Anda di halaman 1dari 50

DIKTAT

PSIKOLOGI KLINIS

Kelompok 3:

Agnes Wulandary : 1615040080

Rosa Afriani : 1615040087

Fenny Firdawati : 1615040089

Silvi Haryanti : 1615040085

Dinan Dzaki Irwan : 1615040055

Dosen Pembimbing :

Widia Sri Ardias M.Psi

JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

2019 M / 1440 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT serta Shalawat pada Nabi
Muhammad SAW, akhirnya diktat Psikologi Klinis selesai juga ditulis oleh penulis. Gagasan
penulisan diktat ini berasal dari beberapa buku dan jurnal yang berhubungan dengan praktik
psikologi klinis, normal, abnormal dan patologi, DSM, Pendekatan dalam Psikologi Klinis,
Psikofarmatologi dan sebagainya.
Dalam diktat Psikologi Klinis ini yang dibukukan oleh pemateri dalam memenuhi tugas
Psikologi Klinis dari dosen Widia Sri Ardias dalam diktat psikologi Klinis ini ada beberapa
bagian-bagian penting yang dijelaskan serta kriteria dari abnormal tersebut.
Kepada seluruh pembaca penulis berterima kasih apabila dapat kritik diktat ini demi
penyempurnaanya di waktu yang akan datang. Karena penulis yakin bahwa tak ada gading yang
tak retak, tak ada karya tulis yang sempurna, tak ada lebaran putih yang tak berbercak, tak ada
manusia yang sempurna, dan seterusnya.
Penulis berterima kasih kepada semua anggota kelompok yang telah membantu penulis
dalam mempersiapkan diktat ini, sehingga dapat dibukukan dan dibaca serta bermanfaat bagi
mahasiswa dan yang membutuhkan referensi mengenai Psikologi Klinis.

Padang, 25 Desember 2018

Pemateri
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................................................

Daftar isi........................................................................................................................................

Pengantar.....................................................................................................................................

Bab 1 Praktek Psikologi Klinis...............................................................................................

Bab II Normal, Abnormal, dan Patologi.................................................................................

- Normal...................................................................................................................
- Abnormal...............................................................................................................
- Patologi..................................................................................................................

Bab III DSM...........................................................................................................................

Bab IV Pendekatan dalam Psikologi Klinis............................................................................

- Pendekatan Perilakuan...........................................................................................
- Pendekatan Psikodrama.........................................................................................
- Pendekatan Kelompok...........................................................................................

Bab V Psikofarmakologi.........................................................................................................

- Pendekatan Modik, Biopsikologi dan Psikofarmakologi........................................


- Neuron, Synaps dan Neutransmitter......................................................................
- Penyakit jiwa Neurotransmisi, dan penggunaan obat-obatan Psikotropik.............
- Gejala sasaran (target Symptoms) dalam pengobatan gangguan jiwa....................
- Efek samping obat Psikotropika............................................................................

Bab VI Asesmen dalam Psikologi Klinis................................................................................

- Gambaran Umum...................................................................................................
- Wawancara dalam pemeriksaan Psikologi Klinis...................................................
- Observasi dalam psikologi Klinis...........................................................................
- Pemberian tes dalam pemeriksaan psikologi klinis.................................................
- Penyampaian hasil asessmen klinis dan laporan pemeriksaan psikologi klinis......

Bab VII Intervensi dalam Psikologi Klinis..............................................................................

- Psikoanalisis dan yang berorientasi Psikodinamik..................................................


- Perspektif fenomenologis dan Humanistik-Eksistensial.........................................
- Terapi Perilaku.......................................................................................................

Bab VIII Psikoterapi dan Teori-Teori Kepribadian.................................................................

- Pendekatan Psikoanalisis........................................................................................
- Pendekatan Belajar.................................................................................................
- Pendekatan Humanistik..........................................................................................
- Pendekatan Sosiokultural.......................................................................................

Bab IX Etika Psikologi terkait Praktek Klinis.........................................................................

- Kualifikasi Tester dan Laporan Pemeriksaan Psikologis.........................................


- Kerahasiaan Laporan Versus Hak Klien untuk membaca Laporan Tentang Dirinya..
- Kode Etik Himpsi dan Kerahasiaan Alat tes...........................................................
- Pokok-pokok Bahasan Kode Etik Himpsi..............................................................

Bab X Cabang-cabang Penelitian Psikologi Klinis..................................................................

- Cabang-cabang Psikologi sebagai Ilmu Pengetahuan..............................................

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
PENGANTAR

Buku ini berawal dari diktat kuliah yang berjudul Pengantar Psikologi Klinis yang
penulis tulis berdasarkan kuliah-kuliah yang pernah penulis terima dari dosen Widia Sri Ardias
yang mengampu mata kuliah psikologi klinis, ditambah ddengan bahan-bahan yang penulis cari
sendiri. Diktat ini ditulis oleh Mahasiswa jurusan Psikologi Islam semester V sebagai diktat
untuk memenuhi tugas Psikologi Klinis yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan.
Buku pengantar psikologi klinis ini ditulis pada tahun 2019 yang terdiri dari 10 Bab, bab
tersebut terdiri teori tentang praktek psikologi klinis, normal, abnormal, dan patologi, DSM,
pendekatan dalam psikologi klinis, psikofarmakologi, assesmen dalam psikologi klinis,
intervensi dalam psikologi klinis, psikoterapi dan teori-teori kepribadian, etika psikologi yang
terkait praktek klinis, dan cabang-cabang penelitian psikologi klinis.
Saya menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangannya, diantaranya banyak
bagian-bagian yang diuraikan secara singkat nsaja. Masukan, koreksi, dan komentar dari
pembaca akan sangat saya hargai.

Padang, 25 Desember 2018

Penulis
BAB I

PRAKTIK PSIKOLOGI KLINIS

Psikologi klinis adalah psikologi terapan yang bertujuan untuk memahami kapasitas
perilaku dan karakteristik individu yang dilaksanakan melalui metode pengukuran, analisis, saran
dan rekomendasi, agar individu mampu melakukan penyesuaian diri secara memadai (APA,
1935).
Psikologi klinis merupakan salah satu bidang psikologi terapan yang berperan sebagai
salah satu disiplin kesehatan mental dengan menggunakan prinsip-prinsip psikologi untuk
memahami, mendiagnosis da mengatasi berbagai masalah atau penyakit psikologi (Mers,
2000:122). Untuk pertama kalinya, organisasi yang mengatur standar psikologi klinis dibentuk
pada tahun 1947 oleh Dewan Profesi Psikologi Amerika, yakni American Noart of Profesional
Psychology. Lembaga tersebut yang berhak melakukan pengujian, memberikan diploma, serta
mendorong pembinaan kecakapan psikologi professional.
Jenjang pendidikan psikologi klinis

1. Wajib Menuntaskan Pendidikan Sarjana (SI) Psikologi


Apabila kamu tidak memiliki gelar dan latar belakang pendidikan sarjana psikologi.
Makan kamu tidak dapat melanjutkan pendidikan untuk menjadi seorang psikolog. Hal
ini dilakukan untuk menjamin bahwa kamu benar-benar akan lulus sebagai psikolog
2. Mengikuti Program Magister Profesi Psikologi (S2)
Dengan program ini maka kamu akan mendapatkan pendidikan khusus dalam mendalami
ilmu psikologi. Serta praktek-praktek psikologi selama 4-5 semester. Setelah
meyelesaikan 2 semester awal dengan teori dan praktik di lab. Serta praktik kerja
disesuaikan dengan spesialisasi yang kamu ambil.seperti klinis umum, klinis anak, klinis
dewasa dll.
3. Mengikuti 6iding Profesi oleh HIMPSI
HIMPSI atau Himpunan Psikologi Indonesia adalah sebuah organisasi yang berhak
memberikan regulasi dan pengaturan mengenai tata cara yang berhubungan dengan
pendidikan tinggi psikologi. Mulai dari kode etik, wewenang, dan banyak lagi. Pada
tahap akhir anda akan menghadapi 7iding kasus (dari hasil praktek kerja anda) yang
diselenggarakan oleh HIMPSI. Apabila lulus makan kamu akan dinyatakan layak sebagai
psikolog.
4. Mendaftar keanggotaan di HIMPSI dan mengurus SIPP
Setelah dinyatakan lulus dari 7iding kasus profesi. Kamu diharuskan untuk mendaftar
keanggotaan HIMPSI. Dan juga mengurus SIPP (surat ijin praktek psikologi) yang juga
dikeluarkan oleh HIMPSI.

Psikologi klinis dalam dunia kerja


a. Assessment, pengumpulan informasi (observasi, wawancara dan tes secara subjektif
maupan objektif) mengenai perilaku individu,
b. Intervensi, penanganan yang dirancang untuk menolong orang yang bermasalah agar
lebih mampu meyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.
c. Research, yaitu psikologi klinis berorientasi pada penelitian.
d. Teaching, yaitu menjadi staf pengajar, memberikan seminar, kursus, bimbingan dan
sebagainya,
e. Consultation, memberikan bimbingan bagi organisasi mengkombinasikan aspek
pengajaran, penelitian dll.
f. Administration, yaitu keterlibatan dalam manajeman/kegiatan harian organisasi
BAB II

NORMAL, ABNORMAL DAN PATOLOGI

Normal

Menurut Gladstone 1978 untuk mengungkapkan tujuh aspek yang merupakan tingkah
laku penyesuaian diri yaitu: ketegangan, suasana hati, pemikiran, kegiatan, organisasi diri,
hubungan antar manusia, dan keadaan fisik. Masing-masing aspek memiliki Kriteria tingkah laku
yang dijadikan pegangan penilaian normalnya penyesuian. Galdstone membaginya kedalam 5
tingkatan yaitu penyesuaian diri yang normal, penyesuaian darurat, penyesuaian neurotik,
kepribadian neurotik, dan gangguan berat yang masing-masing dapat diberi skor antara 10-50.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa normal adalah keadaan sehat
dalam fungsi keseluruhan.
Kriteria pribadi normal menurut Gunarsa 1989 (dalam A.H.Maslow Mitlemen):
1. Perasaan aman yang adekuat.
2. Memiliki penilaian diri dan wawasan yang rasional.
3. Mempunyai spontanitas dan emosionalitas yang stabil.
4. Mempunyai kontrak realitas yang efisien.
5. Memiliki dorongan dan nafsu jasmani yang sehat.
6. Mempunyai pengetahuan diri yang luas.
7. Mempunyai tujuan hidup yang jelas, dan sebagainya.

Abnormal

Kriteria untuk menentukan abnormal


Para ahli kesehatan mental menggunakan berbagai criteria dalam membuat keputusan
tentang apakah suatu perilaku normal atau tidak, yaitu:
1. Perilaku yang tidak biasa, sesuatu yang jarang ada atau secara statistik menyimpang tidak
cukup kuat untuk menjadi dasar pemberian label perilaku abnormal; walaupun begitu, hal
ini sering menjadi ukuran untuk memutuskan abnormalitas.
2. Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma sosial. Contohnya
pada pertengahan tahun 1970-an homoseksualitas diklasifikasikan sebagai sebuah
gangguan mental oleh para psikiater. Namun, sekarang para psikiater tidak lagi
mempertimbangkan homoseksualitas sebagai gangguan mental, dan banyak orang
memberikan pendapat bahwa norma masyarakat kontemporer seharusnya memasukkan
homoseksualitas sebagai suatu variasi normal dalam perilaku.
3. Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas, seperti mengalami halusinasi.
4. Orang-orang tersebut berada dalam stres personal yang signifikan. Kondisi stres personal
yang diakibat oleh gangguan emosi, seperti kecemasan, atau depresi, dapat dianggap
abnormal.
5. Perilaku maladaptif. Perilaku yang tidak menghasilkan kebahagian dapat dianggap
sebagai abnormal. Seperti perilaku agoraphobia yang ditandai oleh rasa takut yang sangat
kuat saat berada di area publik.
6. Perilaku berbahaya. Perilaku yang dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain maupun
diri sendirinya.

Patologi

Patologi merupakan keadaan sakit, tidak sehat yang biasanya merupakan suatu tinjaun
dari sudut pandang medis. Studi psikopatologi merupakan suatu upaya mencari penyabab
mengapa orang memiliki perilaku, pikiran dan perasaan yang tidak diharapkan, kadangkala aneh,
dan umumnya merusak diri sendiri.
BAB III

DSM

Pada tahun 1934, WHO menyusun Diagnostic statistical manual for Mental Disorder
(DSM 1). Merupakan acuan yang digunakan secara universal di Amerika untuk mendiagnosa
gangguan kejiwaan. Karena masih ada kekurangan, DSM I diubah menjadi DSM II yang berlaku
hingga 1968. Depkes RI memakai DSM II yang sudah diadaptapsi untuk indonesia dimana
kategori utama gangguan jiwa adalah sebagai berikut:
1. Retardasi mental
2. Sindrom otak
3. Psikosis yang bertalian dengan kondisi fisik
4. Neourosis
5. Gangguan kepribadian + gangguan nonpsikotik
6. Gangguan psikofisiologis
7. Gejala-gejala khusus
8. Gangguan situasional sementara
9. Gangguan tingkah laku anak dan remaja
10. Tidak ada ganggaun psikiatrik tetapi bermasalah dan perlu dibantu
11. Tak tergolong

Kini telah ada klasifikasi gangguan jiwa baru yang diberi nama Diagnostic and Stastitical
Manual For Mental Disorder atau DSM III atau DSM IV yang dibuat oleh American Psychiatric
Assosiasion (APA). Berbeda dengan DSM I dan DSM II, pada DSM III dan DSM IV dasar
klasifikasi gangguan jiwa diperluas. Semula DSM hanya memperhatikan satu dimensi yaitu
simtom klinis yang dinyatakan dalam Axis I. Kini DSM yang telah memasuki versi IV revised,
memperhatikan lima dimensi.
Lima dimensi itu adalah ( dalam Gerald. Dkk, ) yaitu:
1. Aksis I
a. Gangguan yang biasanya didiagnosis pertamakali pada masa bayi, kanak-kanak, atau
remaja. Termaksud dalam aksis ini retardasi mental, gangguan belajar, gangguan
keterampilan motorik, gangguan komunikasi, gangguan perhatian, ganggaun makan
pada bayi dan anak-anak dan gangguan lainnya.
b. Delirium, demensia, amnestik dan gangguan kognitif lainnya.
c. Gangguan yang berhubungan dengan zat. Termaksud ganggaun penggunana alkohol,
gangguan pengguanaan amfetamin, gangguan yang dipengaruhi oleh kafein,
ganggaun pengguanaan cannabis, gangguan yang di picu anxiolitic, dan sedaptif.
d. Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Termaksud skizofrenia, gangguan bentuk
skizofrenia, gangguan delusional.
e. Gangguan mood. Termaksud didalamnya depresif, bipolar, gangguan suasana hati.
f. Gangguan anxietas, seperti gangguan panik, phobia, OCD, gangguan kecemasan yang
berhubungan dengan kondisi medis umum.
g. Ganggaun samatroform. Seperti gangguan somatisasi, gangguan konversi.
h. Gangguan factitius
i. Gangguan disasosiatif, seperti amnesia disosiatif, gangguan identitas dososiatif,
gangguan depersonalisasi, dan gangguan disosiatif.
j. Gangguan seksual dan identitas gender, seperti disfungsi seksual, parafilas, gangguan
identitas gender.
k. Gangguan makan, seperti anorexia nervosa, bulimia nervosa.
l. Gangguan tidur, seperti gangguan tidur primer.
m. Gangguan kontrol implus yang tidak diklasifikasikan dimanapun, seperti
kleptomania, piromania.
n. Gangguan penyesuaian, seperti gangguan penyesuaian diri dengan kecemasan atau
suasana hati depresi.
2. Aksis II
a. Retardasi mental
b. Gangguan kepribadian (skizotipal, ambang, narsistik)
3. Aksis 3
a. Kondisi medis umum (neoplasma, penyakit-penyakit infeksi)
4. Aksis IV (masalah psikososial dan lingkungan)
a. Masalah dengan kelompok pendukung primer
b. Masalah yang berkaitan dengan lingkungan sosial
c. Masalah pendidikan
d. Masalah rumah tangga
e. Masalah dengan akses untuk mendapat pelayanan perawatan kesehatan
f. Masalah psikososial dan lingkungan lainya.
5. Aksis 5 (Penilaian fungsi secara global)

Goldman dan Foreman ( 1992) mengemukakan bahwa diagnosis tingkah laku abnormal
mencangkup tiga proses, yakni:
1. Mengorganisasi gejala-gejala, simtom-simtom, keluhan-keluhan (subjektif) serta tanda-
tanda (objektif) prilaku abnormal yanfg diperoleh melalui interviu dan observasi dalam
pemeriksaan psikiatris.
2. Sejumlah simtom dikelompokan menjadi suatu sindrom ( sejumlah simtom yang sering
kali ada bersama-sama).

Melalui pemeriksaan yang lebih spesifik lagi menentukan gangguan mental apa yang
dihadapinya.
BAB IV

PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI KLINIS

A. Pendekatan Perilakuan
1. Cara Belajar
Pendekatan perilakuan menunjukkan pandangan positif dan optimis terhadap
perilaku manusia yang dianggap tidak umum atau abnormal. Perilaku normal atau
abnormal berasal dari cara belajar yang sama. Menurut pandangan perilakuan, tingkah laku
adalah respon organisme atau apa yang dilakukan oleh organisme. Respons dapat
dikategorikan menjadi tiga, yaitu motorik, fisiologik, dan kognitif. Respon motorik disebut
perilaku yang tampak, seperti berjalan, berbicara, makan, menulis, dan lain-lain. Respons
fisiologik yang sering diteliti adalah perubahan dalam sistem saraf otonom, seperti detak
jantung, keluarnya keringat, ataupun ketegangan otot. Respons yang tidak terlalu mudah
diamati adalah respons kognitif, bentuk-bentuk respons kognitif adalah bayangan yang
muncul ketika manusia memikirkan sesuatu. Bayangan ini bisa bersifat pendengaran,
penglihatan, ketika memikirkan sesuatu. Jadi, bagi ahli perilakuan, yang penting adalah
perilaku yang dapat diobservasi atau diamati.
Menurut pandangan perilakuan, perilaku manusia baik yang disebut normal
ataupun menyimpang dibentuk melalui prinsip yang sama yaitu prinsip belajar. Menurut
Bellack dan Hersen (1979), yang menyebabkan konsistensi perilakuan adalah konsistensi
situasi stimulus. Artinya orang akan berperilaku dengan cara yang sama pada situasi yang
sama. Misalnya orang akan makan apabila ia merasa lapar yang ditandai dengan kontraksi
perut, sehingga terasa melilit. Selain dapat terbentuk oleh cara belajar, perilaku juga dapat
terbentuk oleh karena keteladanan/ pemodelan (modelling). Juga perilaku dapat dipelajari
dari pengalaman orang lain (vicarious learning). Keteladanan dan belajar melalui
pengalaman orang lain dikemukakan oleh Bandura. Takut pada anjing dapat diterangkan
melalui cara belajar yang berasal dari pengalaman orang lain. Misalnya tiap kali melihat
anjing tangan ibu yang menggandeng anaknya menegang dan anak melihat ekspresi wajah
ibu yang ketakutan. Lama-lama ketika dewasa dia juga akan takut pada anjing, meskipun
yang didepannya anak anjing. Cara belajar seperti ini disebut belajar dari pengalaman
orang lain atau pemodelan.

2. Penggunaan Pendekatan Perilakuan


Di negara maju seperti Amerika Serikat, negara-negara di Eropa dan Asia di
Jepang, pendekatan perilakuan banyak sekali diterapkan untuk kehidupan sector publik,
seperti kehidupan berlalu lintas. Di negara Belanda atau Jerman misalnya, kereta atau
kendaraan rakyat sering tidak ada kondekturnya, mereka tetap harus membeli karcis.
Apabila suatu ketika ada kondektur dan ditemukan bahwa ada penumpang yang tidak
membeli karcis, ia akan dedenda berlipat kali. Biasanya, denda minimal 10 kali dari harga
aslinya. Di Indonesia pendekatan perilakuan sudah dilaksanakan oleh orang Jawa, yaitu
dengan adanya istilah kendali stimulus. Contohnya yaitu melipat tangan di depan perut bila
ada di acara formal atau didepan orang yang dihormati.

3. Kategori Anak Berkelainan


Seorang anak yang berkelainan adalah mereka yang berbeda dari norma sedemikian
signifikan dan sedemikian sering sehingga merusak keberhasilan mereka dalam aktivitas
sosial, pribadi, atau pendidikan. Selanjutnya Haring (1982) mengatakan bahwa mereka
dapat dideskripsikan oleh professional sebagai tidak mampu (disabled), mempunyai
kesulitan (impaired), terganggu (disordered), cacat (handicapped), atau berkelainan
(exeptional). Haring (1982) membuat kategori anak berkelainan sebagai berikut :
• Cacat pengindraan, misalnya kerusakan pendengaran, atau penglihatan.

• Penyimpangan mental, termasuk di dalamnya yang sangat bebakat ataupun yang


terbelakang mentalnya.

• Gangguan komunikasi, misalnya masalah-masalah bicara dan bahasa.

• Ketidakmampuan belajar, yaitu masalah-masalah belajar yang serius akan tetapi tanpa
adanya cacat fisik.

• Gangguan perilaku, termasuk di dalamnya masalah emosi.


• Cacat fisik dan kesulitan dalam kesehatan, seperti kerusakan neurologis, penyakit
seperti leukemia dan anemia karena sel-sel yang sakit, cacat bawaan.

4. Penanganan Perilakuan
Terapi perilaku menekankan perubahan perilaku yang malasuai (maladaptive)
menjadi sesuai (adaptive) dengan cara meningkatkan respons sesuai yang dimiliki individu,
mengurangi perilaku yang berlebihan, ataupun meningkatkan perilaku yang kurang.
a. Pendekatan operant
Sebelum menerapkan terapi perilaku atau modifikasi perilaku diperlukan
assessment lebih dahulu. Pertama kali harus ditentukan perilaku yang akan diubah.
Setelah ditentukan batasannya perlu pula diketahui intensitas ataupun lama perilaku
tersebut, dan ini dapat ditentukan dalam bentuk angka. Angka ini merupakan rating
bagi perilaku yang akan diubah. Kemudian dilakukan observasi untuk menentukan
kapan, dimana, dalam situasi yang bagaimana perilaku tersebut muncul. Menurut
Bellack dan Hersen (1979), perilaku yang berlebihan adalah respons-respons yang
muncul sangat sering, dengan intensitas yang terlalu besar. Untuk mengurangi perilaku
yang berlebihan dapat dipakai dua strategi yaitu penghapusan yang biasanya
dipasangkan dengan penguat positif dan hukuman. Penghapusan adalah prosedur yang
jelas, dalam prosedur itu penguat yang mempertahankan respons yang tidak tepat
tersebut ditunda. Kombinasi dengan pemberian penguat positif, misalnya makanan atau
senyuman pada waktu anak tidak memperlihatkan perilaku yang berlebihan tersebut,
akan menunjukkan hasil yang lebih baik. Hukuman dapat pula dipakai untuk
mengurangi perilaku yang berlebihan. Biasanya orangtua sering memberikan hukuman
ini pada anak-anaknya apabila mereka berbuat kesalahan.

b. Pendekatan klasikal
Pendekatan klasikal dapat diterapkan untuk kasus-kasus yang berhubungan
dengan rasa takut yang tidak adaptif. Yang banyak dilakukan adalah dengan Teknik
nirpeka beraturan (desensitisasi sistematik) dan keteladanan. Nirpeka beraturan
diterapkan untuk individu yang sangat takut pada suatu hal. Misalnya seorang anak
yang sangat takut untuk keluar rumah, atau takut berada di antara orang banyak. Dalam
Teknik ini anak dilatih dulu untuk relaksasi kemudian secara bertahap relaksasi ini
dipasangkan dengan situasi yang menakutkannya sampai akhirnya ia dapat mengatasi
rasa takutnya. Keteladanan dapat dilakukan dengan memakai model hidup atau film
dalam video-tape. Model memberikan contoh mendekati situasi atau hal yang
menakutkan dan anak memperhatikan. Melalui keteladanan ini diharapkan anak akan
mencontoh cara mengatasi rasa takut.

B. Pendekatan Psikodrama
Psikodrama adalah salah satu teknik dalam pendekatan kelompok di dalam psikoterapi
atau konseling. Salah satu hal yang membedakan psikodrama dengan pendekatan kelompok
yang bersifat interaksional adalah adanya unsur drama.
1. Sejarah singkat Moreno dan psikodrama
Psikodrama dikembangkan oleh Jacob L. Moreno (1889-1974), seorang psikiater
yang tentu saja berlatar belakang disiplin kedokteran. Ia lahir di Bucharest, Romania.
Keluarganya pindah ke Wina ketika ia berumur lima tahun. Ia lulus dari sekolah
kedokteran di tahun 1917. Saat berada di Wina, ia menerbitkan suatu majalha sastra,
Daimon, dan menerbitkan buku filsafat dan puisi The words of the Father.
Dari tahun 1921 sampai 1923, Moreno menyelenggarakan Teater Spontanitas
Publik. Di dalamnya peristiwa-peristiwa dalam koran ditindaki sebagai tontonan dengan
keterlibatan penonton. Dampak pada pribadi yang terlihat di antara anggota penyelenggara
ketika mereka menindaki peran adalah langkah lain menuju pada perkembangan teater
terapiutik.

2. Psikodrama
Berbagai teknik dikembangkan dalam psikodrama, pendekatan ini merupakan
prosedur penanganan yang digunakan sebagai tempat belajar dan saling mendukung
diantara anggota kelompok di bawah bimbingan seorang terapis. Terapis di dalam Teknik
ini juga dapat berfungsi sebagai sumber dukungan bagi seluruh anggota kelompok. Dalam
psikodrama, terapis disebut sutradara. Anggota kelompok adalah penonton dan ko-terapis
yang terlatih dapat berfungsi sebagai pembantu atau dapat pula disebut para asisten.
Seorang anggota dapat menjadi pemeran utama atau protagonist, yang akan menggali,
mengungkapkan, dan mengubah elemen-elemen eksistensinya. Pemeran pembantu adalah
agen terapeutik sutradara yang membimbing mereka dalam menjalankan peran. Sutradara
bertanggung jawab terhadap semuanya.
Psikodrama menggunakan prosedur yang aslinya drama dan beberapa digunakan sebagai
metode itu sendiri. Penggunaan waktu dan seleksi prosedur dramatic memberikan
keyakinan tentang bagaimana perubahan terjadi untuk seorang individu. Beberapa prosedur
seperti berikut :

• Penyajian peran (role presentation)


Seseorang memperkenalkan diri dalam peran main sederhana yang memperlihatkan
dirinya dalam kehidupan sehari-hari atau memperkenalkan diri secara simbolik
melalui dramatisasi aspek-aspek yang berbeda dari pengalaman intrapsikik atau
interpersonalnya.
• Pergantian peran (role reversal)
Menukar peran dengan orang lain dan melihat hubungan atau konflik melalui kaca
mata orang lain.
• Soliloquy
Protagonist berpura-pura sendiri dan tidak ada seorang pun yang mendengar pikiran
dan perasaannya yang diungkapkan dengan kertas.
• Aside
Membolehkan protagonist untuk menyuaratkan perasaan yang seakan-akan tidak tepat
kalua diucapkan dengan keras, atau ia tidak mengatakannya dengan keras pada
kehidupan senyatanya.
• Doubling
Auxiliary menyatu dengan protagonist dengan cara menirukan gerakan-gerakannya,
dan melalui cara mengungkapkan dirinya seolah-olah ia adalah kelayan.
• Melantangkan
Auxiliary berkata lebih keras bahkan berteriak tentang apa yang telah dikatakan oleh
kelayan yang disebut protagonist dalam psikodrama, untuk si pemalu dalam kelompok
besar.
• Cermin
Suatu metode umpan balik supaya kelayan melihat refleksi dirinya. Ia memperlihatkan
seorang auxiliary mengulang peristiwa yang baru saja diselesaikannya.
• Peneladanan (modelling)
Demonstrasi alternative perilaku yang dilakukan anggota kelompok untuk kelayan.

3. Sosiodrama
Bila dalam psikodrama seseorang menjadi protagonist dan berorientasi pada diri
pribadi, dalam sosiodrama pemain memerankan situasi kolektif. Situasi yang digambarkan
dalam sosiodrama lebih bersifat sosial budaya yang dibandingkan dengan sosial budaya
lainnya. Pemain juga memerankan berbagai tokoh yang ada dalam situasi sosial budaya
tertentu yang ingin didramakan. Salah satu contoh situasi konflik SARA di Indonesia dapat
dimainkan melalui sosiodrama. Ketidakadilan yang dialami oleh pengikut agama minoritas
dapat didramakan ketika tempat ibadah dirusak oleh yang mengaku sebagai pengikut
agama mayoritas. Peristiwa seperti ini dapat dimainkan dalam sosiodrama. Ketidakadilan
yang menimbulkan konflik social dapat pula menjadi sumber permainan dalam
sosiodrama.

4. Panggung Gembira
Metode panggung gembira dikembangkan berdasarkan teater rakyat, teater
tradisional setempat, dan menggambarkan situasi yang menimbulkan konflik social,
terutama yang disebabkan oleh pandangan tentang ketidakadilan distributif. Berbeda dari
sosiodrama yang menekankan spontanitas, metode panggung gembira menggunakan
scenario yang dibuat oleh suatu unit dalam masyarakat, misalnya rukun tetangga pada
suatu dusun.

C. Pendekatan Kelompok
1. Tipe Pendekatan Kelompok
Glassman dan Wright (1983) mengemukakan tiga tipe kelompok yang lebih
bersifat kontinum tersebut sebagai berikut :
a. Konseling atau terapi di dalam kelompok. Suatu pendekatan individual yang dilakukan
di dalam kelompok. Selama terapi dilakukan, anggota kelompok lainnya menjadi
pengamat. Melalui pengamatan, anggota kelomopk dapat memperoleh manfaat dari
kerja individu yang sedang mengalami proses terapi.

b. Konseling atau terapi dengan kelompok.aktivitas yang dilakukan di dalam kelompok


ditentukan oleh anggota. Fokus pendekatan adalah pada hubungan antarpribadi dan
konflik yang kemungkinan akan terjadi adalah karena adanya proses kelompok.

c. Konseling atau terapi kelompok. Lebih menekankan pada interaksi antaranggota,


focus ada pada di sini dan saat ini. Budaya di dalam kelompok lebih menekankan pada
saling membantu, memberikan dukungan, dan menunjukkan model perilaku sehat.

2. Tahap-tahap Tindakan dalam Kelompok


a. Persiapan
Pada tahap pertama ini konselor atau terapis perlu mempersiapkan terbentuknya
kelompok. Pertama kali yang perlu dilakukan adalah menerangkan pada calon kelayan
tentang konseling atau terapi kelompok. Kemudian perlu dikemukakan tentang proses
kelompok. Pemimpin perlu mendorong kelayan untuk menerima tanggungjawab bagi
artisipasinya di dalam kelompok.
b. Transisi
Transisi antara awal konseling dan konseling sesungguhnya. Saat ini biasanya ditandai
oleh adanya ketegangan pada anggota, mungkin pula timbul resistensi dari anggota.
Begitu diketahui dengan jelas tentang apa yang diharapkan oleh pemimpin maupun
anggota lain, seseorang menjadi ambivalen tentang keanggotaannya dalam kelompok.
c. Kerja kelompok
Dalam pendekatan kelompok untuk orang normal, kerja kelompok sering dapat
terlaksana dengan lebih cepat, akan tetapi bagi terapi kelompok untuk kelayan yang
mempunyai gangguan emosi berat, pross kelompok akan sangat lamban kemajuannya.
Kerja kelompok biasanya dapat diamati dari proses yang terjadi. Apakah semua
anggota belajar dan berlatih memenuhi agenda pada tiap sesi merupakan proses
kelompok.
d. Terminasi
Dorong tiap anggota untuk mengevaluasi perubahan dan peningkatan perilaku yang
dialaminya selama kelompok berlangsung. Anggota perlu pula didorong untuk
mencoba perilakunya yang baru di luar kelompok.
3. Tugas Pemandu Kelompok

a. Membuat dan mempertahankan kelompok

b. Membentuk budaya

c. Membentuk norma
BAB V

PSIKOFARMAKOLOGI

A. Pendekatan Medik, Biopsikologi, dan Psikofarmakologi


Telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam pendekatan medik semua gejala perilaku
dan penyimpangannya dikembalikan ke dasar-dasar biologis. Seorang neurolog-psikiater
yang sangat percaya pada orientasi biologis akan mengatakan: Pendekatan medis tidak
mengenal gangguan atau penyakit jiwa, yang ada ialah “penyakit otak”.
Bidang kajian yang membahas kedekatan antara psikologi dan biologi diberi nama
beragam. Pinel (dalam Carlson, 1992) memperkenalkan bidang kajian yang dinamakan
Biopsikologi. Bidang ini mengkaji dasar-dasar biologis perilaku.
Biopsikologi sendiri terdiri dari 5 kajian yang lebih khusus, yaitu: Psikologi Faal,
Psikofarmakologi, Neuropsikologi, Psikofisiologi dan Psikologi Komparatif. Psikologi Faal
(physiological psychology) membahas dan memanipulasi sistem saraf melalui pembedahan,
pelistrikan dan cara kimiawi dalam setting eksperimental, dimana subjek yang diteliti adalah
hewan.
Psikofarmakologi mempelajari efek obat pada perilaku manusia dan bagaimana efek ini
terjadi melalui perubahan aktivitas neural (saraf). Banyak ahli psikologi faal yang kemudian
beralih ke penelitian obat. Psikofarmakologi mempelajari obat-obat khusus yang dinamakan
obat-obat psikotropik – obat yang efeknya pada otak, yang memiliki dampak terapeutik
langsung pada proses mental (Maramis, 1994).
Neuropsikologi adalah kajian tentang ‘behavior deficits’ yang diakibatkan oleh kerusakan
otak manusia. Dibandingkan dengan bidang kajian lain, neuropsikologi adalah yang paling
aplikatif.
Psikofisiologi hampir sama dengan psikologi faal, namun lebih merupakan kajian non-
eksperimental dan tidak selalu membahas hewan.
Psikologi Komparatif, mempelajari perbandingan fungsi dan struktur otak pada manusia
dewasa, anak, dan kadang-kadang hewan tingkat tinggi hingga tingkat rendah.
B. Neuron, Synaps dan Neutransmitter
Sebelum membahas lebih lanjut tentang jenis-jenis obat dan efeknya pada perilaku akan
dibahas dahulu struktur paling dasar dalam sistem saraf tempat bekerjanya obat tersebut.
Fungsi-fungsi psikis seperti sensasi, persepsi, dan lain-lain – terjadi karena hubungan
antarneuron. Neuron awal menghantarkan listrik yang kemudian disusul dengan peristiwa
kimiawi pada synaps, yakni hubungan anatar neuron pertama dengan neuron berikutnya.
Selanjutnya peristiwa kimia itu diubah lagi menjadi hantaran listrik oleh neuron berikutnya,
dan seterusnya, sampai terjadi persepsi dan perilaku. Obat-obatan bekerja pada tingkat
synaps. (lihat gambar 5. 1)
Pada Gambar 5.1 terlihat bagian dari neuron atau sel saraf yang dinamakan akson. Akson
berfungsi mengalirkan impuls saraf (listrik) ke ssel saraf lainnya atau ke otot. Bagian neuron
yang menerima informasi dari neuron sebelumnya disebut dendrit. Dendrit meneruskan
informasi ke akson lalu ke neuron berikutnya. Yang dinamakan impuls saraf adalah peristiwa
listrik yang bergerak sepanjang akson yang berlangsung singkat. Rongga synaps (synaptic
cleft) – atau synaps, hubungan antara dua neuron – adalah tempat terjadinya peristiwa
kimiawi yang dibawa oleh bouton. Bouton adalah neuron prasynaps atau gelembung-
gelembung pada ujung akson dari neuron penyalur rangsang. Bouton inilah yang membawa
neurotransmitter – zat kimia yang berfungsi untuk meneruskan informasi anatar neuron satu
ke neuron lainnya – yang dikeluarkan ke rongga synaps bila ada impuls saraf yang sampai ke
titik itu (Morgan, 1986).
Gambar 5.1. Neuron dan Synaps

Neurotransmitter yang keluar akan bergabung dengan molekul-molekul reseptor


khusus yang berada didaerah neuron penerima rangsang. Dampak dari neurotransmitter pada
neuron penerima dapat berupa aktivasi (mencetuskan impuls saraf) atau inhibisi (menghambat
impuls saraf).
Berikut adalah langkah dalam transmisi kimiawi (chemical transmission) informasi
dari satu neuron ke neuron lain. Pertama, neuron prasynaps atau neuron penyalur
memproduksi atau mensintesis molekul neurotransmitter dari molekul yang lebih sederhana
yang berasal dari makanan yang masuk atau sumber-sumber lain. Kedua, neurotransmitter
yang telah dibuat tadi, disimpan dalam bouton dari sebuah neuron pengirim (neuron
transmitter). Impuls saraf yang mencapai bouton memulai (initiates) suatu proses yang
menyebabkan beberapa gelembung bergerak ke rongga synaps dimana kemudian
neurotransmitter itu dilepaskan / dikeluarkan. Ketiga, neurotransmitter itu menyebar dengan
cepat di sepanjang rongga synaps, lalu bergabung dengan molekul reseptor khusus yang ada
pada membran dari neuron penerima atau neuron pascasynaps (postsynaptic neuron).
Kombinasi dari neurotransmitter dan reseptor memulai perubahan pada neuron penerima yang
menimbulkan perangsangan atau inhibisi tergantung pada jenis transmitter dan jenis reseptor.
Keempat, neurotransmitter yang telah bergabung tadi dideaktivasikan secara cepat seperti
halnya kelebihan neurotransmitter pada rongga synaps agar sel pasca synaps siap menerima
informasi baru (lihat gambar 5.2).
Beberapa neurotransmitter menurut Morgan (1986) adalah: acetylcholine, dopamine,
norepinephrine, serotonin (5-hydroxystriptamine), GABA (gamma-amino butyricacid),
glysine, glutamic acid, dan neuropeptida (a.l. endorphin), EAA (excitory amino acids) dan
opioids (Olson, 1993). Jenis neurotransmitter yang diproduksi dan jenis reseptor menentukan
reaksi pada neuron penerima – eksitasi (perangsangan), aktivasi (pengaktifan), inhibisi
(penekanan), atau deaktivasi (penghentian aktivitas (Morgan 1986). Obat-obat psikotropika
atau zat psikoaktif adalah obat-obat yang mempengaruhi kerja neurotransmitter –
mempengaruhi kerja susunan saraf dengan mempengaruhi alur informasi melalui synaps,
mempengaruhi pada tahapan lain selain synaps, atau mempengaruhi fungsi yang ada (Olson,
1993).

Gambar 5.2. Sintesis, pelepasan dan Degradasi acetylcholine

C. Penyakit Jiwa, Neurotransmisi, dan Penggunaan Obat-obatan Psikotropik


Menurut Olson (1993) penyakit atau gangguan jiwa adalah penyakit neurotransmisi atau
penyaluran listrik-kimiawi-listrik antarneuron. Ia membedakannya ke dalam dua kelompok
berdasarkan peristiwa yang menyebabkannya. Pertama, karena terlalu banyak
neurotransmisi. Kedua, terlalu sedikit neurotransmisi karena terlalu sedikitnya NT yang
diikat oleh reseptor pascasinaps (postsynapstic receptor). Penyakit atau gangguan jiwa
karena terlalu banyaknya neurotransmisi dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, neuron
terlalu mudah terangsang (hyperexcitable). Kedua, terlalu banyaknya molekul neurotransmisi
pada reseptor pascasinaps (postsynaptic receptor).
Masyarakat seringkali tidak dapat membedakan antara obat psikotropika dengan obat
narkotika. Obat psikotropika adalah obat yang bekerja secara selektif pada susunan saraf
pusat dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku. Obat psikotropika
biasanya digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik. Obat narkotika adalah obat yang
bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat dan mempunyai efek utama terhadap
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri. Obat narkotika biasanya digunakan untuk analgesik (anti rasa sakit), antitusif
(mengurangi batuk), antipasmodik (mengurangi rasa mulas atau mual) dan pramedikasi
anestasi dalam praktik kedokteran (Maslim R, 1999).
Ada beberapa hal yang mungkin terjadi yang berkaitan dengan penggunaan obat
psikotropika yang diberikan oleh dokter:
• Ada kalanya pasien mengurangi dosis yang dianjurkan dengan alasan terganggu oleh
rasa kantuk yang disebabkan obat. Beberapa pasien lain menganggap bahwa hanya
dengan sekali minum obat mereka akan sembuh. Ini menyebabkan obat yang sudah
tepat diberikan oleh dokter pun tidak akan ada gunanya.
• Pemberian obat psikotropika haruslah sesuai dengan dosis tertentu dan
memperhatikan efek samping yang mungkin terjadi. Bila suatu obat tidak cocok,
pasien perlu kembali ke dokter yang sama untuk meminta / mendapatkan penjelasan
mengenai kerja obat tersebut. Kalau perlu dokter akan memberikan obat pengganti.
• Beberapa pasien atau keluarga pasien sangat percaya pada obat sehingga melalaikan
psikoterapi. Yang perlu diingat adalah bahwa tujuan dari pemberian obat psikotropika
ialah menghilangkan atau mengurangi gejala sasaran bukan ‘menyembuhkan’.
• Beberapa pasien lain tidak mengkonsumsi obat psikotropika karena takut akan
mengalami ketergantungan. Pasien-pasien ini selalu menghindar dari psikiater.
Beberapa bahkan memilih untuk mengambil pengobatan alternatif.

D. Gejala Sasaran (Target Symptoms) dalam Pengobatan Gangguan Jiwa


Telah dikemukakan di atas bahwa obat psikotropika tidak menyembuhkan suatu
penyakit/gangguan, tetapi mengurangi atau menghilangkan gejala sasaran (target symptoms).
Berikut adalah beberapa gejala sassaran untuk beberapa gangguan jiwa.
1. Gangguan Depresi
Gejala sasaran pada gangguan depresi ialah:
a. Simtom neurovegetatif (tidur, nafsu makan, dan lain-lain)
b. Simtom psikomotor (ekspresi wajah, tangan, tubuh secara keseluruhan)
c. Perubahan suasana hati (dari depresi menjadi irritable)
d. Perubahan konsentrasi, atensi dan memori
e. Pikiran depresif, rasa bersalah, ruminasi (terus-menerus mengingat hal-hal tak enak
dari masa lalu), kognisi yang terdistorsi.
f. Simtom psikotik

2. Gangguan Mania
Gejala sasaran pada gangguan Mania adalah:
a. Kegiatan psikomotor yang tinggi (yang harus dikurangi)
b. Pressure of speech. Yaitu bicara cepat, mengalir dan penuh semangat, yang sulit
dihentikan
c. Kurang tidur

3. Gangguan Psikosis
Gejala sasaran pada gangguan psikosis berhubungan dengan gejala/sintom
arousal, afek, aktivitas psikomotor, pikiran (formal dan isi), dan penyesuaian sosial.

4. Gangguan Cemas
Gejala dan sindrom sasaran dari gangguan cemas adalah pengalaman subjektif
yang ditandai oleh keresahan / kekhawatiran juga ketegangan motorik, hiperaktivitas
autonomik dan kewaspadaan (vigilance). Semua sintom yang berkaitan dengan
kecemasan / anxiety, responsif terhadap obat-obat anticemas.
Gangguan cemas spesifik terdiri dari gangguan cemas umum, gangguan panik,
fobia sederhana dan fobia sosial, serta gangguan obsesif kompulsif (obsesive compulsive
disorder/OCD).

E. Efek Samping Obat Psikotropika


Efek samping obat psikotropika bermacam-macam, antara lain terjadinya hipotensi
ortostatik, yakni tekanan darah turun ketika seorang dalam posisi berdiri. Ada juga efek
samping berupa gejala neurologik, seperti tremor (gemetar), parkinsonisme (gejala penyakit
parkinson, yakni langkah kecil-kecil, posisi badan kaku), dyskinesia (gangguan pengendalian
gerakan) antara lain pada gerakan mata, lidah (sering keluar tidak terkendali), sukar menelan.
BAB VI

ASESMEN DALAM PSIKOLOGI KLINIS

A. Gambaran Umum
Asesmen dalam psikologi klinis ialah pengumpulan informasi untuk digunakan sebagai
dasar bagi keputusan-keputusan yang akan disampaikan oleh penilai (Bernstein & Nietzel,
1980, hal.99).
Menurut Bernstein dan Nietzel (1980) ada empat komponen dalam proses asesmen
psikologi klinis yakni: 1) Perencanaan dalam prosedur pengumpulan data (planning data
collection procedures); 2) Pengumpulan data untuk assesmen; 3) Pengolahan data dan
pembentukan hipotesis atau ‘image making’ dan 4) Mengomunikasikan data asesmen baik
dalam bentuk laporan maupun dalam bentuk lisan.
1. Perencanaa dalam Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pemeriksaan dalam psikologi klinis umumnya terdiri dari observasi,
wawancara dan tes yang dipilih sesuai dengan pertanyaan yang harus dijawab tadi.
Validitas dan reliabilitas tes, orientasi teoritik pemeriksa, variabel-variabel yang penting
berkaitan dengan pertanyaan yang harus dijawab, menjadi bahan pertimbangan dalam
perencanaan itu. Selanjutnya perlu dipertimbangkan apakah tujuan asesmen itu untuk
melakukan klasifikasi (diagnosis medis), deskripsi variabel, atau untuk prediksi.
Pertanyaan tentang kemampuan seorang menjadi pemimpin bertujuan terutama
membuat prediksi. Asesmen terhadap orang yang baru mengalami kecelakaan bertujuan
untuk diagnosis atau klasifikasi tentang ada tidaknya kerusakan.

2. Pengumpulan Data Melalui Wawancara, Observasi dan Tes


Wawancara adalah metode asesmen yang relatif murah dan mudah. Wawancara
dapat dilakukan dimana saja dan fleksibel dalam pelaksanaannya. Namun wawanvara
mempunyai kelemahan yakni dapat terdistorsi oleh sifat pewawancara dan pertanyaan
apa yang diajukan; dipengaruhi oleh keadaan klien yang diwawancara (misalnya, daya
ingat atau kesediaannya untuk memberi informasi).
Hasil observasi juga merupakan sumber informasi yang penting untuk asesmen.
Keuntungan observasi ialah dapat melihat langsung apa yang dilakukan subjek yang
merupakan sasaran assesmen. Ini lebih baik daripada hasil wawancara yang dapat
direkayasa oleh subjek yang diwawancara.
Tes, seperti wawancara, juga memberikan sample dari tingkah laku. Keuntungan
dari tes adalah mudah, ekonomis, dapat dilakukan oleh banyak orang (asal profesional)
dan terstandardisasi.

3. Pengolahan Data dan Pembentukan Hipotesis


Bila data telah terkumpul, pemeriksa dapat memberi makna atau menginterpretasi
sesuai dengan tujuan (klasifikasi, deskripsi dan prediksi) dan orientasi teoretiknya. Data
mentah dari observasi, wawancara, dan tes diubah menjadi kesimpulan (hipotesis, image
dan hubungan-hubungan) yang dapat dibedakan dalam tingkatan abstraksinya (dapat
sangat abstrak, atau lebih konkret), dalam orientasi teoretiknya (psikoanalitik,
behavioristik dan lain-lain) dan dalam kaitannya dengan tujuan asesmen.

B. Wawancara dalam Pemeriksaan Psikologi Klinis


Wawancara untuk menjajagi latar belakang masalah dan ganguan seseorang dinamakan
wawancara klinis, yang kadang-kadang dianggap sama dengan wawancara mendalam (depth
interview). Dinamakan depth interview karena ada asumsi bahwa latar belakang gangguan
seseorang belum tentu sama dengan apa yang dikemukakan olehnya secara sadar, sehingga
pewawancara kadang-kadang harus menggalinya lebih dalam. Wawancara klinis biasanya
merupakan suatu bentuk cerita (narrative) yang diarahkan pada pengalaman klien.
Wawancara klinis sukar dibedakan dengan “wawancara psikologis”. Wawancara ini
mementingkan realitas subjektif seseorang terhadap suatu peristiwa, dan bukan
mementingkan aktualitas historis, yakni kenyataan sebagaimana terjadinya secara fakta
objektif dalam riwayat hidup klien. Akan tetapi pemeriksa sebaiknya juga mengetahui
sejauh mana ada kemungkinan kebenaran dari cerita klien.
a. Peranan Pemeriksaan dalam Pemeriksaan Psikologi
Wawancara dalam setting klinis, lebih daripada setting yang lain, sangat dipengaruhi oleh
sikap pemeriksa terhadap kliennya. Seorang pemeriksa dapat memperlakukan pasiennya
sebagai “benda”, dapat pula bersikap terhadapnya sebagai seorang ibu/bapak; atau
pemeriksa bersikap sebagai pendengar bagi kliennya.
b. Pemeriksaan Psikologi Klinis pada Tahap Awal
Setelah pertanyaan-pertanyaan mengenai data objektif seperti nama, umur, alamat,
pekerjaan, pendidikan, dan lain-lain (sesuai dengan daftar pertanyaan mengenai data
identifikasi) didapat, maka percakapan pertama yang dilakukan pemeriksaan klinis adalah
mengenai masalah/keluhan. Pada pertemuan pertama sebaiknya pemeriksa membiarkan
klien mengutarakan persoalannya. Dalam hal ini pemeriksa tidak memberikan pertanyaan
yang terlalu mendalam atau mengenai sebab-sebab dari keluhannya. Hal ini penting untuk
mendapat rapport yang baik dengan klien.
c. Anamnesa dan Bentuk-bentuk Percakapan/Wawancara Klinis
Anamnesa berasal Bahasa Yunani yang artinya mengingat kembali. Anamnesa
merupakan kegiatan menanyakan kepada klien mengenai suatu persoalan yang
dialaminya, mengenai riwayat hidupnya. Jika keluhan atau persoalan dan riwayat hidup
ini ditanyakan kepada orang yang bersangkutan, maka dinamakan autoanamnesis dan
kalau ditanyakan kepada orang lain dinamakan alloanamnesa atau heteroanamnesa.

C. Observasi dalam Psikologi Klinis


Metode observasi tidak digunakan dalam psikologi klinis saja. Ilmu-ilmu eksakta
banyak menggunakan metode observasi. Ada metode observasi yang sangat teliti dan ada
pula yang global. Seleksi variabel khusus dari data observasi potensial dalam tingkah laku
manusia bergantung pada apa yang hendak dicapai dalam observasi. Pengendalian atau
kontrol pada observasi itu sendiri, pada data yang diperoleh (misalnya dengan menggunakan
skala pengukuran), dan pada subjek yang diobsrvasi itu.

D. Pemberian Tes dalam Pemeriksaan Psikologi Klinis


Untuk pemeriksaan klinis sebaiknya klien diberikan tes khusus sesuai dengan
masalah klien. Tes ini digunakan sebagai alat bantu utama untuk dapat lebih mengerti
keadaan klien disamping diobservasi dan wawancara klinis. Tes baru dapat diberikan jika
sudah ada kontak yang baik antara klien dengan pemeriksa, cukup banyak informasi dari
anamnesa, dan ada kesediaan klien untuk dites. Terutama pada klien yang pandai,
administrasi perlu dipersiapkan dan diterangkan kegunaan serta batas-batasnya.

E. Penyampaian Hasil Asessmen Klinis dan Laporan Pemeriksaan Psikologi Klinis


Penulisan hasil asesmen dapat dilakukan untuk keperluan akademik – menulis
laporan kasus untuk diskusi ilmiah, keperluan penelitian longitudinal dan dapat dilakukan
untuk keperluan praktik membalas surat konsultasi dari dokter tentang seorang pasien,
memberikan hasil evaluasi psikologis kepada seorang yang mengirim kliennya kepada
psikolog klinis. Yang pertama akan dinamakan ‘laporan akademik’ dan hanya digunakan
untuk keperluan akademik seperti diskusi kasus, penelitian dan lain-lain, dalam setting
akademik. Yang kedua dinamakan ‘hasil pemeriksaan’ psikologis yang dikirm kepada yang
meminta hasil itu baik melalui surat maupun secara lisan.

a. Penulisan Laporan Akademik


Untuk keperluan akademik, penulisan laporan pemeriksaan, atau penulisan hasil
asesmen disarankan agar membedakan berdasarkan pengumpulan data dari observasi dan
wawancara saja (laporan ‘life’), atau dari hasil tes saja dengan data terpenting subjek
seperti seks, usia, pendidikan, masalah subjek. Penulisan laporan berdasarkan tes dan data
terpenting klien disebut laporan ‘blind’ karena tidak melihat subjek yang diperiksa.
Pembedaan ini perlu untuk tujuan didaktik, melacak asal kesimpulan yang tertulis dalam
laporan dan dapat dibandingkan dengan kesimpulan lain yang didapat dari data yang
berbeda.

b. Hasil Pemeriksaan untuk Disampaikan Kepada Klien atau Pihak yang Meminta
Bila laporan pemeriksaan klinis akademik dibuat untuk tujuan pendidikan calon
psikolog dan untuk melakukan penelitian, maka laporan pemeriksaan klinik untuk pihak
luar tujuannya adalah untuk memberi informasi, saran atau jawaban terhadap masalah
yang diajukan peminta laporan tersebut, agar dapat dimengerti dan bermanfaat bagi pihak
yang meminta laporan tersebut. Khususnya dalam hal laporan tertulis, perlu
dipertimbangkan beberapa hal, yakni: dalam konteks dan untuk tujuan apa laporan
tersebut diminta (untuk konseling, rehabilitasi atau lainnya), siapa yang akan membaca,
dan apakah kemungkinan dampak dari laporan tersebut baik pada klien yang dibahas
dalam laporan itu, maupun pada lingkungannnya.
BAB VII

INTERVENSI DALAM PSIKOLOGI KLINIS

Intervensi dalam rangka psikologi dan khususnya psikologi klinis adalah membantu klien
atau pasien menyelesaikan masalah psikologis, terutama sisi emosionalnya. Kendall dan Norton
Ford berpendapat bahwa intervensi klinis meliputi penggunaan prinsip-prinsip psikologi untuk
menolong orang mengalami masalah-masalah dan memiliki keinginan mengembangkan
kehidupannya secara lebih memuaskan. Psikologi klinis menggunakan pengetahuannya
mengenai pemfungsian manusia dan sistem-sistem sosial dalam kombinasi dengan hasil
asessmen klinis guna merumuskan cara untuk membantu pengubahan pribadi klien kea rah yang
lebih baik.berikut ini adalah beberapa jenis intervensi psikologis yang banyak dikenal :

A. Psikoanalisis dan yang Berorientasi Psikodinamik


Dalam konsep Freud, psikoanalisis telah berkembang sebagai teori, asesmen klinis/
psikodiagnostika dan psikoterapi. Bahkan ia meninggalkan istilah psikoterapi dan
menggantinya dengan psikoanalisis. Dasar utama psikoanalisis adalah ketidaksadaran, ialah
bahwa seseorang terganggu jiwanya karena terdapat represi atas pengalaman atau ingatan
yang mencemaskan kea lam tak sadar. Psikoanalisis sebagai psikoterapi adalah upaya untuk
mengurai suatu atau beberapa gejala (sakit) yang ditampilkan dan dikeluhkan pasien,
demikian mendalam dan mendetail, sehingga sampai pada inti permsalahan atau sumber
gangguan. Dalam pandangan psikoanalisis, gangguan kejiwaan terjadi karena ada
ketidaksejalanan atau ketidakharmonisan antara ketiga komponen kepribadian, ialah id yang
merupakan sisi biologis kehidupan kejiwaan seseorang, superego sebagai sisi sosial
seseorang, dan ego sebagai sisi psikologis kehidupan manusia.
Dua metode atau Teknik utama yang dilakukan Freud dalam melaksanakan terapinya
ialah dengan asosiasi bebas dan analisis mimpi. Dengan asosiasi bebas, penderita diminta
untuk menyebutkan kata atau apa saja yang teringat segera setelah terapis mengemukakan
suatu kata tertentu. Asosiasi yang terbentuk dianalisis dan kemudian diperdalam, karena
kalua seseorang menderita oleh suatu masalah, maka ia akan banyak menyinggung kata-kata
yang mempunyai kaitan dengan hal tersebut. Dalam analisis mimpi, terdapat tema-tema
tertentu yang dipilih penderita dan dimunculkan dalam mimpinya. Jadi, sebenarnya asosiasi
juga. Bagaimana timbulnya mimpi, untuk masalah yang mendalam dan mendasar dan
mendapat represi yang kuat, antara lain melalui penyakit atau situasi badan.
Hal penting yang diperlukan oleh seorang psikoanalisis adalah kemampuan untuk
menafsirkan simbol-simbol tertentu, bai katas kata-kata, gagasan, atau tingkah laku tertentu.
Bisa jadi masalah symbol ini merupakan kesukaran dalam psikoanalisis, karena terjadinya
gejala symbol melalui proses yang disebut pemikiran yang “kacau” (predi-cate thingking),
ialah cara berpikir yang tidak jelas logikanya, tetapi ternayat benar.

B. Perspektif Fenomenologis dan Humanistik-Eksistensial


Pendekatan ini lahir sebagai reaksi atas anggapan dasar psikoanalisis, bahwa setiap
hal, termasuk psikopatologi maupun ketidakmampuan fungsional disebabkan oleh kejadian-
kejadian yang dihayati buruk dimasa lalu. Kejadian-kejadian buruk atau kegagalan-kegagalan
berakar dari pelaksanaan peran yang salah kekuatan-kekuatan dalam atau konflik-konflik
intrapsikhik. Melalui terapi ia dapat belajar untuk memahaminya, dan melalui penyadaran
atau insight akan timbul pembebasan dari permasalahan yang tersembunyi, simtom-simtom,
dan kegagalan untuk hidup produktif, kehidupan penuh makna.

Konseling Rogerian
Terapi ini menekankan pada penghayatan psikologis klien pada saat ini dan
berdasarkan pada keyakinan humanistic, bahwa semua orang memiliki motivasi,
kemampuan, dan keinginan meningkatkan diri. Individual, klien, akan mampu
menyelesaikan masalah jika terapis, yang disebut konselor, menampilkan kehangatan dan
membangun relasi yang didasari pemahaman atas apa yang dihayati dan dipikirkan klien.
Untuk Genuineness atau congruence maka seseorang harus membuka perasaan dan
penghayatan dalam (inner experience) untuk secara jujur dan terbuka menjalin relasi dan
menjadi bagian dari relasi terapeutiknya. Sifat atau kualitas ini sering dianggap sebagai yang
paling dasar dibanding tiga kondisi lainnya dan merupakan dasar dari keseluruhan proses
terapi.empati yang akurat dilihat sebagai keterlibatan aktif terapis dirinya dalam dunia klien.
Percakapan yang terjalin antara konselor dan klien lebih tepat dari wawancara klinis.
Dala percakapan ini yang dikedepankan adalah pemahaman ( understanding), dan
menghindari adanya sifat mencari informasi (probing), menilai (evaluating), menafsir
(interpreting), serta mendukung (promoting).

C. Terapi Perilaku
Terapi perilaku merupakan suatu usaha yang tidak mudah untuk secara akurat
menunjuk pada definisi tunggal (Wilson, 1978). Skinner (1971) bahkan menyatakan bahwa
keberbagaian pendekatan keperilakuan dalam terapi hampir tidak mungkin membuat definisi
yang memuaskan. Secara tradisional, pendekatan keperilakuan mendasarkan dirinya pada
pemeriksaan ilmiah dan suatu de-emphasis terhadap peranan penyimpulan atas berbagai
peubah. Orientasi terapis dalam terapi ini terletak pada minatnya untuk menangani dengan
tepat keluhan yang ditampilkan klien secara pasti, dan melatih klien untuk mendapatkan
keterampilan baru untuk mengendalikan kehidupannya agar lebih efektif. Terdapat beberapa
jenis terapi perilku yaitu :
1. Relaksasi
Ada yang berpendapat bahwa relaksasi bukan terapi perilaku yang spesifik,
karena dalam banyak terapi, latihan relaksasi ini sering pula digunakan sebagai
pengantar. Relaksasi merupakan upaya untuk mengendurkan ketegangan, pertama-tama
jasmaniah, yang pada akhirnya mengakibatkan mengendurnya ketegangan jiwa. Caranya
dapat bersifat respiratoris, yaitu dengan mengatur aktivitas bernapas, atau bersifat otot.
Pelatihan relaksasi pernapasan dilakukan dengan mengatur mekanisme pernapasan ialah
tempo/irama dan intensitas yang lebih lambat dan dalam.
2. Desensitisasi sistematis
Prosedur Teknik penanganan ini umumnya dilandasi oleh prinsip
kontrapembiasan belajar (counterconditioning), terutama dalam rangka menghilangkan
kecemasan dan kadang-kadang ketakutan. Tata laksana Teknik terapi ini didasarkan pada
desensitisasi, artinya membuat lebih tidak sensitifnya ia terhadap sesuatu hal, keadaan,
atau pendapat, dan sistematis, yang berarti memiliki urutan tertentu secara bertahap.
3. Pembiasan operan
Penguatan atau reinforcement adalah upaya agar apa yang telah dicapai atau
dimiliki dapat dipertahankan atau ditingkatkan (positif). Bisa jadi juga sebaliknya, ialah
dilemahkan atau disebut extinction, bila kebiasaan yang telah terbentuk ingin
dihilangkan. Operan merupakan inisiatif yang dilakukan oleh klien, dalam arti bahwa ia
melakukan pemilihan apa yang sebaiknya dilakukan berdasarkan berbagai opsi yang
disediakan.
4. Modelling
Prinsip teori yang melandasi Teknik terapi ini adalah teori mengenai belajar
melalui pengamatan (observation learning) atau sering disebut belajar social (social
learning) dari Walter dan Bandura. Pada prinsipnya, terapi memperlihatkan model yang
tepat untuk membuat klien dapat meniru bagaimana ia seharusnya melakukan upaya
menghilangkan perasaan dan pikiran yang tidak seharusnya dari orang lain yang disebut
model itu.
5. Pelatihan asersi
Pelatihan ini makin banyak dikembangkan dan digunakan orang karena untuk
dapat membangun kerjasama dan bergaul dengan orang lain diperlukan sikap dan
kemampuan asertif. Kemampuan asertif ini adalah kemampuan untuk mengekspresikan
apa ada dalam diri seseorang secara mandiri dan tegas serta memuaskan, rasional, dan
juga tanpa mengagresi maupun mengikuti orang lain. Saat ini banyak orang yang
mengalami kesukaran dalam mengambil inisiatif untuk membangun persahabatn,
menyatakan pendapat dan perasaan baik yang positif maupun negative, berpendirian
dengan aturan-aturan yang masuk akal, menolak permintaan yang tidak masuk akal.
BAB VIII

PSIKOTERAPI DAN TEORI-TEORI KEPRIBADIAN

Teori kepribadian melandasi cara-cara pendekatan terhadap gangguan penyesuaian diri.


Teori kepribadian menjelaskan bagaimana terjadinya gangguan itu, apakah makna dari
penyimpangan atau gangguan itu, dan bagaimana mengubahnya. Cara-cara pendekatan itu juga
membahas aspek-aspek kepribadian mana yang telah stabil dan bagaimana pemahaman
perbedaan ekspresinya dalam tingkah laku seseorang. Selanjutnya pemilihan cara asessmen dan
intervensi juga dipengaruhi oleh pendekatan yang dipilih.
Pendekatan yang dianut mempengaruhi bagaimana psikolog mengadakan pemeriksaan
(dengan interview, observasi, dan tes) terhadap seseorang yang mengalami gangguan
penyesuaian diri/ gangguan jiwa, membuat diagnosis atau gambaran kepribadian dari orang yang
diperiksanya dan selanjutnya merencanakan treatment-nya.

A. Pendekatan Psikoanalisis
Pendekatan psikoanalisis menganggap bahwa tingkah laku abnormal disebabkan oleh
faktor-faktor intrapsikis (konflik tak sadar, represi, mekanisme defensif) yang mengganggu
penyesuaian diri. Menurut Freud, esensi pribadi seseorang bukan terletak pada apa yang ia
tampilkan secara sadar, melainkan apa yang tersembunyi dalam ketidaksadarannya. Atas
landasan teori tersebut, pendekatan ini mengutamakan penggalian isi ketidaksadaran
seseorang. Dalam melaksanakan interview, pendekatan psikoanalisis bertujuan untuk
mengungkap hal-hal yang tersembunyi/ tak sadar, yaitu pengalaman-pengalaman masa lalu
yang traumatik, atau yang menimbulkan fiksasi (Suprapti, 2008: 63-64).

Teknik-teknik utama dalam psikoanalisis


1. Asosiasi bebas : pasien mencoba mengatakan apa pun yang muncul dalam pikirannya
tanpa menyensornya. Salah satu metode pengungkapan pengalaman masa lalu dan
penghentian emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatik di masa lalu.
2. Analisis mimpi : berdasarkan asumsi bahwa pertahanan diri melemah dalam keadaan
tidur, makna simbolik isi mimpi memberikan petunjuk mengenai koflik yang ditekan.
3. Interpretasi : prosedur dasar yang digunakan dalam analisis asosiasi bebas, analisis
mimpi, analisis transperensi. Prosedurnya terdiri atas penetapan analisis, penjelasan, dan
bahkan mengajarkan klien tentang makna perilaku yang dimanifestasikan dalam mimpi,
asosiasi bebas, dan hubungan teraupetik.
4. Analisis transferensi : dengan tetap menjadi figur yang tidak jelas, analisis mendorong
pasien memberikan respon kepadanya seperti cara pasien merespon orang-orang yang
penting dalam hidupnya, terutama orang tuanya (Gerald C. Davison, 2006: 45).

Terapi psikoanalisis
a. Terapi pencerahan, berupaya menghapus represi yang dialami dan membantu pasien
menghadapi konflik masa kecil, mendapatkan pencerahan atasnya dan menyelesaikannya
dengan pemikiran dan realitas orang dewasa. Represi yang terjadi jauh sebelumnya,
menghambat ego untuk tumbuh dewasa, penghapusan represi dimaksudkan untuk
memungkinkan terjadinya pembelajaran ulang.
b. Asosiasi bebas, di mana pasien bersandar di sofa, tanpa menghadap ke arah analisis dan di
dorong untuk membebaskan pemikiran-pemikirannya, mengungkapkan dalam kata-kata
apa pun yang terbesit dalam pikiran tanpa menyensornya sebagaimana dalam kehidupan
sehari-hari.

c. Analisis mimpi, teori psikoanalisis beranggapan bahwa dalam tidur, pertahan-pertahan ego
melemah, memberi kesempatan kepada berbagai hal yang dalam kondisi normal ditekan
untuk memasuki kesadaran orang yang tidur (Gerald C. Davison, 2006: 41-42).

B. Pendekatan Belajar
Penelitian perilaku berfokus pada belajar mengasosiasikan di mana hubungan mental
dibentuk antara dua rangsangan, atau peristiwa sensoris (Diane E. Papalia, 2013: 48).
Pendekatan ini dinamakan juga pendekatan behavior, karena memusatkan perhatian pada
tingkah laku yang dapat diobservasi.
Tiga tipe pembelajaran, yaitu:

1. Classical conditioning: Merupakan bentuk belajar alamiah yang muncul, bahkan tanpa
adanya intervensi. Dalam tingkah laku ini dipelajari dengan memanfaatkan hubungan
stimulus-respon yang bersifat refleks bawaan.

2. Operant conditioning: Pembelajaran berdasarkan asosiasi perilaku dengan akibatnya. Di


mana dalam operan conditioning, proses memperkuat dan mendorong pengulangan
perilaku yang diinginkan (reinforcement). Serta suatu proses melemahkan dan
menurunkan pengulangan suatu perilaku (punishment).

3. Modelling: Dalam kehidupan nyata, pembelajaran sering kali terjadi dalam peristiwa
yang tidak terdapat penguat di dalamnya. Kita semua belajar dengan melihat dan meniru
orang lain, sebuah proses yang disebut modeling (Gerald C. Davison, 2006: 59-60).

Terapi dengan pendekatan belajar dinamakan Behavior theraphy yaitu memusatkan


perhatian pada tingakah laku yang dapat diobservasi dan tidak mencari determinan-
determinan di dalam diri individu, melainkan mencari determinan-determinan luar dari suatu
tingkah laku patologis (Suprapti, 2008: 70).

C. Pendekatan Humanistik
Tokoh-tokoh humanistik beranggapan bahwa manusia adalah makhluk yang
tingkatannya tinggi, mempunyai kebebasan untuk menentukan apa yang diinginkan,
mempunyai bakat yang seringkali ditekan pemunculannya oleh lingkungan. Keyakinan-
keyakinan tentang hakikat manusia tersebut merupakan hasil penelitian riwayat hidup orang-
orang terkenal seperti Abraham Lincoln, mereka menemukan bahwa orang-orang tersebut
memiliki ciri-ciri: bebas, spontan, tidak mudah terbawa oleh lingkungan, mempunyai tujuan
yang jelas, tidak terganggu oleh konflik dan tekanan yang terus menerus dapat menikmati
hidup dan dapat menyenangkan orang lain, dapat membedakan mana yang baik, yang benar
serta mana yang buruk, yang salah.
Manusia seperti Lincoln dikatakan telah mengaktualisasikan diri. Yang dimaksud
dengan mengaktualisasikan diri adalah seorang telah mewujudkan bakat, cita-cita diri yang
berguna untuk masyarakat dan lingkungannya.
Maslow membedakan orang-orang yang dinamakan rata-rata dan orang-orang yang
sehat. Orang rata-rata ialah manusia yang pada umumnya masih didominasi oleh kebutuhan-
kebutuhan dasar yakni kebutuhan faali (makan, minum dan seks), kebutuhan akan rasa aman,
dan kebutuhan-kebutuhan sosial yakni kebutuhan akan penghargaan. Menurut Maslow, suatu
kebutuhan yang letaknya lebih rendah harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan
yang letaknya lebih atas dipenuhi. Manusia yang sehat adalah mereka yang kebutuhan dasar
dan sosialnya tidak lagi menjadi prioritas utama karena relatif sudah terpenuhi. Yang
mendorong perilaku manusia sehat antara lain: mencari keadilan, keindahan, kesederhanaan,
dll (Suprapti, 2003: 72-73).
Salah satu tokoh pendekatan humanistik adalah Carl Rogers yang terkenal dengan
metode terapi terpusat pada klien (client centered therapry) dari Rogers mencakup
penerimaan klien sepenuhnya, terapis ini juga menggunakan empati, menyampaikan ulang
pikiran dan perasaan klien, dan kadangkala memberikan perspektif baru dan mengonfrontasi
kecemasan yang menyertai berbagai pilihan yang kita ambil dalam hidup. Terapi Gestalt dari
perls mencoba membantu pasien agar lebih baik dalam memahami dan menerima kebutuhan,
keinginan, serta ketakutan mereka (Gerald C. Davision, 2006: 50-55).

D. Pendekatan sosiokultural
Pendekatan sosiokultural beranggapan bahwa tingkah laku abnormal disebabkan
bukan oleh faktor dalam diri pribadi individu, tetapi oleh keadaan lingkungan, khususnya
lingkungan sosial dan kultural. Tekanan dari lingkungan dapat menyebabkan seorang
individu gagal memenuhi tuntutan untuk menyesuaikan diri dengannya. Lingkungan sosial
seolah-olah menekan seseorang untuk bertindak di luar batas kemampuannya, demi
mendapat sesuatu yang dituntut oleh lingkungan itu. Bila ia tidak berhasil maka ia akan
mendapat julukan yang serba negative (labelling), yang akhirnya menyebabkan ia terisolasi
dari teman-temannya, dan dalam keadaan ekstrem menjadi “gila”. Pendapat ini dikemukakan
oleh Gruenberg (dalam Millon, 1973) yang memberi nama ‘social breakdown syndrome’
sebagai istilah yang lebih sesuai untuk gangguan jiwa, karena sebetulnya yang menganggap
seseorang terganggu adalah lingkungan sosialnya.
Menurut pendekatan sosiokultural, penyebab perilaku abnormal antara lain adalah
perubahan sosial, kemiskinan, diskriminasi, pengangguran, yang merupakan hal-hal yang
sulit diatasi. Penyakit jiwa ialah manifestasi personal dari suatu penyakit dan stress dalam
masyarakat. Penanganannya ialah tindakan-tindakan social untuk meningkatkan
kesejahteraan social yang bertujuan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan lebih sehat.
Interview dan observasi dalam pendekatan ini diarahkan terutama keluar diri individu
yang bermasalah, misalnya dibahas lebih detail lingkungan tempat tinggal, norma masyarakat
yang tinggal di sekitar individu, keadaan ekonomi dan social keluarga, berikut dengan
tekanan-tekanan apa yang kiranya dialami individu, pekerjaan orang tua, dan penggunaan
waktu luang pada subjek yang bermasalah.
BAB IX

ETIKA PSIKOLOGI TERKAIT PRAKTEK KLINIS

A. Kualifikasi Tester dan Laporan Pemeriksaan Psikologis


Dalam pendidikan untuk menjadi ahli psikodiagnostik perlu diadakan latihan analisis
dan interpretasi kasus secara “buta” (Blind diagnosis), yaitu dengan tidak mengetahui
anamnesis dari klien, kecuali jenis kelamin, umur dan pekerjaan. Atas dasar menganalisis
tes-tes maka melalui proses inference oleh psikolog/pelatih psikodiagnostik, dibuat gambaran
kepribadian secara psikodinamik, yang bersifat spesifik untuk kasus yang dianalisis tersebut.
Baru setelah ada gambaran lengkap, kemudian analisis dihubungan dengan anamnesis.
Dengan perkataan lain, pembuatan gambaran kepribadian berdasarkan tes harus diselesaikan
tanpa keterangan khusus dari anamnesis (Brown, 1971 dalam Suprapti S. Markam).
Tipe-tipe tester yang kurang baik menurut Schafer, 1954 (dalam Suprapti S. Markam):
1. Yang hanya melihat kelemahan-kelemahan dan tanda-tanda patologis saja dari
seorang klien atau pasien, dan tak dapat melihat segi-segi positifnya.
2. Tester yang “masochhistik’, yang hanya menuliskan laporan-laporan yang bagus oleh
karena mereka telah membentuk suatu “defense” terhadap “hostility” yang ada pada
dirinya sendiri, dan tidak dapat melihat hal-hal yang lemah dari klien atau pasien.
3. Tester yang mempunyai rasa identitas diri yang ragu-ragu.
4. Tester yang terhambat dalam hubungan sosial.

Mereka yang termasuk dalam tipe tersebut diatas sebaiknya menjalani semacam
“treatmen” atau pengenalan dan pengembangan diri dengan bantuan supervisinya (dalam
psikodiagnostik/psikoterapi) agar dapat merubah diri, sebelum dapat melakukan kegiatan-
kegiatan psikodiagnostik klinis secara mantap.
B. Kerahasiaan Laporan Versus Hak Klien Untuk Membaca Laporan Tentang Dirinya
Dalam kode etik psikologi, ada pasal-pasal yang membahas perlunya dijaga
kerahasiaan tentang data klien atau pasien. Pada kenyataannya, seringkali klien, psien,
ataupun keluarga pasien berkeinginan untuk memiliki laporan pemeriksaan yang diminta
oleh pengirim klien itu (Suprapti, 2005: 95). Apa yang harus dilakukan oleh psikolog
bergantung pada kasusnya, apakah harus memberikan laporan itu seutuhnya pada klien atau
hanya memberitahu isi laporan saja.

C. Kode Etik Himpsi dan Kerahasiaan Alat Tes


Kode etik Psikologi Himpsi dibuat oleh psikolog dan disahkan oleh Kongres
psikologi yang telah berlangsung 8 kali. Kode etik ini dibuat untuk meningkatkan mutu
pelayanan praktik psikologi dan melindungi masyarakat terhadap malpraktek/pelayanan
psikolog yang merugikan, dan untuk melindungi sesama psikolog dan ilmuan psikologi.

D. Pokok- Pokok Bahasan Kode Etik Himpsi


Pokok-pokok bahasan kode etik Himpsi terbagi kedalam enam bab (Suprapti, 2005:
97) dengan rincian sebagai berikut:

Bab I : Pedoman Umum


Dalam pedoman umum diberikan definisi tentang siapakah yang dimaksud ilmuan
psikologi dan psikolog, serta apakah yang dinamakan praktek psikologi dan jasa
psikologi.
Pasal 2 : Menjelaskan mengenai tanggung jawab melaksanakan kegiatan, mengingatkan
tentang pengutamaan kompetensi, obyektivitas dan kejujuran, serta menjunjung
tinggi integritas dan norma keahlian bagi ilmuwan psikologi dan psikolog.
Pasal 3 : Menjelaskan tentang kompetensi dan batas keilmuawan, menekankan pada batas-
batas imu psikologi.
Pasal 4: Mengenai perilaku dan citra profesi.
Bab II : Hubungan Profesional
Pasal 5 : mengenai hubungan antar rekan profesi
Pasal 6: mengenai hubungan dengan profesi lain

Bab III : Pemberian Jasa /Praktik Psikolog


Pasal 7 : Membahas mengenai pelaksanaan kegiatan sesuai batas keahlian atau
kewenangan.
Pasal 8 : Menjelaskan sikap profesional dan perlakuan terhadap pemakai jasa atau klien.
Pasal 9 : Mengenai asas kesediaan, yang secara eksplisit menjelaskan bahwa psikolog
hanya menerima klien yang secara sukarela memang bersedia diperiksa olehnya.
Pasal 10 : Mengenai interpretasi hasil pemeriksaan.
Pasal 11: Menjelaskan mengenai pemanfaatan dan penyampaian hasil pemeriksaan.
Pasal 12 : Membahas mengenai kerahasiaan data dan hasil pemeriksaan.

Bab IV : Pernyataan
Pasal 14 : Membahas mengenai pernyataan ke media massa, yang menyatakan
bahwa psikolog dan ilmuwan psikologi diharapkan bersikap bijaksana, jujur, teliti, dan
hati-hati serta mengutamakan kepentingan umum apabila memberikan pernyataan ke
media massa.

Bab V : Karya Cipta


Pasal 15 : Membahas mengenai penghargaan terhadap karya cipta dan
pemanfaatan karya cipta pihak lain.
Pasal 16 : Membahas penggunaan dan penguasaansarana pengukuran psikologik,
yang sekali lagi menghimbau agar psikolog menggunakan sarana yang ia kuasai,
memiliki standar atau norma yang jelas, sesuai kompetensinya, serta menjaga kerahasiaan
sarana pengukuran psikologis yang berada dibawah tanggung jawabnya.
Bab VI : Pengawasan Pelaksanaan Kode Etik
Pengawasan pelaksanaan kode etik dilakukan oleh sesama warga Himpsi
setempat melalui pengaduan tertulis yang dialamatkan kepada majelis ( kode etik) himpsi
setempat.
BAB XI

CABANG-CABANG DALAM PSIKOLOGI KLINIS

A. Cabang-cabang Psikologi Sebagai Ilmu Pengetahuan


Ilmu yang mempelajari manusia atau lebih dikenal dengan psikologi, adalah ilmu
yang berkembang pesat saat ini. Ada banyak cabang Psikologi sebagai ilmu pengetahuan
yang dikenal sekarang. Pada dasarnya, pemikiran tentang mempelajari manusia, sudah ada
sejak zaman dahulu. Pemikiran tersebut baru dikatakan sebagai sebuah ilmu ketika Wilhelm
Wundt mendirikan laboratorium pertamanya di Leipzig, Jerman pada tahun 1879.

1. Psikologi Umum
Psikologi umum juga menyelidiki gejala jiwa seseorang yang berfungsi pada umumnya,
seperti bagaimana pembentukan perilaku secara umum, motivasi, emosi, kognitif yang
dibahas dalam kondisi normal yang rata-rata dimiliki oleh hampir semua manusia.
2. Psikologi Perkembangan
Cabang ini membahas tentang rentang perkembangan seorang manusia, semenjak ia lahir,
hingga ia meninggal. Perhatian psikologi perkembangan dikhususkan pada pola perilaku
dan kondisi jiwa manusia disetiap usia perkembangannya dengan tahap-tahap tertentu
sesuai dengan tahapan perkembangannya.
3. Psikologi Klinis
Psikologi klinis mempelajari kesulitan dan rintangan emosional manusia baik dalam
kondisi abnormal maupun subnormal, dengan menekankan pada asas-asas psikologi pada
diagnosis dan perawatan masalah emosi dan perilaku. Ciri khas dari psikologi klinis
adalah adanya asesmen, analisa, observasi dan intervensi. Individu yang mendalami
psikologi klinis dapat bekerja dirumah sakit jiwa, klinik kesehatan mental, yayasan untuk
penderita keterbelakangan mental, lembaga permasyarakatan atau fakultas kedokteran.
4. Psikologi Sosial
Psikologi sosial mempelajari tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan lingkungan.
Studi dalam psikologi sosial terdiri dari pengaruh sosial, proses bersama individu, serta
interaksi kelompok. Dampak dan pengaruh sosial terhadap tingkah laku individu juga
dipelajari dan juga pengaruh budaya terhadap manusia.
5. Psikologi Industri dan Organisasi
Bidang psikologi industri dan organisasi banyak ditemukan dalam dunia kerja, seperti
permasalahan terkait peningkatan motivasi kerja, kepuasan, produktivitas, performa, dan
kesesuaian dalam kerja. Pada tataran organisasi, cabang ilmu psikologi ini juga berisi
pengembangan organisasi dalam hal performa dan kinerja.
6. Psikologi Eksperimental
Psikologi eksperimental identik dengan penelitian di laboratorium dengan manipulasi
pada perilaku. Selain itu, psikologi juga mempelajari bagaimana pengaruh suatu sebab
pada perubahan perilaku individu, yang sengaja dilakukan untuk memunculkan pengaruh
dari sebab tersebut.
7. Biopsikologi
Biopsikologi mempelajari proses psikologi didalam tubuh manusia. Fungsi-fungsi
terperinci dari otak dalam kaitannya antara fungsi tubuh dengan perilaku manusia.
Biopsikologi menjadi ilmu yang khas bersinggungan langsung dengan ilmu fisik dan
ilmu eksak.
8. Psikologi Olahraga
Psikologi olahraga menekankan pada bagaimana cara untuk meningkatkan ataupun
mempertahankan performa seorang atlit dalam meraih prestasi, dan juga bagaimana
olahraga mempengaruhi pola perilaku individu yang tidak ada kaitannya langsung dengan
olahraga profesional.
9. Psikologi Abnormal
Cabang psikologi ini berfokus pada pemahaman terhadap konsep abnormalitas psikologi,
klasifikasi dan kategori gangguan mental serta penyusunan diagnosa klinis. Perilaku
individu dikatakan abnormal jika menyimpang dari standar perkembangan secara umum,
menyimpang dari norma budaya serta berbahaya bagi orang lain maupun bagi diri
sendiri.
10. Psikologi Pendidikan
Psikologi pendidikan berfokus pada tingkah laku individu dalam dunia pendidikan serta
bagaimana sistem pendidikan berpengaruh pada individu. Selain itu, bahasan yang
penting dalam psikologi pendidikan salah satunya adalah proses inividu belajar dan
berkembang dan efektivitas intervensi pendidikan terhadap permasalahan individu
dilingkungan pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan
efisiensi dalam dunia pendidikan.
Selain sepuluh cabang kekhususan psikologi diatas, masih terdapat cabang-
cabang lain yang telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang mandiri. Cabang
psikologi menjadi luas karena bahasan perilaku manusia tidak dapat dilepaskan dari
konteks kondisi diri dan lingkungan tempat individu tersebut bertumbuh dan
berkembang.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian yang diuraikan pada bab-bab terdahulu dapat disimpulkan
bahwa psikologi klinis merupakan psikologi terapan yang bertujuan untuk memahami
kapasitas perilaku dan karakteristik individu yang dilaksanakan melalui metode pengukuran,
analisis, saran, rekomendasi, agar individu mampu melakukan penyesuaian diri secara
memadai. Jenjang pendidikan wajib menuntaskan pendidikan psikologi, mengikuti magister
psikologi, mengikuti HIMPSI serta mendaftar sebagai anggota HIMPSI dan mengurus SIPP.
Dalam psikologi mengenal istilah normal, abnormal dan patologi yang erat
hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Kemudian dalam psikologi klinis itu sendiri
terdapat acuan yang digunakan secara universal di Amerika untuk mendiagnosa gangguan
kejiwaan yaitu DSM 1, karena dianggap masih ada kekurangan maka diubah menjadi DSM
2, DSM 3, dan DSM 4 yang dibuat oleh APA. Jadi DSM 2,3, dan 4 memperluas dari bagian
pada DSM 1. Dalam diktat ini juga terdapat pendekatan perilakuan pendekatan sikodrama
dan pendekatan kelompok. Pada bab selanjutnya juga dikenal dengan psikofarmakologi,
medik, biopsikologi, neuron, sinap, neuritransmitter, penyakit jiwa, penyakit jiwa, neuron
transmisi dan penggunaan obat-obatan psikotropik, gejala sasaran dalam pengobatan
gangguan jiwa.
Dalam melakukan asesment pada psikologi klinis terlebih dahulu harus mengetahui
gambaran umum, melakukan wawancara dalam pemeriksaan psikologi klinis, melakukan
observasi dalam pemeriksaan psikologi klinis, dan laporan hasil psikologi klinis. Dalam
psikologi klinis juga terdapat istilah intervensi yaitu dalam rangka dan khususnya adalah
membantah klien menyelesaikan masalah psikologis terutama emosionalnya. Psikoterapi dan
teori kepribadian, teori kepribadian melandasi cara-cara pendekatan penyesuaian diri
bagaimana caranya terjadi gangguan, makna gangguan dan bagaimana cara mengubahnya.
Dalam praktek psikologi klinis juga harus memperhatikan etika-etika psikologi.
Psikologi memiliki cabang-cabang ilmu pengetahuan yaitu psikologi umum, klinis, sosial,
PIO, eksperimental, perkembangan, biopsikologi, olahraga, abnormal, dan pendidikan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas dan sebagai penutup dari kajian ini, penulis akan
memberikan saran sebagai berikut:
1. Kepada pembaca dengan adanya buku diktat mengenai psikologi klinis ini diharapkan
agar pembaca dapat memahami dan mendapatkan pendalaman materi mengenai bagian-
bagian yang ada pada diktat tersebut. Semoga dengan adanya diktat psikologi klinis ini
dapat menambah referensi mengenai kajian materi yang akan dicari oleh mahasiswa
maupun masyarakat.
2. Kepada penulis sendiri diharapkan dapat menjadi acuan agar kedepannya lebih
mendalami mengenai psikologi klinis baik yang ada dalam diktat tersebut maupun yang
tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Nevid, Jeffrey S, dkk.2003. Psikologi Abnormal: Penerbit Erlangga. Ed 5. Cet 1.

Gerald C, Davidson, dkk. 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta: Rajawali Perss. Ed 9,Cet 2.

https://thebookee.net > psikologi- klinis-pdf akses 5 januari 2019 pukul 11.00 WIB

https://psikologi-uin-malang.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/2_pengantar-psi-klinispdf. akses
3 Januari 2019 pukul 13.05 WIb

Slamet, Suprapti, dkk. 2003. Psikologi Klinis. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Prawitasari, Johana. 2010. Psikologi Klinis Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Jakarta:
Penerbit Erlangga.

Wiramiharja, Sutardjo. 2012, Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: Refika Aditama.

Suprapti, Markam. 2005. Pengantar Psikodiagnostik. Jakarta: Edisi Pertama.

Sarwono, Sarlito. 2013. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Walgito, Bimo. 1980. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI.

Anda mungkin juga menyukai