Anda di halaman 1dari 6

Pembukaan:

Assalamualaikum wr.wb. kembali lagi bersama saya Nofriza Aulia. Divideo kali ini
kita masih dengan mata kuliah filsafat umum. Jika divideo sebelumnya kita sudah membahas
mengenai filsafat abad pertengahan,filsafat abad modren serta tokoh tokoh dan pemikirannya.
Maka divideo kali ini kita akan membahas mengenai sejarah filsafat abad kontemporer.

Istilah kontemporer pada umumnya berarti saat ini, atau sedang mengalami. Arti lain
dari kontemporer adalah zaman pada saat suatu masalah muncul dan kemudian mendapat
jawabannya. Filsafat Kontemporer juga bisa diartikan dengan cara seperti itu, yaitu cara
pandang dan berpikir mendalam menyangkut kehidupan pada masa saat ini.
Filsafat kontemporer ini sering dikaitkan dengan posmodernisme, dikarenakan
posmodernisme yang berarti “setelah modern” merupakan akibat logis dari zaman
kontemporer. Posmodernisme menyaratkan kebebasan, dan tidak selalu harus simetris.
Contohnya seni bangunan, posmodernisme tidak terlalu mementingkan aspek keseimbangan
dalam bentuk bangunan, melainkan sesuka hati yang membangun atau yang sesuai request.
Kembali lagi kepada pemikiran kontemporer yang beranjak dari seni bangunan tadi,
pemikiran filsafat kontemporer ini bebas. Kebebasan dalam memakai teori, menanggapi, dan
mengkritik selama kebebasan tersebut merupakan suatu hal original.

Oleh karenanya filsafat kontemporer merupakan ekstensifikasi dari pemikiran manusia


tentang hal-hal yang umum menjadi yang sangat khusus dan terkait dengan hal khusus
lainnya.

Adapun beberapa aliran aliran terpenting pada abad kontemporer yaitu Aliran
eksistensialisme dan aliran pragmatisme.
A. Eksistensialisme
Kata Eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi yang diturunkan dari
kata kerja sisto (berdiri, menempatkan) jadi eksistensialisme dapat diartikan manusia
berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya
ada. Ia dapat meragukan segala sesuatu hal yang pasti yaitu bahwa dirinya ada.

Eksistensialisme adalah aliran Filsafat yang memandang segala gejala dengan


berpangkal pada eksistensi, Eksistensi sendiri merupakan cara berada manusia di
dunia, dan cara ini berbeda dengan cara berada makhluk-makhluk lainnya. Benda
mati atau hewan tidak sadar akan keberadaannya tetapi manusia menyadari
keberadaannya, manusia sadar bahwa dirinya sedang bereksistensi oleh sebab itu
segala sesuatu berarti selama menyangkut dengan manusia, dengan kata lain manusia
memberikan arti pada segalanya, manusia menentukan perbuatannya sendiri, ia
memahami diri sebagai pribadi yang bereksistensi.

Dalam teori ini berpandangan bahwa manusia adalah eksistensinya mendahului


esensinya (hakikat), dan sebaliknya benda-benda lain esensinya mendahului
eksistensinya, sehingga manusia dapat menentukan diri sendiri menurut proyeksinya
sendiri, hidupnya tidak ditentukan lebih dulu, sebaliknya benda-benda lain bertindak
menurut esensi atau kodrat yang memang tak dapat dielakkan.
Tokoh-tokoh pada aliran ekstensialisme adalah sebagai berikut:
a. Jean-Paul Sartre (1905-1980) Lahir di Paris Prancis, 21 Juni 1905-15 April 1980
M. Ia berasal dari keluarga cendekiawan. Ayahnya seorang perwira besar
angkatan laut Prancis. Ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa
modern di Universitas Sorbone. Ketika masih kecil ayahnya meninggal sehingga
ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan di rumah kakeknya, di bawah pengaruh
kakeknya, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu
pengetahuan dan bakar-bakar Sartre dikembangkan secara maksimal. Menurutnya,
eksistensi lebih dulu ada disbanding esensi (L’existence précède l’essence).
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak
lebih hasil kalkulais dari komitmen-komirtmennya di masa lalu.
b. Martin Heidegger 1889-1976 M Heidegger lahir di Baden, Jerman. Ayahnya
bekerja sebagai Kosfer di gereja MT. Martius. Ia belajar di Konstanz, kemudian ia
masuk Universitas Feiburg, Jurusan teologi. Namun tidak lama kemudian ia
beralih menekuni bidang filsafat.
c. Karl R. Popper 1902-1994 M Karl R. Popper lahir di Wina, Australia. Ia dikenal
sebagai filsuf yang sangat berpengaruh di bidang sains dan politik. Sedemikian
pengaruhnya sehingga Sir Petter Medewar, peraih nobel di bidang kedokteran,
mengatakan Karl Popper tak ada duanya sebagai filsuf ilmu terbesar yang pernah
ada. Selain ahli di bidang sains dan politik, juga dikenal sebagai seorang yang ahli
matematika dan astronomi teoritis.

B. Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata “pragma” (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah
apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang
bermanfaat scara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran
mistik, asalkan dapat pengalaman pribadi tentng kebenaran mistik. Artinya, segala
sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.

Di Amerika Serikat aliran Pragmatisme mendapat tempatnya yang tersendiri


didalam pemikiran filsafat, William James adalah orang yang memperkenalkan
gagasan-gagasan pragmatisme kepada dunia.

Aliran ini menganggap benar apa yang akibat-akibatnya bermanfa’at secara


praktis. Jadi patokan dari pragmatisme adalah bagaimana dapat bermanfaat dalam
kehidupan praktis. Dan pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Kebenaran
mistis pun dapat diterima asalkan bisa bermanfa’at secara praktis misalnya ada
penyembuhan alternative yang menggunakan tenaga magis. Pengalaman pribadi yang
benar adalah pengalaman yang bermanfaat secara praktis.
Tokoh-tokohnya : William James, Jhon Dewey.
a. William James (1842-1910 M) Willam James dilahirkan di New York, pada tahun
1842. Setelah belajar ilmu kedokteran di Universitas Harvrad, Ia kemudian pada
tahun 1855-1861 belajar di Inggris, Prancis, Swiss dan Jerman. Ia kembali ke
Amerika dan memang ahli dalam bidang anatomi, fisiologi, psikologi, dan filsafat
hingga tahun 1907. Selain menamakan filsafatnya dengan “Pragmatisme”, James
juga menyebutkan dengan istilah Radical Empirisme (Empirisme Radikal).
Empirisme Radikal adalah suatu empirisme baru yang tidak menerima suatu unsur
dan bentuk apapun yang tidak dialami secara langsung atau mengeluarkan dari
bentuknya unsur yang dialami secara langsung.  Pragmatisme Menurut James,
terdapat hubungan yang erat antara konsep pragmatisme mengenai kebenaran dan
sumber kebaikan. Selama ide itu menghasilkan hasil-hasil yang memuaskan, maka
ide tersebut bersifat benar (true). Suatu ide dianggap benar apabila dapat
memberikan keuntungan kepada manusia dan yang dapat dipercayai tersebut
membawa ke arah kebaikan (good). Suatu bentuk teori etika dapat dibangun demi
teori pragmatisme ini. Metode pragmatism dalam memberikan batasan antara
yang baik atau jelek, salah atau benar, adalah sama seperti membatasi apakah
sesuatu itu benar atau salah.
b. John Dewey (1859-1952) Ia dilahirkan di Barlington pada tahun 1859. Setelah
menyelesaikan studinya di Baltimore, ia menjadi Guru Besar di bidang filsafat dan
pendidikan pada Universitas Colombis (1904-1929). Nampaknya terdapat
persamaan pemikiran antara Dewey dengan James. Dewey adalah seorang
pragmatis, tetapi ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalis.
Menurutnya, tujuan filsafat adalah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas
manusia secara lebih baik, untuk di dunia, dan sekarang. Ia menegaskan bahwa
tugas filsafat yang utama adalah memberikan garis-garis pengarahan bagi
perbuatan dalam kenyataan hidup.
Pembukaan:
Assalamualaikum wr.wb. kembali lagi bersama saya Nofriza Aulia. Divideo kali ini
kita masih dengan mata kuliah filsafat umum. Jika divideo sebelumnya kita sudah membahas
mengenai sejarah filsafat abad kontemporer dan dua alirannya. Maka divideo kali ini kita
akan membahas mengenai pertarungan aliran filsafat dengan dua aliran yaitu idealisme dan
materialisme.

A. Idelisme

Kebalikan dri materialisme. Mernurut aliran ini, kenyataan sejati adalah bersifat
spiritual (oleh sebab itu, aliran ini sering disebut juga spiritualisme). Para idealis percaya
bahwa ada kekuatan atau kenyataan spiritual di belakang setiap penampakan atau
kejadian. Esensi dari kenyataan spiritual ini adalah berpikir (res cogitans). Karena
kekuatan atau kenyataan spiritual tidak bisa diukur atau dijelaskan berdasarkan pada
pengamatan empiris, maka kita hanya bisa menggunakan metafor-metafor kesadaran
manusia. Misalnya, kekuatan spiritual dianggap bersifat rasional, berkehendak,
berpesaraan, kreatif, dan lain-lain.

Dengan diakuinya kenyataan sejati sebgai bersifat spiritual, tidak berarti bahwa para
idealis menolak kekuatan-kekuatan yang bersifat fisik (material) dan menolak adanya
hukum alam. Sebagaimana dikemukakan oleh Hegel (1770-1831) kekuatan fisik dan
hukum alam itu memang ada, tetapi keberadaannya merupakan manifestasi dari kekuatan
atau kenyataan yang sejati dan lebih tinggi, yakni Roh Absolut. Seperti halnya
kebudayaan dan kesenian yang merupakan manifestasi lahiriyah dari jiwa manusia, alam
fisik pun adalah manifestasi lahiriah dari kenyataan sejati, yakni Roh Absolut atau Tuhan.
Para idealis percaya adanya gerak pada setiap planet maupun hukum alam, sudah didesain
terlebih dahulu oleh kekuatan spiritual.

Sejumlah besar penganut idealisme mempunyai pandangan deterministik mengenai


manusia. Mereka menyatakan bahwa Roh Absolut (Tuhan) adalah bebas dan tidak
terhingga, tetapi manusia sebagai bagian atau perwujudan dari Roh Absolut, tidak bebas
dan berhingga. Akan tetapi tidak semua idealis mempunyai pandangan yang deterministik
seperti itu. Di antara para idealis banyak juga yang menekankan kebebasan manusia. Ini
terutama tampak pada salah satu aliran dari idealisme yang disebut personalisme.
Personalisme menekankan bahwa Roh bersifat pribadi-pribadi (individual), masing-
masing berdiri sendiri-sendiri, sehingga setiap pribadi, setiap individu, mempunyai
kebebasan untuk mengekspresikan dirinya sendiri (Abidin, 2011, 30).

Plato, salah satu tokoh idealis mengemukakan bahwa hakikat yang paling benar
adalah ide. Sebelum ada alam, sebenarnya sudah ada alam ide terlebih dahulu. Idealisme
juga mengemukakan semua yang ada ini hanya ilusi dan mereka menekankan pada
hukum-hukum logika.
B. Materialisme

Materialisme merupakan paham filsafat yang meyakini bahwa esensi kenyataan,


termasuk esensi manusia bersifat material atau fisik. Ciri utama dari kenyataan fisik atau
material adalah bahwa ia menempati ruang dan waktu, memiliki keluasan (res extensa),
dan bersifat objektif. Karena menempati ruang dan waktu serta bersifat objektif, maka ia
bisa diukur, dikuantifikasi (dihitung), diobservasi. Alam spiritual atau jiwa, tidak
menempati ruang, tidak bisa disebut esensi kenyataan, dan oleh karena itu ditolak
keberadaannya (Abidin, 2011, p. 25). Kalau ada peristiwa atau gejala yang masih belum
diketahui, atau belum bisa dipecahkan oleh manusia, maka hal itu bukan berarti ada
kekuatan yang bersifat spiritual di belakang peristiwa tersebut, melainkan karena
pengetahuan dan akal kita saja yang belum dapat memahaminya. Bagi aliran
materialisme, semua penjelasan harus didasarkan pada data-data yang bersifat inderawi.

Jenis lain dari materialisme adalah naturalisme. Disebut naturalisme, karena istilah
materi diganti dengan istilah alam (nature) atau organisme. Materialisme atau naturalisme
percaya bahwa setiap gejala, setiap gerak, bisa dijelaskan menurut hukum kausitas,
hukum sebab-akibat, atau hukum stimulus-respons. Gejala yang kita amati tidak bergerak
dengan sendirinya, melainkan karena adanya sebab-sebab eksternal yang mendahului atau
menggerakkannya (Abidin, 2011, p. 26).

Karena sangat percaya pada hukum kausitas, maka kaum materialis pada umumnya
sangat deterministik. Mereka tidak mengakui adanya kebebasan atau independensi
manusia. Seorang materialis sangat yakin bahwa tidak ada gerak atau perilaku yang
ditimbulkan oleh dirinya sendiri. Gerak selalu bersifat mekanis, digerakkan oleh
kekuatan-kekuatan di luar dirinya (eksternal).

Ilmu-ilmu alam seperti fisika, biolgoi, kimia, kedokteran adalah suatu bentuk dari
materialisme atau naturalisme, jika berasumsi bahan esensi alam semesta (termasuk
manusia) dan objek kajian ilmu-ilmu alam sepenuhnya bersifat material, sehingga bisa
dijelaskan secara kausal dan mekanis. Akan tetapi, ilmu-ilmu tentang manusia seperti
psikologi dan sosiologi pun adalah materialisme, jika memiliki asumsi bahwa objek
kajiannya (yakni, perilaku manusia) adalah materi yang menempati ruang dan waktu, bisa
diukur dan dikuantifikasi dan bergerak (berperilaku) secara kausal.

Manusia adalah bagian dari alam atau materi. Manusia adalah mesin atau kumpulan
sel dan sistem syaraf. Manusia adalah daging (tubuh) yang menempati ruang dan waktu.
Sebagai tubuh (daging), manusia mengalami perkembangan dan penysutan, sejalan
dengan perjalanan waktu.

Akibat selanjutnya adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang deterministik,


tidak memiliki kebebasan. Perilaku manusia tidak lain adalah akibat dari suatu sebab
eksternal. Perilaku manusia tidak berasal dari dirinya sendiri (self-determined). Manusia
berperilaku karena ada suatu sebab yang mendahuluinya (stimulus), yang menuntut untuk
diberikan resposn atau reaksi.

Materialisme dalam melihat manusia ia hanya melihat apa yang tampak saja yaitu
materialnya atau jasmaninya. Materialisme tidak memperdulikan hal lain selain material,
seperti kecerdasan, jiwa, dan lain-lain. Ia beranggapan bahwa materiallah yang
mempengaruhi kecerdasan, jiwa, dan lain-lain. Ruhani/spiritual juga tidak menjadi pokok
bahasan dalam materialisme. Selain itu, materialisme juga beranggapan bahwa adanya
dunia dan manusia karena adanya sebab akibat sehingga mereka tidak mengakui adanya
Tuhan yang intervensi.

Anda mungkin juga menyukai