Anda di halaman 1dari 30

INTELEKTUALITAS CINTA

Mata Kuliah
Akuntansi Multiparadigma
Dosen Pengampu:
Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA.

Disusun oleh:
Diny Fariha Zakhir (196020300111004)
Dimas Mahardika Palupi (196020300111005)
Dwi Cahya Widiyanata (196020300111006)
Benita Minggus Igakartika (196020300111008)
Dwi Fatmala Anggraini (196020300111028)

MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
BAB I
PRAWACANA

LAGU KASIH IBU


(Karya SM Mochtar)

Kasih Ibu
Kepada Beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya
Menyinari dunia

Kata-kata diatas adalah lirik lagu Kasih Ibu yang merupakan lagu anak-anak yang
populer di awal tahun 2000an ketika generasi 90an sedang berada di masa kanak-kanak.
Seorang anak-anak tentu saja memiliki pemahamannya sendiri tentang lagu itu. Begitu
juga kami. Pemaknaan kami tentang itu adalah nilai cinta dari seorang ibu kepada
anaknya. Seorang ibu dengan ikhlas mengajari anaknya seperti sang surya yang setiap
hari menyinari dunia dan memberikan kehangatan tanpa pamrih.
Tulisan ini selanjutnya akan membahas tentang seorang manusia menjadi
intelektualitas sejati. Jika disamakan dengan pola kehidupan di dunia, intelektual sejati
harus mampu menjadi seperti seorang ibu dan matahari bagi dunia. Seorang intelektual
sejati haruslah menghilangkan kepentingannya sendiri dan berfokus pada bagaimana
kontribusi intelektualnya pada ilmu pengetahuan dan masyarakat. Penjelasan lebih detail
mengenai hal tersebut akan dibahas di bab-bab selanjutnya dalam tulisan ini.
Gambaran umum tentang alur dari tulisan ini mengacu pada beberapa hal. Untuk
merumuskan pemikiran intelektual sejati akan diawali dengan pembahasan mengenai
cinta dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan. kemudian pembahasan selanjutnya
akan membahas mengenai kebenaran dari ilmu pengetahuan. Setelah melihat hubungan
ilmu pengetahuan dan cinta, tulisan ini akan berlanjut pada bagaimana intelektual sejati
mencintai ilmu pengetahuan. Penerapan dari mencintai ilmu pengetahuan itu pada proses
selanjutnya akan kami contohkan penerapan dari hal tersebut. Pada akhir pembahasan,
tulisan ini akan memberikan formula bagaimana melahirkan seorang intelektual sejati.
BAB II
CINTA DAN PENGETAHUAN
A. Agama Cinta
Pada agama Kristen dikenal 4 (empat) istilah kasih menurut bahasa Yunani.
Istilah-istilah tersebut antara lain, agape, phileo, storge, dan eros. Kasih agape merupakan
kasih yang harus dimiliki setiap insan untuk mengasihi orang lain terlebih Tuhan sendiri.
Agape merupakan sifat inti Tuhan, karena di alkitab tertulis “Tuhan adalah kasih” (1 Yoh
4: 7-12, 16b). Kasih Agape merupakan kasih tak bersyarat dan tak menuntut balasan.
Kedua, kasih phileo yaitu kasih persahabatan atau kasih persaudaraan. Dalam kasih phileo
ini bisa bersyarat, seperti "saya akan mengasihi kamu jika kamu mengasihi saya lebih
dulu", dan lain sebagainya. Kasih yang ketiga yaitu kasih storge. Kasih storge merupakan
kasih pada ikatan keluarga, sehingga terbatas pada hubungan keluarga dan terkesan
eksklusif. Kasih yang terakhir adalah kasih eros. Kasih eros merupakan kasih seksual atau
hasrat seksual.
Sejatinya, manusia harus menerapkan kasih agape karena kasih agape merupakan
kasih yang sangat murni. Seperti Tuhan telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal
untuk menebus dosa manusia. Tindakan seorang ibu yang sangat mengasihi anaknya dan
menjaga semalaman ketika anaknya sakit merupakan salah satu contoh kasih agape.
Pada agama Islam mengenal satu pemahaman bahwa Allah menciptakan semua
yang ada di alam semesta ini dengan dasar cinta. Allah mengatakan dalam banyak ayatnya
bahwa Allah itu memiliki sifat ar-rahman dan ar-rahim yang artinya adalah maha
pemurah dan penyayang, contohnya pada QS. Al-Fatihah: 1 dan 3, QS Al-Baqarah: 37,
54, 128 143, 160, 163 dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang menjelaskan hal tersebut.
Pemahaman kami tentang hal tersebut adalah Allah ingin setiap makhluknya
berkehidupan di bumi ini dengan dasar tersebut. Manusia haruslah menjadi manusia yang
berwatak pemurah dan penyayang kepada semua makhluk ciptaannya. Watak tersebut
bisa disederhanakan menjadi watak cinta. Untuk memudahkan kita memahami tentang
cinta, kami akan mengutip kata-kata dari Rumi yang diterjemahkan ke dalam bahasa
inggris dan diterbitkan ulang oleh Souvenir Press pada tahun 2004:
“All details of the world are lovers. And every detail of the face's universe sings
with life. But in no way will they let you know their secret: Only he who merits
the forbidden secret. Were that the sky were not rapturously in love, In no way
would there be purity in its heart.”
Jalaluddin Rumi adalah seorang tokoh sufisme Islam yang juga seorang penyair.
Syair-syair Rumi ini bisa dikatakan sebagai wujud cinta Rumi kepada Tuhan. Rumi
menggambarkan bahwa dunia ini diciptakan oleh-Nya untuk mencintai-Nya. Maka dari
itu, untuk menjadi memahami cinta yang sebenarnya, manusia harus menjadi kekasih
sejati Tuhan sang maha cinta. Rumi di dalam bukunya yang berjudul Matsnawi
menggambarkan cinta tersebut dengan sebuah kisah sebagai berikut:
Suatu ketika seorang pria datang dan mengetuk pintu rumah temannya. Sang
teman bertanya, “Siapa itu, wahai orang beriman?”
Dia menjawab, “Ini aku.” Tuan rumah pun menanggapi, “Kau tidak boleh masuk.
Tidak ada ruang bagi ‘yang mentah’ di perjamuan lezatku. Hanya api keterpisahan dan
ketidakhadiran yang bisa memasak yang mentah dan membebaskan dia dari
kemunafikan! Karena ‘dirimu’ belum meninggalkanmu, kau harus dibakar dalam api
yang panas menyala-nyala.”
Pria malang itu pergi dan selama satu tahun penuh, berkelana dengan terbakar
duka karena ketiadaan sahabatnya. Hatinya terbakar sampai masak, kemudian dia pergi
lagi dan menyambangi kembali rumah sahabatnya. Dia mengetuk pintu dengan rasa takut
dan ragu-ragu, khawatir ada kata keliru terucap dari bibirnya. Sahabatnya berteriak:
“Siapa di pintu?” dia menjawab, “Ini Engkau yang ada di depan pintu, wahai
Kekasih!”
Sang sahabat berkata, “Karena aku yang ada di depan pintu, biarkan aku masuk.
Tidak ada ruang untuk dua ‘Aku’ dalam satu rumah.”
Berdasarkan kisah tersebut, pada dasarnya kita bisa mengambil kesimpulan
bahwa cinta sejati hanya mengenal satu tubuh. Jika dijabarkan, seorang pecinta itu akan
melepas segala egonya dan segala ke-aku-annya. Dia hanya peduli dan berfokus dengan
yang dicintainya. Pada hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia yang sudah
menjadi pecinta sejati akan merelakan jalan hidupnya menjadi jalan Tuhan.

B. Agama Pengetahuan
Ilmu pengetahuan merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan diri
seseorang. Baik pengetahuan agamis maupun duniawi. Dalam kitab Amsal 1:7 dikatakan:
"Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh
menghina hikmat dan didikan."
Hal ini berarti bahwa pengetahuan yang pertama kita peroleh adalah takut akan
Tuhan. Tercermin dari sikap kita untuk hormat dan mematuhi perintahnya. Ketika kita
menolak hikmat dan didikan yang diberikan oleh Tuhan, kita dianggap sebagai orang
bodoh karena kita menolak pengetahuan itu sendiri. Kita harus mendengarkan hikmat dan
didikan Tuhan supaya kita tidak dianggap bodoh dan dapat terbebas dari segala
malapetaka duniawi. Ketika kita tidak menghiraukan nasihat dan didikpannya, maka
setiap orang yang tak berpengalaman akan dibunuh oleh keengganannya, dan orang bebal
akan dibinasakan oleh kelalaiannya (Amsal 1:32).
Lebih jauh lagi, pada Amsal 2: 1-22 Tuhan melalui Raja Salomo memberikan
penjelasan mengenai faedah atau keuntungan jika kita menuntut hikmat dari Tuhan. Pada
ayat yang 3-6 dikatakan bahwa ketika kita fokus pada pengertian dan kepandaian, serta
mencari hikmat dan pengetahuan seperti mencari perak dan harta terpendam, maka Tuhan
sendiri yang akan memberikan hikmat itu pada kita karena dari padaNya lah pengetahuan
dan kepandaian tersebut.
Selanjutnya, pada ayat 7-22 Tuhan berkata mengenai apa saja yang bisa kita
dapatkan ketika kita berlaku jujur dalam setiap tindakan kita. Kita akan memperoleh
pertolongan dari Tuhan, dan Tuhan akan menjadi perisai bagi orang yang tak bercela
lakunya. Tuhan akan menyediakan jalan keadilan bagi orang yang setia kepadaNya.
Ketika kita telah melakukan setiap perbuatan kita dengan jujur dan takut akan Tuhan, kita
dapat tetap tinggal di dunia ini, sedangkan orang-orang bercela dan yang menolak hikmat
akan dimusnahkan oleh Tuhan.
Gereja juga dapat berperan aktif dalam perkembangan pendidikan, khususnya di
Indonesia. Peran gereja dalam pendidikan ini merupakan sebuah tanggung jawab moral.
Bentuk peran gereja dapat berupa pengadaan sekolah yang bermutu dan sebagai
pelayanan gerejawi (Darmawan, 2016).
Pada agama Islam juga dijelaskan mengenai ilmu pengetahuan dari sudut pandang
agama. Pada ajaran Islam, manusia diminta untuk mau tafakkur atau berpikir. Salah satu
contohnya ada di dalam surat Q.S. Al-Ghasyiyah 17-20 yang artinya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, dan
bagaimana langit ditinggikan? Dan bagaimana gunung-gunung ditegakkan? Dan
bagaimana bumi dihamparkan? maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu
hanyalah orang yang memberi peringatan.”
Selain itu di dalam Q.S. Muhammad 24 juga dijelaskan yang artinya:
“Apakah kalian tidak memikirkan/merenungkan isi Al-Qur’an, atau hati mereka
terkunci?”
Masih banyak lagi firman-firman Allah di dalam Al-Qur’an yang menyuruh
manusia untuk mau berpikir. Manusia diminta untuk mempelajari bagaimana penciptaan
makhluk-makhlukNya. Karena dengan berpikir, manusia bisa mendekatkan dirinya pada
Tuhannya. Puncak dari ilmu pengetahuan adalah ketidaktahuan itu sendiri. Semakin
manusia banyak mempelajari ilmu Allah, semakin ia mengerti bahwa pada dasarnya
dirinya tidak tahu apa-apa dan hanya Tuhan lah yang tahu segalanya. Contohnya ketika
seseorang mempelajari ilmu ekonomi, dia belum tentu bisa ilmu kedokteran atau ilmu-
ilmu lainnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin spesifik pula ilmu
yang dipelajarinya.
Mengutip dari pendapat Rumi di dalam bukunya yang berjudul Fihi Ma Fihi,
Rumi (2019) mengatakan bahwa:
“Ada dua jenis ilmu yang ada di dunia, yaitu ilmu abdan dan ilmu adyan. Setiap ilmu
yang didapatkan di dunia ini melalui belajar dan berusaha adalah ilmu tentang badan
(abdan), sedangkan ilmu yang didapatkan setelah mati adalah ilmu spiritual (adyan).
Melihat cahaya lampu dan api adalah ilmu abdan, sedangkan terbakar oleh api atau
cahaya adalah ilmu adyan. Setiap yang terlihat adalah ilmu abdan, sedangkan esensi dari
ilmu melihat adalah ilmu adyan.”
Berdasarkan penjelasan rumi di atas, pada dasarnya ada dua jenis pengetahuan.
Pertama adalah pengetahuan dari apa yang terlihat. Kedua adalah nilai yang terkandung
di dalamnya. Untuk bisa memahami sebuah kejadian, manusia haruslah melihat
keduanya. Tidak boleh dia menjelaskan sebuah kejadian hanya dari apa yang terlihat. Dia
harus mempelajari maksud dari itu semua. Karena dengan begitu manusia bisa mengerti
kebesaran Tuhan semesta alam.

C. Hubungan Cinta dan Ilmu Pengetahuan


Pada pemaparan sebelumnya tentu kita bisa menarik beberapa kesimpulan tentang
cinta dan ilmu pengetahuan. Pertama tentang cinta, Tuhan melalui agama dan kitab suci
memerintahkan manusia untuk mau berkasih-sayang kepada makhluk-Nya. Kasih sayang
yang murni dan sejati yang tak mengharapkan apapun dari yang dikasihi. Dengan
mengerti mencintai makhluknya, manusia akan mengerti bagaimana kesejatian cinta
Tuhan.
Kedua mengenai pengetahuan. Tuhan melalui agama dan kitab suci juga
memerintahkan manusia untuk mempelajari ciptaannya. Dengan mempelajari alam
semesta dan seisinya, manusia bisa mengerti kebesaran Tuhan dan bisa menjadi jalan
untuk memperdalam keimanannya kepada Tuhan. Semakin dalam manusia mempelajari
ciptaannya, akan semakin memudahkan dirinya menghadapi malapetaka atau ujian di
dunia.
Berdasarkan hal di atas, pada dasarnya memang cinta dan pengetahuan itu adalah
sesuatu yang berhubungan secara positif. Semakin manusia mempelajari ilmu
pengetahuan, cintanya terhadap Tuhan akan semakin besar. Ilmu pengetahuan adalah
salah satu cara bagi manusia untuk bisa menemukan cinta yang sejati dan cinta yang sejati
itu adalah cinta milik Tuhan Sang Maha Cinta.
BAB III
KEBENARAN ILMU PENGETAHUAN
Jika kita membicarakan kebenaran tentu kita harus mencoba melihat paradigma
atau perspektif di dalam melihat sebuah kebenaran. Pada ilmu pengetahuan sosial, Burrel
& Morgan (1979) menjelaskan bahwa secara garis besar ada empat paradigma dalam ilmu
pengetahuan sosial, yaitu:
1. The functionalist paradigm
Paradigma yang melihat suatu fenomena sosial dari sudut pandang ilmu sosiologi
yang objektif dan rasional. Paradigma ini berfokus pada pemahaman pada masyarakat
yang nantinya akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Pendekatan yang digunakan dalam
paradigma ini adalah problem-oriented yang berfokus untuk memberikan solusi praktis
berupa regulasi dan kontrol yang efektif atas sebuah masalah praktis yang berkaitan
dengan masalah sosial. Paradigma ini beranggapan bahwa dunia sosial disusun
berdasarkan artefak-artefak yang empiris dan memiliki keterkaitan yang bisa
diidentifikasi, dipelajari dan diukur dengan menggunakan pendekatan yang didasarkan
pada ilmu pengetahuan alam seperti analogi biologis dan mekanik/gerak.
2. The interpretive paradigm
Paradigma ini beranggapan bahwa dunia sosial memiliki makna yang lebih
bersifat implisit daripada eksplisit. Paradigma ini berfokus untuk melihat masalah sosial
secara apa adanya berdasarkan pengalaman yang bersifat subjektif. Paradigma ini melihat
fenomena sosial sebagai proses yang muncul dan diciptakan oleh individu-individu yang
bersangkutan. Paradigma ini berlawanan dengan salah satu asumsi ilmu pengetahuan
sosial yaitu ontologi (asumsi yang mempertanyakan apakah ilmu tersebut berupa realitas
ataukah hanya pikiran/khayalan individu saja).
3. The radical humanist paradigm
Paradigma ini berfokus untuk melihat sebuah perubahan sosiologis yang bersifat
radikal dengan sudut pandang subjektif. Paradigma ini memiliki kemiripan dengan
paradigma interpretif. Perbedaanya adalah paradigma ini menekankan pentingnya
membuang atau melampaui batasan aturan sosial yang ada. paradigma ini menganggap
bahwa kesadaran manusia secara kognitif dipengaruhi oleh kekuasaan/kesadaran yang
lebih tinggi. Paradigma ini beranggapan bahwa manusia akan bisa mewujudkan potensi
penuh mereka jika mereka mampu melampaui ikatan spiritual dan belenggu yang
mengikat mereka.
4. The radical structuralist paradigm
Paradigma ini berfokus untuk melihat perubahan sosiologi yang radikal dari sudut
pandang yang objektif. Paradigma ini beranggapan bahwa tingkat kesadaran dari suatu
masyarakat memiliki keterkaitan dengan struktur sosial yang ada di masyarakat yang
mana keterkaitan tersebut dapat menimbulkan perubahan sosial yang bersifat radikal.
Paradigma ini berusaha menjelaskan bahwa tekanan sosial yang menimbulkan konflik
yang bersifat fundamental bisa menimbulkan perubahan sosial. Paradigma ini sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Marx yang dikenal sebagai “epistemological break”.
Epistemologi sendiri adalah ilmu yang mempertanyakan dasar dari ilmu pengetahuan itu
sendiri.

A. Teori Postmodernisme
Postmodernisme muncul diakibatkan karena kegagalan modernisme dalam
mengangkat martabat manusia. Bagi postmodernisme, paham modernisme selama ini
telah gagal dalam membawa kehidupan manusia menjadi lebih baik dan tidak adanya
kekerasan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa modernisme membawa
kehancuran bagi manusia, peperangan terjadi dimana-mana yang hal ini mengakibatkan
manusia hidup dalam menderita (Setiawan dan Sudrajat, 2018). Pandangan modernisme
menganggap bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus mutlak serta objektif, tidak
adanya nilai dari manusia. Di sinilah muncul suatu paham postmodernisme yang
merupakan kelanjutan, keterputusan, dan koreksi dari modernisme untuk memberikan
suatu pemikiran baru dan solusi dalam menjalani kehidupan yang semakin kompleks ini.
Jika kita membicarakan postmodern tentu kita tidak bisa lepas dari nama Jean-
Francois Lyotard yang dianggap sebagai tokoh penting dalam pandangan
postmodernisme dengan karyanya La Condition Posmoderne/The Costmodern Condition
pada tahun 1979. Postmodernisme diartikan sebagai segala kritik atas ilmu pengetahuan
universal, atas suatu tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme
(Lyotard, 1979). Menurut Lyotard (1979) postmodernisme menganggap sesuatu ilmu
tidak harus langsung diterima kebenarannya harus diselidiki dan dibuktikan terlebih
dahulu. Sehingga bagi pemikiran postmodernisme ilmu pengetahuan tidaklah objektif
tetapi subjektif dan interpretasi dari manusia itu sendiri, sehingga kebenarannya adalah
relatif. Menurut Postmodernisme tidak ada ilmu pengetahuan yang kebenarannya absolut.
Lyotard (1979) membahas tentang legitimasi pengetahuan dan mengatakan bahwa negara
mengeluarkan banyak uang untuk memungkinkan ilmu pengetahuan menganggap dirinya
sebagai sebuah epic yang mana kredibilitas negara sendiri didasarkan pada hal itu, yang
digunakannya untuk memperoleh persetujuan publik atas keputusan yang diambilnya.
Ketika mengkritisi sebuah kebenaran yang dianggap mutlak, Lyotard
mengkritisnya dengan memberikan dua pertanyaan yang menurut kami sangat logis, yaitu
How do you prove the proof? Yang jika diterjemahkan adalah bagaimana dirimu
membuktikan sebuah bukti? dan Who decide the conditions of truth? Siapa yang berhak
memutuskan kebenaran?
Selain itu, Montagna (1997) mengatakan bahwa:
“Postmodernism is the total acceptance of discontinuity, heterogeneity, and
difference (but not differentiation) and the rejection of cultural universals. The mode of
regulation in the postmodern era is flexible accumulation.”
Saya sependapat dengan pendapat Lyotard dan Montagna mengenai
Postmodernisme dan saya akan membangun argumen saya menggunakan pandangan
tersebut. Menurut saya, posmodernisme mengandung beberapa nilai sebagai berikut:
1. Kebebasan
Postmodernisme memberikan kebebasan bagi peneliti untuk menentukan
bagaimana arah penelitiannya dalam memandang realitas. Kebebasan berekspresi itulah
yang akan membuat penelitian posmodernisme akan bersifat dinamis. Sifat dinamis itulah
yang sejalan dengan kodrat manusia. Manusia diajarkan oleh Tuhan untuk menjalani
proses bertumbuh secara fisik dari bayi hingga dewasa. Tuhan mengajari manusia untuk
mau membaca, belajar dan berpikir dengan akal sehatnya agar manusia bisa lebih bijak
dalam hidupnya.
2. Persatuan di dalam Perbedaan
Adanya paham postmodernisme yang tidak mempercayai sifat universal dari
nilai-nilai hidup atau budaya merupakan wujud penghargaan manusia terhadap manusia
lainnya. Penghargaan ini tentu akan menjadi sebuah nilai yang akan lebih mudah diterima
masyarakat secara umum karena saya melihat bahwa arah budaya dunia saat ini sedang
menuju kesetaraan yang diwujudkan dalam praktik-praktik hak asasi manusia. Ketika
manusia tidak merasa lebih tinggi atau lebih rendah dari manusia lainnya, sebuah
persatuan akan terwujud. Sebuah persatuan yang di dalamnya terdapat banyak perbedaan
pendapat dan penghargaan terhadap setiap pendapat.
3. Melihat Realitas dengan Lebih Manusiawi
Paradigma postmodernisme yang memandang bahwa kebenaran itu bersifat relatif
merupakan sebuah cara yang lebih manusiawi dalam melihat realitas. Ketika paham
positivis memandang bahwa hanya ada satu kebenaran mutlak, mereka lupa bahwa
kebenaran yang mereka anut selalu bergerak secara dinamis. Gerak dinamis dari
kebenaran itulah yang akhirnya selalu memunculkan kebenaran-kebenaran baru. Manusia
memang tidak bisa memprediksi masa depan, tetapi manusia belajar dari masa lalu untuk
bisa hidup dengan baik di masa sekarang. Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak bagi
manusia, tetapi pembelajaran adalah bagian dari proses mencari sebuah kebenaran.

B. Teori Positivisme
Adanya pemikiran positivis dalam ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh
Auguste Comte (1798-1857). Auguste Comte membawa perubahan besar dalam dunia
pemikiran dan mendobrak paham metafisik yang menjamur pada abad pertengahan
dengan filsafat positivisme. Positivism memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi
ilmu alam yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol
dan digeneralisasi sehingga gejala kedepan bisa diramalkan. Maka ilmu-ilmu sosial telah
dibentuk menurut paham rasional dan empirisme ilmu pengetahuan alam yang sangat
menonjolkan epistemologi positivisme. Sehingga ilmu pengetahuan itu bersifat mutlak.
Karena pada cara pandang mereka berdasarkan realitas fisik, dan tingkat
kebermanfaatannya akan ditentukan oleh kemampuannya dalam membuat penjelasan
yang logis dan prediksi yang tepat untuk realitas yang akan datang. Dan karena
keberadaan ilmu pengetahuan dalam posisi yang normal dan mudah diakui akan lebih
memudahkan para ilmuan untuk melakukan pengembangan konsep-konsep ilmu
pengetahuan. Para positivist ini beranggapan suatu ilmu pengetahuan tidak dapat
diganggu gugat dan diterima secara akal pikiran seperti itu adanya dan jika akan
diperbaiki perbaikan ilmu pengetahuan bersifat kecil. Cara pandang ini lebih
mengedepankan proses-proses yang rasionalisasi pada bidang-bidang kehidupan. Adanya
terminologi “Era Pencerahan” (Enlightment) digunakan sebagai lawan dari “Era
Kegelapan” (Dark Age), yang menunjukkan keadaan dimana manusia telah dicerahkan,
dibebaskan dari pikirannya dari belenggu dominasi ajaran Ketuhanan kemudian
dicerahkan sehingga mampu mendayagunakan akal budi dan rasionalitasnya untuk
membentuk kehidupan sosial bersama. Dalam hal ini Comte menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan tidak bisa melampaui fakta sehingga positivisme benar-benar menolak
metafisika dan menerima adanya “das Ding an Sich” (Objek yang tidak bisa diselidiki
oleh pengetahuan ilmiyah) (Hardiman, 2003). Menurut comte positivisme adalah hal hal
yang bersifat nyata, pasti, tepat, berguna dan memiliki kebenaran yang mutlak. Artinya
kebenaran harus bersifat positif bukan abstrak dan dapat diamati, diukur dan diprediksi
sebagaimana moto Comte savoir pour prevoir” (mengetahui untuk meramalkan).
Bryant (1985) menyatakan bahwa positivisme di dalam penelitian sosial
didasarkan pada asumsi bahwa setiap penelitian haruslah bisa diteliti dan dibuktikan
secara ilmiah (scientific). Jika kita melihat dari sudut pandang sejarah, positivisme
dimulai dari 3 negara besar, yaitu positivisme Prancis, positivisme Austria-Jerman dan
positivisme Amerika.

Positivisme Prancis
Berikut ini 12 prinsip yang dianut dalam tradisi prancis terkait dengan
positivisme:
1. Hanya ada satu dunia, dan ia memiliki keberadaan yang objektif.
2. Konstituen dunia, dan hukum yang mengatur geraknya, bisa ditemukan melalui
sains saja. Sains menjadi satu-satunya bentuk pengetahuan. karena itulah, sesuatu
yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah maka pada dasarnya bukanlah
pengetahuan.
3. Sains didasarkan pada alasan dan observasi yang dikombinasikan. Teori tanpa
observasi disebut mistisisme dan observasi tanpa teori adalah empirisme.
4. Ilmu pengetahuan tidak dapat menemukan unsur dunia dan semua hukum yang
mengaturnya karena kekuatan akal dan pengamatan yang bisa dilakukan manusia
terbatas. Pengetahuan ilmiah akan tetap bersifat relatif sesuai tingkat
perkembangan intelektual yang dicapai dan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada
dalam kelompok manusia itu.
5. Apa yang ingin diketahui oleh manusia tentang dunia biasanya didasarkan pada
minat praktis dan situasinya.
6. Ada hukum dari perkembangan sejarah akan mampu menjelaskan masa lalu,
memahami masa sekarang dan memprediksi masa depan.
7. Ada hukum sosial yang mengatur interkoneksi antara berbagai bentuk
kelembagaan dan budaya.
8. Masyarakat adalah sesuatu yang sangat unik.
9. Tatanan sosial adalah kondisi yang alamiah dari masyarakat
10. Pilihan moral dan politik harus ditetapkan secara eksklusif atas dasar ilmiah.
11. Penundukan manusia pada hukum sejarah dan masyarakat akan menghalangi
proses evaluasi bentuk-bentuk institusi dan budaya dalam hal apapun selain yang
sesuai dengan hukum-hukum tersebut.
12. Sesuatu yang positif dan konstruktif akan menggantikan yang negatif dan kritis.
Sesuatu yang positif dan relatif akan menggantikan yang teologis metafisik dan
absolut.

Positivisme Austria-Jerman
Diskusi tentang positivisme dalam ilmu sosial di dua negara yang berbahasa
Jerman (Negara Jerman dan Austria) menimbulkan perdebatan di mana positivisme
dilemparkan sebagai ancaman bagi metode-metode alternatif penelitian sosial yang telah
mengalami periode-periode penting yang menonjol, bahkan kekuasaan, di masa lalu, dan
tetap kuat hingga hari ini. Perdebatan ini diawali diskusi di negara jerman terkait
hubungan ilmu ekonomi dan ilmu sosial. Sedangkan di austria, positivisme ini muncul di
Vienna, Austria. Beberapa ilmuan di Vienna ketika itu mulai membicarakan hubungan
antara matematika dan ilmu alam. Mulai dari situlah ilmuan-ilmuan di Vienna mulai
menerapkan pengukuran-pengukuran ilmiah dalam banyak bidang keilmuan.

Positivisme Amerika
Positivisme Amerika atau positivisme instrumental mulai mengarah pada penelitian
sosial yang lebih empiris, hal ini dibuktikan dengan:
1. Diutamakannya teknik – teknik statistik dan instrumen penelitian
2. Pengesahan akan konsepsi nominalis atau individualistis dari masyarakat
3. Adanya indikator-indikator penelitian sosial yang ilmiah
4. Dimunculkannya kelompok penelitian sosial terapan

C. Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Agama


Dalam sejarah munculnya sekularisme pertama kali di barat pada abad
pertengahan, ketika itu agama (gereja) dikuasai oleh para pendeta yang memiliki
kekuasaan absolut, sehingga kebijaksanaan apapun yang bertentangan dengan pendeta
akan dianggap bertentangan dengan Tuhan. Lahir sekularisme ini menjadikan adanya
pemisahan cara hidup manusia dijauhkan atau ditiadakan dari agama. Kemunculan
sekularisme mengakibatkan masyarakat menjadi melepaskan diri dari dominasi agama
dengan lebih mengutamakan kehidupan duniawi dari pada norma-norma agama.
Sehingga negara dan agama tidak dipandang lagi sebagai kesatuan dan teologi tidak lagi
menguasai ilmu-ilmu lain. Tekanan ideologis ini berimplikasi negatif terhadap seluruh
aspek kehidupan sosial, termasuk juga perkembangan ilmu pengetahuan.
Pengalaman Galileo menjadi salah satu sebab keberhentian total perkembangan
ilmu dan logika pada abad pertengahan. Keadaan ini benar-benar meresahkan
masyarakat, khususnya kaum intelektual. Pada akhirnya mendorong mereka untuk
melakukan pembaruan (al-ishlah ad-dini). Konsep yang diusung oleh para pembaharu
tersebut adalah bagaimana membatasi kekuasaan gereja (pendeta) pada hal-hal yang
bersifat religius saja, tidak pada hal-hal yang bersifat keduniawian. Agama terbatas pada
hal-hal yang berdimensi ritual saja, sedangkan urusan-urusan diluar itu, termasuk urusan
kenegaraan ditangani sendiri oleh masyarakat tanpa campur tangan agama ataupun
pendeta. Salah satu slogan utama yang diteriakkan para pembaharu adalah “berikanlah
hak Tuhan kepada Tuhan dan berikanlah hak kaisar kepada kaisar”. Adanya hal inilah
yang selanjutnya menjelma menjadi sebuah ideologi yang akhirnya kita kenal dengan
“sekularisme”.
Dalam bahasa arab menurut kitab Al-Ansab dikatakan bahwa sekularisme berasal
dari bahasa latin Seaculum, aeon atau mundus yang mengandung dimensi waktu, abad,
generasi dan mengandung ruang dan tempat. Dalam bahasa arab, istilah ini mengalami
beberapa asal kata. Kata “Almaniyyah” berasal dari tiga huruf yaitu ‘ain, lam dan mim.
Jika kita merujuk pada kata aslinya maka Almaniyyah bisa memiliki dua cara baca yaitu
“Almaniyyah” dengan ‘ain fatha yang berarti alam dan “Ilmaniyyah” dengan ‘ain kasra
yang berarti ilmu. Dengan cara baca yang berbeda ini menimbulkan arti yang berbeda
pula. Almaniyyah artinya adalah ada pemisahan antara urusan dunia dan akhirat, negara
dan agama (fash al-din wa ad-daulah). Sedangkan Ilmaniyyah berarti usaha
mensejajarkan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Dunia ini sedang mengalami The Grand Process of Modernization (Gordon,
1991). Modernisasi selalu melibatkan globalisasi dan berimplikasi pada perubahan
tatanan sosial dan intelektual, karena dibarengi oleh masuknya budaya luar ke dalam
masyarakat tersebut. Menurut Boeke, ketika budaya barat yang unsur-unsurnya lebih
maju, berwatak kapitalis, berhadapan dengan budaya lokal yang berwatak tradisional,
terjadi pergulatan antara budaya luar dengan budaya lokal. Pertarungan kedua budaya
tersebut tidak selalu berakhir dengan model antagonistik, tetapi unsur yang tersisih
akhirnya tidak berfungsi dan digantikan oleh unsur baru yang kemungkinan besar
dimenangkan oleh unsur barat. Biasanya, unsur lokal berangsur-angsur menurun dan
tidak lagi diminati oleh masyarakat tradisional (Sukamto, 1999).
Selain masuknya budaya luar, globalisasi juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan
sekularisasi. Globalisasi dan sekularisasi seakan akan merupakan satu paket yang terjadi
di dunia Barat dan Timur. Konsekuensinya, ajaran dan dogmatisme agama yang semula
sakral sedikit demi sedikit mulai dibongkar oleh pemeluknya, yang pandangannya telah
mengalami perkembangan mengikuti realitas zaman. Agama pada dataran itu pun
akhirnya menjadi profan, sehingga sangat tepat jika munculnya modernisasi seringkali
dikaitkan dengan perubahan sosial, sebuah perubahan penting dari struktur sosial (pola-
pola perilaku dan interaksi sosial) (Lauer, 2003).
Gerakan pemikiran yang membawa pengaruh besar kepada kehidupan masyarakat
dan pandangan mereka terhadap agama yang disebut paham modernisme. Modernisme
muncul pertama kali di Eropa, paham ini ingin meruntuhkan kebiasaan kebenaran agama
yang mutlak. Dikotomi yang mereka usung bisa dikatakan sebagai dualistisme atau
sekularisme dalam arti yang sederhana. Masyarakat modernisme berciri antroposentrisme
yang beranggapan bahwa agama hanya berguna bila ada kegunaan pragmatik. Sehingga
munculnya modernisme merubah pandangan manusia terhadap agama.
Sedangkan Mordenisasi dalam Islam menurut Madjid (1998) adalah rasionalisasi,
yaitu usaha untuk merasionalkan atau membuat masuk akal, bukan westernisasi. Madjid
(1998) mengatakan “Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi
yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada
Tuhan. Akan tetapi kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa
modernisasi ialah Westernisasi, sebab kita menolak Westernisme. Dan Westernisme yang
kita maksudkan itu ialah suatu total way of life, di mana faktor yang paling menonjol
ialah sekularisme, dengan segala percabangannya”.
Dengan begitu, berarti modernisasi adalah proses perombakan cara berpikir dan
tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja
baru yang rasional. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang
maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di
bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan tidak lain ialah hasil pemahaman
manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal dan material,
sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis. Modernisasi juga
dapat diartikan dalam kerangka-kerangka tingkat industrialisasi, walaupun hal ini sering
diikuti oleh suatu pengamatan bahwa, jika inilah conditio sine qua non, ia bukanlah
kebenaran yang menyeluruh (Attir, 1981).
Memadukan ilmu pengetahuan dengan agama merupakan suatu pemikiran yang
didasarkan asumsi bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dalam konteks agama
merupakan suatu keharusan bagi kelanjutan peradaban umat manusia yang harmonis di
masa depan. Agama memberikan pilihan dan panduan bagi manusia tentang jalan hidup
yang dilaluinya. Dan dengan ilmu pengetahuan manusia akan lebih bijaksana dalam
menentukan pilihan hidup. Dengan Ilmu pengetahuan inilah yang kemudian akan
diaplikasikan dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia. Nabi Muhammad SAW
(Salallahu ‘Alaihi Wassalam) mengatakan bahwa “Ilmu tanpa iman bencana, iman tanpa
ilmu gelap”. Sehingga dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan peran agama
sangat terasa jika mempertimbangkan agama secara totalitas sebagai jalan hidup, sebagai
pemberi makna kehidupan yang akan memberikan bimbingan etika dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Tatanan kehidupan yang bermoral ini hanyalah mungkin apabila iman
sebagai prasyarat mutlaknya diterima dengan kritis dan sadar. Dalam sistem kepercayaan
Islam, iman memberikan fondasi moral yang kokoh, dan di atas fondasi inilah manusia
bisa menciptakan hidup secara imbang (Ma’arif, 1997). Karena ilmu pengetahuan mampu
menjelaskan fenomena secara ilmiah maupun secara normatif, namun tidak mampu
menjelaskan mana yang baik dan mana yang benar untuk dilakukan (Ghulsyani, 1986)
maka dengan begitu dibutuhkan peran agama sebagai pedoman hidup.
Dalam Islam, strategi pengembangan ilmu juga harus didasarkan pada perbaikan
dan kelangsungan hidup manusia untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fil-ard)
dengan tetap memegang amanah besar dari Allah SWT. Oleh sebab itu ilmu harus selalu
berada dalam kontrol iman. Ilmu dan iman menjadi bagian integral dalam diri seseorang,
sehingga dengan demikian yang terjadi adalah ilmu amaliah yang berada dalam jiwa yang
imaniah.
Untuk menambah referensi kita tentang hubungan agama dan pengetahuan,
berikut ini pendapat beberapa peneliti tentang hubungan agama dan pengetahuan yang
terdapat dalam jurnal encyclopedia of science and religion:
Pendapat Nakasone (2003) mengenai Buddhisme dan sains:
“Ketertarikan Buddhisme pada sains pada dasarnya adalah therapeutic — untuk
meringankan penderitaan manusia dan merawat bumi. Meskipun umat Buddha terbuka
terhadap penemuan perubahan, umat Buddha Asia hampir secara universal waspada
terhadap penggunaan pengetahuan baru yang tidak tepat. Sebaliknya, para sarjana Barat
dan orang-orang Barat yang pindah agama ke Buddha cenderung mengeksplorasi
implikasi ide-ide Buddhis. Akhirnya, sistem pengetahuan yang berbeda dibangun di atas
asumsi realitas yang berbeda, yang pada gilirannya mengarah pada gagasan realitas dan
kategori pemahaman yang berbeda. Bagi umat Buddha, ilmu pengetahuan Barat dan
asumsi-asumsinya hanyalah satu dari banyak cara untuk memahami realitas.”
Pendapat Guiderdoni (2003) tentang Islam dan sains:
“Intelektual Muslim yang mempelajari hubungan antara sains dan agama
mengambil ide-ide mereka dari epistemologi Islam. Memang, tradisi Islam menekankan
pencarian "pengetahuan" (‘ilm), sebuah kata yang berulang lebih dari empat ratus kali
dalam Alquran dan dalam banyak tradisi kenabian dalam bentuk seperti "pencarian
pengetahuan adalah kewajiban agama," atau “Mencari pengetahuan sampai ke China.”
Pengetahuan ini memiliki tiga aspek: pengetahuan agama yang ditransmisikan melalui
wahyu, pengetahuan tentang dunia yang diperoleh melalui penyelidikan dan meditasi, dan
pengetahuan tentang sifat spiritual yang diberikan oleh Tuhan.”
Pendapat Coward (2003) mengenai hindu dan sains:
Para filsuf dan teolog Hindu biasanya melihat diri mereka sebagai representasi
suatu pendekatan dimana pengetahuan spiritual dan ilmiah bersatu, dan melalui itu
mereka dapat memenangkan kembali kedirian mereka. Bagi Hinduisme, tradisi ilmiah
dan teknologi Eropa tidak dapat diabaikan atau ditolak, tetapi harus diserap. Kemudian
hasil proses tersebut akan memanifestasikan hindu dalam kosmologi kontemporer dan
ilmu terapan seperti kedokteran, ekologi, dan rekayasa genetika.
Para teolog ortodoks modern menyatakan bahwa sains tidak dapat dikecualikan
dari visi teologis tentang Allah dan ciptaan. Tugas teologi Ortodoks adalah untuk
mendamaikan visi kosmis para Bapa dengan visi yang tumbuh dari hasil-hasil ilmu alam.
Perpecahan antara sains dan agama dapat diatasi dengan alasan pemulihan mereka untuk
bersekutu dengan Allah.
BAB IV
MENCINTAI PENGETAHUAN
A. Eksistensi Masalah?
Seperti yang kita ketahui selama ini, bahwa penelitian yang dilakukan oleh para
peneliti merupakan suatu penelitian yang berangkat dari suatu fenomena yang dianggap
menjadi suatu permasalahan, sehingga terbentuklah penelitian tersebut. Pendahuluan
yang umumnya menyajikan latar belakang, rumusan, tujuan, kontribusi, dan motivasi
penelitian merupakan pemaparan para peneliti tentang suatu fenomena atau masalah yang
dianggapnya menarik untuk diteliti. Noor (2016) menjelaskan latar belakang harus
menunjukkan sistematika yang menjurus ke arah pemilihan suatu masalah tertentu.
Masalah tersebut tentunya yang penting dan menarik (menurut para peneliti tersebut)
untuk dilakukan penelitian. Para peneliti tersebut juga harus dapat menjelaskan mengapa
dia meneliti masalah tersebut? apa akibat positif yang dapat ditimbulkan dari penelitian
dengan masalah tersebut. selain itu dalam latar belakang peneliti juga harus
mengemukakan masalah empiris dari setiap variabel yang ditelitinya. Masalah empiris
yang dimaksud yaitu masalah yang diperoleh dari pra riset. Penyampaian latar belakang
biasanya diawali dengan mengemukakan alasan-alasan penting masalah pokoknya dan
kemudian diikuti dengan mengemukakan alasan penting faktor penyebab masalah dari
masalah pokok yang akan diteliti.
Setelah dilakukan pemaparan masalah penelitian pada latar belakang masalah,
Noor (2016) menjelaskan lebih lanjut, tahap selanjutnya yang biasa para peneliti lakukan
yaitu mengidentifikasi masalah. setelah melakukan identifikasi masalah, peneliti akan
melakukan pembatasan diri, yang disajikan dalam batasan masalah, yang mana pada
batasan masalah ini peneliti membatasi atau mempersempit ruang lingkup masalah yang
telah teridentifikasi. kemudian peneliti akan menegaskan tentang hal-hal spesifik yang
akan dikaji dari masalah yang dia temukan pada perumusan masalah. Dari masalah yang
disampaikan pada latar belakang, yang kemudian masalah tersebut dirumuskan menjadi
rumusan masalah, peneliti juga akan menyampaikan tujuan dari dilakukannya penelitian
tersebut, yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan yang disajikan pada rumusan
masalah.
Penjelasan tersebut membuktikan bahwa suatu penelitian dilakukan atas dasar
masalah. Namun, menurut kami penelitian justru dilakukan atas dasar cinta. Masalah
hanya ada karena pikiran manusia, sesuatu tidak akan dikatakan masalah apabila pikiran
kita tidak menganggap hal tersebut sebagai masalah. Justru peneliti melakukan
penelitiannya atas dasar cinta, karena dengan cinta kita rela berkorban untuk apapun,
seperti layaknya kita melakukan penelitian yang mengorbankan jiwa, tenaga, bahkan
harta untuk memecahkan suatu fenomena yang kita anggap menarik. kalau bukan karena
kecintaannya pada apa yang dia lakukan, maka penelitian tersebut tidak akan bisa dia
lakukan.

B. Intelektualitas Tuhan
Contoh yang sering kita temui dari “Keangkuhan Intelektual” seperti kegiatan
pembelajaran yang umum dilakukan di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi di
Indonesia yaitu sistem pembelajaran satu arah (pengajar memberikan “dogma” kepada
para peserta didiknya). ketika peserta didiknya menyampaikan suatu materi di depan
kelas (contoh: presentasi) pihak pengajar akan merasa memiliki ilmu yang lebih tinggi
sehingga sibuk dengan urusannya masing-masing, duduk menepi dan tidak
memperhatikan peserta didiknya. Mereka merasa bahwa mereka sudah tahu apa yang
peserta didiknya akan sampaikan. Lebih jelasnya lagi Karimi (2012) memberikan contoh
lain yaitu para pengajar tersebut merasa apa yang mereka ketahui merupakan suatu
kebenaran yang mutlak dan tidak mungkin salah. Sehingga jika ada pendapat lain dalam
sebuah dalam sebuah diskusi, maka pendapat tersebut akan serta merta ditolak, tanpa
dikaji dan dipertimbangkan terlebih dahulu.
Karimi (2012) jika menjelaskan, jika asumsi dasar yang dibangun sudah seperti
contoh di atas, maka akan sulit untuk dilakukan perubahan dan menerima keyakinan
orang lain. Karimi (2012) juga menjelaskan bahwa salah satu prinsip ilmu adalah selalu
berkembang, apa yang benar menurut ilmu saat ini belum tentu benar menurut ilmu yang
dikembangkan (ilmu di masa depan) jika ditemukan penjelasan yang lebih relevan. Salah
satu contohnya adalah ilmu akuntansi. dahulu ilmu akuntansi hanya dipandang dengan
satu paradigma saja, yaitu paradigma positivism. pada perkembangannya ilmu akuntansi
dapat dilihat melalui multiparadigma (interpretif, kritis/pragmatis, dan spiritual).
Melihat kenyataan tersebut, sudah sepatutnya kita merasa bahwa apa yang kita
ketahui sebenarnya hanyalah segelintir dari banyaknya ilmu yang kita ketahui. seperti
kata peribahasa “makin berisi, makin merunduk” yang artinya semakin banyak
pengetahuan maka orang tersebut akan semakin rendah hati. Peribahasa lain pun
mengatakan “ilmu yang tidak diamalkan itu bagai pohon kayu yang tiada berbuah” yang
artinya tiada gunanya mempunyai ilmu jika tidak digunakan serta dikembangkan. Sebagai
makhluk yang berintelektual, kita harus berfikir kritis yaitu meragukan kembali apa yang
selama ini kita yakini sebelumnya.
Suardikha (2012) menjelaskan bahwa mengembangkan suatu ilmu pengetahuan,
manusia harus membekali dirinya dengan pengetahuan yang cukup, baik yang bersifat
intelektual, emosional, maupun spiritual yang dilandasi oleh tanggung jawab kepada
sesama, lingkungan, dan Tuhan. Manusia hendaknya dapat memperbaiki dan/atau
membangun ilmu pengetahuan untuk dapat diamalkan disebarkan kepada masyarakat
luas yang memerlukan pengetahuan tersebut. Dengan kata lain mengembangkan dan
membangun ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya adalah mengamalkan/
menyebarluaskan ilmu pengetahuan tersebut kepada masyarakat luas. Dengan
mengamalkan/menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang kita miliki, maka hal tersebut
menjadi upaya memberdayakan atau mengembangkan, karena pada hakikatnya kita
menimba pengetahuan dan menggabungkan energi Emotional Quotient dan Spiritual
Quotient kedalam Emotional Quotient and Spiritual Quotient (ESQ), yang dilandasi
tanggung jawab kepada sesama, lingkungan, dan Tuhan untuk dapat mengembangkan dan
membangun ilmu pengetahuan yang selanjutnya dapat diamalkan kepada masyarakat
luas. Suardikha (2012), juga menjelaskan bahwa memberdayakan atau mengembangkan
diri bagi manusia adalah sarana untuk untuk mencapai tujuan hidup seseorang, yaitu
mengenal dirinya yang sejati yang tiada lain adalah “Aku”. “Aku” adalah “Aku” yang
bersemayam di dalam diri manusia yang tiada lain adalah Tuhan. Manusia yang
merupakan bagian dari Tuhan melakoni hidupnya dengan melakukan aktivitas sesuai
dengan profesinya. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai tujuan hidupnya, manusia
harus mengembangkan atau memberdayakan dirinya melalui salah satu aktivitas yang
dilakoni dalam hidupnya, yaitu mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan
sesuai dengan profesinya.
Dalam penelitiannya Bashori (2016) menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara
Tuhan, manusia, dan pendidikan (intelektual). Ketiganya secara singkron saling
melengkapi satu sama lain. Karena pada hakikatnya manusia yang diciptakan oleh Tuhan
secara tidak langsung memberikan petunjuk kepada manusia agar melalui pendidikan
manusia mampu menemukan kebenaran yang hakiki tentang Ketuhanan. Untuk itu
hubungan pendidikan dalam kehidupan manusia bagian dari tujuan Tuhan agar manusia
berfikir mencari kebenaran itu secara mendalam.
Dari pemaparan-pemaparan tersebut, sejatinya intelektualitas Tuhan merupakan
individu yang dengan intelektual yang dia miliki tidak membuatnya merasa apa yang dia
ketahui merupakan kebenaran yang absolut, karena dia mengetahui dan paham betul
bahwa kebenaran yang absolut hanya kebenaran yang ada pada Tuhan sedangkan
kebenaran manusia itu bersifat relatif. Selain itu individu dengan intelektualitas Tuhan
tidak akan berhenti mencari kebenaran akan sesuatu, oleh karena itu ilmu yang dia miliki
akan terus berkembang, yaitu dengan cara mengembangkan/memberdayakan ilmu yang
dia miliki.
Individu yang berintelektualitas Tuhan pastilah individu yang memiliki agama
dan cinta di dalam dirinya, karena dengan agama dan cinta dia menjadi individu yang
melepaskan keegoisannya termasuk dalam menerima ilmu-ilmu baru, sehingga ilmu yang
dia miliki akan terus berkembang.
BAB V
DIALEKTIKA IMAJINATIF AGAMA CINTA DAN ILMU
PENGETAHUAN
Imajinasi dan realitas pada dasarnya memiliki keterkaitan khusus. Ketika seorang
arsitek memikirkan tentang rancangan sebuah bangunan, pada dasarnya itu masih menjadi
imajinasi. ketika seorang arsitek mulai mewujudkan imajinasinya ke dalam bangunan
yang bisa dilihat oleh mata manusia, imajinasi itu sudah menjadi realitas itu sendiri. Hal
ini karena imajinasi dan realitas yang dilihat mata adalah kenyataan. Begitu pula dengan
agama, cinta dan pengetahuan.
Cinta sejati Tuhan pada dasarnya adalah pondasi bagi setiap manusia untuk
menjalani kehidupannya. Sedangkan agama adalah alat bagi manusia untuk menjalani
kehidupan. Karena agama mengajarkan banyak hal, seperti moral, etika, penjabaran cinta
kasih dan dasar ilmu pengetahuan. Dasar ilmu pengetahuan itu berupa perintah Tuhan
untuk memahami alam semesta dan seisinya dengan tujuan untuk memahami cinta tuhan
itu sendiri.
Pernyataan diatas bukan hanya sekedar teori belaka. Banyak ilmuwan-ilmuwan
yang menggunakan cinta dan agama sebagai dasar untuk melihat dunia. Beberapa dari itu
bisa kami jabarkan dari tulisan-tulisan peneliti tentang bagaimana manusia memahami
ilmu pengetahuan dengan agama di bawah ini.
Pendapat Nakasone (2003) tentang praktik dari Buddha di dalam ilmu
pengetahuan:
“Suatu sains dan metodologi alternatif, misalnya, mungkin dapat diekstrapolasi
dari pengobatan Buddha Tibet yang saat ini dipraktikkan, yang masih mempertahankan
banyak dari paradigma aslinya.”
Pendapat Dhanani (2003) tentang praktik dari Islam di dalam ilmu pengetahuan:
“Pertentangan antara Islam dan pengetahuan pada dasarnya adalah sebuah
kesalahan. Beberapa ilmuwan Muslim, misalnya al-Biruni, merenungkan Al-Qur'an
dalam karya-karya mereka. Dalam Penentuan Koordinat Posisi untuk Koreksi Jarak
antara Kota, al-Biruni mengutip ayat Al-Qur'an, "Mereka menganggap penciptaan langit
dan bumi [dan berseru], Ya Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan ini dengan sia-sia”
(3: 191). Dia kemudian berkomentar, “Ayat mulia ini menggabungkan semua yang telah
saya jelaskan secara terperinci. Hanya setelah melaksanakan instruksinya, manusia akan
tiba di jantung ilmu pengetahuan dan pemahaman”. Al-Biruni menggambarkan sikap
yang mendorong penelitian ilmiah yang berhubungan dengan praktik keagamaan seperti
penentuan waktu dan arah shalat, penampakan bulan sabit, dan penentuan senja dan
matahari terbenam. Akibatnya, kantor pencatat waktu fasih dalam matematika dan
astronomi dan berafiliasi dengan masjid.
Praktek hindu india menurut Klostermaier (2003) meliputi beberapa aspek,
seperti:
1. Astronomi. Pengetahuan astronomis tentang tatanan yang cukup tinggi
diperlukan untuk pelaksanaan Veda yajña. Menurut Subhash Kak, struktur teks
Rgveda dan altar Veda berisi "kode astronomi," mewujudkan informasi yang
akurat dan cukup akurat tentang jarak dan revolusi planet dan data astronomi yang
lebih umum.
2. Matematika. Matematika India dikembangkan dari persyaratan untuk Veda yajña.
Yajurveda tahu istilah untuk angka hingga 10 (dengan perbandingan jumlah
tertinggi yang disebutkan oleh orang Yunani adalah 10. Kemudian orang India
menciptakan istilah untuk angka hingga 1024 dan 1053. Aljabar, terlepas dari
nama Arabnya, adalah penemuan India, dan begitu juga sistem nol dan desimal,
termasuk angka "Arab". Nama-nama beberapa ahli matematika India yang hebat
dan beberapa rincian pencapaian mereka diketahui.
3. Obat. Atharva-veda, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai yang tertua
diantara keempat Veda, berisi doa-doa yang berkaitan dengan penyakit tubuh dan
mental. Upa-veda-nya, Vyur-veda (ilmu kehidupan) dikembangkan secara
sistematis sejak awal. Ilmu itu berorientasi pada pencegahan penyakit dan
penyembuhan melalui pengobatan herbal, tetapi kemudian juga dikembangkan
menjadi spesialisasi medis lainnya.
4. Arsitektur. Peradaban India kuno menunjukkan tingkat pencapaian arsitektur
yang tinggi. Kota-kota yang ditata dengan baik, rumah-rumah batu bata yang
dibangun dengan hati-hati, sistem drainase, dan tangki air besar mengungkapkan
karya perencanaan dan pembangunan kota yang profesional.
Para Bapa Yunani menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah tidak lengkap dalam
dirinya sendiri dan harus didukung oleh pandangan yang lebih luas tentang realitas, yang
dapat diakses melalui iman. Pengetahuan dan sains dengan demikian memiliki dasar
dalam iman. Karya pengetahuan dapat diartikan sebagai karya "para-ekaristi" (Zizioulas,
1997). Kemajuan pengetahuan harus diperhitungkan hanya dalam konteks kemajuan roh
manusia dan pendalaman pengalaman manusia tentang realitas ilahi, yang tidak dapat
direduksi ke tingkat fisik atau kimia (Staniloae, 1980).
Bab VI
Kelahiran Intelektual Sejati
Ketika kita membicarakan tentang kelahiran intelektual sejati tentu kita
membicarakan tentang pendidikan yang harus diberikan kepada seorang manusia untuk
bisa menjadi intelektual sejati. Sebagai awal pembahasan tentang hal tersebut, akan
diawali dengan budaya Jawa yang erat dengan budaya dari penulis sendiri.
Budaya Jawa memiliki budaya pendidikan sendiri dalam mendidik seorang anak.
Seorang anak Jawa selalu diajarkan tentang nilai moral dan etika terlebih dahulu ketika
kanak-kanak. Anak Jawa di ajari untuk selalu menghormati orang yang lebih tua dengan
bahasa dan gaya hidup. Tingkatan bahasa yang ada dalam bahasa Jawa menjadi
contohnya. Selain itu, budaya mengajarkan yang lebih muda untuk berjalan sambil
menunduk ketika melewati kelompok orang yang duduk atau orang yang lebih tua. Moral
di budaya Jawa diajarkan oleh orang tua Jawa dengan mengajarkannya secara linguistik
atau bahasa dan tingkah laku. Ajaran moral secara terus menerus diajarkan hingga
seorang anak mengerti dan bisa membedakan mana yang baik secara moral dan buruk
secara moral. Ketika seorang anak sudah paham mengenai hal tersebut, maka dia akan
dibiarkan untuk mengikuti pendidikan formal yang mengajarkan tentang ilmu
pengetahuan.
Keluarga merupakan tempat pertama seseorang memperoleh pendidikan atau
pengetahuan. Sama dengan kasih agape yang menjelaskan mengenai kasih yang ekslusif
di lingkungan keluarga, bahwa keluarga adalah tameng pertama yang menjaga seorang
anak dari lingkungannya, keluarga juga lah pedang yang dibekalkan kepada anak untuk
menghadapi dunia ini. Dalam cinta kasih agape juga mendasarkan pada perilaku kedua
orang tuanya dimana merekalah sosok yang akan dicerminkan kepada kedua anaknya,
dimana sang anak ibarat susu putih yang masih murni dan kemudian di tangan orang tua
bagaimana susu itu dipergunakan, susu digunakan untuk latte art atau susu yang
digunakan sebagai bahan dasar pembuat keju.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, intelektual sejati akan hadir dari sudut pandang
tuhan terhadap buah itu. akar sebagai seorang ayah yang bekerja menyerap energi
mengexplore segala bentuk rintangan yang menghalangi di dalam tanah seraya
mendapatkan nutrisi yang terbaik yang dapat ia capai dan terus menancapkan akar
tunggangnya seraya memberikan kekuatan menopang yang sangat luar biasa kepada
keluarganya. seorang ibu yang memiliki keajaiban melakukan semua hal dalam satu
waktu yang diibaratkan sebagai batang dan ranting dimana dimana nutrisi dari akar
dilanjutkan melalui batang dan diteruskan ke ranting nya, dimana ranting itu akan
menyalurkan nutrisi ke semuanya mengolahnya serta memberikan manfaat kepada orang
lain. Ranting yang banyak adalah keajaiban seorang ibu yang mampu memanfaatkan
apapun yang didapatkan oleh akar untuk di distribusikan ke semua rantingnya tanpa ada
yang dibuang percuma. nutrisi yang mulai diolah menjadi makanan untuk semua bagian
dari pohon, hasil dari pengolahan makanan yang dapat dilepaskan untuk makhluk lain
berupa oksigen, ranting yang digunakan untuk menopang kehidupan lain di sekitarnya
dan membuat rasa nyaman yang datang menghampiri. Buah akan datang waktunya
tergantung tuhan yang menghendaki dan usaha dari pohon itu untuk menarik bantuan dari
makhluk lainnya dan juga campur tangan tuhan melalui lingkungannya. Buah itu adalah
anak yang dianugerahkan tuhan kepada pohon sebagai keluarga dan lingkungannya. Buah
itu akan menyerap lebih banyak nutrisi, menggugurkan banyak daunnya mengoptimalkan
kerjanya agar buah itu tumbuh dengan sehat dan akan menjadi buah dengan kualitas
terbaik pohon itu, serta buah itu akan dilindungi dari lingkungan sekitarnya dengan
caranya masing-masing, Buah itu akan tumbuh terus menyerap energi dari pohonnya,
membawa bibit usaha yang tertanam pada buahnya berupa biji. Saat sang buah itu sudah
semakin dewasa dia akan melepaskan dirinya dari keluarga yang membesarkannya. Buah
itu akan menghadapi nasibnya di tangan tuhannya, entah dia akan menanamkan bijinya
di lingkungan itu atau dia akan menanamkan bijinya di lingkungan barunya.
Lihatlah tuhan menciptakan makna yang mendalam dari cinta yang sebenarnya
dari makhluk yang tak takut kekurangan rezeki, makhluk yang tak takut akan dirinya
dianggap seperti apa, makhluk yang hanya berfokus kepada dirinya sendiri, keluarga,
anaknya, dan juga lingkungannya. Tuhan memang begitu adanya, tak usah kau ributkan
Dia seperti apa, Dia memihak agama yang mana, Dia yang melarangmu karena cinta dan
Dia yang mewajibkanmu karena peduli. Apakah kau masih tetap tak bisa melihatnya, hei
manusia! intelektual sejati itu apa? apa masih kau pertanyakan kembali? apa yang kau
ributkan masalah cinta ini?
Sekalipun cinta telah kuuraikan,
dan kujelaskan panjang lebar,
namun jika cinta kudatangi,
aku jadi malu pada keteranganku sendiri…
meskipun lidahku telah mampu menguraikan,
namun tanpa lidah, cinta ternyata lebih terang.
sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya.
kata-kata pecah berkeping-keping,
begitu sampai kepada cinta.
dalam menguraikan cinta,
akal terbaring tak berdaya,
bagaikan keledai terbaring dalam lumpur.
cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan.

(Rumi)

Paradigma Penulisan
Positive Interpretif Kritis Spiritual
Brutus
Keledai
Ego
Profetik
Cinta √
DAFTAR PUSTAKA

Abu Sa’d Abd al-Kareem al-Sama’ni (1166, 562 dari kalender Islam). Kitab Al-Ansab.
Al-Kitab.
Al-Quran.
Attir, M. O. Holzner, B. dan Suda, Z. (1981). Directions of Changes: Modernization
Theory, Research, and Realities. Westview Press, 1981.
Bashori, B. (2016). Tuhan; manusia dan pendidikan. Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam,
4(1), 01-25.
Bryant, C. G. A. (1985). Positivism in Social Theory and Research. Palgrave Macmillan,
London
Burrell, G., & Morgan, G. (1979). Sociological Paradigms and Organizational Analysis.
Routledge, London.
Coward, H. 2003. Hinduism, Contemporary Issues In Science And Religion,
encyclopedia of science and religion. pp. 401-404.
Darmawan, I. P. A. (2016). Peran Gereja Dalam Pendidikan Nasional. Jurnal Simpson:
Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, 1(2).
Dhanani, A. 2003. Islam, history of science and religion, encyclopedia of science and
religion. pp. 469-476.
Ghulsyani, Mahdi. (1986). Filsafat Sains Menurut Al-Quran. Bandung: Mizan.
Gordon, S. (1991). The History and Philosophy of Social Science. New York: Routledge,
1991, 148-154.
Guiderdoni, B. 2003. Islam, contemporary issues in science and religion, encyclopedia of
science and religion. pp. 465-469.
Hardiman, F. B. (2003). Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Karimi, A. F. (2012). Think Different; Jejak Pikir Reflektif Seputar Intelektualitas,
Humanitas, dan Religiusitas. MUH1 Press, Gresik.
Klostermaier, K. K. 2003. Hinduism, contemporary issues in science and religion,
encyclopedia of science and religion. pp. 405-410.
Lauer, R. H. (2003). Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Lyotard, J. F. (1979). The Postmodern Condition A Report on Knowledge. The
Postmodern Condition (1979) publ. Manchester University Press, 1984.
Madjid, N. (1998). Islam Kemodernan dan keIndonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan.
Montagna, Paul. 1997. Modernism Vs Postmodernism in Management Accounting,
Critical Perspectives on Accounting, Vol. 8, h. 125 – 145.
Nakasone, R. Y. 2003. Buddhism, contemporary issues in science and religion,
encyclopedia of science and religion. pp. 75-81.
Rumi, J. 2019. Fihi Ma Fihi: 71 Ceramah Rumi untuk Pendidikan Ruhani. Penerbit
Zaman. Jakarta.
Rumi, J. 2019. Matsnawi: Bait-Bait Illahi untuk Pendidikan Ruhani. Penerbit Zaman.
Jakarta.
Rumi, J. Metoui, L. dan Carriere, J. C. (2004). Love : The Joy That Wounds, Love Poems
of Rumi. Souvernir Press, London.
Staniloae, D. (1980). Theology and the Church. Crestwood, NY: St.
Suardikha, I. M. S. (2012). Bagaimana “aku” membangun ilmu pengetahuan (=
akuntansi)?. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis.
Sukamto (1999). Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren. Jakarta: LP3IS.
Zizioulas, J. D. (1997). Being as Communion: Studies in Personhood and the Church,
Crestwood, NY,2.

Anda mungkin juga menyukai