Anda di halaman 1dari 22

7 Meditasi tentang Cinta

7 Meditasi
tentang

C I N TA

Jadi S. Lima

Penerbit Momentum
7 Meditasi tentang Cinta
Oleh: Jadi S. Lima
Pengoreksi: Irenaeus Herwindo
Tata Letak: Djeffry Imam
Desain Sampul: Patrick Serudjo
Penyelia Akhir: Djeffry Imam
Hak cipta © 2021 pada Jadi S. Lima
Diterbitkan oleh Momentum Christian Literature
Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia.
Telp.: +62-31-5323444; Faks.: +62-31-5459275
e-mail: momentum-cl@indo.net.id
website: www.momentum.or.id

Perpustakaan: Katalog dalam Terbitan (KDT)

Lima, Jadi S.,


7 meditasi tentang cinta / Jadi S. Lima; Surabaya: Momentum,
Cetakan 2022.
xiv + 82 hlm.; 21 cm
ISBN 978-602-393-145-3
1. Kehidupan Kristen 2. Kasih 3. Meditasi (Devosional)
2022 248.4

Terbit pertama: Januari 2022


Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali atau memper-
banyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan
komersial tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi
atau kebutuhan nonkomersial dengan jumlah tidak sampai satu bab.
Daftar Isi

Pengantar untuk Edisi Terbitan Momentum vii

Pengantar Edisi Kedua ix

Pengantar Edisi Pertama xi

1. Apa Itu Cinta? 1

2. Cinta, Kesetaraan, dan Persahabatan 15

3. Cinta dan Altruisme 25

4. Dialektika Cinta 35

5. Cinta dan Pengampunan 49

6. Cinta yang Memerdekakan 63

7. Cintailah, Hari Ini 71

Epilog 79

Daftar Pustaka 81
Pengantar untuk
Edisi Terbitan Momentum

Buku di tangan Anda ini adalah edisi terbitan Momentum


untuk karya yang saya tulis dan terbitkan di tahun 2011
(versi self-publishing dalam platform Amazon dan Rakuten)
dan 2018 (via nulisbuku.com). Dalam kesempatan ini saya
ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya ke-
pada pihak Momentum Christian Literature untuk kesediaan-
nya menerbitkan karya ini untuk cakupan pembaca yang
lebih luas. Kiranya ide-ide dalam karya tulis ini masih mene-
mukan tanah yang subur di dalam benak para pembaca di
tahun 2022 dan pada waktunya kelak akan menghasilkan
buah-buah yang lebat dan manis demi bertambah banyaknya
ucapan syukur dan pancaran kemuliaan Tuhan dalam sege-
nap keberadaan.

In necessariis unitas, in dubiis libertas, in omnibus caritas.

Jakarta, 3 Januari 2022


Jadi S. Lima
SATU

Apa Itu Cinta?

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya


kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi
kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan
demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah
murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”
(Yoh. 13:34-35)

“Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling me-


ngasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang
yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Ba-
rangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab
Allah adalah kasih.” (1Yoh. 4:7-8)

“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan


dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
(1Kor. 13:13)

Selain Kehidupan itu sendiri, Cinta mungkin adalah subjek


yang paling relevan dalam hidup manusia.1 Hampir tidak ada
aspek dalam hidup kita yang terlepas dari Cinta. Tuhan
memakai Cinta untuk mendorong ayah bunda bekerja sama
menjadi penyebab keberadaan badani kita. Cinta kepada ke-
indahan, ilmu pengetahuan, dan teknologi mendorong se-
orang seniman, saintis, dan insinyur bergiat walau dibayar

1
Artikel ini awalnya saya tulis untuk buletin REIN (edisi 12, Desember 2007)
dengan judul “Cinta: Gairah, Dunia, dan Allah Tritunggal.”
7 MEDITASI TENTANG CINTA

tak seberapa. Cinta kepada seorang Helen dan kehormatan


bangsa mengirim seribu kapal Yunani menyerbu Troy. Ko-
baran cinta Tuhan mengirim para Martir menyeberangi
jurang kematian dengan gagah berani. Dan di kota-kota kita,
cinta kepada uang memecut barisan manusia tanpa jiwa me-
nyeberangi kala tanpa canda, membusukkan hati dengan
bengis, mengkorosi hari-hari dengan khawatir, mengorban-
kan takjub detik ini demi guna jangka panjang, demi masa
depan pasti yang tak pernah ada. Cinta dapat membawa ma-
nusia ke dalam kebahagiaan dan juga nestapa tiada tara.
Tulisan ini akan mengajak kita sedikit merenungi misteri
cinta, terutama di dalam jalur pemikiran Rasul Yohanes, St.
Augustinus, dan Blaise Pascal.
Pertanyaan-pertanyaan terpenting seputar cinta mungkin
adalah: Apakah cinta itu? Bagaimanakah kita seharusnya men-
cintai? Cinta macam apakah yang akan membawa kebahagia-
an? Dapatkah kita menuruti Perintah Pertama Kristus (“Cintai
Tuhanmu di atas apa pun!”) sekaligus Perintah Kedua (“Kasihi-
lah sesamamu seperti dirimu sendiri”)? St. Augustinus percaya
bahwa setiap orang pasti memiliki cinta. Hanya saja sebagian
orang menaruh cinta yang salah pada hal-hal yang salah,
sehingga hidup menjadi sengsara. Kita ini ditarik oleh cinta
kita untuk bersatu dengan objek cinta itu. Masalahnya, cinta
yang salah objek itu tak mampu memuaskan hasrat kita yang
tak terbatas ini. Hanya ada satu objek cinta yang mampu me-
muaskan hasrat hati kita ini. Objek itu adalah Sang Sempurna,
Sang Tak-Terbatas, Sang Cinta itu sendiri, Allah Tritunggal.

Engkau telah menciptakan kami bagi diri-Mu sendiri, dan


hati kami tidak akan tenang sebelum menemukan peristira-
hatan di dalam Engkau.2 (St. Augustinus)

2
“Thou hast created us for Thyself, and our heart is not quiet until it rests in Thee.”

2
Apa Itu Cinta?

Mengapa hanya Allah Tritunggal yang dapat memuaskan


hasrat Cinta kita? Pertama, karena hasrat hati manusia tak
mengenal batas. Satu keinginan tercapai, seribu hasrat yang
lebih tinggi muncul. Siapakah yang dapat memuaskan hasrat
manusia? Walaupun seluruh alam semesta ini dapat diberi-
kan menjadi milik seorang manusia, tetap saja hatinya tak
akan puas. Karena hati kita memang diciptakan untuk ber-
satu dengan Tuhan, yang mana tiada yang lebih besar dari-
pada itu. Kedua, karena hanya Allah Tritunggal, Sang Cinta
itu sendiri yang mumpuni menjadi kekasih jiwa kita.
Cinta adalah tarikan hasrat antara dua pihak. Augustinus
memakai gambaran air dan minyak. Ketika kita menempat-
kan air dan minyak dalam satu wadah maka si air terdorong
ke bawah, sedangkan si minyak tertarik ke atas. Dalam kon-
teks inilah ia mengatakan kalimatnya yang tersohor, “Pondus
meum, amor Meus”—my love is my weight. Istilah “weight”
di sini bukan berarti “bobot” tetapi lebih mengarah kepada
“arah gaya tarik/gravitasi.” Ketika kita mencintai dunia, kita
tertarik untuk memiliki dunia dan berangan-angan kita tak
akan menginginkan apa-apa lagi setelah memiliki seisi dunia.
Ketika kita mencintai Allah kita tertarik kepada Allah dan
tahu bahwa kita tak akan menginginkan apa-apa lagi setelah
kita bersatu dengan Allah. Memiliki Allah dan dimiliki Allah.
“TUHAN adalah gembalaku, tak akan kekurangan aku,” kata
Daud. Tarikan cinta ini menimbulkan sejuta problema jika
sasaran cinta kita salah. Kita risau karena sebelum bersatu
dengan yang kita cintai ada risiko penolakan atau kegagalan
memperolehnya. Ketika kita bersatu dengan yang kita cintai
kita risau akan risiko kehilangan: iPad terbaru bisa terjatuh
atau dirampok, pacar bisa hilang karena diambil orang lain
atau meninggal dunia, uang tabungan kita bisa menguap di
bursa saham atau merosot nilainya akibat inflasi. Dengan be-
gini kita membutuhkan sasaran cinta yang tak terbatas, sem-
purna, baik, tidak berubah dan mencintai kita terlebih da-

3
Dua

Cinta, Kesetaraan,
dan Persahabatan

“Kalau engkau (Filemon) menganggap aku (Paulus) teman-


mu seiman, terimalah dia (Onesimus) seperti aku sendiri.”
(Flm. 1:17)

Kutipan di awal bab ini merupakan sepotong percakapan


yang saya ambil dari surat yang dituliskan Paulus, seorang
pengajar agama Yahudi yang telah beralih menjadi pengikut
Yesus dari Nazaret, kepada Filemon, anak bimbingnya. Surat
ini kelihatannya ditulis oleh Paulus sebagai surat pengantar
untuk mengantar kepulangan Onesimus kepada tuannya, Fi-
lemon (Flm. 1:18-19). Mari kita mengeksplorasi secara sing-
kat dinamika relasi antara Paulus, Filemon, dan Onesimus,
dan terutama bagaimana manifestasi kasih Allah di dalam
Kristus Yesus menjadi kabar baik yang memungkinkan terja-
dinya respons yang sangat unik, yang hampir-hampir musta-
hil di dalam masyarakat Yunani-Romawi abad pertama.
Kalimat yang sangat revolusioner di atas dituliskan oleh
Paulus dalam konteks budaya Yunani-Romawi abad pertama
yang masih sangat segregatif-diskriminatif. Sebagai contoh,
masyarakat di mana Paulus menuliskan Surat Filemon ini
masih menganggap jual-beli dan memiliki budak-budak seba-
gai sesuatu yang wajar, bahkan penanganan represif bagi
7 MEDITASI TENTANG CINTA

para budak yang memberontak pun masih dianggap sebagai


suatu solusi sosial yang dapat diterima. Dalam masyarakat
seperti ini, saya kira, tidak ada suatu tuntutan yang terlalu
berarti untuk diperlakukan sama tanpa pandang bulu. Di za-
man kita, tentu saja institusi perbudakan dan segala jenis
perlakuan diskriminatif lainnya telah dikutuk secara luas.
Dengan kata lain, situasi kita jelas berbeda dengan situasi
yang dihadapi Paulus, Filemon, dan Onesimus dalam surat
ini. Tetapi saya kira ada beberapa hal yang secara mendasar
masih sama saja dan hanya berbeda rupa. Dalam konteks
zaman kita mungkin tiadanya tuntutan masyarakat di zaman
Paulus agar setiap orang (termasuk budak-budak) diperlaku-
kan setara (egaliter) adalah mirip dengan tiadanya tuntutan
yang terlalu berarti untuk diperlakukan sama tanpa meman-
dang penampilan dan pencapaian. Kita tidak menganggap
sebagai sesuatu yang berlebihan jika teman-teman sekelas le-
bih dapat menerima mereka yang selalu mencapai nilai ujian
tertinggi, cantik, sering menceritakan pengalamannya ber-
libur ke luar negeri, syuting film ini dan itu, serta diantar
jemput dengan mobil-mobil mewah keluaran terbaru. Dan
tentu saja adalah suatu kewajaran jika satpam mal dan hotel
memasang tampang ramah kepada pengunjung yang tampil
“mahal” atau “berkelas” tetapi terkadang kurang ramah ter-
hadap kita yang berpenampilan orang “dusun.” Wajar saja
jika para dokter dan suster lebih memprioritaskan pasien
kelas VVIP daripada rakyat jelata di bangsal kelas tiga. Walau
sering kesal atas pelayanan buruk yang kita terima, kita
menghibur diri dengan mengatakan bahwa “harga tidak ber-
bohong (ada harga ada rupa)” atau semacamnya. Segregasi
dan diskriminasi tetaplah ada di zaman kita, mungkin tidak
lagi terlalu menyolok dalam bentuk rasisme dan diskriminasi
agama (setidak-tidaknya secara de jure). Diskriminasi itu
mengambil bentuk yang lain, yaitu meritokrasi. Dalam masya-
rakat di mana setiap orang mendapatkan kesempatan yang

16
Cinta, Kesetaraan, dan Persahabatan

sama (tentu saja dalam pengamatan yang lebih mendetail ini


hanyalah slogan kosong belaka) segregasi dan diskriminasi
terjadi di antara mereka yang “mampu” dan mereka yang
“tidak mampu.” Ini bisa diartikan dalam pengertian kemam-
puan finansial, prestasi akademis, kecantikan fisik, ataupun
karier. Pendek kata, apa yang menjadi pergulatan Paulus,
Filemon, dan Onesimus di dalam surat kuno ini masihlah
relevan dengan situasi kita hari ini.
Tuntutan untuk diperlakukan setara, bebas dari diskri-
minasi apa pun, telah menjadi sesuatu yang wajar bagi kita
di zaman ini. Setidak-tidaknya demikianlah yang kita damba-
kan di dalam alam kemerdekaan Republik Indonesia tercin-
ta. Tetapi tidak demikian adanya di sepanjang sejarah per-
adaban. Bahkan penerimaan atas kesetaraan non-diskrimi-
natif bagi setiap orang masih belum genap berusia satu abad.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Amerika Serikat
sendiri, yang sangat memperjuangkan citra nasionalnya se-
bagai pembela hak-hak asasi setiap manusia, di era 1950-an
masih memberlakukan aturan dan cara hidup bermasyara-
kat yang sangat segregatif, memisahkan bangsa kulit putih
dan ras-ras kulit berwarna lainnya. Sebagai contoh, perni-
kahan antara orang kulit putih dengan ras lain, ataupun
dengan orang-orang yang masih merupakan campuran de-
ngan kulit berwarna masih dilarang oleh hukum di negara
bagian Utah sampai tahun 1963.1 Sampai hari ini pun walau-
pun secara de jure mereka telah meninggalkan kebijakan se-
gregasi, akan tetapi secara de facto segregasi antar-ras masih
dapat dijumpai di dalam beberapa situasi di Amerika Serikat.
Hidup berdampingan dalam keberbedaan memang bukan
perkara mudah. Kenyamanan hidup di tengah mereka yang
“sama,” kesulitan mengampuni ketidakadilan dan kekerasan

1
Utah Code, 40-1-2, C. L. 17, §2967 sebagaimana telah direvisi oleh L. 39, C. 50;
L. 41, bab 35.

17
Empat

Dialektika Cinta

“… rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam


takut akan Kristus.” (Ef. 5:21)

“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi,


seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang
lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan
nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh. 15:12-13)

Nasihat-nasihat Paulus kepada para istri, suami, anak, orang-


tua, budak, dan tuan di dalam Surat Efesus sering kali diba-
has tanpa memerhatikan konteks keseluruhannya. Nasihat
Paulus di dalam Efesus 5:22-33 misalnya, sering hanya diba-
has sebagai ayat untuk pernikahan atau bagian yang lebih
besar Efesus 5:22-6:4 dibahas sebagai bagian dari seminar ke-
luarga Kristen; sementara Efesus 6:5-9 sering dibahas terpi-
sah sebagai etika kerja, bagaimana pekerja Kristen harus te-
tap memberikan “yang terbaik” walaupun kondisi kerja dan
upahnya seperti budak. Kita sering membahas ayat-ayat ini
secara terpisah-pisah. Saya kira ini tidak baik. Sebaiknya kita
harus membaca ayat-ayat ini di dalam konteks keseluruhan-
nya sehingga dengan demikian kita bisa lebih menghormati
penulis surat ini dengan sungguh-sungguh mendengarkan
apa yang ia ingin sampaikan.
Sebelum saya membahas secara mendetail tiap-tiap pe-
rintah itu baiklah kita menilik dahulu konteks besar dari
7 MEDITASI TENTANG CINTA

keenam perintah ini. Enam nasihat Paulus kepada enam pe-


ranan (istri, suami, anak, orangtua, budak, tuan) dalam se-
buah unit keluarga Romawi (mayoritas pembaca surat Efesus
adalah non-Yahudi, mis. Ef. 2:11) ini dilandasi oleh sebuah
sikap umum yang ia perintahkan di dalam Efesus 5:21: “...
rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam
takut akan Kristus.” Sekarang Anda mengerti mengapa saya
menyertakan 5:20-21 dalam pembacaan Alkitab kita hari ini.
Enam perintah itu: 1) istri tunduk kepada suami, 2) suami
mengasihi istri seperti tubuhnya sendiri, 3) anak menaati dan
menghormati orangtua, 4) bapa-bapa tidak membangkitkan
amarah dalam hati anak-anaknya, 5) budak mengabdi de-
ngan sepenuh hati kepada tuannya, dan 6) tuan menjauhkan
ancaman dalam memperlakukan budaknya, dilandasi oleh
sikap umum: merendahkan diri seorang kepada yang lain.
Bagaimana sih “merendahkan diri” satu sama lain itu? Mung-
kin hal ini bisa diperjelas melalui sebuah kontras. Kita sangat
paham apa itu “saling meninggikan diri.” Mulai dari yang
paling memalukan semacam, “Kemarin tuh waktu Bugatti
Veyron terbaru gue kecipratan air got dari bajaj yang lewat
melintas ...” (ngapain sih pake sebut-sebut merek dan seri
mobilnya?) sampai yang agak halus semacam ketika Anda
berkomentar mengenai nasi goreng kantin yang enak lantas
mendapatkan sambutan semacam ini: “Ya lumayanlah, tapi
kalau menurut saya sih masih lebih enak nasi goreng Wagyu
yang di hotel bla, bla, bla, tuh.”
Saling merendahkan diri adalah suatu sikap hati yang
memancar keluar dalam bentuk sikap nyata dan tindakan
nyata. Orang yang saling merendahkan diri menganggap
orang lain sebagai lebih penting sehingga mereka mau men-
dengarkan, mengapresiasi, menganggap serius, tidak mere-
mehkan orang lain, siapa pun dia. Ini jelas kebalikan dari
orang yang sedang meninggikan dirinya. Mereka yang me-
ninggikan diri sedang berusaha untuk didengar, dilihat, di-

36
Dialektika Cinta

kagumi, digemari, ditakuti, dihormati, dituruti, dilayani, dst.,


dst. Bayangkan apa bedanya antara dua orang yang sedang
saling meninggikan diri dengan dua orang yang saling me-
rendahkan diri? Orang yang saling meninggikan diri sebenar-
nya tidak pernah benar-benar saling berbicara. Mereka
hanya saling menunggu giliran lawan bicaranya berhenti
berbicara lalu mulai menimpali (sementara pihak yang lain
juga tidak sungguh-sungguh mendengarkan). Kesia-siaan! Me-
reka hanya sibuk dengan diri masing-masing dan khawatir
terhadap kesan apa yang dimiliki orang lain tentang dirinya.
Apakah dia dihina ataukah dihormati. Apakah dengan mela-
kukan ini atau itu, dengan bicara begini atau begitu, orang
menghina kita ataukah menganggap kita serius. Membosan-
kan sekali orang-orang seperti ini. Sebaliknya, orang yang sa-
ling merendahkan diri sungguh-sungguh mendengarkan,
menganggap serius orang lain—memperlakukan mereka se-
bagai subjek yang patut didengarkan, dimengerti, dan ditang-
gapi. Bagi orang yang meninggikan diri seluruh dunia hanya-
lah pelayan-pelayan dari hasratnya untuk disembah, dilayani,
dipuaskan, ditakuti, dikagumi (kecuali mungkin orang-orang
yang dianggapnya terlalu tinggi—biasanya orang-orang yang
jauh lebih kaya, berkuasa, dan terkenal).
Perintah ini diberikan sebagai suatu perintah untuk dija-
lankan bersama sebagai suatu ketersalingan (reciprocity).
Kasih yang sejati adalah suatu proses dialogis, bukan mono-
logis. Percakapan dua arah, bukan satu arah. Sebuah obrolan
dari hati ke hati, bukan suatu ajang ceramah. Kita tidak se-
dang menuruti perintah Paulus ini ketika kita hanya menja-
lankannya sendiri-sendiri (dengan sikap: “Yang penting gue
udah jalanin, sebodo amat orang lain bagaimana”). Adam
Smith, bersama-sama dengan Bernard de Mandeville, bapak-
bapak dari kapitalisme modern, mungkin telah membiasa-
kan kita dengan model kebersamaan yang dilakukan sendiri-
sendiri. Asalkan tiap-tiap individu melakukan bagiannya ma-

37
Enam

Cinta yang
Memerdekakan

“What the world needs now is love, sweet love. It's the only
thing that there's just too little of.…” (David Hall/Bacharach
Burt F.)

“Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk


merdeka, tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerde-
kaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa,
melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.
Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman
ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sen-
diri!” (Gal. 5:13-14)

Lirik lagu (“What the World Needs Now Is Love”) yang dipo-
pulerkan oleh Jackie deShannon di tahun 1965-an ini begitu
menggema di dalam zaman yang diwarnai berbagai keresah-
an akibat perang berkepanjangan di samping janji-janji ma-
nis kemajuan teknologi yang dengan pesat mengubah wajah
dunia dan masyarakat. Kasih sering kali dikaitkan dengan
perasaan indah dan hangat kepada pasangan, anak, orang-
tua, para sahabat, bahkan kepada tanah air. Tetapi mungkin
jarang kita memikirkan kasih sebagai kekuatan yang membe-
baskan. Di dalam polemiknya melawan mereka yang menun-
tut agar orang-orang Kristen non-Yahudi harus disunat, Pau-
lus mengatakan bahwa kasih Allah di dalam Kristus telah
7 MEDITASI TENTANG CINTA

membebaskan kita agar kita dapat saling melayani oleh kasih


(Gal. 4:8 dan 5:13). Kasih Kristus telah membebaskan orang-
orang Yahudi dari kutuk hukum Taurat yang tak mungkin
dapat mereka jalani dengan sempurna (3:10-13) bahkan
membuka jalan bagi segala bangsa untuk menikmati perse-
kutuan dengan Allah Abraham karena urusan disunat mau-
pun tidak bukan menjadi soal lagi (3:14 dan 3:28-29).
Dalam zaman di mana kemerdekaan dan kebebasan indi-
vidual dijaga sebagai sesuatu yang sangat suci, kita tidaklah
kekurangan penekanan akan kebebasan. Namun sama seperti
pada zaman Paulus, istri-istri, anak-anak dan budak-budak ti-
dak perlu lagi tambahan nasihat untuk tunduk dan melayani
atasannya, baik itu suami-suami, orangtua maupun tuan
mereka—tetapi Paulus menghadirkan suatu alasan yang me-
wakili pengharapan yang kita miliki di dalam Kristus Yesus
bagi para “bawahan” ini untuk melayani atasan-atasan mere-
ka yang terkadang memang bengis, menekan, dan jahat.
Alasan ini bukanlah candu bagi kelas bawah yang membius
mereka dengan janji indah sorga agar hidup yang sukar (atau
lebih tepatnya: dibuat menjadi sukar demi kesenangan “atas-
an-atasan” ini) menjadi lebih nyaman dan dengan demikian
mencegah pemberontakan kelas bawah, baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat luas. Paulus menunjukkan bagai-
mana pelayanan dari mereka yang berada dalam posisi ter-
tindas (atau berpotensi tertindas) tidak harus sekadar men-
jadi alat guna kesenangan dan aktualisasi pribadi-pribadi
penguasa. Selaras dengan Khotbah di Bukit yang diutarakan
Yesus—kita bisa berjalan dua mil bersama mereka yang me-
nyuruh kita berjalan satu mil, atau memberikan pipi yang
satu ketika pipi yang lain ditampar—bukan sebagai bentuk
pasifisme apatis (mboh wes sak karepmu, Mas!) melainkan
sebagai sebentuk perlawanan tanpa kekerasan terhadap ke-
jahatan. Perlawanan yang nyata-nyata menolak untuk tutup
mata, apalagi kompromi kepada kejahatan sang penindas—

64
Cinta yang Memerdekakan

tetapi juga menolak untuk membalas jahat dengan jahat. Ke-


tika kita menolak untuk membalas jahat dengan jahat, kita
bukan hanya protes kepada kejahatan yang menimpa kita,
tetapi kepada praksis jahat itu sendiri.
Protes tanpa kekerasan kepada segala bentuk kejahatan
inilah yang mengilhami gerakan Ahimsa dari Mohandas Ka-
ramchand Gandhi dalam melawan penjajahan Inggris atas
orang-orang India. Yesus jelas-jelas tidak bersikap asal bapak
senang baik kepada orang-orang Farisi, para imam di Bait
Allah, Herodes, maupun Pilatus. Ia menyuarakan ketidak-
adilan dan kejahatan yang terjadi dengan lantang. Namun
demikian Yesus tidak kehilangan pengharapan-Nya bahwa
suatu saat para pendosa ini akan berbalik dari kejahatannya.
Bahkan sampai di atas kayu salib pun Yesus tidak kehilangan
belas kasihan dan pengharapan itu. Ia meminta kepada Ba-
pa-Nya untuk mengampuni mereka yang telah menyalibkan
Dia. Kita sering kali berpikir bahwa untuk dapat mengubah
dunia ini, kita perlu terlebih dahulu berada di dalam posisi
yang kuat. Kita harus merebut kekuasaan terlebih dahulu
baru bisa mengadakan perubahan, kita harus merebut mi-
krofon dan panggung dulu baru bisa berdiri di atas platform
yang cukup tinggi untuk didengar seisi dunia. Begitu per-
cayanya kita akan skenario ini bahkan beberapa orang de-
ngan sadar turut serta dalam cara-cara kotor dan licik dari
dunia agar mereka “gaining power and influence” lalu mem-
benarkan tindakan itu dengan mengatakan bahwa suatu hari
mereka akan mempersembahkan kuasa dan pengaruh itu
bagi “pelebaran kerajaan Allah dan kemuliaan-Nya.” Saya
kira ini omong kosong dan penipuan diri! Allah tidak meng-
hendaki persembahan yang muluk-muluk yang harus kita
bayar dengan darah orang tak bersalah dan air mata para
janda! Ia menghendaki belas kasihan, keadilan, hidup yang
lurus, dan kasih yang tidak palsu. Allah cukup mahakuasa
dan mahakaya untuk menjadikan seorang pengemis menjadi

65

Anda mungkin juga menyukai