Anda di halaman 1dari 26

Gambaran Penerimaan dan Adaptasi/Transformasi Pengasuhan Ayah dengan

Anak Autis

Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Metode Penelitian Kualitatif

Oleh :
Dominika Arthalia Ayunda Putri (1806163796)
Putu Winda Yuliantari G.D (1806164092)

Program Magister Profesi Pendidikan


Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
2018

0
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian.........................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................................................4
1.5 Isu Etis..............................................................................................................................5
1.6 Cakupan Penelitian.........................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Autistic Spectrum Disorder (Sindrom Autisme)............................................................7
2.2 Teori Penerimaan.............................................................................................................8
2.3 Teori Adaptasi/Transformasi.........................................................................................10
2.4 Teori Peran Ayah............................................................................................................12
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tipe dan Desain Penelitian............................................................................................14
3.2 Karakteristik Partisipan................................................................................................14
3.3 Teknik Pengumpulan Data............................................................................................16
3.4 Prosedur Penelitian........................................................................................................17
3.5 Teknik Analisis Data.......................................................................................................18
3.6 Teknik Keabsahan Data.................................................................................................18
Daftar Pustaka..........................................................................................................................20
1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Proses pengasuhan saat ini tidak lagi hanya menitikberatkan pada peran ibu sebagai pusat
pengasuhan di rumah tetapi juga melibatkan ayah sebagai partner pengasuhan yang juga
memiliki peranan penting utamanya dalam mengembangkan kemampuan dalam hal aktivitas
fisik, sosio-kognitif dan kemampuan meregulasi emosi (Roberts, 1998; Roggman et al., 2004
dalam Pisula 2008). Pengasuhan memberikan tantangan yang berbeda pada orangtua dengan
anak berkebutuhan khusus dibandingkan dengan orangtua dengan anak typical. Berkaitan dengan
hal tersebut, beberapa penelitian fokus melihat pengalaman dari keluarga dalam menghadapi
stres pengasuhan, cara keluarga dalam membimbing anak mereka yang berkebutuhan khusus dan
dukungan internal maupun eksternal yang ada di sekeliling sistem keluarga sebagai faktor
protektif yang dapat membantu orangtua dalam menjalani proses pengasuhan anak dengan
kebutuhan khusus (Dyson, 1997).
Autistic Spectrum Disorder atau sindrom autisme adalah gangguan perkembangan
neurologis yang dikarakteristikkan dengan keterbatasan anak dalam berkomunikasi dan
berinteraksi secara sosial, minat spesifik terhadap satu hal dan perilaku repetitif atau perilaku
berulang (American Psychiatric Association, 2013). Prevalensi anak dengan sindrom autisme
saat ini di Indonesia meskipun tidak mendapat angka yang pasti, dapat memberikan gambaran
pertumbuhan kasus anak dengan sindrom autisme yaitu dua kasus baru setiap 1.000 penduduk
per tahun dan 10 kasus per 1.000 penduduk dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,5
juta jiwa dan laju pertumbuhan 1,14 persen mengacu pada data Badan Pusat Statistik 2010,
diprediksi jumlah penyandang autis di Indonesia sebesar 2,4 juta orang dengan pertambahan 500
orang per tahun (Harian Nasional, 2018).
Praktik pengasuhan terhadap anak autisme menjadi hal mendasar yang menjadi sorotan
banyak penelitian utamanya terkait dengan peran dari keluarga dalam pengasuhan anak dengan
autisme. Pengaruh dari pengasuhan anak autis terhadap well being keluarga sudah bukan lagi hal
yang baru untuk diteliti. Menurut beberapa penelitian dalam Cappe, Wolff, Bobet, & Adrien

2
(2011), orangtua dengan anak autis harus menanggung beban stres dalam pengasuhan anak yang
disebabkan karena berbagai macam permasalahan yang dialami oleh anak autis seperti anak
memiliki gangguan tidur, cemas dan menangis yang terkadang orangtua tidak paham
penyebabnya, berbagai macam perilaku yang tidak biasa yang terkadang menjadi stereotype
tertentu untuk anak maupun orangtua. Selain itu dinamika dari sistem keluarga itu sendiri
seringnya terganggu baik secara ekonomi, sosial, muncul berbagai macam gangguan fisik
maupun psikologis yang dirasakan orangtua.
Pengalaman dalam menjalani proses pengasuhan anak berkebutuhan khusus tentunya
berbeda antara proses yang dijalani ayah dan proses yang dijalani ibu, utamanya ketika anak
berada pada masa-masa usia sekolah. Meskipun seluruh fase perkembangan yang dilalui anak
memberikan dampak stres pada orangtua, penelitian menunjukkan pada anak dengan kebutuhan
khusus, beberapa perubahan yang terkait dengan usia, kebutuhan yang beragam serta ekspektasi
dari lingkungan sosial anak menjadikan usia sekolah menjadi hal yang lebih menantang dalam
proses pengasuhan anak berkebutuhan khusus (Roussey et al., 1992; Wikler, Wasow & Hatfield
1981; Meyer, 1986 dalam Dyson 1997).
Kehadiran ayah dalam praktik pengasuhan tidak hanya berdampak pada perkembangan
psikologis anak tetapi juga ibu sebagai pasangan dalam pengasuhan anak (Lamb, 2010). Namun
dalam praktik pengasuhan utamanya anak dengan kebutuhan khusus, penelitian menunjukkan
ayah lebih sulit dalam menerima kondisi anak dengan kebutuhan khusus dibandingkan ibu meski
dukungan dari lingkungan sosial dan tingkat stres yang dialami ayah tidak berbeda dengan yang
dialami ibu (Dyson, 1997) sehingga seringnya hal ini secara tidak langsung berdampak pada
keterlibatan perilaku pengasuhan yang ditampilkan ayah yang cenderung rendah dibandingkan
ibu. Rendahnya keterlibatan ini dilihat dari perilaku pengasuhan yang diterapkan ayah lebih
berfokus pada hal-hal diluar lingkungan anak sedangkan ibu lebih memberikan perhatian pada
kebutuhan sehari-hari anak di rumah (Pelchat et al., 2009).
Terlepas dari stres yang dihadapi, beberapa ayah melihat pengasuhan terhadap anak-anak
mereka dengan autisme sebagai suatu tantangan yang harus dijalani dan memandang hal tersebut
sebagai suatu kesempatan untuk belajar terkait hidup dan memperbaiki kualitas diri maupun
mempererat hubungan antar keluarga. Tidak sedikit ayah yang berharap dapat lebih terlibat
dalam pengasuhan anak mereka dan secara aktif mencari informasi terkait hal-hal yang dapat
membantu praktik pengasuhan anak dengan autisme berjalan dengan optimal seperti misalnya

3
akses kesehatan, akses terhadap pelayanan intervensi dini untuk memfasilitasi keterlibatan yang
dapat dilakukan oleh pihak ayah secara maksimal (Carpenter & Towers, 2008). Faktor protektif
dari peranan yang dimiliki seorang ayah seperti misalnya memberikan dampak positif terhadap
berbagai perkembangan yang dimiliki anak dan secara psikologis memberikan dampak yang
positif terhadap penyesuaian perilaku saat remaja, selain itu peran pengasuhan ayah juga
membantu mengurangi perilaku bermasalah anak di sekolah, meningkatkan kemampuan bahasa
dan kognitif di masa awal perkembangan dan hubungan yang lebih positif antar teman sebaya di
usia remaja (McBride et al., 2017) menjadikan hal tersebut sebagai dukungan yang dapat
membantu pihak ayah lebih positif memandang situasi dan menyesuaikan dengan kemampuan
yang dimiliki.
Penerimaan merupakan sebuah proses yang berujung pada adaptasi ataupun transformasi
individu terhadap situasi menekan yang dialami dan bagaimana nantinya individu dapat
mengelola stres yang dirasakan, menyesuaikan diri dengan kondisi stres dan melakukan
transformasi terhadap kehidupan yang harus dijalani. Penerimaan sendiri berada di akhir tahap
dukacita atau grief. Seperti yang dikemukakan Kubler dan Ross (dalam Axelrod, 2006), terdapat
empat tahap lain sebelum individu sampai di tahap penerimaan. Tahap-tahap tersebut yakni
menolak, marah, menawar, dan depresi. Meskipun tahapan ini lazim terjadi pada individu yang
berdukacita karena kehilangan atau kematian, namun tahapan ini juga bisa terjadi pada individu
lain yang mengalami hal yang tidak menyenangkan, termasuk dalam merespon kejadian yang
menekan serta menerima berita buruk.
Proses individu menjalani tahapan penerimaan hingga mampu beradaptasi dan
melakukan transformasi akan kehidupan menakan yang dijalani bergantung pada bagaimana tiap
individu mempersepsikan situasi dan tentunya akan berdampak pada strategi yang dilakukan
individu dalam mengelola sumber tekanan (Pelchat et al, 2009). Proses mulai dari menerima
kondisi memiliki anak berkebutuhan khusus utamanya anak dengan autisme hingga melakukan
berbagai macam strategi dalam menjalani proses perjalanan pengasuhan sampai kepada kondisi
mampu memandang sumber tekanan sebagai suatu yang dapat dijadikan tujuan hidup yang baru
menjadi berbeda ketika berbicara mengenai yang dilalui oleh ayah dan ibu dengan anak
berkebutuhan khusus utamanya anak dengan autisme (Pelchat et al., 2007). Proses ini dapat
dilihat dari level individual terkait pandangan dari diri sendiri memandang kondisi menekan
yang dihadapi terkait dengan anak berkebutuhan khusus utamanya anak dengan autisme, level

4
pengasuhan, interaksi dengan pasangan yang bisa jadi memiliki memberikan pengaruh terhadap
bagaimana individu menjalani proses penyesuaian tersebut hingga level dimana dukungan sosial
maupun lingkungan di luar keluarga juga memberikan peranan dalam proses yang dijalani
(Pelchat et al, 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan eksplorasi terhadap proses penerimaan dan
adaptasi/transformasi pengasuhan ayah yang memiliki anak dengan sindroma autisme mulai dari
mendapatkan informasi terkait diagnosis anak hingga akhirnya menerima dan ikut terlibat aktif
dalam pengasuhan dan memiliki tujuan baru akan pandangannya terhadap hidup pribadi maupun
keluarga.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

1.2.1 Permasalahan umum


Bagaimana gambaran tahap penerimaan serta penyesuaian pengasuhan pada ayah yang
memiliki anak dengan gangguan spektrum autisme?

1.2.2. Sub-pertanyaan
1. Bagaimana ayah menerima diagnosis anak dengan gangguan spektrum autisme?
2. Bagaimana ayah menyesuaikan diri dengan pola pengasuhan pada anak dengan gangguan
spektrum autisme?
3. Bagaimana ayah memegang tanggung jawab terkait perannya dalam pengasuhan terhadap
anak dengan gangguan spektrum autisme?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah ingin melakukan eksplorasi terkait proses penerimaan
dan adaptasi/transformasi pengasuhan ayah yang memiliki anak dengan gangguan spektrum
autisme serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tidak hanya dari segi teoritis namun
juga segi praktis yaitu,

5
a. Memberikan gambaran dan informasi pada para ayah dengan anak kebutuhan khusus
terkait dengan proses psikologis dalam menerima anak berkebutuhan khusus
utamanya anak dengan autisme
b. Memberikan gambaran dan pemahaman untuk pihak ibu terkait proses penerimaan
yang juga harus dijalani oleh seorang ayah dalam keterlibatan pengasuhan anak
berkebutuhan khusus utamanya anak dengan autisme

1.5 Isu Etis


Penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan isu etik selama proses pengambilan
data berlangsung. Peneliti terlebih dahulu menghubungi beberapa klinik tumbuh kembang atau
klinik psikologis / terapi untuk anak dengan autisme untuk memberikan proposal penelitian
dengan maksud meminta informasi terkait partisipan yang akan diminta bantuannya dalam
penelitian ini. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari diadakannya penelitian ini serta
bagaimana proses pengambilan data yang akan dilakukan. Selain melakukan wawancara dengan
partisipan, peneliti juga melakukan observasi terhadap lingkungan rumah maupun sekolah
dimana partisipan juga terlibat dalam interaksi dengan anak, serta melakukan telaah dokumen
yang relevan dengan penelitian.
Setelah memberikan gambaran penelitian, peneliti akan menjelaskan risiko yang mungkin
diterima oleh partisipan, yakni risiko personal mengingat yang ditanyakan terkait dengan
pengalaman dari yang tidak mengenakkan terkait proses penerimaan dan penyesuaian yang
dijalani dan risiko sosial yang mungkin dapat terjadi karena pengalamannya dapat diketahui oleh
orang lain. Risiko ini akan diminimalisasi dengan memastikan bahwa identitas partisipan akan
dirahasiakan dan hanya akan dipakai untuk penelitian. Peneliti juga mempersilahkan partisipan
bilamana terdapat informasi yang tidak diperbolehkan untuk ditulis dalam penelitian maka
informasi akan disimpan oleh peneliti tanpa dipublikasikan. Untuk beberapa tahapan penelitian
ini, peneliti akan bertanya atau mengkonfirmasi kembali informasi kepada partisipan sebelum
dilaporkan. Selain itu, partisipan juga akan diberitahukan mengenai manfaat yang sekiranya
didapatkan dari keterlibatan dalam penelitian ini, dimana partisipan dapat membantu para ayah
dengan anak berkebutuhan khusus lain dalam memberikan informasi mengenai gambaran
psikologis yang harus dijalani ketika memiliki anak dengan autisme serta dapat membantu untuk
memberikan pengertian bagi para ibu maupun masyarakat umum lainnya bahwa seorang ayah

6
juga melalui proses psikologis yang menyebabkan beberapa perilaku seringnya dipandang
sebagai respon yang tidak bertanggung jawab terhadap pengasuhan.
Informed consent yang berisi permohonan persetujuan dan kejelasan partisipan mengenai
penelitian ini juga akan diberikan untuk dibaca dan ditandatangani. Setelah mendapat
persetujuan dari partisipan, peneliti akan melakukan pengambilan data dengan metode
wawancara sebagai metode utama dan observasi terhadap aktivitas keterlibatan pengasuhan yang
dilakukan partisipan jika memungkinkan hingga mencapai saturasi data. Kemudian dilakukan
pengolahan data untuk mencari persamaan informasi dari partisipan untuk dilakukan penjabaran
kategorisasi tema-tema terkait dengan proses penerimaan dan penyesuaian yang dilakukan dalam
keterlibatan ayah mengasuh anak dengan autisme. Hasil akhir dari pengolahan data tersebut
kemudian dituliskan dalam bentuk laporan yang mampu menjawab pertanyaan penelitian yang
diajukan.

1.6 Cakupan Penelitian


Penelitian ini berfokus pada gambaran penerimaan dan penyesuaian pola pengasuhan
ayah yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autisme, serta melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan ataupun penyesuaian ayah dalam pengasuhan. Penelitian ini terdiri
dari sistematika laporan sebagai berikut
1. Bab I : Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, masalah penelitian dan
pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, isu etis, dan cakupan
penelitian
2. Bab II : Tinjauan Pustaka. Bab ini berisi teori-teori yang digunakan sebagai acuan untuk
penelitian ini
3. Bab III : Metode Penelitian. Bab ini berisi penjelasan mengenai tipe penelitian,
karakteristik penelitian, partisipan, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, dan
prosedur penelitian.
4. Daftar Pustaka, berisi daftar sumber yang digunakan dalam penelitian ini baik berupa
buku, jurnal ataupun media online, yang telah dikutip sesuai etika keilmuan yang berlaku

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Autistic Spectrum Disorder (Sindrom Autisme)


Autistic Spectrum Disorder (ASD) merupakan golongan gangguan perkembangan
neurologis yang dikarakteristikkan dengan adanya kesulitan yang persisten pada kemampuan
berkomunikasi dan interaksi sosial yang terbatas baik secara verbal maupun nonverbal disertai
dengan adanya perilaku repetitif serta minat yang spesifik terhadap satu hal (American
Psychiatric Association, 2013). Anak dengan ASD biasanya memiliki kemampuan kognitif yang
atypical, seperti masalah dalam kemampuan eksekutif, kognisi sosial, persepsi sosial, serta
proses mencerna informasi dan mempersepsikannya (Lai, Lombardo, & Cohen, 2013).
Pada DSM-5 terdapat beberapa kriteria individu dapat dikatakan memiliki gangguan
autisme yaitu sebagai berikut
A. Secara konsisten menunjukkan keterbatasan dalam komunikasi dan berinteraksi secara
sosial pada beberapa konteks, yang dapat ditunjukkan melalui:
1. Keterbatasan melakukan hubungan timbal balik dalam aspek sosial-emosional (tidak bisa
mengobrol dua arah, tidak bisa memulai atau merespon interaksi sosial)
2. Keterbatasan melakukan komunikasi non-verbal dalam interaksi sosial (tidak bisa
melakukan tatap mata, ekspresi wajah yang minim, keterbatasan memahami gestur
tubuh orang lain)
3. Keterbatasan mengembangkan, menjaga, dan memahami relasi yang terjalin dengan
orang lain (kesulitan menyesuaikan perilaku yang sesuai dengan konteks tertentu, sulit
melakukan imaginative play, dan sulit menjalin pertemanan dengan teman sebaya karena
keinginan yang juga minim)
B. Memiliki perilaku repetitif, minat, atau aktivitas, yang ditunjukkan melalui:
1. Adanya gerakan motorik, penggunaan benda, atau ucapan yang repetitif (ekolalia,
memutar-mutar benda, ucapan yang tidak bermakna)

8
2. Insistence on sameness, tidak fleksibel dalam mengubah rutinitas, atau memiliki
kebiasaan pola verbal dan nonverbal yang kaku (dapat stres ketika mengalami perubahan
kecil, memiliki pola pemikiran yang rigid, harus melewati jalan atau memakan makanan
yang sama terus menerus)
3. Terpaku pada satu minat dengan intensitas atau fokus yang tidak normal (ikatan yang
kuat dengan benda tertentu, menekuni atau sangat menolak hal tertentu)
4. Hyper-activity atau hypo-activity saat menerima rangsangan sensori (sangat sensitif/tidak
sensitif merasakan suhu, tekstur, rasa sakit, atau mencium aroma tertentu)
C. Gejala harus muncul pada tahap awal perkembangan anak (walaupun mungkin tidak terlihat
jelas sehingga anak berada dalam konteks sosial)
D. Gejala yang dimiliki secara signifikan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan sehari-hari, dan
fungsi lainnya.
E. Masalah ini tidak disebabkan karena adanya intellectual disability atau global developmental
delay.

2.2 Teori Penerimaan


Penerimaan merupakan salah satu proses yang bertahap dalam dukacita. Ross (dalam
Axelrod, 2006) menyatakan bahwa tahapan dukacita terdiri dari lima tahap dan umumnya
tahapan-tahapan ini dialami individu yang berduka dan berkabung karena kehilangan seseorang
yang bermakna bagi mereka. Namun, tidak hanya berkabung dan berduka karena kehilangan,
pada penelitian yang dilakukan oleh Febrianto dan Darmawanti (2016) di Jawa Timur, tahapan
dukacita hingga ke fase penerimaan ini juga dapat menjelaskan proses penerimaan ayah terhadap
anak yang memiliki gangguan autisme karena ayah memerlukan pengetahuan yang luas dan arti
dari autisme yang sebenarnya.
Penerimaan diri didefinisikan sebagai individu yang dapat menerima diri sendiri dan
orang lain apa adanya (Calhoun dan Acocella dalam Senkeyta, 2013). Dalam konteks
pengasuhan, penerimaan diri dikenal sebagai teori Parental Acceptance-Rejection yang
dikemukakan oleh Rohner (2000a dalam Hussain dan Munaf, 2012) yang juga dikenal secara
luas sebagai teori sosialisasi yang menjelaskan dan memprediksi anteseden, korelasi, dan
konsekuensi dari penerimaan dan penolakan orang tua. Orang tua yang memiliki anak dengan
gangguan spektrum autisme memiliki reaksi yang berbeda-beda pasca diagnosis, misalnya tidak

9
percaya, terjadi goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anak
mereka (Mangunsong dalam Febrianto & Darmawanti, 2016), kemudian timbul perasaan
terpukul, putus asa, kesal, menyalahkan diri sendiri, merasa dirinya tidak berguna, melakukan
penawaran-penawaran mengapa hal ini terjadi pada keluarganya, dan timbul dua perasaan
bertentangan antara menerima dan menolak.
Untuk sampai di tahap penerimaan diri, dibutuhkan empat tahap yang terjadi pada
individu yang mengalami kesedihan (Axelrod, 2008), yakni sebagai berikut
1. Tahap penyangkalan : reaksi awal saat menerima berita buruk adalah menyangkal realitas
situasi yang terjadi. Hal ini merupakan mekanisme pertahanan diri untuk menahan syok.
2. Tahap marah : Ketika penyangkalan mulai dikenakan diri, maka realitas dan rasa sakit
akan muncul namun diri belum siap untuk menerimanya. Emosi diri yang rentan ini
diarahkan dan diekspresikan sebagai marah. Marah bisa diarahkan ke benda mati, orang
asing, teman, atau keluarga. Dokter atau pihak yang memberi diagnosa mungkin menjadi
sasaran marah.
3. Tahap menawar : Reaksi normal terhadap perasaan tidak berdaya dan rapuh seringnya
adalah butuh untuk mengendalikan kembali atau “seandainya”. Diri berusaha
mengandaikan sebuah situasi ideal untuk menunda munculnya berita buruk. Intinya,
individu berusaha bernegosiasi dengan Tuhan atau higher power yang dipercayainya
dalam upaya untuk menunda hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini merupakan
pertahanan diri untuk perlindungan dari realitas yang menyakitkan.
4. Tahap depresi : Depresi ini terdiri dari dua tipe. Yang pertama adalah reaksi dari implikasi
praktis terhadap berita buruk, biasanya didominasi kesedihan dan penyesalan. Yang
kedua bersifat lebih halus dan lebih privat.
5. Tahap menerima : Tahap ini belum tentu dapat diraih semua individu. Tahap ini ditandai
oleh penarikan diri, namun dipenuhi rasa tenang. Meskipun demikian, tahap ini bukan
tahap yang menggembirakan.
Tahap-tahap tersebut tidak selalu terjadi berurutan. Beberapa orang bahkan tidak
mengalami beberapa tahapan saat mengalami proses dukacita (Alexrod, 2008). Untuk memahami
tahapan-tahapan tersebut tidaklah harus melalui keseluruh tahapan dalam urutan yang pasti
seperti tertera diatas. Akan lebih baik bila individu memahami dukacita itu sendiri karena setiap
orang berduka dengan cara yang berbeda-beda

10
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yang dikemukakan oleh
Jersild (dalam Senkeyta, 2013). Faktor-faktor ini dapat dipisahkan menjadi faktor internal dan
eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi penerimaan diri adalah adanya keyakinan
mengenai peristiwa yang dialaminya. Kepercayaan yang kuat kepada Tuhan membuat orangtua
yakin bahwa mereka diberikan cobaan sesuai dengan porsi yang mampu mereka hadapi. Faktor
internal lain yang mempengaruhi penerimaan diri adalah usia, pendidikan, dan keadaan fisik.
Sedangkan faktor eksternal yang mendukung penerimaan diri adalah adanya dukungan sosial
yang diberikan baik dari keluarga besar dan juga lingkungan sekitar, pola asuh orangtua, serta
kondisi ekonomi (Jersild dalam Senkeyta, 2013)
Tahap penerimaan tidak selalu dicapai semua orang yang melewati kejadian atau berita
buruk. Beberapa orang gagal menerima diri atau mengalami self-rejection (penolakan diri).
Ketika orangtua gagal menerima situasi bahwa mereka memiliki anak dengan gangguan
spektrum autisme, maka kehangatan dan afeksi yang seharusnya ada dalam keluarga menjadi
tidak ada sama sekali (Rohner dalam Hussain dan Munaf, 2012). Penolakan dari orang tua akan
mengarah kepada parental hostility (permusuhan orang tua), adekuasi dan harga diri yang
negatif, ketidakstabilan emosi, pandangan negatif terhadap dunia, dan ketergantungan.

2.3 Teori Adaptasi/Transformasi


Kelahiran seorang anak biasanya memberikan perasaan bersemangat dan bahagia bagi
para orangtua. Namun apabila anak lahir dengan keterbatasan tertentu, hal ini dapat menjadi
kondisi yang menurut sebagian orangtua adalah kondisi menekan. Situasi yang dialami menjadi
terlalu menekan dan perlu strategi untuk menyesuaikan dengan kondisi yang dijalani yang
tentunya diterapkan oleh anggota keluarga yang mengalami situasi menekan tersebut. Strategi
adaptasi ini tidak hanya melibatkan level individu tetapi juga hubungan interaksi antara suami
dengan istri, pengasuhan dan faktor diluar lingkup keluarga yang dijalani secara berbeda oleh
ayah dan ibu. Hal ini diawali dengan menjalani proses penerimaan terhadap kondisi dari anak
yang tidak sesuai dengan harapan dari orangtua dalam hal ini anak yang lahir mengalami kondisi
berbeda dengan anak normal lainnya untuk kemudian memodifikasi ekspektasi dan perencanaan
hidup yang dimiliki oleh orangtua dalam menjalani realitas yang baru (Pelchat, 2010).
Proses adaptasi/transformasi yang dijalani oleh orangtua dengan anak berkebutuhan
khusus melalui beberapa tahapan yang dapat dijabarkan melalui model dari PRIFAM

11
(Programme d’Intervention Interdisciplinaire et Familiale; Interdisciplinary Family Intervention
Program) yaitu sebuah program intervensi keluarga yang menekankan pada dinamika individu
dan keluarga dari anak berkebutuhan khusus (Pelchat, 2010). Proses adaptasi/transformasi
menurut Pelchat (2010) bersifat resiprokal dimana masalah dapat mempengaruhi dinamika
individu dan keluarga serta begitupun sebaliknya dapat mempengaruhi bagaimana masalah
terjadi. Berikut adalah gambaran model proses penyesuaian dan transformasi yang dialami oleh
orangtua dengan anak berkebutuhan khusus berdasarkan PRIFAM,
Model PRIFAM didasarkan pada Lazarus’s stress theory dan Boss’s model of family
stress management. Pada model menjelaskan bahwa tingkat tekanan/stres pengasuhan yang

dialami oleh ayah dan ibu dalam keluarga, tergantung dari bagaimana pihak ayah maupun ibu
memandang dan mengevaluasi situasi yang dialami dalam hal ini situasi ketika memiliki anak
dengan sindrom autisme, mengevaluasi strategi apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi
tekanan serta bagaimana pihak ayah maupun ibu mengidentifikasi sumber daya yang dimiliki
untuk mengatasi hal tersebut. Dengan kata lain proses ini melihat bahwa penyesuaian diri ayah
dan ibu tidak ditentukan dari tingkat stres yang dialami melainkan bagaimana individu
mempersepsikan situasi yang dialami. Persepsi ini nantinya akan mempengaruhi bagaimana
individu memilih strategi yang akan digunakan untuk memenuhi tugas-tugas adaptif yang
berujung pada penyesuaian/transformasi. Proses penerimaan dari individu menentukan

12
bagaimana nantinya individu dapat memenuhi tugas-tugas adaptif, menerima kondisi anak yang
lahir meski tidak sesuai dengan harapan hingga mampu untuk melakukan penyesuaian dan
transformasi terhadap masa depan anak maupun keluarga (Pelchat, 2009;2010)

2.4 Teori Peran Ayah


Peran ayah dapat dijelaskan dari apa yang sebenarnya ayah lakukan dalam pengasuhan.
Knibiehler (dalam Lamb, 2010) menjelaskan ayah sebenarnya dipandang sebagai patriarki yang
memegang kekuatan besar untuk keluarga mereka. Pandangan ini masih berlanjut hingga saat ini.
Menurut Pleck dan Pleck (dalam Lamb, 2010), ayah dilihat sebagai guru moral selama fase
kolonial dalam sejarah Amerika. Ayah bertanggung jawab memastikan anak mereka tumbuh
dengan nilai-nilai yang sesuai, terutama nilai yang diperoleh dari keagamaan atau teks skriptural
lainnya selain kitab suci agama.
Pada era industrialisasi, peran ayah dilihat sebagai breadwinner yang menyokong
ekonomi keluarga. Di era yang timbul Great Depression ini terkait dengan ekonomi. Para ayah
mengkhawatirkan peranan sebagai sex role model dan memfokuskan model maskulinitas pada
anak laki-lakinya. Di era 1970-an, peran ayah mulai bergeser menjadi lebih aktif, lebih terlibat
dalam mengasuh, dan lebih merawat anaknya (Lamb, 1987).
Pada era saat ini, peran ayah tidak terlepas dari sejarah peran ayah dalam era-era
terdahulu. Saat ini ayah memegang sejumlah peranan penting seperti menjadi teman, penyedia
perhatian, pasangan (untuk istri/partner), pelindung, panutan, pemandu moral, guru, serta
breadwinner (Lamb, 2010). Dalam studi yang dirangkum Lamb (2010) juga menyebutkan ayah
lebih memiliki spesialisasi pada tugas bermain dengan anak sementara ibu memiliki spesialisasi
pada merawat dan menjaga anak. Ayah juga menyediakan dukungan emosional pada anak dan
pada ibu yang juga berefek pada kualitas hubungan ibu-anak (Lamb, 1987). Ayah juga dapat
mempengaruhi dinamika keluarga dengan terlibat pada pekerjaan rumah anak dan memudahkan
beban kerja ibu di rumah. Ayah juga mempengaruhi anak dengan interaksi langsung pada anak.
Ada beberapa komponen yang ada pada keterlibatan ayah yang disebutkan Lamb (1987).
Yang pertama adalah engagement of interaction yang meliputi interaksi one-by-one antara anak
dan ayah seperti menyuapi anak makan, membantu tugas sekolah anak, dan bermain dengan
anak. Komponen kedua adalah accessibility dimana interaksi yang terjadi tidak seintens

13
komponen pertama. Disini ayah memiliki akses terhadap anaknya misalnya saat ayah memasak
di dapur, anak berada di ruang sebelahnya atau bahkan anak bermain di bawah ayah secara
langsung dimana ayah dapat mengamati anaknya. Komponen ketiga adalah tanggung jawab,
dimana ayah memberi perhatian serta memperhatikan kesejahteraan pada anak. Tanggung jawab
ini dibedakan dengan keinginan untuk membantu anak. Tanggung jawab meliputi pengetahuan
ayah bilamana anak butuh pergi ke dokter, memastikan anak memiliki pakaian untuk dipakai,
mengatur pertemuan dengan babysitter atau child-care, membuat pengaturan temu dengan
pengawas anak bilamana anak sakit.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam keluarga menurut
Lamb (1987 dan 2010). Yang pertama adalah usia anak. Ketika usia anak lebih muda, kedua
orang tua lebih menghabiskan waktu pada perawatan anak. Semakin besar usia anak, ayah makin
tidak terlibat karena anak semakin tidak ingin berinteraksi dengan orang tuanya dan anak lebih
cenderung ingin menghabiskan waktu dengan saudaranya. Selain itu gender anak juga menjadi
faktor pengaruh keterlibatan ayah. Ayah lebih tertarik dan lebih senang terlibat pada anak laki-
lakinya dibandingkan anak perempuan. Terlepas dari usia, ayah lebih senang menghabiskan
waktu dengan anak laki-lakinya dibandingkan dengan anak perempuan.

14
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe dan Desain Penelitian


Tipe penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif ini bersifat alamiah yang mana peneliti tidak melakukan manipulasi setting penelitian
namun lebih menggali suatu fenomena dimana fenomena itu berada (Poerwandari, 2013).
Peneliti juga berada langsung di lapangan dimana peneliti dapat memperoleh pemahaman jelas
mengenai realitas dan kondisi nyata kehidupan partisipan sehari-hari melalui penekanan
kedekatan baik dengan orang-orang maupun situasi sekitar penelitian.
Sementara desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Penelitian
dengan desain fenomenologi dilakukan karena peneliti berfokus pada pengalaman ayah yang
memiliki anak dengan gangguan spektrum autisme dalam menjalani proses penerimaan dan
penyesuaian mengasuh anak dengan spektrum autisme. Penelitian dengan desain fenomenologis
sesuai dengan fokus penelitian ini yang menekankan deskripsi dari seluruh kesamaan
pengalaman atau fenomena yang sering dialami (Creswell, 2013). Selain itu digunakannya
desain fenomenologis dalam penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi sudut pandang dari
subjek penelitian terhadap fenomena yang dialami termasuk bagaimana subjek memaknai proses
penerimaan dan penyesuaian yang harus dijalani ketika memiliki anak dengan spektrum autisme.

3.2 Karakteristik Partisipan

3.2.1 Jumlah Partisipan


Penelitian ini membutuhkan minimal 5 orang partisipan dengan kategori seorang ayah
yang memiliki anak dengan autisme dengan usia anak minimal di usia remaja yaitu mulai usia 13
tahun. Pemilihan jumlah partisipan didasarkan pada Creswell (2013) yang menyarankan
penelitian fenomenologis memiliki partisipan berkisar antara tiga (3) atau empat (4) orang
hingga 10 sampai 15 orang. Jumlah partisipan juga dapat berkembang sejalan dengan

15
pengambilan data penelitian itu sendiri jika memang dibutuhkan data dari partisipan lain untuk
membantu mengarahkan peneliti pada data yang makin spesifik menjawab permasalahan
penelitian (Poerwandari, 2013).

3.2.2 Kriteria Partisipan


Partisipan dalam penelitian ini adalah ayah yang memiliki anak dengan autisme. Definisi
ayah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ayah kandung atau ayah yang memiliki
hubungan biologis dengan anak autisme. Kriteria inklusi dari partisipan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut,
a. Anak telah didiagnosa memiliki sindrom autisme oleh Psikolog berdasarkan DSM-V
tanpa adanya gangguan perilaku lain yang menyertai maupun keterbatasan fisik
seperti gangguan pendengaran atau penglihatan atau yang lainnya
b. Ayah dengan anak yang memiliki sindrom autisme dimana anak berusia minimal 13
tahun. Pemilihan kriteria ayah dengan anak di usia ini didasarkan pada penelitian
longitudinal yang dilakukan oleh Gray (2002, 2006) menunjukkan bahwa penerimaan
dan penyesuaian terkait situasi yang dialami dalam pengasuhan anak autisme mulai
stabil dirasakan oleh orangtua setelah lebih dari 10 tahun masa pengasuhan sejak anak
usia dini.
c. Ayah terlibat dalam pengasuhan baik di rumah, di sekolah maupun di tempat
pelayanan terapi jika anak mengikuti aktivitas terapi atau kegiatan di luar sekolah
lainnya

3.2.3 Teknik Sampling


Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dalam melakukan pengumpulan
partisipan. Teknik pengumpulan partisipan dengan metode purposive dimaksudkan agar
mempermudah peneliti untuk menentukan partisipan yang sesuai dengan kriteria partisipan
dalam penelitian dengan meminta rekomendasi dari pihak penyedia layanan bantuan penanganan
anak autisme seperti misalnya klinik psikologi, klinik tumbuh kembang atau sekolah tempat anak
beraktivitas dengan fokus menemukan pemaknaan dan memahami sebuah fenomena dari sudut
pandang partisipan (Merriam & Tisdell, 2015). Selanjutnya dari rekomendasi tempat tersebut
peneliti akan menghubungi orangtua yang kiranya berkenan untuk menjadi partisipan penelitian.

16
Poerwandari (2013) menyatakan bahwa penentuan partisipan pada penelitian kualitatif
berbeda dengan penelitian kuantitatif dimana penelitian kualitatif berfokus pada sejauh mana
proses pengumpulan data dilakukan. Pada penelitian ini pengambilan sampel berfokus pada
intensitas yaitu ingin memperoleh data yang kaya mengenai suatu fenomena pengasuhan pada
anak autisme dari sisi pandang seorang ayah yang terlibat dalam pengasuhan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan tiga metode pengumpulan data. Pertama adalah metode
wawancara. Wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu (Poerwandari, 2013). Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara
mendalam dengan pedoman umum dan semi-terstruktur. Peneliti membuat pedoman wawancara
yang sangat umum dengan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan.
Pedoman ini menjadi pengingat peneliti mengenai hal yang harus dibahas dan juga menjadi
checklist apakah hal-hal yang menjadi pertanyaan sudah dibahas. Semi-terstruktur yang
dimaksud adalah peneliti memiliki daftar pertanyaan yang disusun dengan tujuan membantu
untuk memandu peneliti dalam melakukan probing dan mengikuti alur partisipan selama masih
dalam area pertanyaan (Smith & Osborn, 2008)
Metode kedua adalah observasi. Observasi adalah kegiatan memperhatikan secara akurat,
mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam
fenomena tersebut (Poerwandari, 2013). Dalam penelitian ini, peneliti berada langsung di
lapangan baik itu di rumah, di sekolah maupun di tempat anak beraktivitas misalnya di tempat
terapi dan mengamati interaksi serta gaya pengasuhan ayah pada anak dengan gangguan
spektrum autisme. Kegiatan observasi dilakukan tidak secara mengkhusus hanya observasi saja
namun bersamaan dengan wawancara dilakukan terkait dengan interaksi yang secara natural
dapat dilihat ataupun bahasa tubuh yang ditampilkan partisipan saat wawancara berlangsung.
Pengumpulan data terakhir menggunakan pengumpulan dokumen dan materi
audio/visual. Dokumen yang dimaksud adalah dokumen pribadi, sementara materi audio visual
berbentuk foto atau rekaman video. Pada teknik ini, peneliti mengumpulkan semua hal yang
berkenaan dengan partisipan dalam bentuk dokumen, video, atau foto yang terkait dengan
pengasuhan ayah serta interaksi ayah dan anak. Misalnya foto candid dan video ketika ayah
sedang berinteraksi dengan anak, baik dalam konteks bersenang-senang (misalnya berlibur) dan

17
konteks kegiatan harian (misalnya saat ada kegiatan di sekolah atau di tempat kerja ayah),
dokumen kegiatan bersama misalnya hasil prakarya, catatan harian anak, catatan harian ayah,
dan sebagainya.

3.4 Prosedur Penelitian


Penelitian ini dimulai dengan upaya melihat fenomena yang terjadi di sekitar peneliti.
Selanjutnya peneliti memilih satu fenomena terkait dengan proses pengasuhan anak
berkebutuhan khusus yaitu anak dengan sindrom autisme. Fenomena yang dipilih kemudian
lebih dispesifikasi mencakup proses psikologis yang dialami oleh ayah dengan anak yang
memiliki sindrom autisme. Proses psikologis tersebut adalah proses penerimaan dan penyesuaian
yang dilalui Ayah dengan anak autisme. Setelah menentukan fenomena yang ingin didalami,
peneliti kemudian menyusun pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini serta
tujuan dari penelitian untuk nantinya membantu peneliti menentukan desain penelitian yang
sesuai menjawab pertanyaan penelitian.
Setelah mengetahui tujuan dari penelitian ini, peneliti menentukan desain penelitian yang
sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu peneliti memilih pendekatan fenomenologi
untuk melakukan eksplorasi terhadap pemaknaan partisipan terkait proses penerimaan dan
penyesuaian yang dijalani partisipan dalam keterlibatan pengasuhan anak dengan sindrom
autisme sesuai dengan fungsi dan tujuan dari pendekatan fenomenologi tersebut. Peneliti
kemudian menentukan partisipan yang sesuai kriteria penelitian serta menyiapkan pedoman
wawancara dan alat bantu yang dibutuhkan selama proses pengambilan data.
Peneliti kemudian menghubungi beberapa klinik maupun mengunjungi sekolah dengan
kriteria anak autis berusia minimal 13 tahun untuk kemudian memberikan proposal serta
meminta bantuan untuk dapat menghubungi orangtua utamanya pihak ayah dari anak tersebut.
Setelah mendapatkan informasi dari sekolah atau tempat terapi/klinik, peneliti menghubungi
orangtua yaitu pihak ayah dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta memberikan
informed consent jika pihak ayah setuju untuk menjadi partisipan penelitian untuk kemudian
menentukan waktu dan tempat untuk memulai proses pengambilan data wawancara. Data yang
diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis. Proses pengambilan data, pengolahan maupun
analisis dilakukan secara terus-menerus dimana hasil dari wawancara dan observasi dituangkan
ke dalam transkrip untuk kemudian dianalisis secara berulang dan jika data masih kurang untuk

18
menjawab pertanyaan penelitian maka peneliti akan menghubungi partisipan untuk melakukan
pengambilan data kembali. Selanjutnya tahap terakhir dari proses ini adalah penulisan hasil
penelitian ke dalam bentuk laporan.

3.5 Teknik Analisis Data


Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada Smith & Osborn (2008)
dan Creswell (2013). Metode analisis menggunakan metode Interpretative Phenomenological
Analysis yaitu metode analisis yang berfokus pada pemahaman akan proses sebuah fenomena
dimaknai oleh partisipan (Smith & Osborn, 2008). Analisis data dimulai dengan membaca
seluruh transkrip hasil wawancara untuk kemudian mencari pernyataan signifikan yang ada
dalam transkrip terkait bagaimana pengalaman partisipan terhadap fenomena yang dialami
kaitannya dengan pengalaman dalam menjalani pengasuhan anak dengan autisme serta proses
yang terjadi terkait dengan penerimaan dan penyesuaian yang dijalani. Pernyataan dituangkan
dalam daftar yang kemudian dikategorikan dalam tema-tema tertentu yang sesuai dengan topik
(Smith & Osborn, 2008; Creswell, 2013).
Peneliti akan membuat deskripsi terkait dengan menjawab pertanyaan “Apa yang dialami
oleh partisipan?” - teknik ini disebut dengan textural description dimana peneliti akan
mendeskripsikan apa yang terjadi selama proses penerimaan dan penyesuaian yang dijalani ayah
dalam mengasuh anak dengan autisme dimana deskripsi ini didukung dengan contoh-contoh
pernyataan dalam verbatim yang kemudian dilanjutkan dengan mendeskripsikan pertanyaan
“Bagaimana pengalaman tersebut terjadi?” disebut juga structural description (Creswell, 2013).
Misalnya peneliti mendeskripsikan bagaimana partisipan memandang anak autisme, bagaimana
partisipan berinteraksi dengan anaknya sehari-hari di rumah.
Setelah melakukan penjabaran deskripsi terhadap tema-tema yang ditemukan melalui
textural dan structural description, peneliti menuliskan hasil dari penjabaran tersebut dalam
bentuk narasi deskriptif terkait pemaknaan partisipan terhadap proses penerimaan dan
penyesuaian yang dijalani selama mengasuh anak dengan sindrom autis.

3.6 Teknik Keabsahan Data


Keabsahan data yang dimaksud dalam penelitian kualitatif kaitannya dengan seberapa
jauh hasil dari penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Creswell, 2013;
Poerwandari, 2013). Triangulasi data dilakukan oleh peneliti untuk menguatkan derajat manfaat

19
studi pada setting yang berbeda, dimana peneliti menggunakan berbagai macam sumber data,
evaluator, teori atau perspektif yang berbeda untuk menginterpretasi data yang sama serta
metode yang beragam untuk meneliti data yang sama. Peneliti menggunakan sumber data tidak
hanya dari wawancara tetapi juga dari observasi dan dokumen relevan yang mendukung.

20
Daftar Pustaka
American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders: DSM-5. Washington, D.C: American Psychiatric Association.
Axelrod, J. (2006). The 5 Stages of Loss and Grief. Psych Central . Retrieved from
http://psychcentral.com/lib/the-5-stages-of-loss-and-grief/000617
Cappe, E., Wolff, M., Bobet, R., & Adrien, J.-L. (2011). Quality of life: a key variable to
consider in the evaluation of adjustment in parents of children with autism spectrum
disorders and in the development of relevant support and assistance programmes. Quality
of Life Research, 20(8), 1279–1294. doi:10.1007/s11136-011-9861-3
Carpenter B. & Towers C. (2008) Recognising fathers: the needs of fathers of children with
disabilities. Support for Learning 23, 118–25.
Creswell, J. W. (2013). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five tradition
(3rd Ed). Sage Publications, Inc.
Dyson, L. L. (1997). Fathers and mothers of school-age children with developmental disabilities:
Parental stress, family functioning, and social support. American journal on mental
retardation, 102(3), 267-279.
Febrianto, A. S. dan Darmawanti, I. (2016). Studi Kasus Penerimaan Seorang Ayah terhadap
Anak Autis. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, 7(1), 50-61
Gray, D. E. (2002). Ten years on: a longitudinal study of families of children with autism.
Journal of Intellectual & Developmental Disability, 27(3), 215–222.
doi:10.1080/1366825021000008639
Gray, D. E. (2006). Coping over time: the parents of children with autism. Journal of Intellectual
Disability Research, 50(12), 970–976. doi:10.1111/j.1365-2788.2006.00933.x
Harian Nasional 2 April 2018 - Tren Penderita Autisme Meningkat. Artikel oleh Alvin Tamba
http://www.harnas.co/2018/04/01/tren-penderita-autisme-meningkat (diakses 5 Desember
2018).
Hussain, S., dan Munaf, S. (2012). Perceived Father Acceptance-Rejection in Childhood and
Psychological Adjustment in Adulthood. International Journal of Business and Social
Science, 3(1), 149-156
Lai M-C, Lombardo MV, Chakrabarti B, Baron-Cohen S (2013) Subgrouping the Autism
“Spectrum": Reflections on DSM-5. PLoS Biol 11(4): e1001544.
https://doi.org/10.1371/journal.pbio.1001544
Lamb, M. E. (1987). The Father’s Role Applied Perspective. New York : John Wiley & Sons
Lamb, M. E. (2010). The Role of the Father in Child Development 5th Edition. NJ : John Wiley
& Sons
McBride, B. A., Curtiss, S. J., Uchima, K., Laxman, D. J., Santos, R. M., Weglarz-Ward, J., …
Kern, J. (2017). Father Involvement in Early Intervention: Exploring the Gap Between

21
Service Providers’ Perceptions and Practices. Journal of Early Intervention, 39(2), 71–87.
doi:10.1177/1053815116686118
Merriam, S. B., & Tisdell, E. J. (2015). Qualitative research: A guide to design and
implementation. John Wiley & Sons.
Pelchat, D., lefebvre, H. and levert, m.J. (2007) ‘Gender Differences and Similarities in the
experience of Parenting a Child with a Health Problem: Current State of Knowledge’,
Journal of Child Health Care 11(2): 112–31.
Pelchat, D., Levert, M.-J., & Bourgeois-Guérin, V. (2009). how do mothers and fathers who have
a child with a disability describe their adaptation/ transformation process? Journal of
Child Health Care, 13(3), 239–259. doi:10.1177/1367493509336684
Pelchat, D. (2010). PRIFAM: a shared experience leading to the transformation of everyone
involved. Journal of Child Health Care, 14(3), 211–224. doi:10.1177/1367493510364166
Pisula, E. (2008). Interactions of fathers and their children with autism. Polish Psychological
Bulletin, 39(1). doi:10.2478/v10059-008-0005-8
Poerwandari, E. K. (2013). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta:
LPSP3 UI.
Senkeyta, Y. (2013). Proses Penerimaan Diri Ayah Terhadap Anak Yang Mengalami Down
Syndrome. Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur
Smith, J. A., & Osborn, M. (2008). Interpretative Phenomenological Analysis. Doing Social
Psychology Research, 229–254. doi:10.1002/9780470776278.ch10

22
Lampiran

Lembar Kesediaan Menjadi Partisipan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama/Inisial :
Usia :

telah memperoleh penjelasan dari peneliti mengenai maksud dan tujuan penelitian serta prosedur
penelitian yang akan dilakukan dan menyatakan bersedia secara sukarela menjadi partisipan
dalam penelitian yang berjudul “Gambaran Penerimaan dan Adaptasi/Transformasi Ayah
dengan Anak Autis”, yang dilakukan oleh mahasiswa Program Magister Profesi Psikologi
Pendidikan Universitas Indonesia.
Demikian pernyataan saya, dengan penuh kesadaran dan tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun.
___________, _____________

( )

23
Lampiran
Panduan Wawancara Penelitian
Hari, tanggal :
Tempat :
Partisipan :

1. Bagaimana gambaran tahap penerimaan serta penyesuaian pengasuhan pada ayah yang
memiliki anak dengan gangguan spektrum autisme?
a. Bagaimana proses yang anda jalani sebelum anda menerima kondisi anak?
b. Apa yang anda lakukan ketika anda merasakan perasaan-perasaan yang anda rasakan setiap
harinya setelah informasi diagnosa anak?
c. Bagaimana proses anda menyesuaikan diri dengan berbagai aspek kehidupan anda,
misalnya pekerjaan dan kegiatan sehari-hari di rumah?
2. Bagaimana ayah menerima diagnosis anak dengan gangguan spektrum autisme?
a. Apa yang anda rasakan ketika mengetahui anak anda di diagnosa autisme?
b. Sejak usia berapa anak sudah didiagnosa autisme ?
c. Bagaimana dampak informasi diagnosa anak ke interaksi dengan istri di rumah?
d. Bagaimana dampak informasi diagnosa anak ke interaksi dengan anak sendiri di rumah?
3. Bagaimana ayah menyesuaikan diri dengan pola pengasuhan pada anak dengan gangguan
spektrum autisme?
a. Apakah anda juga ikut mengasuh anak anda bersama dengan istri di rumah?
b. Bagaimana pembagian tugas pengasuhan yang anda lakukan bersama istri?
c. Bagaimana cara anda menyesuaikan diri dengan cara pengasuhan yang berbeda terhadap
anak?
4. Bagaimana ayah memegang tanggung jawab terkait perannya dalam pengasuhan terhadap
anak dengan gangguan spektrum autisme?
a. Tanggung jawab apa yang anda pegang terkait dengan pengasuhan anak anda?
b. Bagaimana perasaan yang anda rasakan ketika harus memegang tanggung jawab tersebut?
c. Bagaimana proses pembagian tanggungjawab yang anda lakukan bersama istri?

24

Anda mungkin juga menyukai