Anda di halaman 1dari 11

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG KEWAJIBAN BELAJAR dan

MENGAJAR

[KAJIAN SURAT AL-‘ALAQ/96 : 1-5 dan AT-TAUBAH/9 : 122 ]

MAKALAH

(Tugas Individual Mata Kuliah Tafsir-II Unit 03)

DI SUSUN OLEH:

HERI ANANDA

NIM : 211222438

DOSEN PENGASUH:

DR. H. HASAN BASRI, MA

FAKULTAS TARBIYAH dan KEGURUAN

UIN AR-RANIRY BANDA ACEH

2015

1
TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG KEWAJIBAN BELAJAR dan
MENGAJAR

Oleh : Heri Ananda

I. Teks Ayat
a. Al-‘alaq : 1-5

b. At-taubah : 122

II. Ma’na al-mufradat


a. Al-‘alaq
‘alaq : Jamak dari ‘Alaqah artinya segumpal darah.
Aqram : yang maha atau paling pemurah atau semulia-mulia.
Insan : unsa artinya jinak atau harmonis
Qalamii : qalam artinya memotong ujung sesuatu.

b. At-taubah
Nafara : berangkat perang.
Laula : Kata-kata yang berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu
yang disebutkan sesudah kata-kata tersebut, apabila itu terjadi
dimasa yang akan datang. Tapi “Laula” juga berarti kecemasan
atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan sesudah kata itu,
apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila hal yang

2
dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa
juga ”Laula”, itu berarti perintah mengerjakannya.

Tafaqqaha : berusaha keras untuk mendalami dan memahami suatu


perkara dengan susah payah untuk memperolehnya.

Anzarahu : menakut-nakuti dia

III. Terjemah tafsiriyyah


a. Al-‘alaq : 1-5

“Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmulah Yang
Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena). Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).

b. At-taubah : 122

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS: At-Taubah : 122)

IV. Asbab al-nuzul


a. Al-‘alaq
 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam hadist shahihnya dari
Aisyah: “ Pada mulanya, Rasulullah menerima wahyunya
melalui mimpi yang benar. Setiap beliau bermimpi, pada
siaangnya mimpi itu menjadi kenyataan. Mulai dari saat itu,
beliau sangat ingin menyendiri(berkhalawat). Beliau pun pergi
ke gua Hira yang berada di luar kota Mekkah (sekitar 6 km dari
pusat kota), duduk beberapa malam di dalamnya dengan
membawa bekal yang diperlukan. Ketiksa perbekalan habis,
pulanglah Nabi ke rumah istrinya, Khadijah, untuk kembali
menngambil bekal. Begitu seterusnya dilakukan hingga Nabi
menerima wahyu yang tidak disangka-sangka. Pada saat dia
duduk di dalam gua, datnglah malaikat Jibril, seraya meminta
Nabi Muhammad untuk membaca. “Bacalah”, kata Jibril. Nabi

3
menjawab: “Aku tidak bisa membaca.” Maka, Jibril pun
memeluk Nabi erat-erat sehingga Nabi merasa payah. Setelah
melepas pelukannya, Jibril kembali memerintah Nabi untuk
membaca, dan Nabi pun menjawab sama: “Aku tidak bisa
membaca,” Jibril kembali memeluk Nabi dengan sangat erat.
Setelah pelukannya dilepaskan, Jibril membacakan lima ayat
pertama surah al ‘alaq ini (HR. bukhari)1

b. At-taubah
 Dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa ketika Rasul saw.
tiba di Madinah, beliau mengutus pasukan yang tediri dari
beberapa orang ke beberapa daerah. Banyak sekali yang ingin
ikut dalam pasukan itu sehingga apabila di ikuti, maka tidak
ada yang tinggal bersama Rasul kecuali beberapa orang saja.2
 Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin , dan juga tidak
dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap
utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena,
perang itu sebenarnya fardu kifayah, bukan fardu ‘ain. Perang
baru menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan
mengarahkan kaum mukmin menuju medan perang (ghazwah)
oleh sebab itu maka turunlah ayat ini3

V. Tafsir al-ayat
a. Al-‘alaq

Dalam waktu pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama di
dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi SAW disuruh membaca wahyu
akan diturunkan kepada beliau itu di atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta.

1
Ibnu katsier. “Tafsir ibnu katsier”. Jilid 8 ( Surabaya : PT bina ilmu. 1992) hal. 359-360
2
Shihab, M. Quraish. “Tafsir Al-Misbah” Volume 5. (Jakarta: Lentera Hati. 2002) hal.
749
3
Al-Maraghi, Ahmad mustafa. “Terjemah Tafsir Al-Maraghi”. (Semarang : CV Toha
Putra.1992)

4
“Menciptakan manusia dari segumpal darah.” Yaitu peringkat yang kedua
sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki
dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma
jadi segumpal darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma pula
setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (Mudhghah).

Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh
diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang
tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca.
Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung
oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala,
dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan
semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak
membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-
wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi nama Al-Qur’an. Dan Al-Qur’an itu
pun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: “Bacalah, atas qudrat-Ku
dan iradat-Ku.”

Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu’ Ammanya menerangkan: “Yaitu


Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia dari pada air mani, menjelma jadi
darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan
kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai
membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa
tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula beliau menjawab secara jujur
bahwa beliau tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras,
buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah
ada padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia sempurna.
Banyak lagi yang akan dibacanya di belakang hari. Yang penting harus
diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain
ialah dengan nama Allah jua.”

“Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia.” Setelah di ayat yang
pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang menciptakan insan dari
segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca di atas nama Tuhan.

5
Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah
Yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-
Nya.

Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi. Yaitu
diajarkan-Nya kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia,
diserahkan-Nya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu
dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah untuk membaca, Tuhan pun
mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena
adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah
berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia

Lebih dahulu Allah Ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia
pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh
Allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu
dengan qalam yang telah ada dalam tangannya

Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita
menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal-usul kejadian
seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang
berasal dari segumpal mani.4

b. At-taubah

4
Hamka. “Tafsir al-azhar”. Juz 11.( Jakarta: pustaka panji mas. 1982)

6
Kata fiqh di sini bukan terbataas pada apa yang di istilahkan dalam disipllin ilmu
agama dengan ilmu fiqh, tetapi kata itu mencakup segala macam pengetahuan
mendalam. Pengaitan tafaqquh (pendalaman pengetahuan itu) dengan agama,
agaknya untuk menggaris bawahi tujunan pendalaman itu, bukan dalam arti
pengetahuan tentang ilmu agama. Pembagian disiplin ilmu-ilmu agama dan ilmu
umum belum di kenal pada masa turunnya alqur’an bahkan tidak di perkenalkan
oleh ALLAH swt. Al-qur’an tidak membedakan ilmu. Ia tidak mengenal ilmu
agama dan ilmu umum, karna semua ilmu bersumber dari ALLAH swt. yang di
perkenalkannya adalah ilmu yang di peroleh dengan usaha manusia kasbi
(acquired knowledge) dan ilmu yang merupakan anugerah ALLAH tanpa usaha
manusia (ladunny/ perennial).

Ayat ini menggaris bawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebar luaskan
informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya mempertahankan
wilayah. Bahkan, pertahanan wilayah berkaitan erat dengan kemampuan
informasi serta kehandalan ilmu pengethuan atau sumber daya manusia.5

VI. Munasabah al-ayat bi ayat


a. Al-‘alaq

Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan (al-qalam: 1)

5
Shihab, M. Quraish. “Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta: Lentera Hati. 2002) hal. 750-751

7
Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan
kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika
mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara
mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka
ketika mereka bersengketa (ali-imran: 44)

Pada kedua ayat di atas terdapat apa yang di namai ihtibak yang maksudnya
adalah tidak disebutkan sesuatu keterangan, yang sewajarnya ada pada dua
susunan kalimat yang bergandengan, karena keterangan yang dimaksud telah
disebut pada kalimat yang lain. Pada ayat 4 kata manusia tidak disebut karna
sudah di sebut pada ayat 5, dan pada ayat 5 kalimat tanpa pena tidak disebut
karena pada ayat 4 telah diisyaratkan makna itu dengan di sebutnya pena. Dengan
demikian kedua ayat di atas berarti ”dia (ALLAH) mengajarkan dengan pena
(tulisan) (hal-hal yang telah diketahui manusia sebelumnya.”kalimat ”yang telah
diketahui sebelumnya” disisipkan karena isyarat pada susunan kedua yaitu “yang
belum atau tidak diketahui sebelumnya” sedang kalimat “tanpa pena”
ditambahkan karena adanya kata “dengan pena” dalam susunan pertama. Yang di
maksud dengan ungkapan “telah di akui sebelumnya” adalah khazanah
pengetahuan dalam bentuk tulisan6

b. At-taubah

Perintah berperang oleh ayat ini, tidak terbatas sekaligus tidak hanya dapat di
pahami dalam arti mengangkat senjata. Kini peperangan dapat terjadi dengan
pena, lidah,dan aneka usaha. Jihad bisa dalam bentuk pkiran, pendidikan, sosial,

6
Shihab, M. Quraish. “Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta: Lentera Hati. 2002) hal. 401

8
ekonomi, politik sebagaimana bisa juga dengan militer. Masa kini, boleh jadi
serangan terhadap islam dalam bidang pemikiran dam kejiwaan lebih berbahaya
dan lebih berdampak bruk dari pada serangan militer, sehingga kalau dahulu para
ulama hanya membatasi pengertian perang dalam hal menjaga dan
memperthankan perbatasan, maka kini perlu di tambah bentuk lain dari
pertahanan dan peperngan, antara lain dalam bidang pemikiran dan dakwah.7

VII. Munasabah al-ayat bi hadits


a. Al-‘alaq

b. At-taubah

Hadits ini meskipun sanadnya lemah, telah disalinkan oleh imam ghazali di
dalam ihya ulumuddin. Meskipun hadits ini dha’if. Oleh karena di dalam ayat al-
qur’an, baik ayat 42 yang menyuruhkan semua wajib tampil ke medan perang,
atau ayat 122 yang tengah kita tafsirkan menyuruh adakan pembagian tugas di
antara setiap mujahidin, maka kedua hadits ini tidaklah perlu disingkirkan lagi
karena terdapat dha’if sanadnya. Sebab dia telah kembali bernilai tinggi karena
sudah asal ayat al-qur’an yang memberikan keterangan tegas. Malahan di ayat ini
sudah jelas bahwa orang-orang yang beriman itu tidaklah semua berbondong ke
garis depan, bahkan mesti ada yang menjaga garis belakang, garis bennteng ilmu
pengetahuan.8

VIII. Khulashah: Hikamah Tasyri’

Shihab, M. Quraish. “Tafsir Al-Misbah” hal. 753


7
8
Hamka. “Tafsir al-azhar”. Juz 11. (Jakarta: pustaka panji mas. 1982) hal. 88

9
Dari kajian ayat di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan (khulashah) yang
merupakan hikmah tasyri’ di turunkan ayat tersebut kepada rasulullah dan orang-
orang beriman:

 Ayat ini di samping mendorong umat islam untuk banyak


membaca, juga mendorong agar para ulama (orang-orang yang
berilmu) gemar menulis ilmu yang dimilikinya. Ibn Jarir Barr
mencatat sebuah riwayat, yang menyatakan bahwa di hari
kiamat kelak bobot nilai tinta para ulama lebih berat daripada
darah para syuhada’.
 Peran sarana baca-tulis dan media cetak, Besarnya peran alat
baca-tulis dengan disebutkannya kata “al-Qalam” sebagai salah
satu nama surat dalam al-Quran. Ibnu Jarir dan Ibn Hatim serta
Ibn ‘Asakir mencatat suatu hadits, bahwa yang pertama kali
diciptakan Allah ialah “Qalam”. Dan masalah ini dikaji secara
mendalam oleh ahli tasawuf, karena menyangkut permasalahan
“purwaning dumadi” (asal-usul kejadian).
 Asal-Usul Manusia, Adam, nenek moyang manusia, diciptakan
Tuhan dari debu/ tanah (QS. Ali Imran 59), lalu dari tanah
hitam (QS. Al-Hijr 33) sedangkan anak keturunan Adam
diciptakan Allah dari saripati tanah (QS. Al-Mu’min 2), dari
nuftah, segumpal darah, dan selanjutnya manjadi segumpal
daging (Q.S. al-Hajj 5). Dan proses tersebut telah menjadi
bahan kajian para cerdik-cendekia yang tak pernah habis.
 Dari sisi lain “Qalam” dapat dipergunakan untuk membuat
“Blue print” identik dengan proyek penciptaan alam.
 Para penuntut ilmu mengenal 2 tahap hijrah. Pertama, hijrah
menuju ke pusat-pusat ilmu pengetahuan, dimana mereka
menuntut dan mencari berbagai ilmu pengetahuan. Sedangkan
yang kedua ialah hijrah untuk mengajarkannya kepada orang
lain.
 Kewajiban manusia untuk belajar dan mengajar ilmu
 Pentingnya memperdalam ilmu dan menyabarkannya informasi
yang benar
 Hendaklah jihad di bagi menjadi dua, yaitu jihad bersenjata dan
jihad ilmu pengetahuan dengan memperdalamnya
 Antara jihad ilmu pengetahuan dan jihad senjata keduanya
sangat penting dan saling mengisi

10
Referensi

Al-Maraghi, Ahmad mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang : CV Toha


Putra.1992

Hamka. Tafsir al-azhar. Jakarta: pustaka panji mas. 1982

Ibnu katsier. Tafsir ibnu katsier. Surabaya : PT bina ilmu. 1992

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. 2002

11

Anda mungkin juga menyukai