Ditoleransi
S
eringkali kita dapatkan ketika para dai mengoreksi sebuah kesalahan
dalam beragama atau memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu
yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti
Sudahlah biarkan saja, ini khan
Seringkali kita
dapatkan ketika para
dai mengoreksi
sebuah kesalahan
dalam beragama
atau memberikan
nasehat untuk
meninggalkan
sesuatu yang salah
mereka menghadapi
pernyataan-
pernyataan seperti
Sudahlah biarkan
saja, ini khan khilafiyah atau Orang sudah pergi ke bulan koq masih membahas khilafiyah
atau Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah. Pada hakikatnya pernyataan-
pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa
membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih khilafiyah pun dipakai.
Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap khilafiyah itu ternyata bukan khilafiyah,
namun terkadang memang khilafiyah. Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang ternyata
yang dibahas adalah perkara khilafiyah. Kami akan tunjukkan bahwa tidak semua perkara
khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.
Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam yang
memerintahkan kita untuk berhukum dengan Quran dan Sunnah ketika terjadi perselisihan.
Allah Taala berfirman:
Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa: 59)
Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah (QS.
Asy Syura: 10)
Hadits ini juga memberi faidah bahwa Quran dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para
salaf. Selain itu, Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda:
Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73
golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya: Siapakah
yang satu golongan itu, ya Rasulullah?. Beliau menjawab: Orang-orang yang mengikutiku
dan para sahabatku (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) AlIraqi berkata:
Semua sanadnya jayyid)
Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan
tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabiin
dan tabiut tabiin. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut
toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal,
hanya dengan dalih ini khan khilafiyyah.
Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil
Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami
mengambilnya (dalilnya) (Diriwayatkan Ibnu Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu
Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)
Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafii, Al Auzai maupun Ats
Tsauri. Ambilah darimana mereka mengambil (dalil) (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam
Al Ilam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)
Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah
Shallallahualaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat
siapapun (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al Ilam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah
Shalatin Nabi, 28 )
Para ulama bukan manusia mashum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam
kesalahan. Terkadang masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah
karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik
berkata:
Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap
yang sesuai dengan Quran dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Quran
dan Sunnah, tinggalkanlah.. (Diriwayatkan Ibnu Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm
dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)
Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama
demi mengikuti nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At
Taimi berkata,
Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil
setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh
keburukan (Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Hilyatul Auliya, 3172)
Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: Ada banyak permasalahan yang para ulama
berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama
di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau
kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap
orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli
bidah, atau menuduhnya berbuat bidah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita
mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap
pendapat yang kita pegang itu lebih tepat. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak
boleh diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa,
atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau
ijma yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari
menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya,
menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan
dengan dalil, ini juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika
perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya.
Beliau melanjutkan: Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada
pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat
menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah
menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama.
Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma dan
memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang
mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun muqallid (Ilamul
Muwaqqiin, 3/224)
1. Qunut Subuh
Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan
maghrib (HR. Muslim 678)
: : :
:
:
Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau
mendoakan keburukan terhadap Rilan dan Dzakwan serta Ushayyah yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)
Atsar Ibnu Abbas Radhiallahuanhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/312-313)
dengan sanad shahih dari Abi Raja ia berkata: Aku shalat shubuh bersama Ibnu Abbas
di Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum ruku (Dinukil dari Mafatihul Fiqh,
103)
Dan beberapa hadits shahih dan atsar lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Asy Syafii,
Imam Malik, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Abi Yala, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan Daud
Rahimahumullah.
Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bidah bila
mengkhususkannya pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
:
Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau
mendoakan keburukan terhadap Rilan dan Dzakwan serta Ushayyah yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)
Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Rilan,
Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.
Ya Allah, tolonglah Ayyash bin Abi Rabiah. Ya Allah, tolonglah Walid bin Al Walid. Ya
Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum
muminin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah,
jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati
Yusuf (HR. Bukhari 1006, 2932, 3386)
{
Dari ayahku, ia berkata: Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahualaihi
Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu
Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar
namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia
tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca
Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bidah (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At
Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih)
Atsar Ibnu Umar dari Abul Syasya, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad
shahih:
Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa
tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)
Atsar dari Ibnu Masud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad shahih yang
menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika shalat subuh (Dinukil dari
Mafatihul Fiqh, 106).
Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan dengan
musibah. Ibnul Qayyim berkata: Petunjuk Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam
dalam berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan
tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat
Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh
(Zaadul Maad 273/1).
Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir
Imam Ahmad, Ibnu Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang
shahih, didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabiin dan tabiut tabiin), dan
sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syari. Maka setiap pendapat dalam
permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot beliau
putih seperti tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Ubahlah
warna rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan hitam (HR. Muslim, 2102)
Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna hitam
bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya surga (HR.
Abu Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang yang
semisalnya dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang dinukil oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/367)
Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu Abbas tidak bisa mencium wangi surga
bukan karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena perbuatan lain yang
termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam hanyalah ciri kebanyakan
mereka.
Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad shahih
bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
Atsar dari Said bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan sanad
shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
Dan beberapa atsar shahih lain dari para tabiin bahwa mereka memakruhkan hal ini. Pendapat
ini dipegang oleh Imam Malik dan Ibnu Abdil Barr.
Namun perlu menjadi catatan, bahwa makruh dalam perkataan salaf sering bermakna haram
sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim dalam Ilam Al Muwaqiin.
Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang
shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin, dan sisi pendalilan
yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syari. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini
selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
Hadits Abu Musa Al Asyari dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahualaihi
Wasallambersabda:
Tidak sah nikah kecuali dengan wali (HR. Abu Daud 2/568, Ahmad 4/394.
Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami 7555)
Wanita mana saja yang menikah tanpa walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal,
nikahnya batal! Jika mempelai pria sudah menjimai-nya, maka mempelai wanita berhak
atas maharnya sebagai kompensasi atas persetubuhan yang telah terjadi. Jika wanita ini
tidak memiliki wali, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali
(HR. Abu Daud 2/568. Dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 1840)
Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri (HR. Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam
At Talkhis 3/157)
Dan dalil-dalil yang lain. Sehingga jelas bahwa pendapat Imam Abu Hanifah adalah pendapat
yang bertentangan dengan dalil syari dan tidak boleh ditoleransi. Para ulama mengatakan bahwa
kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah. Walhasil, kita
tidak boleh mentoleransi wanita yang menikah tanpa wali, walaupun ini termasuk perkara
khilafiyah.
! : .
: :
:
! : .
: .
Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam, ada seorang lelaki
yang berdoa istiftah: . Rasulullah
Shallallahualaihi Wasallam lalu bersabda: Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu
langit. Ibnu Umar pun berkata:Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau
berkata demikian. (HR. Muslim 2/99)
Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-macam doa istiftah yang
dipraktekkan oleh Nabi Shallallahualaihi Wasallam. Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat
Imam Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan dengan banyak dalil syari.
Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada
Imam Malik. Walhasil, kita tidak boleh membiarkan orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah
adalah bidah, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.
As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah beberapa ulama yang
memfatwakan bolehnya merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahualaihi Wasallam.
Namun pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih atau pemahaman para salaf,
kecuali hadits-hadits dhaif, istihsan atau qiyas. Pendapat ini bertentangan dengan kaidah-kaidah
syari yang fundamental, diantaranya:
Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyariatkan atau ditetapkan berdasarkan dalil.
Mensyariatkan ibadah tanpa dalil akan termasuk yang disebut dalam firman Allah:
Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan
(agama) kami, maka amalan itu tertolak (Muttafaq alaihi)
Hadist dhaif tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan sebuah ibadah dan
Sebagaimana juga mereka bersepakat tidak boleh menggunakan qiyas dalam masalah
aqidah. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah aqidah. Dengan kata lain, ini
bukan ranah ijtihad. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal Nabi Shallallahualaihi Wasallam.
Namun dalam kurun waktu selama itu tidak ada di antara mereka yang merayakan
Maulid Nabi. Andai Maulid Nabi itu baik, maka para sahabatlah yang paling dahulu
memulainya. Karena merekalah yang paling bersemangat dalam kebaikan dan paling
cinta terhadap Nabi Shallallahualaihi Wasallam.
Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabiin dan tabiut tabiin merayakan Maulid Nabi
Tidak ada riwayat shahih bahwa seorang pun dari Imam Madzhab yang empat merayakan
Maulid Nabi
Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak bisa ditoleransi
walaupun memang khilafiyah.
Sumber: https://muslim.or.id/8216-tidak-semua-pendapat-dalam-khilafiyah-ditoleransi.html