Anda di halaman 1dari 3

Agenda R20: Sebuah Ruang Percakapan Lintas Agama, Budaya, dan Bangsa

Minggu pagi (6/11), para anggota Religion Twenty (R20) melaksanakan sarapan
bersama di Hotel Hyatt Regency, Yogyakarta. Setelah menggelar rangkaian acara
pembukaan dan berbagai konferensi di Bali, Forum Agama G20 atau yang disebut
R20 beranjak ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Sesuai
rundown acara, pagi itu rombongan R20 akan berangkat ke Candi Mendut dilanjutkan
ke Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Saya termasuk dari rombongan R20 itu. Ketika sarapan, saya melihat berbagai tokoh
agama menikmati hidangan dengan wajah sumringah. Sebelum menyantap hidangan,
seorang pendeta di ujung ruangan melakukan ritual berdoa khas agamanya. Ada pula
seorang Rabi Yahudi asal Jerussalem yang duduk termenung melakukan ritual puji
syukur sebelum makan. Di tengah observasi lepas itu, saya baru sadar bahwa justru
saya yang malah lupa berdoa. Hehe.
Sesampai di Candi Mendut, para anggota R20 diperkenalkan dengan situs-situs
Nusantara kuno tentang Buddha. Di sela-sela acara, saya mendekat ke salah seorang
Biksu. Saya tertarik karena nampaknya dia bukan orang Indonesia.
“Hello sir, where are you from?” Saya bertanya.
“Hello, I come from Sri Lanka.” Dia menjawab antusias.
Bule Asia Tengah itu memperkenalkan diri dengan nama Rahula. Sosok yang
menggunakan pakaian khas biksu tersebut merupakan seorang professor di
Universitas Peradeniya membidangi kajian Pali dan Buddha.
“What is your expectation about this R20 event, sir?” Saya kembali bertanya.
“Yeah, this is very important agenda. I hope that we can build more schools that
concern about interreligious relation.” Ujar Pak Rahula.
Dari obrolan dengan Rahula, saya menangkap pesan bahwa ia berkeinginan untuk
membangun lebih banyak sekolah formal berbasis kesadaran akan pentingnya
kehidupan lintas agama yang harmonis. Saya sempat bertanya, bagaimana kesan pak
Rahula mengenai kehidupan plural di Indonesia. Saya agak terkejut mendengar
jawabannya,
“Yeah, it is better.”
Dalam teori komparasi, “better” berarti mengandaikan keadaan yang lebih baik dari
sebelumnya yang kurang baik. Saya tidak tahu pra-pemahaman apa yang dimiliki oleh
pak Rahula tentang Indonesia hingga ia bisa mengatakan “better”. Sependek
penafsiran wacana saya, Rahula seolah akrab dengan kultur keragaman di Indonesia
termasuk dengan berbagai konflik identitas yang terjadi di dalamnya. Barangkali ia
melihat bahwa pasca pandemi ini, situasi pluralitas di Indonesia cukup “better”.
Rahula sempat memberi kartu nama ke saya, namun celakanya, kami tidak sempat
berpoto. Kami kemudian menuju mobil Hi Ace untuk melanjutkan kunjungan ke
candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur.
Sayangnya, pihak pengelola Borobudur memberlakukan peraturan cukup ketat terkait
batas maksimal pengunjung yang bisa menaiki candi. Akhirnya, yang diprioritaskan
untuk naik hanyalah mereka yang belum pernah mengunjungi candi. Di sela-sela
menunggu itu, saya berbincang dengan Professor Ilmu Politik dan Kajian Timur
Tengah Universitas San Diego Amerika, pak Ahmet T. Kuru, yang juga menjadi
bagian dari rombongan R20.
Di luar perbincangan personal, saya mengajukan sebuah pertanyaan yang hampir
serupa dengan yang saya tanyakan ke pak Rahula,
“Prof, what do you think about this R20 output?”
“I think this is very important conversation and we should make it continue.” Ia
menjawab.
Tentu “conversation” yang dimaksud bukan percakapan kami berdua, melainkan
percakapan antar budaya, antar agama, antar bangsa yang ditampilkan dalam agenda
R20. Saya memang melihat ragam suku bangsa di acara ini, ada orang Afrika, Timur
Tengah, Asia Tengah, bahkan Latin. Termasuk ragam agama seperti Yahudi, Kristen,
Katolik, Buddha, Sikh, dan Islam.
Setelah obrolan hangat itu, kami berdua berswafoto. Saya tidak ingin kehilangan
memori. Kami lalu berpisah, ia kembali ke rombongannya, saya mencari pohon untuk
berteduh.
Ada beberapa hal yang saya rasakan dalam event kunjungan hari ini. Pertama, R20
mampu menjadi ruang perjumpaan yang nyaman bagi seluruh perbedaan di seluruh
dunia. Saya melihat bagaimana masing-masing agama secara merdeka menampakkan
simbol-simbol agamanya. Bagaimana orang Yahudi Jerussalem itu dengan percaya
diri terus menggunakan kipah-nya, sebuah peci khas Yahudi, di kepalanya.
Bagaimana orang Sikh itu bangga mengenakan pakaian tradisional Sikh mereka dan
bergaul dengan anggota lainnya.
R20 juga menjadi melting pot untuk berbagai latar belakang manusia, ada akademisi,
tokoh agama, para professor, pengamat sosial, pakar media, hingga yang tidak punya
latar belakang seperti saya. Hal ini penting untuk membuat R20 bukan sebagai ruang
diskusi agama semata, namun juga ruang bertukar perspektif dan wadah untuk
memperluas jaringan.
Namun, sejauh ini, saya hanya menemukan penganut agama-agama besar dunia saja.
Para pemeluk agama lokal seperti absen dari ruang pertemuan akbar ini. Saya ingin
melihat, minimal, ada satu orang yang menggunakan simbol agama yang sangat asing
dan belum pernah saya lihat sebelumnya. Namun saya tidak menemukannya. Saya
khawatir, R20 justru hanya akan menegaskan agama besar saja dan memarginalkan
yang lainnya.
Namun, itu hanya sebuah kekhawatiran. Saya yakin R20 sangat inklusif dan
merangkul semua agama. Wal akhir, penting menggarisbawahi pesan pak Rahula dan
Prof. Kuru, kesadaran akan keberagaman harus senantiasa dibangun dan instrumen
untuk meningkatkan kesadaran itu harus diadakan secara konsisten.

Anda mungkin juga menyukai