Anda di halaman 1dari 3

AIR DAN NAJIS

Fina Restiana
Mahasiswa STAI Sabili Bandung
Email: frestiana0@gmail.com

Aji Saepurahman, M.Pd


Dosen STAI Sabili Bandung
Email: ajisaepurahman1819@gmail.com

Abstrak
Air tergolong zat yang dipandang penting bagi kelangsungan hidup manusia, karena Allah Swt
telah menjadikan benda ini memiliki manfaat yang sangat banyak sehingga kugunaannya tidak
dapat dipisahkan dengan makhluk hidup khususnya manusia, hewan,dan tumbuhan pada
umumnya. Salah satu kegunaannya adalah untuk bersuci, baik untuk mengangkat hadats atau
menghilangkan najis. Najis merupakan sebuah istilah bagi segala hal yang mengotori. Ada
macam-macam dari air yang dapat mensucikan dan tidak dapat mensucikan, da nada macam-
macam najis.

Kata kunci : Air, Najis, macam

PENDAHULUAN
Agama Islam memiliki beberapa ketetapan-ketetapan dalam hal ibadah, aqidah, dan
syariah. Salah satu aturan dalam beribadah untuk umat muslim adalah suci dari hadas (hadas
besar dan hadas kecil). Oleh karena itu, sebelum melakukan ibadah wajib atau pun ibadah
sunnah, umat muslim harus benar-benar menyucikan diri dari najis dan kotoran.
Salah satu ibadah wajib umat muslim adalah Shalat. Shalat sebagai tiang agama sangat berperan
penting dalam menjaga keimanan umat muslim serta menegakkan agama Islam. Sesuai sabda
Nabi Muhammad SAW:
“Shalat adalah tiang agama, barang siapa mendirikan Shalat maka sungguh ia telah
menegakkan agama (Islam). Dan barang siapa meninggalkannya maka sungguh ia telah
merobohkan agama (Islam) itu.” (HR. Baihaqi). Shalat tidak akan sah apabila belum suci dari
najis dan kotoran. Inilah mengapa pengetahuan mengenai najis dalam Islam adalah penting untuk
diketahui.
Air telah menjadi bagian yang amat penting dalam agama Islam. Bahasan “thaharah” atau
bersuci (bersih secara hukmi maupun maknawi), dan terutama dalam bahasan ini adalah air,
selalu menjadi bahasan yang menempati posisi urutan awal dalam Fiqh Islam oleh ulama siapa
pun. Banyak kegiatan ibadah yang selalu menyaratkan penggunaan air, terutama yang berkaitan
dengan thaharah, seperti: wudhu, mandi, membersihkan najis dan lain-lain.
Islam, melalui al-Qur’an, memberi penegasan bahwa air tidak semata merupakan
kebutuhan manusia, untuk ibadah wudhu’ dan diminum, namun juga kebutuhan tumbuhan dan
hewan. Lebih dari itu, air ternyata menjadi salah satu unsur penciptaan makhluk hidup, termasuk
hewan dan manusia. Ditegaskan juga bahwa tanah yang tandus dapat menjadi subur melalui air.
(Santoso, 2005)
PENGERTIAN AIR DAN NAJIS
Islam sangat menganjurkan umatnya agar menjaga kebersihan, kesucian, dan kesehatan.
Karena lingkungan yang kotor adalah sarang penyakit. Selain kebersihan diri sendiri, Islam juga
berseru kepada umatnya untuk menjaga kebersihan lingkungan.
Kebersihan yang terjaga akan berdampak pula pada aktivitas ibadah yang menjadi lebih
khusyuk dan tenang. Seperti diriwayatkan dalam Al-Qur’an Surat Al Ma’idah ayat 6.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan Shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.”
Mengingat bahwa najis dan kotoran dapat menyebabkan batalnya ibadah, maka Islam
mewajibkan untuk membersihkan diri kita terlebih dahulu sebelum melakukan ibadah
 Air adalah alat bersuci yang utama dalam Islam. Air berguna untuk membersihkan najis
dan hadas saat thaharah (bersuci). Air yang digunakan untuk bersuci dalam Islam tidaklah
sembarangan. Agar air dapat digunakan untuk thaharah, air tersebut harus memenuhi kriteria dan
hukum fiqih tertentu.
MACAM-MACAM AIR DAN NAJIS
Dalam ilmu fiqih sendiri, air untuk bersuci dibagi menjadi 4. Pembagian ini dibuat
berdasarkan status kesucian air tersebut. (1). Air mutlak, (2). Air musyammas, (3). Air suci tapi
tidak dapat menyucikan, (4). Air mutanajis/
Air mutlak maksudnya yaitu air yang masih murni. Air jenis ini bisa juga disebut air yang
sewajarnya. Air mutlak berasal dari langit atau bersumber dari bumi dan masih memiliki sifat
asli penciptaannya (tidak berubah rasa, warna, dan baunya). Air mutlak hukumnya suci dan
menyucikan saat digunakan untuk thaharah (bersuci).
Air musyammas adalah yang dipanaskan di bawah sinar matahari memakai wadah yang
terbuat dari logam selain emas atau perak, misalnya tembaga atau besi. Air musyammas
hukumnya suci dan dapat menyucikan, namun makruh jika digunakan untuk thaharah. Secara
umum, air ini makruh untuk digunakan pada tubuh manusia atau hewan yang bisa terkena
penyakit kusta, misalnya kuda.
Air suci tapi tidak dapat menyucikan Air ini dibagi menjadi dua macam,
yaitu air musta'mal dan air mutaghayar. Air musta'mal adalah air yang telah dipakai
untuk bersuci, seperti menghilangkan hadas atau najis asal tidak berubah sifatnya maupun
volumenya setelah terpisah dari air yang diserap benda yang disebut. Air musta'mal baru bisa
digunakan bersuci jika volumenya mencapai 2 kullah atau 216 liter (60 cm x 60 cm x 60 cm).
Air mutaghayar adalah air yang salah satu sifatnya telah berubah akibat tercampur dengan
barang lainnya. Contohnya air sumur yang dimasak lalu ditambah teh. Air sumur yang telah
dimasak masih memiliki sifat asli, nanum saat ditambah teh rasanya pun berubah. Air
mutaghayar bisa ditandai dengan berubahnya nama entitas air. Contohnya adalah dari 'air sumur'
menjadi 'air teh'.
Air mutanajis merupakan air yang terkena atau kemasukan barang najis, sedangkan
jumlah air tersebut kurang dari dua kullah. Jika jumlah air lebih dari dua kullah tapi sifatnya
berubah akibat najis, air tersebut tetap menjadi mutanajis. air mutanajis hukumnya tidak suci dan
tidak menyucikan untuk thaharah.
Menurut Fiqih, najis dalam Islam dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam berdasarkan
tingkatannya, yaitu Najis Mukhaffafah (ringan), Najis Mutawassitah (sedang), dan Najis
Mughalladah (berat)
Najis Mukhaffafah adalah najis ringan. Salah satu contoh dari najis mukhaffafah adalah
air kencing bayi berjenis kelamin laki-laki dengan usia kurang dari 2 tahun. Dan bayi tersebut
hanya meminum air susu ibu, belum mengonsumsi makanan jenis lainnya.
Najis Mutawassithah termasuk ke dalam najis sedang. Contoh dari najis sedang ini adalah
segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur manusia atau binatang (terkecuali air mani).
Selain itu, contoh lainnya adalah khamr atau minuman keras dan susu hewan dari binatang yang
tidak halal untuk dikonsumsi.
Najis mughalladah merupakan najis berat. Jenis najis ini adalah yang paling berat dan
membutuhkan penanganan khusus untuk menyucikannya. Yang termasuk ke dalam najis
mughalladah adalah anjing, babi, dan darah. Apabila bagian tubuh atau pakaian tersentuh oleh
babi, terkena air liur dari anjing, atau terkena darah baik secara sengaja atau pun tidak disengaja,
maka termasuk dari najis berat.
PENUTUP
Dalam agama Islam, sesuatu yang dianggap kotoran dan harus dihindari untuk terkena
pada pakaian atau tubuh karena dapat membatalkan ibadah disebut dengan najis. Sederhananya,
najis adalah kotoran yang menempel pada tubuh, tempat, maupun pakaian kita dan menyebabkan
batalnya ibadah yang kita lakukan (salah satu contohnya adalah shalat).
Air adalah sumber daya yang sangat dibutuhkan oleh manusia bukan hanya
untukkehidupan sehari-hari saja air juga dapat mensucikan najis, namun ada beberapa air juga
yang tidak dapat mensucikan. Sejatinya kita sebagai seoran muslim yang baik arus
menghindarkan diri dari segalamavam najis danbersuci dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Rahmawati Dwi. (2017). Kena najis? Bersihkan yuk!. Bandung: Elex Media Komputindo

Penerbit Portal Jember.com. (2021, 4 Mei) 4 Jenis Air dalam Islam dan Hukumnya untuk Bersuci
Menurut Fiqih. Diakses pada 29 Desember 2021, dari https://portaljember.pikiran-
rakyat.com/khazanah/pr-161869931/4-jenis-air-dalam-islam-dan-hukumnya-untuk-bersuci-
menurut-fiqih
Santoso, MA., 2005, Tuntunan Islam tentang Hemat Air, Shabran: Jurnal Studi dan Dakwah
Islam,
Vol.19,No.2, Hal. 69-74.

Anda mungkin juga menyukai