Anda di halaman 1dari 21

MEMAHAMI

IKHTILAF
Oleh: D. Hamdani

E-Mail: dnh.hamdani@gmail.com
www.danihamdani.wordpress.com
Dustur Illahi
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah
Rasul SAW dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada
Allah SWT (Al-Qur’an) dan Rasul SAW (Sunnah), jika kamu
beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu,
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)

Kandungan ayat:
◦ Perintah untuk taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW (bersifat
mutlak).
◦ Perintah untuk taat kepada Ulil Amri (bersifat tidak mutlak), selama tidak
menyelisihi Allah SWT dan Rasulullah SAW.
◦ Jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Al-
Qur’an dan Sunnah.
Sebab Ikhtilaf #1
Perbedaan kapasitas intelektual dalam memahami dan menangkap
kedalaman makna-makna dalil serta dalam mengambil keputusan
hukum. Agama ini bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang
kemudian diinterpretasi oleh akal manusia berdasarkan struktur
bahasanya.
Perbedaan keluasan ilmu para ulama. Maka sangat mungkin ada
suatu hadits atau ilmu tertentu yang sampai kepada beberapa ulama
tertentu dan belum sampai kepada ulama lainnya.
Perbedaan lingkungan yang antara lain menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam pola penerapan hukum.
Perbedaan tingkat ketenangan hati dalam menerima suatu riwayat.
Perbedaan dalam menentukan tingkat kekuatan dalil kepada hukum
tertentu.
(Al-Banna, 2005: 47-48)
Sebab Ikhtilaf #2
Perbedaan makna lafaz teks arab.
Perbedaan riwayat.
Perbedaan sumber-sumber pengambilan
hukum.
Perbedaan kaidah ushul fiqh.
Ijtihad dengan qiyas.
Pertentangan dan tarjih antar dalil-dalil.
(Sarwat, 91-96)
3 Tingkatan Seseorang
Berikhtilaf
Orang berselisih tentang dzat agama itu sendiri, atau
tentang prinsip-prinsipnya yang sudah mapan,
termasuk hal-hal yang secara mendasar diketahui dari
agama.  Yahudi, Nasrani, Majusi, Mulhid.
Ini terdapat dalam tubuh umat Islam, yaitu orang yang
bertemu dalam pokok agama namun berbeda dalam
sebagian kaidah globalnya.
Ini terjadi pada orang yang telah bersepakat, namun
bukan pada pokok agama, prinsip-prinsipnya, atau
garis besarnya, namun terjadi pada cabang-cabangnya.
(Al-Wasyli, 2005: 237-238)
Dimensi Ikhtilaf
Dimensi aqidah
◦  madzhab-madzhab aqidah  sesat atau
tidak sesat, bid’ah atau tidak bid’ah
Dimensi fiqhiyah
◦  madzhab-madzhab fiqh  ikhtilaf fiqhiyah
Dimensi ijtihadiyah
Dimensi Ikhtilaf Aqidah
Munculnya sekte-sekte sesat dalam Islam,
seperti:
◦ Khawarij
◦ Mu’tazillah
◦ Murji’ah
◦ Rafidhah
◦ Qadariyah
◦ Jahmiyah
◦ Mujassimah
◦ Dll.
Ikhtilaf Aqidah  Musibah
“Perbedaan ini merupakan musibah yang
membawa berbagai tragedi di negeri-negeri Islam
dan memecah belah barisan kaum muslimin.
Perbedaan ini sangat disayangkan dan harus
ditiadakan. Umat Islam harus bersatu dalam
madzhab ahli Sunnah wal jamaah yang
mencerminkan pemikiran Islam yang benar di
masa Rasulullah SAW dan khilafah rasyidah yang
diumumkan oleh Nabi SAW sebagai kelanjutan
dari Sunnahnya.”
(Al-Qardhawi, 2007: 94)
Dimensi Ikhtilaf Fiqhiyah
Perbedaan masalah furu’ adalah suatu
kemestian.
Perbedaan adalah rahmat.
Orang yang berselisih dalam masalah
furu’ termasuk ahlur rahmah.
Perbedaan masalah furu’ adalah tsarwah
(kekayaan).
(Al-Qardhawi, 2007: 69-93; Sarwat, 92)
Boleh Berbeda, Dilarang
Ta’ashub
Berbeda dalam masalah mazhab fiqh adalah boleh,
adapun at-ta’ashub al-mazhabi (fanatisme mazhab)
adalah terlarang. Dan ini adalah bentuk taklid.
Ibnul Qayyim berkata:
◦ “Ini merupakan bid’ah yang buruk yang terjadi di
kalangan umat. Hal ini tidak pernah dinyatakan oleh para
imam, padahal mereka lebih tinggi kedudukannya dan
lebih mengetahui ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya jika
ingin mewajibkan manusia untuk itu. Lebih keliru lagi
orang yang berkata, “Wajib bermazhab dengan salah satu
mazhab yang empat.” (I’lamul Muwaqi’in, IV/333)
Contoh Ikhtilaf Fiqhiyah
Pandangan fiqh Ibnu Taimiyah yang
berbeda dengan pandangan jumhur ulama
atau dengan pendapat ulama empat
madzhab atau dengan sebagian pendapat
fuqaha.
(Azhim, 2005)
Dimensi Ikhtilaf Ijtihadiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang orang yang
mengikuti sebagian ulama dalam masalah-masalah ijtihadiyah,
apakah ia harus diingkari atau dihindari? Demikian pula tentang
orang yang melaksanakan salah satu pendapat dari dua pendapat?
Ia menjawab, “Segala puji milik Allah SWT. Orang yang dalam
masalah-masalah ijtihadiyah—mengamalkan sebagian pendapat
ulama, tidak boleh dihindari ataupun diingkari. Demikian pula
orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat, ia tidak
boleh dikecam. Jika dalam suatu masalah terdapat dua pendapat,
bagi orang yang telah tampak mana yang lebih kuat, ia boleh
beramal sesuai dengannya. Tetapi jika tidak, ia boleh mengikuti
sebagian ulama yang dapat dipercaya dalam menjelaskan mana
yang lebih kuat di antara dua pendapat. Wallahu a’lam.”
(Majmu’ul Fatawa, 20/207; Al-Qardhawi, 2007: 125-126)
Perbedaan Ijtihad Tidak Melahirkan
Sikap Pencelaan
Imam Adz-Dzahabi:
◦ “Dari dulu, selalu ada perbedaan pendapat di antara para
imam, dimana sebagian mereka membantah sebagian
yang lain. Dan, kamu bukanlah termasuk orang yang
suka mencela ulama dengan hawa nafsu dan
kebodohan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
◦ “Tidak diasingkan lagi, bahwa kesalahan dalam masalah
detil keilmuan yang dilakukan umat itu diampuni Allah
SWT, sekalipun itu terjadi dalam masalah-masalah
ilmiah. Jika tidak demikian, niscaya akan banyak tokoh
umat ini yang terjerumus dalam kebinasaan.”
Ikhtilaf dalam Penentuan Bid’ah
Ada 3 mazhab:
Hal baru, walau dalam agama, terkadang terpuji, terkadang
tercela. Hal yang menjadi standarnya adalah ijtihad dan
penelitian dalam makna nushush syari’ah.
Hal baru dalam agama yang tidak dikenal di zaman nabi dan
generasi salaf adalah bid’ah tercela lagi sesat. Mereka adalah Al-
Mudhayyiqin, kelompok yang berpandangan sempit tentang
bid’ah.
Hal baru dalam agama yang termasuk dalam bagian kaidah-
kaidah syariat dan nushush yang menunjukan akan hal baru ini
maka hal baru tersebut tidak disebut bid’ah, akan tetapi diberi
nama dengan hukum syar’I yang sesuai (wajib, mustahab, atau
boleh).
(Al-’Arfaj, 2013: 37-38)
Ikhtilaf yang Tercela
Perbedaan yang bermotivasikan
pembangkangan, kedengkian, dan
mengikuti hawa nafsu.  Yahudi dan
Nasrani.
Perbedaan pendapat yang mengakibatkan
perpecahan dan permusuhan umat.
(Al-Qardhawi, 2007: 105-107)
Menyikapi Ikhtilaf
Ada 3 golongan:
◦ Golongan yang menutup diri.
◦ Golongan yang saling menghargai.
◦ Golongan yang menuntaskannnya dengan
mengembalikan-Nya kepada Allah SWT dan
Rasulullah SAW.
Upaya Menyikapi Ikhtilaf
Thariqatul jami’I  menggabung dua
dalil.
Thariqatul tarjih  mencari dalil yang
lebih kuat.
Thariqatul nasik  menggugurkan salah
satu dalil.
Adab Ikhtilaf
Ikhlas karena Allah SWT dan terbebas dari
hawa nafsu.
Meninggalkan fanatisme terhadap individu,
madzhab dan golongan.
Berprasangka baik kepada orang lain.
Tidak menyakiti dan mencela.
Menjauhi jidal dan permusuhan sengit.
Dialog dengan cara yang baik.
(Al-Qardhawi, 2007: 211-287)
Al-Banna dan Fiqh Ikhtilaf #1
Prinsip ke 6:
◦ Setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya,
kecuali Al-Ma’shum (Rasulullah SAW). Setiap yang
datang dari kalangan salaf dan sesuai dengan Al-
Qur’an dan Sunnah, kita terima. Jika tidak sesuai
dengannya, Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya lebih
utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh
melontarkan kepada orang-orang—oleh sebab sesuatu
yang diperselisihkan dengannya—kata-kata caci maki
dan celaan. Kita serahkan saja kepada niat mereka dan
mereka telah berlalu dengan amal-amalnya.
(Ushul Isyirin)
Al-Banna dan Fiqh Ikhtilaf #2
Prinsip ke 8:
◦ Khilaf dalam masalah fiqh furu’ hendaknya tidak
menjadi faktor pemecah belah agama, tidak
menyebabkan permusuhan, dan tidak menyebabkan
kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya.
Sementara itu tidak ada larangan melakukan studi
ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah
dalam naungan kasih sayang dan saling membantu
karena Allah SWT untuk menuju kebenaran. Semua
itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik.
(Ushul Isyrin)
Referensi
Al-’Arfaj, Abdul Ilah bin Husain. (2013). Konsep Bid’ah dan Toleransi
Fiqh. Jakarta: Al-I’tishom.
Al-Banna, Hasan. (2005). Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Solo:
Era Intermedia.
Al-Qardhawi, Yusuf. (2007). Fiqh Perbedaan Pendapat antar Sesama
Muslim. Jakarta: Robbani Press.
Al-Wasyli, Abdullah bin Qasim. (2005). Syarah Ushul Isyrin, Menyelami
Samudra 20 Prinsip Hasan Al-Banna. Solo: Era Intermedia.
Azhim, Said Abdul. (2005). Ibnu Taimiyah, Pembaruan Salafi dan
Dakwah Reformasi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Haidir, Abdullah. (2004). Mazhab Fiqh, Kedudukan dan Cara
Menyikapinya. Riyadh.
Kalila, Abu. (2013). Beginilah Seharusnya Kita Menasihati. Bandung:
Personal Publishing.
Sarwat, Ahmad. (Tanpa Tahun). Fiqh dan Syari’ah. DU Center

Anda mungkin juga menyukai