Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik adalah salah satu barometer seberapa benar amanah

yang diberikan oleh rakyat kepada pers dijalankan. Oleh karena itu pemahaman dan

pentaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik menjadi sesuatu yang mutlak bagi

wartawan.Pemahaman dan penataan terhadap Kode Etik Jurnalistik tidak dapat ditawear-

tawar. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik oleh wartawan menjadi bagian tidak terpisahkan

dalam proses kerja kreatifg wartawan dalam menyajikan berita. Seharusnya Kode Etik

Jurnalistik sudah otomatis melekat dalam dalam setiap motif, tekhnikal, dari jiwa seorang

wartawan. Kode Etik Jurnalistik Sudah harus Intermelazed atau mendarah daging dalam diri

dari setiap wartawan.

Wartawan terkadang melakukan hal yang merugikan masyarakat saat melakukan

tugasnya. Misalnya melakukan kekeliruan dalam hal penulisan, menggunakan bahasa yang

tidak tepat digunakan sehingga mengandung makna yang berbeda, atau melakukan aktivitas

jurnalistik yang tidak sesuai etika profesinya, sehingga selain merugikan masyarakat, tentu

merugikan pribadi bahkan instansinya karena terkait dengan kredibilitas profesinya.

Manusia mempunyai kebebasan kehendak (Descartes, 1596-1650). Namun, manusia

dapat merealisasikan kebebasannya dengan mengendalikan hawa nafsunya, karena kebebasan

adalah ciri khas kesadaran manusia yang berfikir 1. Kebebasan kehendak yang dimiliki

manusia tidak lantas menjadikan manusia hidup dengan kondisi yang asal-asalan atau bebas

sebebas-bebasnya tanpa batasan atau aturan. Dalam Islam, tujuan penciptaan manusia adalah

untuk beribadah kepada Allah (QS. Adz-dzariyat: 56) selain itu juga terdapat perintah agar

1
(Kismiyati dan Uud, 2010: 20)
manusia berbuat kebajikan serta tidak melakukan perbuatan keji, kemungkaran dan

permusuhan (QS. An-Nahl: 90).

Sebagai pedoman, tuntunan, dan tuntutan profesi, Kode Etika Jurnalistik tidak hanya

sebagai nilai-nilai yang ideal saja, tetapi juga harus terkait langsung dengan praktek

jurnalistik. Di sinilah tokoh pers Indonesia, Muchtar lubis, mengingatkan, pers harus benar-

benar operasional dalam diri wartawan. Dengan kata lain, ketidakpahaman dan ketidaktaatan

terhadap Kode Etik Jurnalistik adalah bagaikan kapas yang kehilangan arah sehingga tidak

jelas arah tujuannya. Tentu saja kalau ini terjadi merupakan sebuah kesalahan besar dan

mendasar bagi wartawan. Kode Etik Jurnalistik menempati posisi yang sangat penting bagi

wartawan. Bahkan dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki sanksi

fisik sekalipun, di hati sanubari setiap wartawan seharusnya Kode Etik mempunyai

kedudukan yang sangat istimewa. Wartawan yang tidak memahami Kode Etik Jurnalistik

akan kehilangan harkat dan martabatnya sebagai seorang wartawan.

Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik juga merupakan perintah dari undang-undang. Pasal 7

ayat 2 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers berbunyi, “Wartawan memiliki dan

mentaati Kode Etik Jurnalistik”. Ini berarti, wartawan yang melanggar kode etik jurnalistik

sekaligus juga melanggar undang-undang.

Kode Etik Jurnalistik dibuat khusus dari, untuk dan oleh wartawan sendiri dengan tujuan

untuk menjaga martabat atau kehormatan profesi wartawan. Ini berarti, pelanggaran terhadap

Kode Etik Jurnalistik merupakan hasil pergumulan hati nurani wartawan. Untuk itu,

pelaksanaannya juga harus dilandasi dengan hati nurani.2 Sebagaimana yang tercantum dalam

bab I undang-undang tentang pers dalam mengenai ketentuan umum yang tertulis dalam pasal

1 butir 1, Pers adalah lembaga social dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan

2
Sukardi, 2007;26-28
kegiatan jurnalistik meliuputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan

menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta

data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media

elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Pengawasan mealui komunikasi massa dapat terbukti disfungsional sebagaimana juga

fungsi bagi masyarakat dan anggota-anggotanya. Misalnya, berita-berita yang tidak disensor

mengenai dunia pada hakekatnya mengancamstruktur masyarakat. Misalnya, berita-berita

mengenai tindak kejahatan, seperti pembunuhan, perkosaan, dan lain-lain. Terkadang media

melakukan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik pasal 4 dan pasal 5.

Dalam pasal 4 terdapat larangan untuk menampilkan berita yang sadis dan cabul, tapi

masih ada saja media yang yang memuat pemberitaan yang sadis dan cabul. Misalnya,

memuat foto orang meninggal disurat kabar dalam keadaan kondisi yang mengenaskan tanpa

disensor, menulis kata-kata yang kasar, tidak senonoh, juga foto-foto yang mengandung nilai

pornografi. Selain penyajian berita, identitas korban juga perlu dirahasiakan.

Seorang jurnalis dilarang menyebutkan identitas kejahatan susila dan tidak menyebutkan

identitas anak dibawah umur yang menjadi pelaku kejahatan. Yang kedua, peringatan-

peringatan yang tidak ditafsirkan tentang bahaya dalam lingkungan menimbulkan kepanikan

pada khalayak massa. Pada kenyataannya, berita criminal yang disajikan melalui media

massa dari tahun ketahun perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, baik ahli hokum

maupun masyarakat luas. Bentuk penyajian berita criminal pada media cetak merupakan

media yang menarik untuk dibaca dan perhatian khalayak. Penyajian berita kejahatan melalui

media cetak bias dalam berbagai bentuk seperti berita, artikel, opimni, dan lainnya.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dibuat rumusan masalah yaitu :

Bagaimana Isi dan Tafsir Kode Etik Jurnalistik ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui Isi dan kode etik Jurnalistik


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
a. Kode Etik Jurnalistik
Dalam pembahasan kode etik jurnalistik, selalu diawali dengan pemahaman atas kode,

etika, dan jurnalistik. Pemahaman mengenai hal ini menjadi penting karena terdapat

banyak pengertian atas keduanya. Oleh karena itu, kami perlu memberikan batasan

pengertian agar tidak terjadi kesalahpahaman dan sesuai dengan tujuan penelitian. Berikut

ini penulis paparkan penjelasan mengenai kode etik jurnalistik.

1. Pengertian Etika
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ethosyang artinya adat kebiasaan.

Dalam istilah filsafat, etika berarti ilmu tentang adat kebiasaan atau sesuatu yang biasa

dilakukan. Adapun secara terminologi, etika memiliki tiga makna yaitu: pertama,analisis

mengenai konsep tugas, aturan-aturan moral, benar/ salah, kewajiban, dan lain-lain,

kedua, pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, ketiga,

pencarian kehidupan yang baik secara moral (Mufid, 2009: 173).

Pada dasarnya, etikamerupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan

manusia yang berhubungan dengan tujuan hidup, sehingga etika sering disebut sebagai

filsafat moral. Etika berhubungan langsung dengan perilaku dan sistem nilai etis yang

dimiliki oleh individu atau masyarakat yang mengandung unsur-unsur pokok yaitu

kebebasan, tanggung jawab, hati nurani, dan prinsip-prinsip moral dasar.

Menurut Austin Fagothey, etika adalah ilmu pengetahuan normatif mengenai perilaku

manusia yang dapat dimengerti oleh akal nurani. Dalam penjelasannya, etika

berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat sebagai

antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan hukum. Perbedaan terletak pada

aspek keharusan (Sumadiria, 2011: 184).


Etika tidak hanya dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat namun juga dalam

menjalani suatu profesi tertentu yang disebut dengan etika profesi. Etika profesi

merupakan nilai-nilai dan asas moral yang melekat pada pelaksanaan profesional tertentu

dan wajib dilaksanakan oleh pemegang profesi (Masduki, 2003). Sedangkan kode etik

memiliki pengertian yang sama dengan istilah kode kehormatan, prinsip-prinsip, dan

standar nilai. Selain sebagai pedoman, kode etik juga berfungsi mencegah praktik-praktik

yang merugikan profesi, masyarakat, bahkan praktik pelanggaran pidana (Barus, 2010:

235)

2. Pengertian Kode Etik Jurnalistik

Pada pembahasan kode etik jurnalistik, istilah “kode” memiliki arti sistem pengaturan

atau tanda yang telah disepakati dengan tujuan tertentu. Sementara itu, etika tidak hanya

dibutuhkan dalam menjalani suatu profesi tertentu yang kemudian disebut “etika

jurnalistik”, merupakan kumpulan norma atau asas kewartawanan. Sehingga kode etik

jurnalistik diartikan sebagai sistem pengaturan yang bersifat normatif tanpa menentukan

hukum secara nyata dan konkret.3

Secara sederhana, kode etik jurnalistik diartikan sebagai kumpulan aturan mengenai

perilaku dan pertimbangan moral yang harus dianut dan ditaati oleh media pers dalam

siaran. Kode etik jurnalistik juga diartikan sebagai ikrar yang bersumber dari hati nurani

wartawan Indonesia dalam menjalankan kemerdekaan mengeluarkan pikiran/ pendapat

yang dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 (Yurnaldi, 1992: 117)

Menurut Rosihan Anwar dalam buku Bahasa Jurnalistik, kode etik jurnalistik

merupakan alat kontrol bagi setiap wartawan dalam melaksanakan tugasjurnalistik. Kode

etik jurnalistik disusun atas prinsip bahwa pertanggungjawaban atas pentaatannya terletak

3
Kamus Besar Bahasa Indonesia
pada hati nurani wartawan Indonesia. Melalui kode etik jurnalistik, wartawan dapat

mengetahui dengan jelas aturan main dalam bidang kewartawanan (Anwar, 1995: 63).

Dalam menjalankan kebebasan pers, wartawan atau insan pers dikontrol oleh rambu-

rambu, yaitu kode etik jurnalistik. Hal ini bertujuan agar wartawan tidak lalai atau bahkan

dengan sengaja melakukan pelanggaran hingga merugikan orang lain. Oleh karena itu,

kode etik dirumuskan untuk melindungi organisasi dan anggota dari tekanan dan atau

gangguan yang datang dari luar serta menjamin masyarakat dalam memperoleh informasi

yang layak (Barus, 2010: 235). Dalam hal ini, kode etik jurnalistik tidak menetapkan

sanksi yang tegas seperti undang-undang KUHP, namun pengawasan pentaatan kode etik

jurnalistik dilakukan oleh dewan kehormatan pers dan ketentuan-ketentuannya harus

dipatuhi oleh setiap wartawan. Jika tidak, martabat profesi seorang wartawan akan

terpuruk. Dengan demikian, tegaknya kode etik jurnalistik sangat mengandalkan hati

nurani insan pers (Kusumaningrat, 2005: 106)

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa kode etik

jurnalistik merupakan aturan tingkah laku yang berupa norma tertulis dan berkaitan

dengan profesi wartawan serta mengatur sikap, tingkah laku, dan tata krama penerbitan.

Adapun kewajiban setiap wartawan adalah berpegang teguh pada aturan main yang

berlaku dalam kode etik jurnalistik. Menaati kode etik jurnalistik berarti menghargai dan

loyal terhadap profesi sebagai wartawan. Sementara itu, poin-poin yang perlu

diperhatikan jurnalis terkait kode etik meliputi faktor pemakaian bahasa, penegakan etika,

moral, tanggung jawab, sikap, serta tindakan yangsecara langsung maupun tidak langsung

dapat membahayakan persatuan bangsa (Ismail, 2013: 45-46)

3. Fungsi Kode Etik Jurnalistik

Menurut Richard L. Johannsen, fungsi kode etik ada tiga, yaitu (Masduki, 2003: 48-49):
a) Fungsi KemanfaatanKode etik menjadi bahan belajar atau panduanbagi orang

baru untuk mengenalpedoman dan tanggung jawab etis profesi wartawan.

b) Fungsi ArgumentatifKode etik menjadi landasan terciptanya debat publik atas

kebingungan kasus-kasus dan perilaku etis sebuah profesi.

c) Fungsi Penggambaran Karakter Kode etik sebagai gambaran tentang sosok

profesional yang ingin dibentuk dan jadi harapan publik. Secara tidak langsung,

kode etik jurnalistik memuat upaya perlindungan konsumen media. Kode etik

jurnalistik juga sebagai ikatan moral untuk mengontrol wartawan dalam

menjalankan profesi kewartawanan. Dalam hal ini, tujuan utama kode etik

jurnalistik adalah menjamin hak masyarakat dalam memeroleh informasi objektif

di media massa dan memayungi kinerja wartawan dari segala risiko kekerasan

(Masduki, 2003: 51).

Kode etik biasanya digunakan sebagai pedoman operasional suatu profesi. Karena

wartawan merupakan sebuah profesi, maka dibuatlah kode etik jurnalistik sebagai

pedoman operasional. Kode etik jurnalistik berfungsi sebagai landasan moral dan

etika agar seorang wartawan senantiasa melakukan tindakan tanggung jawab sosial.

Peraturan-peraturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh wartawan. Kode etik

jurnalistik berisi apa-apa yang menjadi pertimbangan, perhatian, atau penalaran moral

profesi wartawan. Selain itu, isi etikanya juga mengatur hak dan kewajiban dari kerja

kewartawanan. Landasan kode etik jurnalistik mengacu pada kepentingan publik. Seb

ab kebebasan pers yang ideal adalah kebebasan yang tidak mencederai kepentingan pub

lik dan tidak melanggar hak asasi warga negara4

B. Isi Kode Etik Jurnalistik

Dijelaskan isi-isi dari kode etik jurnalistik,yaitu:

4
Septiawan Santana, Jurnalisme Kontemporer 2017
a. Pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,

berimbang, dan tidak beriktikad buruk.

b. Pasal 2, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam

melaksanakan tugas jurnalistik.

c. Pasal 3, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara

berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan

asas praduga tak bersalah.

d. Pasal 4, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

e. Pasal 5, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban

kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku

kejahatan.

f. Pasal 6, wartawan Indonesia tidak menyalagunakan profesi dan tidak menerima suap.

g. Pasal 7, wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang

tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaanya, menghargai ketentuan

embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.

h. Pasal 8, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan

prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna

kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang

lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

i. Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan

pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

j. Pasal 10, wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang

keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar,

atau pemirsa.
k. Pasal 11, wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara

proporsional.

Media massa saat ini menjadi kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari

aktivitas kita. Ketika bangun tidur kita menyempatkan diri membuka laman situs di

internet, menyalakan televisi untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di luar sana.

Kurang puas, kita bahkan bersedia menyisihkan uang saku untuk membeli surat kabar

atau majalah. Hal tersebut semata-mata kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan kita

akan informasi. Selain berfungsi sebagai sarana informasi, media massa juga

berfungsi sebagai sarana pendidik, kontrol sosial dan juga pemberi suguhan hiburan.

Hingga saat ini, keempat fungsi tersebut yang paling dikenal oleh masyarakat dalam

menuntun aktivitas sehari-hari mereka.Sayangnya, ketatnya persaingan antar lembaga

media massa saat ini membuat mereka sulit menjalankan fungsi tersebut dengan baik.

Contoh Kasus, Beberapa lembaga media cenderung memprioritaskan satu fungsi

diatas fungsi yang lainnya. Menurut Mursito (2006), fungsi informasi pada media

cetak, khususnya surat kabar harian masih lebih menonjoldi bandingkan pada media

televisi yang lebihmenonjolkan fungsi hiburan. Akan tetapi di saat kebebasan pers dan

kepentingan ekonomi menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan, baik media

elektronik maupun cetak sepertinya mulai melupakan urgensi masing-masing fungsi

tersebut.Ironisnya, lembaga media seakan kehilangan esensi idealisnya karena tidak

mampu menjalankan perannya secara profesional. Ketidakmampuan tersebut dapat

dilihat dari pengemasan berita yang melanggar kode etik jurnalistik. Masih

hangatdalam ingatan kita ketika Yulianis, saksi mahkota atas kasus korupsi yang

menimpa sejumlah kader Demokrat, menghadiri wawancara eksklusif di sebuah

stasiun swasta pada Maret 2013 lalu.


Dituduh mencemarkan nama baik Edhy Baskoro Yudhoyono, wanita yang pernah

bekerja untuk Nazaruddin ini justru melemparkan kesalahan kepada wartawan.

Menurutnya, berita yang beredar di masyarakat telah dipelintir dan dikemas

sedemikian rupa sehingga membuat kesan seolah ia yakin dengan pernyataannya.

Yulianis mungkin bukan satu-satunya orang yang memandang sinis kepada media.

Adalah Poppy Darsono, perancang busana sekaligus mantan isteri Alm. Moerdiono

memilih untuk mengangkat kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan lembaga

media kehadapan Dewan Pers.Dalam rilis berita yang disampaikan Dewan Pers

melalui situsnya, Poppy Darsono mengadukan berita yang di muat tabloid

Femmeberjudul, “Anak-Anak Alm. Pak Moer Belum Terima Warisan dari Ayahnya”

yang terbit sebanyak tiga belas edisi. Pada kalimat akhir rilis berita disebutkan, „Ada

upaya dari redaksiFemmeuntuk meminta konfirmasi, tetapi tidak berhasil sehingga

tetap terjadi ketidakberimbangan‟. Kalimat ini menguatkan bahwa, Poppy sebenarnya

enggan menceritakan masalah seputar kehidupan pribadinya dengan Alm. Moerdiono

kepada media. Sayangnya Tabloid Femmenekat mengembangkan berita meskipun

tanpa konfirmasi kepada Poppy terlebih dahulu.

Untuk menyelesaikan masalah ini, Dewan Pers merekomendasikan

Femmeuntuk memuat Hak Jawab Poppy di halaman yang sama dengan berita yang

diadukan. Kedua belah pihak sepakat menyelesaikan kasus ini melalui mediasi di

kantor Dewan Pers.Selain tabloid Femme, sebuah surat kabar lokal di Jawa Tengah

juga pernah melakukan pelanggaran serupa. Fakta tersebut dapat dilihat pada berita

Harian JOGLOSEMAR berjudul “Trah Kiai Slamet Duel, Simbol Kisruh Dua Raja

Solo” yang terbit awal Januari 2012lalu. Berita ini dimuat pada halaman headline

disertai foto dua kerbau bule keturunan Kiai Slamet yang sedang bertarung. Seperti

yang dilansir oleh JOGLOSEMAR dalam situs www.joglosemar.co,pertarungan yang


terjadi antara dua kerbau bule yang bernama Bodong dan Joko itu di ibaratkan

gambaran dua raja keraton yang selama ini seolah tidak akur dan hidup terpisah.

Sayangnya, berita ini lebih banyak memasukkan komentar dari sang pawang, Utomo

Gunadi. Kalaupun ada komentar lain, itupun Yanti, isteri Gunadi.

Sedangkan konfirmasi dari dua raja yang dimaksud ataupun pendapat ahli,

seperti budayawan tidak ditampilkan. Sehingga berita yang disajikan menjadi tidak

berimbang.Pengemasan berita, perpelintiran kalimat, persepsi sepihak seakan sudah

menjadi bumbu racik berita belakangan ini. Data yang diterbitkan oleh Dewan Pers

melalui situs dewanpers.or.id menyebutkan, selama periode tahun 2000 hingga 2011,

telah diterimas ebanyak 3.225 pengaduan oleh masyarakat terkait kasus pelanggaran

Kode Etik Jurnalistik. (www.dewanpers.or.idditerbitkan pada Selasa 22 Mei 2012

dengan judul, “Tabel Pengaduan Masyarakat ke Dewan Pers Tahun 2000-2011”).

Kondisi ini secara tidak langsung memberikan perasaan resah pada masyarakat terkait

obyektifitas berita yang disampaikan oleh awak media. Dewan Pers merupakan

organisasi independen yang menaruh perhatian pada aktivitas lembaga pers. Sesuai

dengan Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan “Dalam upaya mengembangkan

kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers

yang independen”.

Dewan Pers memiliki fungsi sebagai pelindung pers di Indonesia. Dalam

upaya melindungi pers di Indonesia, organisasi ini membuat seperangkat pedoman

bagi kinerja wartawan di lapangan yang disebut Kode Etik Jurnalistik (KEJ).Menurut

Sukardi (2012), seorang peneliti yang juga merupakan anggota Dewan Pers, untuk

skala nasional Kode Etik Jurnalistik yang berlaku adalah yang sesuai dengan

penjelasan pasal 7 ayat 2 Undang Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers yang

berbunyi, “yang dimaksud dengan „Kode Etik Jurnalistik‟ adalah kode etik yang
disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.” Oleh karenanya

semua wartawan Indonesia wajib mengikuti pedoman yang tertuang dalam KEJ.

Selain itu, dapat dikatakan loyalitas wartawan kepada KEJ dapatmenjadi tolak ukur

profesionalismenya saat meliput dan mengolah berita. Mursito (2012)

mengungkapkan, seorang jurnalis profesional adalah jurnalis yang memiliki

kompetensi di bidang jurnalisme—dalam kesadaran etik, penguasaan pengetahuan

dan keterampilan.Melihat pada paparan fenomena yang telah dijabarkan diatas,

peneliti merasa penting untuk membahas penerapan kode etik jurnalistik (KEJ) dalam

sebuah lembaga media.Harian JOGLOSEMARmerupakan salah satu surat kabar lokal

yang terbit di Kota Solo.

Sesuai dengan namanya, Harian JOGLOSEMAR berupaya untuk mencukupi

kebutuhan informasi di daerah Jogja, Solo dan Semarang. Lahir di bawah naungan PT

Joglosemar Prima Media, Harian JOGLOSEMARhadir dengan harga bersahabat

namun tanpa mengabaikan kualitas berita. Semenjak awal perkembangannya hingga

saat ini Harian JOGLOSEMAR terus berusaha menyesuaikan diri dengan dinamika

pembaca.Harian JOGLOSEMAR berusaha menyajikan informasi positif dan berusaha

mengesampingkan informasi yang justru memperkeruh situasi politik. Mengusung

jargon “Jernih—Bernilai” JOGLOSEMAR berharap dapat menjadi “lebih dari

sekedar inspirasi” melalui informasi yang dibaca oleh pembaca.

C. Jurnalistik Dalam Al-Qur’an

1. Istilah-istilah jurnalistik dalam al-Qur’an

Jurnalistik dalam bahasa Arab memang populer dengan shifaah, Namunini bukan

berarti istilah jurnalistik dalam al-Qur’an hanya berpatokan pada kata shifaah. Ada

banyak kata dalam al-Qur’an yang menunjuk pada istilah jurnalistik, salah satunya

yaitu kata-kata yang berkaitan dengan aktifitas jurnalistik seperti al-shifaah


(lembaran).alkitabah(penulisan),aljam’u(mengumpulkan),naba’a(memberitakan),

khabara(mengabarkan).

2. Al-Qur’an adalah berita yang agung

Terkait dengan pewartaan, ada satu surat dalam al-Qur’an yang dinamai dengan

al-Naba’(berita) Ada tiga penafsiran mengenai kata al-naba’dalam ayat ini; salah

satunya ditafsiri dengan al-Qur’an.al-Maraghi menukil riwayat Ibn ‘Abbas

menjelaskan bahwa orang-orang Quraisy duduk bersama mendiskusikan tentang

turunnya al-Qur’an sebagian dari mereka ada yang membenarkan dan sebagian yang

lain mendustakannya, maka kemudian turun ayat dan sebagai

jawabannyayaitu ayat berikutnya ayat 2-3

Dengan demikian, al-Qur’an adalah sebuah berita, lebih spesifik lagi yaitu ‘nama dari

sebuah berita’. Terkait dengan jurnalistik, maka dapat dikatakan bahwa al-Qur’an

sejak awal diwahyukannya sudah mencerminkan jurnalisme –meski ini bukan awal

dari sejarah jurnalistik.

Kegiatan jurnalistik dimulai bersamaan dengan adanya manusia, karena pada saat

itu sudah terjadi komunikasi antara mereka-. Tidak hanya itu, penafsiran ini kemudian

berkonsekuensi menjadikan al-Qur’an sebagai ‘media pemberitaan’ Tuhan kepada

hamba-hambaNya, karena di dalamnya mengandung banyak berita.Hal lain yang juga

dilakukan oleh al-Qur’an terkait dengan masalah jurnalisme adalah cara mengabarkan

sebuah informasi. Sayyid Qutubjuga mengatakan bahwa al-Qur’an itu sangat indah

dalam berkisah, salah satu yang menjadi sorotannya adalah cara al-Qur’an

menyampaikan ajaran agama, seperti keesaan Tuhan dan yang lainnya dengan
memutar kembali kisah-kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu. Model berceritanya

pun memiliki beberapa keistimewaan artistik.

3. Adanya kroscek terhadap sebuah berita. Jika tiga hal sebelumnya itu berkaitan dengan
penyampain berita, maka kali ini hubungannya dengan penerima berita. Konsumen
berita harus cerdas dalam menangapi berita, apapun itu. hal ini jadi suggestiondalam
al-Qur’an surat al-Hujurat [49]: 6

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Ayat ini tidak hanya tertuju pada kasus yang menjadi sabab nuzulnya, al-
Walid bin ‘Uqbah yang membawa berita bohong kepada Nabi mengenai al-Harits, al-
Walid mengabarkan bahwa al-Harits tidak mau membayar zakat dan mengancam
akan membunuhnya. Lebih dari itu ayat ini menekankan umat Islam untuk bersikap
kritis terhadap pemberitaan yang disampaikan oleh orang fasik, apapun berita yang
disampaikan.

Masyarakat harus kritis dan melakukan tabayyun terhadap informasi yang


diperolehnya. Sebab, seperti pepatah Arab, al-Khabar ka al-ghubar, informasi itu
bagaikan debu yang belum jelas kebenarannya.Dikatakan pula bahwa ayat ini tidak
berkaitan langsung dengan masalah keagamaan, tetapi lebih merupakan pemberitaan
yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan, yang kalau tidak ditanggapi
dengan hati-hati, maka dapat menimbulkan instabilitas dan disharmoni, bahkan dapat
menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Ternyata, tidak hanya untuk berita yang
dibawa oleh orang fasik, setiap berita hendaknya harus dikroscek terlebih dahulu
sebelum diterima kebenarannya, seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Sulaiman
ketika menerima kabar dari burung Hudhud mengenai negeri Saba’, padahal disitu
redaksi yang digunakan adalah berita yang diyakini). Nabi Sulaiman ketika itu
menjawab akan membuktikan sendiri kebenarannya, tidak langsung mengiyakan
cerita Hudhud. Jawaban Nabi Sulaiman ini ada pada lima ayat setelahnya, ayat 27,
Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk
orang-orang yang berdusta”
Dalam media, selain mengkroscek kebenaran dan keakuratan suatu berita,
bentuk kritis lain terhadap suatu informasi atau wacana dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teori analisis wacana. Suatu informasi atau wacana tidak serta merta
langsung diterima atau ditolak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terlebih
dahulu. Di antaranya: objek yang dituju oleh suatu informasi, konteks (situasi dan
kondisi) ketika wacana atau informasi itu ditulis, historisnya (kesejarahan suatu
informasi), sisi kekuasaan dan ideologi penyampai informasi.
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal:

1. Jurnalistik bukan hanya mencatat, menyampaikan dan menyebarkan informasi,

tapi lebih kepada seni atau keterampilan menyampaikan berita. Keterampilan ini

sangat diperhatikan mengingat peran dan fungsi jurnalistik yang tidak remehdi

masyarakat, yaitu sebagai agen pembaharu.

2. Al-Qur’an dalam berbagai hal ternyata sudah mempraktekkan aktivitas

jurnalistik. Tentu ini merupakan kabar kembira bagi dunia jurnalistik, karena al-

Qur’an itu sangat tepat untuk dijadikan pedoman dalam urusan jurnalisme. Al-

Qur’an bukan sembarang media pemberitaan, melainkan ‘media pemberitaan

Tuhan yang agung

3. Salah satu unsur jurnalistik yang ditekankan oleh al-Qur’an adalah mengenai etika

jurnalistik, sopan santun penyiaran, bahkan tidak hanya etika untuk informan saja

yang dalam hal ini adalah para jurnalis, akan tetapi juga tertuju pada penerima

informasi. Jurnalistik Qur’ani ini berorientasi pada satu hal, yaitu tersebarnya

kebaikan dan taqwa. Lebih rinci mengenai etika jurnalistik yang disinggung al-

Qur’an antara lain; kejujuran, informasi yang dibawa harus valid, bukan dugaan

apalagi fitnah, tidak bertujuan untuk menyebarkan keburukan serta aib seseorang

tanpa suatu manfaat atau kepentingan yang jelas dan hendaknya ada kroscek dan

sikap kritis terhadap sebuah berita.


DAFTAR PUSTAKA

Pengaruh Media, Jangan Dianggap ‘Enteng’, Kedaulatan Rakyat, Jumat

Maret2013, 11.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus

Besar Bahasa Indonesia(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

1989), 370.

Dewan Pers, Tabel Pengaduan Masyarakat ke Dewan Pers Tahun 2000-2011.

http://www.dewanpers.or.id/page/pengaduan/laporan/?id=1643[5 April 2013/ 8:08

AM]

Masduki. 2003. Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Yogyakarta: UII Press

Rolnicki, Tom E. et.al. 2008. Pengantar Dasar Jurnalisme (Scholastic

Journalism). Jakarta: Kencana

Lihat lebih lanjut Sayyid Qutb (w. 1385 H), Indahnya al-Qur’an Berkisah, terj.

Fathurrahman Abdul Hamid (Jakarta: Gema Insani, 2004), 191

Anda mungkin juga menyukai