Anda di halaman 1dari 11

Landasan Quran-Sunnah

ْ‫ن ْال ُمن َك ِّرْ َوأ ُ ْولَـ ِّئ َك‬ ِّ ‫ْر َو َيأ ْ ُم ُرونَْ ِّب ْال َم ْع ُر‬
ِّْ ‫وفْ َو َي ْن َه ْونَْ َع‬ ُ ‫َو ْلت َ ُكن ِّمن ُك ْْم أ ُ َّمةْ يَ ْد‬
ِّْ ‫عونَْ ِّإلَى ْال َخي‬
)104:‫ْال ُم ْف ِّل ُحونَ ْ(الْعمران‬ ْ ‫ُه ُم‬
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-
orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]: 104)

Ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang sifat Ahli
Kitab yang lebih memilih jalan kesesatan dan kekafiran. Bahkan, mengajak orang lain
untuk memilih kesesatan dan kekafiran setelah keimanan mereka. Dilanjutkan dengan
penjelasan pentingnya ber-iÑtiÎÉm kepada agama Allah sebagai jalan menuju petunjuk
Allah. Maka, Allah memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk kembali
bertakwa kepada Allah dengan takwa yang sebenarnya, berpegang teguh kepada tali-Nya
(al-Islam: al-Quran dan al-Sunnah), dan membangun ukhuwwah atas landasan takwa dan
i’tiÎÉm bi hablillah tersebut. (QS. Ali Imran [3]: 100-103).i[i][1]
Ayat 104 ini justru membicarakan bagaimana menegakkan dan memelihara masyarakat
yang beriman dan bertakwa kepada Allah yakni dengan jalan dakwah dan amar ma’ruf
nahi munkar. Maka pembahasan ayat ini biasa mencakup tentang cakupan kewajiban
dakwah (berkaitan dengan pelaku dan objek dakwah), materi dakwah, langkah-langkah
dakwah (berkaitan metode dan sarana), dan tujuan akhir dakwah Islam.
Berkaitan dengan pembahasan yang pertama dalam beberapa tafsir disebutkan tentang
apakah kewajiban dakwah tertuju kepada setiap individu atau sebagian individu yang
memiliki kompetensi. Ini berkaitan dengan pembahasan tentang minkum (‫)منكم‬, apakah
min itu bermakna tab’id (baÑÌiyyah) atau tabyin (bayaniyyah).
Pendapat pertama yang melihat min sebagai baÑÌiyyah, maka kewajiban dakwah itu tidak
tertuju kepada setiap individu, tetapi kepada sebagian yang memiliki kompetensi, baik
kompetensi ilmu, visi dan ketrampilan menjalankan kegiatan dakwah dan amar ma’ruf
nahi munkar.
Pendapat yang kedua yang memandang min sebagai bayaniyyah, berimplikasi pada
pemahaman bahwa kewajiban dakwah jatuh kepada setiap individu, tanpa kecuali.
Pemahaman ini diperkuat dengan isyarat dalam Q.S. al-‘Ashr, yang menyatakan bahwa
orang yang tidak ingin jatuh kepada kehancuran, kerugian, tidak ada jalan lain kecuali
dengan beriman, beramal dan ber-tawshiyah bi al-haq dan bi al-shabr.
Beberapa ulama mengkompromikan dua pendapat tersebut. Quraish Shihab dalam Tafsir
al-Misbah menjelaskan bahwa jika dakwah yang dimaksud adalah dakwah yang
sempurna, yakni dakwah yang sistematis, terencana program dan langkah-langkahnya,
maka hal itu menjadi kewajiban bagi mereka yang memiliki kompetensi untuk itu (wajib
kifayah). Sementara jika dakwah dimaknai sebagai ajakan atau tausiyah tentang
kebenaran (al-haq) sesuai dengan kemampuan masing-masing, maka dakwah adalah
kewajiban individual (wajib ain).ii[ii][2]
Kajian berikutnya berkaitan dengan terminologi al-ummah al-dÉÑiyyah. Al-Imam Al-
Raghib al-Asfahani menyebutkan bahwa kata al-ummah berakar pada kata al-umm yang
berarti induk (aÎl al-mas´alah), ibu (orang tua perempuan, al-walidah). Ia mendefinisikan
al-umm sebagai (‫)كلْشيئْضمْاليهْسائرْماْيليهْيسمىْأما‬. Sementara, kata al-ummah
didefinisikan sebagai berikut:
ْ‫ ْكل ْجماعة ْيجمعهم ْأمر ْواحد ْإما ْدين ْواحد ْأو ْزمان ْواحد ْأو ْمكان ْواحد‬:ْ ‫االمة‬
.‫سواءْكانْذلكْاالمرْالجامعْتسخيراْأوْاختيارا‬
“Ummah adalah semua jamaah yang diikat oleh satu urusan, seperti satu agama, satu
zaman (waktu), satu tempat, baik perkumpulan itu bersifat terpaksa atau sukarela.”
iii[iii][3]
Definisi yang terakhir ini agaknya sejalan dengan pemahaman Muhammadiyah yang
memahami bahwa al-ummah sebagai organisasi yang tertib kepemimpinan, keanggotaan,
dan hubungan antara keduanya.
Berkaitan dengan materi dakwah pembahasan diarahkan kepada penggalian makna al-
khair, al-ma’ruf dan al-munkar.
Al-Khair dalam ayat ini menurut Ibn Katsir dengan mengutip Sabda Rasul shalallahu
‘alaihi wasallam adalah ittiba’ al-Quran wa al-Sunnah, mengikuti Al-Quran dan Al-
Sunnah. Sementara Imam Al-Raghib al-Asfahani mendefinisikan al-Khair sebagai
berikut:
.‫الخيرْماْيرغبْفيهْالكلْكالعقلْمثالْوالعدلْوالفضلْوالشىءْالنافعْوضدهْالشر‬
“Al-khair adalah segala yang disukai oleh semua seperti akal, keadilan dan keutamaan,
serta sesuatu yang bermanfaat dan lawannya adalah al-sharr.” iv[iv][4]

Kemudian ia membagi membagi al-khair dalam dua bentuk: al-khair al-muthlaq dan al-
khair al-muqayyad. Al-khair al-muthlaq diartikan segala yang dipandang baik dan tidak
dapat ditolak kebaikannya oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun. Sementara al-
khair al-muqayyad adalah sesuatu yang dipandang baik oleh sebagian orang tetapi
dipandang sebagai kejelekan oleh yang lain.v[v][5]
Tauhid dan ittiba’ al-Qur´an wa al-Sunnah, menurut tafsir Ibnu Abbas,vi[vi][6]
merupakan al-khair al-mutlaq. Dan dalam konteks ayat 104 di atas, al-khair sebagai
materi utama dakwah sekaligus landasan dakwah, yakni tauhid dan ittiba’ al-Qur´an wa
al-Sunnah.
Al-ma’ruf menurut al-Maraghi adalah apa yang dianggap baik oleh syariat dan akal,
sedangkan al-munkar adalah lawannya. Al-Asfahani menjelaskan makna al-ma’rufْdan
al-munkar sebagai berikut.
ْ]7[[vii]vii.‫المعروفْاسمْلكلْفعلْيعرفْبالعقلْأوْالشرعْحسنهْوالمنكرْماْينكرْبهما‬
“Al-ma’ruf adalah sebutan bagi setiap perbuatan yang diakui baik oleh akal atau
syariat, Adapun munkar adalah apa yang diinkari kebaikannya oleh keduanya”.

Quraish Shihab menjelaskan al-khair, al-ma’ruf dan al-munkar merupakan tema-tema


pokok gerakan dakwah Islam. Al-Khair dalam konteks ayat ini merupakan nilai kebajikan
yang bersifat tetap dalam Islam, di mana setiap orang mesti menerimanya dan menjadi
tolok ukur atas yang lainnya, yakni nilai-nilai al-ma’ruf dan al-munkar.
Kebajikan dalam al-ma’ruf merupakan nilai-nilai yang relatif terbuka untuk menerima
perubahan, perkembangan dan perbedaan. Penerimaan dan adaptasi nilai-nilai al-ma’ruf
dan nilai-nilai al-munkar ini harus melibatkan al-khair sebagai filter dan tolok ukurnya.
Esensi dakwah Islam adalah tegaknya nilai-nilai al-khair yang bersifat tetap dan
universal, dan al-ma’ruf yang bersifat dinamis terhadap perubahan dan perkembangan
masyarakat, dan tereliminasikannya nilai-nilai al-munkar, yang cakupannya juga
berkembang sejalan dengan perkembangan nilai yang ada di masyarakat.
Sekumpulan (ummah) kaum mukminin yang dapat mengerakkan dan menyosialisasikan
tegaknya al-khair dan menyuruh kepada al-ma’rufat dan mencegah al-munkarat itulah
yang akan memperoleh kemenangan, dan kebahagiaan dunia-akhirat.
ْ ‫ن ْال ُمن َك ِّرْ َوتُؤْ ِّمنُونَْ ِّب‬
ِّ‫الل‬ ِّْ ‫وف َوت َ ْن َه ْونَْ َع‬ِّْ ‫اس تَأ ْ ُم ُرونَْ ِّب ْال َم ْع ُر‬ ْْ ‫ْر أ ُ َّمةْ أ ُ ْخ ِّر َج‬
ْ ِّ َّ‫ت ِّللن‬ َْ ‫ُكنت ُ ْْم َخي‬
.َْ‫ب لَ َكانَْ َخيْراْ لَّ ُهم ِّم ْن ُه ُْم ْال ُمؤْ ِّمنُونَْ َوأ َ ْكث َ ُر ُه ُْم ْالفَا ِّسقُون‬ ِّْ ‫ل ْال ِّكتَا‬
ُْ ‫َولَ ْْو آ َمنَْ أ َ ْه‬
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang maÑruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran: 110)
Kandungan ayat ini terkait erat dengan ayat-ayat sebelumnya, mengenai peringatan
tentang perselisihan Ahli Kitab atas petunjuk-petunjuk agama Allah, dan perintah kepada
orang-orang beriman untuk bertakwa, berpegang teguh pada tali Allah, menjalin
ukhuwah dan kesatuan umat, serta membangun jamaah (umat) yang menegakkan dakwah
kepada al-khair, mengajak al-ma’ruf dan mencegah al-munkar. Seakan memberi
pemahaman bahwa tuntutan dan perintah tersebut terlahir karena umat Islam adalah umat
terbaik yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Atau dapat juga memberi
pemahaman bahwa umat Islam dalam memenuhi tuntutan dan perintah tersebut
merupakan prasyarat untuk menjadi umat terbaik.
Kata kuntum (‫ )كنتم‬dalam ayat di atas dipahami dalam dua pemahaman. Yang pertama
memahami kana sebagai kata kerja yang sempurnaْ)‫(كانْتامة‬, sehingga dipahami bahwa
umat Islam itu wujudnya merupakan sebaik-baik umat yang menjadi teladan bagi seluruh
umat manusia. Yakni, bahwa di mana dan kapan saja umat Islam yang ideal adalah
sebaik-baik umat manusia. Adapun yang kedua berpandangan bahwa kana bukanlah kata
kerja yang sempurna (‫)كانْناقصة‬, yang implikasi pemahamannya adalah bahwa wujudnya
khaira ummah telah ada di masa lalu, tanpa penjelasan waktu kapan terjadinya dan tidak
juga mengandung isyarat bahwa ia pernah tidak ada atau suatu ketika akan ada. Jika
demikian, simpul Quraish, ayat ini bermakna kamu dahulu dalam ilmu Allah adalah
sebaik-baik umat.viii[viii][8] Dalam pemahaman ini, khaira ummah sering dihubungkan
dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
ِّ َّ‫سلَّ َم ْقَا َل ْ َخي ُْر ْالْن‬
ْ‫اس‬ َ ‫ْو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ‫ىَّْللاُْ َعلَ ْي ِّه‬ َ ِّْ ‫َّْللاُْ َع ْنهُْ َع ْن ْالنَّبِّي‬
َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬
ِّ ‫ْر‬ َّ ‫َع ْن ْ َعبِّيدَة َْ َع ْن ْ َع ْب ِّد‬
َ ِّ‫َّْللا‬
]9[[ix]ix)‫ه ْمْث ُ َّمْالَّذِّينَ ْيَلُونَ ُه ْمْ(رواهْالبخارىْوغيره‬ ُ َ‫ْالَّذِّينَ ْيَلُون‬
ْ ‫قَ ْرنِّيْث ُ َّم‬
Dari Abidah dari Abdullah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah pada kurun (zaman)-ku, kemudian generasi
yang mengikuti mereka, kemudian generasi yang mengikuti mereka”. (H.R. Bukhari dan
yang lainnya)
Dengan demikian, khaira ummah adalah kondisi ideal umat Islam, yang akan ditegakkan
dengan dakwah, yakni umat yang menegakkan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-
munkar, dan beriman kepada Allah. Al-Maraghi menjelaskan tentang syarat-syarat
pelaku dakwah yang akan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu:
1. Hendaknya memahami al-Qur´an, al-Sunnah, Sirah Nabawiah dan sahabat (al-khulafa´
al-rashidin).
2. Hendaknya pandai membaca situasi orang-orang yang akan dan sedang menerima
dakwahnya, meliputi minat, kemampuan, sosio-kultural, tabiat, dan akhlaknya.
3. Memahami bahasa umat yang yang dituju oleh dakwahnya, termasuk kebudayaannya.
4. Mengetahui agama-agama, aliran-aliran yang ada di masyarakat, agar juru dakwah dapat
mengetahui dan menjelaskan kelemahan dan kekeliruan agama-agama dan aliran-aliran
yang ada, dan menunjukkan keunggulan Dinul Islam.x[x][10]

َْ‫َّللاِّ َو َما أَنَاْ ْ ِّمن‬ ُ ‫يرةْ أَنَاْ ْ َو َم ِّنْ اتَّبَعَنِّي َو‬


ْ َْ‫س ْب َحان‬ َ ‫ص‬ِّ َ‫َّللاِّ َعلَى ب‬ ُ ‫س ِّبي ِّلي أ َ ْد‬
ْ ‫عو ِّإلَى‬ َ ‫ل هَـ ِّذ ِّْه‬ْْ ُ‫ق‬
.‫ش ِّر ِّكين‬ ْ ‫ْال ُم‬
ْ
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Q.S. Yusuf [12]: 108)

Ayat ini adalah kritik kepada kebanyakan manusia yang tidak mau memikirkan tanda-
tanda kekuasaan Allah yang ada di langit dan di bumi, yang menunjukkan Allah adalah
Esa dan hanya kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka, Allah memerintahkan
kepada Rasulullah agar beliau menyampaikan bahwa jalan dan manhaj yang ditempuhnya
adalah dakwah kepada agama Allah, bertauhid, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.
Dakwah itu juga digerakkan oleh para pengikut Rasulullah berdasarkan hujah yang jelas
dan nyata.
Sabil dalam ayat di atas adalah sabīlullāh, yakni ÏarÊqul haqq. Majelis Tarjih
mendefinisikan sabilullah adalah jalan yang mengantarkan kepada apa-apa yang diridai
oleh Allah, yaitu menjalankan perintah, menjauhi larangan dan segala perbuatan yang
diijinkan oleh Allah dan Rasulullah.xi[xi][11]
Bashirah sebagaimana al-Maraghi bermakna al-hujjah wa burhan (argumen dan bukti-
bukti). Ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama Allah yang ÍanÊf tidak sekedar
menuntut agar manusia menerima begitu saja ajaran-ajaran dan doktrin-doktrinnya, tetapi
ia adalah agama yang disertai hujah dan burhan.xii[xii][12] Sementara itu, Muhammad
bin Shalih a-Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud bashirah ada tiga hal, yaitu
(a)’ilmu al-Qur´an wa al-Sunnah, (2) al-‘ilm bi al-ahkam al-shar’iyyah, yakni
pengetahuan para da’i tentang ilmu hukum syariat, dan (c) al-‘ilm bi kaifiyah al-da’wah
wa ahwal al-mad’uwwin, ilmu tentang metode dakwah dan kondisi mad’u.xiii[xiii][13]
Di sini ada paralelisasi dengan konsep al-khair yang terdapat dalam Q.S. Ali Imran [3]:
104, yaitu bahwa gerakan dakwah Islam harus menjadi gerakan dan amal jama’i, yang
berlandaskan kepada bashirah dan al-khair untuk menuju khaira ummah.

َ ‫سنَ ِّْة َو َجاد ِّْل ُهمْ ِّبالَّتِّيْ ِّه‬


َ ‫ي ْأ َ ْح‬
ْ‫س ُن ْ ِّإ َّن ْ َرب ََّك ْ ُه َو‬ َ ‫ْال َح‬ْ ‫ظ ِّة‬ َ ‫ْو ْال َم ْو ِّع‬ َ ‫ْر ِّب َك ْ ِّب ْال ِّح ْك َم ِّة‬ َ ْ‫ا ْدعُْ ِّإ ِّلى‬
َ ‫س ِّبي ِّل‬
َْ‫ْو ُه َوْأ َ ْعلَ ُمْ ِّب ْال ُم ْهتَدِّين‬َ ‫سبِّي ِّل ِّه‬
َ ‫عن‬ َ ْ‫ض َّل‬َ ْ‫أ َ ْعلَ ُمْ ِّب َمن‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Nahl [16]: 125)
Dalam ayat-ayat ini terdapat konsep-konsep yang berkaitan dengan metode dan strategi
dakwah Islam, yaitu konsep al-hikmah, al-maw’idah al-hasanah dan al-jidal.
Nasiruddin al-Baidhawi memaknai al-hikmah dengan perkataan yang kuat disertai
dengan dalil yang menjelaskan kebenaran, dan menghilangkan shubuhat. Adapun al-
maw’idah al-hasanah adalah ungkapan-ungkapan jelas yang dapat memberi kepuasan
kepada orang awam. Dan al-jidal al-ahsan sebagai percakapan dan perdebatan yang
dapat mematahkan argumen dan memuaskan penentang.xiv[xiv][14]
Pemaknaan al-Baidhawi di atas sejalan dengan penjelasan Syeikh Shalih al-Utsaimin
dalam kitab Syarh Thalāthatul UÎūl, yang mengatakan bahwa tingkatan dakwah Islam
berkaitan dengan metode dan pemahaman tentang kondisi mad’u ada tiga atau empat,
sebagaimana ditunjukkan oleh Q.S. Al-Nahl [16]: 125 dan Q.S. Al-Ankabut [29]:
46,xv[xv][15] yaitu: (1) dakwah kepada orang-orang yang memiliki ilmu dan siap
menerima kebenaran, maka kepada mereka dakwah dilakukan dengan al-hikmah, yakni
dalil-dalil yang pasti yang dapat menjelaskan kebenaran dan menghindari
kesalahpahaman. (2) dakwah kepada kaum awam yang kurang ilmunya tetapi siap
menerima kebenaran, kepadanya diberikan al-maw’idah al-hasanah, (3) dakwah kepada
kaum yang suka berdebat dan menentang atau menolak kebenaran dengan al-jidal al-
ahsan, (4) dakwah kepada orang-orang yang menolak dan memusuhi kebenaran Islam
dan menzalimi umatnya, maka dakwah kepada mereka dengan memerangi mereka.

B. Pengembangan Konsep Dakwah Muhammadiyah


Sebagai gerakan dakwah yang multidimensi, Muhammadiyah senantiasa melakukan
revitalisasi sebagai upaya penguatan terus-menerus langkah-langkah dakwah, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif menuju terwujudnya cita-cita dan tujuan Muhammadiyah,
yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Peningkatan intensitas dan ekstensitas
dakwah Muhammadiyah selalu menjadi agenda penting Muhammadiyah dari waktu ke
waktu.
Secara historis-kronologis dapat diketahui bahwa Muhammadiyah selalu meninjau dan
menyempurnakan konsep dakwahnya, baik dalam tataran teoritik-ideologis maupun pada
tataran strategi, taktik dan teknis operasional.
Pada tataran ideologis, Muhammadiyah senantiasa merumuskan kembali prinsip-prinsip
perjuangan dan dakwahnya, ketika terjadi perubahan di dalam masyarakat. Perubahan
dimaksud, bukan diarahkan kepada pergeseran haluan dakwah, tetapi lebih pada
penyempurnaan konsep ideologisnya sebagai antisipasi atas perubahan sosial yang
terjadi. Hal ini dapat dikaji, betapa konsistensi pemikiran dan prinsip dakwah
Muhammadiyah, mulai dari Muqadimah AD, Kepribadian Muhammadiyah, Keyakinan
dan Cita-cita Hidup, hingga Pedoman Hidup Islami.xvi[xvi][16]
Namun, dalam tataran konseptual, belum ditemukan konsep dakwah yang disusun oleh
Muhammadiyah secara sistematis dan komprehensif, kecuali dengan disusunnya konsep
gerakan jamaah dan dakwah jamaah (GJ-DJ), pada Muktamar ke-37, pada tahun 1967
dan konsep dakwah kultural pada Sidang Tanwir di Denpasar tahun 2002, yang
disempurnakan pada Sidang Tanwir di Makassar tahun 2003.
Buku konsep dakwah Muhammadiyah yang dipandang memiliki cakupan cukup lengkap
adalah buku dengan judul Islam dan Dakwah: Pergumulan antara Nilai dan Realitas
yang disusun dan diterbitkan Majelis Tabligh PP Muhammadiyah 1985-1990 yang
disunting oleh Ahmad Watik Pratiknya, anggota pengurus Majelis Tabligh pada saat itu.
Buku tersebut memuat pokok-pokok pikiran mengenai: (1) pandangan hidup Islam,
seperti konsep Islam, iman, ihsan dan takwa, hakekat ibadah dan akhlak, (2) Islam
sebagai landasan kehidupan Muslim, seperti Islam sebagai sumber hukum, Islam sebagai
sumber konsep, pandangan Islam tentang keadilan sosial, kebudayaan, kekuasaan,
ekonomi dan pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan Islam dalam dinamika
sejarah, (3) hakikat Muhammadiyah, (4) Gambaran masyarakat Indonesia, (5) Identifikasi
Permasalahan Dakwah, (6) Pola Kebijaksanaan Dakwah Muhammadiyah dan (7)
Kompetensi da’i dan mubaligh Muhammadiyah.xvii[xvii][17]
Muhammadiyah memandang bahwa dakwah memiliki pengertian yang luas, yakni upaya
untuk mengajak seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) agar memeluk dan
mengamalkan ajaran Islam ke dalam kehidupan yang nyata. Dengan demikian, dakwah
dapat bermakna pembangunan kualitas sumber daya insani, pengentasan kemiskinan,
mencerdaskan masyarakat. Juga, dapat berarti perluasan penyebaran rahmat Allah, seperti
telah ditegaskan bahwa Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin.xviii[xviii][18] Dengan
pemaknaan yang luas itu, maka sebenarnya seluruh dimensi gerakan dan usaha
Muhammadiyah adalah dakwah, sehingga tafsir dakwah Muhammadiyah diwujudkan
dalam usaha-usaha penanaman ideologi, pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi,
kebudayaan, tabligh dan penyiaran Islam, tarjih dan pengkajian pemikiran Islam, gerakan
perempuan (Aisyiyah), serta pembinaan generasi muda (melalui organisasi otonom:
Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan
Remaja Muhammadiyah, Kepanduan Hizbul Wathan, dan Seni Beladiri Tapak Suci).
Hanya saja dalam praktiknya, visi dakwah belum begitu kuat menjiwai unsur-unsur
gerakan Muhammadiyah, seperti dalam pendidikan. Penelitian Ahmadi menunjukkan
bahwa ideologisasi dalam program pendidikan Muhammadiyah belum sepenuhnya
berhasil, karena terjebak pada pragmatisme dan rutinitas, yang berakibat pada lemahnya
penanaman ideologi Muhammadiyah.xix[xix][19]
C. Konsep dan Praktik Dakwah Kultural Muhammadiyah
1. Konsepsi Dakwah Kultural
Dakwah kultural sebagai strategi perubahan sosial bertahap sesuai dengan kondisi
empirik yang diarahkan kepada pengembangan kehidupan Islami sesuai dengan paham
Muhammadiyah yang bertumpu para pemurnian pemahaman dan pengamalan ajaran
Islam dengan menghidupkan ijtihad dan tajdid, sehingga purifikasi dan pemurnian ajaran
Islam tidak harus menjadi kaku, rigid, dan eksklusif, tetapi menjadi lebih terbuka dan
memiliki rasionalitas yang tinggi untuk dapat diterima oleh semua pihak. Dengan
memfokuskan pada penyadaran iman melalui potensi kemanusiaan, diharapkan umat
dapat menerima dan memenuhi seluruh ajaran Islam yang kaffah secara bertahap sesuai
dengan keragaman sosial, ekonomi, budaya, politik, dan potensi yang dimiliki oleh setiap
kelompok umat.
Dalam rumusan hasil Sidang Tanwir yang telah dibukukan oleh PImpina Pusat
Muhammadiyah, dijelaskan bahwa:
“Dakwah kultural merupakan menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi
kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk
budaya secara luas dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya.” xx[xx][20]
Atas dasar pemikiran tersebut, dakwah kultural dapat dipahami dalam dua pengertian,
yaitu pengertian umum (makna luas) dan pengertian khusus (makna sempit). Dakwah
kultural dalam arti luas dipahami sebagai kegiatan dakwah dengan memperhatikan
potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk berbudaya dalam rangka
menghasilkan kultur alternatif yang bercirikan Islam, yakni berkebudayaan dan
berperadaban yang dijiwai oleh pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam
yang murni bersumber dari al-Quran dan sunnah Nabi, serta melepaskan diri dari kultur
dan budaya yang dijiwai oleh syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat.xxi[xxi][21]
Adapun dalam pengertian khusus, dakwah kultural adalah kegiatan dakwah dengan
memperhatikan, memperhitungkan, dan memanfaatkan adat-istiadat, seni, dan budaya
lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dalam proses menuju kehidupan
Islami sesuai dengan manhaj Muhammadiyah yang bertumpu pada prinsip tajdid, dengan
purifikasi dan dinamisasi (pembaruan). xxii[xxii][22]
Munculnya konsep dakwah kultural, sebagaimana diputuskan oleh Sidang Tanwir
Muhammadiyah, Januari 2002, di Bali, didorong oleh keinginan Muhammadiyah untuk
mengembangkan sayap dakwahnya menyentuh ke seluruh lapisan umat Islam yang
beragam kondisi sosio-kulturalnya. Dengan dakwah kultural, Muhammadiyah ingin
memahami pluralitas budaya, agar dakwah yang ditujukan kepada mereka dilakukan
dengan dialog kultural, sehingga akan mengurangi benturan-benturan yang selama ini
dipandang kurang menguntungkan. Akan tetapi, dakwah itu sendiri tetap berpegang pada
prinsip pemurnian (salafiyyah) dan pembaruan (tajdidiyah). Dengan demikian, dakwah
kultural sebenarnya akan mengokohkan prinsip-prinsip dakwah dan amar maÑruf nahi
munkar Muhammadiyah yang bertumpu pada tiga prinsip: tabshir, iÎlÉÍ, dan tajdid.
xxiii[xxiii][23]
Prinsip tabshir adalah upaya Muhammadiyah untuk mendekati dan merangkul setiap
potensi umat Islam (umat ijabah) dan umat non-Muslim (umat da’wah) untuk bergabung
dalam naungan petunjuk Islam dengan cara-cara yang bijaksana, pengajaran dan
bimbingan yang baik, dan mujadalah (diskusi dan debat) yang lebih baik. Kepada umat
ijabah (umat yang telah memeluk Islam), tabshir ditekankan pada peningkatan dan
penguatan visi/semangat dalam ber-Islam. Sementara, kepada umat dakwah (non-
Muslim), tabshir ditekankan pada pemberian pemahaman yang benar dan menarik
tentang Islam, serta merangkul mereka untuk bersama-sama membangun masyarakat dan
bangsa yang damai, aman, tertib dan sejahtera.
Prinsip iÎlÉÍ ialah upaya membenahi dan memperbaiki cara ber-Islam yang dimiliki oleh
umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, dengan cara memurnikannya sesuai
petunjuk syar’i yang bersumber pada al-Quran dan sunnah Nabi. Hal ini dapat diartikan
bahwa setelah melakukan dakwah dengan tabshir, maka umat yang bergabung diajak
bersama-sama memperbaiki pemahaman dan pengamalannya terhadap Islam. Umat yang
telah bergabung dalam dakwah tabshiriyah memiliki background yang beragam baik
sosial-ekonomi, sosial-budaya, maupun latar belakang pendidikannya. Keragaman
tersebut akan membawa pengaruh pada cara pandang, pemahaman, dan pengamalan
Islam yang dalam banyak hal perlu diperbaiki dan dibenahi sesuai dengan pemahaman
keagamaan Muhammadiyah, yang bersumber dari al-Quran dan sunnah Nabi.
Prinsip tajdid, sesuai dengan maknanya, ialah mengupayakan pembaharuan, penguatan,
dan pemurnian atas pemahaman dan pengamalan Islam yang dimiliki oleh umat ijabah,
termasuk pelaku dakwah itu sendiri. Baik prinsip iÎlÉÍ maupun tajdid banyak dilakukan
dengan cara menyelenggarakan pengajian dan ta’lim, baik bersifat umum maupun
terbatas. Juga mendirikan sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, dan pondok pesantren.
Juga dalam bentuk penyelenggaraan riset dan pengembangan dalam pemikiran
keislaman, sehingga prinsip Islam dapat diterjemahkan secara ilmiah dan
aktual.xxiv[xxiv][24]

2. Dakwah Kultural dan Pengembangan Masyarakat


Terminologi dakwah kultural memberikan penekanan makna yang berbeda dari dakwah
konvensional yang disebut juga dengan dakwah struktural. Dakwah kultural memiliki
makna dakwah Islam yang cair dengan berbagai kondisi dan aktivitas masyarakat,
sehingga bukan dakwah verbal yang sering dikenal dengan dakwah bi al-lisan (atau
tepatnya da’wah bi lisan al-maqal, seperti ceramah di pengajian-pengajian), tetapi
dakwah aktif dan praktis melalui berbagai kegiatan dan potensi masyarakat sasaran
dakwah yang sering dikenal dengan dakwah bi al-hal (atau tepatnya dakwah bi lisan al-
hal).
Dakwah kultural juga mencoba memahami potensi dan kencenderungan manusia sebagai
makhluk budaya berarti memahami ide-ide, adat istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, norma,
sistem aktivitas, simbol dan hal-hal fisik yang memiliki makna tertentu dan hidup dalam
kehidupan masyarakat. Upaya pemahaman tersebut dibingkai oleh pandangan dan sistem
nilai ajaran Islam yang membawa pesan rahmatan li al-‘alamin. Dengan demikian
dakwah kultural menekankan pada dinamisasi dakwah, di samping
purifikasi.xxv[xxv][25]
Dinamisasi berarti mencoba untuk mengapresiasi (menggarap) potensi dan
kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya (dalam arti luas) sekaligus melakukan
usaha-usaha agar budaya tersebut membawa kepada kemajuan dan pencerahan hidup
manusia. Adapun purifikasi mencoba untuk menghindari pelestarian budaya yang nyata-
nyata mengandung kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC).
Dengan makna di atas, dakwah kultural Muhammadiyah sebenarnya mengembangkan
makna dan implementasi Gerakan Jamaah dan Gerakan Dakwah Jamaah (GJ-GDJ) yang
diputuskan oleh Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta pada tahun 1967, yang
disempurnakan pada Rapat Kerja Nasional dan Dialog Dakwah Nasional, Majelis
Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada tahun 1987 di Kaliurang Yogyakarta.
Dakwah dengan pengembangan masyarakat dilakukan dengan pengembangan sumber
daya manusia, yaitu memberikan bekal sesuai dengan kebutuhan dan kecenderungan
kehidupannya, dengan memasukkan prinsip-prinsip kehidupan Islami, sehingga mereka
dapat melakukan pemenuhan kebutuhan dan kecenderungan hidupnya dengan bimbingan
nilai-nilai ajaran Islam.
Sebagai langkah pengembangan masyarakat, maka gerakan dakwah kultural merupakan
dakwah multi dimensional, dalam makna menyentuh dan masuk ke dalam desah nafas
kehidupan masyarakat dan umat. Ini menuntut para aktivis Muhammadiyah yang
sekaligus sebagai da’i dan mubaligh untuk trampil memahami sosio kultural
masyarakatnya. Bahkan, menjadikan kondisi sosio kultural itu menjadi inspirator
langkah-langkah dakwah setelah dipadukan dengan sumber pokok dakwah Islam, yakni
al-Qur´an dan al-Sunnah.

i[i][1]AÍmad MusÏafÉ al-MarÉghÊ, TafsÊr al-MarÉghÊ, Jilid II, Juzu IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 15.

ii[ii][2]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 2 (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hlm. 173-174.

iii[iii][3]Al-Raghib al-Asfahani. Mufradāt AlfāÐ al-Qur’ān. (Beirut: Dar al-Syamiyah dan Dimasyq: Dar al-
Qalam, 1997), hlm. 86.

iv[iv][4]Ibid., hlm. 300

v[v][5]Ibid.

vi[vi][6] TanwÊr al-MiqbÉs Juz 1, hlm. 67 dalam program Maktabah ShÉmilah Versi 2.09,

vii[vii][7]Ibid., hlm. 561.


viii[viii][8]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Volume 2, hlm. 184-186.

ix[ix][9]Sahih al-Bukhari, Juz 9, hlm. 133, Juz 11, hlm 482, lihat juga Sahih Muslim, 12, hlm, 358 dalam
program Maktabah ShÉmilah Versi 2.09.

x[x][10]Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Jilid II, Juz 4, hlm. 22-23.

xi[xi][11]PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, hlm. 277.

xii[xii][12]Ahmad Mustafa al-Maraghi, TafsÊr al-MarÉghÊ Jilid V, Juz 5, hlm. 52.

xiii[xiii][13]Muhammad bin Shalih a-Utsaimin, SyarÍ ThalÉthah al-UÎËl (t.tp.: t.p., t.th.), hlm. 22 .

xiv[xiv][14]Nasiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi. Anwa al-Tanzil wa
Asrar al-Ta’wil, Juz 3 hlm. 393, dalam program Maktabah ShÉmilah Versi 2.09,

xv[xv][15]Muhammad bin Salih a-Utsaimin, SharÍ ThalÉthah al-UÎËl, hlm. 22.

xvi[xvi][16] Hamdan Hambali. Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, hlm. 2

xvii[xvii][17] A. Watik Pratiknya (ed.), Islam dan Dakwah: Pergumulan antara Nilai dan Realitas
(Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1988), hlm. viii-ix.

xviii[xviii][18]PP Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,


2004), hlm. 20-21.

xix[xix][19] Ahmadi, “Muhammadiyah Pasca Kemerdekaan: Pemikiran Keagamaan dan Implikasinya


dalam Pendidikan” Disertasi IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2002, hlm. 294-296.

xx[xx][20]PP Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah, hlm. 26.

xxi[xxi][21]Tim Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, “Konsep Dakwah Kultural” makalah disampaikan
pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar Bali, 24-27 Januari 2002; Syamsul Hidayat. “Dakwah
Kultural dalam Dinamika Purifikasi Gerakan Muhammadiyah” dalam Jurnal Shabran Edisi 02, Vol. XIX,
April 2005, hlm. 7.

xxii[xxii][22]PP Muhammadiyah, “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad” Keputusan


Muktamar Muhammadiyah ke-45, Malang, 2005.

xxiii[xxiii][23]Syamsul Hidayat, “Tafsir Kebudayaan Muhammadiyah” Jurnal Kebudayaan Akademika, Vol


1, No. 1, April 2003, hlm. 66-67.

xxiv[xxiv][24]Ibid.

xxv[xxv][25]PP Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah, hlm. 26-27.

Sumber : http://www.fastabiqu.com/2015/01/konsep-dakwah-muhammadiyah.html

Anda mungkin juga menyukai