Anda di halaman 1dari 20

PERKEMBANGAN TAREKAT-TAREKAT DI

INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Disusun oleh :

Siti Zainab Asriyani (17108040070)


Muhamad Fuji Hakiki (17108040071)

Makalah ini disusun untuk memenuhi syarat-syarat dalam mata kuliah


Akhlak dan Taswuf

Dosen : Dr. Malik Ibrahim. M.Ag.

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018/2019
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang lebih pantas daripada syukur di dunia ini kepada Allah Swt.
Shalawat serta salam selalu tersampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Sang
revolusioner akhlak insan. Tanpa rahmat-Nya penyusun tidak dapat menyelesaikan
makalah ini secara tepat.

Terima kasih kami haturkan kepada Dr. Malik Ibrahim. M.Ag. sebagai
pengampu kami di mata kuliah Akhlak dan Tasawuf dengan kesabaran dan
keistiqomahannya mengajari kami hingga kami terang dalam pengetahuan.

Tentunya makalah ini jauh dari kata sempurna, namun penyusun mencoba
secara maksimal agar makalah ini dapat digunakan tidak hanya untuk penyusun tapi
juga oleh seluruh kalangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dengan sangat
atas kekurangan kami dalam makalah ini baik dari segi penulisan dan materi.

Yogyakarta, 4 Oktober 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3. Tujuan Pembahasan .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

2.1. Tarekat ...................................................................................................... 3

2.1.1. Pengertian .............................................................................................. 3

2.1.2. Metode-Metode (tarekat) untuk bersatu dengan Tuhan ......................... 4

2.1.3. Hubungan Tasawuf dan Tarekat ............................................................ 5

2.2. Penyebaran aliran atau organisasi tarekat di Indonesia secara historis .... 6

2.2.3. Tarekat qadiriyah ................................................................................... 6

2.2.2. Tarekat Rifaiyah .................................................................................... 7

2.2.3. Tarekat Samaniyah ................................................................................ 8

2.2.4. Tarekat Khalwatiyah .............................................................................. 8

2.2.5. Tarekat Al-Hadad .................................................................................. 9

2.2.6. Tarekat Khalidiyah ................................................................................ 9

2.2.7. Tarekat Bektasyi .................................................................................... 9

2.3. Perkembangan Tarekat Naqsabandiah secara Historis ........................... 10

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 16

3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Allah Swt menurunkan Islam sebagai agama kepada Nabi Muhammad Saw
untuk kemaslahatan dunia akhirat secara lahir batin. Didalamnya terkandung aspek
keyakinan (akidah), hukum (syariat), dan batin (hakikat).1 Secara keseluruhan,
ketiga aspek tersebut tidak ada artinya apabila disandarkan kepada akhlakul
karimah seseorang. Akhlak dianalogikan sebagai angka 1, sedangkan yang lainnya
dianalogikan sebagai angka 0 yang penempatannya setelah angka 1. Angka 1
apabila disandarkan nol disampingnya maka akan menjadi nilai lebih, namun
apabila tanpa angka 1 maka angka 0 itu tidak ada nilai atau artinya.

Akhlak adalah suatu fundamental dari diri manusia. Sesuatu yang melekat dan
tidak bisa diabaikan atas tindakannya. Akhlak terlihat dalam sikap, ucapan, dan
tindakannya seseorang. Bahkan, dalam suatu hadis Rasulullah Saw bersabda:

ِ ‫ِإنَّ َما ب ُِعثْتُ ألُت َِم َم َمك‬


ِ ‫َار َم األ َ ْخال‬
‫ق‬

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”


(HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 8952), Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad
(no. 273), al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Îmân (no. 7609), al-Khara’ith dalam
Makârim al-Akhlâq (no. 1), dan lainnya).2

Akhlak dalam bahasa Arab berasal dari kata khuluk berarti perilaku, sedangkan
dalam KBBI suatu budi pekerti atau kelakuan. Dalam Islam akhlak lebih
dimaksudkan sebagai suatu perilaku yang menghubungkan makhluk-Nya dengan
Allah Swt. Adapun pengertian akhlak menurut sang Hujjatul Islam yakni Abu
Hamid Al-Ghazali yaitu Akhlak adalah satu sifat yang terpatri dalam jiwa yang
darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memikirkan dirinya dan
merenung terlebih dahulu.3 Namun, diatas akhlak ada yang disebut dengan taqwa.

1
Alba, Cecep. 2012. Tasawuf dan Tarekat Dimensi Estoris Ajaran Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. Hlm. 1
2
http://www.irfanabunaveed.net/2016/07/mendudukkan-hadits-aku-diutus-untuk.html
3
http://pengertianahli.id/2013/10/pengertian-akhlak-menurut-para-ahli.html

1
Taqwa menurut Al-Ghazali yaitu sesuatu yang bisa dicapai dengan tercapainya
akhlakul karimah dibarengi dengan dzikir kepada Allah Swt (ath-Thusi 2017).

Untuk mencapai taqwa tersebut. Banyak ulama yang membuat organisasi untuk
menopang atau membuat jalan agar tercapainya taqwa tersebut. Adapun organisasi
tersebut sering disebut tarekat. Di Indonesia sendiri banyak sekali aliran atau
organisasi tarekat yang beredar, salah satunya yaitu Tarekat Naqsabandiah yang
persebarannya terbesar di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


Dari pernyataan di atas, terdapat pernyataan yang patut ditimbulkan menjadi
rumusan masalah bagi penyusun. Yakni sebagai berikut.

1. Apa itu Tarekat?


2. Bagaimana penyebaran aliran atau organisasi tarekat di Indonesia secara
historis?
3. Bagaimana perkembangan tarekat Naqsabandiah secara historis?

1.3. Tujuan Pembahasan


Adapun permasalahan yang ditanyakan di atas tujuannya sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui apa itu tarekat;


2. Untuk mengetahui penyebaran aliran atau organisasi tarekat di Indonesia
secara historis;
3. Untuk mengetahui perkembangan tarekat Naqsabandiah secara historis.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Tarekat
2.1.1. Pengertian
Tarekat (Arab: Tarîqah) berarti: 1. jalan, cara; 2. keadaan; 3. mazhab, aliran;
goresan/garis pada sesuatu; 5. tiang tempat berteduh, tongkat payung; atau 6. yang
terkenal dari suatu kaum. Dalam pengertian istilahî, tarekat berarti: 1.
pengembaraan mistik pada umumnya, yaitu gabungan seluruh ajaran dan aturan
praktis yang diambil dari al-Qur’an, sunnah Nabi Saw, dan pengalaman guru
spiritual; 2. persaudaraan sufi yang biasanya dinamai sesuai dengan nama
pendirinya.4
Tarekat dalam istilah Ilmuan Barat sering disebut Sufi Order. Kata order
digunakan dalam kelompok monastik besar Kristen seperti Fransiscan dan
Benedictan. Disepakati bersama bahwa kata order sebagai sekelompok manusia
yang hidup bersama dalam naungan disiplin yang sama. Namun pengartian yang
lebih rinci kata tersebut, terdapat perbedaan diantara Islam dan Kristen. Yakni
pemaknaan dalam kristen keharusan hidup mebujang bagi rahib-rahib Kristen,
sedangkan dalam Islam lebih sebagai institusi penyedia layanan sebagai pemandu
perjalanan mistik.5
Adapun Tarekat menurut istilah ulama tasawuf: 1. Jalan kepada Allah dengan
mengamalkan ulmu Tauhid, Fikih, dan Tasawuf; 2. Cara atau kaifiat mengerjakan
sesuatu amalan unuk mencapai sesuatu tujuan.6
Dari beberapa definisi di atas, dapat kita telusuri bahwa tarekat pada awalnya
adalah sebuah jalan pendekatan diri seorang hamba kepada Allah Swt. Namun
seiring berkembangnya zaman, banyaknya ulama yang berpola pikir dan pandangan
yang sama saling bahu membahu membuat suatu organisasi tarekat tersebut.

4
Fata, Ahmad Khoirul. 2011. “Tarekat.” Jurnal Al-Ulum 373-384. Hlm. 374
5
Ibid., Hlm. 375
6
Said, H. A. Fuad. 1996. Hakikat Tarikat Naqsyabandiah. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Hlm.
6

3
Ilmu tasawuf menerangkan: bahwa “syariat” itu hanyalah peraturan-peraturan
belaka, “tarekatlah” yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu.
Apabila “syariat” dan “tarekat” itu sudah dapat dikuasai, maka lahirlah “hakikat”
yang tidaklain daripada perbaikan keadaan dan ahwal, sedangkan tujuan ialah
“ma’rifat” yaitu mengenal Tuhan dan mencintai-Nya yang sebesar-besarnya dan
sebaik-baiknya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “syarait itu perkataanku, Tarekat
itu perbuatanku dan hakekat itu ialah kelakuanku”.7
2.1.2. Metode-Metode (tarekat) untuk bersatu dengan Tuhan
Untuk mencapai Hakikat (liqa Allah) bertemu dengan Allah kaum sufi
mengadakan kegiatan batin, riadhah/latihan dan mujahadah/perjuangan rohani.
Metode-metode itu antara lain:
 Hulul (Tuhan menjelma ke dalam Insan)
 Al-Isyraq (cahaya dari segala cahaya)
 Ittihad (Tuhan dan hamba berpadu menjadi satu)
 Ittisal (hamba dapat menghubungkan diri dengan Tuhan)
 Wihdatul-wujud (yang ada hanya satu)
Dalam istilah Sufi, perkataan “tarikat” berarti metode, cara atau jalan mendekati
Tuhan untuk “ma’rifat”. Bahwa adanya makhluk ini, karena Tuhan sebagai Khalik
ingin dikenal siapa Dia. Kesadaran diri sebagai makhluk, merupakan dorongan
untuk berkeinginan mencapai “ma’rifat” yakni mengenal tuhan atau “ liqa Allah”
sebaik-baiknya untuk siapa dipersembahkan segala amal-ibadah kita itu.
Karena tarekat itu adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka
orang-orang yang menjalankan tarekat itu harus menjalankan syari’at dan si murid
harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syari’at agama.
b. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dan
menlaksanakan perintah guru.
c. Tidak mencari-cari keringat dalam beramal agar tercapai kesempurnaan
yang hakiki.

7
Zahri, Dr. Mustafa. 1979. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

4
d. Berbuat dan mengisi waktu se-efisien mungkin dengan segala wirid dan
do’a guna pemantapan serta kekhusukan dalam mencapai maqomat
(stasion) yang lebih tinggi.
e. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang menodai amal.
Secara umum dasar-dasar dari semua tarekat dapat disimpulkan dalam lima hal :
a. Menuntut ilmu untuk menegakkan perintah.
b. Cinta kepada syekh dan persaudaraan untuk mendapatkan penglihatan yang
tajam.
c. Meninggalkan rukhsah dan takwil untuk memelihara keutamaan.
d. Mengisi waktu dengan wirid-wirid untuk selalu menghadirkan tuhan dalam
hati.
e. Mencurigai diri dari segala sesuatu agar dapat keluar dari hawa nafsu.
(Ahmad al-Kamas al-Khanawi : 11)8
Amalan-amalan yang dilakukan para penganut tarekat, antara lain :
1) Zikir, yaitu ingatan yang terus-menerus kepada Allah dalam hati serta
menyebutkan dengan lisan. Zikir ini berguna alat kontrol bagi hati, ucapan
dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetepkan
Allah.
2) Muzik, yaitu membaca wirid dan syair tertentu diiringi dengan bunyi-
bunyian (instrumental) music seperti memukul rebana dan alat musik
lainnya.
3) Rotib, yaitu mengucapkan lafadz la ilaha illallah dengan gaya gerak dan
irama tertentu.
4) Menari, yaitu gerakan yang dilakukan untuk mengiringi wirid-wirid tertentu
guna memunculkan suasana khidmat.
5) Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas sewaktu melakukan zikir.
2.1.3. Hubungan Tasawuf dan Tarekat
Tarekat mempunyai hubungan substansial dan fungsional dengan tasawuf.
Tarekat pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt

8
Utara, Tim Penyusun Lain Sumatera. 1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara: Penerbit
Lain.

5
dan wadah suatu komunitas manusia yang menjadi pengikut seorang syekh.
Kelompok ini kemudian menjadi lembaga-lembaga yang bersatu dan mengikuti
sejumlah pengikut dengan aturan-aturan sebagaimana disebut di atas. Dengan kata
lain, tarekat adalah tasawuf yang melembaga. Tasawuf adalah usaha mendekatkan
diri kepada Allah Swt, sedangkan tarekat adalah jalan yang ditempuh seseorang
dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah.9
Sebagai wadah yang terlembaga, tarekat merupakan kelanjutan dari pengikut-
pengikut sufi yang terdahulu. Perubahan tasawuf ke tarekat sebagai lembaga dapat
dilihat dari peran seorang tokoh sufi yang kemudian berkembang menjadi tarekat
yang lengkap dengan simbol-simbol dan unsur-unsur yang sudah dijelaskan di atas.
Dalam ilmu tasawuf, istilah tarekat itu tidak saja ditunjukan kepada aturan dan cara-
cara tertentu yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap
kelompok yang menjadi pengikut salah satu syekh tarekat, tetapi meliputi segala
aspek ajara-ajaran yang ada dalam agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji,
dan sebagainya, yang semuanya adalah merupakan jalan atau cara mendekatkan diri
kepada Allah Swt.
2.2. Penyebaran aliran atau organisasi tarekat di Indonesia secara historis
Tarekat-tarekat yang pernah ada dan berkembang di Indonesia cukup banyak,
akan tetapi sebagian hanya namanya saja yang tinggal sedangkan keterangan
mengenai tarikat tersebut memerlukan penelitian yang lebih lanjut, karena data-data
yang berhasil diperoleh hanya sedikit sekali.

Di antara tarekat-tarekat yang ada dan berkembang di Indonesia dapat


dikemukakan sebagai berikut :

2.2.3. Tarekat qadiriyah


Tarekat Qadiri atau Qadiriyah ini didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani
(1077-1166 M), sering juga disebut al-Jili. Dia terkenal dengan kekuatan ma’rifat-
nya. Dasar-dasar pokoknya ialah tinggi cita-citanya, menjaga kehormatan, baik
melayani, kuat pendirian dan membesarkan nikmat Tuhan.

9
Solihin, dan Rasyid Anwar. 2005. Akhlak Tasawuf Manusia Etika. Bandung: Nuansa.

6
Menurut tarekat Qadiriyah, siapa yang tinggi cita-citanya naiklah martabatnya.
Siapa yang memelihara kehormatan, maka Allah memelihara kehormatannya.
Siapa yang baik khidmatnya, kekallah ia dalam petunjuk. Siapa yang membesarkan
Allah (karena nikmat-Nya), maka dia mendapat tambahan nikmat dari-Nya.
Diantara amalan-amalan tarekat Qadiriyah, maka zikir adalah lafadz yang paling
penting. Antara satu aliran dengan aliran lainnya, lafadz zikirnya tidak semua sama.

“Tarekat Qadiriyah berpengaruh luas di dunia Timur, sampai-sampai ke Jawa dan


Tiongkok”. (Syed Ameer; 685). Pengaruh pendirinya ini sangat banyak meresap di
hati masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib yang sering dibacakan pada
waktu-waktu ada upacara walimatul’urus, anak lahir dan sebagainya. Naskah asli
manaqib dalam bahasa Arab dan pengarangnya tidak diketahui karena takut riya’
dan takabur, sedangkan yang menerjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah
Sayyid Ali Idris. Di sampul bukunya ada hiasan kubah Kutub Rabbaniy Baghdad
dan kutipan ayat Al-Qur’an berbunyi, “ketauhilah bahwa aulia Allah tidak gentar
dan tidak pernah merasa takut”. Tujuan dari pembacaan manaqib ini adalah untuk
mendapatkan berkah, karena Syekh Abdul Qadir Jailani terkenal dengan
keramatnya. Setiap do’a yang dibaca dalam majlis tahlil, tahtim, berzanji dan
sebagainya selalu disertakan menyebut nama Syekh Abdul Qadir al Jailani.

2.2.2. Tarekat Rifaiyah


Pendiri Tarekat Rifaiyah adalah Ahmad bin Abbas al-Rifai. Dia meninggal di
Umm Abidah pada tanggal 21 Jumadil Awal tahun 578 H bertepatan dengn tanggal
23 September tahun 1106 M. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa ia meninggal
pada tahun 512 H bertepatan dengan bulan November tahun 1118 M di Qaryah
Hasan. Tarekat Rifaiyah banyak tersebar di daeraah Aceh, Jawa, Sumatera Barat,
Sulawesi, dan daerah-daaerah lainnya.
Para penganut tarekat ini terkenal dengan kekeramatan dan ketinggian fatwanya.
Rifaiyah ini terkenal di Aceh dengan sebutan “Rifai” yaitu tabuhan rebana yang
berasal dari perkataan Rifa’i pendiri dan penyair tarekat ini. Kemudia dikenal di
Sumatera dengan permainan debus, yaitu menikam diri dengan sepotong senjata
tajam yang diiringi sengan zikir-zikir tertentu. Dabus dalam bahasa Arab artinya

7
besi yang tajam. Dabus ini berkembang di Jawa Barat. Tarekat Rifaiyah antara lain
mempunyai tiga prinsip, yaitu : tidak menerima sesuatu, tidaak menolak sesuatu,
dan tidak menunggu sesuatu.

2.2.3. Tarekat Samaniyah


Tarekat Samaniyah didirikan oleh Muhammad Tsaman yang meninggal tahun
1720 M di Madinah. Tarekat ini tersebar di wilayah Sumatera, khususnya
Palembang. Di Aceh dan Jakarta (khususnya pinggir kota), tarekat Samaniyah
mempunyai pengaruh dan penganut yang cukup luas.
Penganut tarekat Samaniyah biasa berzikir dengan suara yang keras dan
melingking. Sewaktu melantunkan zikir la ilaha illallah dalam intensitas yang
semakin cepat maka yang terdengar dari mereka hanya kata “hu” yang artinya “Dia
Allah”. Tarekat Samaniyah mengajari para pengikutnya untuk memperbanyak
shalat dan zikir, menolong orang miskin, tidak diperbudak kesenangan duniawi,
menukar akal basyariyah dengan akal rabaniyah, dan beriman secara tulus hanya
kepada Allah.
Menurut Dr. Snouck Hurgronye, bahwa Syekh Muhammad Tsaman disamping
ada ratib Tsaman, lebih popular di Aceh “Hikayat Tsaman”, ratib tsaman inilah
yang kemudian berubah menjadi suatu macam permainan rakyat yang terkenal
dengan nama Seudati, yang dimankan oleh delapan pria dan wanita. Permainan ini
dipimpin oleh seorang syekh dan seorang naibnya yang disebut “Aneuk Seudati”,
yang suaranya merdu mempesona.

2.2.4. Tarekat Khalwatiyah


Tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Zhahiruddin (w. 1397 M) dan Syekh Qasim
al-Khalawati di Khurasan. Tarekat ini merupakan cabang dari tarekat Syuhrawardi
yang didirikan oleh ‘Abd al-Qadir Syahrawardi yang meninggal tahun 1167 M.
tarekat Khalwatiyah banyak pengikutnya di Indonesia. Amalan tarekat ini mampu
mentranformasikan jiwa dari tingkat yang rendah ke yang lebih sempurna malalui
tujuh tingkatan nafsu, yaitu: nafsu amarah, nafsu lawamah, nafsu mulhamah, nafsu
muthma’innah, nafsu radhiyah, nafsu marshiyah dan nafsu kamilah.

8
Tarekat Khalwatiyah disebarkan di Banten oleh Syekh Yusuf al-Khalawati al-
Makasari pada zaman pemerintah Sultan Ageng Tirtayasa. Syekh Yusuf meniggal
padad tahun 1699 M sebagai pahlawan adama dan tanah air.

2.2.5. Tarekat Al-Hadad


Tarekat al-Hadad didirikan oleh Sayyid ‘Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-
Hadad. Dia lahir di Tarim, sebuah kota yang terletak di Hadramaut, tanggal 5 Shafar
tahun 1044 H. Dia adalah pencipta ratib hadad dan dianggap sebagai salah satu wali
qutub dan arifin dalam ilmu Tasawuf. Dia banyak mengarang kitab dalam ilmu
tasawuf salah satunya ialah Nashaih al-Akhirah (Nasihat-Nasihat Agama). Tarekat
al-Hadad banyak dikenal di Hadramaut, Indonesia, India, Hijaz, Afrika Timur, dan
lain-lain.
Menurut pengakuannya, ia mempunyai guru lebih dari seratus orang, akan tetapi
diantaranya yang dapat diketahui adalah, Sayyid bin Abdurrahman bin Muhammad
ni Akil as-Saqqaf, karena daripadanya ia mendapat ijazah atau khriqah sufi dan As-
Saqqaf ini adalah seorang tokoh sufi dari Mazhab Mulamatiyah.

2.2.6. Tarekat Khalidiyah


Tarekat Khalidiyah adalah salah satu cabang tarekat Naqsyabandiyah di Turki
yang berdiri pada abad ke XIX. Pokok-pokok tarekat Khalidiyah Dhiya’iyah
Majda’iyah diletakkan oleh Syekh Sulaiman Zuhdi al-Khalidi. Tarekat ini berisi
tentang adab dan zikir, tawasul dalam tarekat, adab suluk tentang salik dan
maqamnya, tentang rabithah dan beberapa fatwa pendek dari Syekh Sulaiman.
Zuhdi al-Khalidi mengenai beberapa persoalan yang diterimanya dari
bermacam-macam daerah, dimana tersiar tarekat ini termasuk daerah Indonesia,
mengenai talqin wanita oleh guru laki-laki, tentang khalifah-khalifah yang
meninggalkan petunjuk gurunya, tentang istiqomah dan pertanyaan-pertanyaan
lain, diantaranya berasal dari Abdurrahman bin Yusuf al-Jawi al-Banjari.

2.2.7. Tarekat Bektasyi


Tarekat Beltasyi diperkirakan sudah ada di Mesir sejak abad ke-17 dan abad ke-
18. Tarekat ini menghimpun para wali asal Turki dan Balkan menyusul masuknya
kekuasaan Turki Utsmani ke Mesir. Tarekat popular ini mengalami perkembangan

9
pesat pada masa Khedive Ismail. Sehubungan dengan sifatnya yang popular, di
Mesir tersebar beberapa cerota yang berhubungan keajaiban-keajaiban dan
karamah para pendiri tarekat Bektasyi.

Pada masa Sultan Mahmud II, Tarekat Bektasyi dibubarkan, tetapi di Mesir
justru mendapatkan perlindungan dan mengalami perkembangan karena penguasa
Mesir pada waktu itu berasal dari kalangan tentara Turki pengikut tarekat Bektasyi.

2.3. Perkembangan Tarekat Naqsabandiah secara Historis


Dari paparan aliran-aliran tarekat diatas, yang paling berkembang dan banyak
penganutnya adalah tarekat Naqsabandiah. Tarekat ini memiliki tiga cabang;
Mazhariyah, Khalidiyah dan Qadiriyah.

Dari ketiga cabang tersebut ada perpaduan antara tarekat Naqsabandiah dengan
cabangnya. Salah satunya tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yaitu perpaduan dua
tarekat yang diciptakan oleh seorang sufi bernama Ahmad Khatib Sambasi dari
Kalimantan sekitar pertengahan abad 19.

Untuk melihat lebih jauh, kita juga perlu mencari bukti bagaimana tarekat ini
telah berkembang dan diamalkan di Indonesia pada abad 19. Laporan-laporan yang
diberikan sebelum Snouck membuktikan bahwa tarekat ini telah tersebar di Cianjur,
Sumedang dan Sukabumi. Bahkan di Cianjur, menurut informasi ini, seluruh
bangsawan telah bergabung dengan tarekat Naqsabandiyah. Bupati dan penghulu
kepala Cianjur sendiri adalah seorang pengikut Naqsabandiyah, dan beberapa
saudaranya malah menjadi guru tarekat. Informasi lain dari van den Berg (1883)
mengatakan bahwa tarekat Naqsabandiyah juga telah diamalkan oleh orang Aceh,
Jawa Tengah dan Jawa Timur.10

Tarekat Naqsabandiah berkembang signifikan ketika Syekh Ahmad Khatib


Sambas (w. 1878) ketika memperkenalkan tarekat Qadiriyah Naqsabandiah pada
tahun 1850-an. Tarekat ini sangat berkembang di Banten akibat keterlibatan
muridnya yaitu Syekh Abdul Karim, khususnya kalangan masyarakat kecil di

10
Noupal, Muhammad. 2016. “Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia Abad 19.” Intizar 297-318.
Hlm. 303

10
pedesaan. Sekitar tahun 1860-an Tarekat Naqsabandiah berkembang di Riau dan
Sumatera Barat karena pengaruh Syekh Ismail Minangkabau

Dugaan sementara dapat kita berikan bahwa sampai awal abad 20, tarekat
Naqsabandiyah telah diamalkan oleh banyak penduduk. Sepanjang masa inilah kita
melihat gerakan tarekat menemukan momentumnya di Indonesia.

Dari catatan sejarah tersebut, dapat diduga bahwa tarekat Naqsabandiah sudah
berkembang di dataran Indonesia sejak abad 19. Dalam momentumnya, Suminto
mencatatkan tiga kejadian penting yaitu peristiwa Cianjur (1885), pemberontakan
Cilegon (1888) dan peristiwa Garut (1919) sebagai aksi gerakan tarekat.

Tetapi kita perlu melihat mengapa penduduk Islam saat itu—khususnya di


Jawa—sangat tertarik kepada tarekat. Bahkan Martin sendiri mengajukan beberapa
pertanyaan yang cukup penting; mengapa tarekat tumbuh pesat? Apakah keadaan
di Indoensia yang membuat orang merasa lebih tertarik kepada tarekat
dibandingkan sebelumnya, ataukah telah terjadi perubahan tertentu dalam tarekat
itu sendiri sehingga tiba-tiba menjadi lebih memikat? Mungkinkah karena tarekat
menjadi lebih anti penjajahan ataukah para syekh tarekat pada tahun 1880-an
memang penuh karismatik ? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diuraikan untuk
mencari jawaban yang mendasar tentang sejarah tarekat di Indoensia pada masa
itu.11

Tarekat memang memiliki daya tarik tersendiri di kalangan penduduk muslim.


Besarnya keinginan masyarakat untuk ikut dalam tarekat pada saat itu tidak luput
dari perhatian Snouck. Ia pernah mengatakan bahwa “beribu-ribu orang Jawa dan
Melayu dari semua umur dan tingkatan, yang derajat pengetahuan mereka tentang
agama masih sangat rendah, telah ditampung dalam tarekat”.

Bahkan “sejak semula muslim Indonesia lebih menghargai mistik12 dari pada
syariat, berfikir atau merenung yang bersifat keagamaan. Aktivitas mistik lebih

11
Ibid., Hlm. 304
12
Menurut KBBI “Subsistem yang ada dalam hampir semua agama dan sistem religi untuk
memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan; tasawuf; suluk,
hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa

11
dipentingkan dari pada menunaikan kewajiban beribadah yang tidak terbilang
banyaknya”. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa “mistik dalam bentuknya yang
beraneka ragam itu telah memancarkan pengaruhnya kepada seluruh lapisan
masyarakat”.

Mungkin Snouck agak berlebihan ketika menyebut bahwa muslim Indonesia


lebih menghargai mistik ketimbang syariat. Tapi penilaian ini setidaknya sama
dengan yang dikemukakan Clifford Geertz bahwa sampai dekade kedua abad 20,
berbagai pesantren di daerah pedesaan dan tarekat masih diwarnai secara mistis. Di
kalangan penganut tarekat Qadiriyah Naqsbandiyah sendiri, jimat dan kekuatan
pelindung bukan sesuatu yang asing. Melalui jimat-jimat itu para guru atau kiayi
tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah berusaha memindahkan kekuatan pelindung
magis dan untuk meyakinkan para pengikutnya akan kekebalan mereka ketika
peperangan terjadi.13

Unsur mistik atau mungkin lebih tepat disebut sinkretik, memang melekat dalam
Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Tetapi kita akan kesulitan menentukan apakah
unsur sinkretik itu memang timbul dari tarekat atau ikut masuk ke dalam tarekat.
Biasanya informasi dari pemerintah Belanda tentang sinkretisme ini selalu
berhubungan dengan kepercayaan, bukan tarekat. Misalnya ketika pendapat yang
lazim ketika itu mengatakan bahwa orang Indonesia bukanlah muslim betulan;
kepribadian orang Indonesia masih dibentuk oleh agama-agama sebelumnya
(Hindu, Buddha dan kepercayaan animisme). Juga pada tahun 1883, Poensen,
seorang penginjil Protestan mengatakan bahwa mayoritas dari keseluruhan jumlah
penduduk mengaku sebagai muslim, tetapi “yang mereka ketahui tentang Islam
tidak lebih dari pada sunatan, puasa, daging babi itu haram dimakan, adanya grebeg
besar dan grebeg mulud dan berbagai hari raya lainnya.14

Tentunya hal seperti ini tidak dapat dimasukkan dalam tarekat. Tetapi
kecenderungan ke arah itu pernah dikemukakan oleh Snouck sendiri; ketika ia
mengatakan bahwa “sangatlah besar perhatian dari masyarakat Jawa untuk

13
Ibid., Hlm. 304
14
Ibid., Hlm. 305

12
memiliki cara-cara ajaib agar dapat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat;
bagaimana para penipu yang licin mengambil kesempatan untuk menyalahgunakan
keinginan, yang disertai sifat mudah percaya, untuk menarik orang-orang yang lugu
ke dalam tarekat mereka, dan kemudian mempergunakan kepatuhan dan
kedermawanan mereka untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri”.
Bahkan ia juga melihat bahwa masih berlaku kehidupan yang terpengaruh oleh
bayangan kegaiban, berbagai adat kebiasaan dan khayalan keberhalaan semasa
sebelum Islam masuk ke Jawa, seperti juga daerah lain. Penyalahgunaan dan
pemujaan berhala masih ada di mana-mana. Yang lebih buruk lagi adalah bahwa
para Syekh dan pembantu mereka (khalîfah) yang baik maupun yang buruk dari
tarekat-tarekat yang sah, yang patuh kepada hukum, secara besar-besaran
menyalahgunakan jabatan sebagai pencari nafkah atau sebagai dasar untuk
kekuasaan pribadi seperti yang terjadi pada tarekat Naqsabandiyah”.

Kecenderungan inilah yang mungkin menjadi jawaban dari pertanyaan Martin


mengapa penduduk Islam di Indonesia sangat menyukai tarekat. Bila demikian,
maka kecenderungan ini pun berhubungan dengan aspek budaya, yang berarti
sinkretisme keberagamaan mereka berjalan seiring dengan tarekat. Tidak heran jika
kritikan terhadap tarekat pada waktu itu disebabkan karena adanya unsur-unsur
mistik tarekat.
Kita juga tidak menampik pernyataan Snouck bahwa mistik lebih diminati dari
pada syariat. Tetapi hal ini mungkin berlaku dalam kehidupan masyarakat awam
dengan tradisi Hindu dan Budha yang masih kuat. Dengan kata lain, pada beberapa
tempat, tarekat memang dijalankan dengan benar. Ortodoksi tarekat Naqsabandiyah
misalnya, dijalankan melalui penekanan shalah wajib serta pembacaan doa dan
wirid. Sedangkan dominasi fiqh dalam wacana pesantren saat itu turut menjadi
bukti bahwa tradisi mistik tidak seluruhnya dijalankan oleh masyarakat Islam.
Penyimpangan dalam dunia tasawuf—yang disebut bid’ah—memang pernah
dilakukan oleh tarekat Syattariyah. Tarekat yang telah berkembang lama sebelum
Naqsabandiyah ini mengajarkan konsep filosofis Martabat Tujuh serta tidak
menekankan kewajiban shalat lima waktu.

13
Bila persoalan bid’ah dalam tarekat diidentikkan dengan unsur mistik, maka
tulisan-tulisan seperti Serat Gotoloco, Dormogandul, Centini atau Cebolek adalah
bukti yang dapat kita majukan. Kitab-kitab tersebut bertanggung jawab terhadap
kesesatan dalam dunia tasawuf; selain beberapa terjemahan Jawa tentang syari’ah
dan akidah yang kurang baik dari sumber aslinya.
Kecenderungan tarekat ke arah mistik mungkin lebih tepat bila kita hubungkan
dengan cerita-cerita keramat (karâmah) yang berkembang di kalangan penduduk.
Snouck sendiri pernah menyebutkan cerita-cerita ini, yang tidak saja berkembang
di kalangan penduduk tetapi juga di kalangan orang-orang terpelajar. “Tentang
setiap wali, demikian Snouck, ada dongengnya sendiri, dengan keramat-keramat,
Yaitu tanda-tanda keajaiban karunia Allah, sebagai tema utama. Para wali bergerak
melintasi angkasa, di dalam air, di bawah tanah dengan kecepatan yang mustahil
bagi manusia biasa”.15
Tetapi tentu saja citra mistik yang melekat dalam tarekat sampai pada abad 19
tidak seluruhnya benar. Al-Raniri, misalnya menekankan pentingnya syari’at dalam
praktek tasawuf dengan menulis sebuah buku berjudul Sirat al-Mustaqim. Dialah
orang pertama di Nusantara yang menjelaskan perbedaan antara penafsiran dan
pemahaman yang salah maupun yang benar atas doktrin-doktrin dan praktek-
praktek sufi. Penekanan kepada aspek syari’ah juga terlihat dengan diterimanya
Ihya`‘Ulum al-Din karya al-Ghazali sebagai buku ajar guru sufi di madrasah
Haramain. Seorang ulama Palembang, Syaikh Abd al-Samad, menulis Hidayat al-
Salikin dan Sair al-Salikin yang merupakan terjemahan dari Bidayat al-Hidayah
dan Lubab Ihya` Ulum al-Din karya al-Ghazali. Menurut Quzwain, al-Falimbani
merasa terpanggil untuk menerjemahkan kitab-kitab tasawuf yang dianggapnya
dapat memberikan bimbingan yang benar dan efektif bagi para penggemar tasawuf
yang belum memiliki dasar pengetahuan agama yang kuat.
Tarekat pada abad 19 cenderung dinilai sebagai kemunduran bagi umat Islam,
tapi bila menelisik sejarah justru tarekat mempunyai andil penting dalam
perkembangan kehidupan masyarakat nusantara. Seperti paparan pendapat Dosen

15
Ibid., Hlm. 306

14
Pascasarjana Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung DR. Ajid Tohir,
"Dulu sekitar tahun 1970-an kelompok thariqah menjadi sasaran empuk kelompok
reformis karena thariqah dianggap sebagai kemunduran Islam. Padahal sebenarnya
thariqah punya peran besar dalam melawan penjajah.”16
Sampai sekarang, tarekat Naqsabandiah masih sangat eksis di Indonesia. Bahkan
Organisasi Islam di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) resmi
memproklamirkan bahwa tarekat Naqsabandiah sebagai aliran tarekat yang dianut
di bawah kepengurusan badan otonom JATMAN (Jamiyyah Ahli Thariqah Al
Mu'tabarah An Nahdliyyah) disamping 44 aliran tarekat lainnya.
Karena dalam aspek historis, NU yang didirikan oleh Syekh Hasyim Asy’ari
merupakan pengitkut tarekat Qadariyah Naqsabandiah dan juga adanya persamaan
dalam gaya kepemimpinan mereka yang menggunakan kepemimpinan yang
paternalistik dan kharismatik sekaligus.17

16
http://www.nu.or.id/post/read/57609/tarekat-adalah-pilar-dan-ruh-nu
17
Arifan, Fadh Ahmad. 2014. “Kaitan Antara NU dengan Tasawuf dan Tarekat.” - 1-4. Hlm. 2

15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Tarekat (Arab: Tarîqah) berarti: 1. jalan, cara; 2. keadaan; 3. mazhab,
aliran; goresan/garis pada sesuatu; 5. tiang tempat berteduh, tongkat
payung; atau 6. yang terkenal dari suatu kaum. Dalam pengertian istilahî,
tarekat berarti: 1. pengembaraan mistik pada umumnya, yaitu gabungan
seluruh ajaran dan aturan praktis yang diambil dari al-Qur’an, sunnah Nabi
Saw, dan pengalaman guru spiritual; 2. persaudaraan sufi yang biasanya
dinamai sesuai dengan nama pendirinya.

Metode-metode untuk mencapai hakikat Allah:


a. Hulul (Tuhan menjelma ke dalam Insan)
b. Al-Isyraq (cahaya dari segala cahaya)
c. Ittihad (Tuhan dan hamba berpadu menjadi satu)
d. Ittisal (hamba dapat menghubungkan diri dengan Tuhan)
e. Wihdatul-wujud (yang ada hanya satu)
Tasawuf adalah usaha pendekatan kepada Allah Swt dan Tarekat
dianalogikan sebagai wadahnya.

2. Tarekat-tarekat yang pernah ada dan berkembang di Indonesia yaitu:

 Tarekat Qadiriyah  Tarekat Al-Hadad


 Tarekat Rifaiyah  Tarekat Khaladiyah
 Tarekat Samaniyah  Tarekat Bektasyi
 Tarekat Khalwatiyah  Tarekat Naqsabandiah

3. Dari aliran tarekat yang berkembang di Indonesia. Tarekat Naqsabandiah


adalah tarekat terbesar dan masih eksis hingga saat ini. Tarekat ini memiliki
tiga cabang; Mazhariyah, Khalidiyah dan Qadiriyah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Alawi, Abdullah, dan Aiz Luthfi. 2015. NU Online. 14 Februari. Diakses Oktober
4, 2018. http://www.nu.or.id/post/read/57609/tarekat-adalah-pilar-dan-ruh-
nu.

Alba, Cecep. 2012. Tasawuf dan Tarekat Dimensi Estoris Ajaran Islam. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.

Arifan, Fadh Ahmad. 2014. “Kaitan Antara NU dengan Tasawuf dan Tarekat.” -
1-4.

Ashar, Fajar. 2013. Pengertian Ahli. 1 Oktober. Diakses Oktober 4, 2018.


http://pengertianahli.id/2013/10/pengertian-akhlak-menurut-para-
ahli.html.

ath-Thusi, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.


2017. Terjemahan Mukhtasar Ihya 'Ulumiddin. Jakarta: Wali Pustaka.
Fata, Ahmad Khoirul. 2011. “Tarekat.” Jurnal Al-Ulum 373-384.

Naveed, Irfan Abu. 2016. Irfan Abu Naveed. 1 Juli. Diakses Oktober 4, 2018.
http://www.irfanabunaveed.net/2016/07/mendudukkan-hadits-aku-diutus-
untuk.html.

Noupal, Muhammad. 2016. “Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia Abad 19.”


Intizar 297-318.

Said, Fuad. 1996. Hakikat Tarikat Naqsyabandiah. Jakarta: Mutiara Sumber


Widya.

Said, H. A. Fuad. 1996. Hakikat Tarikat Naqsyabandiah. Jakarta: Mutiara Sumber


Widya.

Solihin, dan Rasyid Anwar. 2005. Akhlak Tasawuf Manusia Etika. Bandung:
Nuansa.

Utara, Tim Penyusun Lain Sumatera. 1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera
Utara: Penerbit Lain.
Zahri, Dr. Mustafa. 1979. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina
Ilmu.

17

Anda mungkin juga menyukai