Anda di halaman 1dari 3

Bucin, Masalah atau Anugerah?

Era millenial dan lahirnya generasi Zero menjadi titik berangkat lahirnya istilah-
istilah baru yang sering kali berkaitan dengan persoalan asmara. Bucin misalnya, akronim
dari budak cinta yang telah mewabah ke segala lapisan kehidupan remaja masa kini. Istilah
tersebut nampaknya masih nampak abu-abu bagi orang dewasa kisaran usia 40 tahun ke
atas. Bisa jadi, pemahamannya akan letterlek dengan mengartikan bucin sebagai pesuruh
yang mengabdikan jiwa raganya demi cinta.

Apabila dilihat dari definisi tidak langsung tentang bucin, maka pemahaman
letterlek barusan mengandung unsur kebenaran. Bucin disematkan untuk orang yang rela
berbuat apa saja untuk pasangannya bahkan ketika ia harus mengorbankan kebahagiannya.
Baik cowok ke cewek atau sebaliknya. Yang lebih ekstrem lagi adalah ketika belum sah
menjadi couple namun sudah sah menjadi bucin. Artinya, perasaan mendalam seseorang
kepada yang lain bisa mengakibatkan ringannya jiwa dan raga untuk berkorban demi
kebahagiaan orang yang disukai.

Fenomena ini perlu disadari bukanlah hal baru di kalangan masyarakat kita. Dahulu
kala, bapak dan ibu kita tentu pernah berkorban satu sama lain untuk sekedar saling
membahagiakan. Bukan hanya bapak ibu kita, orang lain pada zaman dahulu sejatinya,
minimal akan berpikir bagaimana cara membahagiakan orang terkasihnya. Hal ini bukan
sesuatu yang salah, bukan hal yang semata-mata materialistik. Bahkan perilaku bucin
klasik ini wajib dan harus ada sebagai wujud pengorbanan dan kepekaan individu untuk
orang terkasih. Bukankah Nabi Adam adalah orang pertama dalam sejarah manusia yang
rela berkorban demi hadirnya sosok terkasih di sisinya. Adam rela diambil salah satu tulang
rusuknya demi terciptanya Hawa, perempuan terkasih yang menjadi partner hidup Adam
dan sekaligus nenek moyang umat manusia.
Nabi Adam menjadi sample bahwa laki-laki menjadi pihak yang berkorban untuk
membahagiakan sang perempuan. Tradisi ini berlanjut lintas generasi hingga sampai
kepada generasi kita saat ini, khususnya masyarakat dan kaum muda-mudi Indonesia.
Namun, memasuki zaman modern, fenomena asmara ini mengalami perkembangan makna
yang sayang sekali nampaknya memiliki stigma negatif. Makna yang berkembang ini
kemudian menciptakan sebuah frasa baru dalam bahasa sosial non-formal di kalangan
kaum muda-mudi kita yaitu budak cinta atau bucin. Betul sekali, bucin menjadi template
dan cap bagi orang-orang modern yang sedang berjuang memenangkan cinta orang lain
agar menjadi miliknya. Bucin menjadi lambang dan simbol orang-orang yang “kok mau
amat” mengorbankan kebahagiannya demi orang yang dikejarnya. Ya benar, budak cinta
yang beredar memang kebanyakan disematkan untuk perjuangan cinta non-marital di
zaman modern, yaitu komitmen yang hanya sebatas pacar dan belum mencapai tahap serius
yaitu pernikahan.
Namun, menurut yang nulis ini, tahapan hubungan cinta tidak serta merta
membedakan tahap pengorbanan yang dilakukan. Artinya, baik itu pasangan yang hendak
menjalin cinta kasih sebagai pacar atau sebagai pasangan yang menikah semua memiliki
tahapan perjuangan yang sama yaitu bagaimana cara membahagiakan dia, bagaimana cara
membuat hatinya berlabuh, dan ekspektasi-ekspektasi lainnya. Memasuki kaca mata orang
lain, yang misalnya teman-teman dekat si bucin, mereka akan “sok” berkata “yaelah
segitunya banget sih”, ada lagi yang berkata “dih bucinnya kebangetan”. Ada dua
kemungkinan yang terjadi pada pihak yang berkata demikian, pertama karena ia belum
pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan perjuangan, kedua karena ia pernah berjuang
kemudian gagal dan trauma.

Maka kemudian, setidaknya ada dua konklusi yang dapat diambil dari narasi di atas
sekaligus menjadi solusi yang ditawarkan untuk kesehatan muda-mudi Indonesia dalam
berasmara. Pertama, kata bucin sudah terlalu luas menyebar ke seluruh sendi-sendi
masyarakat. Maka menghilangkan frasa “budak”, yang cenderung memiliki arti negatif,
tentu sulit untuk dihilangkan. Maka biarlah istilah ini menggema dan mempopulis secara
apa adanya. Kedua, perlu adanya kesadaran diri sendiri bahwa “cinta adalah pengorbanan”.
Salah jika kita mengatakan “cinta butuh pengorbanan” karena seakan-akan ada fenomena
di mana cinta bisa diperoleh dengan tanpa membutuhkan pengorbanan dan seakan-akan
ada orang lain yang secara sadar tidak memahami bahwa cinta memang perlu berkorban
dan perlu dikasih tahu. Maka “cinta adalah pengorbanan, pengorbanan adalah cinta’
semuanya saling terikat satu sama lain. Perlu diketahui bahwa “cinta adalah pengorbanan”
bukan hanya berorientasi pada cinta antar manusia semata, namun apapun itu yang
membuat hati seseorang terketuk dan rela untuk berjuang demi yang diinginkannya.
Misalnya, kecintaan seseorang terhadap ilmu pengetahuan, atau kecintaan seseorang
kepada penciptanya. Hanya saja dalam konteks tulisan ini, cinta yang dibahas adalah cinta
antar anak cucu adam.

Kedua asumsi sekaligus narasi-narasi yang terakumulasi di atas bisa kemudian


dijadikan takaran apakah bucin merupakan suatu musibah atau anugerah. Tuhan
menciptakan manusia dengan hak-hak istimewa, yaitu hak mencintai dan hak dicintai.
Tidak ada persoalan gender di sini karena anugerah hak manusia di sini bersifat kesalingan.
Orang berhak mencintai siapapun dan berhak dicintai siapapun, laki-laki maupun
perempuan semuanya saling berputar mengisi posisi hak-hak tersebut. Ketika mengetahui
bahwa cinta adalah kehendak Tuhan, maka bucin adalah anugerah karena sang budak akan
memperjuangkan dan merealisasikan hak Tuhan yang diberikan padanya. Bukankah
sombong sekali orang yang menjalankan kewajiban namun tidak mengambil hak-haknya.
Bukankah mustahil sekali orang hidup dengan tidak dihiasi cinta kasih di setiap hembusan
nafasnya.
Sebaliknya, bucin akan menjadi masalah jika lingkungan si budak sangat tidak
suportif. Artinya, kepekaan dan kerelaan berkorban akan sirna seiring dengan perkataan-
perkataan yang seakan mendiskreditkan fungsi dan makna perjuangan. Maka bukan
kemudian bucinnya yang menjadi masalah, namun justru hilangnya kebucinan akan
menciptakan kultur percintaan yang tidak sehat dan cenderung nerimo dan pasrah pada
nasib. Apabila seseorang dari geng ngopi kita sedang bingung hendak memberikan kado
kepada gebetannya, maka sebaiknya kita ikut berkontribusi dalam terwujudnya kado itu,
malah bahkan terwujudnya jalinan kasih antara mereka berdua. Itu akan lebih bernilai bagi
teman kita tersebut dibanding dengan menurunkan semangatnya untuk membuat orang
terkasihnya bahagia.

Salam Bucin ...

Anda mungkin juga menyukai