphone untuk merekam pada saat wawancara
dengan narasumber. Rekaman merupakan bukti audio dalam proses
pengumpulan data dan digunakan sebagai pendukung dan penguat data yang
telah diambil oleh peneliti.

3.5. Analisis Data


Analisis data merupakan upaya yang dilakukan dengan mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Data
yang didapat dari penelitian merupakan data mentah yang harus diolah supaya
diperoleh suatu data yang siap disajikan menjadi hasil dari suatu penelitian.
Langkah-langkah koding sebagai berikut :
1) Mempelajari data dan menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam
data. Catatan lapangan dibuat sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong

21
yang cukup besar di kanan dan kiri transkrip digunakan untuk analisis dan
refleksi.
2) Menemukan tema-tema yang berasal dari data.
3) Melakukan penafsiran data yaitu berpikir dengan jalan membuat agar kategori
data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola-pola hubungan serta
membuat temuan-temuan umum.

22
DAFTAR PUSTAKA

Arief, M. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Pada Anak Autis
Di Klinik Buah Hatiku Makassar. Skripsi, Fakultas Ilmu Kesehatan UIN
Alauddin, Makassar
Asrizal. 2016. Penanganan Anak Autis Dalam Interaksi Sosial. Jurnal PKS, Vol.
15, No. 1, hlm. 1–8.
Ballerina, T. 2016. Meningkatkan Rentang Perhatian Anak Autis dalam
Pembelajaran Pengenalan Huruf. Jurnal of Disability Studies, hlm. 249-251.
Cronbach, G., J. 1963. Edicational Psychology 2 And Edition. New York:
Harcout, Bruace And Word.
Eliyanto H & Hendriani W. 2013. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan
Penerimaan Ibu Terhadap Anak Kandung yang Mengalami Cerebral Palsy.
Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. Vol. 2 No, HLM. 124.
Faradina, N. 2016. Penerimaan diri pada orangtua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus. eJournal Psikologi , Vol. 4, hlm. 386-396
Handoyo, Y. 2008. Autisme pada Anak (Menyiapkan anak autis untuk mandiri
dan masuk sekolah reguler dengan metode ABA Basic). Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer.
Hurlock, E. B. 2009. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Jersild, A. T., Brook, J. S. & Brook, D. W. 1978. The psychology of adolesence.
New York: MacMillan Pub Company
Kubler R.E. 2008. On Death and DyingWhat the dying have to teach doctors,
nurses, clergy and their own families. London and New York: Routledge
Levianti, M. 2013. Penerimaan Diri Ibu Yang Memiliki Anak Tunanetra. Jurnal
psikologi, hlm. 39-49.
McCandless., J. 2003. Children With Starving Brains. F. Siregar, Penerjemah.
Jakarta : Grasindo
Moleong, L.J. 2008. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya

23
Mujiyanti, DM. 2011. Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi Pada Anak
Autis di Kota Bogor.Skripsi. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor.
Ningrum, D. P. 2007. Pengaruh penerimaan orang tua terhadap penyesuaian diri
anak tuna rungu di sekolah tahun ajaran 2006-2007. Skripsi FIP Univ.
Negeri Semarang
Pancawati, R. 2013. Penerimaan diri dan dukungan orang tua terhadap anak autis.
Ejurnal psikologi. Vol 1, No, 1.
Patrayana, B. 2017. Penerimaan Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Down
Syndrom Ditinjau Dari Tingkat Usia. skripsi. Pekanbaru: Fakultas Psikologi
Uin Suska Riau
Puspita, E. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita
hipertensi dalam menjalani pengobatan.
Rachmawati Sri & Zulkaida A. 2007. Penerimaan Diri Orang Tua Terhadap Anak
Autisme dan Peranannya Dalam Terapi Autisme. Jurnal Psiokologi, Vol.1,
No.1, hlm. 7-17
Rahayuningsih, sri Intan & A, R. 2011. Gambaran penyesuaian diri orang tua
yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Idea Nursing Journal. ISSN:
2087 -2879. Syiah Kuala University. Banda Aceh
Rusdiana. 2018. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Penerimaan Diri
Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (Abk) Di
Samarinda. Jurnal Psikoborneo. Vol. 6, No.2, hlm. 279-288.
Sadiyah, S. 2009. Pengaruh Penerimaan Orang tua Tentang Kondisi Anak
Terhadap Aktualisasi Diri Anak Penyandang Cacat Fisik di SLD D YPAC
Cabang Semarang. Skripsi Universitas Negeri Semarang
Sheerer, L. L. 1963. UW-EL Model for River Regulation. Am. Soc. Civ. Eng. Jour.
Waterways and Harbours Div, Vol. 89, hlm. 13-27.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

24
Susanto. 2014. Penerimaan Orang tua Terhadap Kondisi Anaknya Yang
Menyandang Autisme Di Rumah Terapis Little Star. Jurnal Psikosains,
Vol. 9, No.2.
Sutadi, R. 2004 Penanganan dini bagi anak autis. diunduh tanggal 05 Desember
2023
Yayasan Autisma Indonesia. 2008. Apa itu Autisme?. Kampanye Peduli Autis
(diunduh pada 06 Desember 2023). Terdapat di:
http://autisme.or.id/istilahistilah/autisme-masa-kanak/

25

Anda mungkin juga menyukai