Anda di halaman 1dari 8

1. Mengapa Nabi Muhammad SAW disebut sebagai seorang ummiy ?

Secara khusus pada QS. Al- A’raf [7] : 157-158, gelar al- ummiy, demikian menurut
Hamka dalam Tafsir Al- Azhar, Ummiy pada Nabi Muhammad bukanlah sebagai bentuk
kehinaan, sebaliknya justru sebagai bentuk kemuliaan, sebagaimana dalam arti harfiah
maupun pendapat para ulama lainnya, Hamka bersepakat bahwa Al- Ummiy diartikan
sebagai tidak pandai menulis dan membaca. Bukti ketidakmampuannya dalam hal baca
tulis dialami ketika memrima wahyu pertama kali QS Al- ‘Alaq ayat 1 – 5 yang
disampaikan oleh Malaikat Jibril. Dengan terus terang beliau menjawab bahwa beliau tidak
pandai membaca. Namun roh beliau telah diberi keistimewaan oleh Allah, sehingga
sanggup jiwa itu menerima wahyi illahi1.

Quraish Shihab dalam Tafsir al- Mishbah: Pesan dan Kesan Keserasian Al- Qur’an
pun ketika menguraikan arti al- ummiy tidak berbeda dengan Hamka, yaitu seseorang yang
tidak pandai membaca dan menulis. Shihab menjelaskan bahwa keadaan Rasulullah dalam
ke-ummiyan-nya, seakan-akan dalam segi pengetahuan atau pengetahuan membaca dan
menulis sama dengan keadaannya ketika baru dilahirkan oleh ibunya atau sama denagn
keadaan ibunya yang tak pandai membaca2.

Lebih tegas Shihab menuliskan bahwa ke-ummiyan Nabi Muhammad sebagai salah
satu bukti kerasulannya pendapat ini diperkuat dengan menyebut QS Al- Ankabut [29]: 48,
yang artinya sebagai berikut :

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al- Qur’an) sesuatu kitab pun, dan
kamu tidak pernah menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah ornag yang mengingkari(mu).

Ke-ummiyan pada Nabi Muhammad memberi pengertian pada Nabi Muhammad


tidak mungkin membaca Taurat dan Injil yang ada pada umat-umat Yahudi dan Nasrani,
demikian pula dengan cerita-cerita ku yang berhubungan dengan umat-umat terdahulu. Ke-
ummiyan Nabi Muhammad dijadikan sebagai alasan kuat bahwa wahyu Al- Qur’an yang
diterima oleh Nabi Muhammad bukan karena saduran atau tiruan dari kitab-kitab atau
cerita-cerita sebelum Al-Quran. Dengan demikian, terdapat sejumlah pemahaman tentang
an- nabiy al- ummiy: pertama, jika an-nabiy al-ummiy diartikan dengan Nabi buta huruf,
jelas akan menolak fakta tentang keistimewaannya sebagai orang yang kecerdasannya
melampaui para umatnya.

An-nabi al-Ummiy bisa dipahami bahwa Nabi Muhammad sebagai pribadi yang
sempurna beliau menjadi sumber kebijakan dan kebijaksanaan baik yang bersifat vertikal
maupun horizontal di kalangan umatnya. Berpijak kepada realitas kesejarahan bangsa Arab
yang bangga jika dinasabkan kepada garis keturunan yang dari pihak ibu hal ini
menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah orang terhormat selain itu An-nabi al-Ummiy
juga menjadi salah satu visi keislaman sebagai agama keibuan bahwa perempuan harus

1
Hamka, Tafsir al- azhar, Juz IX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985, h 78-79
2
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah: Pesan dan Kesan Keserasian Al- Qur’an Val. 4, Jakarta: Lentera Hati,
2002, h. 324
terhormat dan mendapatkan haknya kelima An-nabi al-Ummi sebagai bukti bahwa Nabi
Muhammad memberi hukum tegas terhadap ibu-ibu dari seorang suami yang tidak boleh
lagi diwariskan kepada anak-anak dari istri tuanya.
2. Ayat pertama disebutkan kata iqra bi ismi rabbika alladzī khalaq. Kata iqra menurut para
ahli bahasa adalah fi’il muta’addī (kata kerja transitif) yang berfungsi yufīdu al-‘ām.
Jelaskan apa maksudnya?

Sejarah membaca dalam peradaban Islam sendiri tak kalah cemerlangnya kita tentu
mempelajari di sekolah bahwa ayat pertama yang diturunkan pada nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam adalah perintah membaca terekam dalam surat Al Alaq, ayat
pertama dimulai dengan kata bacalah diulang Malaikat Jibril sampai tiga kali yang boleh
jadi merupakan penegasan pentingnya membaca bagi umat manusia, Barulah pada kali
keempat Malaikat Jibril membacanya tuntas sampai ayat ke-5.

Kata Iqro sendiri merupakan (siggoh fi'il Amar)3 dari kata kerja oleh sebagian ahli
bahasa Arab diartikan membaca sesuatu namun pada ayat itu tidak ditemukan sesuatu yang
dibaca sebagai objek dari aktivitas membaca padahal qora’a-yaqro’u ayat termasuk jenis
kata kerja muta'adi, yaitu kata kerja yang membutuhkan objek misalnya seorang Ustadz
menyuruh siswanya Dengan mengatakan “iqro kitabaka ya Muhammad”. dalam kalimat
sempurna seperti contoh di atas jelas tampak sebuah objek bacaan yakni kitab atau buku.

Karena itu mereka berpendapat bahwa perintah membaca pada ayat tersebut bersifat
Universal tidak mengikat, misalnya membaca Al Qu’ran beserta variannya seperti tafsir
ilmu Al-Qu’ran dan seterusnya Hadis beserta turunannya seperti Syarah hadits, ilmu hadits
dan seterusnya termasuk segala jenis teks tertulis yang bermanfaat bagi manusia, bahkan
juga mencakup membaca alam semesta sebab itu boleh disimpulkan bahwa membaca
merupakan Surat Perintah Suci dari langit.

Pada ayat pertama Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar
membaca dengan menyebut nama Tuhan yang menciptakan Iqro atau perintah membaca
adalah kata pertama dari Wahyu pembuka yang diterima Nabi Muhammad kata iqro
memiliki makna yang penting dalam rangkaian wahyu pertama yang ditunjukkan kepada
seseorang yang ummiy atau tidak dapat membaca dan menulis. Beliau tidak pernah
membaca suatu kitab apapun sebelum turunnya Al-Qu’ran pada hakikatnya, perintah ini
tidak hanya ditunjukkan kepada Nabi Muhammad tetapi seluruh umat manusia sebagai jalan
menuju keselamatan dunia dan akhirat membaca berasal dari kata Qoro’a-yaqro’u yang
berarti menghimpun kemudian berkembang maknanya menjadi menelaah meneliti
membaca menyampaikan dan mengetahui ciri-cirinya aktivitas membaca kemudian meneliti
menghimpun dan menelaah yang disebut pada ayat pertama dikaitkan dengan kata
bismirobbika (dengan nama tuhanmu), hal itu berarti proses bangkitnya manusia dari
kebodohan atau jahiliyah menuju kepada Islam yang terang benderang, pengaitan ini

3
Bentuk kata kerja perintah
merupakan syarat sehingga menuntut menuntut si pembaca bukan sekedar melakukan
bacaan
dengan ikhlas akan tetapi ia juga harus memilih bahan-bahan bacaan yang tidak
mengantarkannya kepada hal-hal yang bertentangan dengan nama Allah.

3. Salah satu ilmu yang dipelajari dalam ilmu-ilmu al-Qur’an (ulūm al-Qur’ān) adalah ilmu makkiy
dan madaniy. Jelaskan klasifikasi makki dan madaniy menurut Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya
al-Itqan fi ulum al-Qur’an!

Para ‘Ulama antusias untuk menyelidiki surat-surat Makkiyah dan Madaniyah mereka
meneliti Al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat untuk ditertibkan sesuai dengan
turunnya dengan memperhatikan waktu tempat dan pola kalimat. Lebih dari itu mereka
mengumpulkan antara waktu tempat dan pola kalimat cara demikian merupakan suatu
kecermatan yang memberikan kepada Peneliti gambaran mengenai kebenaran ilmiah
tentang ilmu Makiyah dan madaniyah, itulah sikap ‘Ulama kita dalam melakukan
pembahasan-pembahasan terhadap Al-Qu’ran dan juga masalah lain.

Apabila ayat-ayat itu turun di suatu tempat, kemudian oleh salah seorang sahabat
dibawa segera setelah diturunkan untuk disampaikan di tempat lain, maka para ‘Ulama pun
akan menetapkan seperti itu mereka berkata ayat ini dibawa dari Mekah ke Madinah dan
ayat ini dibawa dari Madinah ke Mekah.

Abu Qasim Al Hasan bin Muhammad bin Habib An-nisyaburiy menyebutkan dalam
kitabnya at-tanbih ‘ala Fadli al-‘ulum Al-Qu’ran di antara ilmu-ilmu Al-Qu’ran, yang
paling mulia adalah ilmu tentang Nuzul Al-Qu’ran dan wilayahnya urutan turunannya di
Mekah dan Madinah tentang hukumnya yang diturunkan di Mekah tetapi Mengandung
hukum Madaniy dan sebaliknya yang diturunkan di Mekah tetapi menyangkut Penduduk
Madinah dan sebaliknya serupa dengan yang diturunkan di Mekah tetapi pada dasarnya
termasuk madani dan sebaliknya juga tentang yang diturunkan di juhfah di Baitul Maqdis di
Thaif atau di Hudaibiyah kemudian juga tentang yang diturunkan di waktu malam di waktu
siang diturunkan secara bersama-sama4 atau yang turun secara tersendiri ayat-ayat
madaniyah dalam surat-surat Makkiyah ayat-ayat Makkiyah dalam surat-surat madaniyah
yang dibawa dari Madinah ke Mekah dan yang dibawa dari Madinah ke Habasyah 5, yang
diturunkan dalam bentuk global dan yang telah dijelaskan serta diperselisihkan sehingga
sebagian orang mengatakan madani dan sebagian lagi mengatakan maki itu semua ada 25
macam orang yang tidak mengetahui dan tak dapat membeda-bedakannya ia tidak berhak
berbicara tentang Al-Qu’ran.6

Para ‘Ulama sangat memperhatikan Al-Qu’ran dengan cermat mereka menertibkan


surat-surat Sesuai dengan tempat turunnya, mereka mengatakan misalnya surat ini
diturunkan setelah surat itu dan lebih cermat lagi sehingga mereka membedakan antara yang

4
Seperti diriwayatkan tentang beberapa surat dan ayat, misalnya surat al- an’am, Al- fatihah dan ayat kursi
5
Habasyah; Abesinia, atau Ethiopia sekarang
6
Lihat Al- Itqan fi ‘ulum Al- Qur’an oleh ash-suyuthi, cet. Ke 3, Al- Halabi, 1/8
diturunkan di malam hari dengan yang diturunkan di siang hari antara yang diturunkan di
musim panas dengan yang diturunkan di musim dingin diantara yang diturunkan di waktu
sedang berada di rumah dengan yang diturunkan di saat bepergian

4. Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa suatu tafsir itu bercorak sufi, yang lain bercorak
falsafi. Tafsir A bercorak adabi-ijtima’i, sedangkan tafsir B memiliki corak maqasidi.
Jelaskan!

Secara definitif para ulama memaknai tafsir sufistik sebagai pentakwilan makna ayat
Al-Qu’ran dengan makna yang bukan makna lahirnya karena ada isyarat khusus yang
diketahui oleh para penempuh Jalan spiritual dan tasawuf makna Adanya kemungkinan
kesesuaian dan korelasi antara makna lahiriyah (dhahir an-nas) dengan makna batiniah
(bathin an-nas). Dengan kata lain corak tafsir sufistik merupakan corak tafsir yang
memalingkan nama lahir ayat ke dalam makna batin ayat dengan menggunakan ajaran
tasawuf sebagai bahan dasar dalam proses penafsiran Ayat tersebut.7

Adomi putra dalam karya ilmiahnya tentang kajian tafsir falsafih mengutip Beberapa
definisi tentang istilah tafsir falsafi menurutnya Al Ghahabi mendefinisikan tafsir falsafi
sebagai upaya pentakwilan ayat-ayat Al-Qu’ran sejalan dengan menggunakan teori-teori
filsafat Amin Suma mendefinisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Alquran
berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal.

Salah satu pendekatan yang digunakan di dalam memahami Alquran adalah


pendekatan sains Pendekatan Sains (scientific approach) adalah pendekatan yang digunakan
untuk memahami ayat-ayat Alquran melalui perspektif sains atau ilmu pengetahuan,
Implikasi dari pendekatan ini akan melahirkan tafsir-tafsir yang mengandung muatan sains
atau ilmu pengetahuan biasanya tafsir yang menggunakan pendekatan sains masuk dalam
kategori tafsir ilmi’.8 Tafsir ilmi’ adalah corak penafsiran Alquran yang mendasarkan kerja
penafsirannya kepada sains modern.

5. Sebutkan metode penafsiran al-Qur’an yang disepakati mayoritas ulama tafsir. Jelaskan
kelemahan dan kelebihan masing-masing?

Dr. Abd al Hayy al farnawi mendefinisikan tafsir at-tahliliy adalah suatu metode tafsir
yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al- Qur’an dari seluruh aspeknya.
Metode tahlili – menurut Muhammad Baqir Sadr sebagai metode tajzi’i ( al ittijah al
tajzi’i ) adalah metode penafsiran .

Di dalam tafsirnya penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun
di dalam mushaf penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti
dengan penjelasan mengenai arti Global Ayat mufasir juga mengemukakan munasabah

7
Moch Rafly Try Ramadhani, mengenal corak tafsir sufistik (1): Definisi, Klasifikasi,dan Prasyarat yang harus
dipenuhi, Ulumul Qur’an
8
Putri Meydi Arofatun Anhar , Tafsir ‘Ilmi: “ Studi Metode Penafsiran Berbasis Ilmu Pengetahuan pada Tafsir
Kemenag”. Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains, Volume 1, September 2018, hlm. 109.
ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain metode
tahlili atau analitis adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qu’ran yang memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna
yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut, metode tahlilin merupakan metode yang dipergunakan oleh
Mayoritas ‘Ulama pada masa masa terdahulu, akan tetapi diantara mereka ada yang
mengemukakan ke semua hal tersebut di atas dengan panjang lebar atau yang singkat atau
ijza dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan atau muwasath.

Selanjutnya adalah Tafsir Al Ijmali, secara lughowi kata Al ijmali berarti ringkasan
ikhtisar global dan penjumlahan jadi tafsir Al ijmali ialah penafsiran Al quran dengan cara
mengemukakan isi dan kandungan Alquran melalui pembahasan yang panjang dan luas,
tidak secara rinci pembahasan tafsir Al ijmali hanya tafsir Al Farid Lil Quran Al Majid
hanya mengedepankan arti kata-kata Al mufrodah sebab an nuzul dan penjelasan singkatnya
ada kalanya juga mengedepankan Al mufrodat lalu sebab an nuzul dan almakna atau
mendahulukan Al-ma’na dan sebab Annuzul.

Yang ketiga ialah Tafsir Al- muqorron ialah tafsir yang menggunakan pendekatan
perbandingan antara ayat-ayat Al-Qu’ran yang redaksinya berbeda, padahal isi
kandungannya sama atau antara ayat-ayat yang redaksinya mirip padahal isi kandungannya
berlainan metode kompresi Manhaj Al muqoron ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qu’ran
yang selintas tampak berlawanan dengan hadis padahal sebenarnya sama sekali tidak
bertentangan.

Tafsir Al-muqarron juga bisa dilakukan dengan membandingkan antar aliran Tafsir
dan antara mufassir yang satu dan lainnya perbandingan itu bisa juga berdasarkan
perbedaan metode jadi metode penafsiran perbandingan memiliki objek yang sangat luas
dan banyak bentuk penafsiran yang dimaksud bisa berupa perbandingan antara ayat-ayat
Alquran yang redaksinya berbeda tetapi maksudnya sama atau ayat-ayat yang menggunakan
redaksi mirip tetapi maksudnya berlainan.

6. Bagaimana sikap anda terhadap penafsir (mufassir) al-Qur’an yang berasal dari kalangan di
luar komunitas pengkaji al-Qur’an dan tafsir?

M Quraish Shihab menceritakan dalam bukunya bagaimana para sahabat juga berbeda
pendapat dan keliru dalam memahami maksud firman-firman Allah dan bahwa Al-Qu’ran
mengancam orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, sehingga dari kalangan
mereka sejak dini telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Alquran. Ibnu
‘Abbas yang dinilai sebagai salah seorang sahabat nabi yang paling mengetahui maksud
firman-firman Allah menyatakan bahwa tafsir terdiri dari 4 bagian; pertama, yang dapat
dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka
Kedua, yang tidak ada di alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya. Ketiga, yang
tidak diketahui kecuali oleh ulama. dan yang keempat, yang tidak diketahui kecuali Allah.9

1. Ignaz Goldziher

Ignaz godziher adalah seorang Orientalis terkemuka yang lahir pada tanggal 22 Juni
1850 di kota Budapest, Hungaria ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan
memiliki pengaruh luas tetapi tidak seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik saat
itu.10 Goldziher adalah tokoh yang sezaman dengan Theodore Noldeke dan tokoh Orientalis
kenamaan yang pernah singgah di Indonesia yaitu Snock Hurgronje yang banyak mengkaji
tentang Keislaman.

Dalam kehidupan Godzihar secara fisika tidak ada yang istimewa hidup dalam
suasana sejuk dan tenang sehingga dapat berkonsentrasi dalam kerja ilmiah Murni dia kurang
banyak berhubungan dengan komunitas umum di lingkungannya hanya sekedarnya saja tetapi
dinamika kehidupan rohaniah Goldziher sangat dinamis dan subur potensi spiritualnya sudah
mulai muncul sejak muda dan terus diasah sampai masa kematangannya bisa.

Hermeneutika telah digunakan dalam berbagai konteks, termasuk dalam pembacaan


sastra klasik, analisis teks agama, dan dalam penelitian sosial dan humaniora. Ini adalah
metode penting untuk memahami teks yang kompleks dan beragam, serta untuk memahami
bagaimana teks tersebut berhubungan dengan budaya dan masyarakat di
mana mereka muncul.

2. Sumber Tafsir

Penafsiran para Sahabat pada mulanya didasarkan atas sumber yang mereka terima
dari Nabi SAW Mereka banyak mendengarkan tafsiran Nabi Muhammad dan memahami
serta menghayatinya dengan baik Mereka menerima bacaan ayat-ayat Alquran langsung dari
nabi yaitu sehabis saya tersebut diterima beliau mereka menyaksikan peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya ayat dan mengetahui persesuaian ayat yang satu dan yang lain
Mereka menguasai bahasa Arab.
secara baik mengetahui dan menghayati budaya serta adat istiadat bangsa Arab
semua itu merupakan sumber tafsir yang besar manfaatnya bagi mereka untuk dapat
memahami dan menerangkan arti ayat dengan benar dan baik.
berdasarkan kenyataan itu sumber-sumber Tafsir Alquran pada masa sahabat ini
paling tidak ada empat macam, yaitu
a. Al-Qur’anul Karim;
b. Hadis-hadis Nabi SAW
c. Ijtihad dan kekuatan Istinbat (melalui bahasa dan budaya dan adat kebiasaan bangsa Arab)
d. Cerita ahli kitab dari kaum Yahudi dan Nasrani

Dilihat dari segi sumber-sumber tafsir tersebut, bentuk tafsir para sahabat pada
umumnya adalah (Al mas’ur) yaitu penafsiran yang lebih banyak didasarkan atas sumber
yang diriwayatkan atau diterima dari nabi daripada pemikiran (ar-ra’yu)

9
M. Quraish Shihab, membumikan Al- Qur’an fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan dan masyarakat
(Bandung Mizan, 1992)p. 62
10
Abdul Rahman Badawiy, Mausu’ah al-mustashriqun ( Beirut Dar-Al ilmi al malayin, 1993), 197
Dilihat dari segi metode penafsiran ternyata para sahabat memakai metode tafsir
ijmali Global yaitu penafsiran ayat-ayat Alquran secara singkat dan ringkas hanya sekedar
memberi penjelasan muradif kata-kata yang sukar dengan sedikit keterangan.
Dengan demikian sistematika penafsiran para sahabat amat sederhana uraian
penafsirannya monoton seperti urutan ayat-ayat di dalam mushaf tidak ada judul atau sub
judul dan sebagainya.

3. Jasser Auda

Auda merupakan satu dari sekian pemikir muslim kontemporer terkemuka baik di
dunia Islam maupun barat.11 Ia lahir di Kairo Mesir tahun 1966.12 Ia merupakan kemenakan
Abdul Qodir audah penulis Al Jinnai Al Islami yakni salah satu kitab yang sering dijadikan
referensi beberapa kalangan saat membahas hukum pidana Islam Auda menimba ilmu
Alquran serta ilmu keagamaan lainnya di masjid al-azhar Kairo ia menyelesaikan Master fiqh
tahun 2004 di Universitas Islam Amerika Michigan. Dengan fokus kajian maqosid Al
Syariah13 ia menyelesaikan gelar B.A tahun 2001 di Islamic Amerika University pada Islamic
studies gelar BSC tahun 1988 di engineering University gelar PhD tahun 2006 di Universitas
Waterloo Kanada dengan kajian Analisis sistem dan Ph.D tahun 2008 University of Wales
Inggris.

Mengaktualisasikan filsafat sistem oleh Jasser Auda merupakan reaksi dari aksi (Af’al
tadafu’) yang dilakukan oleh kelompok Modernisme dan Postmodernisme langkah yang
digunakan oleh modernisme dalam menganalisis semua pengalaman manusia termasuk
agama perlu dikaitkan dengan sebab akibat Kausa legis Analisis sistem juga menolak
pemikiran yang dibawa oleh Postmodernisme yang menganggap irasionalitas dan
dekonstruksi Auda dalam mengkritik Analisis yang digunakan oleh kelompok Modernisme
dan Postmodernisme tentunya menghadirkan argumen-argumen yang cukup kuat bagi aoda
dalam menganalisis sesuatu dengan pendekatan operasional yang dianggap oleh kalangan
modernisme suatu yang pasti dan operasional irasionalitas yang digunakan oleh kelompok
postmodernisme memiliki kekurangan yang tidak bisa diaktualisasikan, kembali dalam hal ini
Auda menghadirkan solusi berupa sistem sebagai filsafat baru dalam menganalisis
pengalaman manusia terutama dalam Islam.14

11
Siti Mutholingah dan Muh Romi Zamzami, “ Relevansi Pemikiran Makashid al- syari’ah Jasser Auda
terhadap sistem Pendidikan Islam Multi Disipliner, “ Ta’limuna 7, no. 2 (2018): 92
12
Retna Gumanti, “ Maqashid al-shari’ah menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem dalam Hukum Islam),”
Jurnal Al- Himayah 2, no. 1 (2018): 99.

13
Muhammad Syaifullah, “Pendekatan Sistem terhadap Hukum Islam Perspektif Jasser Auda,” Mahkamah 3,
no. 2 (2018): 221.
14
Jasser Auda, Makashid Al-shari’ah as Philosophy of Islamic Law: a System Approach, 29.

Anda mungkin juga menyukai