Anda di halaman 1dari 2

Antara Salafiyah Dulu dan Kini

Akhir-akhir ini banyak ditemukan anomali tentang ke-Islaman yang dipandang oleh
sebagian pihak terasa berbeda antar-saudara muslim. Khususnya dalam segi praktek ibadah
yang terlihat secara kasatmata, mereka menamakan dirinya sebagai golongan sufi atau
salafiyah. Bila ditarik ulur, istilah salafiyah sering kita dengar diterapkan kepada pondok
pesantren setanah air. Di zaman sekarangpun sebenarnya masih digunakan, yang mana
digunakan untuk membedakan mana pondok pesantren salafi (Kuno) dan mana pondok
pesantren modern. Tentu yang lebih spesifiknya berbeda dalam segi pengajaran, bukan hanya
dalam penamaan. Lantas, apa maksud dan arti salafiyah di atas? Bagaimana tanggapan kita
sebagai umat muslim yang bijak? Alangkah baiknya kita timbang terlebih dahulu sebagaimana
yang telah diajarkan pendahulu kita khususnya Nabi Muhammad Saw.

Salaf bila diartikan dalam segi bahasa yaitu sesuatu yang terdahulu atau kuno.
Pemaknaan salafiyah akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang cukup menarik, nyatanya
pada zaman sekarang ini pemaknaan dan pemaksudannya sudah berbeda antara arti salafiyah
dulu dan kini. Lantas kapan proses terjadinya peralihan tersebut? Menurut KH. Jalal Suyuthi
(Pimpinan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta) dalam acara pengajian mingguan 12
November 2017 bertutur bahwa, peralihan tersebut terjadi antara tahun 2000-an. Menurutnya
aliran salaf sebelum tahun 2000 lebih cenderung kepada pemikiran, epistemologi, dan lain-lain
yang merujuk kepada tabi’it tabi’in, sedangkan aliran salaf setelah tahun 2000 lebih cenderung
merujuk kepada sahabat dan nabi secara langsung tanpa perantara tabi’in dan tabi’it tabi’in.
Sehingga terlihat jelas perbedaannya ketika kita mengetahui dasarnya dalam segi praktek dan
pemahaman masing-masing. Bila dilihat dalam segi keilmuan, ketika zaman sahabat sampai
nabi belum adanya keilmuan yang membahas secara detail tentang fiqh, ushul fiqh, dan lain-
lain. Karena ketika zaman Nabi, sahabat hanya diperintah untuk mengikuti apa yang
diperintahkan oleh Nabi dan bila ada masalah yang belum diketahui solusinya maka sahabat
langsung menanyakannya kepada Nabi. Sehingga, aliran salaf sekarang lebih cenderung
membid’ahkan yang tidak ada asal-usulnya dari sahabat ataupun Nabi. Sedangkan, aliran salaf
dulu lebih menimbang dari segi yang sudah ditetapkan nabi, sahabat, dan juga tabi’in sampai
tabi’it tabi’in. Sehingga, aliran salaf dulu lebih bijak dalam membid’ahkan sesuatu. Karena
menurut konsepnya, adakalanya bid’ah yang baik untuk diterapkan dan juga ada yang tidak
baik untuk diterapkan. Bila ditarik ulur sejarah kembali, Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran
agama Islam melalui wayang kulit yang mana itu tidak ada di zaman sahabat ataupun nabi. Hal
ini bisa dikatakan bid’ah yang baik, karena menimbulkan sesuatu yang positif menurut aliran
sufi dulu. Bila dilihat dalam segi berpakaian, aliran salaf sekarang cenderung menggunakan
celana yang panjangnya di atas mata kaki karena merujuk pada hadis nabi yang menganjurkan
bercelana di atas mata kaki. Sedangkan aliran salaf dulu menurut KH. Jalal Suyuthi, Imam Al-
Mawardi bertutur bahwa berpakaian adalah suatu kepantasan. Manusia menurutnya anak
zaman, yang mana ikut berkembang dengan zamannya. Sehingga bila dilihat pada zaman
sekarang, bercelana diatas mata kaki cenderung kurang pantas dan sopan secara formal karena
modenya yang sudah berubah. Begitupun norma-norma juga ikut berkembang seiring
perubahan zaman. Menurutnya, batas Allah tetap batas Allah tapi kepantasan itu bervariasi.

Sebagai muslim yang bijak, tentu ini perhatian khusus untuk dibahas. Nyatanya di
zaman sekarang ini semakin berkembangnya paham-paham yang terbilang baru bagi sebagian
kalangan. Namun, bukanlah menjadi suatu halangan untuk terus bertoleransi terhadap sesama.
Semua perlu berkembang seiring setiap unsur di muka bumi ini berkembang. Di satu sisi
berkembang maka di satu sisi lain harus dan berani berkembang khususnya toleransi ini. Dalam
menanggapi perbedaan, manusia seharusnya mencari tahu hal apa yang bedanya dan atas dasar
apa. Karena ketika sudah diketahui akar masalahnya, maka bukanlah tidak mungkin kita bisa
saling toleransi. Alangkah lebih baiknya kita lebih terfokus kepada aktivitas kita masing-
masing ketimbang kita terus saling mencari kesalahan dan menyalahkan satu sama lain,
sungguh itu bukan diharapkan oleh Allah Swt. Karena kebenaran suatu hal sesungguhnya
hanya bisa dihakimi oleh Allah Swt sebagai hakim yang sesungguhnya. Menurut KH. Jalal
Suyuthi, kelak ketika kita mengerti perbedaannya kita tahu harus di mana berdiri.

Anda mungkin juga menyukai