ْن ْال ُمن َك ِّرْ َوأ ُ ْولَـ ِّئ َك ِّ ْر َو َيأ ْ ُم ُرونَْ ِّب ْال َم ْع ُر
ِّْ وفْ َو َي ْن َه ْونَْ َع ُ َو ْلت َ ُكن ِّمن ُك ْْم أ ُ َّمةْ يَ ْد
ِّْ عونَْ ِّإلَى ْال َخي
)104:ْال ُم ْف ِّل ُحونَ ْ(الْعمران ْ ُه ُم
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-
orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]: 104)
Ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang sifat Ahli
Kitab yang lebih memilih jalan kesesatan dan kekafiran. Bahkan, mengajak orang lain
untuk memilih kesesatan dan kekafiran setelah keimanan mereka. Dilanjutkan dengan
penjelasan pentingnya ber-iÑtiÎÉm kepada agama Allah sebagai jalan menuju petunjuk
Allah. Maka, Allah memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk kembali
bertakwa kepada Allah dengan takwa yang sebenarnya, berpegang teguh kepada tali-Nya
(al-Islam: al-Quran dan al-Sunnah), dan membangun ukhuwwah atas landasan takwa dan
i’tiÎÉm bi hablillah tersebut. (QS. Ali Imran [3]: 100-103).i[i][1]
Ayat 104 ini justru membicarakan bagaimana menegakkan dan memelihara masyarakat
yang beriman dan bertakwa kepada Allah yakni dengan jalan dakwah dan amar ma’ruf
nahi munkar. Maka pembahasan ayat ini biasa mencakup tentang cakupan kewajiban
dakwah (berkaitan dengan pelaku dan objek dakwah), materi dakwah, langkah-langkah
dakwah (berkaitan metode dan sarana), dan tujuan akhir dakwah Islam.
Berkaitan dengan pembahasan yang pertama dalam beberapa tafsir disebutkan tentang
apakah kewajiban dakwah tertuju kepada setiap individu atau sebagian individu yang
memiliki kompetensi. Ini berkaitan dengan pembahasan tentang minkum ()منكم, apakah
min itu bermakna tab’id (baÑÌiyyah) atau tabyin (bayaniyyah).
Pendapat pertama yang melihat min sebagai baÑÌiyyah, maka kewajiban dakwah itu tidak
tertuju kepada setiap individu, tetapi kepada sebagian yang memiliki kompetensi, baik
kompetensi ilmu, visi dan ketrampilan menjalankan kegiatan dakwah dan amar ma’ruf
nahi munkar.
Pendapat yang kedua yang memandang min sebagai bayaniyyah, berimplikasi pada
pemahaman bahwa kewajiban dakwah jatuh kepada setiap individu, tanpa kecuali.
Pemahaman ini diperkuat dengan isyarat dalam Q.S. al-‘Ashr, yang menyatakan bahwa
orang yang tidak ingin jatuh kepada kehancuran, kerugian, tidak ada jalan lain kecuali
dengan beriman, beramal dan ber-tawshiyah bi al-haq dan bi al-shabr.
Beberapa ulama mengkompromikan dua pendapat tersebut. Quraish Shihab dalam Tafsir
al-Misbah menjelaskan bahwa jika dakwah yang dimaksud adalah dakwah yang
sempurna, yakni dakwah yang sistematis, terencana program dan langkah-langkahnya,
maka hal itu menjadi kewajiban bagi mereka yang memiliki kompetensi untuk itu (wajib
kifayah). Sementara jika dakwah dimaknai sebagai ajakan atau tausiyah tentang
kebenaran (al-haq) sesuai dengan kemampuan masing-masing, maka dakwah adalah
kewajiban individual (wajib ain).ii[ii][2]
Kajian berikutnya berkaitan dengan terminologi al-ummah al-dÉÑiyyah. Al-Imam Al-
Raghib al-Asfahani menyebutkan bahwa kata al-ummah berakar pada kata al-umm yang
berarti induk (aÎl al-mas´alah), ibu (orang tua perempuan, al-walidah). Ia mendefinisikan
al-umm sebagai ()كلْشيئْضمْاليهْسائرْماْيليهْيسمىْأما. Sementara, kata al-ummah
didefinisikan sebagai berikut:
ْ ْكل ْجماعة ْيجمعهم ْأمر ْواحد ْإما ْدين ْواحد ْأو ْزمان ْواحد ْأو ْمكان ْواحد:ْ االمة
.سواءْكانْذلكْاالمرْالجامعْتسخيراْأوْاختيارا
“Ummah adalah semua jamaah yang diikat oleh satu urusan, seperti satu agama, satu
zaman (waktu), satu tempat, baik perkumpulan itu bersifat terpaksa atau sukarela.”
iii[iii][3]
Definisi yang terakhir ini agaknya sejalan dengan pemahaman Muhammadiyah yang
memahami bahwa al-ummah sebagai organisasi yang tertib kepemimpinan, keanggotaan,
dan hubungan antara keduanya.
Berkaitan dengan materi dakwah pembahasan diarahkan kepada penggalian makna al-
khair, al-ma’ruf dan al-munkar.
Al-Khair dalam ayat ini menurut Ibn Katsir dengan mengutip Sabda Rasul shalallahu
‘alaihi wasallam adalah ittiba’ al-Quran wa al-Sunnah, mengikuti Al-Quran dan Al-
Sunnah. Sementara Imam Al-Raghib al-Asfahani mendefinisikan al-Khair sebagai
berikut:
.الخيرْماْيرغبْفيهْالكلْكالعقلْمثالْوالعدلْوالفضلْوالشىءْالنافعْوضدهْالشر
“Al-khair adalah segala yang disukai oleh semua seperti akal, keadilan dan keutamaan,
serta sesuatu yang bermanfaat dan lawannya adalah al-sharr.” iv[iv][4]
Kemudian ia membagi membagi al-khair dalam dua bentuk: al-khair al-muthlaq dan al-
khair al-muqayyad. Al-khair al-muthlaq diartikan segala yang dipandang baik dan tidak
dapat ditolak kebaikannya oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun. Sementara al-
khair al-muqayyad adalah sesuatu yang dipandang baik oleh sebagian orang tetapi
dipandang sebagai kejelekan oleh yang lain.v[v][5]
Tauhid dan ittiba’ al-Qur´an wa al-Sunnah, menurut tafsir Ibnu Abbas,vi[vi][6]
merupakan al-khair al-mutlaq. Dan dalam konteks ayat 104 di atas, al-khair sebagai
materi utama dakwah sekaligus landasan dakwah, yakni tauhid dan ittiba’ al-Qur´an wa
al-Sunnah.
Al-ma’ruf menurut al-Maraghi adalah apa yang dianggap baik oleh syariat dan akal,
sedangkan al-munkar adalah lawannya. Al-Asfahani menjelaskan makna al-ma’rufْdan
al-munkar sebagai berikut.
ْ]7[[vii]vii.المعروفْاسمْلكلْفعلْيعرفْبالعقلْأوْالشرعْحسنهْوالمنكرْماْينكرْبهما
“Al-ma’ruf adalah sebutan bagi setiap perbuatan yang diakui baik oleh akal atau
syariat, Adapun munkar adalah apa yang diinkari kebaikannya oleh keduanya”.
Ayat ini adalah kritik kepada kebanyakan manusia yang tidak mau memikirkan tanda-
tanda kekuasaan Allah yang ada di langit dan di bumi, yang menunjukkan Allah adalah
Esa dan hanya kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka, Allah memerintahkan
kepada Rasulullah agar beliau menyampaikan bahwa jalan dan manhaj yang ditempuhnya
adalah dakwah kepada agama Allah, bertauhid, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.
Dakwah itu juga digerakkan oleh para pengikut Rasulullah berdasarkan hujah yang jelas
dan nyata.
Sabil dalam ayat di atas adalah sabīlullāh, yakni ÏarÊqul haqq. Majelis Tarjih
mendefinisikan sabilullah adalah jalan yang mengantarkan kepada apa-apa yang diridai
oleh Allah, yaitu menjalankan perintah, menjauhi larangan dan segala perbuatan yang
diijinkan oleh Allah dan Rasulullah.xi[xi][11]
Bashirah sebagaimana al-Maraghi bermakna al-hujjah wa burhan (argumen dan bukti-
bukti). Ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama Allah yang ÍanÊf tidak sekedar
menuntut agar manusia menerima begitu saja ajaran-ajaran dan doktrin-doktrinnya, tetapi
ia adalah agama yang disertai hujah dan burhan.xii[xii][12] Sementara itu, Muhammad
bin Shalih a-Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud bashirah ada tiga hal, yaitu
(a)’ilmu al-Qur´an wa al-Sunnah, (2) al-‘ilm bi al-ahkam al-shar’iyyah, yakni
pengetahuan para da’i tentang ilmu hukum syariat, dan (c) al-‘ilm bi kaifiyah al-da’wah
wa ahwal al-mad’uwwin, ilmu tentang metode dakwah dan kondisi mad’u.xiii[xiii][13]
Di sini ada paralelisasi dengan konsep al-khair yang terdapat dalam Q.S. Ali Imran [3]:
104, yaitu bahwa gerakan dakwah Islam harus menjadi gerakan dan amal jama’i, yang
berlandaskan kepada bashirah dan al-khair untuk menuju khaira ummah.
i[i][1]AÍmad MusÏafÉ al-MarÉghÊ, TafsÊr al-MarÉghÊ, Jilid II, Juzu IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 15.
ii[ii][2]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 2 (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hlm. 173-174.
iii[iii][3]Al-Raghib al-Asfahani. Mufradāt AlfāÐ al-Qur’ān. (Beirut: Dar al-Syamiyah dan Dimasyq: Dar al-
Qalam, 1997), hlm. 86.
v[v][5]Ibid.
vi[vi][6] TanwÊr al-MiqbÉs Juz 1, hlm. 67 dalam program Maktabah ShÉmilah Versi 2.09,
ix[ix][9]Sahih al-Bukhari, Juz 9, hlm. 133, Juz 11, hlm 482, lihat juga Sahih Muslim, 12, hlm, 358 dalam
program Maktabah ShÉmilah Versi 2.09.
x[x][10]Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Jilid II, Juz 4, hlm. 22-23.
xiii[xiii][13]Muhammad bin Shalih a-Utsaimin, SyarÍ ThalÉthah al-UÎËl (t.tp.: t.p., t.th.), hlm. 22 .
xiv[xiv][14]Nasiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi. Anwa al-Tanzil wa
Asrar al-Ta’wil, Juz 3 hlm. 393, dalam program Maktabah ShÉmilah Versi 2.09,
xvii[xvii][17] A. Watik Pratiknya (ed.), Islam dan Dakwah: Pergumulan antara Nilai dan Realitas
(Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1988), hlm. viii-ix.
xxi[xxi][21]Tim Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, “Konsep Dakwah Kultural” makalah disampaikan
pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar Bali, 24-27 Januari 2002; Syamsul Hidayat. “Dakwah
Kultural dalam Dinamika Purifikasi Gerakan Muhammadiyah” dalam Jurnal Shabran Edisi 02, Vol. XIX,
April 2005, hlm. 7.
xxiv[xxiv][24]Ibid.
Sumber : http://www.fastabiqu.com/2015/01/konsep-dakwah-muhammadiyah.html