Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH BAHASA INDONESIA

HALAMAN JUDUL

PENGASUHAN BAGI ANAK DENGAN DISABILITAS


DOSEN PENGAMPU: Nurul Hayati, S.Pd., M.Pd

Kelompok 10:
13220003 – Celine Cleonie
13220015 – Grace Hinna Maharani Rambu Ngana
13220023 – Callista Amanda Carolina
13220027 – Michelle Setiawan
13220141 – Then Oei Fung
13220146 – Angelica Claurencia

Program Studi Psikologi


Universitas Bunda Mulia
2023

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 4
BAB II KAJIAN TEORI ................................................................................................... 5
2.1 Pengasuhan Anak ............................................................................................. 5
2.2 Disabilitas ......................................................................................................... 8
2.3 Pengasuhan Anak Berkebutuhan Khusus ....................................................... 12
2.4 Disabilitas Intelektual ...................................................................................... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... 33
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................................... 33
3.2 Subjek Penelitian ............................................................................................ 33
3.3 Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 34
3.4 Teknik Analisis Data ....................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 38

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengasuhan bagi anak disabilitas merupakan topik yang penting

dan memerlukan perhatian khusus dari orang tua, pengasuh, dan

masyarakat secara umum. Anak disabilitas memiliki kebutuhan khusus

dalam pengasuhan, pendidikan, dan perawatan yang berbeda dengan

anak-anak pada umumnya. Anak disabilitas adalah anak yang memiliki

keterbatasan dalam hal kemampuan fisik, kognitif, sensorik, atau

emosional yang mempengaruhi kegiatan sehari-hari dan interaksi

sosialnya. Keterbatasan ini dapat bersifat sementara atau permanen

dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti kelainan bawaan,

penyakit, kecelakaan, atau faktor lingkungan.

Pengasuhan bagi anak disabilitas dapat menjadi sebuah

tantangan bagi orang tua dan pengasuh karena memerlukan

penanganan yang khusus dan berbeda dengan pengasuhan anak-anak

pada umumnya. Anak disabilitas memerlukan perhatian yang lebih

intensif, dukungan, dan pemahaman terhadap kebutuhan mereka.

Pengasuhan anak dengan disabilitas juga merupakan isu yang

kompleks dan multidimensional karena setiap anak dengan disabilitas

1
memiliki kebutuhan dan tantangan yang berbeda-beda. Orang tua dan

pengasuh harus memahami kebutuhan anak mereka secara individu,

sehingga mereka dapat memberikan dukungan yang tepat dan

membantu anak mereka mencapai potensi terbaik mereka.

Makalah tentang pengasuhan bagi anak disabilitas dapat

membahas berbagai aspek penting dalam pengasuhan anak disabilitas,

seperti metode pengasuhan yang tepat, dukungan yang dibutuhkan

oleh anak dan keluarganya, pendidikan inklusif, dan dukungan dari

masyarakat. Serta membahas berbagai topik, seperti strategi

pengasuhan yang efektif, tantangan yang dihadapi oleh orang tua dan

pengasuh, peran sekolah dan masyarakat dalam mendukung anak

dengan disabilitas, dan banyak lagi. Makalah ini dapat membantu

meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang

pentingnya dukungan dan perhatian khusus bagi anak disabilitas serta

membantu meningkatkan kualitas pengasuhan dan perawatan anak

disabilitas.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa tantangan utama yang dihadapi orang tua dalam mengasuh

anak dengan disabilitas, dan bagaimana cara mengatasinya?

2
2. Bagaimana peran lingkungan sosial dalam mendukung orang tua

dalam mengasuh anak dengan disabilitas?

3. Apa yang perlu diperhatikan dalam memilih pendekatan

pengasuhan yang tepat untuk anak dengan disabilitas?

4. Apa dampak dari pengasuhan yang tidak memadai terhadap anak

dengan disabilitas?

5. Bagaimana cara memperkuat ikatan antara orang tua dan anak

dengan disabilitas melalui pengasuhan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis tantangan yang dihadapi orang tua dalam mengasuh

anak dengan disabilitas dan cara mengatasi tantangan tersebut.

2. Menjelaskan peran lingkungan sosial dalam mendukung orang tua

dalam mengasuh anak dengan disabilitas.

3. Mempelajari pendekatan pengasuhan yang tepat untuk anak

dengan disabilitas dan kriteria yang harus dipertimbangkan dalam

memilih pendekatan tersebut.

4. Mengidentifikasi dampak dari pengasuhan yang tidak memadai

terhadap anak dengan disabilitas.

5. Mengevaluasi strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan

kualitas pengasuhan anak dengan disabilitas.

3
1.4 Manfaat Penelitian

1. Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang tantangan

dan kebutuhan orang tua dalam mengasuh anak dengan disabilitas.

2. Memberikan panduan dan rekomendasi bagi orang tua, pendidik,

dan profesional kesehatan tentang cara terbaik untuk mengasuh

anak dengan disabilitas.

3. Meningkatkan kualitas pengasuhan anak dengan disabilitas dan

membantu mencegah atau mengatasi masalah pengasuhan yang

dapat mempengaruhi perkembangan anak.

4. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kebutuhan dan hak

anak dengan disabilitas, serta mempromosikan inklusi dan

penerimaan sosial terhadap anak dengan disabilitas.

5. Memberikan informasi dan dukungan bagi orang tua dan keluarga

anak dengan disabilitas untuk mengatasi stres dan beban emosional

yang terkait dengan pengasuhan anak dengan disabilitas.

4
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengasuhan Anak

Pengasuhan anak atau parenting menjadi peran penting yang

harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dalam kehidupan

keluarga. Dalam mengasuh anak, orang tua melibatkan proses

merawat, membimbing, dan mendidik anak-anak. Tidak hanya itu,

parenting juga melibatkan proses membesarkan anak secara fisik,

emosional, maupun sosial untuk membantu mereka tumbuh dan

berkembang menjadi individu yang sehat dan mandiri.

Masud Hoghughi, (Professor fakultas Psychology, University of

Hull, Amerika) menyampaikan bahwa “Pengasuhan merupakan

hubungan antara orang tua dan anak yang multidimensi dapat terus

berkembang meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan

pengasuhan sosial.”

Adanya parenting membantu orang tua mencatat perkembangan

dan setiap tantangan dalam kehidupan anak mereka, serta

merefleksikan cara mendukung dan memperkuat hubungan dengan

anak. Orang tua dapat mengidentifikasi cara terbaik untuk mendukung

dan memperkuat hubungan sehingga dapat membantu orang tua

5
merencanakan tindakan dan strategi yang tepat untuk mendukung

perkembangan anak-anak mereka secara keseluruhan.

Berikut ini wujud nyata yang dapat dilakukan orang tua dalam

pengasuhan anak:

1. Memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup kepada anak

untuk membangun rasa percaya diri dan kemandirian mereka.

Perhatian dan kasih sayang yang cukup membantu seorang anak

untuk bertumbuh kembang menjadi anak yang sehat secara

psikologis karena kebutuhan akan kasih sayang anak sudah

terpenuhi dalam lingkungan terkecil mereka.

2. Memberikan nutrisi yang baik dan memperhatikan kebutuhan gizi

anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Nutrisi

dalam bentuk makanan, minuman, dan olahraga yang cukup juga

penting dalam pemenuhan kebutuhan fisiologis mereka. Tubuh

yang sehat dapat memberikan berdampak kepada psikologis yang

sehat.

3. Mendorong kemandirian anak dengan memberikan kesempatan

bagi mereka untuk belajar dan melakukan hal-hal secara mandiri.

Pada masa-masa perkembangan anak, anak perlu diajari

bagaimana caranya mengembangkan inisiatif mereka, tanggung

jawab serta memahami konsekuensi dari perbuatan mereka.

6
4. Membangun hubungan yang baik dan komunikasi yang terbuka

dengan anak untuk memperkuat hubungan emosional dan

meningkatkan kepercayaan antara orang tua dan anak. Tidak

menutup-nutupi suatu hal atau permasalahan dengan anak karena

dapat menimbulkan kekecewaan karena mereka akan merasa tidak

bisa dipercayai.

5. Mengajarkan nilai-nilai moral dan etika yang baik untuk membantu

anak mengembangkan kepribadian dan karakter yang baik. Nilai

moral dan etika perlu ditanamkan sedari kecil, hal ini akan membuat

hati nurani seorang anak lebih berkembang dan super ego dalam

diri mereka tertanamkan dengan baik sedari kecil.

6. Mendorong kreativitas dan eksplorasi anak dalam lingkungan yang

aman dan terkontrol. Pada usia anak terutama saat masih kecil,

anak akan cenderung bereksplorasi dengan dunianya dan

lingkungan sekitarnya. orang tua sebaiknya tidak menghambat

kecenderungan mereka untuk berkarya dan berkreasi.

7. Memberikan disiplin yang tepat dan konsisten, dengan menetapkan

batasan dan konsekuensi yang jelas bagi perilaku yang tidak

diinginkan. Anak perlu diajari cara untuk teratur dan taat kepada

aturan. Terkadang perlu untuk memberikan hukuman kepada

mereka ketika mereka berbuat salah untuk mengajari mereka

bahwa perbuatan itu tidak benar. orang tua juga bisa memberikan

7
reward kepada anak mereka apabila anak tersebut sudah

melakukan apa yang baik dan sesuai.

8. Melindungi anak dari bahaya dan mengajarkan cara menjaga

keselamatan diri. Salah satu hal yang penting dalam pengasuhan

anak juga dengan mengajari mereka cara untuk menjaga diri. Hal

ini juga penting mengingat banyaknya tingkat kejahatan pada anak

kecil. orang tua juga perlu untuk melindungi dan mengajari anak

perempuan mereka untuk menjaga diri dari orang yang tidak

bertanggung jawab.

Pengasuhan anak yang baik dan sehat membutuhkan

perhatian, kasih sayang, dan upaya yang konsisten dari orang tua atau

pengasuh. Dengan memperhatikan kebutuhan anak secara

menyeluruh, orang tua dapat membantu anak tumbuh dan berkembang

menjadi individu yang sehat dan mandiri di masa sekarang maupun di

masa yang akan datang.

2.2 Disabilitas

Menurut International Labour Organization (2014), penyandang

disabilitas adalah seseorang yang mengalami kelainan fisik, indera,

intelektual, maupun psikososial yang dapat mempengaruhi kemampuan

orang tersebut dalam menjalani kegiatan sehari-harinya.

8
Disabilitas atau kecacatan merujuk pada suatu kondisi gangguan

yang membatasi kemampuan seorang individu untuk berpartisipasi

dalam kegiatan sehari-hari yang dianggap normal oleh masyarakat

dalam situasi atau interaksi sosial. Disabilitas dapat berupa kondisi fisik,

mental, sensorik, motorik atau beberapa kombinasi, dan dapat terjadi

sejak lahir atau muncul kemudian di dalam hidup (bisa karena

kecelakaan maupun suatu penyakit).

Beberapa contoh disabilitas fisik meliputi cacat tubuh,

kelumpuhan, kebutaan, atau ketulian. Sementara itu, contoh disabilitas

mental meliputi gangguan spektrum autisme, depresi, gangguan

bipolar, atau gangguan atensi. Disabilitas sensori, seperti ketulian atau

kehilangan indra penglihatan, juga merupakan bentuk disabilitas yang

umum.

Salah satu jurnal menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara

pemahaman publik tentang disabilitas dengan perilaku diskriminatif.

Pemahaman masyarakat di Indonesia tentang penyandang disabilitas

masih cenderung negatif. Mereka cenderung mendefinisikan dan

memperlakukan penyandang disabilitas berdasarkan konsep

“kenormalan”.1

1
Widinarsih, D. 2019. Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Perkembangan Istilah Dan
Definisi. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 20(2), 127-142.
https://doi.org/10.7454/jurnalkessos.v20i2.239

9
Selain hal-hal diatas, perilaku diskriminatif yang dialami oleh

penyandang disabilitas di Indonesia juga disebabkan karena

terbatasnya informasi dan edukasi resmi dari pemerintahan atau

otoritas terkait. Kurangnya kontribusi pada perlindungan dan

kesejahteraan sosial para penyandang disabilitas di Indonesia

membuat semakin banyaknya masyarakat yang akhirnya menganggap

remeh para penyandang disabilitas. 2

Padahal pada kenyataannya, orang yang hidup dengan

disabilitas memerlukan bantuan atau aksesibilitas yang lebih baik untuk

berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sehari-hari di

masyarakat. Penting untuk diingat bahwa orang dengan disabilitas juga

memiliki hak yang sama dengan orang lain untuk memperoleh

pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, hak politik, dan lainnya.

Mereka juga berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam

memperoleh keberhasilan mereka di masyarakat. Oleh karena itu,

diperlukan upaya untuk meningkatkan aksesibilitas universal yaitu

dengan menciptakan lingkungan yang inklusif, mau terbuka, dan

menyediakan dukungan yang dibutuhkan oleh orang dengan disabilitas.

2
Allo, Ebenhaezer Alsih Taruk. 2022. Penyandang Disabilitas di Indonesia. NUSANTARA:
Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, hlm. 807. http://jurnal.um-
tapsel.ac.id/index.php/nusantara/index

10
2.2.1 Anak dengan Disabilitas

Anak dengan disabilitas adalah anak yang memiliki

kebutuhan khusus karena kondisi fisik, mental, atau emosional

yang memerlukan perhatian dan perawatan yang lebih dari pada

anak-anak pada umumnya. Disabilitas dapat terjadi dalam

beragam bentuk, tidak terbatas pada disabilitas fisik seperti

tunanetra, tunarungu, maupun tunagrahita tapi ada juga

disabilitas mental dan kognitif seperti autism, bipolar, retardasi

mental, dan ADHD.

Berdasarkan salah satu Jurnal Ilmiah, pola asuh juga

sangat berpengaruh kepada anak disabilitas terutama pada

kondisi pandemi covid-19.3 Dalam aspek komunikasi, biasanya

orang tua mengalami hambatan dengan anak disabilitas karena

cara bicara anak disabilitas intelektual yang kurang jelas dan

terbata-bata. Tidak hanya itu, mereka juga kesulitan untuk

berkomunikasi dengan sekitar. orang tua cenderung tidak

menerapkan disiplin kepada anak-anak saat melakukan aktivitas

sehari-hari. Diperlukan pola pengasuhan yang tidak terlalu

mengekang tetapi tidak terlalu memanjakan anak sehingga

3
Novita, Furi dan Dwi Yuliani. 2021. Pola Asuh terhadap Anak Disabilitas pada Masa
Pandemi di SLB Negeri Sukadana Kalimantan Barat. REHSOS: Jurnal Ilmiah Rehabilitasi
Sosial Vol. 03.

11
orang tua dapat mendisiplinkan anak dengan disabilitas

intelektual.

Anak-anak dengan disabilitas juga membutuhkan akses

ke pendidikan, fasilitas kesehatan, rekreasi, dan kesempatan

untuk berkembang secara sosial dan emosional. Banyak

organisasi dan lembaga yang telah menyediakan dukungan dan

sumber daya bagi anak-anak dengan disabilitas dan keluarga

mereka contohnya yaitu organisasi Yayasan Autisma Indonesia

(YAI), KITA (Komunitas Teman ADHD), Yayasan MPATI

(Masyarakat Peduli Autis Indonesia), dan masih banyak lagi.

Banyaknya organisasi yang telah tersedia di Indonesia

juga perlu didukung oleh inisiatif peran keluarga untuk mencari

bantuan dalam mendukung anak-anak dengan disabilitas agar

dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal. Perlu peran

masyarakat dan lingkungan sekitar untuk memberikan

penerimaan dan kesempatan yang sama bagi anak-anak dengan

disabilitas.

2.3 Pengasuhan Anak Berkebutuhan Khusus

Tantangan utama dalam mengasuh anak disabilitas adalah

kesulitan dalam mengatasi kebutuhan khusus anak karena kebutuhan

12
mereka akan lebih kompleks dan membutuhkan perhatian yang lebih

besar dibandingkan dengan anak-anak lainnya. orang tua akan

menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan medis dan

perawatan, serta memberikan pendidikan yang sesuai dengan

kemampuan anak. Selain itu, orang tua atau pengasuh anak disabilitas

juga harus menghadapi stigma dan diskriminasi dari masyarakat sekitar.

Beberapa tantangan khusus yang biasanya akan dihadapi oleh

orang tua dalam mengasuh anak disabilitas meliputi:

1. Keterbatasan fisik: Anak dengan disabilitas memerlukan bantuan

ekstra dalam melakukan kegiatan sehari-hari, seperti mandi,

makan, dan berpakaian. Ini dapat memerlukan waktu dan energi

yang lebih besar dari orang tua dibandingkan perhatian yang

diberikan kepada anak-anak normal.

2. Keterbatasan kognitif: Anak dengan disabilitas kognitif memerlukan

cara komunikasi yang berbeda atau lebih sederhana, serta strategi

pembelajaran yang lebih kreatif dan terfokus pada kebutuhan

mereka.

3. Tantangan sosial: Anak dengan disabilitas biasanya akan

menghadapi tantangan sosial seperti penolakan atau pengabaian di

dalam lingkungan sosialnya. orang tua yang memiliki disabilitas

harus siap menghadapi tantangan seperti dibicarakan atau dihina

oleh teman sekumpulannya.

13
Terdapat beberapa cara untuk mengatasi tantangan untuk

mengasuh anak dengan disabilitas tentunya dengan tidak lari dari

tanggung jawab penuh sebagai orang tua yang memegang peran

penting dalam mendidik anak. Pertama yaitu dengan mencari dukungan

dari orang lain (bisa dari keluarga, teman, dan profesional di bidang

kesehatan atau pendidikan). orang tua bisa mulai bergabung dengan

kelompok dukungan orang tua anak disabilitas juga sehingga bisa saling

berbagi pengalaman dan mendapatkan dukungan dari orang lain yang

sedang menghadapi situasi yang sama.

Orang tua perlu mengembangkan keterampilan mengasuh anak

seperti keterampilan dalam memberikan perawatan medis dan

mengajar anak dengan cara yang sesuai dengan kemampuan mereka

Orang tua atau pengasuh dapat mengambil kelas atau pelatihan untuk

meningkatkan keterampilan mereka. Selain itu, orang tua bisa menjalin

komunikasi dengan sekolah dan profesional sehingga mereka dapat

memastikan bahwa kebutuhan khusus anak terpenuhi. Mereka juga

dapat bekerja sama dengan profesional kesehatan untuk

mengembangkan rencana perawatan yang terkoordinasi sehingga anak

dengan disabilitas tidak terabaikan.

Orang tua harus dapat membangun lingkungan yang inklusif untuk

anak disabilitas. Mereka dapat berbicara dengan orang lain di

komunitas mereka tentang kebutuhan anak disabilitas dan bagaimana

14
orang lain dapat membantu. Hal ini dapat membantu mengurangi stigma

dan diskriminasi di masyarakat sekitar. Orang tua atau pengasuh tetap

perlu untuk merawat fisik dan emosional mereka. Bisa dengan

melakukan aktivitas yang menyenangkan, seperti olahraga atau hobi,

dan mendapatkan waktu istirahat yang cukup. orang tua perlu untuk

memastikan kesehatan emosional anak-anak mereka terjaga dengan

baik agar anak tidak menjadi impulsif dan stabil secara emosional

mengingat kesehatan psikologis juga mempengaruhi aspek kesehatan

fisik.

Dikarenakan adanya kebutuhan yang berbeda-beda tiap individu

bahkan individu normal sekalipun, maka dari itu pendekatan

pengasuhan anak disabilitas juga harus disesuaikan dengan kebutuhan

dan kondisi khusus mereka. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

dalam pendekatan pengasuhan anak disabilitas, yaitu:

1. Menjaga keamanan dan kenyamanan anak: Anak disabilitas

cenderung lebih rentan terhadap bahaya dan kecelakaan. Oleh

karena itu, perlu memperhatikan keamanan dan kenyamanan anak

dalam lingkungan sekitarnya, termasuk juga dalam aktivitas sehari-

hari seperti makan, mandi, dan bermain.

2. Memberikan dukungan emosional: Anak disabilitas juga

membutuhkan dukungan emosional dari orang tua atau

15
pengasuhnya. Dukungan emosional ini dapat diberikan dengan

memberikan perhatian, kasih sayang, dan dorongan positif.

3. Melibatkan anak dalam kegiatan sehari-hari: Meskipun anak

disabilitas memiliki keterbatasan dalam kemampuan fisik atau

kognitifnya, namun melibatkan anak dalam kegiatan sehari-hari

seperti memasak, berkebun, atau membersihkan rumah dapat

membantu meningkatkan kepercayaan diri dan rasa percaya diri

anak.

4. Menerapkan pendekatan yang positif: Dalam mengasuh anak

disabilitas, penting untuk mengadopsi pendekatan yang positif dan

memfokuskan pada kemampuan dan kekuatan anak, bukan pada

kelemahan atau keterbatasannya.

5. Menjalin komunikasi yang baik: Komunikasi yang baik antara orang

tua atau pengasuh dengan anak disabilitas sangat penting untuk

membangun hubungan yang sehat dan saling percaya. Komunikasi

dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa tubuh, bahasa

isyarat, atau teknologi bantu komunikasi yang sesuai dengan

kebutuhan anak.

6. Mengembangkan kemandirian anak: Meskipun anak disabilitas

membutuhkan bantuan dalam banyak hal, namun penting untuk

memberikan kesempatan dan ruang bagi anak untuk

16
mengembangkan kemandirian dan kemampuan untuk melakukan

sesuatu sendiri.

Pada dasarnya parenting untuk anak dengan disabilitas dapat

menjadi tantangan yang besar, tetapi juga dapat memberikan

kebahagiaan yang luar biasa ketika orang tua berhasil menerapkan

strategi parenting yang paling tepat untuk anak-anak mereka. orang tua

yang memiliki anak dengan disabilitas akan melakukan upaya

pengasuhan yang lebih maksimal dan ketika mereka mampu berperan

dengan baik dalam proses membesarkan anak yang ditandai dengan

keberhasilan anak, hal ini akan membawa kebahagiaan tersendiri bagi

mereka.4

Berikut beberapa tips yang dapat membantu dalam proses

parenting anak dengan disabilitas:

1. Cari tahu segala hal tentang kondisi anak. Belajar tentang disabilitas

anak akan membantu memahami kebutuhan dan tantangan yang

dihadapi anak. Hal ini akan membantu merencanakan cara terbaik

untuk mendukung perkembangan anak.

2. Jangan biarkan disabilitas menghambat anak untuk melakukan hal-

hal yang mereka sukai. Memberikan kesempatan bagi anak untuk

melakukan kegiatan yang mereka sukai, bahkan jika mereka

4
Perdana, Gilang Kartika Adi dan Kartika Sari Dewi. 2015. Kebahagiaan Pada Ibu yang
Memiliki Anak Difabel. Jurnal Empati, Volume 4, hlm 71.

17
memerlukan bantuan tambahan, dapat meningkatkan kepercayaan

diri dan membantu mereka merasa lebih mandiri.

3. Cari dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas. Menerima dan

mencari dukungan dari orang lain dapat membantu mengatasi

tantangan yang dihadapi dalam parenting anak dengan disabilitas.

4. Bekerja sama dengan tenaga medis dan terapis yang merawat

anak. Bekerja sama dengan dokter, terapis fisik, terapis bicara, atau

terapis okupasi dapat membantu memahami cara terbaik untuk

membantu anak dengan disabilitas untuk mencapai potensi penuh

mereka.

5. Berbicaralah dengan anak dengan cara yang jelas dan mudah

dimengerti. Anak-anak dengan disabilitas dapat membutuhkan

waktu lebih lama untuk memahami dan merespons informasi.

Berbicara dengan jelas dan membiarkan anak untuk memproses

informasi dengan santai sehingga mereka merasa lebih nyaman

dan percaya diri.

6. Jadilah pendukung dan advokat anak. Orang tua harus menjadi

pendukung dan advokat anak dengan memastikan anak

mendapatkan akses ke perawatan medis dan pendidikan yang

mereka butuhkan untuk mencapai potensi penuh mereka.

7. Ambil bagian untuk merawat psikologis diri sendiri. Merawat anak

dengan disabilitas dapat menjadi melelahkan dan stres. orang tua

18
perlu mengambil waktu untuk memastikan bahwa kebutuhan fisik,

psikologis, dan emosional mereka terpenuhi.

8. Ingatlah bahwa setiap anak adalah unik dan memiliki kemampuan

yang berbeda. Jangan mengukur keberhasilan anak dengan

standar orang lain. Fokus pada kemajuan yang dibuat anak, berikan

dukungan dengan cara yang terbaik dan sesuai.

Hubungan antara orang tua dan anak dengan disabilitas merupakan

hal yang penting dan memiliki dampak yang signifikan terhadap

perkembangan anak. Orang tua memiliki peran yang sangat besar

dalam membantu anak dengan disabilitas untuk tumbuh dan

berkembang secara optimal. Untuk memperkuat ikatan antara orang tua

dan anak dengan disabilitas, ada beberapa hal yang dapat dilakukan

oleh orang tua yaitu:

1. Komunikasi yang terbuka: Orang tua dan anak perlu berbicara

dengan baik dan efektif secara verbal maupun non-verbal. Mereka

perlu berkomunikasi secara terbuka dan jujur tentang perasaan dan

kebutuhan masing-masing. Komunikasi yang baik dapat membantu

mengatasi perbedaan pandangan, memperkuat hubungan, dan

membantu orang tua untuk memberikan dukungan yang tepat.

2. Terlibat dalam aktivitas bersama: orang tua dan anak dapat terlibat

dalam aktivitas yang disukai keduanya. Hal ini dapat memperkuat

ikatan dan membuat anak merasa lebih dicintai dan dihargai.

19
3. Kesabaran dan pengertian: Orang tua harus bersabar dan

memahami bahwa anak dengan disabilitas memerlukan waktu dan

perhatian yang lebih. Mereka harus menghindari mengkritik atau

mengecam anak ketika anak mengalami kesulitan.

4. Pendidikan dan dukungan emosional: Orang tua dapat mempelajari

lebih lanjut tentang kondisi disabilitas anak mereka, baik melalui

internet, buku, maupun konsultasi dengan ahli terkait. Dengan

memahami kondisi anak, orang tua dapat memberikan pujian dan

dukungan yang tepat sehingga dapat meningkatkan kepercayaan

diri anak dan membantu anak untuk merasa diterima.

5. Mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman: Orang tua dapat

mencari dukungan dari keluarga dan teman, baik secara emosional

maupun praktis. Keluarga dan teman juga dapat membantu

merawat anak, sehingga orang tua tidak merasa terlalu lelah dan

stres dalam merawat anak dengan disabilitas.

2.3.1 Peran Lingkungan Sosial

Dalam keseluruhan, lingkungan sosial memainkan peran

yang sangat penting dalam mendukung orang tua dalam

mengasuh anak disabilitas. Lingkungan yang baik dapat

membantu mengurangi tekanan dan stres yang dihadapi oleh

20
orang tua, meningkatkan aksesibilitas bagi anak disabilitas,

meningkatkan kesadaran masyarakat tentang disabilitas, dan

menyediakan dukungan praktis yang dibutuhkan oleh orang tua.

Beberapa peran penting lingkungan sosial dalam

mendukung orang tua dalam mengasuh anak disabilitas

diantaranya ialah:

1. Memberikan dukungan emosional: orang tua yang merawat

anak disabilitas seringkali menghadapi tekanan dan stres

yang tinggi, merasa terisolasi atau kesepian karena

perawatan yang intensif, dan tuntutan waktu yang tinggi.

Lingkungan sosial yang baik dapat memberikan dukungan

emosional kepada orang tua dalam menghadapi tantangan

yang dihadapi dalam mengasuh anak disabilitas.

2. Menyediakan aksesibilitas sumber daya dan informasi:

Lingkungan sosial yang ramah disabilitas, seperti layanan

kesehatan dan pendidikan, organisasi kelompok dukungan,

informasi tentang program bantuan keuangan, serta fasilitas

publik yang mudah diakses dapat membantu orang tua

mengasuh anak disabilitas. Lingkungan yang ramah

disabilitas juga dapat membantu anak disabilitas untuk

berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan belajar dari

lingkungan sekitar.

21
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat: Lingkungan sosial

yang sadar akan keberadaan anak disabilitas dapat

membantu orang tua dalam menghadapi stigmatisasi dan

diskriminasi. Kesadaran masyarakat tentang disabilitas dapat

membantu anak disabilitas merasa diterima dan dihargai di

lingkungan sekitar.

4. Menyediakan dukungan praktis: Lingkungan sosial yang baik

dapat memberikan dukungan, seperti bantuan dalam bentuk

membantu mengurus keperluan sehari-hari, perawatan fisik,

transportasi, bantuan finansial atau bahkan membantu

menjaga anak ketika orang tua membutuhkan waktu istirahat.

Dengan demikian, penting bagi orang tua yang mengasuh

anak disabilitas untuk memiliki dukungan lingkungan sosial

yang baik. Hal ini dapat membantu mereka mengatasi

tantangan yang terkait dengan mengasuh anak disabilitas dan

mempromosikan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan.

2.3.2 Pengasuhan yang buruk pada Anak Disabilitas

Pengasuhan yang tidak memadai pada anak dengan

disabilitas dapat memiliki dampak yang signifikan pada

perkembangan fisik, emosional, sosial, dan kognitif anak.

22
Beberapa dampak bisa terjadi pada perkembangan fisik,

psikologis, sosial, serta kognitifnya. Pengasuhan yang tidak

memadai menyebabkan anak dengan disabilitas mengalami

keterlambatan perkembangan fisik, seperti kemampuan motorik,

koordinasi, dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-

hari.

Pada perkembangan emosional anak dengan disabilitas

yang mendapat pengasuhan tidak memadai, anak akan

cenderung mengalami masalah emosional seperti kecemasan,

depresi, dan ketidakpercayaan diri. Anak bisa saja merasa tidak

dihargai atau tidak dicintai oleh orang tua dan keluarga, yang

dapat mempengaruhi kesejahteraan mental mereka baik di masa

sekarang maupun di masa yang akan datang. Hal ini tidak

menutup kemungkinan terjadi hal-hal buruk yang tidak

diharapkan seperti menyakiti diri sendiri (self harm) sampai

kepada bunuh diri.

Menurut survei nasional morbiditas psikiatri terhadap

7.461 penyandang disabilitas (2017), sekitar 1 dari 250 orang

memiliki keinginan untuk melakukan percobaan bunuh diri.

Mereka memiliki keinginan bunuh diri empat kali lebih banyak,

Pendiri sekaligus suicidolog dari Into The Light, Benny Prawira

23
mengatakan dalam konteks Indonesia, potensi bunuh diri di

kalangan difabel pasti ada saja, hanya belum tahu angkanya.

Selain mempengaruhi perkembangan fisik dan psikologis,

pengasuhan yang buruk juga dapat menghambat perkembangan

sosial anak disabilitas, seperti kesulitan dalam berinteraksi

dengan orang lain dan membentuk hubungan sosial yang sehat.

Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk

membangun persahabatan dan relasi dengan orang lain.

Terakhir, pengasuhan yang tidak memadai

mempengaruhi perkembangan kognitif khususnya dalam

kemampuan belajar dengan teman-teman seusia mereka. Anak

dengan disabilitas umumnya mengalami kesulitan dalam

memproses informasi, belajar, dan memahami konsep-konsep

abstrak.

Dengan demikian, penting bagi orang tua dan keluarga

untuk memberikan pengasuhan yang memadai dan perhatian

yang tepat pada anak dengan disabilitas. Pendidikan khusus dan

dukungan dari ahli dapat membantu anak dengan disabilitas

mengatasi tantangan yang dihadapinya dan mencapai potensi

maksimal dalam kehidupan mereka.

24
2.4 Disabilitas Intelektual

Banyak masyarakat yang belum terlalu peduli perihal isu

disabilitas, terkadang bahkan disabilitas intelektual disamakan dengan

disabilitas mental. Berdasarkan sumber yang dijelaskan oleh Regis

Machdy, seorang Co-Founder Pijar Psikologi, disabilitas intelektual

awalnya disebut sebagai retardasi mental, tapi diganti menjadi

disabilitas intelektual karena istilah lama memiliki asosiasi negatif.

Istilah mental lebih mengarah ke nuansa emosional dan memiliki

konotasi negatif, maka istilah tersebut diganti menjadi disabilitas

intelektual atau sering juga disebut intellectual and developmental

disabilities. Sedangkan menurut laman Special Olympics, disabilitas

intelektual adalah istilah yang digunakan ketika seseorang memiliki

keterbatasan tertentu dalam fungsi dan keterampilan kognitif, termasuk

keterampilan komunikasi, sosial, dan perawatan diri.

Pengetahuan dasar tentang disabilitas diperlukan untuk

membuat kaum disabilitas mendapatkan hak dan akses ke kehidupan

yang sebaik-baiknya. Hal ini penting diketahui semua orang di segala

bidang pengetahuan. Pengetahuan tentang disabilitas intelektual juga

memiliki hubungan dengan tingkat kecemasan orang tua. 5

5
Lestari, Gini Marta, Tiar Masykuroh, dan Gara Samara Brajadenta. 2021. Hubungan
Pengetahuan tentang Disabilitas Intelektual terhadap Tingkat Kecemasan Orang Tua.
Cirebon: Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan.
http://jurnal.ugj.ac.id/index.php/tumed

25
2.4.1 Gejala Disabilitas Intelektual

Anak-anak dengan Disabilitas Intelektual memiliki

kesulitan yang signifikan baik dalam fungsi intelektual (misalnya

berkomunikasi, belajar, pemecahan masalah) dan perilaku

adaptif (misalnya keterampilan sosial sehari-hari, rutinitas,

kebersihan).

Disabilitas Intelektual bisa ringan atau lebih parah. Anak-

anak dengan bentuk yang lebih parah biasanya membutuhkan

lebih banyak dukungan terutama di sekolah. Anak-anak dengan

ID (Intellectual Disability) yang lebih ringan dapat memperoleh

beberapa keterampilan mandiri, terutama di komunitas dengan

pengajaran dan dukungan yang baik. Ada banyak program dan

sumber daya yang tersedia untuk membantu anak-anak ini saat

mereka tumbuh dewasa.

Berikut ciri-ciri yang bisa dikenali dari anak yang

mengalami disabilitas intelektual:

1. Kegagalan untuk memenuhi tonggak intelektual. Artinya ada

pencapaian dalam bidang akademik yang gagal, kurang atau

terhambat di usia mereka untuk memenuhi capaian tersebut.

2. Duduk, merangkak, atau berjalan lebih lambat dari anak-

anak lain. Pertumbuhan anak yang mengalami disabilitas

26
akan lebih terhambat dibandingkan dengan anak seusia

mereka.

3. Masalah belajar berbicara atau kesulitan berbicara dengan

jelas. Anak dengan disabilitas akan kesulitan memahami

bunyi maupun fonem.

4. Masalah memori. Mereka akan cenderung kesulitan dalam

mengingat suatu hal dikarenakan keterbatasan yang mereka

miliki.

5. Ketidakmampuan untuk memahami konsekuensi dari

tindakan. Individu dengan disabilitas sulit untuk berpikir

matang dalam mengambil suatu tindakan, mereka akan

cenderung impulsif dan terburu-buru.

6. Ketidakmampuan untuk berpikir logis dan kurangnya

keingintahuan.

7. Perilaku kekanak-kanakan yang tidak sesuai dengan usia

anak. Mereka biasanya menunjukkan perilaku yang tidak

sesuai dengan usia mereka, hal ini terjadi karena

pertumbuhan mereka yang juga terhambat.

8. Kesulitan belajar. Karena sulit untuk menempatkan atensi

mereka pada suatu hal, mereka jadi akan kesulitan untuk

fokus dan berkonsentrasi ketika belajar.

27
9. IQ di bawah 70. Normalnya, seorang individu memiliki IQ

rata-rata 100 atau diatas 100. Apabila mereka mengalami

disabilitas intelektual yang parah, IQ mereka biasanya

berada di bawah 70.

10. Ketidakmampuan untuk menjalani kehidupan mandiri

sepenuhnya karena kesulitan berkomunikasi, menjaga diri

sendiri, atau berinteraksi dengan orang lain.

Apabila seorang anak Anda memiliki ID, mereka mungkin

mengalami beberapa masalah perilaku berikut yaitu agresi,

ketergantungan, penarikan diri dari kegiatan sosial, perilaku

mencari perhatian, depresi selama masa remaja dan remaja,

kurangnya kontrol impuls, kepasifan, kecenderungan untuk

melukai diri sendiri, sikap keras kepala, rendah diri, mudah stress

dan frustasi, gangguan psikotik sampai kepada sulit

memperhatikan atau gangguan atensi. Beberapa orang dengan

ID mungkin juga memiliki karakteristik fisik tertentu. Ini bisa

termasuk memiliki perawakan pendek atau kelainan wajah.

2.4.2 Penyebab Disabilitas Intelektual

Disabilitas Intelektual dikaitkan penyebabnya oleh

bawaan sejak lahir (penyebab biologis) diantaranya yaitu masa

28
postnatal (sesudah lahir), prenatal (sebelum lahir), dan masa

perinatal (saat lahir).

1. Masa Prenatal.

Pada masa prenatal atau saat bayi masih di dalam

kandungan, bayi memiliki risiko menyandang disabilitas

intelektual dengan penyebab tertentu. “Pada masa prenatal,

penyebab disabilitas intelektual bisa bermacam-macam,”

jelas Regis Machdy, seorang pakar psikologi. Penyebab-

penyebab tersebut diantaranya yakni gangguan kromosom,

metabolisme, gangguan dalam pembentukan otak janin,

maupun lingkungan yang buruk selama masa kehamilan.

Regis Machdy, ahli Psikologi menyebutkan bahwa

“Lingkungan buruk selama masa kehamilan misalkan radikal

bebas karena ibunya bekerja di tempat yang selalu terpapar

radikal bebas, nah itu bisa mempengaruhi perkembangan

janin.”

2. Masa Perinatal.

Pada masa perinatal atau saat proses melahirkan ada

beberapa penyebab lain yang menjadi alasan terjadinya

disabilitas intelektual pada anak. Bisa jadi ada yang namanya

anoxia atau kekurangan oksigen saat proses lahiran, entah

29
karena ketubannya pecah atau terhambat dalam proses

pembukaan dan lain sebagainya.

Dikutip dari merdeka.com, menurut Regis Machdy selaku

Co-Founder Pijar Psikologi, beliau mengungkapkan bahwa

terdapat banyak faktor yang menyebabkan kecacatan pada

proses melahirkan. Salah satunya penyebabnya yaitu anak

tidak mendapat suplai oksigen yang cukup. Hal ini

dikarenakan proses melahirkan merupakan proses penting

dimana bayi melewati masa krisis untuk menjadi manusia di

awal kehidupan.

Regis Machdy menambahkan, sebenarnya anoxia juga

bisa terjadi saat dalam kandungan, tapi risiko lebih tinggi ada

pada saat lahiran karena kelahiran adalah proses

perpindahan. Anoxia adalah keadaan dimana tubuh atau

otak seseorang berhenti mendapatkan asupan oksigen.

Selain anoxia, berat badan kurang pada bayi juga

berpengaruh terhadap kejadian disabilitas intelektual. Ketika

bayi lahir prematur maka risiko komplikasi akan semakin

tinggi. Penyebab lainnya adalah infeksi yang dimiliki ibu.

Infeksi tersebut kemudian ditularkan kepada anak pada saat

lahiran. Misalnya infeksi sifilis atau herpes.

30
Menurut Regis, penyakit di kelamin orang tua (khususnya

ibu) akan menular kepada anak karena ketika bayi keluar

melalui vagina ibu, bakteri pada organ reproduksi wanita

tersebut dapat tertular ke anak dan efeknya bisa menyebar

kemana-mana.

3. Masa Postnatal.

Pada masa postnatal atau setelah melahirkan, penyebab

disabilitas intelektual yang dapat terjadi adalah infeksi,

malnutrisi, toksin, dan lingkungan yang kurang menstimulasi

anak.

Berdasarkan pengalaman Regis Machdy dalam

menangani masalah ini, ada cukup banyak kasus ketika bayi

demam pendengarannya hilang, penglihatannya hilang

karena ada infeksi yang tidak diketahui infeksinya karena

berbagai macam penyebab yang pernah ia dengar. Saat bayi

berkembang, mereka akan sangat ringkih untuk terserang

infeksi apalagi infeksi pada saraf atau organ tertentu.

Serangan infeksi pada saraf tersebut dapat

menyebabkan hilangnya fungsi-fungsi tertentu seperti

penglihatan, pendengaran, atau bahkan kapasitas intelektual

yang akhirnya menyebabkan disabilitas intelektual. Selain itu,

31
malnutrisi, toksin atau zat-zat berbahaya juga sangat

mempengaruhi.

“Lingkungan tidak pernah menstimulasi anak. Bayi

diabaikan oleh ibu, tidak pernah diajak interaksi sampai umur

2 tahun tidak diajak ngobrol, tidak diberi mainan untuk

dipegang, jadi dia tidak tahu dunia dan tidak akan punya

konsep.” kata Regis

Pada akhirnya, disabilitas baik intelektual, mental,

maupun fisik dapat disebabkan oleh banyak faktor. Tidak

hanya faktor biologis tetapi juga ada faktor lingkungan yang

mempengaruhi. Faktor biologis bisa berupa genetik maupun

kelainan kromosom. Faktor lingkungan bisa dalam bentuk

paparan zat berbahaya, kecelakaan, dan lingkungan yang

tidak mendukung. Banyak penyebab dalam setiap tahap

kehidupan yang bisa saja muncul dan mengakibatkan

seorang individu mengalami disabilitas.

32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan, yakni

Februari 2023 sampai April 2023. Waktu penelitian ini dilaksanakan

dengan tahapan dua bulan pertama observasi dan satu bulan terakhir

wawancara.

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Daya Pelita Kasih

Center, yang beralamatkan di Jl. Jatipadang Utara No.8A, RT.13/RW.2,

Jati Padang, Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan. Peneliti memilih

untuk melakukan penelitian ditempat tersebut karena di Sekolah Dasar

Daya Pelita Kasih Center belum pernah diadakan penelitian yang

serupa.

3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah individu, benda atau organisme yang

dijadikan informasi dalam pengumpulan data penelitian. Subjek yang

dipakai dalam penelitian ini yakni anak-anak dengan disabilitas pada

sekolah Daya Pelita Kasih Center di Jakarta. Selain itu, penelitian ini

33
juga melibatkan orang tua anak dan guru di sekolah tersebut. Data yang

sudah diperoleh akan dibagi menjadi dua macam yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data dimana diperoleh secara langsung dari

objek penelitian (Sumarsono, 2004:69). Data primer dalam

penelitian ini diperoleh dengan melakukan observasi dan

wawancara langsung kepada anak-anak disabilitas, orang tua, dan

juga guru di sekolah tersebut.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber data penelitian yang diperoleh

peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (Indriantoro

dan Supomo, 1999:147). Data sekunder dalam penelitian ini dapat

diperoleh melalui dokumentasi kegiatan-kegiatan yang pernah

dilakukan oleh sekolah tersebut. Data ini digunakan untuk

mendukung data primer.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kualitatif. Berdasarkan pada pendekatannya yaitu penelitian kualitatif,

maka sumber data didapatkan melalui teknik pengumpulan data hasil

34
observasi, wawancara, dan hasil studi dokumentasi. Hal ini bertujuan

untuk mendapatkan gambaran secara langsung dan fakta dilapangan.

1. Observasi

Teknik Observasi adalah proses pencataan pola perilaku subjek

(orang), objek (benda) atau kejadian yang sistematik tanpa adanya

pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti

(Indriantoro, dkk, 2002:157). Dalam penelitian ini, peneliti

mengamati bagaimana anak-anak disabilitas belajar dan

beradaptasi dengan lingkungan sosial, khususnya sekolah. Selain

itu, peneliti juga mengamati apakah sekolah memberikan fasilitas

yang memadai serta mendukung dalam pertumbuhan dan

perkembangan mereka.

2. Wawancara

Teknik Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang

digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan

melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang

dapat memberikan keterangan pada peneliti (Mardalis, 1999:64).

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara langsung

kepada orang tua dan guru dari anak-anak disabilitas tersebut.

Peneliti menyiapkan pertanyaan-pertanyaan tertulis mengenai

tantangan utama yang dihadapi dalam mengasuh anak dengan

disabilitas dan cara mengatasinya.

35
3. Dokumentasi

Gottchalk (1950) menyatakan bahwa dokumen (dokumentasi)

dalam pengertiannya yang lebih luas berupa setiap proses

pembuktian yang didasarkan atas jenis sumber apapun, baik itu

bersifat tulisan, lisan, gambaran, atau arkeologi. Dalam penelitian

ini, peneliti mendapatkan sejumlah foto yang berkaitan dengan

kegiatan sehari-hari yang dilakukan anak-anak dengan disabilitas di

sekolah mereka.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk menemukan makna dari setiap

data yang terkumpul. Kemudian setelah data terkumpul peneliti

melakukan reduksi data untuk dihubungkan dan dibandingkan antara

satu dengan yang lain. Menggunakan pemikiran yang rasional, kritis dan

logis untuk mencari perbedaan dan kesamaannya, jawaban dari

informan dianalisis sehingga peneliti dapat menarik kesimpulan

mengenai tanggapan yang diberikan oleh informan.

1. Transkrip wawancara.

Teknik ini merekam wawancara dan kemudian menyalinnya di

lain waktu. Mentranskripsikan wawancara berarti membuat salinan

rekaman wawancara yang lengkap dan tertulis dengan cara

36
memutar ulang rekaman, mengetik di setiap kata yang diucapkan

pada rekaman dan mencatat siapa yang mengucapkan kata.

2. Menyertakan tanggapan non-verbal

Gestur yang dibuat oleh responden harus diperhatikan, begitu

pula nada suara dan catatan tentang kapan, di mana, dan

bagaimana kata-kata yang diucapkan mungkin telah ditekankan

oleh responden. Seperti cara orang tua dan guru menyampaikan

maksudnya, dan penekanan yang dilakukan seperti mengulang

suatu hal berkali-kali.

37
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2018. Yuk Mengenal Penyandang Disabilitas Lebih Dekat bagian 1.


Yogyakarta: Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses pada 01
Mei 2023 melalui https://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detail/disabilitas-ragam-
jenis-yuk-mengenal-penyandang-disabilitas-lebih-dekat-bagian-
1#:~:text=Penyandang%20disabilitas%20adalah%20setiap%20orang,negara%2
0lainnya%20berdasarkan%20kesamaan%20hak

Allo, Ebenhaezer Alsih Taruk. 2022. Penyandang Disabilitas di Indonesia.


NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, hlm. 807. Diakses pada 04 Mei
2023 melalui http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/index

Altomara, Deanna. 2022. Including People With Developmental Disabilities. United


States: Grow by WebMD. Diakses pada 01 Mei 2023 melalui
https://www.webmd.com/a-to-z-guides/including-people-developmental-
disabilities

Byrd, Florence. 2022. Intellectual Disability. Grow by WebMD. Diakses pada 01 Mei
2023 melalui https://www.webmd.com/parenting/baby/ss/slideshow-baby-
strange-facts

Lestari, Gini Marta, Tiar Masykuroh, dan Gara Samara Brajadenta. 2021. Hubungan
Pengetahuan tentang Disabilitas Intelektual terhadap Tingkat Kecemasan Orang
Tua. Cirebon: Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan. Diakses pada 05
Mei 2023 melalui
http://jurnal.ugj.ac.id/index.php/tumed

Mardatila, Ani. 2021. Mengenal Disabilitas Intelektual beserta Penyebabnya yang


Jarang Diketahui. Medan: merdeka.com. Diakses pada 02 Mei 2023 melalui
https://www.merdeka.com/sumut/mengenal-disabilitas-intelektual-beserta-
penyebabnya-yang-jarang-diketahui-kln.html

Murdiyanto, Eko. 2020. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Lembaga Penelitian


dan Pengabdian Pada Masyarakat UPN “Veteran” Yogyakarta Press.

Novita, Furi dan Dwi Yuliani. 2021. Pola Asuh terhadap Anak Disabilitas pada Masa
Pandemi di SLB Negeri Sukadana Kalimantan Barat. REHSOS: Jurnal Ilmiah
Rehabilitasi Sosial Vol. 03.

Perdana, Gilang Kartika Adi dan Kartika Sari Dewi. 2015. Kebahagiaan Pada Ibu yang
Memiliki Anak Difabel. Jurnal Empati, Volume 4, hlm 71.

Rohwerder, B. 2015. Disability Inclusion. GSDRC. Diakses pada 05 Mei 2023 melalui
https://gsdrc.org/topic-guides/disability-inclusion/background/definition-of-
disability/

38
Wibawana, Widhia Arum. 2022. Apa itu Disabilitas? Kenali Jenis dan Hak Penyang
Disabilitas. Jakarta: detikNews. Diakses pada 03 Mei 2023 melalui
https://news.detik.com/berita/d-6438992/apa-itu-disabilitas-kenali-jenis-dan-hak-
penyandang-disabilitas

Widinarsih, D. 2019. Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Perkembangan Istilah Dan


Definisi. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 20(2), 127-142. Diakses pada 04 Mei
2023 melalui https://doi.org/10.7454/jurnalkessos.v20i2.239

39

Anda mungkin juga menyukai