Anda di halaman 1dari 2

Relasi Islam-Kristen: Sebuah Perjumpaan dan Pertukaran di Era Abbasiyah

Pada abad ke kesembilan masehi, perkembangan peradaban Islam menciptakan dua tokoh
intelektual besar bernama Imam Syafi’i (820 M) dalam bidang hukum Islam dan al-Kindi
(870 M) dalam bidang filsafat Islam. Kedua kajian ini sangat penting karena menandai satu
tahapan penting dalam sejarah peradaban Islam. Salah satu faktor penunjang dalam proses
produksi khazanah keilmuwan ini adalah jejaring hubungan yang terjalin antara komunitas
Kristen dan komunitas Islam yang berkembang di masa itu di kawasan yang sekarang kita
kenal dengan Timur Tengah.
Pola hubungan ini terbentuk, utamanya berkat keadaan yang telah terjadi sebelumnya, yaitu
pada saat Islam belum lahir di jazirah Arab. Keadaan ini bermula ketika Raja Bizantium,
Yustinus (527-565 M) membubarkan sekolah filsafat di Athena pada 529 M. Akibatnya
sebagian murid dan pengajar di sekolah itu pindah ke Gundeshapur, Irak, salah satu wilayah
kerajaan Persia.
Persinggungan dengan Islam bermula ketika pada akhirnya Islam menaklukan kawasan itu
pada 637 M atau di abad 16 H. Sekolah filsafat lain yang juga dianggap penting pada abad
keenam adalah sekolah Iskandaria yang pada akhirnya juga takluk di tangan Islam di satu
dasawarsa yang sama. Pada waktu itu, Bizantium memasuki era kebekuan intelektual
terutama ketika gereja memiliki otoritas yang tak tergoyahkan sehingga memarginalisasi ilmu
pengetahuan. Oleh karenanya, Umat Islam kemudian yang mengambil alih dan
membangkitkan warisan intelektual Yunani itu.
Tahapan penting lain yang menandai perkembangan peradaban intelektual Islam adalah pasca
revolusi Abbasiyah pada 750 M. Pada masa itu, umat Islam mulai memperhatikan dan
mengembangkan berbagai kajian intelektual. Salah satu seorang yang berperan besar dalam
proses tersebut adalah Khalifah al-Ma’mun yang memerintah Abbasiyah dari 813 M/ 198 H
hingga 833 M/ 218 H. Sang khalifah yang menyukai isu-isu agama dan intelektual itu
membangun kembaga yang disebut baitul hikmah di Banghdad yang bertujuan untuk
menerjemahkan karya-karya Yunani dan karya-karya lain ke bahasa Arab dan
menyebarkannya di dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, sejumlah duta dikirim ke Bizantium untuk mencari dan
membeli karya-karya ilmiah maupun filsafat. Selama dua abad, karya-karya tersebut mulai
masif beredar di dunia Islam. Proyek penerjemahan itu banyak melibatkan orang Kristen.
Penerjemah Kristen yang terkemuka adalah Hunain bin Ishaq (809-873 M), seorang Kristen
Nestorian dari Hira yang pernah belajar di Gundeshapur yang telah banyak menerjemahkan
banyak karya ke bahasa Arab.
Masa al-Ma’mun juga menampilkan contoh awal dialog Islam-Kristen. Para utusan dari
setiap kelompok agama diizinkan untuk mengemukakan ajaran dan praktik agama mereka
dalam bingkai diskusi intelektual dan keterbukaan yang tinggi. Dialog ini dibarengi oleh
jaminan kebebasan dari pemerintah dari ancaman terhadap individu maupun kelompok-
kelompok keagamaan.
Memang benar bahwa kekuasaan politik sepenuhnya berada di tangan khalifah, dan dalam
batas-batas tertentu para wakil agama-agama non-Islam memiliki kedudukan dan power yang
lemah. Namun, mereka sama sekali tidak merasa tertekan sehingga diskusi-diskusi itu bisa
menjadi model awal tentang sikap saling mendidik dan saling memberi manfaat.
Salah satu contoh diskusi yang berlangsung adalah dialog antara Abu Qurra, seorang Uskup
Gereja Ortodoks Yunani di Suriah Utara, dengan Khalifah al-Ma’mun sendiri yang terjadi
pada 829 M/ 214 H. Diskusi tersebut membahas tentang sejumlah tema, seperti kewajiban
berkhitan, dan tentang kehendak bebas manusia. Ada juga tema yang dibahas secara
mendetail, yaitu misalnya tentang kedudukan Yesus, terutama mengenai apakah Yesus
sejajar dengan Tuhan atau tidak. Diskusi tersebut berjalan menarik karena nampaknya para
peserta diskusi menguasai tema tersebut. Hal itu ditunjukkan ketika Abu Qurra dapat
mengutip ayat dari Al-Qur’an dan seorang peserta Muslim, Sa’sa’ah bin Khalid dari Basrah
yang yang mengutip postulat Perjanjian Baru.
Yang perlu dicatat, pertukaran itu terjadi bukan hanya dari Kristen ke Islam saja, namun juga
keduanya. Kedua komunitas agama besar tersebut saling memberikan warna dan pengaruh
masing-masing kepada pihak yang lain, meskipun memang pengaruh Islam terhadap tradisi
Kristen kurang dikenal dengan baik. Contoh kecilnya mungkin penerjemahan Injil dan buku-
buku teologi Kristen ke bahasa Arab. Abu Qurra termasuk salah satu tokoh yang
menampilkan perubahan budaya dan bahasa dalam konteks ke-Kristenan karena sudah
menulis sekitar dua puluh karya dalam bahasa Arab yang bertahan hingga kini dan telah
diterbitkan.
Dalam konteks relasi Islam-Kristen ini, keterbukaan menjadi kata kunci penting majunya
sebuah peradaban. Terutama Islam, kejumudan dan ketertutupan bisa dikatakan menjadi
faktor kunci kemunduran peradaban Islam itu sendiri. Islam harus ramah dan terbuka
terhadap temuan-temuan peradaban lain, terutama terkait sains dan teknologi, agar tidak
melulu menjadi komentator dan kritikus modernitas yang justru kontra produktif.

Anda mungkin juga menyukai