Anda di halaman 1dari 177

PERANAN PESANTREN

DALAM MENGEMBANGKAN
BUDAYA DAMAI

Editor:
Nuhrison M. Nuh

Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta, 2010
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai/Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Ed. I. Cet. 1. -------
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010
xvi + 159 hlm; 21 x 29 cm

ISBN 978-979-797-281-3

Hak Cipta 2010, pada Penerbit

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy,
tanpa izin sah dari penerbit

Cetakan Pertama, September 2010

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama


PERANAN PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN
BUDAYA DAMAI

Editor:
Nuhrison M. Nuh
Desain cover dan Lay out oleh:
Suka, SE

Puslitbang Kehidupan Keagamaan


Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Bayt al-Qur’an Museum Istiqlal Komplek Taman Mini
Indonesia Indah, Jakarta Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540

Diterbitkan oleh:
Maloho Jaya Abadi Press, Jakarta
Anggota IKAPI No. 387/DKI/09
Jl. Jatiwaringin Raya No. 55 Jakarta 13620
Telp. (021) 862 1522, 8661 0137, 9821 5932 Fax. (021) 862 1522
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI

P
ada saat ini, berbagai kalangan menyorot secara tajam
fenomena munculnya Islam radikal di Indonesia.
Sorotan secara tajam dari berbagai pihak tersebut
perlu digarisbawahi dan direnungkan sebab tumbuhnya
gerakan Islam radikal mempunyai dampak terhadap
kerukunan umat beragama.
Oleh sebab itu kami menyambut baik diterbitkannya
buku: ”PERANAN PESANTREN DALAM MENGEMBANG-
KAN BUDAYA DAMAI” ini, karena beberapa alasan: Pertama,
penerbitan buku ini merupakan salah satu media untuk
mensosialisasikan hasil-hasil pengembangan yang dilakukan
oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, dalam
hal ini Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Kedua, dapat
memberikan informasi tentang berbagai pandangan
keagamaan yang bersifat moderat dan toleran.
Selama ini masih terdapat perbedaan dalam masyarakat
tentang makna jihad. Ada yang menafsirkan jihad sebagai
upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan kemaslahatan
dalam masyarakat. Untuk itu bidang jihad meliputi berbagai
aspek kehidupan, seperti mendirikan pesantren, membina
rumah tangga, menegakkan amr ma’ruf dan nahi munkar dll.
Sebagian yang lain menafsirkan jihad dengan makna tunggal
yaitu qital dalam hal ini memerangi orang-orang kafir yang
memusuhi Islam. Untuk itu semua orang-orang kafir yang
memusuhi Islam dimana saja ia berada harus dilawan, maka
muncullah aktifitas aksi bom bunuh diri dibeberapa tempat
termasuk di Indonesia. Aksi bom bunuh diri tersebut
dianggap oleh mereka sebagai istisyhad (mencari mati
syahid). Sudah barang tentu pendapat yang demikian perlu

i
diluruskan karena tidak sesuai dengan makna jihad menurut
jumhur ulama.
Melalui beberapa makalah yang dimuat dalam buku ini
diharapkan dapat memberikan pencerahan kepada
masyarakat tentang makna jihad yang sebenarnya, dan
bagaimana sebaiknya umat Islam menyikapi setiap perbedaan
yang timbul dalam masyarakat.
Semoga buku ini dapat memberikan kontribusi dalam
membangun pemahaman masyarakat yang moderat, tawasuth,
tawazun dan toleran. Dengan pemahaman seperti itu
diharapkan dapat terwujud masyarakat yang rukun dan
penuh persaudaraan.

Jakarta, September 2010


Kepala Badan Litbang dan Diklat

Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA.


NIP: 19570414 198203 1 003

ii
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN

M
enurut Azyumardi Azra kata radikal, mengacu
kepada keadaan, orang, atau gerakan tertentu yang
menginginkan perubahan sosial dan politik secara
cepat dan menyeluruh, dan tidak jarang dilakukan dengan
menggunakan cara-cara tanpa kompromi dan bahkan
kekerasan, bukan dengan cara-cara damai (Azra: Konflik
Antar Peradaban, Raja Grafindo Persadha). Dengan demikian
radikalisme keagamaan berhubungan dengan cara
memperjuangkan keyakinan keagamaan yang dianut oleh
suatu kelompok dengan cara tanpa kompromi dan bila perlu
dilakukan dengan cara anarkisme dan kekerasan.
Diantara faktor-faktor yang memunculkan radikalisme
dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru
atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak
adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan
menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk
membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau
irihati atas keberhasilan orang lain.
Sedangkan bila radikalisme keagamaan dikaitkan
dengan pondok pesantren, paling tidak ada dua ciri utama
pesantren radikal. Pertama, pesantren-pesantren tersebut
umumnya “impor” dari luar negeri (negara yang menjadi basis
Islam radikal–red.). Dan kedua, corak pemikirannya tekstual-
skripturalistik, tidak memahami konteks di mana sebuah teks
keagamaan (al-Qur’an dan Hadits) itu turun. Radikalisme
pesantren ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Timur
Tengah seperti Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna dan lain
sebagainya. Gerakan al-Ikhwanul al-Muslimun, sebuah
organisasi ekstrim yang didirikan oleh Al-Banna di Ismailiyah

iii
adalah gerakan yang diilhami oleh pemikir-pemikir gerakan
fundamentalisme Islam itu.
Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam
dan penyangga utama syiar Islam di Nusantara, kini tengah
dihadapkan pada ujian berat. Pesantren dituduh telah
mendidik para santrinya untuk melakukan aksi radikal. Tentu
saja, tuduhan buruk itu membuat masyarakat muslim resah.
Pada hal sebenarnya pondok pesantren pada umumnya
menganut paham moderat (ahl-Assunnah wa- Aljama’ah),
hanya sebagian kecil pondok pesantren yang menganut
paham radikal. Oleh sebab itu sebenarnya pondok pesantren
mempunyai posisi yang strategis untuk menanggulangi
paham radikal dalam masyarakat.
Namun dirasakan bahwa dalam menanggulangi paham
radikal tersebut masing-masing pondok pesantren masih
berjalan sendiri-sendiri. Untuk itu diperlukan kerjasama
dengan membangun jaringan antar pondok pesantren dalam
menangulangi paham radikal yang berkembang dalam
masyarakat.
Dalam rangka itulah Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama melalui Puslitbang Kehidupan
Keagamaan menganggap perlu menyelenggarakan lokakarya
tentang ”Peranan Pesantren Dalam Mengembangkan Budaya
Damai”, di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam Lokakarya tersebut telah disampaikan beberapa
makalah baik dari pusat maupun daerah setempat. Makalah-
makalah tersebut paling tidak telah memberikan pencerahan
terhadap para pimpinan pondok pesantren dan pemuka
agama setempat akan makna radikalisme keagamaan dan
bagaimana cara-cara untuk menanggulanginya. Karena
dirasakan pentingnya isi yang terkandung dalam berbagai
makalah tersebut bagi masyarakat luas, maka kami

iv
menganggap penting untuk mendiseminasikannya melalui
sebuah buku.
Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama yang telah memberikan saran-sarannya
dalam merancang kegiatan ini, dan dalam beberapa
kesempatan sempat hadir dalam lokakarya tersebut. Selain itu
kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para
pelaksana lokakarya di daerah yang telah dapat menunaikan
tugasnya dengan sebaik-baiknya, semoga Allah membalas
amal baik saudara dengan balasan yang berlipat ganda. Yang
tak kalah pentingnya kami juga tak lupa mengucapkan terima
kasih kepada saudara Nuhrison M. Nuh dan timnya yang
telah bekerja keras menyukseskan kegiatan ini sejak dari
merancang program sampai selesainya penulisan buku ini.
Mudah-mudahan hal ini merupakan pembelajaran yang
berharga bagi tim, dalam melaksanakan kegiatan serupa pada
masa-masa yang akan datang.
Demi sempurnanya buku ini, kami dengan senang hati
akan menerima masukan dan kritik dari sidang pembaca
sekalian. Semoga Allah selalu memberikan taufiq dan
hidayah-Nya kepada kita sekalian. Amien.

Jakarta, September 2010


Kepala Puslitbang
Kehidupan Keagamaan

Prof.H.Abd Rahman Masud. Ph.D


NIP: 19600416 198903 1 005

v
vi
PENGANTAR EDITOR

S
ejak era reformasi kita menyaksikan banyak muncul
kelompok-kelompok keagamaan yang dalam mem-
perjuangkan aspirasinya menggunakan kekerasan,
bahkan lebih parah lagi melakukan teror dibeberapa tempat
dengan meledakkan bom di tempat-tempat yang ada
hubungannya dengan Amerika yang dianggap musuh besar
umat Islam dunia. Kegiatan tersebut dimaknai dengan jihad
melawan musuh-musuh Islam, dan mereka yang mati dalam
aksi tersebut dianggap sebagai mati syahid. Tumbuhnya
berbagai gerakan radikal tersebut mempunyai dampak
terhadap kerukunan umat beragama.
Oleh sebab itulah Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun
anggaran 2009 menganggap penting melaksanakan Lokakarya
dengan tema: ” Peranan Pesantren dalam Mengembangkan
Budaya Damai”.
Lokakarya ini bertujuan untuk : (1) Membangun jaringan
kerjasama antar Pondok Pesantren dalam menanggulangi
radikalisme keagamaan; (2). Melakukan deradikalisasi paham
keagamaan dikalangan umat beragama dalam rangka
meningkatkan keberagamaan yang moderat; (3).
Memperkokoh kesatuan dan kecintaan terhadap nusa dan
bangsa; (4). Merumuskan pandangan pondok pesantren
tentang radikalisme keagamaan; (5). Mencari cara-cara terbaik
dalam menanggulangi paham radikal. Sesuai dengan tema
tersebut lokakarya ini menampilkan beberapa pemakalah
yang membahas topik-topik sebagai berikut:

vii
1. Pandangan Komunitas Pondok Pesantren tentang
“Radikalisme Keagamaan”.
2. Cara-cara Pondok Pesantren dalam Menanggulangi
Radikalisme Keagamaan.
3. Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren Dalam
Menanggulangi Radikalisme Keagamaan.
4. Sikap Moderat Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah
Teologi dan Politik, oleh Dr.H. Akhsin Sakho.
5. Meluruskan Makna Jihad menurut Islam, oleh KH. Ma’ruf
Amin/ Prof.Dr. KH Ali Musthafa Ya’qub.
6. Konsep Wasathiyah menurut Islam, oleh Dr.H. Muchlis
Hanafi/ Dr.Ali Nurdin.
7. Perkembangan Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
Prof.Dr.H.M.Atho’ Mudzhar.
8. Budaya Damai Dunia Pesantren, oleh Prof. H.
Abdurrahman Mas’ud, Ph.D.
Lokakarya ini diadakan di Provinsi Lampung (Bandar
Lampung), Provinsi Jawa Tengah (Semarang), Provinsi Jawa
Timur (Jombang), Provinsi Banten (Serang), Provinsi
Kalimantan Timur (Samarinda), Provinsi Nusa Tenggara
Barat (Mataram), Provinsi Gorontalo (Gorontalo) dan Provinsi
Sulawesi Tengah (Palu). Adapun rumusan hasil lokakarya di
delapan provinsi tersebut, sebagai berikut:
A. Pandangan Pimpinan Pesantren Tentang Radikalisme
Keagamaan.
1. Pandangan agama yang radikal tidak sesuai dengan kultur
pesantren, karena makna jihad yang diajarkan oleh

viii
pesantren mempunyai makna yang beragam, tidak
semata-mata berarti perang (qital).
2. Radikalisme keagamaan tidak sesuai dengan pola
pendidikan yang selama ini dikembangkan di pondok
pesantren yang bersifat terbuka dan moderat, dan juga
bertentangan dengan budaya Islam Indonesia yang
santun, tepo seliro dan kekeluargaan.
3. Radikalisme keagamaan merupakan reaksi umat
beragama terhadap penguasa yang dianggap tidak adil
terhadap umat Islam.
4. Radikalisme agama tumbuh dan berkembang akibat
kedangkalan dalam memahami agama.
5. Agama dipahami secara parsial, teks-teks agama
dipisahkan dari konteksnya, dan keringnya nilai-nilai
spiritualitas dalam beragama.
6. Terorisme merupakan tindakan kontraproduktif bagi
eksistensi Islam dan bertentangan dengan nilai-nilai dasar
Islam, sebagai agama cinta kasih dan damai.
7. Segala bentuk kekerasan atas nama agama bertentangan
dengan kepribadian muttaqin yang memiliki kepedulian
terhadap sesama yang mampu menahan amarah, terbebas
dari sikap dendam dan senantiasa berpikir dan bertindak
positif.
8. Terorisme bukan Jihad, karena jihad merupakan sarana
untuk perbaikan bukan untuk merusak.
9. Radikalisme dapat mengganggu tatanan kehidupan
keagamaan di Indonesia yang telah terjalin dengan penuh
toleransi.

ix
10. Jihad fi sabilillah dalam konteks kekinian akan
memberikan maslahat bila diaktualisasikan dengan
memerangi kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.
Jihad dalam bentuk kekerasan fisik merupakan tindakan
kontraproduktif dalam upaya penegakan ajaran Islam
yang cinta kedamaian.
B. Pola Penanganan Gerakan Radikal di Kalangan Pondok
Pesantren.
1. Untuk menghindari tumbuhnya paham radikal
dikalangan pondok pesantren perlu kiranya pimpinan
pondok pesantren memiliki wawasan keislaman yang
luas.
2. Syiar agama melalui jalur pesantren memilih jalur infiltrasi
nilai-nilai Islam kedalam budaya sehingga tercipta
kehidupan damai. Islam dalam posisi ini tidak tercerabut
dari akar budaya ke-Indonesiaan.
3. Pimpinan Pondok Pesantren memberikan teladan berupa
prilaku yang mencermimkan pelaksanaan ajaran Islam
yang cinta damai.
4. Memberikan pemahaman kepada santri tentang nilai-nilai
perdamaian, persaudaraan, penyelamatan, dan cinta kasih,
selain itu perlu pula ditingkatkan akan kesadaran hukum,
penegakan keadilan, tolerans terhadap perbedaan dan
moderasi dalam memandang berbagai permasalahan.
5. Mendeteksi secara dini para santri yang memiliki sikap
temperamental, berkarakter keras, dan membimbing
mereka agar tidak teracuni virus-virus radikalisme.
6. Meningkatkan kemandirian santri dengan memberikan
ketrampilan kewirausahaan, karena keterhimpitan

x
ekonomi menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh
kelompok radikal.
7. Perlu dikembangkan pengajaran agama yang humanis
bagi kaum muda non pesantren dan masyarakat luas.
8. Mengupayakan adanya dialog antara pesantren yang
dinilai radikal dan pesantren yang bercorak tradisonal.
Dialog dilakukan tanpa pretensi untuk menghakimi, tetapi
dengan menggunakan pendekatan empati.
C. Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren Dalam
Menanggulangi Gerakan Radikal.
1. Dalam rangka mengembangkan budaya damai, perlu
ditingkatkan jaringan kerjasama antar pondok pesantren.
Jaringan kerjasama dapat dilakukan dengan memperkuat
wadah yang sudah ada misalnya Rabitah Ma’ahid
Islamiyah (RMI) atau Badan Kerjasama Pondok Pesantren
(BKPP), maupun membentuk wadah baru yang
memungkinkan terjalinnya kerjasama antar-lembaga
asosiasi pondok pesantren, antarpengasuh pondok
pesantren, antarsantri dan alumni dan antarprogram/
kegiatan pondok pesantren.
2. Untuk penguatan jaringan dan kerjasama Pondok
Pesantren, perlu dilakukan revitalisasi terhadap lembaga
yang sudah ada.
3. Perlu kordinasi antara pondok pesantren dan pemerintah
setempat dalam penyelenggaraan program deradikalisasi.
4. Perlu mengadakan kerjasama antarlembaga: dengan MUI
tentang pelurusan makna jihad; dengan FSPP melalui
halaqah dan penyuluhan; DKM berupa penyuluhan dalam

xi
taklim dan khutbah; dengan FKUB dalam mengadakan
dialog lintas agama bersama ormas Islam.
5. Meluruskan kurikulum yang ada di pondok pesantren
tentang makna jihad dan terorisme.
6. Merangkul organisasi yang dianggap ekstrim dengan
melakukan dialog secara terbuka dengan pendekatan
kekeluargaan.
Mudah-mudahan buku ini ada manfaatnya bagi
masyarakat umumnya, khususnya pimpinan pondok
pesantren dalam menciptakan dunia yang penuh dengan
kedamaian dan persaudaraan. Amin

Jakarta, Juli 2010


Editor

Drs.H.Nuhrison M.Nuh. MA.APU


NIP: 19510606 197903 1 006

xii
DAFTAR ISI

Hal

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT


KEMENTERIAN AGAMA RI ................................................... i

KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG


KEHIDUPAN KEAGAMAAN ................................................. iii

PENGANTAR EDITOR ............................................................. vii

DAFTAR ISI ................................................................................ xiii

BAB I Pendahuluan ................................................................ 1

BAB II Paham Moderat Dalam Islam .................................... 11

1. Refleksi Pembaharuan dalam Pemikiran Ahlus


Sunnah wal Jamaah
Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar ................................ 11
2. Memahami Agama Damai Dunia Pesantren
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud,Ph.D. ....................... 23
3. Meluruskan Makna Jihad Dalam Islam
Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub ......................... 35
4. Sikap Moderat Ahlussunnah wal Jama’ah
dalam Masalah Teologi dan Politik
Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA ................... 49
5. Konsep Wasathiyah Dalam Islam
Dr. H. Mukhlis Hanafi, MA ..................................... 71

xiii
BAB III Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam
Mengembangkan Budaya Damai ............................. 93
1. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam
Mengembangkan Budaya Damai di Provinsi
Lampung
Dr. Arsyad Sobby Kesuma ........................................ 93
2. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam
Mengembangkan Budaya Damai di Jawa
Tengah
Mu’ammar Ramadhan .............................................. 103
3. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam
Mengembangkan Budaya Damai di Nusa
Tenggara Barat
Nasihuddin Badri ...................................................... 113
4. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam
Mengembangkan Budaya Damai di Jawa Timur
Purwanto .................................................................. 117
5. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam
Mengembangkan Budaya Damai di Provinsi
Gorontalo
Syawaluddin, S.Ag. .................................................. 131
6. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam
Mengembangkan Budaya Damai di Sulawesi
Tengah
Asbar Tantu .............................................................. 135
7. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam
Mengembangkan Budaya Damai di Provinsi
Kalimantan Timur
Abdul Madjid ............................................................ 139

xiv
8. Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam
Mengembangkan Budaya Damai di Provinsi
Banten
H. Hasan Basri .......................................................... 147

BAB IV PENUTUP .................................................................... 157

xv
xvi
BAB I
PENDAHULUAN

P
ada saat ini, berbagai kalangan menyorot secara tajam
fenomena munculnya Islam radikal di Indonesia.
Reaksi tersebut perlu digarisbawahi dan
direnungkan. Sebab tumbuhnya gerakan Islam radikal
mempunyai dampak terhadap kerukunan umat beragama.
Radikalisme agama bukanlah merupakan fenomena
yang berkembang hanya pada komunitas tertentu.
Keberadaan radikalisme sudah berkembang dalam bentuk
yang bercorak trans-nasional karena bisa dijumpai pada
hampir di berbagai wilayah negara di muka bumi ini.
Keberadaan radikalisme juga bercorak trans-relegion karena
dialami oleh semua agama. Fenomena ini telah berlangsung
lama dan tersebar pada semua agama yang ada di muka bumi
ini, sehingga kajian tentang fenomena radikalisme keagamaan
menjadi sesuatu yang menarik. 1
Dalam tataran empirik kelompok-kelompok yang oleh
sebagian masyarakat maupun pemerintah diketegorikan
radikal menunjukkan adanya peningkatan, baik secara
kuantitas maupun kualitasnya. Kelompok-kelompok tersebut
dalam aktifitasnya senantiasa menggunakan simbol-simbol
agama dengan dalih pemurnian atau purifikasi ajaran agama.
Hal itu tidak hanya sebatas adanya perbedaan keyakinan,
tetapi sudah menyentuh aspek-aspek kebudayaan yang oleh
kelompok-kelompok tersebut dipandang sudah mengarah
pada pelecehan agama, seperti kasus pornoaksi dan
pornografi.

1 Lemlit Univ Muhammadiyah Malang, TOR Seminar: Tumbuhnya Gerakan

Islam Radikal Dan Dampaknya Terhadap Kerukunan Umat Beragama, 2009.

1
Perbedaan dalam cara memperjuangkan paham
keagamaan yang dianut ternyata menimbulkan pro dan
kontra yang berkepanjangan, sehingga terjadi ketegangan
yang cukup memprihatinkan. Ironisnya hal itu terjadi pula
berupa perang pendapat dan statement di berbagai media
massa antara tokoh agama yang dianggap moderat dengan
kelompok-kelompok yang dicap sebagai ”radikal”. Akibat
dari perang pendapat tersebut, akhirnya memunculkan
konflik antara pendukung kedua belah pihak. 2
Terminologi tentang “radikalisme” memang beragam.
Menurut Azyumardi Azra kata radikal, mengacu kepada
keadaan, orang, atau gerakan tertentu yang menginginkan
perubahan sosial dan politik secara cepat dan menyeluruh,
dan tidak jarang dilakukan dengan menggunakan cara-cara
tanpa kompromi dan bahkan kekerasan, bukan dengan cara-
cara damai (Azra: Konflik Antar Peradaban, Raja Grafindo
Persada). Dengan demikian radikalisme keagamaan
berhubungan dengan cara memperjuangkan keyakinan
keagamaan yang dianutnya dengan tanpa kompromi dan bila
perlu dilakukan dengan cara anarkisme dan kekerasan.
Adapun faktor-faktor yang memunculkan radikalisme
dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru
atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak
adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan
menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk
membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau
irihati atas keberhasilan orang lain.
Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan
bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam)
akibat perkembangan sosio-politik yang membuat mereka

2 Balai Litbang Agama Semarang, Laporan Kegiatan Semiloka Pola Penyiaran

Agama untuk Menanggulangi Kecendrungan Pemikiran dan Gerakan Radikal Di Jawa


tengah, 2006.

2
termarginalisasikan, dan selanjutnya mengalami kekecewaan,
tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-
satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat
faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-
kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan
ketidakmampuan sebagian anggota masyarakat untuk
memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.
Sedangkan bila radikalisme keagamaan dikaitkan
dengan pondok pesantren, berdasarkan analisis Prof. H. Abd.
Rahman Mas’ud, Ph. D. , paling tidak ada dua ciri utama
pesantren radikal. Pertama, pesantren-pesantren tersebut
umumnya “impor” dari luar negeri (negara yang menjadi basis
Islam radikal–red). Dan kedua, corak pemikirannya tekstual-
skripturalistik, tidak memahami konteks di mana sebuah teks
keagamaan (al-Qur’an dan Hadits) itu turun. Radikalisme
pesantren ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Timur
Tengah seperti Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna dan lain
sebagainya. Gerakan al-Ikhwanul al-Muslimun, sebuah
organisasi ekstrim yang didirikan oleh Al-Banna di Mesir
adalah gerakan yang diilhami oleh pemikir-pemikir gerakan
fundamentalisme Islam itu.
Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam
dan penyangga utama syiar Islam di Nusantara, kini tengah
dihadapkan pada ujian berat. Pesantren dituduh telah
mendidik para santrinya untuk melakukan aksi radikal. Tentu
saja, tuduhan buruk itu membuat masyarakat muslim resah.
Isu radikal yang dikait-kaitkan dengan pesantren telah
membuat opini publik terhadap pesantren menjadi buruk.
Tuduhan tersebut disebabkan karena beberapa tersangka
pelaku tindakan radikal itu berasal dari komunitas santri,
maka keberadaan kurikulum kemudian menjadi bidikan.
Kurikulum yang berlaku di pesantren, dinilai sebagai faktor
utama penyebab munculnya watak radikalisme keagamaan.

3
Pada hal sebenarnya pondok pesantren pada umumnya
menganut paham moderat (ahl-assunnah wa-aljamaah), hanya
sebagian kecil pondok pesantren yang menganut paham
radikal. Jadi sebenarnya pondok pesantren memiliki posisi
yang strategis untuk menanggulangi paham radikal dalam
masyarakat. Karena pesantren sebagaimana diungkapkan oleh
Sekjen Departemen Agama Dr. Bahrul Hayat dalam siaran
pers-nya, Rabu (1/8/2007) menyatakan, pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat yang dikelola
secara swadaya dan telah memiliki sejarah yang cukup
panjang. Sistem pengajaran pesantren yang nonstop itu juga
telah terbukti mencerdaskan santri secara utuh. Semua sasaran
pendidikan, sebagaimana diungkapkan oleh Benjamin S
Bloom, yaitu kognitif (pikiran atau hafalan), afektif (feeling
atau emosi), dan psikomotorik (tindakan) telah digarap dalam
sistem pengajaran pesantren yang demikian baik. (Qodry A
Azizy: 2000).
Namun dirasakan bahwa dalam menanggulangi paham
radikal tersebut masing-masing pondok pesantren masih
berjalan sendiri-sendiri. Untuk itu diperlukan kerjasama
dengan membangun jaringan antar pondok pesantren dalam
menanggulangi paham radikal yang berkembang dalam
masyarakat.
Dengan tertanggulanginya radikalisme keagamaan,
maka citra bangsa yang telah terpuruk ini dapat diangkat
kembali sehingga lebih bermartabat di tengah-tengah
pergaulan antar bangsa-bangsa di kemudian hari. Dalam
rangka itulah Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan, menganggap
perlu menyelenggarakan lokakarya tentang ”Peranan Pesantren
Dalam Mengembangkan Budaya Damai”, di berbagai daerah di
Indonesia.

4
Tujuan Lokakarya
Lokakarya ini bertujuan untuk :
1. Membangun jaringan kerjasama Pondok Pesantren dalam
menanggulangi radikalisme keagamaan;
2. Melakukan deradikalisasi paham keagamaan dikalangan
umat beragama dalam rangka meningkatkan
keberagamaan yang moderat;
3. Memperkokoh kesatuan dan kecintaan terhadap nusa dan
bangsa;
4. Merumuskan pandangan pondok pesantren tentang
radikalisme keagamaan;
5. Mencari cara-cara terbaik dalam menanggulangi paham
radikal.
Target Yang Ingin Dicapai
1. Terbangunnya jaringan dan kerjasama antar Pondok
Pesantren dalam menanggulangi radikalisme keagamaan.
2. Tercapainya upaya deradikalisasi di kalangan umat
beragama dalam rangka meningkatkan keberagamaan
yang moderat.
3. Diperolehnya cara-cara dalam menanggulangi paham
radikal oleh pondok pesantren.
4. Tersusunnya buku: ”Peranan Pesantren Dalam
Mengembangkan Budaya Damai”.
Tema Lokakarya
Lokakarya ini mengambil tema: “Peranan Pesantren
Dalam Pengembangan Budaya Damai”. Sesuai dengan tema
tersebut diatas maka lokakarya ini menampilkan beberapa
pemakalah yang membahas topik-topik yang spesifik yang
terdiri dari pemakalah dari pusat dan daerah. Pemakalah inti

5
disampaikan oleh sebuah team dari Pusat, dan di sampaikan
di delapan provinsi dimana provinsi tersebut melaksanakan
lokakarya ini.
Adapun narasumber dari pusat sebagaimana
terdeskripsikan berikut ini:
1. Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar
(Kepala Balitbang dan Diklat Dep. Agama) dengan judul:
“Refleksi Pembaharuan Dalam Pemikiran Ahlus Sunnah wal
Jamaah”
2. Prof Abdurrahman Mas’ud Ph. D.
(Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan) dengan judul:
“Memahami Agama Damai Dunia Pesantren”
3. Prof. Dr Akhsin Sakho/ Prof. Dr Ali Nurdin
(Rektor dan dosen Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta) dengan
judul:
“Sikap Moderat Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam masalah
Teologi dan Politik”
4. KH Ma’ruf Amin/ Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub/ Prof. Dr.
Utang Ranuwijaya (Majelis Ulama Indonesia) dengan judul:
“Meluruskan Makna Jihad menurut Islam”
5. Dr. Mukhlish Hanafi (Kabid Pengkajian Al-Qur’an Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an) dan Prof. Dr. M. Thib
Raya (Dosen UIN Jakarta)
dengan judul:
“Konsep Wasathiyah menurut Islam”
Sedangkan pemakalah dari daerah membahas judul:

6
1. Pandangan Komunitas Pondok Pesantren tentang “Radikalisme
Keagamaan”, di sampaikan oleh salah seorang pimpinan
pondok pesantren yang menaruh perhatian terhadap
masalah tersebut.
2. Cara-cara Pondok Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme
Keagamaan, disampaikan oleh seorang pakar/
cendekiawan yang mempunyai keahlian di bidang agama.
3. Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren Dalam
Menanggulangi Radikalisme Keagamaan, disampaikan oleh
seorang pakar/cendekiawan yang mempunyai keahlian di
bidang ilmu-ilmu sosial (sosiolog).
Setelah mendengarkan pemaparan dari para pemakalah
maka peserta dibagi dalam tiga kelompok; (a) Kelompok yang
membahas tentang Pandangan Komunitas Pesantren tentang
Radikalisme Keagamaan, (b) Cara-cara/bentuk-bentuk
Penanggulangan Radikalisme Keagamaan Melalui Pondok
Pesantren, (c) Membangun/ Meningkatkan Kerjasama Pondok
Pesantren Dalam Menanggulangi Radikalisme Kegamaan.
Lokasi dan Waktu
1. Lokakarya ini diadakan secara berurutan dimulai dari
Provinsi Lampung (Bandar Lampung), Jawa Tengah
(Semarang), Jawa Timur (Jombang), Nusa Tenggara Barat
(Mataram), Gorontalo (Gorontalo), Sulawesi Tengah
(Palu), Kalimantan Timur (Samarinda), dan Banten
(Serang).
2. Waktu pelaksanaan kegiatan antara bulan Juli s/d Oktober
2009. Kegiatan lokakarya dilaksanakan selama 2 (dua)
hari.
3. Adapun jadwal kegiatan secara terperinci dilaksanakan
sebagai berikut:

7
Waktu Pelaksanaan Pelaksana Daerah

PP Diniyah Putri Bandar


14-15 Juli 2009
Bandar Lampung Lampung
Semarang
3-4 Agustus 2009 ELSEMM
Jawa Tengah
Mataram
9-10 Agustus 2009 Nahdlatul Wathon
Nusa T. Barat
Jombang
11-12 Agustus2009 Univ. Darul Ulum
Jawa Timur
20-21 Agustus 009 Ponpes Al-Falah Gorontalo
Samarinda
Rabithah Ma’ahid
15-16 Oktober 2009 Kalimantan
Islamiyah
Timur
Palu
17-18 Oktober 2009 Al-Khairat Sulawesi
Tengah
Institut Agama
Serang
19-20 Oktober 2009 Islam Banten
Banten
(IAIB)

Peserta Lokakarya
Lokakarya disetiap daerah diikuti oleh peserta sebanyak
80 - 100 (delapan puluh - seratus orang), sesuai dengan
jauhnya jarak antara kabupaten dengan ibukota provinsi.
Peserta terdiri dari pimpinan Pondok-Pesantren (40 - 50
orang), sisanya berasal dari Lembaga Pendidikan Agama,
Penyuluh Agama, Guru Agama di Sekolah Umum, Pakar ilmu
sosial/cendekiawan, pimpinan organisasi keagamaan, pejabat
dan peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama,
Majelis Ulama Indonesia (Pusat dan Daerah), Kantor Wilayah
Kementerian Agama dan berbagai instansi terkait lainnya.

8
Pelaksana.
Untuk melaksanakan lokakarya ini ditunjuk panitya
pada masing-masing daerah. Untuk Provinsi Lampung
dilaksanakan oleh Pondok Pesantren Diniyah Putri Lampung; di
Provinsi Jawa Tengah oleh LSM ELSEM; Di Provinsi Jawa
Timur oleh Universitas Darul Ulum Jombang; di Provinsi Nusa
Tenggara Barat oleh Organisasi Islam Nahdlatul Wathan (NW);
di Provinsi Gorontalo oleh Pondok Pesantren Al-Falah; di
Provinsi Sulawesi Tengah oleh Universitas Islam Al-Khairat
Palu; di Provinsi Kalimantan Timur oleh Rabithah Mahaidul
Islamiyah (RMI) Samarinda; di Provinsi Banten oleh Institut
Agama Islam Banten (IAIB).
Sistematika Penulisan Buku
Buku ini ditulis dengan menggunakan sistimatika
sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang masalah, tujuan,
target yang ingin di capai, peserta lokakarya,
tema lokakarya, lokasi dan waktu, serta
pelaksana lokakarya di daerah.
Bab II Paham Moderat Dalam Islam
Bab ini berisi makalah pokok yang disampaikan
oleh team dari Jakarta (Pusat).
Bab III Peranan Pengasuh Pondok Pesantren dalam
Mengembangkan Budaya Damai
Bab ini merupakan ringkasan laporan panitia
daerah pelaksana kegiatan ini dan intisari
pemikiran para pemakalah daerah serta isu yang
berkembang dalam diskusi.
Bab IV Penutup

9
10
BAB II
PAHAM MODERAT DALAM ISLAM

REFLEKSI PEMBAHARUAN DALAM PEMIKIRAN


1 AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
Oleh: Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar3

Pendahuluan

D i dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah


disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah
bersabda yang artinya: “... demi dzat yang nyawa
Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh umatku akan terpecah
menjadi 73 golongan. Satu golongan akan masuk sorga, sedangkan 72
golongan lainnya akan masuk neraka. Lalu Beliau ditanya oleh
sahabat, “siapa mereka ya Rasulallah?”, beliau menjawab: “Mā ana
alaihi wa ash-hābi. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa jawaban
Nabi Muhammad itu singkat saja, satu kata, yaitu “al-Jamaah”
Riwayat ini menjadi landasan utama dari kelompok-kelompok
ini yang kemudian disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Bahkan lebih jauh mengklaim bahwa kelompoknyalah yang
dimaksud dengan kelompok yang akan masuk surga itu.
Sebuah klaim yang pasti tidak disukai oleh Nabi Muhammad
seandainya beliau masih hidup. Sebabnya dalam
pengembangan Islam masa Nabi dan Khulafaurasyidin belum
dikenal kelompok Ahlu Sunnah wal Jama’ah, apalagi telah
membelah diri secara sosiologis, sehingga sangat rawan dengan
pertikaian antar umat Islam sendiri. Padahal jama’ah yang
dimaksud dalam hadits Nabi di atas bukanlah yang dimaksud
dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara sosiologis, tetapi

3 Mantan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

11
komprehensif seperti pemahaman salafus shalih, Oleh karena
itu klaim-klaim bahwa dirinya paling benar dan masuk surga
jelas tidak sesuai dengan maksud hadits Nabi di atas.
Kelompok Islam Sunni sebagaimana kelompok Islam
lainnya terlahir karena perkembangan masalah-masalah
keagamaan, sosial, dan politik yang sebenarnay dimulai sejak
wafat Nabi Muhammad saw. Kelompok Sunni ini tidak tunggal
pula dalam peraktek sosial politik dan sosial keagamaan,
karena di dalamnya terdapat aliran kalam dan madzhab
hukum. Dua aliran kalam utama yang terus berkembang
hingga hari ini adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiah.
Sedangkan madzhab-madzhab hukum yang juga terus
bertahan dan berkembang sekurang-kurangnya ada empat di
dalamnya, yaitu Madzhab Maliki, Madzhab Hanafi, Madzhab
Syafii, dan Madzhab Hambali. Sementara itu dalam kelompok
Ahlu Sunnah Wwal Jama’ah ini yang terkenal ada enam belas
madzhab, Dua belas madzhab yang ada tidak berkembang,
yang berkembang dan bertahan adalah Madzhab Maliki,
Madzhab Hanafi, Madzhab Syafii, dan Madzhab Hambali
Beberapa peristiwa politik kunci yang melatarbelakangi
lahirnya berbagai aliran adalah dimulai ketika Utsman bin
Affan, Khalifah Rasyidin yang ketiga yang juga anggota dari
Suku Umayyah, terbunuh pada tahun 656 M. Segera setelah itu,
Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat, tetapi
Muawiyah yang juga anggota Suku Bani Umayyah yang pada
saat itu menjabat sebagai Gubernur Syria, menolak mengakui
kekhalifahan Ali, sebaliknya menuntut Ali untuk mengadili
para pembunuh Utsman bin Affan. Sehingga terjadilah
pertentangan antara kelompok Muawiyah dan kelompok Ali.
Dalam proses itu, sekelompok kecil kelompok Ali kemudian
keluar meskipun tidak bergabung dengan Muawiyah, sehingga

12
mereka ini disebut kelompok Khawarij, yang salah seorang
daripadanya membunuh Ali bin Abi Thalib pada 661 M.
Semula masalah-masalah pokok yang menjadi bahan
perbincangan pokok kelompok-kelompok ini adalah soal-soal
teologi, yaitu soal siapa orang yang beriman sejati, bagaimana
status orang Islam yang melakukan dosa besar, bagaimana
peran kebebasan manusia dalam perbuatannya, dan seberapa
besar peran ketentuan Allah dalam menentukan kehidupan
manusia. Belakangan kelompok ini tidak lagi terbatas pada
perbedaan pandangan tentang kalam saja, tetapi juga menjadi
kepompok-kelompok dalam pengertian sosiologis yang satu
sama lain saling bersaing bahkan bertentangan dan berlawanan
untuk saling menjatuhkan dalam berbagai kesempatan
pertarungan sosial politik di berbagai tempat pada berbagai
kurun perjalanan sejarahnya.
Dinasti Bani Umayyah yang telah menjadi pendukung
utama dari kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahkan para
khalifahnya adalah termasuk kelompok Islam Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Kaum khawarij tidak pernah mendirikan suatu kerajaan
atau memimpin tampuk kekuasaaan. Sedangkan para
pendukung Ali yang berkembang menjadi kelompok Syiah,
khususnya kelompok Syiah Dua Belas, pada tahun 945 M s. d.
1055 M mendirikan Dinasti Buwaihid di Baghdad, kemudian
kelompok Syiah Ismailiyah pada tahun 910 mendirikan Daulat
Fathimiyyah di Afrika Utara, yang selanjutnya menaklukkan
Mesir pada tahun 969 M tetapi kemudian ditumbangkan oleh
Shalahuddin Al-Ayyubi pada tahun 1171 M. Kemudian pada
tahun 1523 M sekali lagi kelompok Syiah Dua Belas mendirikan
sebuah dinasti yaitu Dinasti Syafawiyah di Persia. Pada zaman
modern sekarang, Iran menjadi tempat tinggal sebagian besar
kelompok Syiah ini. Dari segi kalam dan tasawuf, posisi-posisi

13
teologis Ahlus Sunnah wal Jamaah dibela dan dikemas secara
baik oleh Imam Ghazali (wafat 1111 M).
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa untuk memahami
kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah, perlu sekali dilihat
perbandingannya dengan kelompok-kelompok lainnya,
khususnya Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah, karena posisi-posisi
dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah merupakan respon terhadap
posisi kelompok-kelompok tersebut. Pemaparan di atas juga
memperlihatkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah, Syiah,
Khawarij, dan Mu’tazilah, bukanlah aliran-aliran teologi
semata, melainkan telah menjadi kelompok-kelompok
masyarakat yang mendukung teologi tertentu, dan
berhubungan dengan jatuh bangunnya sesuatu dinasti.
Kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah berdiri dan berkembang
karena didukung oleh dinasti Bani Umayyah, sebagian khalifah
Bani Abbasiyah, dan Dinasti Turki Utsmani. Kaum Syiah,
berkembang dengan berdirinya Bani Buwaihid, Daulat
Fathimiyah, dan Dinasti Safawiyah. Sedangkan Mu’tazilah
berkembang dan didukung oleh Khalifah Al-Mansur dari
Daulat Bani Abbasiyah. Perlu juga ditegaskan bahwa pada
dasarnya umat Islam di kawasan Melayu ini adalah penganut
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sampai dengan awal 1990-an
hampir tidak terdengar adanya penganut Syiah di Indonesia,
misalnya. Baru belakangan ini mulai terdengar berita bahwa
beberapa individu atau lembaga pendidikan tertentu adalah
penganut Syiah, tetapi jumlah mereka dapat dihitung dengan
jari.
Beberapa Posisi Dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah
Pendiri aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah
Abu Hasan Al-Asy’ari, lahir 260 H/873 M di Basrah, dan
meninggal di Baghdad tahun 324 H/935 M. Semula beliau
adalah murid dari al-Jubba-i, tokoh komunitas Mu’tazilah di

14
Basrah, yang kemudian keluar dari lingkungan Mu’tazilah dan
mengikuti pendapat para penentang Mu’tazilah seperti Ahmad
bin Hambal. Beberapa pendapatnya yang terpenting dari Abu
Hasan Al-Asy’ari adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang kekal seperti sifat
melihat, mendengar, berbicara, dan lain-lain; sedangkan
Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai
sifat-sifat yang berada di luar dzat-Nya.
2. Bahwa ayat-ayat tajassum, seperti “tangan Allah”, dan lain-
lain, memang bukan bersifat jasmani, tetapi merupakan
bagian dari atribut Allah yang hakikinya tidak diketahui;
sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat seperti itu
harus ditakwil menjadi kekuasaan Allah, dan sebagainya.
3. Bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk;
sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa AL-Qur’an
adalah makhluk.
4. Bahwa melihat Allah pada hari akhirat nanti adalah
sesuatu yang akan menjadi kenyataan meskipun umat
Islam tidak memahami bagaimana cara melihatnya;
sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah tidak
akan dapat dilihat karena hal demikian berarti Allah itu
mempunyai jasad seperti benda.
5. Bahwa segala perbuatan manusia itu adalah ketentuan
Allah, tetapi manusia diberi kekuatan akal untuk berikhtiar
mengambil pilihannya sendiri (kasb); sedangkan kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa setiap perbuatan manusia
adalah pilihan manusia sendiri.
6. Bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin
tetapi di akhirat harus dihukum terlebih dahulu di neraka;
sedangkan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang-

15
orang berdosa besar bukanlah orang beriman tetapi juga
bukan orang kafir (al-manzilah bain al-manzilatain).
Pendapat-pendapat Al-Asy’ari tersebut di atas kemudian
menjadi posisi-posisi teologis yang diikuti oleh para penganut
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tentu saja secara keseluruhan posisi
dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah keharusan berpegang
kepada nash Al-Quran dan hadits, mendahulukan nash daripada
akal, dan kemudian pegangan ketiga adalah ijma.
Kekuatan utama pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah
terletak pada konsep teologinya yang memegang prinsip
moderasi (moderation), sebagaimana terlihat pada pendapatnya
mengenai kasb atau ikhtiar, dan tentang pelaku dosa besar.
Konsep moderasi ini memelihara kaum Ahlus Sunnah wal
Jamaah dari sikap-sikap yang ekstrim, baik dalam mengikuti
kekuatan akal, maupun menolaknya. Pemikiran Ahlus Sunnah
wal Jamaah bersifat seimbang antara tekstualitas dan
rasionalitas, sehingga pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak
terjatuh pada rasionalisme atau liberalisme, juga tidak akan
tenggelam dalam tradisionalisme (tekstualisme). Karena itulah,
aliran pemikiran ini diikuti oleh lebih dari 90 persen umat Islam
di dunia sekarang ini.
Prinsip moderasi ini juga sangat penting apabila
diterapkan dalam kehidupan hubungan antarumat beragama.
Sikap toleransi umat Islam terhadap pemeluk agama lainnya
juga berakar dari prinsip moderasi dalam teologi tersebut.
Kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah mengakui keberadaan agama-
agama lain di dunia ini, tetapi tetap meyakini bahwa Islam
adalah agama yang paling benar, yang diturunkan oleh Allah
untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Ada pendapat yang mengatakan pemikiran Ahlus
Sunnah wal Jamaah relevan mendorong perkembangan ilmu

16
pengetahuan modern. Dikatakan, bahwa teori penciptaan alam
modern yang dimunculkan dalam teori Big Bang (ledakan
besar) sejalan dengan konsep penciptaan model Asy’ari yang
mengatakan alam diciptakan dari tiada kemudian menjadi ada
(al-ijad min al-‘adam atau creation ex nihilo). Demikian juga
dengan teori dualisme dzat dan sifat Allah dalam ketuhanan
serta materi (al-maddah) dan aksiden (al-‘aradh) dalam sistem
kealaman, dapat mendorong kajian bahwa elemen-elemen alam
dapat dipisah dan dikembangkan sesuai dengan kerja sains.
Bidang-bidang Pembaharuan Pemikiran Ahlus Sunnah
wal Jamaah
Posisi-posisi teologis kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah
tidak berubah sepanjang masa, tetapi hal itu tidaklah berarti
bahwa tidak ada dinamika atau pembaharuan dalam pemikiran
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebabnya pertama-tama ialah
karena prinsip-prinsip yang elastis dari pemikiran Ahlus
Sunnah wal Jamaah itu sendiri, kedua karena banyaknya
kelompok-kelompok dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan
ketiga, karena persentuhan dengan kelompok lain dan dengan
tantangan kehidupan modern. Secara garis besar,
pembaharuan-pembaharuan itu dapat ditemukan dalam
pemikiran tentang Al-Quran dan syari’ah (politik, hukum
keluarga, dan ekonomi).
Pembaharuan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah
tentang Al-Quran tidak lagi berkutat pada persoalan seperti
apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan, melainkan tertuju
kepada bagaimana memahami dan mengamalkan ajaran al-
Qur’an sebagai pedoman utama bagi umat Islam. Dengan kata
lain, bagaimana umat Islam kembali kepada Al-Qur’an. Untuk
ini sejumlah tokoh pembaharu telah lahir.

17
Dimulai pada pertengahan abad ke-19, kelompok Ahlus
Sunnah wal Jamaah mulai melakukan gerakan pembaharuan
yang diusung oleh Muhammad Abduh (1849 M – 1905 M) dan
Rasyid Ridha dengan Tafsir Al-Manarnya. Tafsir ini dinilai
sebagai tafsir yang rasional, tetapi dalam waktu yang sama juga
tekstual. Lebih daripada itu, tafsir ini juga kontekstual karena
mencoba menjawab beberapa pertanyaan kekinian pada
zamannya. Bintu al-Syati, si Anak Pantai, nama samaran dari
Aisyah binti Abdurraman dari Damiyat, juga disebut orang
termasuk pembaharu dalam bidang tafsir bersama Muhammad
Ahmad Khalafallah, setelah mereka berguru kepada Amin al-
Khuli. Sayyid Ahmad Khan (1817M-1898M) dengan tafsirnya
terhadap 17 pertama surat Al-Quran, juga dimasukkan dalam
kelompok pembaharu pemahaman AL-Qur’an.
Dalam bidang syari’ah, khususnya dalam hukum
keluarga, telah terjadi pula pembaharuan yang luas, terutama
sejak awal abad ke-20. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang
perkawinan, perceraian, dan kewarisan telah ditafsirkan ulang
oleh para ulama dari berbagai negara, dan dituangkan menjadi
akta atau Undang-undang di negerinya masing-masing.
Hasilnya ialah perundang-undangan hukum perkawinan dan
kewarisan yang memperkuat peranan keputusan peradilan,
seperti yang terjadi di Indonesia, Mesir, Pakistan, Turki dan
Tunisia. Adapula negara yang membuat UU perkawinan dengan
hukuman tazir bagi pelanggarnya.
Dalam bidang politik, variasi pembaharuan di kalangan
kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah lebih bervariasi lagi. Sebagian
kaum Sunni seperti Ali Abdur Raziq (1925M) berpendapat
bahwa lembaga kekhalifahan tidak mempunyai pijakan dalam
al-Qur’an. Menurut pendapatnya, kaum muslimin di berbagai
negeri boleh memilih sistem pemerintahan yang mereka sukai

18
sesuai dengan tuntutan bangsa mereka, karena masalah sistem
kekuasaan (politik) bukanlah bagian dari ajaran pokok Islam.
Sebagai tanggapan atas pendapat seperti itu, dengan dipelopori
gerakan Ikhwanul Muslimin (didirikan di Mesir tahun 1928)
sebagian kaum Sunni lainnya berpendapat bahwa untuk
mengamalkan syariat Islam diperlukan tatanan sosial yang
Islami (an-nidzom al-Islamiy) dan hal itu hanya dapat
diwujudkan dalam suatu negara Islam (ad-daulah al-Islamiyah).
Bahkan sebagian kaum Sunni lainnya lebih maju lagi dan
berkata bahwa daulah Islamiyah yang harus didirikan itu ialah
berbentuk khilafah, dan hanya ada satu khalifah untuk seluruh
umat Islam di dunia. Di anak Benua India, gerakan keharusan
mendirikan negara Islam ini dikembangkan oleh Abu al-A’la
Maududi (1903-1979 M) dengan Jamaat-i Islami-nya.
Komplikasinya adalah sebagian kelompok-kelompok
pengusung paham politik ini juga mengusung sebuah sistem
teologi yang lebih puritan, sehingga di lapangan dapat
berseberangan atau bahkan berbenturan dengan kaum Sunni
lainnya yang lebih bersifat moderat. Di Indonesia, misalnya,
kelompok-kelompok seperti itu pun berkembang. Contohnya
di Indonesia ialah kelompok Darul Islam (DI) yang
memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun
1948, tetapi berhasil ditumpas oleh Pemerintah RI. Kemudian
pada penghujung abad lalu dan awal abad ini, beberapa
kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tergabung dalam
ormas Islam tertentu, juga cenderung menjadi kelompok yang
ekstrim di dalam upaya menegakkan syari’ah atau bahkan
khilafah Islamiyyah. Meskipun gerakan DI/TII secara formal
telah ditumpas, namun kelompok itu telah melakukan
reproduksi dengan menjelma menjadi berbagai organisasi di
belakangnya. Mereka bahkan mengklaim sebagai pengikut
Salafiyah yang sejati.

19
Sebagian mereka mengklaim sebagai kelompok Ahlus
Sunnah wal Jamaah pengikut Salafiyah haraki, dan mereka
nampak radikal, ekstrim, dan militan. Sedangkan sebagian
besar anggota kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah yang lain
tetap pada ciri-ciri semula, yaitu: luwes, moderat, toleransi,
kerjasama, atau bahkan kepatuhan dengan Pemerintah.
Dengan kata lain, sebagian kelompok Ahlus Sunnah wal
Jamaah di Indonesia bergerak pada pemeliharaan Islam
konvensional atau kultural, sementara sebagian lainnya
berkembang menjadi Islam syariat dan politik. Organisasi-
organisasi Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Komite Persiapan Penegakan
Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, dan gerakan salafi-
haraki lainnya dapat dikatakan sebagai contoh dari kelompok-
kelompok Islam syariat dan politik itu. Sementara ormas Islam
seperti NU, Muhammadiyah, Al-Washliyah, Tarbiyah dan
lain-lain, dapat dikatakan sebagai kelompok Islam kultural
Ahlus Sunnah wal Jamaah Indonesia.
Sebagian kelompok Sunni lainnya melakukan
pembaharuan dengan mengkaji ulang konsep shura dalam al-
Quran. Mereka mengatakan bahwa shura adalah embrionic
concept yang dalam penjabarannya dapat kompatibel dengan
sistem demokrasi, baik itu demokrasi presidentil, parlementer,
maupun demokrasi berraja.
Dalam bidang ekonomi, sejak tahun 1970-an telah muncul
gerakan untuk menerapkan sistem perbankan Islam, tanpa
bunga (riba). Tentu saja gerakan ini dimulai pertama-tama
dengan memahami ulang ayat-ayat Al-Qur’an tentang riba.
Sistem perbankan Islam dan sistem keuangan Islam sekarang
telah tumbuh dan berkembang di berbagai negeri muslim.

20
Penutup
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sejumlah
pembaharuan pemikiran telah terjadi di kalangan kaum Ahlus
Sunnah wal Jamaah, khususnya di luar wilayah teologi.
Pembaharuan itu terutama mengenai pemahaman tentang Al-
Qur’an dan syariah. Isi pembaharuan-pembaharuan pemikiran
itu bukan saja bervariasi tetapi juga saling bertentangan satu
sama lain, sehingga belum diketahui ke arah mana
pembaharuan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah ini akan
berjalan.
Ke depan, ada tiga tema yang mungkin sekali akan
mendapatkan perhatian para pemikir kaum Sunni tentang Al-
Quran, yaitu mengenai masalah kesetaraan gender, Hak-hak
Asasi Manusia, dan masalah tanggung jawab masyarakat
dalam penanggulangan kemiskinan. Tema-tema ini tentu saja
belum termasuk tema-tema yang akan dihasilkan oleh interaksi
dengan kelompok non-Sunni, karena hubungan dialektik
dengan kaum Syiah pun tentu dapat melahirkan pemikiran-
pemikiran baru pula.
Inilah keadaan atau lingkungan dimana kaum Ahlus
Sunnah wal Jamaah, harus membangun kembali prinsip
moderasi pemikiran dan mempertahankan serta
menerapkannya dalam kehidupan nyata.

21
22
MEMAHAMI AGAMA DAMAI
2 DUNIA PESANTREN
Oleh: Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud. Ph. D 4

A
gama di Jawa,5 berdasarkan pengamatan penulis pada
masyarakat pesantren, tampak menjadi faktor utama
yang mampu menggairahkan serta menginspirasikan
kaum ulama untuk merespons tuntutan kultural dan agama.
Penggerak utama ini di abad ke-19-20 telah berhasil
mengirimkan santri-santri Jawa ke pusat dunia Islam:
Mekkah-Madinah dan pada saat pulangnya, telah menjadikan
mereka para pemimpin otoritatif yang mampu mencerahkan
kehidupan sosial-agama. Transmisi ilmu pengetahuan dalam
masyarakat ini dengan demikian lebih menekankan
popularitas serta keahlian guru ketimbang lembaga-lembaga
pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, memberi hormat
secara khusus kepada guru dan melakukan perjalanan dekat
maupun jauh untuk mencari ilmu dipahami sebagai praktik-
praktik pendidikan yang memiliki pembenaran keagamaan
yang sangat kuat. Praktikpraktik ini berada di mana-mana: di
tempat terbuka, sampai di madrasah-madrasah dan masjid
yang bukan hanya menjadi pusat peribadatan tapi juga ajang
transmisi ilmu-ilmu agama. 6

4 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI
5 Agama sebagai kekuatan pendobrak di sini, meminjam cara pandang

Durkheim, adalah sebuah agama sistem keimanan yang menyatukan serta praktik-
praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci. la adalah moral tunggal
masyarakat bagi mereka pemeluk agama. Lihat, Emile Durkheim, The Elementary
Forms of the Religious Lifes (New York: The Free Press, 1965), hal. 62.
6 Lihat, Abdurrahman Mas'ud, "The Pesantren Architects and Their Socio-

Religious Teachings" (Disertasi UCLA, 1997).

23
Komunitas pesantren tidak diragukan lagi adalah
bagian dari masyarakat Sunni atau Ahl as- Sunnah wa-1-
Jamaah (Aswaja) yang bisa didefinisikan sebagai mayoritas
Muslim yang menerima otoritas Sunnah Rasul dan seluruh
generasi pertama (sahabat) serta keabsahan sejarah komunitas
Muslim. Faham Sunni dalam konteks ini ditandai dengan
kecenderungan orang menggunakan Qur'an Sunnah Nabi
sebagai sumber utama untuk menyelesaikan debat ideologis
serta untuk membimbing kehidupan mereka, bukan
sebaliknya menggunakan logika yang bisa mengalahkan
otoritas sunnah seperti yang dilakukan kaum Mu'tzilah, atau
melakukan pertumpahan darah sebagaimana tercermin dalam
gerakan kaum Khawarij dalam sejarah Islam klasik untuk
meraih tujuan.
Masyarakat Sunni termasuk komunitas pesantren, pada
umumnya bebas dari fundamentalisme dan terorisme. Jamaah
keagamaan mereka biasanya memiliki ciri: (1) tidak melawan
penguasa atau pemerintah yang ada; (2) kekakuan atau
rigiditas dalam menegakkan kesatuan vis-a-vis disintegrasi
dan chaos; (3) teguh dan kokoh menegakkan konsep jama'ah,
mayoritas, dengan supremasi Sunni, dan layak dinamai
Ahlussunnah wal Jama`ah; (4) tawassuth, tengah-tengah
antara dua kutub dan antara dua ekstrem politik-teologis:
Khawarij dan Shi`ah; (5) menampilkan diri sebagai "suatu
komunitas normatif'; kokoh dan teguh menegakkan prinsip--
prinsip kebebasan spiritual dan memenuhi serta
melaksanakan standar etik syari`ah. 7
Didasarkan pada kode etik tersebut, tidak dapat
dipahami bahwa komunitas ini terinspirasi oleh agama
mereka untuk melakukan yang terlarang atau terorisme
terhadap orang lain. Pesantren-pesantren di Indonesia adalah

7 Abd. Rahman Mas’ud, "Sunnism in the Eyes of Modern Scholars" (Paper

Historiografi Islam UCLA, 1993).

24
kubu dan benteng utama Sunni, suatu institusionalisasi yang
penuh kedamaian. Suatu studi lapangan menarik telah
dilakukan oleh Ron Lukens-Bull (1997), yang memperlihatkan
bahwa masyarakat pesantren telah memahat dan mengukir
semacam identitas. Mereka menolak dua hal, yaitu:
penganutan buta terhadap pengikut paham Ataturk dan
penolakan buta terhadap pengikut paham Khomaeni, yang
semua itu merupakan penolakan paham Barat dan Modern.
Mereka berhati-hati terhadap globalisasi dan beberapa
kecenderungan yang McWorldian; sekalipun demikian,
mereka aktif mengisinya, yaitu melalui jihad yang damai
dalam pendidikan pesantren. Cukuplah untuk mengatakan
asalkan arus-utama Islam (semacam NU, Muhammadiyah:
pesantren-pesantren besar) tidak mendukung radikalisme
atau pemahaman apa pun yang terkait dengan kekerasan.
Mereka yang memprovokasi teologi teror tidak akan berhasil
di negara kepulauan dengan mayoritas Muslim ini.
Ada benang merah tentang hakikat dan watak dasar
pesantren baik sebagai lembaga pendidikan maupun sebagai
entitas sosiokultural politik. Tanpa bertujuan mereduksi
peran-peran pesantren dalam segala dimensinya, di bawah ini
adalah refleksi pesantren sebagai sebuah budaya yang unik,
yang lebih mendekati ke ideologi perdamaian dari kekerasan
dan permusuhan. Karakteristik utama budaya pesantren di
antaranya adalah:
1. Modeling
Modeling di dalam ajaran Islam bisa diidentikkan
dengan uswatun hasanah atau sunnah hasanah yakni contoh
yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam
komunitas ini. Tidak menyimpang dari ajaran dasar Islam,
modeling dalam dunia pesantren agaknya lebih diartikan
sebagai tasyabbuh, proses identifikasi diri pada seorang tokoh,
sang 'alim:

25
Modeling remains a very significant concept in the leader-
disciple close relations of the pesantren community. The teaching of
"watashabbahu in lam takunu mithlahum innattashabbuha birrijali
falla-hu", (go emulate a role model unless you resemble him,
because the act of modeling is an absolute victory has been largely
socialized). 8
Jika dalam dunia Islam, Rasulullah adalah pemimpin
dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, dalam
masyarakat santri Jawa kepemimpinan Rasulullah
diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisanga yang
dikemudian hari sampai kini menjadikan mereka sebagai
kiblat kedua setelah Nabi. Telah dimaklumi bersama bahwa
Masjid Demak yang diresmikan oleh Sunan Kalijaga pada
tanggal 1 Zul Qa`dah 1428, pada umumnya disepakati sebagai
masjid pertama di tanah Jawa dan dibangun sebelum Kerajaan
Demak berdiri. Upaya mendahulukan pendirian Masjid
sebelum Negara Demak pada hakikatnya sama dengan upaya
Nabi mendirikan Masjid Quba di Madinah sebelum kota suci
ini dijadikan negara bagi seluruh penduduknya yang plural.
Bagi umat Islam, Masjid adalah lambang dan perwujudan
akhirat yang statusnya tentu lebih mulia dari kegemerlapan
duniawi dalam berbagai macam daya pikatnya. Dengan
analogi ini, bisa dipahami bila sebagian besar 'ulama Jawa
membenarkan apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga
dengan pendirian masjidnya sebagai bagian dari pelaksanaan
Sunnah Nabi: yakni sebuah modeling par excellence.
Dalam hal ini, yang termasuk modeling adalah tradisi
amar ma`ruf nahi munkar di dunia pesantren. Dalam dunia
pesantren, da`wah Islamiyyah atau amar ma`ruf nahi munkar
tidak hanya diimplementasikan dalam kata tapi juga dengan
tingkah laku, aksi atau da`wah bil hal. Dalam hal ini, dunia

8 Abdurrahman Masud, "The Pesantren Architects and Their Socio-

Religious Teachings" (Disertasi UCLA, 1997), hal. 258.

26
pesantren telah memainkan peran Islamisasinya dalam bidang
pendidikan, budaya, sosioekonomik, serta transformasi.
Potensi besar dunia pesantren untuk memberdayakan umat-
masyarakat dengan demikian telah melahirkan kesempatan-
kesempatan baru, dan dalam waktu yang sama memperkokoh
posisi pesantren sebagai lembaga mandiri, tidak tergantung
pada pihak luar termasuk pada pemerintah. Secara moral,
pesantren adalah milik masyarakat di bawah kepemimpinan
otoritas kiai yang sekaligus menjadi model, uswatun hasanah,
serta rujukan etika sosio-politik.
Di sini, yang perlu ditegaskan adalah bahwa modeling
mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian
penting dalam filsafat Jawa. Walisanga yang menjadi kiblat
kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin
Muslimin, Nabi Muhammad saw. Kekuatan modeling
didukung dan sejalan dengan value system Jawa yang
mementingkan paternalism dan patronclient relation yang
sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa.
Walisanga selalu loyal pada misinya sebagai penerus
Nabi yang terlibat secara fisik dalam rekayasa sosial. Misi
utama mereka adalah menerangkan, memperjelas, dan
memecahkan persoalan masyarakat, dan memberi model ideal
bagi kehidupan sosial agama masyarakat. Model Walisanga
yang diikuti para 'ulama di kemudian hari telah menunjukkan
integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang
membawa mereka pada kepemimpinan protektif dan efektif.
Approach dan wisdom Walisanga kini terlembagakan dalam
esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis
dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam
hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan
modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep terakhir
inilah keagungan Muhammad saw serta kharisma Walisanga,
yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kiai, telah
terjunjung tinggi dari masa ke masa. Bahwa pendidikan Islam

27
Walisanga ditujukan pada massa bisa dilihat pada rekayasa
mereka terhadap pendirian pesantren. Pendidikan yang
merakyat ini tidak diragukan lagi adalah induk pendidikan
Islam di Indonesia atau the mother of Muslim educational
institution. Pendekatan pendidikan Walisanga dewasa ini
telah tersosialisasi secara lugas dalam komunitas ini seperti
kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, serta pemahaman
dan pengarifan terhadap budaya. lokal.
Meskipun demikian, pendidikan Islam Walisanga juga
ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisanga terhadap
pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam
istilah populer "Sabdo Pandito Ratu" yang berarti menyatunya
pemimpin agama dan pemimpin negera. Dengan kata lain,
dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan
tempat dalam ajaran dasar Walisanga. Hal ini sesuai dengan
watak dasar agama tauhid ini yang tidak memberi ruang pada
sekularisme. Ajaran ini adalah warisan Sunan Kalijaga,
sebagai grand designer yang telah mewariskan sistem
Kabupaten di Jawa tipikal dengan komponen-komponen
kabupaten, alun-alun, dan masjid agung. Ajaran ini di
kemudian hari dipopulerkan oleh Sultan Agung. Menarik
untuk dijadikan renungan sejarah bahwa barangkali masjid-
masjid "agung" di Jawa saat ini, adalah bentuk modeling yang
tidak disadari atas historisitas peninggalan Sultan Agung.
Hubungannya bukan sekadar terdapat pada nama "agung"
yang telah menyejarah dan melegenda, melainkan juga pada
substansi dan format al-madinah al-fadilah ini9.
Seperti disinggung di atas, pendidikan Walisanga
mudah dipahami dan dilaksanakan. Hal ini selaras dengan
ajaran Nabi ” wa khaatibinnas 'ala qodri `uqulihim.” Pola
pendidikan ini terlihat dalam rumusan naskah Islam Jawa

9 Al-madinah al-fadilah adalah istilah yang dikembangkan oleh filosof

Muslim al-Farabi yang mengacu pada kehidupan kota yang berperadaban atau
semacam civil society yang diidealkan.

28
klasik "arep atatakena elmu, sakadare den lampahaken" (Carilah
ilmu yang bisa engkau praktikan, terapkan). 10 Pendekatan ini
pula yang mengantarkan dasar ajaran Islam melalui media
wayang yang begitu merakyat. Ajaran rukun Islam dengan
demikian bisa ditemukan dalam cerita perwayangan,
misalnya syahadatain dipersonifikasikan sebagai tokoh punta-
dewa, tokoh tertua di antara Pandawa dalam kisah
Mahabarata. Puntadewa (syahadatain) digambarkan sebagai
raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyat,
yakni pemimpin yang konsisten kata dan perbuatannya.
Tingkah laku yang tidak munafik ini adalah refleksi tindakan
dan ucapan kaum beriman atau "lips of faith " Ajaran Islam
yang diperagakan melalui media wayang merupakan model
yang mudah dicontoh. Model dunia pesantren memang tidak
terbatas pada satu dimensi kehidupan. Hal ini sekaligus
memberi indikasi bahwa masyarakat ini senantiasa
membutuhkan model kepemimpinan yang ideal dalam segala
bentuk dan zaman.
2. Cultural Maintenance
Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada
ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah
berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan
konsekuensi logis dari modeling. Dalam hal ini, sangat
disayangkan bahwa hampir belum ada ilmuwan yang
memusatkan perhatian pada dua aspek ini secara
proporsional. Konsepsi ini bahkan sering disalahpahami oleh
para sarjana Barat seperti penghampiran mereka yang lebih
memusatkan perhatian pada sinkretisme Islam atau juga studi
yang lebih menekankan wajah Hindu-Buddha sebagai induk
budaya Jawa, sementara Islam dipandang sebagai anak
budaya. Dengan kata lain, meskipun Islamisasi telah

10 GWJ Drewes, An Early Javanese Code ofMuslim Ethics (The Hague:


Martinus Nijhoff, 1978), hal. 19.

29
berlangsung di sini sejak abad ke-14, Islam masih dipandang
sebagai baju atau kulit luar budaya Jawa. Kesalahan ini sering
disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam memahami
teks-teks standar Islam Sunni. Hal ini bisa dimaklumi karena
sebagian besar mereka yang mempelajari Islam Jawa hanya
dilengkapi dengan ilmu-ilmu sosial khususnya antropologi.
Dengan kata lain, mereka tidak memiliki disiplin ilmu Islamic
Studies. Mereka yang banyak belajar kajian keislaman seperti
Prof AH. John dan Markwood Ward akan menghasilkan
kesimpulan lebih apresiatif terhadap dinamika budaya Islam
Jawa.
Sekali lagi Walisanga dan para kiai Jawa adalah agent of
social change melalui pendekatan kultural, bukan politik
struktural apalagi kekerasan. Istilah Islam kultural yang
selama ini ditujukan pada pendekatan Abdurrahman Wahid
dan Nurcholish Madjid, sesungguhnya secara substansial
tidak berbeda dengan pendekatan Walisanga dan 'ulama-
'ulama terdahulu. Apa yang terjadi bukanlah intervensi
melainkan akulturasi dan peaceful coexistence.
Ide cultural maintenance juga mewarnai kehidupan
intelektual dunia pesantren. Subyek yang diajarkan di
lembaga ini melalui hidayah dan berkah seorang kiai sebagai
guru utama atau irsyadu ustazin11 adalah kitab klasik atau
kitab kuning, diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke
generasi berikut, yang sekaligus menunjukkan keampuhan
kepemimpinan kiai. Isi pengajaran kitab kuning menawarkan
kesinambungan tradisi yang benar, al-qadim al-salih, yang
mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik
dan pertengahan. Memenuhi fungsi edukatif, materi yang
diajarkan di pesantren bukan hanya memberi akses pada
santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam

11 Meminjam istilah al-Zarnuji dengan kitabnya Ta’lim wal Muta'allim yang

demikian populer di seluruh pesantren Jawa.

30
masa lalu, tapi juga menunjukkan peran masa depan secara
konkret, yakni to live a Javanese Muslim life: cara hidup yang
mendambakan damai, harmoni dengan masyarakat,
lingkungan, dan Tuhan.
Karena konsepsi cultural maintenance pula, dunia
pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dari luar.
Sejarah menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas,
saat itu pula perlawanan kaum santri semakin keras: It is
noteworthy that the more oppression the colonists offered the more
repellent movement the pesantren community reacted. 12 Penolakan
Sultan Agung dan Diponegoro terhadap kecongkakan
Belanda, ketegaran para kyai di masa penjajahan, serta kehati-
hatian para pemimpin Islam berlatar belakang pesantren
dalam menyikapi kebijaksanaan penguasa yang dirasakan
tidak bijaksana atau sistem yang established sehingga
menempatkan mereka sebagai kelompok "oposan". Adalah
bentuk-bentuk cultural resistance dari dulu hingga sekarang.
Dalam konteks ini bisa dipahami jika pesantren-pesantren tua
dan besar selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka yang
berupa kesinambungan ideologis dan historis, serta
mempertahankan budaya lokal: a historical and ideological
continuum with its cultural resistance. Denominasi keagamaan
dunia pesantren yang Syafi-'i-Asyari-Ghazalian- Oriented
terbukti sangat mendukung terhadap pengembangan dan
pelaksanaan konsep cultural resistance ini. Menarik diamati
bahwa kaum santri tidak pernah menyebut Syafi'i dan Ghazali
terlepas dari kata "Imam" di depan dua nama itu. Bukankah
ini tradisi unik dunia pesantren yang tidak dijumpai di
negara-negara Islam lain. Modeling terhadap dua tokoh ini
dan cultural maintenance dalam bentuk kesinambungan
kesejarahan adalah dua konsep yang telah menyatu dalam
ilustrasi terakhir ini.

12 8 Abdurrahman Masud, loc. cit.

31
3. Budaya Keilmuan yang Tinggi
Dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu.
Definisi pesantren itu sendiri selalu mengacu pada proses
pembelajaran dengan komponen-komponen pendidikan yang
mencakup pendidik, santri, murid, serta fasilitas tempat
belajar mengajar. Rujukan ideal keilmuan dunia pesantren
cukup komprehensif yang meliputi inti ajaran dasar Islam itu
sendiri yang bersumber dari al-Qur'an Hadis, tokoh-tokoh
ideal zaman klasik seperti Imam Bukhari, serta tradisi lisan
yang berkembang senantiasa mengagungkan tokoh-tokoh
ulama Jawa yang agung seperti Nawawi al-Bantani
(meninggal 1897 M), Mahfudz al-Tirmizi (meninggal 1917 M),
dan lain-lain. Ayat al-Qur'an pertama kali yang diwahyukan
adalah surat iqra' yang menyerukan signifikansi baca dan
belajar bagi kaum beriman. Menjadi Muslim berarti menjadi
santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan
belajar 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Status santri,
bagi komunitas ini, dengan demikian selalu lebih mulia
dibanding dengan status non-santri. Rujukannya jelas ayat al-
Qur'an yang menjanjikan status mulia dan khusus bagi kaum
beriman dan berilmu. 13 Pendidikan sehari semalam penuh
dalam dunia pesantren dengan batas waktu yang relatif, serta
hubungan guru-murid yang tidak pernah putus adalah
implementasi dari ajaran Nabi yang menekankan keharusan
mencari ilmu dari bayi sampai mati, minal mahdi ilallahdi.
Singkatnya ajaran dasar Islam adalah landasan ideologis
kaum santri untuk menekuni agamanya sebagai ilmu dan
petunjuk yang bermanfaat di dunia dan akhirat:
The supreme value of religious knowledge and its
transmission in Islam was thus never questioned. The Prophet
guaranteed that those who were on the way to pursue knowledge

13 Al-Qur'an, 58:11.

32
would be much facilitated by God on the route to paradise. 14
Muhammad's disciples had successfully transformed and
implemented his teaching about the great spirit of seeking knowledge.
This religious motivation was also found as well in the tradition of
rihlah. A major tradition which is called al-rihlah fi talab al-'ilm,
"travel for seeking knowledge", was the evidence of such extensive
curiosity among religious scholars. 15
Jika dalam zaman keemasan Islam tradisi al-rihlah fi
talab al`ilm demikian luar biasa sebagaimana yang tercermin
dalam perjalanan intelektual Imam Bukhari,16 sejarah telah
membuktikan bahwa tradisi yang sama juga berkembang
sepanjang masa dalam masyarakat santri hingga dikenal
istilah wandering santris atau santri-santri kelana. Tradisi
rihlah ini pula yang telah mengantarkan dua tokoh utama
pesantren: Al-Bantani dan Al-Tirmizi, mengembara sepanjang
hidupnya dan menjadi guru besar di Mekkah dan Madinah.
Fenomena dua master intelektual dunia pesantren ini
membuktikan bahwa ilmu agama tidak hanya milik dunia
Timur Tengah, dan bahwa ilmuwan berlatar belakang sosio-
kultural pesantren mampu menandingi 'ulama-'ulama
mancanegara baik dalam kegiatan tulis-menulis berbahasa
Arab maupun dalam kegiatan akademik pengajaran di pusat
dunia Islam.
Dewasa ini makna penting keilmuan dunia pesantren
agaknya tidak bergeser. Prof. Dr. Dawam Rahardjo menaruh
kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang
memperoleh pendidikan di dunia Barat dan bekerja di
berbagai sektor dan kantor swasta dan pemerintah.17 Merujuk

14 Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Ghazali, Ayyuha al-Walad

(Cairo: Dar alI'tisam, 1983), hal. 33.


15 Abdurrahman Masud, loc. cit. , hal. 32.

16 Penunjukan "Imam" Bukhari di sini sekali lagi membuktikan bahwa dunia

pesantren sarat dengan tokoh-tokoh ideal yang selalu dijadikan model dalam proses
identifikasi tokoh atau tasyabbuh.
17 Dawam sangat membanggakan Bachtiar Effendi, alumni pondok Pabelan,

33
pada dinamika keilmuan pesantren, istilah "konservatif' yang
dialamatkan pada pesantren selama ini perlu ditinjau kembali.
"Konservatif' pada umumnya identik dengan statis, jumud,
serta implikasi-implikasi fatalis lainnya. Lebih dari itu
"konservatif' adalah kata impor dari kamus Yahudi dan
Nasrani. Dengan demikian tradisionalitas pesantren
selayaknya ditujukan pada satu tradisi luhur dalam berbagai
hal, termasuk tradisi intelektual pesantren yang belum pernah
terhenti sampai sekarang:
"Traditional" is not necessarily intellectually conservative, as
has been proven by the steadfast tradition of the Islamic quest,
namely the santri thirst for knowledge. The function of Islamic
teaching at the hands of the 'ulama' shows that the intellectual
dynamism in the community remained in essence, uninterrupted,
throughout the centuries. 18

yang telah berhasil meraih doktor di Ohio University. (Wawancara Abdurrahman


Masud saat Dawam berkunjung ke UCLA, AS tahun 1995).
18 Abdurrahman Mas'vtd, loc. cit. , hal. 258.

34
MELURUSKAN MAKNA JIHAD
3 DALAM ISLAM
Oleh: Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub19

I
slam adalah agama yang diturunkan untuk umat
manusia. Manusia di belahan bumi manapun, baik secara
individu, kelompok, ataupun bangsa, niscaya akan
menghadapi antara dua kondisi, yaitu perang atau damai.
Melalui al-Qur’an dan Hadis, Allah SWT memberikan
panduan kepada kaum muslimin bagaimana menghadapi
salah satu dari dua keadaan tersebut. Dalam al-Qur’an banyak
ayat yang membicarakan tentang perang, dan banyak pula
ayat yang berbicara tentang damai. Begitu pula dalam Hadis
Rasulullah. Kaum muslimin harus menggunakan ayat atau
Hadis tentang perang untuk keadaan perang, dan
menggunakan ayat dan Hadis tentang damai untuk keadaan
damai. Inilah ajaran Islam.
Kondisi perang dan damai tercermin dalam firman Allah
sebagai berikut:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-
orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
orang yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim. (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9)

19 Ketua Majelis Ulama Indonesia.

35
Adalah merupakan suatu kesalahan, jika ayat al-Qur’an
dan Hadis tentang perang digunakan untuk keadaan damai,
atau jika ayat al-Qur’an dan Hadis tentang damai digunakan
untuk keadaan perang.
Tiga Kategori Non-Muslim
Islam membagi orang-orang non-muslim ke dalam tiga
kategori:
1. Kafir Harbi
Kafir Harbi adalah non-muslim yang memerangi kaum
muslimin. 20 Dalam kondisi seperti ini, kaum muslimin
mendapatkan perintah dari Allah untuk menghadapi
peperangan yang dilakukan non-muslim. Kewajiban kaum
muslimin adalah melawan musuh-musuh mereka dari
kalangan non-muslim yang memerangi mereka. Ketika
Islam memerintahkan kaum muslimin melawan musuh-
musuh mereka, Islam tidak memberikan perintah secara
mutlak. Islam membuat batasan, hanya non-muslim yang
memerangi muslim sajalah yang boleh diperangi.
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (QS Al-Baqarah[2]: 190)
Beberapa bulan yang lalu, orang-orang Yahudi Israel
memerangi muslimin Palestina. Apakah kemudian, kaum
muslimin di negara-negara lain boleh memerangi orang
Yahudi yang berada di negara itu? Tentu saja tidak boleh

20 Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Dar al-Katib al-Arabi,

Beirut, tth, I/276-227.

36
karena Islam melarang tindakan seperti ini. Allah
berfirman:
Seseorang yang berdosa tidak menanggung dosa orang lainnya.
(QS Al-Najm: 38)
2. Kafir Musta’man
Kafir musta’man adalah non-muslim yang menetap dan
tinggal di negara Islam untuk beberapa waktu. Dia bukan
warga negara muslim tersebut. Dia hanya tinggal untuk
urusan bisnis, kepentingan diplomatik, belajar, atau yang
lain. Ajaran Islam mewajibkan setiap muslim untuk
memberikan keamanan kepada non-muslim kategori ini,
baik untuk hartanya maupun jiwanya. Sebab, dia datang
ke negara muslim tidak untuk berperang melawan orang
muslim, tetapi untuk menjalin hubungan baik antara
mereka. 21
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
(QS Al-Mumtahanah: 8)
3. Kafir Dzimmi
Jenis terakhir adalah non-muslim yang tinggal dan
menetap bersama dengan orang-orang muslim sebagai
penduduk di negara muslim. Sebagai warga negara, ia
memiliki keterikatan untuk hidup secara damai dengan

21 Abd al-Qadir Audah, Loc. Cit; Syeikh Ibn Baz, Muraja’at fi Fiqh al-Waqi’ al-

Siyasi wa al-Fikri, Dar al-Mi’raj al-Dauliyyah, Riyadh, 1414 H. /1994 M. h. 29.

37
orang-orang muslim. Dalam istilah lain, non-muslim jenis
ini juga disebut dengan mu’ahad. 22
Dalam ajaran Islam, orang Islam berkewajiban untuk
memberi jaminan keamanan kepada kafir dzimmi, baik
harta maupun nyawanya. Umumnya, non-muslim
kategori ini merupakan minoritas dari suatu negara, di
mana muslim menjadi mayoritas penduduknya. Muslim
dan non-muslim di negara ini harus hidup berdampingan
secara damai, bukan dalam peperangan dan pertempuran.
Orang-orang muslim dilarang membunuh non-muslim
kategori ini. Jika ada orang muslim membunuhnya, maka
orang muslim tersebut tidak akan dapat masuk ke dalam
surga.
Nabi Muhammad bersabda:
“Siapa yang membunuh seorang dzimmi (non-muslim yang
berada dalam perjanjian keamanan), maka ia tidak akan dapat
mencium aroma surga. (HR Imam al-Bukhari, al-Tirmidzi,
al-Nasa’i, dan Ibn Majah)23
Satu Non-Muslim Yang Boleh Diperangi
Jika dibandingkan antara ketiga kategori non-muslim
ini, dapat diambil kesimpulan bahwa hanya satu dari tiga
kategori non-muslim ini yang boleh diperangi. Namun hal itu
dengan syarat, non-muslim itu memerangi orang muslim. Jika
ia tidak memerangi muslim, maka orang muslim tidak
diperkenankan melawan mereka.

22Abd al-Qadir Audah, Loc. Cit


23Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ii/429; al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, viii/24-25;
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, ii/896; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, ii/186.

38
Perang dalam Sejarah Islam
Dalam sejarah Islam kaum muslimin pernah berperang
melawan non-muslim. Bahkan banyak peperangan terjadi
dalam sejarah Islam antara orang muslim dan orang non-
muslim. Peperangan itu juga terjadi di masa Rasulullah.
Peperangan tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan
agama, melainkan oleh alasan-alasan lain. Diantara
peperangan yang terjadi di zaman Rasulullah SAW:
1. Perang Melawan Orang Musyrik
Di antara contohnya adalah perang Badr. Peperangan ini
terjadi pada tahun kedua Hijri antara kaum muslimin
yang dipimpin oleh Nabi Muhammad, dengan kaum
musyrikin Makkah. Penyebab peperangan ini adalah
orang muslim yang hijrah dari Makkah ke Madinah
meminta harta mereka dikembalikan dari kaum
musyrikin. Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah,
mereka meninggalkan harta mereka di Makkah. Harta
mereka ini, baik berupa tanah, rumah, maupun ternak
dijarah oleh orang musyrikin Makkah. Oleh karena itu,
ketika beberapa orang dari kaum musyrikin itu pergi
untuk berdagang di Syam (Syiria), orang-orang muslim
meminta mereka untuk mengembalikan harta kaum
muslimin itu.
Kaum musyrikin itu ternyata tidak mau mengembalikan
harta itu kepada kaum muslimin. Mereka malah memberi
tahu kepada kaum musyrikin yang ada di Makkah bahwa
mereka berada dalam keadaan bahaya. Kemudian kaum
musyrikin Makkah mengirim kurang lebih seribu tentara
ke Madinah untuk membantu saudara-saudara mereka,
kaum musyrikin yang akan kembali dari Syam itu. Maka

39
kemudian, peperangan terjadi di daerah Badr, sebelah
selatan Madinah. 24
Dan kenyataannya, alasan yang menyebabkan terjadinya
peperangan ini bukanlah perbedaan agama antara Islam
dengan Paganis (agama kemusyrikan), melainkan karena
kaum musyrikin Makkah hendak menyerang dan
melawan kaum muslimin di Madinah.
2. Perang Melawan Orang Yahudi
Contohnya adalah Perang Bani Quraidhah yang terjadi
pada tahun kelima Hijri. Bani Quraidhah merupakan
tempat domisili kaum Yahudi. Mereka memiliki perjanjian
perdamaian dengan kaum muslimin. Namun, orang-orang
Yahudi Bani Quraidhah membatalkan perjanjian itu secara
sepihak. Maka Nabi Muhammad diperintahkan oleh
Allah SWT untuk melawan orang-orang Yahudi yang
membatalkan perjanjian damai secara sepihak itu. 25
Lalu pecahlah Perang Bani Quraidhah setelah terjadinya
Perang Khandaq atau Ahzab pada tahun kelima Hijri.
Perang ini tidak disebabkan oleh perbedaan agama antara
Islam dan Yahudi, namun karena pembatalan perjanjian
perdamaian antara mereka, yang dilakukan oleh orang-
orang Yahudi secara sepihak.
3. Perang Melawan Orang Kristen
Contohnya adalah Perang Tabuk yang terjadi pada tahun
sembilan Hijri. Tabuk adalah kota kecil yang berlokasi di
sebelah utara semenanjung Arab. Sebab yang
melatarbelakangi terjadinya peperangan ini adalah adanya
berita yang sampai kepada Rasulullah bahwa Bizantium

24 Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, tahqiq: Sa’id Muhammad al-Lahham,

Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H/1994 M, ii/211.


25 Ibnu Hisyam, Loc. Cit.

40
telah mengerahkan sejumlah besar pasukan di Syam, serta
merekrut Kabilah Lakhm, Judzam, dan kabilah lainnya
yang merupakan penganut Kristiani di semenanjung Arab.
Kabilah-kabilah ini berada di bawah kekuasaan Imperium
Bizantium. Sebagian dari mereka telah tiba di wilayah
Balkan, maka Rasulullah memerintahkan kaum muslimin
untuk pergi dan memberitahukan tempat perang agar
mereka bersiap untuk peperangan itu. Ketika mereka telah
sampai di Tabuk, mereka tidak melihat pasukan itu.
Pasukan itu telah lari. Sejumlah besar orang yang telah
berkumpul untuk melakukan peperangan itu tidak
tampak batang hidungnya, dan perang pun tidak terjadi.
Kemudian datanglah seorang walikota Aylah yang
bernama Yuhanah, mengajukan perdamaian kepada
Rasulullah dengan membayar jizyah. Hal yang sama juga
dilakukan oleh penduduk Jarba’ dan Adzrah, mereka
membayar jizyah kepada Rasulullah, Maka untuk itu
Rasulullah menulis sebuah perjanjian. 26
Dapat terlihat di sini bahwa sebab peperangan Tabuk
bukanlah perbedaan dua agama, Islam dan Kristen, akan
tetapi sesuatu yang lain, yaitu maksud orang-orang
Bizantium yang hendak menyerang kaum muslimin. Tiga
peperangan ini hanya sebagai contoh saja. Banyak lagi
peperangan lain di mana perbedaan agama bukan menjadi
sebab umat Islam memerangi orang-orang non-Muslim,
melainkan karena faktor-faktor lain.
Agama Bukan Penyebab Perang
Tiga peperangan di atas tidak disebabkan oleh
perbedaan agama, namun disebabkan oleh beberapa alasan

26 Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah, Dar al-Fikr,

Beirut, 1400 H/1980 M, h. 400

41
lain. Karenanya dapat dikatakan bahwa dalam sejarah Islam
perbedaan agama bukanlah penyebab peperangan.
Perbedaan agama, menurut ajaran Islam, bukanlah
menjadi penyebab terjadinya perselisihan antara penganut
agama. Jika peperangan atau pertempuran terjadi pada masa
yang akan datang antara mereka, alasannya adalah masalah
lain, bukan perbedaan agama.
Mertua Nabi adalah Yahudi
Salah satu mertua Nabi adalah Huyay bin Akhtab al-
Nadhari. Dia adalah pemimpin Bani Quraidhah dan beragama
Yahudi. Putrinya yang bernama Shofiyah dinikahi oleh Nabi.
Shofiyah masuk Islam, lalu menjadi Umm al-Mu’minin (ibu
orang-orang mukmin). 27
Di sini ada pertanyaan, jika perbedaan agama menjadi
pembenar bagi seorang muslim untuk membunuh non-
muslim, maka mengapa Nabi tidak membunuh mertuanya
sendiri? Sampai meninggal dunia, mertua Nabi itu tetap
memeluk agama Yahudi.
Kenyataannya di Madinah, juga di banyak tempat di
Jazirah Arab, non-muslim tetap ada. Di Madinah banyak
tinggal orang Yahudi, begitu juga di kota Khaibar. Di Najran,
sebelah selatan Jazirah Arab, banyak orang Kristen. Di Bahrain
dan di daerah timur, banyak tinggal pemeluk agama
Zoroaster (Majusi). Dan Umat Islam yang dipimpin Nabi
Muhammad tidak pernah memerangi atau membunuh
mereka.

27 Al-Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’a, Singapura, tth. ,

iii/52; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, Dar Shadir Mathba’ah al-
Sa’adah, Mesir, 1328 H, iv/346-348; Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz al-
Shahabah, Dar Shadir Mathba’ah al-Sa’adah, Mesir, 1328 H, iv/346-348; Dr.
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah, h. 332.

42
Ini merupakan bukti kuat bahwa dalam ajaran Islam
perbedaan agama bukanlah alasan untuk memerangi atau
membunuh penganut agama lain. Sekiranya perbedaan agama
menjadi alasan yang membenarkan orang Islam membunuh
atau memerangi kaum non-muslim, tentulah orang-orang
Yahudi, Kristen, Majusi, dan Paganis yang lain yang ada pada
waktu itu sudah dibunuh oleh Umat Islam pada masa Nabi.
Dan ternyata hal itu tidak pernah terjadi.
Muslim Menolak Non-Muslim
Banyak orang muslim menolak non-muslim. Mengapa
hal ini terjadi? Umat Islam harus memahami Islam secara
komprehensif, tidak parsial. Sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa ada beberapa ayat al-Qur’an
dan Hadis Nabi yang berbicara tentang perang. Di sisi lain,
ada juga ayat-ayat atau Hadis Nabi yang berbicara tentang
damai. Maka umat Islam harus mampu menempatkan ayat
perang untuk kondisi perang, dan ayat damai untuk kondisi
damai, bukan sebaliknya.
Sebagai contoh, termaktub dalam al-Qur’an:
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang
munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka
adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali”. (QS Al-Tahrim [66]: 9)
Jika hanya mengambil ayat ini, kemudian
menerapkannya dalam kehidupan masyarakat dalam situasi
damai, maka yang terjadi kemungkinan adalah ekstrimis atau
teroris. Ayat ini harus diterapkan hanya pada situasi perang.
Harus dipahami bahwa Islam bukan hanya terdiri dari ayat
ini. Banyak ayat yang bercerita tentang perdamaian antar
sesama umat manusia.

43
Mungkin ada orang muslim yang menggunakan ayat
perang ini untuk kondisi damai. Ini merupakan suatu
kesalahan. Dan untuk memahami Islam, mesti melihatnya dari
perilaku Rasulullah, bukan dari seorang muslim yang
mungkin keliru dalam memahami ajaran Islam. Mungkin saja
salah seorang muslim membuat kesalahan dalam
menginterpretasikan ajaran Islam. Namun, tidak boleh
menggeneralisir bahwa Islam seperti itu. Itu hanya kasus
personal yang keliru, bukan ajaran Islam yang sebenarnya.
Islam Memerangi Muslim
Sebenarnya, berbicara tentang perang, Islam juga
mengizinkan pemimpin negara muslim untuk memerangi
muslim separatis (bughat), yaitu kelompok muslim yang ingin
memisahkan diri dari negara muslim.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Hujurat:
“Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan
itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada
perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan
berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil”. (QS al-Hujurat: 9)
Islam Memerangi Pembangkang Zakat
Islam juga mengizinkan pemerintah negara muslim
untuk memerangi muslim reaksioner, seperti orang yang
menolak membayar zakat. Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq
pernah memerangi orang semacam ini. Meskipun mereka
mengucapkan syahadat, jika mereka tidak mematuhi aturan
Islam, maka pemimpin muslim diizinkan untuk memerangi

44
mereka. Apa yang dilakukan Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq ini
menjadi ijma (konsensus) para sahabat28
Dan ternyata kaum bughat (separatis) wajib diperangi
oleh Islam, kendati mereka muslim. Dan para pembangkang
zakat juga wajib diperangi, kendati mereka mengerjakan
shalat lima kali sehari, berpuasa pada bulan Ramadhan dan
pergi haji ke Baitullah.
Mereka diperangi oleh Islam bukan karena mereka
muslim, tetapi karena mereka tidak taat kepada pemerintah
Islam (Waliyyu Umur al-Mu’minin), atau aturan-aturan Islam.
Kesimpulan dan Penutup
1. Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk
manusia. Karakter manusia—individu, kelompok, atau
bangsa—di manapun berada, selalu menghadapi salah
satu dari dua keadaan, yaitu perang atau damai.
2. Sebagai agama bagi semua manusia, Islam memberi ajaran
dan tuntunan kepada umat muslim bagaimana cara
menghadapi situasi perang atau situasi damai.
3. Ajaran Islam tentang perang hanya boleh diterapkan
dalam kondisi perang. Dan ajaran Islam tentang damai
hanya boleh diterapkan dalam kondisi damai.
4. Perbedaan agama bukan dan tidak boleh dijadikan alasan
bagi orang Islam untuk berperang melawan penganut
agama lain.
5. Peperangan yang terjadi dalam sejarah Islam tidak
disebabkan oleh perbedaan agama, tapi disebabkan oleh
alasan lain seperti masalah sosial.

28 Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, i/29-30

45
6. Sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam tidak hanya
memberikan perlindungan keamanan bagi kaum
muslimin, tetapi juga melindungi semua orang, baik
muslim atau non-muslim.
7. Tidak diragukan bahwa segelintir orang muslim
melakukan kesalahan dalam memahami dan menafsirkan
ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi. Namun, ini hanya sebatas
kasus personal, tidak mencerminkan ajaran Islam sama
sekali.
8. Islam memerintahkan pemimpin negara muslim untuk
memerangi muslim reaksioner, yang tidak menaati ajaran
atau aturan Islam seperti antara lain melakukan
pemberontakan. Sebagaimana Islam juga memerintahkan
pemimpin negara muslim untuk memerangi para
pembangkang zakat, kendati mereka mengerjakan shalat
lima kali sehari, berpuasa pada bulan Ramadhan dan
berhaji ke Makkah.
Sebagai penutup, jika tulisan ini benar maka itu
bersumber dari petunjuk Allah SWT dan bimbingan
Rasulullah. Dan jika salah, maka hal itu berasal dari pribadi
penulis sendiri dan dari setan. Allah SWT dan Rasulullah
terbebas dari itu semua.
Semoga tulisan ini dicatat oleh Allah sebagai amal
shalih yang memperoleh ridha-Nya, karena Allah Maha
Mendengar, Maha Dekat, dan Maha Mengabulkan Doa.
Walhamdu lillahi rabbil ‘alamin.

46
DAFTAR PUSTAKA

al-Qur’an al-Karim
Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Dar al-Katib
al-Arabi, Beirut, tth.
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Dar al-Fikr al-‘Arabi, tth. ttp.
al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari,
Sulaiman Mar’a, Singapura, tth.
al-Nasa’i, Ahmad bin Ali, Sunan al-Nasa’i, al-Maktabah al-
‘Ilmiyyah, Beirut, tth.
Ibn Majah al-Qazwini, Muhammad Yazid, Sunan Ibn Majah,
Tahqiq: Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, ttp. tth.
Ibn ‘Abd al-Barr, 1328 H, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, Mesir,
Dar Shadir Mathba’ah al-Sa’adah.
Ibn Sa’d, Muhammad, 1400 H/1980 M, al-Thabaqat al-Kubra,
Beirut, Dar Beirut.
Ibn Baz, Syaikh ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abdullah, 1414 H/1994 M,
Muraja’at fi Fiqh al-Waqi’ al-Siyasi wa al-Fikri, Riyadh, Dar
al-Mi’raj al-Dauliyyah.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, 1328 H, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah,
Mesir,Dar Shadir Mathba’ah al-Sa’adah.
Ibn Hisyam, 1415 H/1994 M al-Sirah al-Nabawiyyah, tahqiq:
Sa’id Muhammad al-Lahham, Beirut, Dar al-Fikr.
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, 1400 H/1980 M, Fiqh al-
Sirah, Beirut,Dar al-Fikr.
Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Dar al-Fikr,
ttp, tth.

47
48
SIKAP MODERAT AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
4 DALAM MASALAH TEOLOGI DAN POLITIK
Oleh: Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA29

Pendahuluan

U
mat Islam yang ada sekarang ini dengan berbagai
macam kelompoknya dari Ahlussunnah, Syi'ah
dengan macam macam alirannya, Kawarij,
Mu'tazilah, dan lainnya, adalah produk dari sejarah
pergolakan umat pada masa lalu. Kelompok kelompok
tersebut, karena proses alamiyah, ada yang masih eksis
hingga saat ini dan terus melanjutkan visi dan misinya,
seperti kelompok ahlussunnah wal jama'ah yang merupakan
kelompok mayoritas umat Islam saat ini. Pada saat ini hampir
diseluruh negara Islam baik di Asia maupun Afrika adalah
penganut madzhab Sunni. Sehingga tidak berlebihan bahwa
masyarakat Islam di seluruh dunia adalah pemeluk Sunni.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh David Baret
disebutkan bahwa jumlah kaum muslimin di seluruh dunia
pada tahun 2000 adalah 1.188.000.000 orang. Dari jumlah
tersebut 1.002.000.000 atau 84.34 % nya adalah pengikut
ahlissunnah wal jama'ah. Sementara 15.65 % nya terdiri dari
kelompok lain seperti Syi'ah dan lain lainnya. Bandingkan
dengan pengikut Katolik Roma yang berjumlah 1.002.000.000
orang pada tahun 2000. (Lih. Ar. Wikipedia. org:ahlussunnah).
Jumlah yang demikian besar dari pengikut Ahlus sunnah wal
Jama'ah bisa dimaklumi, karena mengikutsertakan seluruh
penganut empat madzhab fikih, ahli hadis, ahli tasawuf, dan

29 Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.

49
lain lainnya yang tersebar luas di seluruh penjuru dunia,
kecuali Iran.
Kaum Syi'ah yang merupakan komunitas Islam yang
cukup besar banyak berada di Iran (Imamiyah, Itsna
'Asyariyah), Pakistan, India (Imamiyah, Ismal'i-liyah), Yaman
(Zaidiyah), beberapa negara teluk Arab, sekte Druz di Libanon
dan Syria. Sekte Ahmadiyah banyak terdapat di India dan
Pakistan dan negara negara yang ada komunitas India dan
Pakistan, juga Indonesia. Diantara kelompok kelompok
tersebut ada yang pengikutnya tinggal sedikit seperti sekte
"Ibadliyah" dari kelompok kaum Khawarij di AlJazair dan
bahkan ada yang sudah tinggal namanya saja seperti sekte
sekte kecil dari pecahan kelompok kelompok besar diatas.
Kelompok kelompok tersebut diatas hingga saat ini masih
terus mempertahankan ideologi dan keyakinannya masing
masing. Dalam era globalisasi sekarang ini, era kebebasan
berfikir, era pertarungan gagasan dan ide, terkadang sebagian
pemikiran dari kelompok kelompok Islam didukung oleh
kelompok lainnya sehingga terkesan adanya pembauran
ideologi.
Dalam melihat persoalan diatas, dan mendudukkan
setiap kelompok pada porsinya masing masing, dibawah ini
akan penulis ketengahkan tentang kriteria yang mendekati
dengan apa yang dikehendaki dengan sasaran hadis tersebut,
dengan menggunakan rujukan baik dari Al-Qur'an, Hadis,
riwayat Sahabat,dan kitab kitab tentang ajaran sekte sekte
dalam komunitas umat Islam.
Sebab Sebab Perpecahan Umat Islam Masa Lalu.
Nabi Muhammad adalah sosok pemersatu umat, baik
bangsa arab maupun umat Islam. Beliaulah yang
mempersatukan Kabilah Aus dan Khazraj di Madinah yang
telah berperang berkepanjangan selama 60 tahun atau 120
50
tahun. Ada beberapa kemelut kecil yang terjadi pada masa
Nabi seperti akan meletusnya kembali pertikaian antara Aus
dan Khazraj yang dipicu oleh kelompok Yahudi Madinah.
Atau pada saat pembagian harta rampasan setelah perang
Hunain, atau pada saat Nabi menghadapi cobaan tentang
tuduhan keji orang munafik terhadap Siti 'Aisyah dengan
Shafwan bin Mu'aththil dan lain sebagainya. Tapi semuanya
bisa ditangani oleh Nabi sendiri. Dengan persatuan yang
demikian kokoh atas dasar dasar prinsip akidah yang sama
inilah, kaum muslimin sanggup menghadapi dua kekuatan
besar pada saat itu yaitu bangsa Romawi dan Parsi.
Betapapun Nabi bisa mempersatukan kaum muslimin,
namun Nabi dalam salah atu sabdanya telah memprediksikan
berdasarkan wahyu akan terjadinya perpecahan dalam tubuh
umat Islam menjadi 73 golongan/ kelompok, sebagaimana
juga kaum Yahudi dan Nasrani pada masa lalu. Sabda beliau :
Artinya:
Dari Auf bin Malik, Nabi bersabda : Kaum Yahudi telah terpecah
menjadi 71 golongan, satu golongan masuk sorga, yang 70
golongan masuk neraka. Kaum Nasrani terpecah menjadi 72
golongan, yang 71 golongan masuk neraka, satu golongan masuk
sorga. Demi Zat yang jiwa Muhammad dalam genggamannya,
umatku pasti akan terpecah menjadi 73 golongan, satu kelompok
masuk sorga, 72 golongan (lainnya) akan masuk neraka. Nabi
ditanya : siapa itu yang Rasulullah ? jawabnya : (mereka) adalah
jama'ah. Dalam riwayat Tirmidzi Nabi menjawab : (mereka ) adalah
orang yang tetap dengan ajaranku dan sahabat sahabatku. (H. R. Ibn
Majah dan Tirmidzi).
Dalam sejarah perjalanan umat islam, apa yang
diprediksikan oleh Nabi karena berdasarkan wahyu betul
betul terjadi. Walaupun untuk menentukan satu persatu dari
jumlah diatas masih dalam perdebatan diantara ulama. Umat
51
islam terpecah menjadi beberapa golongan, setiap golongan
mengaku bahwa merekalah yang paling benar, sementara
yang lain salah.
Sepeninggal beliau, terjadilah gesekan politik antara
kaum Ansar dan Muhajirin untuk menentukan siapa
pengganti beliau. Namun hal itu masih bisa diatasi. Karena
masih banyak sahabat senior yang cepat tanggap mengatasi
situasi saat itu. Abu Bakar terpilih sebagai pengganti Nabi
dalam memimpin umat islam. Kemudian pada masa Umar bin
Khaththab, hampir tidak ada pertikaian yang berarti, karena
besarnya wibawa beliau dan ketegasannya dalam menghadapi
setiap kemelut. Barulah pada saat Usman bin Affan menjadi
khalifah, muncul gugatan terhadap Usman antara lain:
Pertama : Usman telah menghapus sebagian ayat ayat Al-
Qur'an, karena prakarsanya untuk menyalin Al-Qur'an
kembali dan membakar mushaf milik para sahabat. Kedua :
membikin kawasan terlarang untuk beternak hewan. Ketiga :
terlibat dalam Nepotisme dengan menentukan keluarganya
untuk menjadi gubernur di beberapa kawasan di Irak.
Keempat: memberi Marwan bin Hakam uang 100 ribu dan lain
sebagainya. Kelima: Usman sering mengkritik beberapa
sahabat Nabi (Lih. Tarikh al-Islam, adz-Dzahabi,juz 1/440, al-
Maktabah Syamilah) Sahabat Usman telah berusaha
mengklarifikasi tuduhan tuduhan tersebut, tapi kecurigaan
dan hasutan telah demikian besar dalam tubuh pembangkang
(kaum revolusioner), mereka mengepung rumah sahabat
Usman dan membunuhnya. Terbunuhnya sahabat Usman
inilah yang menjadi pemicu besar bagi munculnya kelompok
kelompok dalam Islam. Sahabat Ali juga akhirnya terbunuh.
Dan banyak lagi para sahabat yang terbunuh dalam
peperangan antar umat Islam sendiri. Dalam pandangan
penulis, setidaknya ada dua sebab signifikan yang menjadi
pangkal perpecahan umat Islam pada masa lalu. Pertama :

52
karena faktor politik. Kedua : Pemahaman terhadap teks
keagamaan.
Faktor Politik
Perpecahan dalam tubuh umat Islam ada yang
disebabkan oleh unsur politik. Sebagai contoh adalah
munculnya kaum syi'ah. Kemunculan kelompok ini jelas
diwarnai oleh latar belakang politik. Kemelut yang terjadi
setelah terbunuhnya sahabat Usman, yang berkembang
menjadi perang Shiffin antara Sahabat Ali dan Mu'awiyah.
Pada saat itu muncullah kaum Khawarij yang tidak setuju
dengan pembentukan majlis Arbitrase untuk menengahi
kedua kelompok tersebut. Mereka menyempal dari dua
kekuatan besar tersebut. Pada tahap selanjutnya kelompok
yang membela sahabat Ali dalam perang Shiffin akhirnya
menjelma menjadi sebuah kelompok yang sangat loyal
terhadap sahabat Ali. Tingkat loyalitas mereka berbeda antara
satu dengan lainnya. Ada yang berlebihan seperti sekte yang
melebih lebihkan sahabat Ali dari yang semestinya, dengan
menuhankannya, atau yang sekedar melebihkan sahabat Ali
dari yang lain sebagaimana sekte "Zaidiyah", walaupun
mereka masih bisa menerima kedua khalifah sebelum sahabat
Ali yaitu Abu Bakar dan Umar. Dan ada yang mempunyai
sikap yang tidak bersahabat dengan sebagian sahabat Nabi
karena dianggap tidak loyal kepada sahabat Ali. Sebagaimana
sekte Imamiyyah atau Itsna 'Asyariyyah. Mereka meyakini
bahwa kepemimpinan umat islam setelah Nabi adalah ada
ditangan sahabat Ali kemudian imam imam mereka yang
ma'shum yang merupakan keturunan sahabat Ali. Disamping
itu ada lagi keyakinan yang diusung oleh kelompok ini yang
menjadi basis kepercayaan mereka seperti : Taqiyyah atau
berpura pura terhadap penguasa, bolehnya nikah Mut'ah, dan
lain sebagainya.

53
Sekte Syi'ah dengan kelompok kelompok sempalannya
telah muncul dalam pentas sejarah umat Islam dan mewarnai
kehidupan umat Islam hingga dewasa ini. Kaum Syi'ah
mempunyai sandaran sendiri dalam memahami ajaran agama
Islam. Mereka mempercayai Al-Qur'an dan hadis hadis Nabi,
tapi mereka hanya mempercayai hadis yang diriwayatkan
oleh ulama mereka. Mengarahkan teks teks keagamaan agar
sesuai dengan keyakinan mereka yang telah mereka bangun
sebelumnya berdasarkan proses dinamika politik pada masa
lalu.
Pemahaman Teks Keagamaan.
Ada juga kelompok dalam umat Islam yang tidak ada
sangkut pautnya dengan perpolitikan, tapi mempunyai
pemahaman keagamaan yang berbeda dengan mayoritas
umat Islam. Hal ini bisa terlihat dari pemahaman kaum
Mu'tazilah yang mendahulukan rasio dari nash. Mu'tazilah
dalam memahami teks keagamaan sangat terpengaruh oleh
filsafat Yunani. Mereka mendudukan akal dalam kedudukan
yang tinggi, bahkan kadangkala sejajar dengan wahyu. Ada
lima pilar yang menjadi landasan kaum Mu'tazilah yaitu :
Tauhid, Keadilan, Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Manzilah baina
Manzilatain, Janji dan Ancaman. Lima pilar ini dalam
penjelasannya disesuaikan dengan pemahaman mereka yang
telah mereka bangun sebelumnya yang berdasarkan rasio
yang berbeda dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jama'ah.
Sebagai contoh : 1) mereka tidak mengakui adanya sifat sifat
Allah, karena jika Allah mempunyai sifat maka berarti sesuai
dengan makhlukNya, sementara Allah tidak sama dengan
makhlukNya dari semua segi. 2) mereka akan menakwili teks-
teks yang kelihatannya bertentangan dengan keyakinan
mereka. 3)mereka tidak percaya terhadap Qadla' dan Qadar,
karena berarti Allah menjadikan manusia seperti robot.

54
4)mereka meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat di surga,
sebab jika bisa dilihat, berarti Allah menempati tempat dan
berupa benda. Hal ini serupa dengan makhluk. 5)mereka juga
meyakini bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan sesuatu yang
hadis (baru). Sebab jika Al-Qur'an adalah "Kalam Qadim",
kenapa ada cerita tentang kehidupan pada masa Nabi, seperti
perang Badar, Uhud dan lain sebagainya. Pemahaman
keagamaan yang diyakini oleh kelompok Mu'tazilah inilah
yang menyebabkan timbulnya perpecahan dalam tubuh umat
Islam.
Kelompok Mu'tazilah telah berperan dalam sejarah dan
menjadi kelompok yang disokong penuh oleh beberapa
Khalifah Abbasiyyah pada abad ketiga hijriyah, seperti al-
Ma'mun. Mereka mencoba memaksakan keyakinan mereka,
terutama tentang keberadaan Al-Qur'an sebagai "kalamullah
yang Hadis" melalui kekuasaan. Yang tidak setuju harus
berhadapan dengan pengadilan. inilah sejarah kelabu umat
Islam saat itu.
Disamping kaum Mu'tazilah yang tidak mempunyai
latar belakang politik tapi mempunyai latar belakang
pemahaman keagamaan yang berbeda dengan kaum
Ahlussunnah wal Jama'ah adalah kelompok Ahmadiyah,
pengikut Mirza Gulam Ahmad al-Qadiyani (1839-1908) yang
meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi.
Bahkan dialah yang dimaksud dengan al-Masih al-mau'ud
atau Isa al-Masih yang dijanjikan turun di akhir zaman. Nabi
Muhammad bukanlah Nabi terakhir.
Ada lagi kelompok yang disebut kaum Baha'i yaitu
kelompok yang muncul ke pentas sejarah pada abad ke 19.
Kelompok ini didirikan oleh Ali Muhammad Ridla Syairazi
(1819-1849). Mereka meyakini bahwa Imam mereka Mirza Ali

55
yang dijuluki al-Bab, adalah penyebab awal dari munculnya
alam semesta. Mereka meyakini akidah "Hulul dan Ittihad"
atau manunggaling kaula gusti. Mereka meyakini reinkarnasi.
Mendewakan angka "19". Mengingkari bahwa Nabi
Muhammad adalah nabi terakhir, dan lain sebagainya. Masih
banyak lagi kelompok sempalan dalam tubuh umat islam
yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan apa yang
diyakini oleh mayoritas kaum muslimin di dunia saat ini.
Memahami teks keagamaan memang tidak bisa
sepotong sepotong, tapi harus utuh, yaitu dengan melihat teks
Al-Qur'an, Hadis, pandangan para sahabat, Tabi'in, dan para
ulama ahli ijtihad. Yang fatal adalah jika seseorang
mempunyai kecenderungan berfikir terlebih dahulu
kemudian mencari justifikasi dari teks keagamaan, secara
sembrono. Kemudian memaksakan kehendaknya dengan
berbagai macam cara.
Ahlussunnah dalam Berakidah dan Berpolitik/ Sosial
Istilah Ahlussunnah ditujukan kepada mereka yang
setia mengikuti sunnah Nabi Muhammad, dalam segala
seginya, dan mengikuti secara konsisten, jejak para pendahulu
kaum muslimin seperti para sahabat, tabi'in dan generasi
penerus yang mengikuti jejak mereka, baik dari segi akidah,
mu'amalah dan akhlak. Dalam hal ini Imam Abu al-Hasan al-
Asy'ari berkata :
Artinya:
“Keyakinan kami, adalah berpegang teguh dengan Al-Qur'an,
Hadis”, H.R. para sahabat, Tabi'in, para Imam Ahli Hadis”.
Dalam perspektif Ahlussunnah, merekalah yang
dimaksud oleh Nabi dalam sabdanya :

56
Artinya:
“Ada sekelompok umatku yang terus berpegang teguh dengan
kebenaran. Tidak berarti bagi mereka orang yang menghinakan
mereka, sampai datang hari kiamat”.
Imam Nawawi dalam mengomentari hadis ini berkata
bahwa kelompok ini menyebar ke berbagai kelompok umat
Islam yang terdiri dari kaum mujahidin, ahli hadis, ahli fikih,
kaum sufi dan lainnya. Mereka tidak mesti mengumpul dalam
satu kelompok saja, tapi menyebar ke berbagai kalangan
kaum muslim.
Perlu penulis kemukakan disini bahwa istilah yang
dipergunakan oleh para ulama bukan "ahlul Qur'an" tapi
istilah "ahlussunnah wal Jama'ah". Istilah terakhir ini
digunakan untuk menentukan siapa golongan yang lebih
cenderung dekat dengan praktik (hidayah) keislaman yang
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Untuk mengetahui
hal tersebut seseorang bisa membandingkan antara pemikiran
kelompok kelompok tersebut dengan hadis Nabi yang telah
sampai kepada kaum Muslimin. Sunnah Nabi dan para
sahabatnya adalah penjelas dari apa yang ada dalam Al-
Qur'an. berbeda dengan Al-Qur'an dimana redaksinya sangat
lentur untuk dipergunakan oleh golongan manapun untuk
menjustifikasi keyakinan mereka masing masing. Dari sini
bisa diketahui bahwa istilah Ahlussunnah tidak muncul pada
masa Nabi, walaupun ada ungkapan yang mengarah kepada
istilah ini, tapi muncul belakangan, persisnya setelah
munculnya banyak ideologi atau keyakinan atau pemikiran
yang tidak sama dengan apa yang diyakini oleh mayoritas
umat Islam pada saat itu. Ibnu Sirin berkata :

57
Artinya:
“Pada mulanya, mereka (tabi'in) tidak bertanya tentang perawi
hadis (sanad), kemudian setelah terjadi "fitnah" mereka berkata :
sebutkan nama perawi perawimu. Lalu dilihatlah orang orang dari
kalangan "ahlussunnah", maka diterimalah periwayatan mereka.
Dan dilihat orang orang dari pembikin bid'ah, periwayatan mereka
ditolak.
Dari perkataan Ibn Sirin diatas bisa diambil pengertian
bahwa istilah "Ahlussunnah" muncul belakangan yaitu pada
saat terjadi krisis yang menimpa umat Islam seperti krisis
terbunuhnya sahabat Usman yang menyebabkan terpecahnya
umat Islam menjadi beberapa kelompok, atau terbunuhnya
Abdullah bin Zubair oleh Hajjaj bin Yusuf. Setelah terjadi
krisis politik tersebut, maka muncul luapan pemikiran dari
masing masing kelompok, setiap kelompok akan mencari
pembenarannya dari Al-Qur'an atau Hadis, bahkan jika
diperlukan akan membikin hadis palsu. Untuk menentukan
siapa yang paling mendekati dengan perkataan Nabi : "Ma ana
'alaihi wa ashhabi" maka sunnah Nabi yang betul betul
mempunyai kredibilitas yang tinggi dan didukung oleh
perilaku para sahabatlah yang bisa menjadi barometer.
Pandangan Ahlussunnah dalam Masalah Akidah dan Politik
Sebelum penulis mengemukakan pendangan
Ahlussunnah dalam persoalan Akidah dan Politik, perlu
penulis kemukakan bahwa apa yang dikemukakan oleh para
ulama dan penulis yang menjelaskan tentang sikap
Alussunnah wal jama'ah, adalah sebagai reaksi atas
munculnya paham baru dalam satu mas'alah, terutama
mas'alah dasar dasar agama Islam, yang berbeda dengan
pandangan mayoritas para ulama. Oleh karena itu pemaparan
tentang identitas Ahlussunnah wal Jama'ah adalah terkait

58
dengan mas'alah yang berbeda tersebut. Namun secara garis
besar, dasar dasar keyakinan Ahlussunah wal Jama'ah adalah
berpegang dengan Al-Qur'an dan Hadis Nabawi yang sahih,
dan ijma' atau kesepakatan para sahabat Nabi. Al-Qur'an
yang dimaksud adalah Al-Qur'an yang ditulis pada masa
Usman bin Affan yang telah disepakati oleh para sahabat,
yang selanjutnya disampaikan melalui "talaqqi syafahi"
kepada para ahli Al-Qur'an sampai saat ini. Hadis yang
dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi
yang "tsiqah" untuk ukuran muhaddisin, yang tidak masuk
dalam kelompok "ahli bid'ah".
Untuk lebih jelasnya dibawah ini penulis akan
menjelaskan tentang beberapa persoalan yang membedakan
antara pandangan ahlussunnah dan lainnya.
a. Dalam Mas'alah Akidah :
Dalam mas'alah akidah mempercayai rukun Islam yang
lima yaitu mengucapkan syahadatain, melaksanakan salat,
zakat, puasa dan haji. Dan mempercayai rukun iman yang
enam yaitu : beriman kepada Allah, Malaikat malaikatNya,
Para Nabi. Kitab suci, Hari akhir. Qadla dan Qadar.
Dalam mas'alah keimanan ini ada beberapa catatan yang
perlu dikemukakan disini: Pertama: Sifat Allah. Dalam
pandangan Ahlussunnah, Allah adalah Zat yang wajib al-
wujud, yang satu, Esa, mempunyai Nama dan Sifat, yang
secara hakiki berbeda dengan makhlukNya. Sifat Allah ada
yang berupa sifat Zat dan sifat Fi'il. Sifat Zat adalah sifat yang
terkait dengan Zat Allah seperti sifat Wajh (muka), Yadain
(dua Tangan), Qabdlah (genggaman), ridla, mahabbah, farah
(gembira), ghadlab (benci) dan lain sebagainya. Para ulama
sunni berbeda pendapat tentang sifat Zat ini. Ulama salaf
menetapkan semua sifat Allah yang ada dalam Al-Qur'an dan

59
Hadis apa adanya, tanpa takwil, sesuai dengan apa yang
dikehendaki Allah, dengan tetap mensucikanNya dari sifat
sifat yang tercela. Sementara ulama khalaf menggunakan
takwil terhadap sifat sifat Allah, terutama jika ada ungkapan
bahasa arab yang tidak dikehendaki arti lahir. Tujuannya juga
untuk mensucikan Allah dari sifat sifat yang tidak layak
bagiNya.
Pandangan kaum sunni diatas berbeda dengan
pandangan kaum Mu'tazilah yang hanya mengisbatkan Nama
bagi Allah, tapi mereka menafikan sifat sifatNya. Alasan
mereka jika Allah mempunyai Sifat, maka menurut mereka,
Allah sama dengan makhluk-Nya. Sudah tentu pandangan
Mu'tazilah ini tidak sesuai dengan Al-Qur'an yang
menetapkan adanya sifat bagi Allah seperti sifat Sami', Bashir,
dan lain sebagainya.
Perdebatan tentang sifat sifat Allah ini tidak pernah ada
habis habisnya, dari dahulu sampai sekarang. Banyak energi
yang terkuras, ribuan buku telah terbit. Semuanya masih tetap
pada pendirian semula. Padahal agenda umat Islam sangat
banyak. Inilah yang perlu difikirkan bersama.
Kedua: Nabi Muhammad Nabi Terakhir
Tentang keimanan kepada Nabi-nabi, kaum sunni
meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, tidak
ada lagi Nabi setelahnya. Karena jika masih ada Nabi setelah
Nabi Muhammad, berarti agama Islam belum sempurna,
padahal Islam sudah sempurna. Nabi bersabda :
Artinya:
“Nabi berkata: kenabian sudah tidak ada lagi kecuali hal hal yang
menyenangkan. Sahabat bertanya: apakah hal yang menyenangkan
itu wahai Rasul ? jawab Nabi : mimpi yang baik”. (H. R. Bukhari
dari Abu Hurairah).

60
Maksud dari hadis diatas adalah bahwa wahyu dari
langit sudah tidak akan turun lagi. Jika masih ada Nabi setelah
Nabi Muhammad berarti wahyu masih turun lagi.
Pandangan Ahlussunnah diatas berbeda dengan
pandangan kaum Ahmadiyah yang meyakini bahwa pintu
kenabian masih terbuka walaupun tidak membawa syari'at.
Mereka meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah
seorang nabi bahkan merupakan al-Masih al-Mau'ud (Nabi
saw yang dijanjikan turun sebelum hari kiamat).
Ketiga: Al-Qur'an
Kaum sunni mempercayai bahwa Al-Qur'an adalah
Kalamullah (Firman Allah), bukan makhluk. Kalamullah
adalah sifatNya. Allah bisa berkata kapan saja, dimana saja,
dengan cara yang dikehendakiNya. Diantara kaum sunni,
seperti al-Maturidi dan Asy'ari, kalamullah adalah kalam nafsi
(kata hati), tidak berupa huruf, dan tidak bersuara. Seperti
seorang yang berkata sesuatu, sebelum dia berkata dalam
hatinya sudah ada suatu perasaan yang kalau diungkapkan
akan keluar kata kata tersebut. Sementara kaum Mu'tazilah
mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, Hadis (baru),
karena bisa dibaca, ada huruf dan suara, cerita yang ada
didalamnya berkaitan dengan peristiwa yang baru.
Keempat: Qadla - Qadar dan Perbuatan (kasb) manusia
Kaum sunni mempercayai adanya Qadla' dan Qadar
sesuai dengan hadis Nabi dan dari beberapa ayat Al-Qur'an.
yaitu bahwa semua yang terjadi di dunia ini sesuai dengan
apa yang sudah ditentukan oleh Allah pada zaman azali di
lauh mahfuzh. Betapapaun demikian manusia harus tetap
berusaha. Manusia adalah makhluk yang mempunyai pilihan.
Jika dia melakukan sesuatu maka hal itu karena kehendak
Allah juga. Jika tidak ada kehendak Allah maka dia tidak akan

61
bisa melakukan apa yang dia kehendaki. Dia tidak boleh
mengalamatkan semua tindakannya atas nama Qadla' dan
Qadar. Hal ini berbeda dengan kaum Mu'tazilah yang
meniadakan Qadla dan Qadar. Manusia kata Mu'tazilah
menciptakan perbuatan mereka sendiri. Tidak ada campur
tangan Allah. Sementara kaum Jabariyah meniadakan kasb
(usaha) manusia. Manusia bagaikan robot, daun yang tertiup
angin, tak mempunyai pilihan dalam menjalankan
kehidupannya.
Kelima : Bertambah dan berkurangnya Iman
Kaum sunni meyakini bahwa keimanan seseorang bisa
bertambah jika taat kepada Allah dan bisa berkurang jika
bermaksiat kepadaNya. Sesuai dengan firman Allah:
Sementara kaum Murji'ah mengatakan bahwa
kemaksiatan tidak akan mempengaruhi keimanan seseorang.
Keenam: Pendosa Besar
Kaum sunni memandang bahwa "pendosa besar" adalah
masih tetap menjadi muslim, selama dia tidak menganggap
halal terhadap dosa yang dilakukannya, hanya saja kadar
keimanannya telah berkurang. Imam Abul Hasan Asy'ari
berkata :
Hal ini berbeda dengan Mu'tazilah yang memasukkan
"pendosa besar" sebagai orang yang tidak beriman, tapi tidak
kafir. Dia diantara dua manzilah (manzilah bainal
manzilatain". Sementara kaum khawarij memandangnya
sebagai orang kafir. Sedangkan kaum "murji'ah" memandang
bahwa "pendosa besar" imannya masih tetap utuh.
Ketujuh: Allah Bisa Dilihat di Akhirat
Inilah keyakinan kaum sunni. Hal ini sesuai dengan
sabda Nabi sendiri :

62
Artinya:
“Ingat, sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana
kamu melihat ini (bulan purnama), kamu tidak tertutup dalam
melihatNya atau tidak ragu lagi melihatNya”.
Sementara kaum Mu'tazilah mengingkari hal tersebut,
dengan alasan : jika Allah bisa dilihat, maka berarti Allah
menempati ruang dan waktu, padahal hal itu mustahil
bagiNya. Dengan demikian Mu'tazilah lebih mendahulukan
logika daripada Hadis Nabi.
Kedelapan: Kaum Sunni Beriman terhadap Hari Akhir
Termasuk didalamnya, adanya siksa kubur, adanya
mungkar nakir, adanya syafa'at di hari kiamat, ada
timbangan, mahsyar, telaganya Nabi Muhammad, sorga dan
neraka, dan semua pengabaran tentang hari akhirat
sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis.
Masalah Politik :
Ahlussunnah mempunyai pandangan yang moderat
dalam kehidupan berpolitik dan kehidupan sosial.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama: Khilafah
Dalam hal khilafah. Kalangan sunni memandang
mas'alah khilafah adalah persoalan kemasyarakatan yang bisa
di musyawarahkan bersama, siapa yang bisa dijadikan
khalifah, dan bagaimana bentuk suatu pemerintahan. Apa
yang terjadi pada pergantian kepemimpinan pada masa
Khulafa' Rasyidin, semuanya didasarkan asal keputusan
musyawarah bersama. Nabi sendiri sebelum meninggal tidak
menunjuk Abu Bakar sebagai penggantinya. Sebab jika hal itu
terjadi, akan menjadi preseden buruk bagi sistim "syura" yang
telah dicanangkan dalam Al-Qur'an. Hal ini berbeda dengan

63
kaum syi'ah yang mengatakan bahwa persoalan
kepemimpinan politik adalah berdasarkan penentuan dari
Allah (nash) kepada Nabi dan bersifat turun temurun.
Kedua : Kepemimpinan Khulafa' Rasyidin.
Khulafa Rasyidin yakni kepemipinan Abu Bakar, Umar,
Usman dan Ali adalah periode yang terbaik setelah masa
Nabi. Kepemimpinan Abu Bakar sah dan syar'i begitu juga
khilafah setelahnya. Perilaku keempat pemimpin tersebut bisa
dijadikan panutan sebagaimana sabda nabi. Banyak hadis
hadis yang memuji keempat khalifah diatas. Hal ini berbeda
dengan kaum Syi'ah , terutama Syi'ah Imamiyah, Itsna
'Asyariyah, atau Isma'iliyah, yang mengatakan bahwa Abu
Bakar menyerobot kepemimpinan sahabat Ali. Bahkan lebih
dari itu kedua sahabat tersebut dikatakan sebagai orang yang
sesat. Sahabat Ali lah yang mestinya menjadi khalifah,
kemudian dilanjutkan oleh anak cucunya. Ali, menurut Sy'iah
adalah imam yang ma'shum (terjaga dari melakukan dosa),
bahkan lebih baik dari para Nabi kecuali Nabi Muhammad.
Sementara kaum Khawarij mengatakan bahwa Ali
mengkafirkannya.
Ketiga : Khuruj 'alal Imam
Kaum sunni memandang haramnya memberontak
kepada kepemimpinan umat yang sah, karena akan
mengakibatkan kerusakan yang fatal di tubuh umat, kecuali
jika pemimpin tersebut sudah tidak lagi mau menegakkan
salat terhadap umatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi :
Artinya :
“Nabi bersabda: akan ada pemimpin pemimpin, yang kulitmu
menjadi lunak (tidak tegang), hatimu menjadi tenang, dan akan ada
pemimpin yang hatimu menjadi takut dan kulitmu menjadi tegang.
Sahabat bertanya : apakah boleh kami memerangi mereka ? Nabi

64
menjawab: tidak boleh, selama mereka (pemimpin pemimpin
tersebut) masih menegakkan salat”. (HR. Ahmad)
Semua rakyat harus tunduk kepada pemimpinnya
selama tidak mengajak kepada kemaksiatan. Sahabat Ali
memerangi kaum khawarij, bukan karena mereka kafir, tapi
karena mereka dianggap membangkang (bughat) terhadap
pemerintahan yang sah, perusak tatanan masyarakat. Hal ini
berbeda dengan kaum khawarij yang memberontak kepada
Ali hanya karena setuju dengan arbitrase dua orang dari
pihaknya dan dari pihak Mu'awiyah. Mereka menganggap
bahwa hal itu sama dengan memberikan tahkim kepada
manusia, padahal tahkim –kata mereka hanya kepada Allah.
Pada saat kepemimpinan beralih dari sistim
musyawarah seperti yang terjadi pada masa "Khulafa'
Rasyidin" menuju kepada sistim "monarchi" seperti pada masa
"Bani Umayah" dan setelahnya, para ulama membiarkannya.
Sebab pemberontakan akan menyebabkan mafsadah yang
lebih besar. Dari sisi lain, pemerintahan Bani Umayah
mempunyai peranan yang besar dalam melakukan ekspansi
da'wah pada masa itu.
Keempat: Sistim Pemerintahan
Kaum sunni memandang bahwa sistim kekhalifahan
adalah instrumen dalam bernegara, tapi bukan satu satunya.
Jika ada sistim lain seperti republik, monarchi, parlementer,
atau lainnya, maka bisa diterima. Yang terpenting adalah
bagaimana mengisi negara dengan nilai nilai keislaman, yaitu
santun dan berakhlak/bermoral. Pada saat sistim
pemerintahan umat Islam beralih dari sistim khilafah ke sistim
negara bangsa, kaum sunni tidak menolak, walaupun ada
gagasan "Pan Islamisme" oleh Jamaludin al-Afghani. Pada saat
ini sistim pemerintahan di negara negara Islam berbeda-beda.

65
Ada yang berbentuk monarchi seperti di Saudi Arabia,
Marokko, Yordan dan lain lainnya. Ada yang berbentuk
Republik seperti kebanyakan negara Islam. Ulama
Ahlussunnah tidak mempersoalkan bentuk negara karena hal
itu sebagai wasilah saja bukan ghayah (tujuan).
Kelima: Perbedaan Agama
Kaum sunni memandang bahwa perbedaan agama
diantara masyarakat adalah suatu keniscayaan, yang tidak
bisa dielakkan. Adanya perbedaan agama, dan lainnya bukan
untuk saling bermusuhan, tapi untuk saling memahami,
saling mengenal (ta'aruf) kemudian bekerjasama dalam
menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dengan tetap
melakukan da'wah dengan bijak dan tanpa paksaan. Kaum
sunni melihat sahabat Umar pada waktu memasuki Palestina,
beliau tidak membongkar gereja yang ada disana, bahkan
membiarkannya.
Keenam: Amar Ma'ruf-Nahi Munkar
Kaum sunni memandang bahwa "amar ma'ruf – nahi
mungkar" harus ditempatkan pada bidangnya yang pas.
Tidak boleh gegabah. Harus bertahap dan bijak. Jika tidak,
akan berakibat fatal bagi kehidupan umat Islam. Amar ma'ruf
harus lebih didahulukan dari Nahi munkar, dan dilakukan
dengan cara yang bijak. Mencegah kemungkaran jika bisa
menghilangkan kemungkaran tersebut atau meminimalisir-
nya, maka hal itu perlu dilakukan. Tapi jika menambah
kemungkaran atau tidak ada faedahnya sama sekali, maka tak
ada gunanya lagi melakukan hal tersebut. (Lih. I'lam al-
Muwaqqi'in, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah).
Ketujuh: Bolehnya Berma'mum dibelakang Imam yang Zalim
Kaum sunni membolehkan berma'mum dibelakang
Imam yang zalim, banyak bermaksiat. Ibn Umar pernah salat

66
dibelakang Hajjaj bin Yusuf, seorang yang banyak membunuh
kaum muslim dimasanya, karena kasus politik. Abul Hasan
Asy'ari berkata :
Artinya:
”Keyakinan kami adalah kami boleh melakukan salat, jum'at, hari
raya, salat salat lainnya, dibelakang Imam yang saleh dan yang
zalim”. Diriwayatkan bahwa sahabat Ibn Umar salat dibelakang
Hajjaj bin Yusuf.
Hal ini menunjukkan bahwa persatuan sesama umat
Islam harus didahulukan. Adanya pimpinan yang zalim tidak
serta merta berbuat "mufaraqah" atau bersikap oposan.
Kedelapan : Kewajiban Mensalati Setiap Mayit yang Muslim
Kaum sunni berpendapat demikian, walaupun si mayit
tersebut orang pendosa besar, zalim dan lain sebagainya. Dia
masih tetap menjadi orang Islam. Imam Asy'ari berkata :
Artinya:
”Kami meyakini untuk melakukan salat mayit terhadap setiap orang
Islam (ahlul qiblah), baik yang saleh maupun yang lacur, dan
mereka masih bisa saling waris mewarisi”.
Hal ini menunjukkan bahwa ahlussunnah memandang
baik terhadap sesama umat Islam, tidak mudah mengkafirkan.
Penutup
Dari pemaparan diatas, jelaslah bahwa Ahlussunnah wal
Jama'ah, mempunyai pandangan yang moderat dalam
berbagai macam segi baik yang berkaitan dengan akidah,
politik maupun dalam sosial kemasyarakatan. Sangat wajar
bahwa pengikut Ahlussunnah wal Jama'ah merupakan
mayoritas umat Islam di dunia saat ini, karena ajarannya
bersandar kepada dua sumber utama yang disepakati oleh

67
seluruh umat Islam yaitu Al-Qur'an dan Hadis Nabi. Ulama
terkemuka umat Islam dalam berbagai bidang, seperti Hadis,
Fikih, Tasawuf, Nahwu/Sharaf, Balaghah, sampai yang
menggeluti ilmu umum, adalah mayoritas sunni. Ajaran sunni
juga bisa diterima oleh orang awam sekalipun, karena
rasional, tidak eksklusif, manusiawi, moderat, tasamuh,
tawazun, ta'adul. Sikap keras terhadap lawan, mau menang
sendiri, mudah mengkafirkan orang lain, adalah bukan watak
kaum sunni.
Penulis juga melihat bahwa adanya kelompok kelompok
dalam tubuh kaum muslimin, adalah karena sebab sebab
tertentu yang telah diketahui bersama. Hal itu sudah berlalu.
Perpecahan akan melemahkan sendi sendi kekuatan kaum
muslimin. Walaupun umat Islam pada saat ini mayoritas, tapi
dalam percaturan dunia tidak memberikan sumbangan yang
signifikan, baik dalam sektor ekonomi, ilmu pengetahuan,
bahkan menjadi beban bagi bangsa lain. Mereka banyak yang
masih dililit kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, masih
terpecah belah, banyak memikirkan diri sendiri sendiri. Kaum
muslimin tidak perlu lagi melihat kebelakang, yaitu
membicarakan hal hal yang menjadikan mereka menguras
banyak sekali energi, memperdebatkan hal hal yang sudah
menjadi bagian masa lalu. Banyak hal yang tidak lagi
signifikan dibicarakan pada masa kini. Kaum muslimin perlu
melihat kedepan, bagaimana mengangkat harakat umat Islam
dalam percaturan kehidupan dunia, yaitu dengan bersatu
padu, bersama sama menggali potensi sumberdaya manusia,
mengembangkan semua keilmuan yang dibutuhkan oleh
manusia saat ini, dengan tetap menjaga nilai nilai Islam yang
damai, sejuk, manusiawi, moderat, agar Islam betul betul
menjadi agama yang Rahmatan lil 'alamin.

68
DAFTAR PUSTAKA

Shahih al-Bukhari.
Abul Hasan al-Asy'ari. Al-Ibanah 'an Ushul ad-Diyanah, al-
Maktabah asy-Syamilah.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. I'lam al-Muwaqqi'in.
Sa'id bin Ali al-Qahthani, Bayan Aqidah Ahlissunnah wal
Jama'ah,. (al-Maktabah asy-Syamilah).

69
70
KONSEP WASATHIYAH
5 DALAM ISLAM
Oleh: Dr. H. Mukhlis Hanafi, MA 30

Pendahuluan

I
slam dan umat Islam saat ini menghadapi paling tidak
dua tantanga: pertama, kecenderungan sebagian
kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrim dan ketat
dalam memahami hukum-hukum agama dan mencoba
memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat Muslim,
bahkan dalam beberapa hal dengan menggunakan kekerasan.
Kedua, kecenderungan lain yang juga ekstrim dengan
bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku
serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan
peradaban lain. Kecenderungan pertama boleh jadi lahir
karena melihat kenyataan Islam dan umat Islam saat ini yang
berada dalam kemunduran dan keterbelakangan di segala
bidang. Karena itu untuk meraih kebangkitan dan kejayaan
seperti yang pernah dicapai generasi terdahulu dapat
dilakukan dengan cara kembali kepada tradisi generasi
terdahulu (al-salaf al-shâlih). Dalam upayanya itu mereka
mengutip teks-teks keagamaan (Al-Qur`an dan hadis) dan
karya-karya ulama klasik (turâts) sebagai landasan dan
kerangka pemikiran, tetapi dengan memahaminya secara
tekstual dan terlepas dari konteks kesejarahan. Sehingga tak
ayal mereka tampak seperti “generasi yang terlambat lahir”,
sebab hidup di tengah masyarakat modern dengan cara
berpikir generasi terdahulu. Mereka tidak sadar bahwa zaman

30 Kepala Bidang Pengakajian Al-Qur’an Lajnah Pentashihan Mushaf Al-

Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

71
selalu berkembang dan telah berubah. Islam pun tampak
sebagai ajaran yang eksklusif, jumud dan tidak bisa sejalan
dengan modernitas. Di sisi lain, semangat untuk
mengedepankan Islam sebagai agama yang selalu sejalan
dengan perkembangan ruang dan waktu telah mendorong
sejumlah kalangan untuk mengimpor berbagai pandangan
dan pemikiran dari budaya dan peradaban asing yang saat ini
didominasi oleh pandangan materialistik. Bahkan tidak jarang
dilakukan dengan mengorbankan teks-teks keagamaan
melalui penafsiran kontekstual.
Kedua sikap di atas tidak menguntungkan Islam dan
umat Islam. Kecenderungan pertama telah memberikan citra
negatif kepada Islam dan umat Islam sebagai agama dan
komunitas masyarakat yang eksklusif dan mengajarkan
kekerasan dalam dakwahnya. Sementara kecenderungan
kedua telah mengakibatkan Islam kehilangan jati dirinya
karena lebur dan larut dalam budaya dan peradaban lain.
Yang pertama terlalu ketat bahkan cenderung menutup diri
dalam sikap keberagamaan, dan yang kedua terlalu longgar
dan terbuka sehingga mengaburkan esensi ajaran agama itu
sendiri. Kedua sikap ini tentu bertentangan dengan
karakteristik umat Islam yang dalam QS. Al-Baqarah : 143
disebut sebagai ummatan wasathan dengan pengertian
tengahan, moderat, adil dan terbaik. Sifat wasath ini diperoleh
karena ajaran yang dianutnya bercirikan wasathiyyah. Karakter
dasar ajaran Islam yang moderat saat ini tertutupi oleh ulah
sebagian kalangan umatnya yang bersikap radikal di satu sisi
dan liberal di sisi lain. Kedua sisi ini tentu berjauhan dengan
titik tengah (wasath). Mungkin ada benarnya ungkapan
sementara kalangan yang menyatakan Islam tertutupi oleh
umat Islam (al-Islâm mahjûbun bil Muslimîn).

72
Pengertian
Secara bahasa al-wastahiyyah berasal dari kata wasath
yang memiliki makna yang berkisar pada adil, baik, tengah
dan seimbang31. Seseorang yang adil akan berada di tengah
dan menjaga keseimbangan dalam menghadapi dua keadaan.
Bagian tengah dari kedua ujung sesuatu dalam bahasa Arab
disebut wasath. Kata ini mengandung makna baik seperti
dalam ungkapan “sebaik-sebaik urusan adalah awsathuha
(yang pertengahan)” karena yang berada di tengah akan
terlindungi dari cela atau aib yang biasanya mengenai bagian
ujung atau pinggir. Kebanyakan sifat-sifat baik adalah
pertengahan antara dua sifat buruk, seperti sifat berani yang
menengahi antara takut dan sembrono, dermawan yang
menengahi antara kikir dan boros dan lainnya. Pandangan ini
dikuatkan oleh ungkapan Aristoteles yang mengatakan, “sifat
keutamaan adalah pertengahan di antara dua sifat tercela”32.
Begitu melekatnya kata wasath dengan kebaikan sehingga
pelaku kebaikan itu sendiri dinamai juga wasath dengan
pengertian orang yang baik. Karena itu ia selalu adil dalam
memberi keputusan dan kesaksian33. Dalam QS. Al-Baqarah :
143 umat Islam disebut ummatan wasathan karena mereka
adalah umat yang akan menjadi saksi dan atau disaksikan
oleh seluruh umat manusia sehingga harus adil agar bisa
diterima kesaksiannya. Atau harus baik dan berada di tengah
karena mereka akan disaksikan oleh seluruh umat manusia.
Tafsir kata wasath pada ayat tersebut dengan adil
diriwayatkan oleh Abu Sa`id al-Khudri dari Rasulullah SAW.
Dari kata ini pula lahir kata wasit dalam bahasa Indonesia

31Ibnu Faris, Mu`jam Maqâyîs al-Lughah, 1/522


32Yusuf al-Qaradhawi, Al-Kahashâ`ish al-Âmmah li al-Islâm (Kairo : Maktabah
Wahbah, Cet. IV, 1996), h. 121
33 Muhammad Ali Al-Najjar, Mu`jam Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm (Kairo :

Majma` al-Lughah al-Arabiyyah, 1996), 6/248

73
yang bermakna ;1) penengah; perantara (dagang dsb); 2)
penentu; pemimpin (dalam pertandingan sepakbola, bola voli
dsb); 3) pemisah; pelerai (antara yang berselisih dsb)34.
Dalam al-Qur`an kata wasath dan derivasinya disebut
sebanyak lima kali dengan pengertian yang sejalan dengan
makna di atas. Pakar tafsir Abu al-Su`ud menulis, kata wasath
pada mulanya menunjuk pada sesuatu yang menjadi titik
temu semua sisi seperti pusat lingkaran (tengah). Kemudian
berkembang maknanya menjadi sifat-sifat terpuji yang
dimiliki manusia karena sifat-sifat tersebut merupakan tengah
dari sifat-sifat tercela35. Demikian pula makna kata tersebut
dalam hadis. Pakar kosa kata hadis, Ibnu al-Atsir, ketika
menjelaskan hadis yang berbunyi “Khayru al-Umûri
Awsâthuha” menjelaskan bahwa setiap sifat terpuji memiliki
dua sisi (ujung) yang tercela. Sifat dermawan adalah
pertengahan antara kikir dan boros, berani pertengahan antara
takut dan sembrono. Manusia diperintah untuk menjauhi
segala sifat tercela yaitu dengan menjauhkan diri dari sifat
tersebut. Semakin jauh dari sifat tersebut maka dia akan
semakin terbebas dari sifat tercela itu. Posisi yang paling jauh
dari kedua sisi/ujung itu adalah tengahnya. Karena itu yang
berada di tengah akan terjauhkan dari sisi-sisi yang tercela36.
Dari pengertian di atas tampak bahwa kata wasath
(tengah) yang memiliki makna baik dan terpuji berlawanan
dengan kata pinggir (al-tharf) yang berkonotasi negative, sebab
yang berada di pinggir akan mudah tergelincir. Sikap
keberagamaan yang tawassuth (tengahan) berlawanan dengan
tatharruf (pinggiran/ berada di ujung), baik di ujung kiri
maupun kanan. Dalam bahasa Arab modern kata tatharruf

34 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2005).
h. 1270
35 Abu al-Su`ud, Irsyâd al-Aql al-Salîm, 1/123
36 Ibn al-Atsir, Al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wal Atsar, 5/399

74
berkonotasi makna radikal, ekstrim dan berlebihan. Kata
tatharruf yang menggambarkan sikap keberagamaan demikian
tidak ditemukan dalam Al-Qur`an maupun hadis. Sikap
seperti itu dalam al-Qur`an diungkapkan dengan kata al-
ghuluww seperti dalam firman-Nya :
Katakanlah: "Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan
(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan
yang lurus".
Kata ini digunakan sebanyak dua kali dalam al-Qur`an
dengan pengertian melampaui batas (mujâwazat al-hadd)37.
Makna ini juga digunakan dalam salah satu hadis Rasulullah
yang berbunyi :
“Wahai manusia, hindarilah sikap berlebihan (melampaui batas),
sebab umat-umat terdahulu binasa karena sikap melampaui batas
dalam beragama (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
Dalam hadis yang lain, sikap seperti itu disebut juga
dengan tanaththu`. Dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Abdullah Ibn Mas`ud, Rasulullah
mengingatkan bahwa mereka yang memiliki sifat tanaththu’
akan hancur atau binasa.
Mereka itulah yang berlebihan dan melampaui batas dalam ucapan
dan perbuatan.
Untuk mengetahui lebih jauh karakteristik tawassuth dan
tatharruf penulis akan uraikan dalam pembahasan berikut.

37 Mu`jam Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm, 4/295

75
Antara al-Wasathiyyah dan al-Ghuluww
Sebagai agama terakhir dan bersifat universal ajaran
Islam bercirikan wasathiyyah. Dalam buku strategi al-
wasathiyyah yang dikeluarkan oleh Kementerian Wakaf dan
Urusan Agama Islam Kuwait, al-wasathiyyah didefinisikan
sebagai sebuah metode berpikir, berinteraksi dan berperilaku
yang didasari atas sikap tawâzun (seimbang) dalam menyikapi
dua keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dianalisis
dan dibandingkan, sehingga dapat ditemukan sikap yang
sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat38. Dengan
pengertian ini sikap moderat akan melindungi seseorang dari
kecenderungan terjerumus pada sikap berlebihan. Ulama
terkemuka, Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan, al-wasathiyyah
dapat disebut juga dengan al-tawâzun, yaitu upaya menjaga
keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang
berlawanan atau bertolakbelakang, agar jangan sampai yang
satu mendominasi dan menegasikan yang lain. Sebagai contoh
dua sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan
materialisme, individualisme dan sosialisme, paham yang
realistik dan yang idealis, dan lainnya. Bersikap seimbang
dalam menyikapinya yaitu dengan memberi porsi yang adil
dan proporsional kepada masing-masing sisi/pihak tanpa
berlebihan, baik karena terlalu banyak maupun terlalu
sedikit39.
Wasathiyyah (moderasi) ajaran Islam tercermin antara
lain dalam hal-hal berikut :

38 Dikutip dan diterjemahkan dari dokumen yang diterbitkan pemerintah

Kuwait sebagai strategi untuk menyosialisasikan konsep al-wasathiyyah melalui


pemahaman yang toleran dan moderat, tanpa tahun.
39 Yusuf al-Qaradhawi, 115

76
1. Akidah
Akidah Islam sejalan dengan fitrah kemanusiaan, berada
di tengah antara mereka yang tunduk pada khurafat dan
mempercayai segala sesuatu walau tanpa dasar, dan mereka
yang mengingkari segala sesuatu yang berwujud metafisik.
Selain mengajak beriman kepada yang ghaib, Islam mengajak
akal manusia untuk membuktikan ajakannya secara rasional.
Qul hâtû burhânakum in kuntum shâdiqîn (QS. Al-Baqarah : 111),
demikian prinsip yang selalu diajarkannya. Dalam keimanan
Islam tidak sampai mempertuhankan para pembawa risalah
dari Tuhan, karena mereka adalah manusia biasa yang diberi
wahyu, dan tidak menyepelekannya bahkan sampai
membunuhnya seperti yang dilakukan umat Yahudi.
2. Ibadah dan syiar agama
Islam mewajibkan penganutnya untuk melakukan
ibadah dalam bentuk dan jumlah yang sangat terbatas,
misalnya salat lima kali dalam sehari, puasa sebulan dalam
setahun, haji sekali seumur hidup, agar selalu ada
komunilkasi antara manusia dengan Tuhannya. Selebihnya
Allah mempersilahkan manusia untuk berkarya dan bekerja
mencari rezeki Allah di muka bumi. Kewajiban melaksanakan
ibadah tidak banyak dan menyulitkan, juga tidak
menghalangi seseorang untuk bekerja mencari nafkah.
Moderasi dalam peribadatan ini tercermin sangat jelas dalam
firman Allah :
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan

77
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Qs. Al-
Jumu`ah : 9-10).
Jika datang waktu salat jumat tinggalkan seluruh
aktifitas dagang, dan bilamana salat usai maka lanjutkan
aktifitas berdagang dengan tujuan memperoleh karunia Allah
dan senantiasa ingat akan Allah agar mendapat
keberuntungan di dunia dan akhirat.
3. Akhlak
Dalam pandangan Al-Qur`an manusia terdiri dari dua
unsur; ruh dan jasad. Dalam proses penciptaan manusia
pertama (Adam) dijelaskan bahwa Allah telah
menciptakannya dari tanah kemudian meniupkan ke dalam
tubuhnya ruh (QS. Shad : 71-72). Kedua unsur itu memiliki
hak yang harus dipenuhi. Karena itu Rasulullah mengecam
keras Sahabatnya yang dianggapnya berlebihan dalam
beribadah dengan mengabaikan hak tubuhnya, keluarga dan
masyarakatnya. Beliau bersabda:
“Puasa dan berbukalah, bangun malam (untuk salat) dan tidurlah,
sesungguhnya tubuhmu memiliki hak yang harus dipenuhi, matamu
punya hak untuk dipejamkan, isterimu punya hak yang harus
dipenuhi”. (HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash)
Unsur tanah mendorong manusia untuk selalu
menikmati kesenangan dan keindahan yang dikeluarkan oleh
bumi/ tanah, sementara unsur ruh mendorongnya untuk
menggapai petunjuk langit. Unsur jasad membuatnya cocok
untuk menerima tugas memakmurkan bumi dan menjadi
khalifah di muka bumi. Seandainya hanya unsur ruh yang
dominan seperti malaikat maka manusia tidak akan
terdorong melakukan aktifitas menggali kandungan bumi dan
bekerja untuk memakmurkannya. Dan dengan unsur ruh
yang dimilikinya manusia siap untuk menuju alam

78
kesempurnaan dan menjadi paripurna. Selain menyerukan
manusia untuk bekerja dan beraktifitas di muka bumi, Al-
Qur`an juga mengajak manusia untuk mempersiapkan diri
dan berbekal menuju kehidupan akhirat, yaitu dengan
keimanan, ibadah dan menjalin hubungan dengan Allah SWT.
Kehidupan dunia bukanlah penjara tempat manusia disiksa,
tetapi sebuah nikmat yang harus disyukuri dan sebagai
ladang untuk mencapai kehidupan yang lebih kekal di
akhirat. Karena itu kerja dunia tidak boleh mengabaikan
akhirat.
Kaseimbangan (tawâzun) ini bukan hanya berlaku dalam
sikap keberagaman, tetapi di alam raya ini juga berlaku
prinsip keseimbangan. Malam dan siang, cahaya dan gelap,
panas dan dingin, daratan dan lautan diatur sedemikian rupa
secara seimbang dan penuh perhitungan agar yang satu tidak
mendominasi dan mengalahkan yang lain. Nafas yang
menjadi kebutuhan setiap insan sesungguhnya juga
merupakan bentuk keseimbangan antara menghirup dan
menghembus. Maka tidak bisa dibayangkan seandainya
proses menghirup nafas, atau sebaliknya proses
menghembuskan nafas, masing-masing dilakukan dalam
waktu lama, maka manusia akan mati, atau paling tidak
menimbulkan ketidaknyamanan. Demikian pula antara
pikiran dan perasaan yang memerlukan keseimbangan.
Ketidakseimbangan antara keduanya, misalnya perasaan yang
mendominasi akal, akan menyebabkan gangguan kejiwaan,
seperti halnya pemikiran seseorang akan kacau manakala
tidak diimbangi perasaan. Dalam QS. Al-Hadid : 25 Allah
berfirman :
”Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keadilan), Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca
itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi neraca itu”.

79
Al-mîzân atau al-wazn adalah alat untuk mengetahui
keseimbangan barang dan mengukur beratnya. Biasa
diterjemahkan dengan neraca/timbangan. Kata ini digunakan
secara metafor untuk menunjuk keadilan dan keseimbangan
yang menjadi kata kunci kesinambungan alam raya. Ketiga
ayat di atas disebut dalam kontek surah al-Rahmân yang
menjelaskan karunia dan nikmat Allah di dunia yang berada
di darat, laut dan udara, serta karunia-Nya di akhirat. Konteks
penyebutan yang demikian mengesankan bahwa kenikmatan
dunia dan di akhirat hanya dapat diperoleh dengan menjaga
keseimbangan (tawâzun, wasathiyyah) dan bersikap adil serta
proporsional. Bencana alam yang belakangan ini sering terjadi
disebabkan antara lain oleh adanya ketidakseimbangan dalam
ekosistem di alam raya ini akibat meningkatnya gas emisi
rumah kaca yang berdampak pada global warning, penebangan
pohon di hutan secara liar, pencemaran lingkungan dan lain
sebagainya.
Salah satu nikmat Allah yang terbesar adalah nikmat
keberagamaan yang juga harus disikapi secara proporsional,
tidak berlebihan. Dengan kata lain, ajaran agama akan
berfungsi secara baik sebagai hudan (petunjuk) bagi umat
manusia manakala dipahami dengan tawassuth dan tawâzun.
Bila tidak maka akan timbul persoalan besar seperti dialami
oleh umat-umat terdahulu. QS. Al-Maidah : 77 di atas
mengingatkan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) agar tidak
bersikap ghuluww dalam beragama. Sikap ghuluww Yahudi
tampak dalam bentuk keberanian/ kelancangan membunuh
para Nabi, berlebihan dalam mengharamkan beberapa hal
yang dihalalkan Tuhan, dan cenderung materialistic.
Sementara Nasrani berseberangan dengan Yahudi dengan
menuhankan Nabi, membolehkan segala sesuatu dan

80
cenderung mengedepankan spiritual40. Umat Islam tidak
diperkenankan mengikuti jalan ghuluww yang menyimpang,
tetapi diperintahkan untuk mengikuti jalan yang lurus dan
benar (al-shirâth al-mustaqîm). Paling tidak tujuh belas kali
dalam sehari, melalui surat al-fatihah ayat 6 dan 7, umat Islam
diperintahkan untuk mengikuti jalan lurus yang berada di
tengah antara jalan-jalan yang menyimpang dari tujuan. Jalan
lurus itu adalah jalan yang yang ditempuh oleh para nabi,
shiddiqîn, syuhadâ dan shâlihîn, bukan jalan mereka yang
dimurkai oleh Allah dan berada dalam kesesatan. Rasulullah
SAW mencontohkan di antara mereka yang dimurkai itu
adalah Yahudi, dan yang sesat itu adalah Nasrani.
Sikap ghuluww itu terkadang bermula dari hal-hal kecil.
Hadis Rasulullah SAW yang mengingatkan umat Islam akan
bahaya sikap ghuluww di latarbelakangi oleh sebuah peristiwa
sederhana. Ketika selesai melontar Aqabah pada hari
kesepuluh Dzul Hijjah, Rasulullah meminta kepada sahabat
dan sepupunya, Ibnu Abbas, untuk mengambilkan beberapa
kerikil untuk keperluan melontar. Ibnu Abbas lalu
memberikan beberapa kerikil kecil kepada Nabi dan saat itu
beliau bersabda agar waspada terhadap sikap ghuluww.
Relevansi peringatan tersebut dengan kerikil-kerikil kecil yang
diberikan kepada beliau adalah karena melontar itu adalah
simbol dari melempar setan, seperti yang dilakukan Nabi
Ibrahim, maka boleh jadi akan ada yang berpikiran bahwa
melempar dengan batu-batu yang besar akan lebih utama
daripada kerikil kecil. Dengan ucapannya itu Rasulullah
seakan ingin mengantisipasi sejak dini sikap berlebihan dalam
beragama yang akan timbul di kalangan umatnya41.

40 Yusuf al-Qaradhawi, h. 121


41 Yusuf al-Qaradhawi, Al-Shahwah al-Islâmiyyah Bayna al-Jumûd wa al-
Tatharruf, (Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. I, 2001), h. 25

81
Al-ghuluww dalam beragama yang menjauh dari
wasathiyyah ditandai dengan beberapa sikap, antara lain :
1. Fanatik terhadap Salah Satu Pandangan
Sikap fanatik yang berlebihan ini mengakibatkan
seseorang menutup diri dari pandangan-pandangan lain,
dan menganggap pandangan yang berbeda dengannya
sebagai pandangan yang salah atau sesat. Padahal para
salaf shaleh bersepakat menyatakan, setiap orang dapat
diambil dan ditinggalkan pandangannya kecuali
Rasulullah SAW. Perasaan bahwa dirinyalah yang paling
benar membuat seseorang tidak bisa bertemu dengan
lainnya, sebab pertemuan akan mudah terjadi jika berada
di tengah jalan, sementara dia tidak tahu mana bagian
tengah dan tidak mengakui keberadaannya. Seakan dia
memposisikan dirinya berada di timur dan orang lain di
barat. Akan lebih berbahaya lagi jika kemudian diikuti
dengan pemaksaan pendapat atau pandangan yang
dianutnya kepada orang lain dengan menggunakan
kekerasan, atau dengan melempar tuduhan sebagai ahli
bid`ah atau sesat atau bahkan kafir terhadap mereka yang
berbeda pandangan dengannya.
2. Cenderung Mempersulit
Dalam beragama seseorang boleh saja berpegangan pada
pandangan yang ketat terutama dalam masalah-masalah
fiqih, seperti tidak menggunakan rukhshah/ keringanan
atau kemudahan padahal itu dibolehkan, sebagai bentuk
kehati-hatian. Tetapi akan kurang bijak jika kemudian ia
mengharuskan masyarakat mengikutinya padahal kondisi
mereka tidak memungkinkan, atau berdampak
menyulitkan orang lain. Sebagai contoh menganjurkan
masyarakat untuk melakukan ibadah sunat seakan ibadah

82
wajib, atau sesuatu yang makruh diposisikan sebagai
sesuatu yang haram. Apalagi hal itu dilakukan terhadap
mereka yang baru mengenal Islam, atau baru bertobat dari
kesalahan masa lampau. Secara pribadi, atau dalam
kesendirian, Rasulullah adalah seorang yang sangat kuat
dalam beribadah, sampai-sampai setiap salat beliau
memanjangkan bacaan atau salatnya sehingga kedua
kakinya bengkak (kapalan). Tetapi manakala mengimami
salat di masjid beliau memperhatikan kondisi jamaah yang
sangat beragam dan tidak memperpanjang bacaan. Dalam
salah satu sabdanya beliau berpesan,
“Jika seseorang mengimami orang lain maka berilah keringanan
(dengan memperpendek bacaan), sebab boleh jadi di antara
mereka ada orang sakit, orang yang lemah, dan orang tua/ renta.
Dan jika ia salat sendirian maka perpanjanglah sesuai
kehendak”. (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Agama Islam itu penuh dengan kemudahan, dan tidak
mempersulit manusia (QS. Al-Maidah : 6, QS. Al-Hajj : 78),
karena itu “berikanlah kemudahan kepada orang lain, dan
jangan persulit mereka”, demikian sabda Rasulullah (HR.
Al-Bukhari dari Anas bin Malik).
3. Berperasangka Buruk Kepada Orang Lain
Sikap merasa paling benar menjadikan seseorang
berperasangka buruk kepada orang lain, dan melihat
orang lain dengan kaca mata hitam, seakan tidak ada
kebaikan pada orang lain, serta tidak berusaha memahami
dasar pemikiran orang lain yang berbeda dengannya.
Sehingga bila ada yang berbeda denganya seperti dalam
hal memegang tongkat saat khutbah, atau makan di lantai
seperti yang Nabi lakukan, dianggap tidak mengikuti
sunnah atau tidak mencintai Rasul. Atau bila mendapati

83
seorang ulama berfatwa dalam hukum yang memberi
kemudahan dianggap telah menggampangkan atau
sebagai sebuah keteledoran dalam beragama. Padahal
salaf shaleh mengajarkan agar setiap Muslim selalu
berperasangka baik kepada orang lain dan berusaha
memahami alasannya sampai pun bila ada tujuh puluh
indikator kesalahan, sebab boleh jadi masih ada satu
indikator lain yang menunjukkan dirinya benar42. Sikap ini
lahir dari rasa `ujub, atau merasa dirinyalah yang paling
benar, dan itulah pangkal kebinasaan seperti kata Ibnu
Mas`ud. Sufi terkemuka Ibnu Athaillah mengingatkan,
“boleh jadi Allah membukakan pintu ketaatan kepada
seseorang tetapi tidak dibukakan baginya pintu
diterimanya sebuah amal, dan boleh jadi seseorang
ditakdirkan berbuat maksiat tetapi itu menjadi sebab
seseorang mencapai keridaan Allah. Kemaksiatan yang
melahirkan kehinaan atau perasaan bersalah lebih baik
dari pada ketaatan atau kebaikan yang melahirkan rasa
bangga diri dan sombong”43.
4. Mengkafirkan Orang Lain
Sikap ghuluww yang paling berbahaya manakala sampai
pada tingkat mengkafirkan orang lain, bahkan
menghalalkan darahnya. Ini pernah terjadi pada kelompok
Khawarij di masa awal Islam yang sangat taat dalam
beragama dan melaksanakan semua ibadah seperti puasa,
salat malam dan membaca Al-Qur`an, tetapi karena
pemikiran yang ghuluww mereka menghalalkan darah
banyak orang Muslim. Sampai-sampai seorang ulama
yang tertangkap oleh kelompok Khawarij agar terbebas
dari pembunuhan mengaku dirinya sebagai seorang

42 Yusuf al-Qaradhawi, h. 43
43 Ibnu Ajibah, Îqâzh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, h. 112

84
musyrik yang mencari perlindungan dan ingin mendengar
firman Allah. Sesuai QS. Al-Tawbah : 6 orang itu harus
dilindungi sampai betul-betul merasa aman. Justru
seandainya dia mengaku sebagai seorang Muslim maka
mereka akan membunuhnya. Pandangan tatharruf atau
ghuluww ini pula yang mengakibatkan terbunuhnya dua
orang khalifah; Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Sayyiduna Usman dibunuh oleh sekelompok orang yang
mengaku dirinya Muslim, dan melakukan pembunuhan
atas dasar fatwa menyimpang yang menghalalkan
darahnya karena dianggap kafir. Demikian pula Imam Ali
yang dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang
Khawarij. Bahkan dengan bangganya setelah berhasil
membunuh Imam Ali dia berdoa kepada Allah, “Ya Allah
terimalah jihadku, sesungguhnya saya melakukan itu
demi Engkau dan di jalan Engkau”44.
Apa yang dulu dillakukan kelompok Khawarij saat ini
juga banyak ditemukan, yaitu dengan mengafirkan para
penguasa di negara-negara Muslim dengan alasan tidak
menerapkan hukum Tuhan, bahkan mengafirkan para
ulama yang tidak mengafirkan para penguasa itu, dengan
alasan mereka yang tidak mengafirkan orang kafir
termasuk kafir45.
Sesuai ajaran Rasul, seseorang tidak boleh dengan mudah
mengafirkan orang lain, sebab berimplikasi hukum yang
panjang seperti halal darahnya, dipisah dari isterinya
(cerai paksa), tidak saling mewarisi, jika meninggal tidak
dimandikan, tidak dikafani, tidak disalatkan dan tidak

44 Muhammad Habsy, Risalat `Ammân …. Limâdzâ? Fiqh al-Jihâd wa Bu`s al-

Fitnah, dalam Awrâq al-Amal al-Muqaddamah fi Al-Mu`tamar al-Wathaniyy al-Awwal li


Ta`shîl al-Fikr al-Tanwîriy ladâ al-Syabâb al-Urduniyy; Qirâ`ah fî Madhâmîn Risâlat
`Ammân (Amman : Al-Majlis al-A`lâ li al-Syabâb, 2008), h. 171
45 Yusuf al-Qaradhawi, al-Shahwah al-Islamiyyah, h. 47

85
dikubur di pekuburan Muslim. Seseorang yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat, meskipun dalam
keadaan terpaksa, adalah Muslim yang harus dilindungi.
Kemaksiatan, sampai pun itu dosa besar, tidak membuat
seseorang keluar dari agama, selama tidak menolak
hukum Allah.
Demikian beberapa ciri dari sikap ghuluww atau
tatharruf dalam beragama. Dengan mengetahui itu akan
dengan mudah mengenali ciri-ciri wastahiyyah. Secara lebih
rinci akan penulis urai dalam pembahasan berikut.
Ciri-Ciri al-Wastahiyyah
Sikap moderat dalam beragama, terutama dalam
memahami dan mengamalkan teks-teks keagamaan, ditandai
dengan beberapa ciri antara lain :
1. Memahami Realitas (fiqh al-wâqi`)
Kehidupan manusia selalu berubah dan berkembang tiada
batas, sementara teks-teks keagamaan terbatas. Karena itu
ajaran Islam berisikan ketentuan-ketentuan yang tsawâbit
(tetap), dan hal-hal yang dimungkinkan untuk berubah
sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu
(mutaghayyirât). Yang tsawâbit hanya sedikit, yaitu berupa
prinsip-prinsip akidah, ibadah, mu`malah dan akhlaq, dan
tidak boleh diubah. Sedangkan selebihnya mutaghayyirât
yang bersifat elastis/fleksibel (murûnah) dan
dimungkinkan untuk dipahami sesuai perkembangan
zaman. Kenyataan inilah yang mendasari beberapa
lembaga fatwa terkemuka di negara-negara minoritas
Muslim untuk mengambil pandangan yang berbeda
dengan apa yang selama ini dipahami dari kitab-kitab
fiqih, misalnya membolehkan seorang wanita yang masuk
Islam untuk mempertahankan perkawinannya sementara

86
suaminya tetap dalam agama semula, seperti yang
difatwakan oleh Majlis Fatwa dan Riset Eropa.
Segala tindakan hendaknya diperhitungkan maslahat dan
madaratnya secara realistis, sehingga jangan sampai
keinginan melakukan kemaslahatan mendatangkan
madarat yang lebih besar. Contoh, menggulingkan
seorang pemimpin yang zalim adalah sebuah keharusan,
tetapi para fuqaha membolehkan untuk membiarkannya
berkuasa manakala upaya penggulingan itu akan
mengakibatkan bahaya atau madarat yang lebih besar.
Atas dasar pertimbangan realistis pula para ulama
merumuskan kaidah-kaidah seperti al-dhararu lâ yuzâlu bi
al-dharar. Selama 13 tahun Nabi berdakwah dan mendidik
generasi Islam di Mekah, beliau bersama pengikutnya
hidup di tengah kemusyrikan. Tidak kurang dari 360
patung terpajang di sekeliling ka`bah sementara beliau
salat dan tawaf di sekelilingnya. Tetapi tidak pernah
terpikir olehnya atau pengikutnya untuk menghancurkan
patung-patung yang melambangkan kemusyrikan karena
Nabi merasa belum memiliki kekuatan untuk itu.
2. Memahami Fiqih Prioritas (fiqh al-awlawiyyat)
Di dalam Islam perintah dan larangan ditentukan
bertingkat-tingkat. Misalnya perintah ada yang bersifat
anjuran, dibolehkan (mubâh), ditekankan untuk
dilaksanakan (sunnah mu`akkadah), wajib dan fardhu (`ain
dan kifâyah). Sedangkan larangan ada yang bersifat dibenci
bila dilakukan (makruh) dan ada yang sama sekali tidak
boleh dilakukan (haram). Demikian pula ada ajaran Islam
yang bersifat ushûl (pokok-pokok/ prinsip), dan ada yang
bersifat furû (cabang). Sikap moderat menuntut seseorang
untuk tidak mendahulukan dan mementingkan hal-hal
yang bersifat sunnah, dan meninggalkan yang wajib.

87
Mengulang-ulang ibadah haji adalah sunnah, sementara
membantu saudara muslim yang kesusahan, apalagi
tetangganya, adalah sebuah keharusan bila ingin mencapai
kesempurnaan iman. Maka yang wajib seyogianya
didahulukan dari yang sunnah. Demikian pula penentuan
hilal puasa dan idul fitri adalah persoalan furûi’yyah yang
tidak boleh mengalahkan dan mengorbankan sesuatu
yang prinsip dalam ajaran agama yaitu persatuan umat.
3. Memahami Sunnatullâh dalam Penciptaan
Sunnatullâh dimaksud adalah graduasi atau penahapan
(tadarruj) dalam segala ketentuan hukum alam dan agama.
Langit dan bumi diciptakan oleh Allah dalam enam masa
(sittati ayyâm), padahal sangat mungkin bagi Allah untuk
menciptakannnya sekali jadi dengan “kun fayakûn”.
Demikian pula penciptaan manusia, hewan dan tumbuh-
tumbuhan yang dilakukan secara bertahap. Seperti halnya
alam raya, ajaran agama pun diturunkan secara bertahap.
Pada mulanya dakwah Islam di Mekkah menekankan sisi
keimanan/tauhid yang benar, kemudian secara bertahap
turun ketentuan-ketentuan syariat. Bahkan dalam
menentukan syariat pun terkadang dilakukan secara
bertahap seperti pada larangan minum khamar yang
melalui empat tahapan (baca : QS. Al-Nahl : 67, QS. Al-
Baqarah : 219, QS. Al-Nisa : 43, QS. Al-Maidah 90).
Tahapan dalam ajaran agama terbaca jelas dalam
ungkapan Sayyidah Aisyah :
“Yang pertama kali turun dari Al-Qur`an adalah surah-surah
yang menyebutkan surga dan neraka, kemudian ketika orang
banyak masuk Islam turunlah ketentuan halal dan haram. Kalau
yang turun pertama kali “jangan minum khamar”, maka mereka
akan mengatakan, “kami tidak akan meninggalkan khamar
selamanya”, dan bila pertama kali turun “jangan berzina”, maka

88
mereka akan mengatakan, “kami tidak akan meninggalkan
perbuatan zina selamanya” (HR. Al-Bukhari dari Aisyah).
Sunnatullah yang berbentuk tadarruj ini perlu mendapat
perhatian dari mereka yang berkeinginan untuk
mendirikan negara Islam demi tegaknya syariat/ hukum
Tuhan. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan peta kekuatan
dan hambatan yang ada. Keinginan sebagian kalangan
untuk menegakkan negara Islam dengan menggunakan
kekuatan atau kekerasan dalam sejarah di banyak negara
Islam, termasuk Indonesia, justru merugikan dakwah
Islam, sebab pemerintah negara-negara itu
menghadapinya secara represif.
4. Memberikan Kemudahan Kepada Orang Lain dalam
Beragama
Memberikan kemudahan adalah metode al-Qur`an dan
metode yang diterapkan oleh Rasulullah. Ketika mengutus
Mu`adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy`ari ke Yaman,
beliau berpesan agar keduanya memberi kemudahan
dalam berdakwah dan berfatwa, dan tidak mempersulit
orang (yassirâ walâ tu`assirâ) (HR. Al-Bukhari dari Abu
Musa al-Asy`ari). Ini tidak berarti sikap moderat
mengorbankan teks-teks keagamaan dengan mencari yang
termudah bagi masyarakat, tetapi dengan mencermati
teks-teks itu dan memahaminya secara mendalam untuk
menemukan kemudahan yang diberikan oleh agama. Bila
dalam satu persoalan ada dua pandangan yang berbeda,
yang satu lebih ketat dan yang lainnya lebih mudah, maka
yang termudah itulah yang diambil sesuai dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah bahwa setiap kali beliau
disodorkan dua pilihan beliau selalu mengambil yang
paling mudah di antara keduanya.

89
5. Memahamai Teks Keagamaan Secara Komprehensif
Syariat Islam akan dapat dipahami dengan baik manakala
sumber-sumber ajarannya (Al-Qur`an dan hadis)
dipahami secara komperhensif, tidak parsial (sepotong-
sepotong). Ayat-ayat Al-Qur`an, begitu pula hadis-hadis
Nabi, harus dipahami secara utuh, sebab antara satu
dengan lainnya saling menafsirkan (al-Qur`ân yufassiru
ba`dhuhu ba`dhan). Dengan membaca ayat-ayat Al-Qur`an
secara utuh akan dapat disimpulkan bahwa kata jihad
dalam al-Qur`an tidak selalu berkonotasi perang
bersenjata melawan musuh, tetapi dapat bermakna jihad
melawan hawa nafsu dan setan46. Membaca al-Qur`an
secara utuh dapat diibaratkan seperti melihat tahi lalat di
wajah seorang perempuan yang memberinya nilai plus
dan menambah daya tarik. Tetapi tidak akan menarik
bilamana yang diperhatikan hanya tahi lalatnya. Demikian
pula ajaran al-Qur`an akan tampak sebagai sebuah
rahmatan lil âlamîn, berwatak toleran dan damai bila
dicermati semangat umum ayat-ayatnya. Sebaliknya bila
ayat-ayat qitâl (perang) yang diperhatikan, terlepas dari
konteks dan kaitannya dengan ayat-ayat lain, maka al-
Qur`an akan terkesan sebagai ajaran keras, kejam dan
tidak toleran.
6. Terbuka dengan Dunia Luar, Mengedepankan Dialog
dan Bersikap Toleran
Sikap moderat Islam ditunjukkan melalui keterbukaan
dengan pihak-pihak lain yang berbeda pandangan. Sikap
ini didasari pada kenyataan bahwa perbedaan di kalangan
umat manusia adalah sebuah keniscayaan, termasuk
pilihan untuk beriman atau tidak (QS. Al-Kahf : 29).

46 Al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân, h. 101

90
Perbedaan sebagai sebuah keniscayaan dinyatakan dalam
firman Allah :
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat
Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku
akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang
durhaka) semuanya”.
Ungkapan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat
menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki manusia satu
pandangan, dan penggunaan bentuk kata kerja yang
menunjuk pada masa mendatang (al-fi`l al-mudhâri`)
menunjukan bahwa perbedaan di antara manusia akan terus
terjadi. Karena itu pemaksaan dalam berdakwah kepada
mereka yang berbeda pandangan, baik dalam satu agama
maupun dengan penganut agama lain, tidak sejalan dengan
semangat menghargai perbedaan yang menjadi tuntunan al-
Qur`an.
Selain itu dalam pandangan Al-Qur`an manusia secara
keseluruhan telah mendapat kemuliaan (takrîm) dari Allah
SWT, tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan
sebagainya (QS. Al-Isra : 70). Hubungan sesama manusia
harus senantiasa dijaga. Maka ketika di hadapan Rasulullah
melintas jenazah orang Yahudi, beliau berdiri memberi
penghormatan dengan alasan, “bukankah ia juga manusia”
(alaysat nafsan) (HR. Al-Bukhari).
Keterbukaan dengan sesama mendorong seorang
Muslim moderat untuk melakukan kerjasama dalam
mengatasi persoalan-persoalan bersama dalam kehidupan.
Prinsipnya adalah, bekerjasama dalam hal-hal yang menjadi

91
kesepakatan untuk diselesaikan secara bersama, dan bersikap
toleran terhadap perbedaan yang ada” (nata`âwanu fîmâ
ittafaqnâ wa ya`dzuru ba`dhunâ ba`dhan fîmâ ikhtalafnâ). Bila
dengan yang berbeda agama sikap moderasi Islam menuntut
keterbukaan, kerjasama dan toleransi, maka tentu dengan
sesama Muslim yang berbeda pandangan lebih patut
ditegakkan sifat-sifat tersebut. Demikian antara lain beberapa
ciri wastahiyyah.
Khâtimah
Al-Qur`an menyebut umat Islam sebagai umat terbaik
yang akan menegakkan kebenaran dan menghalau kebatilan.
Kebaikan tersebut diperoleh karena sifat moderat yang
dimiliknya (ummatan wasathan) yang menuntut adanya
keadilan dan kebaikan. Dunia internasional saat ini
membutuhkan itu. Tetapi untuk mewujudkannya tidaklah
mudah, dan itu harus dimulai dari diri sendiri. Sebuah
perubahan masyarakat akan terwujud jika dimulai dari upaya
memperbaiki diri sendiri, maka mulailah dengan menerapkan
konsep al-wasathiyyah dalam kehidupan sehari-hari, baik pada
tataran individu maupun kelompok. Semoga dengan begitu
wajah Islam yang damai, moderat dan toleran akan
mendatangkan rahmat dan kedamaian bagi umat manusia.

92
BAB III
PERANAN PENGASUH PONDOK
PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN
BUDAYA DAMAI

PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN


1 DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI
PROVINSI LAMPUNG
Oleh: Dr. Arsyad Sobby Kesuma 47

P
ondok Pesantren pada hakekatnya tidak dapat
dipisahkan dari sejarah perkembangan dan
pembangunan bangsa. Maka dalam konteks itu,
dewasa ini pemberdayaan semakin dibutuhkan untuk
pengembangan jaringan dan kerjasama antar pengasuh
pondok pesantren. Memang merupakan perjuangan yang
cukup berat bagi pesantren untuk mengembangkan
eksistensinya, sehingga tidak mungkin dibiarkan berjalan
sendiri tanpa kepedulian dari berbagai elemen masyarakat
dan pemerintah.
Maka diperlukan “Forum Kerjasama” antar pesantren
dengan cara melibatkan diri dalam agenda pemberdayaan
pesantren yang ada di Lampung dengan mengadvokasi
untuk memperkuatnya menjadi organisasi pesantren dan
memberikan akses bagi mereka dalam mengembangkan
komunitasnya ke berbagai aspek pendidikan, teknologi
informatika, ekonomi, sosial-kultural hingga politik.

47 Pengasuh PP Diniyah Putri Lampung.

93
Untuk merancang agenda pemberdayaan di atas maka
dilakukanlah kegiatan Lokakarya Peningkatan,
Pengembangan Jaringan dan Upaya Menanggulangi
Radikalisme Keagamaan. Dan kegiatan ini pulalah yang
sekaligus menjadi tema pokok.
Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah; pertama,
membangun jaringan kerja sama antar Pondok Pesantren
dalam menanggulangi radikalisme keagamaan; kedua,
melakukan deradikalisasi paham keagamaan di kalangan
umat beragama dalam rangka meningkatkan keberagamaan
yang moderat; ketiga, memperkokoh kesatuan dan kecintaan
terhadap nusa dan bangsa; keempat, merumuskan pandangan
pondok pesantren tentang radikalisme keagamaan; dan
kelima, mencari cara-cara terbaik dalam menanggulangi
paham radikal.
Secara teknis kegiatan ini dilaksanakan oleh Pondok
Pesantrean Perguruan Diniyyah Putri Lampung di Hotel
Nusantara Jalan Soekarno Hatta Bandar Lampung pada hari
Selasa-Rabu tanggal 14-15 Juli 2009 atas kerjasama dengan
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI melalui Surat Perintah Kerja, Nomor:
P1/KU.001.1/219.A/2009, tanggal 8 Juni 2009.
Kegiatan Lokakarya ini dibuka oleh Gubernur Lampung
yang diwakili oleh Asisten III dan ditutup oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi Lampung. Kegiatan ini
diikuti sebanyak 100 orang peserta yang terdiri dari unsur
perwakilan pondok pesantren sebanyak 64 orang (40 orang
dari kalangan pesantren moderat dan 24 orang dari garis
keras), dan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam
sebanyak 16 orang. Juga dihadiri oleh stakeholder dan unsur
pemerintah yang memiliki perhatian pada perkembangan
radikalisme keagamaan sebanyak 20 orang.

94
Untuk mencapai target dari kegiatan ini, panitia
penyelenggara mengundang para narasumber, yang terdiri
dari dari narasumber pusat (Jakarta) maupun daerah yang
memiliki kualifikasi dan kompetensi mengenai tema-tema
yang akan dibahas secara spesifik. Penyelenggaraan kegiatan
Lokakarya ini didesain dalam tiga bentuk:
Kegiatan Panel Seminar
Kegiatan ini menampilkan enam narasumber, masing-
masing membawakan topik persoalan yang spesifik.
Narasumber daerah sebanyak tiga orang berasal dari provinsi
Lampung yakni:
a. Drs. Moh. Bahruddin, MA. menyampaikan materi dengan
tema “Pandangan Komunitas Pesantren tentang Radikalisme
Keagamaan”.
b. Dr. H. Fauzie Nurdin, MS, menyampaikan materi dengan
tema “Peningkatan Kerjasama Pondok Pesantren dalam
Menanggulangi Radikalisme Keagamaan”.
c. Drs. H. Syarif Makhya, M.Si menyampaikan materi
dengan tema “Cara-cara Pondok Pesantren dalam
Menanggulangi Gerakan Radikalisme Keagamaan”.
Selama diskusi berlangsung, para peserta
memperhatikan dengan antusias. Isu yang berkembang
selama penyelenggaraan kegiatan ini adalah:
1. Radikalisme mencakup beberapa aspek, yakni faham,
gerakan, aksi, tauhid. Yang umum terjadi selama ini
adalah kesalahpahaman masyarakat pada makna yang
terkandung dalam ayat dan hadits. Pelurusan makna yang
tersurat dalam nash dapat dilakukan melalui sistem
pendidikan.

95
2. Perlu menelaah kembali mengenai keberadaan kelompok-
kelompok yang telah muncul di masyarakat bahkan
menjadi gerakan internasional. Kelompok-kelompok itu
adalah kelompok radikal yang menjadi pokok perhatian di
negara-negara Islam. Kelompok-kelompok itu diantaranya
Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizb al-Tahrir.
3. Aksi dan gerakan radikal muncul diakibatkan oleh dua
faktor: pengaruh global, dan internal ummat Islam. Dalam
internal umat Islam, salah satunya adalah lembaga
pendidikan Islam khas Indonesia (pesantren).
4. Upaya deradikalisasi dapat dilakukan melalui jalan dialog.
Radikalisme dalam kehidupan agama ternyata tidak
terjadi dalam Islam saja, dalam agama lain selain Islam
radikalisme lintas agama pun terjadi.
5. Islam merupakan agama damai yang menuntun
pemeluknya untuk bertindak baik
6. Peran pesantren, sejak berdirinya sampai saat ini, diakui
oleh masyarakat, sebagai lembaga yang memiliki
keunggulan, sangat potensial, dan responsif terhadap
dinamika ilmu dan realitas di masyarakat.
7. Secara kelembagaan, Pondok Pesantren memiliki peran
strategis, dapat memajukan dinamika sosial masyarakat
yang heterogen, menjadi suatu sistem tatanan yang
kondusif. Seorang kyai sebagai leader (tokoh sentral) di
Pesantren cukup banyak memberikan kontribusi
pemikiran dalam perkembangan sikap keberagamaan
secara massive, dan bisa dirasakan pengaruhnya dalam
kehidupan keberagamaan kita.
8. Pimpinan Pondok dapat bekerjasama dan
memberdayakan potensi pesantren yang bertujuan

96
menjaga perdamaian dan merupakan visi dan misi
pesantren. Inti dari kerjasama adalah kesadaran bersama.
9. Radikalisme merupakan musuh bersama. Oleh karena itu
pondok pesantren yang dipimpin oleh Kyai harus
bekerjasama dalam menanggulangi radikalisme
keagamaan.
10. Pemerintah perlu memposisikan kyai pesantren secara
optimal dalam upaya pengembangan jaringan dan
kerjasama secara partisipatif.
11. Pondok Pesantren memberi ruang besar bagi percepatan
pembangunan daerah. Kerjasama Pondok Pesantren harus
lebih cerdas dalam memanfaatkan peluang. Kerjasama
antar pondok pesantren dalam menanggulangi
radikalisme dilakukan secara optimal.
12. Jalur yang ditempuh oleh pesantren dalam
menanggulangi radikalsime diantaranya melalui
pendekatan politik, karena radikalisme merupakan faham
gerakan keagaaman dengan jalur politik. Radikalisme
keagamaan di Indonesia saat ini, lambat laun menjadi isu
politik yang ikut mempengaruhi kondisi perpolitikan
nasional. Pasalnya, gerakan yang cenderung keras
tersebut.
13. Ukhuwah Islamiyah harus terpola dalam dinamika yang
mengarah pada kemajuan umat. Maka umat Islam harus
kerja keras untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah yang
benar-benar dinamis.
14. Dinamika membangkitkan ukhuwah, namun hari ini
dinamikanya berbeda, persoalan ummat relatif sama,
kurangya semangat kerja. Kedua, Kyai perlu belajar politik,
agar tidak dipolitisir. Tidak sekedar wacana, tapi aktion
langsung. Ketiga, Tentang radikal, berangkat dari teori,

97
kemudian lahir pada konsep, kemudian definisi
operasional, indikator, dan parameter. Keempat, Jangan
bicara soal tentara muslim Lampung, jangan sampai loka
karya ini seolah akan melahirkan wacana baru tentang
gerakan.
15. Pondok Pesantren bukan simbol radikalisme Islam.
Pesantren yang berhaluan radikal merupakan kelompok
kecil, jadi tidak bisa digeneralisasi bagi kelompok besar
pondok pesantren.
16. Pimpinan Pondok yang terjun ke dunia politik merupakan
indikasi krisisnya idealisme kyai, karena dengan demikian
Pimpinan Pondok memiliki kepentingan dengan
politiknya tersebut.
17. Pondok Pesantren perlu mengkaji wilayah politik, tapi
wujudnya bukan pemahaman politik secara praktis. Untuk
menanggulangi sebuah gerakan politik, maka tidak keliru
jika pesantren mengambil jaringan politik pula.
Sidang Komisi
Sidang komisi dibagi menjadi tiga, yakni Komisi A,
Komisi B dan Komisi C.
Sidang Komisi A.
Komisi A menyimpulkan bahwa radikalisme keagamaan tidak
ada di dalam kalangan pesantren. Karena Pesantren
umumnya mengembangkan doktrin dan pemahaman Islam
yang kaffah, ruhama, istiqomah dan tegas.
Sidang Komisi B.
Komisi B merekomendasikan beberapa hal, diantaranya:
pertama, memasukkan materi dakwah tentang jihad yang
benar ke dalam kurikulum pesantren; kedua, menjaga

98
semaksimal mungkin agar faham atau aliran radikal tidak
masuk ke pondok pesantren atau lingkungannya; ketiga,
memberikan pengertian tentang tasamuh sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah; keempat, meningkatkan kerjasama yang
lebih baik antar pondok pesantren dengan pemerintah; kelima,
memfungsikan kembali Badan Koordinasi Pondok Pesantren
(BKPP); dan keenam, pimpinan pondok dan jajarannya harus
menguasai teknologi.
Sidang Komisi C.
Komisi C merekomendasikan diantaranya; pertama,
mendorong pengaktifan kembali BKPP Provinsi Lampung,
sampai tingkat kecamatan. BKPP atau lembaga yang telah
dibentuk menindaklanjuti hasil lokakarya pengembangan
jaringan dan kerjasama pondok pesantren dalam
mengantisipasi radikalisme keagamaaan ke pondok-pondok
pesantren se-Provinsi Lampung; kedua, meminta pemerintah
untuk mengalokasikan dana APBD untuk kegiatan BKPP;
ketiga, meningkatkan aktifitas jaringan kerjasama pengurus
pondok pesantren se-Provinsi Lampung secara
berkesinambungan.
Sidang Pleno
Sidang ini mengeluarkan rekomendasi yang terhimpun
dalam Executive Summary, sebagai berikut:
1. Komitmen kebangsaan untuk menciptakan kualitas
kerukunan hidup beragama di era pembangunan bukan
sekedar rutinitas untuk menanggulangi konflik melainkan
sebagai pilar determinan bagi kelangsungan hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan aman,
damai, dan bermartabat.

99
2. Perlu merevitalisasi peran agama secara komprehensif,
proporsional, dan fungsional sebagai pandangan dan
falsafah hidup berbangsa dan bernegara.
3. Peran umat Islam sebagai elemen mayoritas bangsa dalam
mewujudkan citra sejati Islam rahmatan lil ‘alamin dan amar
ma’ruf nahi munkar bagi kemashlahatan bangsa dan tegaknya
NKRI sebagai negara hukum yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, perlu mendapat dukungan segenap elemen
bangsa;
4. Perbedaan pemahaman teks-teks keagamaan internal umat
Islam merupakan persoalan metodologis. Perbedaan-
perbedaan itu adalah rahmat dan kekayaan khazanah
intelektual yang tidak perlu dipertentangkan, apalagi
dituduh menjadi penyebab radikalisme.
5. Metode pembelajaran di Pondok Pesantren adalah bagian
utuh dari sistem pendidikan nasional dan perlu segera
dilakukan rekonstruksi metodologi pembelajaran secara
komprehensif dan revitalisasi pembaharuan kurikulum,
membumikan Islam secara total.
6. Kurikulum pesantren dikembangkan ke arah keterpaduan
dengan IPTEK dan IMTAK secara bersamaan. Dengan
demikian out put dari pesantren adalah manusia yang
memiliki sumberdaya yang shaleh lahir dan batin.
7. Radikalisme yang muncul di lingkungan sebagian umat
Islam mengimplikasikan pada terkristalnya beberapa
kelompok umat Islam, yakni Islam eksklusif, Islam inklusif
dan Islam moderat. Pengkategorian menjadi “poros
potensial” ke arah perbenturan kultural bagi disintegrasi dan
disfungsional umat Islam itu sendiri. Untuk persoalan ini
direkomendasikan; pertama, umat Islam hendaknya tidak
terjebak dalam kristalisasi kategori. Islam yang dianut

100
merupakan Islam yang sejati, Islam rahmatan lil ‘alamin
yang mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar. Dikotomi tiga
hal tersebut sama sekali tidak menguntungkan umat Islam
dalam mewujudkan harkat kehidupan kebangsaan lebih
bermartabat. Eksklusivisme akan menyeret pada perilaku
radikal (garis keras). Islam inklusif jika tidak ada kontrol
justru akan melahirkan pemahaman Islam yang
membingungkan, karena menerima doktrin “kebenaran”
seluruh agama; kedua, diperlukan desain yang
implementatif dan konsep yang terang bagi terwujudnya
Islam rahmatan lil ‘alamin dan menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar secara lebih sistemik dan komprehensif.
8. Gerakan radikal berkonotasi negatif, yaitu gerakan garis
keras yang cenderung dilakukan dengan cara anarkis. Hal
demikian tentunya tidak dibenarkan oleh Islam, apalagi
bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta perdamaian.
Untuk menanggulangi radikalisme, perlu dilakukan;
pertama, segenap pengelola Pondok Pesantren perlu lebih
mengedepankan soliditas kebersamaan dan komitmen
kebangsaan, konsisten, dan menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar; kedua, stigmatisasi gerakan Islam radikal perlu
dicegah dan dieleminasi, dengan jalan memperkuat
jaringan kerjasama secara produktif bagi kemashlahatan
umat dan memberikan peran kontributif secara total bagi
pembangunan; ketiga, memberdayakan Badan Koordinasi
Pondok Pesantren (BKPP) agar lebih produktif untuk
memenuhi hak-hak para santri.
9. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat,
Pondok Pesantren merupakan bagian utuh bagi dinamika
kehidupan masyarakat dan menjadi benteng moralitas
bangsa.

101
102
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN
2 DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI
JAWA TENGAH

Oleh: Mu’ammar Ramadhan48

Pelaksanaan Lokakarya

L
okakarya Peningkatan Peran Pondok Pesantren dalam
Pengembangan Budaya Damai di Semarang diikuti
oleh 80 peserta yang terdiri dari pimpinan Pondok
Pesantren (50 orang), pakar ilmu sosial/cendekiawan,
pimpinan organisasi keagamaan, pejabat dan peneliti Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Majelis Ulama
Indonesia Jawa Tengah, Kantor Wilayah Departemen Agama,
dan Perguruan Tinggi.
Sesuai dengan tema tersebut, lokakarya ini menampilkan
para pemakalah pusat (Jakarta), yaitu: Prof. Dr. H.M. Atho
Mudzhar (key note speech), Prof. H. Abdurrahman Mas’ud,
Ph.D (Memahami Budaya Damai Pesantren), Dr. H. Ahsin
Sakho Muhammad (Sikap Moderat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dalam Masalah Teologi dan Politik), Prof. Dr. H. Ali Musthofa
Ya’qub (Meluruskan Makna Jihad menurut Islam), Dr. H.
Mukhlish Hanafi (Konsep Wasathiyah menurut Islam). Tampil
para pemakalah daerah adalah K.H. Dimyati Rois (Pandangan
Pondok Pesantren tentang Keberagamaan yang Santun dan
Damai), Dr. H. Abu Hapsin, M.A (Cara-cara Pengembangan
Pengajaran Keagamaan yang berbasis Budaya Damai), dan
Prof. Dr. H. Mudjahirin Tohir, M.A (Meningkatkan Kerjasama

48 Pimpinan LSM ELSEM Semarang

103
antar Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Budaya
Damai).
Acara dilaksanakan di hotel Muria Semarang, tanggal 3-
4 Agustus 2009, yang dibuka oleh Prof. Dr. H.M. Atho
Mudzhar, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama dan ditutup oleh Kepala Bidang Pendidikan
Keagamaan dan Pondok Pesantren Kantor Wilayah
Departemen Agama Jawa Tengah.
Pokok Pikiran selama Pelaksanaan Kegiatan
Para pemakalah menyampaikan secara panel yang
kemudian dibuka dialog dengan peserta. Setelah pemaparan
makalah dan dialog, kemudian peserta dibagi dalam tiga
kelompok untuk merumuskan hal-hal sebagai berikut :
a) Membangun jaringan kerjasama antar Pondok Pesantren
dalam mengembangkan budaya damai;
b) Merumuskan pandangan pondok pesantren tentang
radikalisme keagamaan;
c) Mencari cara-cara terbaik dalam menanggulangi paham
radikal.
Secara institusional, baik pesantren bercorak tradisional
maupun yang radikal, sepakat bahwa terorisme bukan berasal
dari pesantren. Namun dari sisi pemahaman keagamaan, cara
pandang dan respons terhadap terorisme, masing-masing
berbeda. Cara pandang pesantren bercorak tradisional
terhadap teks-teks keagamaan dipahami secara substansial
dan kontekstual. Cara pandang pesantren tradisional lebih
mengedepankan nilai-nilai Islam yang humanis sehingga
membentuk karakteristik santri yang akomodatif, moderat,
dan toleran. Pesantren tradisional cenderung adaptif dengan
tradisi, memiliki komitmen kuat untuk menghadirkan Islam

104
sebagai ajaran sekaligus praktek keagamaan dan hasil
tindakan keagamaan yang mengajarkan kasih sayang.
Masyarakat dan komunitas pesantren di Jawa Tengah sepakat
bahwa tindakan teror dengan bunuh diri sebagai tindakan
yang menodai agama. Pemahaman agama berbuntut tindakan
ini merupakan buah pemahaman keagamaan yang keliru,
sempit, dan tidak sesuai dengan semangat Islam sebagai
rahmatan lil alamin.
Pemahaman keagamaan dan sikap keberagamaan yang
moderat tidak lepas dari landasan teologi sunni. Pesantren
tradisional di Jawa Tengah adalah pemegang dan penyebar
paham sunni sekaligus melestarikan model dakwah
Walisongo. Para wali merupakan sosok ideal muslim
nusantara yang mampu menyebarkan Islam secara damai.
Sedangkan pesantren yang radikal menafsirkan teks-teks
keagamaan secara skripturalis formalistik tekstualis. Muatan
kurikulum yang diajarkan di pesantren cenderung
menanamkan semangat radikal. Namun pihak pesantren
berkeyakinan bahwa kurikulum tersebut tidak menjadikan
santrinya bersikap radikal. Mereka hanya menginginkan
santri yang mempunyai ghirah keislaman yang kuat,
khususnya dalam amar ma'ruf nahi munkar.
Respons mereka terhadap terorisme bukan dipahami
sebagai ‘kejahatan’. Di satu sisi mereka memang tidak
menyetujui tindakan teror dengan bunuh diri. Namun mereka
memahami bahwa tindakan teror adalah buah dari teror.
Mereka memperjuangkan hak-hak kaum muslim yang
dizalimi. Target dan tujuan mereka jelas. Pondok yang dinilai
radikal sangat menghargai semangat dan perjuangan para
pelaku teror. Inilah semangat perjuangan Islam sejati,
meskipun cara-cara mereka salah. Penghargaan kepada

105
pelaku teror paling tidak ditunjukkan dengan kesediaan Abu
Bakar Baasyir mensalati jenazah teroris.
Kategorisasi respons di atas, bukannya pemisahan yang
kedap air. Mengingat terdapat juga tokoh pesantren bercorak
tradisional (baca: NU) yang memahami tindakan teror sebagai
pelaksanaan asyiddau alal kuffar. Namun, cara yang digunakan
para teroris tetap dinilai salah. Sikap terhadap orang kafir
memang sudah selayaknya tegas, namun tidak harus dengan
cara kekerasan.
Sikap keberagamaan yang humanis, moderat, dan
toleran di satu sisi dan sikap radikal di sisi lain tidak lepas
dari pembacaan kepada teks-teks keagamaan. Menurut Abu
Hapsin, model penafsiran terhadap teks-teks keagamaan
mempengaruhi individu yang menafsiri. Penafsiran
skripturalis cenderung menumbuhkan fundamentalisme
agama, sikap yang kaku, hitam putih, dan salah benar.
Sedangkan penafsiran agama secara substansial akan
menumbuhkan sikap yang moderat dan humanis. Seharusnya
Islam dipahami secara kontekstual di mana lahirnya teks
keagamaan tidak lahir dari ruang hampa.
Penafsiran terhadap teks inilah yang kemudian
melahirkan justifikasi ideologis, yakni semacam kredo
pembenaran pihaknya dan sekaligus penyalahan terhadap
pihak lain. Dari sini lalu muncul watak naluriah, yakni
kecurigaan, tuduhan, klaim dan labeling. Jika bukan karena
alasan memperebutkan sumber-sumber kehidupan yang
bercorak duniawi, bisa juga karena klaim-klaim kebenaran
keagamaan yang bercorak ukhrawi, sehingga konflik bahkan
tindakan-tindakan “anarkhis” bisa diacukan atas nama agama
oleh para pelakunya.

106
Menurut Mudjahirin Tohir (2009: 3), istilah “bunuh diri”
yang disandangkan kepada mereka yang ikut mati bersama
bom yang diledakkannya, adalah istilah yang diberikan
“pihak luar” (from the outsider’s looking), sementara mereka
sendiri (pihak dalam; the insider’s looking) menyebut sebagai
jihad fi sabilillah. Ungkapan perasaan yang dinyatakan dalam
konsep “jihad fi sabilillah” merupakan wujud dari dorongan
substantive, bukan instrumental. Jika dorongan instrumental
bersifat duniawi, seperti materi (kekayaan), kekuasaan yang
ditawarkan, dan peluang-peluang yang menyenangkan secara
duniawi, sebaliknya, dorongan substantive bersifat akhirati
menurut tafsir mereka.
Memang harus diakui, terjadinya aksi terorisme yang
melibatkan sejumlah alumni pesantren sedikit banyak
membuat image pesantren sempat negatif. Pesantren dinilai
sebagai pemasok ajaran agama yang radikal. Padahal sebagai
lembaga pendidikan Islam tertua, pesantren mengajarkan
materi agama dan mempraktikkannya untuk mencetak
generasi shaleh yang memahami agama. Karenanya, tidak
mengherankan jika kehidupan pesantren merupakan salah
satu potret kehidupan kelompok masyarakat agamis yang
penuh kedamaian. Nilai-nilai kedamaian yang ada di
pesantren ini merupakan perwujudan Islam yang rahmatan lil
alamin.
Menurut Mudjahirin Tohir (2009: 3), Islam sebagai
rahmatan lil alamin merupakan pijakan peace culture, sebagai
“rumah kedamaian”, namun hal ini tidaklah mudah. Dalam
ranah ilmu sosial misalnya, konsep budaya damai seringkali
diacu dan mengacu pada teori-teori fungsional yang ketika
mengambil sasaran masyarakat sebagai kajian teoritiknya,
dibayangkan bahwa individu-individu sebagai warga

107
masyarakat (dalam arti sempit maupun arti luas) itu, berbagi
peran dan tugas secara fungsional menurut kadar
kemampuannya masing-masing guna mencapai tujuan
bersama. Kondisi seperti ini sangat mulia karena inspirasi
lahirnya teori itu bisa jadi bersumber dari ajaran agama.
Tetapi dalam fakta sosial, pembayangan seperti itu menjadi
bercorak sangat nisbi dan fluktuatif. Sama nisbinya dengan
ajaran agama dalam satu sisi, dan praktik atau tindakan orang
beragama dalam sisi lain. Agama mendamaikan, tetapi perang
bisa terjadi oleh sebab orang beragama atau berbeda agama.
Di sinilah letak perbedaan pensikapan keberagamaan --
sebagaimana konsep radikalisme versus moderatisme—ketika
agama dibawa masuk ke dalam realitas sosial. Karena itu,
realitas sosial terasa lebih riil dikaji ketika dilihat dari teori
konflik. Inti dari teori konflik ialah bahwa dalam kesatuan
kehidupan manapun, selalu ada kebutuhan-kebutuhan
memperebutkan sumber daya alam, memperebutkan peluang
maupun keinginan yang berkait dengan kekuasaan, ekonomi,
sosial, dan seterusnya yang terbatas yang tidak dapat terbagi
habis kepada anggota-anggota kelompok itu. Upaya untuk
memperebutkan itu memunculkan ketegangan. Kalau
ketegangan-ketegangan itu tidak mendapat penyelesaian,
maka yang muncul adalah kompetisi-kompetisi. Kalau dalam
kompetisi itu tidak ada aturan main yang jelas dan adil, maka
akan mudah memunculkan konflik. Dari sini lalu muncul
faksi-faksi.
Dalam konteks inilah, radikalisme agama merupakan
salah satu faksi dalam komunitas masyarakat. Realitas inilah
yang kemudian dinilai sebagai pemicu aksi teror bom bunuh
diri. Dalam hal inilah kemudian perlu ditelisik lebih jauh
penyebab penyebaran radikalisme agama dan perlu

108
diupayakan untuk membendungnya. Di sinilah peran
pesantren sangat vital.
Adapun peran pesantren dalam meminimalisir dan
mengubah radikalisme agama adalah:
1. Perlunya mensosialisasikan pemahaman keagamaan yang
moderat sebagai upaya counter culture terhadap budaya
kekerasan atau cara pandang yang mentolelir kekerasan.
2. Pengajaran agama yang humanis bagi kaum muda non
pesantren dan masyarakat luas pada umumnya. Sejumlah
tulisan dan buku kaum fundamentalis banyak menjadi
bahan bacaan kaum intelektual muda non santri pesantren
atau masyarakat dalam mempelajari Islam. Sementara
referensi dari dunia pesatren yang menawarkan Islam
humanis kurang proporsional.
3. Meyiapkan kader pesantren yang menjadi agen
perubahan, untuk mengkonstruk masyarakat yang
beragama secara humanis dan mampu mengembangkan
budaya damai di masyarakat.
4. Mengupayakan dialog antara pesantren yang dinilai
radikal dan pesantren yang bercorak tradisional. Dialog
dilakukan tanpa pretensi menghakimi, tetapi dengan
menggunakan pendekatan empati. Dengan cara ini, maka
bisa memahami apa yang menjadi pilihan antar kelompok.
Dari sinilah antarkelompok akan merasa ‘saling masuk’
dalam wilayah patner dialognya. Dalam bahasa
metodologi, cara demikian disebut fenomenologis, dan
secara antropologis disebut dengan pandangan atau
perspektif emic (to see from the inside looking). Dengan
demikian, antarkelompok jika meman dang kelompok lain
‘menyimpang’, maka harus disadarkan (bukan

109
dikalahkan) lewat bahasa agama, bahwa “ada yang salah
dalam menerapkan ajaran agama”.
5. Dalam rangka mengembangkan budaya damai, pondok
pesantren perlu meningkatkan jaringan kerjasama
antarpondok pesantren. Jaringan kerjasama dapat
dilakukan melalui wadah yang sudah ada misalnya
Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) maupun membentuk
wadah lainnya yang memungkinkan terjalinnya kerjasama
antar lembaga asosiasi pondok pesantren, antar pengasuh
pondok pesantren, antarsantri dan alumni dan
antarprogram/kegiatan pondok pesantren. Untuk
memudahkan kordinasi maka diperlukan sekretariat dan
kordinator zona di mana pesantren di wilayah Jateng bisa
dibagi dalam tiga zona.
Adapun bentuk kerjasama di bidang program atau
kegiatan kerjasama di antaranya adalah sarasehan/
diskusi rutin, kemah santri baik di wilayah binaan (zona)
maupun secara regional, pembuatan jaringan internet dan
pengelolaan multimedia (ponpes online), serta revitalisasi
forum ulama dan tokoh-tokoh agama di semua tingkatan.
Untuk menunjang kerjasama program/kegiatan, sangat
diperlukan adanya pelatihan, penelitian dan
pengembangan yang relevan. Di bidang pelatihan perlu
dilakukan pelatihan ketrampilan intensif yang relevan
sesuai kebutuhan, pelatihan kewirausahaan dan mana
jemen pemasaran, serta pelatihan manajemen
kepemimpinan terpadu. Adapun di bidang penelitian dan
pengembangan, perlu melakukan inventarisasi potensi
pondok pesantren di Jateng. Di samping itu, diperlukan
usaha ekonomi produktif, koperasi, dan pengembangan
jaringan pemasaran produk lokal/pondok pesantren; dan

110
pengembangan energi alternatif nonmigas. Apa yang
dilakukan Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok
Pesantren dengan menggelar pekan olahraga santri
maupun kemah santri menjadi salah satu bentuk ikhtiar
penguatan jejaring pesantren. Di sinilah diperlukan arahan
dan fasilitasi dari pemerintah, di samping juga bantuan
dana dan sarana prasarana.

111
112
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN
3 DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI
NUSA TENGGARA BARAT
Oleh: Nasihuddin Badri49

L
okakarya diselenggarakan pada tanggal 9 – 10 Agustus
2009 di Mataram (Ibukota Provinsi Nusa Tenggara
Barat). Acara dibuka oleh Wakil Gubernur Nusa
Tenggara Barat dan ditutup oleh Kepala Kanwil Departemen
Agama Nusa Tenggara Barat.
Nara Sumber berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas tiga
Nara Sumber Pusat(Jakarta) dan empat Nara Sumber Lokal
(Daerah NTB), dengan materi penyajiannya masing-masing;
a). K.H. Ma'ruf Amin (Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat)
dengan materi: Meluruskan Makna Jihad; b). Prof. H.
Abdurrahman Mas'ud, Ph.D. (Kepala Puslitbang Kehidupan
Keagamaan) dengan materi: Memahami Budaya Damai
Pesantren; c. Prof. DR. H.M. Ridwan Lubis, (Guru Besar UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan materi: Pandangan
Ahlusunnah Wal Jama'ah dalam Bidang Aqidah dan Politik; d. Al
Hafidz TGH. Hudatullah Muhibuddin, MA. (Ro'is 'Am Dewan
Mustasyar PBNW (Pengurus Besar Nahdlatul Wathan)
dengan materi: Pandangan Komunitas Pesantren tentang Budaya
Damai; e. TGH. Sofwan Hakim (Ketua Forum Kerja Sama
Pondok Pesantren Provinsi NTB) dengan materi: Peran
Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai; f. Drs. H. Lalu
Suhaimi Ismy (Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi
NTB) dengan materi: Meningkatkan Kerja Sama Pondok

49 Pimpinan Najdhatul Wathan Nusa Tenggara Barat

113
Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai; g. H. Sirojul
Munir, SH, MH, (Asisten Tata Praja Pemda NTB/Mantan
Kepala Badan Kesbang Poldagri Provinsi NTB) dengan materi:
Budaya Damai dan Harmoni Sosial.
Dalam kegiatan ini, para peserta berasal dari beberapa
kabupaten di Nusa Tenggara Barat yang meliputi; Kabupaten
Lombok Timur berjumlah 25 orang, dari Kabupaten Lombok
Tengah berjumlah 12 orang, dari kabupaten Lombok Barat
berjumlah 15 orang, dari Kota Mataram berjumlah 9 orang,
dari kabupaten Sumbawa berjumlah 3 orang, dari kabupaten
Sumbawa Barat berjumlah 1 orang, dari kabupaten Dompu
berjumlah 4 orang, dari Kabupaten Bima berjumlah 2 orang
dan dari Kota Bima berjumlah 1 orang. Total keseluruhan
peserta yang hadir dalam kegiatan ini berjumlah 72 orang.
Sedangkan unsur-unsur yang datang menghadiri
lokakarya ini terdiri dari atas; a) dari unsur pondok pesantren
sebanyak 40 orang (56%); b) dari unsur Perguruan Tinggi
Islam berjumlah 5 orang (7%); c) dari unsur ormas Islam
berjumlah 11 orang (15%); d) dari unsur TNI/POLRI 5 orang
(7%) dan dari unsur aparat Pemerintah Sipil berjumlah 11
orang (15%). Jumlah keseluruhan yang hadir adalah 72 orang.
Pokok-pokok pikiran para pemakalah daerah adalah:
a. Misi Kerasulan Nabi SAW: Menebar pesona kedamaian di
dunia (Rahmatan Lil 'alamin)
b. Kepemimpinan Nabi SAW: Manciptakan masyarakat sipil
Madinah (Madinan society) dan masyarakat yang
majemuk dengan perjanjian damai (Piagam Madinah).
Kepemimpinan Nabi SAW dicontoh oleh khalifah Umar
bin Khatab dengan mempersatukan umat Yahudi, Nasrani
dan Muslim di Yerussalem dengan perjanjian damai pula
(sebagaimana termaktub dalam Piagam Alea).

114
c. Budaya damai harus diaktualisasikan oleh setiap muslim
terhadap dirinya, keluarga, kerabat, tetangga dan semua
umat manusia dengan cara; menebarkan salam (Al-
An'am/6:54), mengembangkan sikap peduli terhadap fakir
miskin/kaum dhuafa dan orang-orang yang tergolong
penyandang masalah-masalah sosial, memberikan
perlindungan terhadap keluarga dan kerabat dan
membangun komunikasi yang ramah dan santun
(persuasif); seperti: berbuat baik dengan tetangga, baik
muslim maupun non muslim. Kemudian dengan sesama
muslim dengan penuh semangat persaudaraan Islam,
apapun mazhabnya, apapun parpolnya, apapun ormas
yang diikuti, bahasa dan etnisnya selalu melakukan
silaturrahim. Kemudian komunikasi dengan sesama
manusia (apapun suku bangsa, agama, dan
ras/keturunannya) selalu melakukan komunikasi yang
harmonis.
d. Jama'ah Keagamaan memiliki ciri khas; diantaranya: 1)
tidak menentang penguasa; 2) teguh dan kokoh
menegakkan konsep jama'ah; 3) tawasuth, yakni berada
tengah antara dua golongan, khawarij dan syi'ah; 4)
menampilkan diri sebagai suatu komunitas
normatif/legal; 5) arus utama umat Islam Indonesia, yakni
NU dan Muhammadiyah serta pondok-pondok pesantren
menentang radikalisme.
e. perdamaian dan harmoni sosial adalah ajaran agama yang
harus dibudayakan bagi seluruh umat manusia.
f. komunitas Islam (96%) di NTB merupakan modal besar
pelopor perdamaian. Oleh karena itu, simbol-simbol
keagamaan seperti masjid dan pesantren merupakan
pilihan yang strategis sebagai basis perdamaian dan
harmoni sosial.

115
g. pondok pesantren memiliki tradisi dan budaya intelektual,
mendalami bidang agama, serta pembangunan aspek
sosial pembangunan umat.
h. kekerasan dengan mengatasnamakan agama hanyalah
perbuatan yang melegalkan tindak kekerasan yang justru
memperburuk citra agama.
i. kesederhanaan pesantren merupakan ciri khas yang
dimiliki oleh pesantren.
Issue yang berkembang di kalangan peserta selama
penyelenggaraan lokakarya ini adalah; a) JIL (Jaringan Islam
Liberal) dan ajaran yang diusungnya wajib ditolak oleh
lingkungan pesantren; b) bantuan finansial/materi dari luar
negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan (pesantren,
masjid, dan ormas Islam) tidak boleh mencampuri urusan
aqidah; c) pornografi pemicu dekadensi moral generasi dan
masyarakat dan dapat mengakibatkan kerusakan akhlak
umat, maka wajib ditolak; d) perilaku remaja yang ugal-
ugalan dapat menganggu kedamaian, maka harus dicegah
melalui institusi pendidikan formal dan rumah tangga; e)
konflik internal (antar kampung) yang seringkali terjadi di
NTB bermula dari hal dan persoalan yang sepele; f)
masyarakat NTB menolak keberadaan pengikut Ahmadiyah
karena mereka tidak mau berinteraksi dengan kelompok
mayoritas.

116
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN
4 DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI
JAWA TIMUR
Oleh: Purwanto50

Sketsa Lokakarya Nasional

P
uslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI bekerjasama dengan
Fakultas Agama Islam UNDAR Jombang pada
tanggal 12-13 Agustus 2009 di Aula Universitas Darul Ulum
Jombang menyelenggarakan kegiatan lokakarya nasional.
Lokakarya ini diikuti oleh sebanyak 85 (delapan puluh lima)
orang, yang terdiri dari pimpinan Pondok-Pesantren (40
orang), dan yang lainnya berasal dari lembaga pendidikan
agama, penyuluh agama, guru agama di sekolah umum, pakar
ilmu sosial/cendekiawan, pimpinan organisasi keagamaan,
pejabat dan peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama, MUI daerah, pejabat Kanwil, Kandepag Jombang dan
berbagai instansi terkait lainnya. Selain itu, lokakarya juga
dihadiri oleh undangan khusus meliputi kalangan pers dan
pemerhati pendidikan.
Kegiatan ini mengambil tema, ”Peningkatan Peran Pondok
Pesantren dalam Membangun Budaya Damai.” Hal ini terkait
dengan tujuan diadakannya lokakarya, yaitu: Pertama;
membangun jaringan kerjasama antar Pondok Pesantren se-
Jawa Timur dalam menanggulangi radikalisme keagamaan,
kedua; melakukan deradikalisasi paham keagamaan di
kalangan umat beragama dalam rangka meningkatkan

50 Dosen Universitas Darul Ulum Jombang, Jawa Timur

117
keberagamaan yang moderat, ketiga; memperkokoh kesatuan
dan kecintaan terhadap nusa dan bangsa, keempat;
merumuskan pandangan pondok pesantren se-Jawa Timur
tentang radikalisme keagamaan, dan, kelima; mencari cara-cara
terbaik dalam menanggulangi paham radikal.
Sesuai dengan tema tersebut, lokakarya ini dihadiri
beberapa narasumber, pusat dan daerah. Para narasumber
daerah yang tampil yakni: Prof. Dr. Tadjoer Ridjal Baidoeri,
M.Pd. (Purek IV UNDAR Jombang) dengan makalah berjudul:
”Ragam Reaksi Akulturatif Masuknya Ide-Ide Baru dalam Dunia
Pesantren, dan Dr. KH. Ali Maschan Musa (Dosen IAIN Sunan
Ampel Surabaya) dengan judul makalah: Kiprah Pendidikan
Pesantren dalam Mengembangkan Harmoni Sosial dalam
Masyarakat Majemuk di Jawa Timur.
Para peserta nampak antusias sekali mengikuti kegiatan
terlihat dari pelaksanaan diskusi baik komisi maupun panel.
Hasil diskusi pada kegiatan tersebut merupakan sumbangsih
pemikiran para peserta berkaitan dengan peta pikir pesantren
dalam merespon radikalisme agama, strategi tindakan untuk
membangun budaya damai dan rekomendasi-rekomendasi
meliputi rekomendasi kepada kelompok radikal, pondok
pesantren dan masyarakat serta pada pemerintah.
Untuk menindaklanjuti butir-butir kesepakatan tersebut,
peserta lokakarya bersepakat tentang perlunya diadakan
forum-forum lanjutan di antara stakeholders terkait untuk
merumuskan kembali langkah teknis atau operasional dalam
rangka mengimplementasikan hasil-hasil kesepakatan dalam
lokakarya tersebut.
The last but not least, kegiatan ini membawa manfaat
besar baik untuk pelaksana maupun peserta itu sendiri.
Forum ini betul-betul kondusif untuk menampung segala

118
aspirasi dari berbagai pihak, khususnya pondok pesantren itu
sendiri. Selain berfungsi sebagai public sphere (ruang publik)
untuk tindakan komunikasi bersama dan sharing of knowledge
bagi para kyai maupun ustad, forum ini juga bisa menjadi
sarana pertemuan antara guru dan murid, antara alumni dan
lembaga, dan antara sesama teman sepondok pesantren.
Islam: Antara Kekerasan dan Perdamaian
Pemahaman keberagamaan adalah hasil dari konstruksi
pada proses internalisasi terhadap teks dan landasan teologi
agama. Hal ini berkaitan dengan realitas ajaran Islam yang
disinyalir memiliki misi kuat baik yang mendukung
kekerasan maupun tidak sama sekali. Pertama; kekerasan
melekat pada Agama. Adapun ilustrasi hasil kajian dan
amatan kekerasan agama adalah:

a. Teks dan landasan teologis dari kekerasan. Teks dan


ajaran teologis menjadi landasan dari tindak kekerasan
(atas nama) agama yang dilakukan pelaku kekerasan.

b. Tafsir atas teks sebagai landasan kekerasan. Tafsir


(harfiah) atas teks menjadi landasan dari tindak kekerasan
atas nama agama yang dilakukan pelaku kekerasan.

c. Pemaknaan sebagai landasan kekerasan. Pemaknaan


ajaran menjadi landasan dari tindak kekerasan (atas nama)
agama yang dilakukan pelaku kekerasan.

d. Tradisi sebagai landasan kekerasan. Tradisi / lembaga


(agama) yang direproduksi secara sosial menjadi dasar
dari tindakan pelaku kekerasan (agama).
Kedua; Kekerasan tidak melekat pada agama. Ilustrasi hasil
kajian dan amatan bahwa kekerasan tidak melekat pada
agama adalah sebagai berikut:

119
a. Pilihan bebas dan tafsir. Teks atau doktrin normatif versus
ragam tafsir. Agama (terutama agama profetis) harus
berhadapan dengan ketegangan intrinsik yang dahsyat.
Pada dasarnya nilai utama dalam agama menekankan
keselamatan dan kedamaian seraya menolak kekerasan. (i)
Individu dan komunitas penganut diyakini memiliki
kebebasan dan kemampuan memilih dan menafsirkan teks
atas dasar pendapat dan tanggung jawabnya sendiri
sehingga terbuka peluang perbedaan tafsir dan doktrin
atau ajaran yang dipilih oleh individu dan komunitas; (ii)
Pelaku kekerasan menekankan bagian ajaran yang
mengabsahkan dan membuka peluang tafsir kekerasan,
setidaknya sebagai tanggapan atas ancaman terhadap
diri/ kelompok/komunitas.

b. Agama anti kekerasan. Ada konsepsi moralitas dan aturan


moral dasar (deep structure) yang sama dari tradisi
keagamaan yang berbeda tentang yang baik bagi
kehidupan manusia; kebenaran, kebahagiaan dan
keselamatan. Agama tidak berkaitan dengan kekerasan: (i)
tidak ada kekerasan agama; (ii) agama seringkali dima
nipulasi penganutnya sebagai dasar dari tindak kekerasan.
Kekerasan bersumber pada faktor non-agama atau di luar
agama (beyond religion), baik struktural maupun non-
struktural (i) Kekerasan merupakan akibat dari
perampasan nisbi (relative deprivation), ketimpangan sosial,
perlakuan tidak adil dan timpangan sosial, perlakuan
tidak adil dan jujur; penindasan (opresi), dan penghisapan
(eksploitasi). (ii) Kekerasan merupakan perilaku (sosial)
menyimpang yang bersifat patologis dari individu pelaku
kekerasan terlepas dari agama dan keyakinannya.

120
Pondok Pesantren Mengusung Budaya Damai
Menurut paparan KH Ali Maschan Moesa, konsep jihad
yang dipahami oleh Kyai Jawa Timur mengacu pada hadist
Nabi Muhammad SAW., “Assaa’i ‘alal armalati kal mujaahidi fi
sabilillah: (Siapa yang membantu janda miskin (rondo mlarat /
garing) seperti jihad fi sabilillah). Meskipun demikian, Moesa
menegaskan bahwa kekerasan agama pernah terjadi dalam
sejarah Islam. Kekerasan ini terjadi, setelah meninggalnya
Nabi Muhammad Saw. tepatnya saat Utsman bin Affan
menjadi khalifah mengganti seorang gubernur yakni Sa’ad bin
Abi Waqqosh dengan Uqbah bin Nafi’ yang masih saudaranya
sendiri. Kebijakan ini dinilai tidak profesional dan
proporsional di kalangan para sahabat dan umat. Beberapa
sahabat yang tidak menyetujui kebijakan tersebut diantaranya
Sayyidina Ali bin Abi Tholib, Ibnu Mas’ud, Abu Dzar dan
Salman al Farisi. Perbedaan pendapat ini tidak sampai
menimbulkan kekerasan. Kekerasan terjadi justru saat
ketidaksetujuan tersebut disuarakan oleh 2000 orang dari
Kufah dan Mesir yang pada akhirnya mengkafirkan Utsman
bin Affan atas kebijakannya itu. Mereka mengepung khalifah
sehingga terjadilah kekerasan yang mengakibatkan khalifah
meninggal dunia.
Menurut beberapa ulama, kekerasaan ini terjadi karena
pemahaman para sahabat yang berjumlah kurang lebih 2000
tersebut masih juz’iyah atau parsial. Berbeda dengan
pemahaman keagamaan empat (4) sahabat sebelumnya yang
komprehensif sehingga perbedaan tersebut tidak sampai
menyebabkan kekerasan. Dalam konteks politik disinyalir
bahwa kekerasan terjadi karena memang sejak awal 2000
sahabat ini tidak menjagokan Khalifah Utsman bin Affan
sebagai khalifah, akan tetapi memilih Ali bin Abi Thalib.

121
Meskipun kenyataannya Utsman bin Affanlah yang disepakati
sebagai pengganti dari Umar bin Khattab.
Terkait dengan fenomena di atas, setidaknya empat
kenyataan yang menjadi sebab agama tidak bermakna dalam
tatanan masyarakat global dewasa ini. Yakni, pertama,
kecenderungan agama sebagai pilar perdamaian. Kedua,
seringkali agama terlibat dalam konflik sosial. Yang pertama
berangkat dari asumsi bahwa agama sebagai rahmatan li al-
‘alamin (Islam) dan cinta kasih (kristen). Sedangkan yang
kedua berangkat dari asumsi bahwa agama sebagai institusi
iman-ideologis, seperti tercermin dalam konsep Jihad (Islam).
Yang pertama bersifat universal, inklusif; yang kedua bersifat
partikular. Keterpilahan ini semakin tajam karena masing-
masing asumsi tersebut mendapat pendasaran teologis. Ketiga,
interest politik memungkinkan agama manjadi alat perburuan
kekuasaan.
Menjadi kian sulit ketika life-world masyarakat global
dewasa ini tidak segera diidentifikasi. Life world adalah dunia
kehidupan atau penghayatan yang dialami umat manusia
sehari-hari. Dalam terminologi cendekiawan Jerman Jurgen
Habermas, life-world masyarakat global dewasa ini telah
tereduksi sedemikian rupa dalam proses rasionalisasi yang
mengedepankan rasionalitas-bertujuan. Output-nya adalah
terciptanya bentuk masyarakat satu dimensi (istilah Herbert
Marcuse) dimana dimensi kritik, tidak berfungsi. Tidak
berfungsinya dimensi ini mengakibatkan struktur dan pola
pikir masyarakat global dewasa ini menjadi tumpul karena
terfokus pada satu mainstream materialisme. Dan bila pola pikir
semacam itu berobjek agama akan memunculkan kenyataan
keempat, yakni pragmatisme-religius, artinya sikap religiusitas
akan dilakukan manakala menguntungkan dan sebaliknya
tidak dilakukan jika tidak menguntungkan.

122
Berkaitan dengan itu, perilaku keberagamaan seseorang
tergantung dari pemahaman orang tersebut terhadap
agamanya. Pada posisi ini, faham keagamaan di Indonesia,
menurut Ali Maschan Musa dapat dikategorikan menjadi lima
kategori, yaitu: Indigineous moslem (Abangan), Tradisional
(NU), Islam Modernis (Muhamadiyah), Islamisme (FPI) dan
Neomodernisme (JIL).
Kekerasan seringkali dilakukan oleh golongan Islam
“Islamisme.” Faham ini berupaya menjadikan Islam sebagai
ideologi dengan bentuk formalisasi Islam. Kekerasan ini
semakin besar jika agama dan politik telah bercampur. Ada
dua hal implikasi jika agama berkumpul dengan politik yaitu:
Pertama; agama seringkali sebagai alat politik, dan; Kedua;
terjadinya radikalisasi politik atas nama agama.
Berbeda dengan itu, komunitas pesantren yang notabene
sebagai “melting pot” masyarakat sunni ala Indonesia, menurut
Abdurrahman Mas’ud, pada umumnya bebas dari
fundamentalisme dan terorisme. Jamaah keagamaan mereka
biasanya memiliki ciri khas, yakni: (1) tidak melawan
penguasa atau pemerintah yang ada; (2) kekakuan atau
rigiditas dalam menegakkan kesatuan vis-a-vis disintegrasi
dan chaos; (3) teguh dan kokoh menegakkan konsep jama'ah,
mayoritas, dengan supremasi Sunni, dan layak dinamai
Ahlussunnah wal Jama`ah; (4) tawassuth, tengah-tengah antara
dua kutub dan antara dua ekstrem politik-teologis: Khawarij
dan Shi`ah; (5) menampilkan diri sebagai "suatu komunitas
normatif'; kokoh dan teguh menegakkan prinsip-prinsip
kebebasan spiritual dan memenuhi serta melaksanakan
standar etik syari`ah.51

51 Abdurrahman Mas’ud, "Sunnism in the Eyes of Modern Scholars" (Paper

Historiografi Islam UCLA, 1993). Selain ciri-ciri di atas, pesantren memiliki


kharekteristik lain yakni, Pertama; modeling yang di dalam ajaran Islam bisa

123
Respon Pesantren Di Jawa Timur Dalam Menanggapi
Radikalisme Agama
Secara garis besar pokok-pokok pikiran pondok
pesantren Se-Jawa Timur dalam menanggapi dan
menanggulangi maraknya radikalisme agama, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap ajaran Islam bagi individu maupun
kelompok dalam in group (komunitas agama) memiliki
peran penting dalam mengejawantahkan kehidupan
harmonis individu di masyarakat baik pada tataran
regional, nasional maupun internasional. Pemahaman
keberagamaan tersebut adalah hasil konstruksi pada
proses internalisasi terhadap teks dan landasan teologi
masing-masing aliran dalam Islam.
2. Mekanisme pengejawantahan diri agama dalam praktik
tindakan kekerasan atau perdamaian (agama) adalah
sebagai berikut:
a. Fungsi ideologis; tatanan sosial yang dikehendaki
Tuhan mengatur hubungan antar kelompok sosial
sehingga dapat dijadikan sebagai pembenaran
hubungan timpang.
b. Identitas diri; agama menjadi identitas diri dan
kelompok memberi tanggapan balik baik atas ancaman

diidentikkan dengan uswatun hasanah atau sunnah hasanah yakni contoh yang ideal
yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam komunitas ini. Kedua; Cultural
maintenance, yaitu mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar
Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Ketiga; Budaya
keilmuan yang tinggi, artinya dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu.
(Diambil dari makalah “Memahami Agama Damai Dunia Pesantren” Oleh : Prof. H.
Abdurrahman Masud, Ph.D yang dipresentasikan pada Lokakarya Nasional yang
diselenggarakan pada tanggal 12-13 Agustus 2009 di Aula Universitas Darul Ulum
Jombang.

124
dengan kekerasan ataupun tindakan-tindakan yang
mencerminkan kerukunan.
c. Dasar legitimasi; agama menjadi dasar bagi legitimasi
atau delegitimasi ketimpangan hubungan sosial.
d. Model perilaku; perilaku kekerasan orang tua akan
menjadi model untuk ditiru oleh anaknya.
3. Syiar agama melalui jalur pesantren memilih jalur infiltrasi
nilai-nilai Islam kedalam budaya sehingga dapat tercipta
kehidupan damai. Islam dalam posisi ini tidak tercerabut
dari akar budaya ke-Indonesiaan.
4. Penegakan amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam
seharusnya dilakukan dengan damai di atas prinsip
hikmah, mau’izhah hasanah dan mujadalah billati hiya ahsan.
Tindakan radikalisme agama bertentangan dengan
karakteristik budaya santri dan pesantren yang notabene
inherent dengan keterbukaan dan kedamaian serta
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur persaudaraan dan
kerukunan.
5. Radikalisme agama tumbuh dan berkembang akibat
kedangkalan dalam memahami agama. Agama dipahami
secara parsial, teks-teks agama dipisahkan dari
konteksnya, dan dipicu pula oleh kondisi belum tegaknya
keadilan sosial dan keringnya nilai-nilai spiritualitas
dalam beragama.
6. Jihad fi sabilillah sebagai kewajiban dalam Agama Islam
dalam konteks kekinian dan ke-Indonesiaan akan lebih
memberikan kemaslahatan bila diaktualisasikan dengan
memerangi hawa nafsu, kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan. Jihad dalam bentuk kekerasan fisik
dalam konteks kekinian merupakan tindakan kontra

125
produktif dalam upaya penegakan ajaran Islam yang cinta
kedamaian.
7. Terorisme dan segala bentuk tindak kekerasan
bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam yaitu
sebagai agama cinta kasih dan perdamaian. Segala bentuk
kekerasan atas nama agama bertentangan dengan
kepribadian muttaqin yang memiliki kepedulian terhadap
sesama yang mampu menahan amarah, terbebas dari
sikap dendam dan senantiasa berfikir dan bertindak
positif.
Berdasarkan peta pikir di atas, dibuat semacam
kesepakatan bersama melalui bentuk rekomendasi-
rekomendasi, yang isinya sebagai berikut:
1. Rekomendasi Kepada Kelompok Radikal
a. Kelompok radikal diharapkan mau membuka diri
untuk berdialog dengan seluruh komponen bangsa
dari berbagai kelompok dalam penafsiran ‘jihad’ dan
atau isu isu keagamaan yang berpotensi memunculkan
disintregarsi bangsa.
b. Kelompok radikal seyogyanya memahami/ mengkaji
agama secara utuh.
c. Kelompok radikal sebagai elemen bangsa harus
bersama-sama membina umat dan membangun negeri
ke arah yang diridhoi Allah Swt.
d. Kelompok radikal sekali-kali tidak menjadikan agama
sebagai landasan pembenaran sikap dan perilaku
radikal untuk merusak peradaban damai di Indonesia.
e. Kelompok radikal harus menfilter kembali cara dan
tujuan tindakan mereka karena hal itu telah

126
meresahkan umat Islam khususnya dan bangsa
Indonesia umumnya.
2. Rekomendasi Kepada Pesantren Dan Masyarakat
a. Pesantren dan masyarakat semestinya bisa
memberikan teladan pada model prilaku yang
mencerminkan pelaksanaan ajaran Islam yang cinta
damai.
b. Meningkatkan pemahaman kepada santri dan
masyarakat tentang nilai-nilai perdamaian,
persaudaraan, penyelamatan, dan cinta kasih,
peningkatan kesadaran hukum, penegakan keadilan,
toleransi terhadap perbedaan dan moderasi dalam
memandang permasalahan.
c. Mendeteksi santri tempramental, berkarakter keras,
kemudian membimbing agar tidak teracuni virus-virus
radikalisme. Serta meningkatkan kemandirian santri
dengan mengembangkan wawasan dan ketrampilan
enterpreneurship, karena keterhimpitan dalam ekonomi
menjadi celah yang bisa dimanfaatkan kelompok
radikalisme agama.
d. Pencitraan negatif terhadap pondok pesantren disikapi
dengan pembuktian diri melalui peningkatan peran
Ponpes dalam pengembangan budaya damai dengan
meningkatkan kapasitas dalam menjawab
permasalahan umat secara cepat dan tepat, agar
perannya di masyarakat tidak diambil alih oleh
kelompok radikalisme agama. Untuk itu pondok
pesantren perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap
upaya laten dan sistematis dalam menghancurkan
pesantren dari dalam.

127
e. Membangun komunikasi dan kerjasama antar
pesantren dalam menanggulangi bahaya radikalisme
agama dan menciptakan kondisi-kondisi yang dapat
mempersempit ruang gerak mereka.
f. Membudayakan sharing pendapat dengan santri dan
masyarakat sehingga terbentuk pemahaman
komprehensif yang lebih menonjolkan pada nilai-nilai
Islam yang penuh kemoderatan dan persaudaraan.
3. Rekomendasi Kepada Pemerintah
a. Pembinaan kepada pesantren tidak hanya berwujud
pengembangan wawasan budaya damai, melainkan
perlu turut menutup celah-celah pesantren dalam
ketidakberdayaan di bidang ekonomi dan peningkatan
profesionalitas dalam penyelenggaraan pendidikan.
b. Pemahaman - pemahaman keberagamaan adalah hasil
dari konstruksi pada proses internalisasi terhadap teks
dan landasan teologi masing-masing agama. Untuk itu
pemerintah harus berani mengambil tindakan dengan
opsi solusi dan implikasi sebagai berikut:
1) Menolak/menegasikan agama kekerasan. Jika itu
dilakukakan maka perlu ada justifikasi “keluar
(murtad)” dari agama dan menjadi tidak beragama
apapun.
2) Meredam/membekukan/tidak memberlakukan
doktrin sebagai dasar dari perilaku (sosial) tanpa
membuangnya sebagai teks (al-kitabiyah) namun
tidak mengamalkan doktrin/teks yang
memerintahkan atau mendasari kekerasan tanpa
keluar dari agama yang bersangkutan.

128
3) Menafsir-ulang dan menata-ulang doktrin/teks
secara keseluruhan (reformasi agama) sehingga
nilai-nilai agama konsisten dengan nilai anti-
kekerasan.
4) Menegasikan/menghilangkan/membuang/delegi-
timasi doktrin/ teks (al-kitabiyah) yang dijadikan
dasar bagi kekerasan di dalam agama, tanpa keluar
dari agama yang bersangkutan.
c. Pemerintah khususnya Kementerian Agama membuat
buku panduan atau khutbah-khutbah Jum’at yang
memuat ajaran-ajaran Islam yang penuh kedamaian
dan toleransi untuk kalangan pelajar, guru, akademisi
maupun masyarakat sebagai upaya kontra-hegemoni
terhadap maraknya buku-buku yang lebih
menonjolkan Islam radikal.
d. Memberikan wadah baik berupa lokakarya maupun
seminar yang pesertanya dari berbagai kelompok
pesantren baik dari kalangan radikal maupun non
radikal yang didalamnya terdapat proses interaksi
sosial dimana proses eksternalisasi, obyektivikasi dan
internalisasi terbangun dengan baik.
e. Pemerintah lebih intensif lagi dalam mengembangkan
jaringan ponpes untuk memperkuat daya bendung
terhadap arus gerakan radikalisme agama dan
membangkitkan energi kesalehan sosial yang dapat
memancarkan sinar kedamaian terhadap umatnya
sekaligus menjadi sumberdaya penguatan ekonomi
pesantren agar lebih mandiri.
f. Pemerintah menyerukan kepada masyarakat umum
untuk meningkatkan kewaspadaan dengan terus
memantau perkembangan yang terjadi di sekitarnya

129
terutama anggota keluarga yang secara tiba-tiba
mengalami perubahan prilaku, sebab sel-sel terorisme
terus berkembang dengan strategi awalnya adalah cuci
otak.
g. Pemerintah lebih bersikap adil dalam membantu
ponpes dengan tidak hanya mem perhatikan ponpes
yang memiliki potensi dan power dalam kepentingan
politik agar terjadi perkembangan kekuatan yang
berimbang dalam menghadapi gerakan radikalisme
agama.
h. Pemerintah memberi pemahaman kepada masyarakat
baik nasional maupun Internasional untuk tidak
menjeneralisir tuduhan terhadap pesantren sebagai
sarang teroris hanya karena ada pembuktian bahwa
diantara pelaku teror adalah alumni pesantren, karena
pada dasarnya prilaku teror dan radikalisme agama
merupakan bentuk deviasi dari budaya pesantren itu
sendiri.
i. Pemerintah berpartisipasi aktif dalam ikut serta
membangun perdamaian dunia karena salah satu
alasan munculnya kaum radikal adalah keyakinan
mereka akan kondisi ketertindasan umat Islam oleh
Amerika Serikat dan Yahudi.

130
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN
5 DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI
PROVINSI GORONTALO
Oleh: Syawaluddin, S.Ag52.

Pelaksanaan Kegiatan

S
esuai dengan jadwal yang direncanakan, pelaksanaan
kegiatan dilaksanakan pada tanggal 20-21 Agustus
2009 bertempat di Hotel Rahmat Inn Kota Gorontalo.
Peserta kegiatan berasal dari unsur pondok pesantren,
penyuluh agama, ormas Islam, guru agama dan
dosen/akademisi. Acara pembukaan dihadiri pula wakil dari
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat
Kementerian Agama Drs.H.Nuhrison M.Nuh, MA, APU
(Peneliti Utama). Acara dibuka oleh Kombes Pol. Drs.
Burhanudin Hipy mewakili Kapolda Gorontalo. Secara
pribadi dan lembaga, Kombes Pol. Burhanuddin Hipy
memberikan apresiasi positif atas kegiatan tersebut. Bahkan
beliau berharap jika masih ada kegiatan tidak segan-segan
melakukan kerjasama dengan Polda Gorontalo.
Para pemakalah lokal yang hadir dan menyampaikan
makalah adalah Prof.Dr.H. Muh. Amin,M.Ag, Dr. Sofyan Kau
,M.Ag, KH. Ghofir Nawawi MA, Drs. H. Zainul Romiz
Koesry,M.Ag. diantara pemikiran-pemikiran yang
berlangsung selama pelaksanaan acara ini adalah bahwa
radikalisme agama hakekatnya bukan hanya monopoli
kelompok agama tertentu dan bukan pula hanya lahir di
wilayah tertentu saja. Kelompok gerakan radikal yang

52
Dosesn STAIN Goronta;o

131
mengatasnamakan agama juga terdapat di India, dengan latar
belakang agama Hindu. Gerakan radikal terdapat di Irlandia
dari unsur Katolik maupun Kristen militan. Di Amerika,
gerakan radikal keagamaan juga berkembang.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa gerakan radikal
keagamaan merupakan gejala universal dan fenomena yang
mungkin dapat berkembang pada semua tradisi kegamaan.
Radikalisme dapat saja muncul karena banyak faktor. Namun
faktor agama sebenarnya bukan menjadi faktor dominan.
Selain faktor agama, radikalisme disebabkan oleh politik,
sosial, ekonomi, psikis, pemikiran dan kolaborasi dari
persoalan-persoalan tersebut.
Gerakan radikal berlatar belakang agama dapat muncul
karena: a). Lemahnya pengetahuan tentang hakikat agama; b).
memahami nash secara tekstual; c). Memperdebatkan
persoalan-persoalan parsial, sehingga mengenyampingkan
persoalan besar; d). Berlebihan dalam mengharamkan; e).
kerancuan konsep; f). mengikuti ayat mutasyabihat,
meninggalkan muhkamat; mempelajari ilmu hanya dari buku
dan mempelajari Al-Quran hanya dari mushaf; g). lemahnya
pengetahuan tentang syariah, realitas, sunnatullah dan
kehidupan.
Aksi radikal sering dibalut dengan sebutan ”jihad”,
padahal terminologi jihad sangat banyak sekali definisinya,
tidak dominan satu pengertian saja. Dengan kata lain, kata
jihad dengan pengertian perang tidak relevan jika diterapkan
di Indonesia.
Peran Pondok Pesantren
Pondok pesantren menerapkan prinsip tasamuh
(toleran), tawasuth wal i’tidal (sederhana), tawazun (penuh
pertimbangan) dan ukhuwah (persaudaraan). Peran

132
pimpinan/pengasuh pesantren sangat strategis terutama
berkaitan dengan pelurusan makna jihad dari sudut
pandangan pemahaman agama.
Pondok pesantren dalam memandang isu gerakan
radikal adalah:a) radikalisme keagamaan tidak sesuai dengan
pola pendidikan yang selama ini dijalankan oleh pesantren,
hal ini juga bertentangan dengan budaya Islam Indonesia
sebab Islam datang ke Indonesia bukan dengan kekerasan
atau paksaan melainkan dengan penuh kesantunan, tepo
seliro dan kekeluargaan; b) radikalisme dapat mengganggu
tatanan kehidupan keagamaan di Indonesia yang telah terjalin
dengan penuh toleransi; c) banyak orang yang berdalil Al
Qur’an dan Hadis tetapi realitas amalannya tidak sesuai
dengan doktri agama. Ia hanya memahami tekstual sementara
kontekstualnya diabaikan.
Pondok pesantren dikenal dan menonjol dengan tempat
untuk tafaqquh fiddin dan takhalluq bi akhlaqil karimah. Tapi,
bukan berarti pesantren tidak mampu mencetak kader
potensial untuk mencetak orang-orang besar yang memiliki
pengaruh signifikan di negeri ini. Banyak tokoh-tokoh
nasional yang berangkat dari pendidikan pesantren.
Sementara itu, Balitbang Kementerian Agama adalah
lembaga pemerintah yang membatasi diri dalam bidang kajian
dan pengembangan di bidang keagamaan. Peran Litbang
adalah memberikan masukan kepada pemegang kebijakan
(user) yang berdasarkan hasil riset (penelitian). Selanjutnya,
Litbang melakukan sosialisasi hasil kajian itu dan
menyampaikankannya kepada masyarakat luas bekerjasama
dengan instansi-instansi pemerintah yang menaunginya.
Ada pemahaman yang sempit tentang jihad yang terjadi
di masyarakat. Banyak pelaku teroris terdiri dari orang-orang

133
yang pengetahuan Islamnya rendah, tapi memiliki semangat
keislaman yang tinggi (berjiwa muda), mudah terperdaya oleh
doktrin-doktrin yang disandarkan pada agama, termasuk
melakukan aksi anarkhis.
Kondisi dan fakta memang mengindikasikan terdapat
oknum yang sengaja menciptakan situasi, mengambil
keuntungan dari kejadian-kejadian dan upaya
mendiskreditkan Islam sebagai pelaku teroris. Tentu saja, hal
tersebut ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka
dengan Islam (musuh Islam). Untuk memberikan wawasan
yang menyegarkan dan membimbing umat, maka perlu
optimalisasi peran NU, Muhammadiyah, Majelis Ulama
Indonesia dan umat Islam secara bersama-sama.
Faktor pemicu aksi-aksi radikal karena eksternal dan
internal. Faktor eksternal seperti konspirasi global melalui
pembentukan opini dengan berbagai macam media.
Bagi internal umat Islam, harus melakukan introspeksi
diri meluruskan pemahaman ajaran agama di tengah
masyarakat melalui pendidikan Islam sejak dini, menuntaskan
masalah kemiskinan dan lain-lain. Dari data yang
disampaikan oleh kepolisian menunjukkan bahwa para
pelaku bom dan mereka yang masuk jaringan teroris
disebabkan oleh keterhimpitan faktor ekonomi.

134
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN
6 DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI
SULAWESI TENGAH
Oleh: Asbar Tantu53

Pelaksanakan Lokakarya

L
okakarya Peranan Pondok Pesantren Dalam
Mengembangkan Budaya Damai di Provinsi Sulawesi
Tengah diselenggarakan di Universitas Al-Khairat
Palu (Sulawesi Tengah) pada tanggal 10 s/d 11 Oktober 2009.
Acara ini mendapat respon positif dari pemerintah daerah
Provinsi Sulawesi Tengah.
Respon positif juga datang dari pondok pesantren dan
berbagai organisasi sosial keagamaan di Provinsi Sulawesi
Tengah yang ditunjukkan dengan kesediaan para pimpinan
dan pengurusnya memenuhi undangan undangan panitia,
baik sebagai peserta lokakarya maupun peserta undangan.
Para peserta terlihat antusias. Mereka mengemukakan
pandangan yang faktual dan berbobot yang mengindikasikan
bahwa para pimpinan pondok pesantren dan para pimpinan
organisasi sosial keagamaan di provinsi Sulawesi Tengah
selalu aktif mengikuti berbagai peristiwa yang berskala
nasional, terutama terkait dengan berkembangnya faham dan
praktek beragama yang bercorak radikal. Selama kegiatan
berlangsung, beberapa pemikiran yang berkembang di antara
para peserta; yaitu: a). Pondok pesantren diisukan menjadi
sasaran terorisme; b). pondok pesantren diisukan menjadi
sarang dan menampung terorisme dan radikalisme; c).

53 Dosen Universitas Al Khairat, Palu Sulawesi Tengah

135
pondok pesantren mengembangkan paham Islam yang
moderat.
Peserta
Peserta lokakarya ini berjumlah 80 orang, 50 orang di
antaranya adalah pimpinan pondok pesantren se-Sulawesi
Tengah dan 30 orang peserta lainnya berasal dari lembaga
pendidikan agama formal, penyuluh agama, guru, guru
agama di sekolah umum, pimpinan organisasi keagamaan,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Komunikasi Umat
Beragama (FKUB). Dari 50 pimpinan pesantren yang
diundang 2 (dua) di antaranya tidak menyatakan siap untuk
menjadi peserta, sehinggga panitia mengundang 2 orang guru
agama sekolah menengah di kota Palu sebagai pengganti.
Pemakalah dan narasumber berasal dari pusat dan
daerah. Para pemakalah daerah yaitu; Prof. Dr. HM. Noor
Sulaiman, PL dengan judul makalah “Pandangan Komunitas
Pondok Pesantren tentang Radikalisme Keagamaan”.
Kemudian Dr. H. Lukman S Taher, MA Cara-cara “Pondok
Pesantren Menanggulangi Radikalisme Keagamaan dan Drs.
Djamaluddin Mariadjang, M.Si dengan judul ”Meningkatkan
Kerjasama Pondok Pesantren dalam Menanggulangi
Radikalisme Keagamaan”.
Ringkasan Makalah Daerah
Para pemakalah daerah menyampaikan bahwa
radikalisme dalam Islam yang pertama kali muncul adalah
kelompok Khawarij, terjadi pada abad ke tujuh. Kejadian
tersebut kemudian menginspirasi paham dan gerakan Wahabi
yang terjadi di Hijaz pada akhir abad ke sembilan belas.
Gerakan Wahabi dibangun atas prinsip dasar epistemologis
kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, pemurnian tauhid,

136
menolak tawassul (perantara) dan bid’ah serta penafsiran
madzhab.
Dalam menanggulangi radikalisme, pesantren perlu
memahami paham dan gerakan “keislaman” baru di
Indonesia. Munculnya gerakan baru dalam Islam sering
disebabkan oleh pengetahuan yang tidak lengkap mengenai
ajaran Islam. Dalam menghadapi gerakan laten (radikalisme),
umat Islam harus merapatkan barisan dan pesantren
mengambil perannya sebagai representasi komunitas Islam
akar rumput dengan cara membangun kerjasama pondok
pesantren.
Pandangan-pandangan yang muncul selama sidang
komisi adalah; a). terorisme merupakan tindakan kontra-
produktif bagi eksistensi Islam dan bertentangan dengan nilai-
nilai dasar agama Islam; b). terorisme bukan jihad, jihad itu
wajib hukumnya dan sarana untuk memperbaiki, bukan
merusak; c). radikalisme keagamaan merupakan reaksi umat
beragama akibat diperlakukan tidak adil baik oleh penguasa
dalam negeri maupun secara global; d). radikalisme
keagamaan bertentangan dengan karakteristik budaya
pondok pesantren sebagai lembaga yang terbuka dan
moderat; e). radikalisme keagamaan tumbuh dan berkembang
akibat kedangkalan memahami agama.
Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi
radikalisme keagamaan oleh pondok pesantren adalah: a).
mengaktifkan forum komunikasi antar pondok pesantren se-
Sulawesi Tengah; b). mengembangkan mainset pemikiran
tasawuf, akhlak dan penguatan nilai-nilai akidah ahlussunnah
wal jama’ah; c). telaah ulang dan penataan kurikulum
pembelajaran agama Islam; d). meningkatkan sarana dan
prasarana pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren;

137
e). meningkatkan pemahaman kepada santri dan masyarakat
tentang nilai agama yang menjadi rahmatan lil’alamin.
Rekomendasi
A. Kepada Pemerintah
Rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah
yakni; a). agar pemerintah melakukan pembinaan pondok
pesantren tidak hanya berwujud pengembangan wawasan
budaya damai, tetapi juga membangun kekuatan umat
dalam pengertian luas; b). membina seluruh pondok
pesantren secara adil dan merata; c) perlu dilakukan
pencitraan kembali pondok pesantren sebagai lembaga
pembinaan moral umat.
B. Kepada Pengasuh Pondok Pesantren
Rekomendasi untuk para pengasuh pesantren yakni; a).
Meningkatkan amar ma’ruf nahi munkar; b).
meningkatkan kewaspadaan terhadap upaya laten dan
sistematis yang akan menghancurkan pondok pesantren;
c) pondok pesantren perlu membuka diri untuk menerima
tenaga pendidik yang professional.
C. Kepada Masyarakat
Rekomendasi untuk masyarakat luas yaitu; a). tidak
memandang pesantren yang menyantuni korban
kerusuhan sebagai sikap persetujuan terhadap terorisme.
Pesantren senantiasa berada pada posisi melawan paham
dan aksi teror; b). membentuk dan mengaktifkan majelis
ta’lim dan organisasi remaja masjid dalam menanggulangi
paham radikal.

138
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN
7 DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI
KALIMANTAN TIMUR
Oleh: Abdul Madjid54

Pendahuluan

R adikalisme keagamaan merupakan salah satu isu


penting dan meresahkan seluruh elemen masyarakat
Indonesia pasca munculnya beberapa kelompok yang
melakukan aksi-aksi kekerasan dengan mengatasnamakan
agama.
Lokakarya diselenggarakan atas kerjasama antara
Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan Rabithah Ma’ahid
Islamiyah (RMI) Kalimantan Timur. Lokakakarya diadakan
pada tanggal 13-14 Oktober di Gedung PKK Kota Samarinda.
Pembukakaan dilaksanakan di Gedung Rui Rahayu Kantor
Gubernur Kalimantan Timur dibuka oleh Wakil Gubernur
yang diwakili Asisten III Bidang Sosial.
Para pemakalah daerah adalah; a). H. M.Rasyid, M.Pd
(Pimpinan Ponpes Mujahidin Samarinda) dengan judul:
”Pandangan Kalangan Pondok Pesantren tentang
Radiikalisme Keagamaan”; b). M.Said Husin, MA (Dosen
STAIN Samarinda) dengan judul ”Strategi Pondok Pesantren
dalam Menanggulangi Radikalisme Keagamaan”; c).
Dr.H.Fakhrul Ghazi, MA (Dosen STAIN Samarinda) dengan
judul: ”Peningkatan Jaringan dan Kerjasama Pondok
Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme Keagamaan”.

54
Doses STAIN Samarinda

139
Pokok-Pokok Pikiran para Pemakalah
Radikalisme keagamaan pada awalnya tidak selalu
muncul dari paham keagamaan tetapi lebih banyak muncul
dari akibat perbedaan pandangan atau bahkan pertikaian
politik. Baru kemudian menembus kepada paham keagamaan,
dan selanjutnya agama dijadikan legitimasi untuk
membenarkan tindakan agar mendapatkan dukungan, dan
motivasi perjuangan.
Radikalisme keagamaan berhubungan dengan
memperjuangkan keyakinan/paham keagamaan dengan
drastis, tanpa kompromi, bahkan dengan kekerasan. Pengikut
radikalisme keagamaan pada umumnya berasal dari; a).
keluarga miskin yang mengalami kekecewaan karena merasa
terpinggirkan dalam peran sosial – ekonomi dan politik; b).
Mereka yang memahami ajaran agama secara tekstual, tidak
memahami konteks di mana sebuah teks keagamaan (al-
Qur’an dan hadis) itu turun; c). Motto gerakannya adalah:
pemurnian ajaran agama (dalam ibadah dan budaya/dan
khilafah, dalam bidang politik).
Gerakan radikalisme keagamaan di Indonesia:
a. Bersifat transnasional berasal dari Timur Tengah.
Berkembang pesat di awal era reformasi (sekitar tahun
1997 dan 1998), dengan nama yang beragam. Sampai
sekarang menunjukan adanya peningkatan secara
kuantitatif maupun kualitatif.
b. Sasaran utamanya adalah generasi muda melalui kegiatan
di sekolah, perguruan tinggi, dan rumah ibadah (mesjid,
surau, mushalla).
c. Bentuk kegiatannya antara lain: seminar (insidentil),
taklim (rutin), siaran radio, bulletin, pendirian pondok
pesantren dan lembaga pendidikan formal.

140
Bagaimana pondok pesantren yang menganut paham
moderat/ahlussunnah wal jamaah menyikapi perkembangan
radikalisme keagamaan di Indonesia:
a. Meningkatkan fungsi pondok pesantren sebagai lembaga
“tafaqquh fiddin” selain untuk para santri juga untuk
masyarakat lingkungan pesantren.
b. Mengadakan kegiatan berkala berupa: seminar, diskusi,
halaqah, bahtsul masail antar pondok pesantren di bawah
koordinasi RMI.
c. Memposisikan/memerankan pondok pesantren sebagai
agen pemberdayaan ekonomi masyarakat di lingkungan
pondok pesantren. Peran ini memerlukan kemitraan
dengan lembaga-lembaga pemberdayaan ekonomi kecil
dan menengah.
d. Memfungsikan RMI sebagai lembaga kordinasi dan
konsultasi kegiatan pondok pesantren.
Ringkasan Makalah:
Strategi Pondok Pesantren dalam Menanggulangi
Radikalisme Keagamaan
Oleh: Drs.H.M.Said Husin, MA
1. Munculnya Gerakan Radikalisme Keagamaan disebabkan
oleh faktor politik, pemahaman keagamaan yang dangkal
dan kondisi sosial ekonomi.
2. Jenis-Jenis Radikalisme: Fisik dan Non fisik
3. Bentuk Radikalisme: Gerakan Massa, pengembangan
paham dan ekstrimitas dan fanatisme
4. Dalam menanggulangi radikalisme Keagamaan, Ponpes
dapat menempuh cara-cara berikut:

141
Secara internal: Penguatan ideologi, Penguatan institusi,
Pengembangan wacana dan Sikap Islam Universal,
antisipasi terhadap penetrasi paham dan wacana radikal.
Secara Eksternal: Membangun kerja antar sesama ponpes,
meminimalisir jaringan Kelompok Islam Radikal,
Intensipkan pendekatan dialogis keagamaan, intensipkan
kiprah pembangunan sosial keagamaan, mengembangkan
wacana Islam Pluralis, Toleran, Inklusif dan Multi
Kultural, dan meluruskan makna jihad, khilafah dan multi
budaya
5. Perlu dibedakan antara agama dan keberagamaan.
Dimensi pertama dipandang sebagai dinullah
(doktrin/ajaran) yang bersifat mutlak dan absolute karena
Islam diyakini sebagai syari’at atau ajaran Ilahi yang
diturunkan kepada Rasul Muhammad SAW dan
mencakup ajaran tentang aqidah, ibadah, mu’amalah dan
akhlaq. Atau lebih dikenal sebagai ajaran yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia
dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan
alam sekitar. Di sini dinullah bersifat suci, mutlak dan
universal (tidak dibatasi oleh ruang dan waktu).
Sedangkan dimensi kedua dipandang sebagai dinul-ummat
(keberagamaan) yang bersifat relatif dikarenakan pada
tatanan praksis ini, keberagamaan Islam bisa dipandang
sebagai suatu kondisi objektif perilaku seorang muslim di
dalam: pertama, menjalankan dinullah seperti pada
dimensi dan pengertian yang pertama, yaitu terikat dan
bertindak menurut aturan Islam yang diyakini dan
difahaminya, kedua pelaksanaan dinullah di bawah
bingkai tujuan atau maksud diberlakukannya syari’at oleh
Sang Syaari’ (maqashidus syari’ah). Tentu saja kondisi
seorang muslim tersebut sangat tergantung pada dimensi

142
ruang dan waktu yang mengitarinya, antara lain
kemampuan intelektual dalam memahami ajaran agama,
kondisi sosial-budaya di mana seorang muslim dimaksud
berkiprah, dan kondisi geografis-politik. Di sini
keberagamaan sangatlah personal dan sektoral, bersifat
profane dan dipengaruhi oleh faktor kultural.
6. Keberagamaan dapat dikembangkan melalui proses
pemahaman, sikap, aplikasi dan pembelajaran
Stategi Peningkatan Kerja sama Pondok Pesantren dalam
Penanggulangan Radikalisme Keagamaan
Oleh: Dr.H.Fakhrul Ghazi,MA
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal
diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”,
“amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir
atau bertindak”. Sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai:
“paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau
aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial
dan politik dengan cara yang keras atau drastis”, “sikap
ekstrim dari suatu aliran politik”
Islam tidak pernah mengajarkan paham yang mengarah
pada radikalisme keagamaan, baca al-Baqarah :143. Oleh
sebab itu Pondok Pesantren perlu membuka jaringan ke pihak
lain
Beberapa issu yang berkembang
1. Makna Radikalisme.
Pada sesi pertama, perdebatan alot tidak bisa dihindari
seputar makna kata “radikalisme keagamaan” itu. Di satu
sisi tema kegiatan adalah penanggulangan radikalisme
keagamaan, namun di sisi lain, dalam persfektif sebagian
peserta bahwa radikalisme keagamaan itu penting dalam

143
rangka tafaqquh fiddin. Menurut mereka, kemerdekaan
Indonesia yang diraih justru merupakan hasil dari
radikalisme, oleh karena itu radikalisme telah
membuktikan kontribusinya.
Namun pada perkembangan selanjutnya disepakati bahwa
perlu dibedakan antara tafaqquh fiddin secara radikal,
dalam arti mempelajari agama sampai ke akar-akarnya,
dan bertindak secara radikal (kekerasan). Mempelajari
agama secara radikal akan menggiring pada pemahaman
keagamaan yang lebih komprehensif, toleran dan terbuka
terhadap perbedaan pendapat. Sementara, tindakan-
tindakan radikalisme yang sering terjadi pada umumnya
dilakukan oleh oknum-oknum yang memiliki pemahaman
keagamaan yang picik.
2. Selain makna term radikalisme keagamaan, hal yang
muncul ke permukaan adalah pertanyaan mengapa
kelompok seperti ini tumbuh dan semakin berkembang di
tanah air. Di samping berbagai faktor yang disebutkan
oleh para nara sumber seperti faktor politik, kemiskinan,
kesenjangan sosial, pemahaman keagamaan yang dangkal,
peserta menyebutkan bahwa ketidakjelasan hukum di
Indonesia juga merupakan faktor mengapa kelompok
seperti ini bisa berkembang.
3. Dalam konteks penanggulangan radikalisme keagamaan
Program Pendampingan pondok pesantren dimunculkan
sebagai salah satu strategi. Selama ini pendampingan
ponpes di Kaltim sudah berjalan baik yang dilakukan oleh
pemerintah (Kemenag) maupun oleh lembaga sosial.
Bentuk pendampingannya berupa peningkatan SDM para
pengelola, Peningkatan Mutu pengelolaan Ponpes,
Workshop pengembangan wira usaha, dan lain
sebagainya. Namun pendampingan yang dimaksud dalam

144
konteks ini adalah pemantauan, penataan kurikulum yang
berwawasan toleran terhadap penganut agama lain dan
sebagainya.
Pendampingan juga bisa dimaknai dengan memfasilitasi
pondok pesantren dalam menjalin komunikasi dan
pembukaan jaringan ke berbagai pihak dalam rangka
pengembangan pondok pesantren.
4. Gerakan Antisipatif Pondok Pesantren
Di samping perlu dilakukan pendampingan dari pihak
stakeholder, secara internal pondok pesantren juga perlu
melakukan tindakan antisipatif ke arah itu. Di forum ini
dibahas sebaiknya pondok pesantren melaksanakan
manajemen terbuka, membuka diri dengan dunia luar
agar tidak menimbulkan kecurigaan, menyusun formulasi
kurikulum yang berwawasan kedamaian, dan toleran,
serta mungkin perlu mengajarkan fiqhi jihad dan
menyusun modul terkait dengan tema ini. Karena, selama
ini yang diajarkan hanya seputar fiqhi ibadah
5. Pemberlakuan Syariat Islam secara Kaffah
Issu ini muncul di sesi terakhir, pada saat penyajian materi
yang berjudul Meluruskan Makna Jihad oleh Prof. Dr. KH.
Mustafa Ali Ya’kub, MA., Konsep Wasathiyah dalam
Islam oleh Dr. Ali Nurdin dan Sikap Moderat Aswaja
dalam Teologi dan Politik oleh Dr. H. Ahsin Sakho
Muhammad. Dengan berdasar pada ayat
“Barangsiapa tidak berhukum pada apa-apa yang diturunkan
oleh Allah, maka ia tergolong orang-orang yang kafir”.
Bertolak dari ayat di atas, seorang peserta
mempertanyakan urgensinya pemberlakuan syariat Islam
secara kaffah.

145
6. Makna Jihad dan Kapan Harus Dilaksanakan
Selain pemberlakuan syariat Islam secara kaffah,
pertanyaan tentang makna jihad dan kapan harus
dilaksanakan, sempat mencuat dalam forum. Hal ini
terkait dengan terjadinya kasus penindasan umat Islam di
Palestina dan Afghanistan misalnya, masalahnya adalah
apakah boleh umat Islam Indonesia mengirim pasukan ke
negara tersebut sebagai wujud solidaritas sesama muslim
dengan berdasar pada ayat Al-Qur’an.

146
PERANAN PENGASUH PONDOK PESANTREN
8 DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI
PROVINSI BANTEN
Oleh: H. Hasan Basri55

Pelaksanaan Lokakarya

K
egiatan ini di laksanakan pada tanggal 19-20 Oktober
2009, bertempat di Hotel Mahadria, sebelah utara
alun-alun Kota Serang. Lokakarya dibuka oleh Bapak
Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D, Kapuslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama.
Peserta yang mengikuti lokakarya sebanyak 80 orang
terdiri dari unsur pondok pesantren sebanyak 60 orang,
sisanya 20 orang terdiri dari ormas Islam (termasuk MUI) dan
unsur perguruan tinggi serta dari FKUB Provinsi Banten.
Para nara sumbernya adalah:
Dari Pusat
1. Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar: Refleksi Pembaharuan dalam
Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah.
2. Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D: Memahami Agama
Damai dalam Dunia Pesantren
3. Dr.Mukhlis Hanafi: Konsep Wasathiyah dalam Islam.
4. Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub: Meluruskan Makna
Jihad dalam Islam.

55 Dosen Institut Agama Islam Banten (IAIB)

147
5. Dr. H. Ali Nurdin: Sikap Moderat Ahlus Sunnah wal
Jama’ah dalam masalah Teologi dan Politik.
Dari Daerah
1. Prof. Dr. H.M. Athoullah Ahmad, MA (Dekan Fakultas
TArbiyah IAIB Serang). Beliau menyampaikan materi
dengan judul: Pandangan Komunitas Pondok Pesantren
tentang Radikalisme Keagamaan.
2. Prof. Dr. HMA. Tihami, MM, (Rektor IAIN Sultan
Maulana Hasanuddin Banten) dengan judul: Radikalisme
Keagamaan dan Harmoni Sosial
3. Kapolda Banten yang disampaikan oleh Kompol Drs.
Jonson yang menyampaikan materi dengan judul:
“Meningkatkan Kerjasama Pondok Pesantren dalam
Menanggulangi Radikalisme Keagamaan”.
Kegiatan Lokakarya ini ditutup oleh Rektor IAIB Serang
Bapak Prof. KH. A. Wahab Afif, MA.
Isi Ringkasan Makalah Daerah
A. Makalah dengan judul ”Pandangan Komunitas Pondok
Pesantren tentang Radikalisme Keagamaan oleh Prof. Dr.
HM. Athoullah Ahmad, MA
Model-model Pondok Pesantren:
1. Pesantren tradisional adalah sistem pendidikan tertua
di Indonesia, ciri-cirinya:
a. Pimpinan pondok pesantren pada umumnya Kyai
kharismatik sekaligus pemilik pesantren.
b. Mata pelajaran khusus agama, seperti Tafsir Al-
Munir, oleh Kyai Nawawi, Tafsir Jalalain, Tafsir
Ibnu Katsir, Fiqih (Taqrib, Fathul Mu’in), Hadits
Arbain dan Ridyadhatus Shalihin, Tanqihul Qoul

148
dan lain-lain. Pelajaran alat (Nahu Sharaf, seperti
Kitab Jurumiyah, ‘Amil, Imriti, Alfiah) dan lain-
lain.
c. Pembelajaran tidak mengenal target waktu dan
tidak mengenal kelas. Peningkatan dalam
pembelajaran dilakukan jika kitab yang dikaji telah
khatam (pembelajaran tuntas), maka dilanjutkan
dengan mempelajari kitab-kitab yang lebih besar
dan lebih tinggi tingkatannya.
d. Sarana dan fasilitas pembelajaran tidak ditentukan
pada tempat yang baku, bisa dilakukan di masjid,
surau atau di rumah kyai.
e. Pemondokan diusahakan oleh santri sendiri sejak
dari membuat gubug hingga perlengkapan tidur
dan penyimpanan pakaian.
f. Santri diajarkan untuk mandiri, dari memasak,
mencuci pakaian hingga kepentingan lainnya
seperti belanja di pasar untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
g. Evaluasi pembelajaran kurang jika dibandingkan
dengan sekolah
2. Pondok Pesantren Modern
Pondok pesantren modern pada hakekatnya adalah
madrasah yang memakai sistem dan metode
pembelajaran diatur sesuai dengan kemajuan zaman
dengan ciri-ciri:
a. Pimpinan Pondok Pesantren Modern, bisa Kyai
atau bukan.

149
b. Materi pembelajaran terdiri dari pelajaran agama
dan umum.
c. Sebagaimana sekolah, siswa mengenal kelas,
terstruktur dan terevaluasi.
d. Siswa/peserta didik mukim di pesantren
(diasramakan).
B. Makalah Radikalisme Keagamaan dan Harmoni Sosial
Oleh: Prof. Dr. HM. A Tihami, MA, MM
Ada dua konsep pengertian tentang radikalisme dan
harmoni:
1. Konsep radikal
pengertian radikal secara bahasa:
a. secara menyeluruh; habis-habisan
b. amat keras, menuntut perubahan misalnya
Undang-Undang Pemerintahan dan sebagainya,
c. maju dalam berpikir/bertindak
Sedangkan konsep radikalisme adalah:
a. paham/aliran yang radikal dalam politik.
b. paham/aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial politik dengan cara keras atau
drastis.
c. sikap ekstrim dalam suatu aliran politik.
2. Konsep harmoni sosial
Yang dikatakan harmoni sosial adalah kesesuaian dan
keserasian dalam kehidupan bermasyarakat.
Karakteristik harmoni;

150
a. pasti banyak perbedaan-perbedaan.
b. setiap unit perbedaan berkesanggupan bergerak
sendiri-sendiri.
c. Ada saling berhubungan yang menguntungkan
antar umat yang berbeda
d. Ada aliran universal untuk semua perbedaan dan
ada aturan parsial bagi unit perbedaan tersebut.
3. Kekuatan yang menggerakkan harmoni adalah
kebudayaan masing-masing unit. Perbedaan itu
bergerak secara mandiri tetapi secara bersamasama
dalam kesatuan wilayah kebudayaan.
C. Makalah dengan tema: “Meningkatkan Kerjasama Pondok
Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme
Keagamaan.Oleh: Kapolda Banten yang diwakili Oleh
Kompol Drs. Jonson
1. Pengertian radikalisme keagamaan.
Radikalisme adalah pemahaman sekelompok orang
yang berimplikasi pada tindakan radikal atau
menyimpang dengan memanfaatkan ajaran agama-
nya. Bila tidak diluruskan akan berpotensi menjadi
gangguan Kamtibmas (kriminalitas, terorisme, dan
lain-lain). Untuk meningkatkan kerjasama dalam
menanggulangi radikalisme keagamaan dapat
dilakukan dengan:
a. membentuk wadah, yaitu Balai Kemitraan Polisi
dan Masyarakat (BKPM). Kemudian membentuk
lagi Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat
(FKPM) yang dipimpin oleh salah satu anggota

151
forum, sedangkan anggota Polisi Masyarakat/
Babinkamtibmas sebagai wakilnya.
c. Di lingkungan pesantren juga dibentuk BKPM dan
FKPM. Duduk sebagai wakil ketua forum adalah
Polmas khusus yang memiliki kemampuan dan
pengetahuan tentang komunitasnya.
d. Tugas FKPM selain sebagai “polisi” bagi dirinya
sendiri/komunitas/kelompok juga memecahkan
masalah Kamtibmas di lingkungannya.
Isu yang Berkembang dalam Diskusi Kelompok
A. Kelompok A: Pandangan Komunitas Pondok Pesantren
tentang Radikalisme Keagamaan
1. Ciri pondok pesantren salafiyah
a. Memberantas kebodohan dan memberi ilmu
pengetahuan (terutama ilmu agama)
b. Figur sentral Kyai dalam komunitas pondok
pesantren sebagai panutan.
c. Tidak terpengaruh dengan aliran-aliran yang
negatif (aliran sempalan).
d. Santri diajarkan mandiri dengan tetap tunduk/
patuh pada pimpinan pondok.
e. Tidak diajarkan paham-paham yang keras (radikal)
f. Tidak terpengaruh dengan pandangan politik
praktis yang bersifat sesaat.
g. Pada umumnya belum mengembangkan
pemikiran-pemikiran yang bersifat global.
h. Tidak ikut meligitimasi gerakan-gerakan radikal.

152
2. Pandangan.
a. Radikalisme keagamaan tidak cocok dengan kultur
pesantren. Karena jihad yang diajarkan di pondok
pesantren tidak semata-mata berarti perang (qital).
b. Adanya diskriminasi terhadap lembaga pendidikan
keagamaan dalam bantuan pembiayaan
operasional.
c. Figur kyai masih ada yang terjebak dalam
permainan politik praktis.
d. Kyai seyogyanya memiliki wawasan yang luas
agar kuat dalam berzikir dan berpikir.
e. Jalinan hubungan silaturrahmi antara ulama dan
umara masih perlu ditingkatkan.
f. Badan Intelejen Negara (BIN) diharapkan dalam
penanggulangan terorisme tidak mencurigai
komunitas pesantren sebagai sarang teroris, sebab
hanya beberapa pesantren yang terindikasi
mengajarkan paham radikal.
B. Kelompok B:
Cara-Cara/Bentuk-Bentuk Penanggulangan Radikalisme
Keagamaan Melalui Pondok Pesantren.
1. Segi Politik:
a. Memutuskan mata rantai jaringan aktor intelektual
terorisme.
b. Memberikan wawasan yang luas kepada santri
dalam politik internasional.
c. Mengintensifkan kewaspadaan dalam
mengantisipasi berkembangnya paham ideologi
internasional tentang terorisme.

153
2. Segi Ekonomi:
a. Membangun komunikasi yang intensif antara
pemerintah dengan pihak pondok pesantren untuk
membuka peluang dan akses pemberdayaan
ekonomi masyarakat.
b. Membangun ekonomi pesantren berbasis koperasi
dan usaha kecil dan menengah.
3. Segi Sosial
a. Membangun dan memberdayakan forum
kemitraan polisi masyarakat (FKPM) di setiap
pesantren.
b. Menanamkan sikap toleransi pada setiap santri
sehingga tidak memicu sikap radikal.
c. Mereposisi peran ulama sebagai qudwah hasanah
dan uswatun hasanah.
4. Segi pemahaman terhadap teks keagamaan:
a. Telaah ulang terhadap bahan ajar yang berkaitan
dengan akidah.
b. Memberi wawasan sosiologis kepada setiap santri.
c. Meluruskan interpretasi terhadap ayat-ayat jihad.
C. Kelompok C: Membangun/Meningkatkan Kerjasama
Pondok Pesantren dalam Penanggulangan Radikalisme
Keagamaan.
Hasil rumusan diskusi kelompok C adalah
1. Memanfaatkan Forum Silaturrahmi Pondok Pesantren
(FSPP) untuk memprogramkan kegiatan rutin berupa
halaqah, pengajian yang dilakukan majelis taklim,

154
untuk mengantisipasi dan menanggulangi radikalisme
keagamaan.
2. Pesantren berperan aktif dalam penanggulangan/
penyebarluasan radikalisme keagamaan pada
masyarakat sekitar.
3. Perlu koordinasi antara pesantren dan pemerintah
setempat dalam penyelenggaraan program
deradikalisasi.
4. Kerjasama antar lembaga;
a. MUI mengadakan Bahtsul masail tentang
pelurusan makna jihad dan semacamnya.
b. FSPP melalui halaqah dan penyuluhan
c. DKM berupa penyuluhan dalam taklim dan
khutbah.
d. FKUB mengadakan dialog lintas agama bersama
Ormas Islam.
e. Lembaga pendidikan dari SLTP sampai dengan
perguruan tinggi dalam penanggulangan
pemahaman radikal di bidang agama.
f. Partai politik yang berbasis Islam.
g. Melalui media, brosur-brosur dan lain-lain.
5. Meluruskan kurikulum yang ada di pondok pesantren
tentang makna jihad dan terorisme.
6. Merangkul organisasi yang dianggap ekstrim dengan
melakukan dialog secara terbuka dengan pendekatan
kekeluargaan.

155
156
BAB IV
PENUTUP

S
ebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren yang
tersebar di berbagai belahan nusantara ini telah
memberikan sumbangsih yang sangat besar dan
signifikan dalam upaya pemberdayaan sumberdaya manusia.
Pesantren juga melahirkan santri-santri yang cerdas, terampil
dan bermoral yang telah berjasa dalam perjuangan nasional.
Pada masa pembangunan sekarang ini, pesantren telah
mengembangkan pemikiran dan wawasan baru yang
mendorong terjadinya perubahan, khususnya perubahan di
bidang kehidupan sosial keagamaan yang lebih adil dan
sejahtera.
Selain itu, sebagai sub-sistem sosial, di samping
berkiprah dan melakukan peran edukatif, pesantren juga
memberikan kontribusi positif dalam upaya perwujudan
situasi dan kondisi yang kondusif bagi kerukunan, kesatuan
dan keutuhan bangsa. Membangun komunikasi dan interaksi
sosial yang konstruktif, dinamis dan harmonis dalam berbagai
aspek kehidupan; sosial, ekonomi, politik, budaya,
kamtibmas, agama dan sub-sistem lainnya yang mengatur
supaya keseimbangan masyarakat tetap terpelihara. Termasuk
ikut mengendalikan, mencegah dan menanggulangi
merebaknya paham dan perilaku radikalisme agama yang
berkembang dan dapat merusak keseimbangan sosial.
Pengembangan peran pesantren dalam penanggulangan
radikalisme agama ini antara lain dapat dilakukan melalui
“Jaringan Kerjasama Pondok Pesantren”. Sebagai sub-sistem
sosial, pesantren bersama-sama dengan segenap lapisan dan
kelompok sosial lainnya, senantiasa berupaya agar

157
keseimbangan sosial itu selalu terjaga. Beragam faktor yang
merepresentasikan pelbagai kepentingan masyarakat, tidak
jarang menimbulkan gangguan atau ancaman terhadap
keseimbangan sosial seperti kemiskinan, kebodohan,
kesenjangan sosial, persaingan politik kurang sehat,
tumpulnya penegakan hukum, rusaknya lingkungan dan lain
sebagainya.
Terganggunya keseimbangan sosial ini, berdampak pada
munculnya berbagai tekanan sosial, baik yang bersifat
individual maupun komunal. Selanjutnya dalam upaya
melepaskan diri dan mengatasi berbagai tekanan dan
kesulitan sosial itu, acapkali - disadari atau tidak – digunakan
cara dan langkah yang kurang tepat dan berakibat destruktif.
Kondisi seperti ini memberikan peluang berkembangnya
perilaku radikal, termasuk radikalisme agama, baik dalam
komunikasi internal maupun hubungan antar sub-sistem
sosial.
Terkait dengan upaya penanganan dampak
ketidakseimbangan sosial, khususnya dalam penanggulangan
radikalisme agama melalui jaringan kerjasama pondok
pesantren harus komprehensif, tidak parsial, meliputi segenap
aspek yang menjadi ancaman keseimbangan sosial. Di
samping mengintegrasikan peran jaringan pesantren sekaligus
juga mengeksplorasi dan mensinergikan potensi kelembagaan
di luar pondok pesantren seperti lembaga politik, ekonomi,
kamtibmas, perguruan tinggi, media massa dan asosiasi-
asosiasi lain yang potensial maupun berkontribusi
menyelesaikan persoalan sosial yang dihadapi.
Kerjasama komprehensif ini harus terarah dan fokus
pada perwujudan dua target strategis; yaitu: a) menjernihkan
paham dan perilaku yang menyesatkan masyarakat, b)
pemberdayaan kemampuan masyarakat supaya survive secara

158
sosial ekonomi. Target strategis pertama merupakan fungsi
utama jaringan pesantren sebagai “Lembaga Telaah
Permasalahan Umat” (Bahtsul Masail). Sementara target
strategis kedua adalah interaksi antara dunia pondok
pesantren dengan lembaga-lembaga di luar dunia pondok
pesantren untuk memformulasikan dan mensinergikan fungsi
serta peran masing-masing menjadi tujuan bersama mengatasi
pelbagai permasalahan kemanusiaan. Pondok pesantren
bersama-sama dengan lembaga-lembaga sosial yang ada
merumuskan agenda bersama yang dijabarkan dalam
langkah-langkah programatik yang menyentuh permasalahan
utama yang dihadapi, mensinergikan beragam potensi yang
dimiliki, khususnya mengeliminasi berkembangnya
radikalisme agama di republik ini.

159

Anda mungkin juga menyukai