Anda di halaman 1dari 3

Jika Nabi Muhammad ‘tak bisa membaca’, Mengapa Umatnya Diwajibkan

Belajar?

Oleh: Dinda Permata Pratiwi

Al-Qur’an diturunkan 13 tahun sebelum peristiwa hijrahnya nabi Muhammad SAW dari
Makkah ke Madinah. Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan. Perihal mekanisme
turunnya, ulama banyak bersilang pendapat. Ada yang mengatakan 23 tahun secara
berangsur, 24 tahun, dan 25 tahun. Namun, terlepas dari cara dan waktunya, turunnya
Al-Qur’an telah membuka mata dunia tentang pentingnya ilmu pengetahuan.

Lima ayat yang diturunkan pertama kali pada nabi Muhammad SAW terdapat
kata iqra’ yang terulang dua kali, kemudian ada juga kata al-'ilm dengan berbagai
perubahannya yang terulang tiga kali, dan terdapat juga kata al-qolam. Apresiasi Al-
Qur’an pada ilmu pengetahuan tidak hanya tergambar pada lima ayat di awal surat Al
Alaq, tetapi juga ayat lainnya dalam Alquran berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Namun demikian, banyak pihak berkilah, terutama para orientalis, bahwa apresiasi Al-
Qur’an terhadap ilmu pengetahuan ini paradoks karena Muhammad, Sang Pembawa
pesan, justru tidak bisa membaca. Di satu sisi, argumen ini ada benarnya karena Al-
Qur’an sendiri merekam Muhammad sebagai seorang yang ummi. Namun di sisi lain,
status ini menyimpan anugerah yang luar biasa. Atau dalam bahasa lain, blessing in
disguise.

Istilah ummiy merujuk pada kondisi Nabi Muhammad saw yang tidak dapat membaca
dan menulis. Kondisi Nabi tersebut diyakini sebagai legitimasi bahwa al-Qur’an bukan
karangan Nabi, tetapi langsung diturunkan oleh Allah swt. Paham ini diperkuat dengan
beberapa dalil, baik dari ayat al-Qur’an maupun dari hadis Nabi, seperti dalam surat al-
A’raf ayat 157 :

‫ٱَّلِذ يَن َيَّتِبُعوَن ٱلَّرُس وَل ٱلَّنِبَّى ٱُأْلِّمَّى ٱَّلِذ ى َيِج ُدوَن ۥُه َم ْك ُتوًبا ِع نَدُهْم ِفى ٱلَّتْو َر ٰى ِة َو ٱِإْل نِج يِل‬
Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka”

Menurut Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar, gelar ummi yang diberikan kepada Nabi
Muhammad bukan sebuah bentuk penghinaan, justru sebaliknya sebagai bentuk
kemuliaan. Karena sebagaimana yang kita percaya Nabi Muhammad adalah pribadi
yang cerdas dan bijaksana. Ditambah dengan gelar tersebut, maka semakin
mengagumkanlah beliau. Hamka memberikan contoh seorang pemimpin di wilayah
Hindustan yang bernama Sultan Akbar yang buta huruf, tapi terkenal sebagai sorang
raja besar, dan juga filosof.

Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah, menjelaskan bahwa makna dari lafadh al-
ummiy yaitu seseorang yang tidak pandai membaca dan menulis. Kondisi ke-ummi-an
Nabi digambarkan oleh Shihab sama seperti keadaan ibunya yang juga tidak pandai
membaca dan menulis. Shihab menegaskan pendapatnya dengan mengutip ayat surat
al-Ankabut ayat 48 :

‫َو َم ا ُك نَت َتْتُلو۟ا ِم ن َقْبِلِهۦ ِم ن ِكَٰت ٍب َو اَل َتُخ ُّط ۥُه ِبَيِم يِنَك ۖ ِإًذ ا ٱَّلْر َتاَب ٱْلُم ْبِط ُلوَن‬

Artinya : “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Quran) sesuatu Kitab-pun dan
kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).”

Dan juga hadis nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah tentang kronologi penurunan al-
Quran pertama kali yang dikutip dari kitab Shahih Bukhari :

… ‫ُثَّم‬ ‫َو ُهَو ِفي َغ اِر ِح َر اٍء َفَج اَءُه اْلَم َلُك ِفيِه َفَقاَل اْقَر ْأ َفَقاَل َلُه الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفُقْلُت َم ا َأَنا ِبَقاِرٍئ َفَأَخ َذ ِني َفَغَّطِني َح َّتى َبَلَغ ِم ِّني اْلَج ْهُد‬
‫َأْر َس َلِني َفَقاَل اْقَر ْأ َفُقْلُت َم ا َأَنا ِبَقاِرٍئ َفَأَخ َذ ِني َفَغَّطِني الَّثاِنَيَة َح َّتى َبَلَغ ِم ِّني اْلَج ْهُد ُثَّم َأْر َس َلِني َفَقاَل اْقَر ْأ َفُقْلُت َم ا َنا‬
‫َأ‬
‫ِبَقاِرٍئ َفَأَخ َذ ِني َفَغَّطِني الَّثاِلَثَة َح َّتى َبَلَغ ِم ِّني اْلَج ْهُد ُثَّم َأْر َس َلِني َفَقاَل { اْقَر ْأ ِباْس ِم َر ِّبَك اَّلِذ ي َخ َلَق } َح َّتى َبَلَغ { َع َّلَم‬
} ‫…اِإْل ْنَس اَن َم ا َلْم َيْع َلْم‬

Artinya : “…ketika beliau sedang berada di dalam goa Hira`, malaikat datang kepada beliau
dan berujar; ‘bacalah! ‘ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya; “maka aku
menjawab; ‘Saya tidak bisa membaca! ‘ Lalu dia mendekapku dan menutupiku hingga aku
kepayahan. kemudian melepasku dan berkata; ‘Bacalah! ‘ aku menjawab; ‘Saya tidak bisa
membaca! ‘ Ia mendekapku lagi dan menutupiku untuk kedua kalinya hingga aku kepayahan,
kemudian melepasku lagi seraya mengatakan; ‘Bacalah! ‘ saya menjawab; ‘Saya tidak bisa
membaca.’ Maka ia mendekapku dan menutupiku untuk kali ketiganya hingga aku kepayahan,
kemudian melepasku lagi dan mengatakan; ‘Iqro’ Bismi Robbikal Ladzii Kholaqo sampai ayat
‘Allamal Insaana Maa Lam Ya’lam…”

Dari hadis diatas dapat dilihat bahwa Nabi menjawab perintah malaikat Jibril untuk
membaca dengan menggunakan lafadh ( ‫ )َم ا َأَن ا ِبَق اِر ٍئ‬yang berarti saya tidak bisa
membaca, karena jika diteliti dari struktur penggunaan kalimat, huruf ‫َم ا‬di sini
sebagai nafiyah atau untuk pengecualian.

Secara sekilas dua dalil diatas dapat menjadi dasar argumen bahwa Nabi Muhammad
saw tidak dapat membaca dan menulis, tetapi pertanyaan kemudian muncul kenapa
Nabi memerintahkan kepada umat Islam untuk menuntut ilmu bahkan hukumnya
wajib, sedangkan Nabi sendiri tidak bisa membaca dan menulis ? ternyata ada beberapa
pendapat berbeda yang memiliki argumen dan logika berpikir yang berbeda.

Perlu diketahui bahwa lafadh al-ummiy dalam al-Qur’an diulang sebanyak tujuh kali
dalam tujuh ayat berbeda. Salah satunya terdapat pada ayat yang al-A’raf ayat 157 yang
sudah dicantumkan diatas. Jika diperhatikan, lafadh al-ummiy di ayat ini memiliki
makna orang Arab, bukan orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Menurut Ibnu
Ashur ayat ini sebenarnya adalah berita gembira kepada Bani Israel tentang kedatangan
Nabi Muhammad saw sebagai Nabi akhir zaman, tetapi mereka ingkar karena bukan
dari golongannya, tetapi dari kaum Arab.
Sedangkan untuk surat al-Ankabut ayat 4, Ibnu Katsir dalam tafsirnya al-Qur’an al-
Adzhim menjelaskan bahwa ayat ini sama sekali tidak berbicara tentang Nabi
Muhammad yang tidak dapat membaca dan menulis, tetapi ayat ini turun untuk
membela Nabi yang dituduh mengarang al-Qur’an dengan meniru kitab-kitab suci
terdahulu. Kalimat “tidak pernah membaca” dan “tidak pernah menulis” bukan secara
hakikat Nabi tidak bisa membaca dan menulis, tetapi tidak pernah membaca isi kitab-
kitab suci terdahulu dan menyalin isi kitab tersebut.

Dalam hal ini penulis lebih condong kepada pendapat kedua yang mengatakan bahwa
konsep ummi diberikan kepada Nabi Muhammad lebih kepada bahwa Nabi tidak pernah
membaca dan menulis isi kitab-kitab suci terdahulu. Pendapat ini walaupun secara
lahiriah berbeda dengan pendapat pertama, tetapi sama-sama memiliki esensi yang
sama yaitu bahwa penegasan bahwa al-Qur’an bukanlah karangan Nabi, karena tidak
memiliki sumber daya yang mumpuni untuk melakukannya.

Dengan memiliki pemahaman seperti ini, maka tidak akan bertentangan dengan
perintah Nabi bahwa umat Islam wajib untuk menuntut ilmu. Seperti dalam hadis Nabi
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :

‫… َعْن َأَنِس ْبِن َم اِلٍك َقاَل َقاَل َر ُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َطَلُب اْلِع ْلِم َفِر يَض ٌة َع َلى ُك ِّل ُم ْسِلٍم‬

Artinya : “Dari Anas bin Malik(5) ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim...”

Berbagai argumen di atas menyimpulkan bahwa ke-ummi-an merupakan sebuah


kemukjizatan dalam konteks menegaskan al-Qur’an sebagai kitab dari Allah, bukan
karangan manusia. Yang perlu dipahami adalah, tidak bisa membaca atau menulis
bukan berarti tidak berpendidikan. Kecerdasan intelektual yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad sangatlah luar biasa, bahkan dibanding dengan sahabat-sahabat lainnya
yang bisa membaca dan menulis.

Banyak sejarawan terkemuka dunia seperti Michael H. Hart dan Lemaitre misalnya,
yang memuji Nabi Muhammad sebagai negarawan dan pemimpin terbaik dalam sejarah
umat manusia. Michael H. Hart memberi gelar Nabi Muhammad sebagai orang paling
berpengaruh di dunia. Maka ummi merupakan kebijaksanaan dari Allah kepada umat
Islam, khususnya pada Nabi Muhammad. Kita sebagai umatnya tentu tidak mempunyai
kredibilitas sehebat Rasulullah, maka kita tetap diwajibkan menuntut ilmu untuk
kemajuan peradaban Islam.

Anda mungkin juga menyukai