Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KEHENDAK MANUSIA DAN KEKUASAAN SERTA KEADILAN TUHAN


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Tauhid dan
Pemikiran Kalam
Dosen Pengampu: Drs. Tamami, M.Ag.

Disusun Oleh:
Sani Jamilah 1211030194
Serli Lestari 1211030200
Syahira Siti Nurazizah 1211030210
Taupik Rahman 1211030217
Wildan Bagas Hamid 1211030221
Zahra Izzatun Nisa 1211030229

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan teologi Islam terdapat banyak sekali aliran-


aliran teologi yang muncul yang secara eksplisit dapat dikategorikan berdasarkan
cara pandangnya menjadi aliran-aliran yang bersifat liberal dan juga tradisional. 1
Munculnya aliran-aliran teologi tersebut bermula dari timbulnya perbincangan
tentang pelaku dosa besar, yang kemudian meluas kepada teme-tema pokok
lainnya yang telah disistematisasikan oleh Harun Nasution kepada tujuh tema
pokok dalam teologi Islam, meliputi akal dan wahyu, kebebsan manusia,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, sifat Tuhan, perbuatan-
Nya, Konsep iman.2

Pasca perbincangan mengenai iman dan kafir pada awal masa awal
munculnya aliran-aliran tersebut oleh kaum khawarij dan murji’ah, tema
perbincangan teologi islam beralih ke perbuatan manusia dan kehendak Tuhan. Di
kalangan teologis-liberalis dan teologis-tradisionalis mempunyai pandangan yang
sangat bertolak belakang.

Kalangan liberalis memandang bahwa manusia memiliki kehendak yang


bebas dalam mengatur setiap tindakannya. Tidak ada peran Tuhan dalam
mengatur perbuatan tersebut. Konsekuensi logisnya adalah adanya
pertanggungjawaban yang dibebankan kepada setiap mukallaf atas segala amalnya
sebagai bentuk keadilan Tuhan atas kehendak bebas tersebut.

Sedangkan kalangan tradisionalis Islam mempunyai pandangan fatalisme


(predestination) yang menganggap bahwa setiap perbuatan manusia itu sudah
digariskan oleh Allah Swt.3 Manusia tidak mempunyai daya apapun melawan
kehendak dan kekuasaan Tuhan.

Dalam praktiknya, perdebatan-perdebatan terkait konsep free will dan


Perbuatan Tuhan memiliki dialektika yang panjang terutama pada aliran Ahlu

1
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (1986, Jakarta, UI
Press) hlm. x
2
Ibid
3
Ibid., hlm. 9

1
Sunnah Ahmad ibn Hanbal yang memiliki kecenderungan tekstaul dalam
penginterpretasian Al-Qur’an dan kaum Mu’tazilah yang sangat mengedepankan
Akal Rasional.4 Sehingga melahirkan sebuah sintesis dari peredebatan tersebut
yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari yang memadukan dua pendekatan
tersebut.5

Bagaimana kemudian pendangan aliran-aliran teologi Islam tersebut


memandang kehendak bebas manusia serta keadilan Tuhan serta konsekuensi
logis akan pendapat masing-masing aliran akan kami bahas selanjutnya dalam
makalah ini dengan judul “KEHENDAK MANUSIA DAN KEKUASAAN
SERTA KEADILAN TUHAN”

PEMBAHASAN
4
Ibid., hlm. 10
5
Ibid., hlm. 11

2
A. Kehendak Manusia
1. Qadariyah
Menurut bahasa kata Qadariyah berasal dari kata qadara, yaqduru,
qadirun artinya memutuskan, menentukan. Atau dari kata qadara,
yaqdiru, qudratan, maqdaratan, maqduratan, maqdiratan artinya
memiliki kekuatan dan kekuasaan. Jadi asal kata Qadariyah mempunyai
dua pengertian yaitu pertama berarti menentukan, dari kata inilah diambil
kata "taqdir", sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah. Sedangkan yang
kedua berarti kekuatan dan kekuasaan. Yang kedua inilah yang identik
dengan paham Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki
kekuatan dan kekuasaan untuk menentukan nasibnya sendiri.6

Golongan Qadariyah pertama kali muncul kira-kira pada tahun 70


H di Iraq pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan yang hidup antara
tahun 685-705 M. Qadariyah dimotori oleh Ma'bad bin Juhani Al-Bisriy
W. (699 M) dan Al-Jad bin Dirham. Awal munculnya Qadariyah diduga
sebagai protes atas kezaliman politik Bani Umayah. Qadariyah bertolak
belakang dengan faham Jabariyah. Dimana Jabariyah mempunyai
kepercayaan bahwa segala sesuatu tentang manusia sudah terkait dengan
ketentuan Allah. Sementara Qadariyah mengatakan manusia tidak
selamanya terkait pada ketentuan Allah semata, tetapi harus disertai upaya
untuk menentukan nasibnya.7

Paham ini cenderung melegtimasi perbuatan maksiat, perbuatan


sewenang, perbuatan aniaya dan sebagainya. Bahkan paham ini telah
dianut oleh peguasa Bani Umayyah yang cenderung dalam kezaliman
Qadariyah ini, munculnya sebagai namun untuk membenarkan tindakan-
tindakan mereka, seperti yang di saksikan Gilan al-Dimasyqy (tokoh
paham Qadariyah) ketika menjabat sebagai sekertaris Negara dalam
pemerintahan Umayyah di Damaskus. Ia menyaksikan kemerosotan dari
6
Muhammad Hasbi, ILMU KALAM, Memotret Berbagai Aliran Teologi dalam islam,
(Yogyakarta: Katalog dalam Terbitan, 2015 ) hlm. 80
7
Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran–Aliran dalam Islam dan ciri-cirnya, ( Jakarta: Pustaka
AL RIYADI, 2003), hlm. 57.

3
sudut agama, kemewahan istana, sementara rakyat kelaparan, penindasan
terhadap rakyat dan sebagainya. Bila diingatkan mengapa melakukan hal
itu, dan harus mempertanggung jawabkan di hadapan ummat, dan di
akhirat kelak, mereka menolak dan mengatakan kami tidak dimintai
pertanggungjawaban atas tindakan kami, sebab bisa Tuhanlah yang
menghendaki semua itu. Berdasarkan kasus tersebut, muncullah paham
Qadariyah sebagai reaksi keras dengan mengatakan manusialah yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya dengan kemauan dan tenaganya
sendiri.8

Faktor lain yang menyebabkan munculnya paham Qadariyah,


yakni pada waktu yang sama (masa Bani Umayyah), kaum muslimin atau
orang- orang Arab bercampur dan berinteraksi dengan berbagai macam
pemikiran dan pendapat asing, sehingga tidak aneh jika hal itu
mengarahkan mereka pada persoalan- persoalan yang sebelumnya tidak
pernah terbetik dalam dalam hati mereka. Kemudian kaum muslimin mulai
memecahkan persoalan mereka dengan metode yang di sesuaikan dengan
keyakinan hati mereka.9

Dialog itu dapat disimpulkan bahwa semua manusia tidak dapat


melakukan sesuatu kecuali dengan pertolongan Allah SWT. Kalau begitu
di mana posisi kebebasan kehendak dalam diri manusia. Dialog tersebut
terjadi di Damaskus (markas Agama Kristen) dan tersebar ke Basrah
(pintu gerbang kebudayaan Islam), di samping itu dari Romawi Timur,
salah satu kecenderungan budaya Romawi adalah suka berdiskusi,
berdebat dengan menggunakan dalil-dalil logika kebiasaan tersebut
berlanjut ketika berada di wilayah kekuasaan khalifah. Kebiasaan seperti
itulah yang di kembangkan di tengah-tengah ummat Islam sebagai pemicu
munculnya paham Qadariyah.10

8
Jamaluddin dan shabri Shaleh Anwar, ILMU KALAM, Khasanah Intelektual dalam Islam (
Indragiri hilir: PT. Indaragiri Dot Com, 2020 ) hlm. 83
9
Ibid
10
Ibid

4
Diantara ciri-ciri faham Qadariyah adalah: 11

 Kedudukan akal lebih tinggi


 Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
 Kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran- jaran dasar dalam
alquran dan hadis
 Mengambil metaforis dari wahyu
 Dinamika dalam bersikap dan berpikir

2. Jabariyah
Nama Jabariyah Berasal dari kata Bahasa arab Jabara yang
mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa
Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan
menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Dalam istilah
Inggris paham Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham
yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh
qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam paham ini
tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak
mutlak Tuhan. Oleh karena itu aliran Jabariyah ini menganut paham
bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan
perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa. Paham
Jabariyah ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang
kemasyarakat Arab.12

Ada dua kelompok yang terdapat dalam paham Jabariyah, yaitu


Jabariyah murni dan Jabariyah moderat. Jabariyah murni menolak adanya
perbuatan yang berasal dari manusia dan memandang menusia tidak
mempunyai kemampuan untuk berbuat. Adapun Jabariyah moderat

11
M. Yunus, PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF ALIRAN KALAM : Qadariyah,
Jabariyah,dan Asy’ Ariyah, STAI DDI Pinrang, 2020, hlm. 77
12
Nurhasanah Bakhtiar dan Marwan, Metodologi Studi Islam,( Pekanbaru: Pustaka CAHAYA
FIRDAUS, 2016), hlm. 144

5
mengakui adanya perbuatan dari manusia namun perbuatannya tidak
membatasi atau kehendak tuhan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
Jabariyah menempatkan akal pada porsi yang rendah karena semua
tindakan dan ketentuan alam di bawah kekuasaan atau kehendak Tuhan.
Sehingga membuat pemikiran dalam segala aspek kehidupan tidak
berkembang bahkan terhenti.13

B. Kekuasan dan Kehendak Mutlak Tuhan


Pembahasan mengenai kekuasaan Tuhan merupakan kelanjutan dari
pembahasan tentang kapasitas akal, kebebasan dan kekuasaan manusia atas
kehendak dan tindakannya. Adapun di dalam hal ini Harun Nasution sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Arifin membagi pemikiran teolog dalam dua aliran
besar.14 Aliran yang pertama yaitu mereka yang menganggap bahwa akal
mempunyai daya yang besar dan manusia bebas serta berkuasa atas kehendak dan
perbuatannya. Kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakekatnya tidak lagi bersifat
mutlak. Kemudian yang kedua, mereka yang mengatakan akal manusia memiliki
keterbatasan, maka Tuhan memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak atas diri
manusia tersebut.

Kaum Asy’ariyah adalah golongan yang meyakini Tuhan memiliki


kekuasaan mutlak atas manusia. Golongan ini beranggapan bahwa Tuhan
memiliki kekuasaan yang absolut yang tidak bisa diganggu-gugat, karena tidak
ada sesuatu apapun di atas Tuhan, dan tidak ada yang dapat menentukan apa yang
boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh Tuhan.15 Maka dari itu tidak
ada yang dapat membatasi dan mencela Tuhan, sebab ia bersifat absolut atas apa
saja yang dilakukan-Nya, malaupun perbuatan itu dipandang tidak adil dan dzalim
oleh manusia. Karenanya Tuhan dapat saja memerintah apa yang sebelumnya

13
M. Yunus ‘’ PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF ALIRAN KALAM : Qadariyah,
Jabariyah,dan Asy’ Ariyah,STAI DDI Pinrang, 2020, hlm. 77
14
Muhammad Arifin, Teologi Rasional Perspektif Pemikiran Harun Nasution, (Banda Aceh:
Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia, 2021), hlm. 28
15
Abu Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah, (Hyderabad tp, t.t), hlm. 68

6
telah dilarang atau melarang manusia atas sesuatu yang sebelumnya telah
diperintahkan-Nya.16

Pendirian seperti ini berbeda dengan apa yang diyakini oleh kaum
Mu’tazilah. Golongan ini menganggap Tuhan telah membatasi diri-Nya setelah
memberikan kebebasan kepada manusia dalam menentukan perbuatan dan
kemauannya sendiri. Menurut kaum Mu’tazilah, kekuasaan mutlak Tuhan telah
dibatasi dengan sifat-Nya yang adil. Selain itu menurut paham Mu’tazilah,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi juga oleh kewajiban-kewajiban
Tuhan terhadap manusia dan hukum alam (sunnatullah,) yang tidak mengalami
perubahan.17

Relasi yang bisa diambil dari penjelasan tentang Sunnatullah dengan


kehendak mutlak Tuhan adalah bahwa Tuhan telah menjadikan sunnah untuk
mengatur kehidupan alam dan manusia. Oleh sebab itu Tuhan membatasi diri
dengan sunnah yang telah ditetapkan-Nya. Ia akan menjalankan sunnah yang telah
ditetapkannya kepada manusia. Jika Ia telah berjanji maka Ia akan menepatinya,
jika Ia telah mengancam maka Ia akan merealisasikannya. Lain halnya dengan
Mu’tazilah, dalam pandangannya Tuhan tidak bersikap absolut seperti seorang
raja yang otoriter dalam menjatuhkan hukuman yang semena-mena. Akan tetapi
Mu’tazilah menganggap kekuasaan Tuhan lebih dekat dengan kekuasaan Raja
Konstitusional yang kekuasaan dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi.18

C. Keadilan Tuhan
Pembicaraan tentang keadilan Tuhan erat kaitannya dengan persoalan
kehendak mutlak Tuhan. Bagi golongan yang menganggap Tuhan memiliki
kekuasaan mutlak tanpa batas (absolut) maka keadilan dipandang sebagai sifat
Tuhan yang abadi yang tidak dapat dinilai oleh manusia meskipun bertentangan
dengan rasio dan kepentingan manusia. Sementara bagi golongan yang
menganggap Tuhan memiliki keterbatasan dalam kekuasaan-Nya maka keadilan
Tuhan bermakna bahwa Tuhan melaksanakan sesuatu sesuai dengan sunnah-Nya
16
Muhammad Arifin, op.cit., hlm. 29
17
Ibid., hlm. 31
18
Ibid., hlm. 32

7
dan tidak mengingkari sunnah yang telah ditetapkan-Nya. Kaum Mu’tazilah
membahas masalah keadilan Tuhan didasari pada kepentingan manusia. Tuhan
memiliki tujuan dalam menciptakan segala sesuatunya. Karena ia maha suci dan
kepentingan-kepentingan pribadi maka mestilah maujud yang diciptakan-Nya
untuk kepentingan sesuatu yang lain selain-Nya. Secara spesifik Mu’tazilah
meninjau segala sesuatunya berdasarkan kepentingan manusia itu sendiri.19

Dalam konsekuensi dan keyakinan ini, kaum Mu’tazilah memandang


keadilan Tuhan adalah pemenuhan hak-hak hak manusia. Kata “Tuhan adil”
memiliki makna bahwa segala perbuatan Tuhan adalah baik dan ia tidak dapat
berbuat berlaku buruk dan mengabdikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada
manusia. Ia melaksanakan semua janjinya kepada manusia. Ia tidak menghukum
orang yang telah melaksanakan perintah-Nya, Ia tidak memberikan beban yang
berat kepada manusia yang tidak dapat dipikulnya. Ia tidak menyiksa anak kecil
yang belum berbuat baik kepadanya, dan lain sebagainya. Pandangan ini lebih
masuk akal dan tidak menzalimi manusia yang telah berbuat baik. Manusia tidak
akan dizalimi oleh Tuhan atas apa yang telah diperbuatnya karena Tuhan maha
adil. Keadilan Tuhanlah yang meyebabkan Tuhan harus berlaku adil terhadap
semua manusia.20

Sementara kaum Asy’ariyah tidak sependapat dengan paham ini.


Keyakinan mereka akan sifat Tuhan yang absolut membawa pada keyakinan
bahwa keadilan Tuhan merupakan hak prerogatif Tuhan yang tidak bisa diganggu-
gugat. Tuhan menurut golongan ini berhak melakukan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan yang dipahami manusia. Keadilan dipahami
sebagai: “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya yaitu mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai
dengan kehendak dan pengetahuan pemilik”. Manusia dan alam semesta adalah
“milik” Tuhan, karenanya Ia berhak berbuat sesuka-Nya atas manusia dan segala
sesuatu yang wujud selain-Nya. Ia dinilai tidak adil jika tidak memiliki hak

19
Ibid., hlm. 32-33
20
Ibid., hlm. 33

8
tersebut, karena Tuhan bebas menentukan sikapnya dan tidak ada yang
membatasi-Nya.21

Harun Nasution menjelaskan bahwa konsep keadilan Tuhan yang


diberikan oleh dua golongan teolog di atas memiliki perbedaan yang sangat
signifikan. Di satu sisi kaum Mu’tazilah memandang keadilan Tuhan sebagai
adanya kewajiban yang harus dihormati Tuhan. Keadilan tidak hanya berarti
memberi upah kepada yang berbuat baik dan memberikan hukuman kepada yang
berbuat salah. Tuhan berkewajiban berbuat baik kepada manusia berarti Ia tidak
memberikan beban di luar kemampuan manusia untuk memikulnya, ia
mengirimkan Rasul kepada manusia untuk menguatkan hasil pemikiran akal
manusia.22

Adapun golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa keadilan Tuhan


bagaikan keadilan yang dipahami seorang raja absolut yang memberikan hukuman
berdasarkan kekuasaan mutlak yang dimiliki-Nya. Ia tidak terikat pada aturan,
hukum dan norma kecuali pada hukum, aturan dan norma-Nya sendiri. Keadilan
seperti ini tidak dapat dirasionalkan sehingga terkesan Tuhan sebagai penguasa
Mutlak yang dapat saja melanggar konsep keadilan seperti yang dipahami oleh
manusia. Hal ini berimplikasi pada bahwa Tuhan tidak terikat pada sesuatu
konsep apapun dalam mewujudkan keinginannya sehingga dia dapat melanggar
rasa keadilan yang dipahami oleh manusia. Bagi mereka yang cendrung rasiona,
agak irrasional memahami Tuhan dengan keadilan seperti ini sehingga dapat
menghilangkan rasa ke Maha Adilan-Nya.23

21
Ibid., hlm. 34
22
Harun Nasution, op.cit., hlm. 125
23
Muhammad Arifin, op.cit., hlm. 35-36

9
PENUTUP

Menurut bahasa kata Qadariyah berasal dari kata qadara, yaqduru,


qadirun artinya memutuskan, menentukan. Atau dari kata qadara, yaqdiru,
qudratan, maqdaratan, maqduratan, maqdiratan artinya memiliki kekuatan dan
kekuasaan. Qadariyah bertolak belakang dengan faham Jabariyah. Dimana
Jabariyah mempunyai kepercayaan bahwa segala sesuatu tentang manusia sudah
terkait dengan ketentuan Allah. Bahkan paham ini telah dianut oleh peguasa Bani
Umayyah yang cenderung dalam kezaliman Qadariyah ini, munculnya sebagai
namun untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka, seperti yang di saksikan
Gilan al-Dimasyqy ketika menjabat sebagai sekertaris Negara dalam
pemerintahan Umayyah di Damaskus. Berdasarkan kasus tersebut, muncullah
paham Qadariyah sebagai reaksi keras dengan mengatakan manusialah yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya dengan kemauan dan tenaganya sendiri.

Nama Jabariyah Berasal dari kata bahasa Arab Jabara yang mengandung
arti memaksa. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa Jabariyah berarti
menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan
tersebut kepada Allah SWT. Oleh karena itu aliran Jabariyah ini menganut paham
bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi
perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa. Jabariyah murni menolak adanya
perbuatan yang berasal dari manusia dan memandang menusia tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat. Adapun Jabariyah moderat mengakui adanya
perbuatan dari manusia namun perbuatannya tidak membatasi atau kehendak
tuhan

Pembahasan mengenai kekuasaan Tuhan merupakan kelanjutan dari


pembahasan tentang kapasitas akal, kebebasan dan kekuasaan manusia atas
kehendak dan tindakannya. Adapun di dalam hal ini Harun Nasution sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Arifin membagi pemikiran teolog dalam dua aliran
besar. Golongan ini beranggapan bahwa Tuhan memiliki kekuasaan yang absolut
yang tidak bisa diganggu-gugat, karena tidak ada sesuatu apapun di atas Tuhan,

10
dan tidak ada yang dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak
boleh dilakukan oleh Tuhan. Relasi yang bisa diambil dari penjelasan tentang
Sunnatullah dengan kehendak mutlak Tuhan adalah bahwa Tuhan telah
menjadikan sunnah untuk mengatur kehidupan alam dan manusia.

Pembicaraan tentang keadilan Tuhan erat kaitannya dengan persoalan


kehendak mutlak Tuhan. Bagi golongan yang menganggap Tuhan memiliki
kekuasaan mutlak tanpa batas maka keadilan dipandang sebagai sifat Tuhan yang
abadi yang tidak dapat dinilai oleh manusia meskipun bertentangan dengan rasio
dan kepentingan manusia. Ia tidak menyiksa anak kecil yang belum berbuat baik
kepadanya, dan lain sebagainya. Pandangan ini lebih masuk akal dan tidak
menzalimi manusia yang telah berbuat baik. Harun Nasution menjelaskan bahwa
konsep keadilan Tuhan yang diberikan oleh dua golongan teolog di atas memiliki
perbedaan yang sangat signifikan. Di satu sisi kaum Mu’tazilah memandang
keadilan Tuhan sebagai adanya kewajiban yang harus dihormati Tuhan. Keadilan
tidak hanya berarti memberi upah kepada yang berbuat baik dan memberikan
hukuman kepada yang berbuat salah.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Raji Sufyan. (2003 ). Mengenal Aliran–Aliran dalam Islam dan ciri-
cirnya. Jakarta: Pustaka AL RIYADI.
Al-Asy’ari Abu Hasan, Al-Ibanah, Hyderabat: t.p, t.t. Ahmad Hanafi.(1982)
Theology Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Arifin, Muhammad. (2021). Teologi Rasional Perspektif Pemikiran Harun


Nasution. Banda Aceh: Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia.

Bakhtiar, Nurhasanah dan Marwan. (2016 ) Metodologi Studi Islam. Pekanbaru:


Pustaka CAHAYA FIRDAUS.
Hasbi, Muhammad. ( 2015 ). ILMU KALAM, Memotret Berbagai Aliran Teologi
dalam islam. Yogyakarta: Katalog dalam Terbitan KDT

Jamaluddin dan shabri Shaleh Anwar. (2020 ). ILMU KALAM, Khasanah


Intelektual dalam Islam Indragiri hilir: PT. Indaragiri Dot Com.
Nasution, Harun. (1986). Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan
Perbandingan. Jakarta: UI-Press.

Yunus, M. ( 2020 ). PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF ALIRAN


KALAM : Qadariyah, Jabariyah,dan Asy’ Ariyah, STAI DDI Pinrang.

12

Anda mungkin juga menyukai