Anda di halaman 1dari 3

Apakah Kita Sudah Mencintai Dengan Baik?

Oleh : Haris Fatwa Dinal Maula

Manusia modern sering terjebak dalam terminologi cinta. “Aku jatuh cinta padamu” apa
artinya itu? Apakah ia hanya perasaan sesaat atau ia hanya terkagum dengan kecantikan suatu
objek kemudian tidak fokus, tersandung, kemudian terjatuh dalam sesuatu yang ia sebut
cinta. Apakah memang seperti itu kita mencintai sesama makhluk? Bagaimana jika sesuatu
itu tidak indah, apakah masih bisa dicintai? Bagaimana dengan relasi cinta kita kepada yang
kuasa? Apakah berlaku serupa?

Pertanyaan di atas tentu hanya retorik. Namun, apakah kita pernah berpikir sedikit lebih
dalam mengenai hal ini? Mungkin sebagian kita berpikir, wong cinta itu fitrah dan niscaya
ada dalam diri setiap manusia, lalu kenapa harus dipelajari lagi, bukankah cinta bergerak
secara reflek?

Pertanyaan tersebut tidak salah, namun yang perlu dicatat dan menjadi evaluasi umat manusia
pada hari ini adalah mereka lebih fokus mencari apa yang dia suka, apa yang dia cintai.
Mindset seperti ini menurut Erich Fromm merupakan sebuah kesalahan, bukan begitu cara
kerjanya. Untuk mampu mencintai dengan benar, maka orang harus fokus terhadap
bagaimana cara ia mencintai bukan pada objek yang akan ia cintai. Erich Fromm adalah
seorang psikolog terkemuka asal jerman abad-20, yang kebetulan teorinya saya pinjam untuk
mengulas relasi paling agung antar manusia ini, cinta.

Jika syarat utama orang-orang untuk mencintai adalah harus ada objek yang dicintai, maka itu
adalah kesalahan menurut Fromm. Pertama-tama, mereka harus mengetahui cara mencintai
yang baik dan benar. Pecinta sama halnya dengan pelukis. Jika kita ingin menjadi pelukis
yang baik, kita jangan sibuk mencari objek yang bagus untuk dilukis, tapi hendaklah kita
belajar cara melukis yang baik terlebih dahulu. Nanti jika sudah terlatih dan menguasai teknik
melukis yang baik, jangankan objek bagus, objek yang jelek sekalipun akan menjadi bagus
dalam lukisan kita kita. sama halnya dengan pecinta yang baik, objek apapun akan bisa kita
cintai, jangankan yang indah, yang tidak indah sekalipun bisa kita cintai.

Misalnya, kemiskinan secara estetik merupakan suatu hal yang tidak indah, tapi karena kita
pecinta yang baik, kita bisa mencintai orang miskin, kita bisa mencintai anak yatim, kita bisa
mencintai orang-orang malang. Karakter seperti ini hanya bisa dimiliki oleh orang dengan
jiwa pecinta yang baik. Kalau belum, maka ia hanya bisa mencintai yang indah-indah, yang
bagus-bagus, ia hanya mencintai yang cantik, yang tampan. Itu adalah salah satu
kesalahpahaman manusia dalam mencintai.

Berkaitan dengan kesalahpahaman, menurut Erich Fromm, ada empat tipologi manusia
modern yang salah paham dalam mencintai. Pertama adalah kriteria reseptif, yaitu pasif dan
inginnya hanya dicintai. Orang dengan kriteria ini hanya berfokus pada satu objek yang layak
untuk dia cintai, tanpa mempedulikan yang lain, agar ia bisa dicintai balik. Ia hanya
mencintai sesuatu yang bisa mencintainya balik. Ia cenderung egois.
Kriteria kedua sedikit lebih parah, yaitu tipe eksploitatif. Tipe ini hanya memanfaatkan orang
yang dicintainya. Ia mengeksploitasi objek yang dicintai untuk kepentingan dirinya sendiri.
Tanpa peduli kondisi yang dicintainya seperti apa, yang penting kebutuhannya terpenuhi.
Dalam kasus hubungan antar manusia, tipe seperti selalu berakhir dengan kemalangan salah
satu pihak, karena jika kebutuhan satu pihak lain tidak terpenuhi, ia akan cenderung memaksa
dan bahkan bertindak kekerasan.

Tipe ketiga yaitu penimbun. Orang dengan tipe ini memiliki ambisi kepemilikan terhadap
objek yang dicintainya. Ia sering menambah imbuhan “ku” terhadap sesuatu yang ia cintai.
Akibatnya, ia menjadi pecinta yang penakut, ia takut cinta atau objek yang sudah dia klaim
miliknya itu hilang. Maka, ia akan mempertahankan mati-matian, objek yang ia cintai.
Termasuk orang yang takut kehilangan harta, jabatan atau hal material lainnya. Orang seperti
ini dinilai salah paham dan tidak mengerti cara mencintai yang baik.

Tipe keempat, yang paling banyak ditemukan, adalah tipe pasar. Cinta diperlakukan layaknya
perdagangan. Orientasinya adalah untung rugi, sama seperti rumus pasar. Kita keluar berapa
dan dapat berapa. Misalnya, orang yang berpendidikan tinggi menolak untuk dijodohkan
dengan lulusan madrasah aliyah. Ia berpikir bahwa biaya pendidikan yang dihabiskan tidak
sebanding dengan jodoh yang ia dapatkan, misalnya. Ia akan lebih memilih yang lebih bagus
dan lebih baik, karena pada prinsipnya ia seperti berdagang, mencari yang menguntungkan
atau minimal tidak merugi.

Jika mengacu pada hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, tipe terakhir ini
sepertinya yang paling banyak ditemui di masyarakat. Manusia modern seringkali
mengkalkulasi pahala yang ia dapatkan dengan perbuatan-perbuatan ibadah yang mereka
lakukan. Mereka mungkin rajin dalam beribadah, namun mereka kalkulasi hasil-hasil ibadah
itu. Dampaknya, ketika misalnya mereka ditimpa musibah, mereka sering menyalahkan
Tuhan, seolah-olah ibadah dan pahala yang banyak itu sudah mampu membuat mereka bebas
dari kehendak Tuhan.

Kunci agar kita bisa menjadi pecinta yang baik, yaitu memperbaiki watak kita. Sebuah
pepatah Zen Buddhisme mengatakan “hati-hatilah dengan kata-katamu karena kata-kata akan
menjelma menjadi perilaku. Hati-hatilah dengan perilakumu, karena perilaku akan menjadi
kebiasaan. Hati-hatilah dengan kebiasaan, karena kebiasaan-kebiasaan akan menjadi watak”.

Dalam konsep Islam, ini menjadi salah satu misi besar Nabi Muhammad, yaitu memperbaiki
watak manusia yang kala itu bodoh dan jahiliyah menjadi watak yang mulia dan penuh cinta
kasih. Maka, urutan-urutan itu bisa kita perhatikan. Kata-kata atau lisan menjadi pondasi
utama dalam membangun watak yang baik, karena banyak kasus terjadi yaitu jatuhnya
martabat manusia karena lisannya sendiri. Jika kita mulai menggunakan lisan kita dengan
baik, berucap yang baik, tidak menyakiti sesama, perilaku-perilaku kita pun akan mengikuti
bagaimana lisan kita bekerja. Gampangnya, bukankah tidak ada satupun maling yang
membaca basmalah dulu sebelum membobol rumah?
Kita bisa berkaca diri setiap waktu, apakah kita merupakan salah satu dari empat tipe pecinta
yang salah di atas. Jika kita melakukannya pada sesama makhluk, maka perbaikilah, jika kita
melakukannya terhadap Allah Swt., maka bertobatlah.

Wallahu a’lam bissawab ..

Anda mungkin juga menyukai