Anda di halaman 1dari 155

Industri Pangan Halal

Bayu Sagara

2013
Tell me what you eat

and I will tell you who you are…


(Anthelme Brillat-Savarin – 1826)
Pengantar

Bismillah wal-hamdulillah.

Buku ini jauh dari sempurna, kebenaran di buku ini adalah anugerah Allah
swt sedangkan kesalahannya bersumber dari kelemahan penyusun semata. Jika
akan mengutip, silakan merujuk pada daftar pustaka yang ada di setiap akhir bab.
Buku ini mencoba menggali kehalalan dalam kaitannya dengan industri
pangan. Mengangkat sejumlah data dan forecasting tentang kapasitas ekonomi
industri pangan halal dan hubungannya dengan demografi masyarakat muslim.
Industri halal saat ini merupakan sebuah sektor industri baru yang sedang
berkembang sehingga menjadi sebuah emerging global trend. Hal ini tentu
menjadikan sebuah pergeseran dalam sistem produksi dimana kehalalan tidak bisa
diabaikan karena menjadi sebuah standar mutu.
Prinsip halal dan haram serta bagaimana pandangan makanan dalam islam
pun didedah sebagai kerangka dasar pemahaman. Tinjauan lebih lanjut adalah
kehalalan sebagai sebuah sistem dimana dilakukan pendekatan Halal Control
Point (HCP) yang diadopsi dari Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
yang sudah lebih awal digunakan dalam sistem keamanan pangan. Ada pun telaah
lebih spesifik dan teknis tentang pangan halal diangkat pada masalah-masalah
berikut :
 Produk daging dan isu pemingsanan hewan (stunning).
 Status alkohol dari produk alami dan penggunaan alkohol lainnya.
 Kehalalan produk bakery dari bahan hingga kuas dan pengemas yang
digunakan.
 Kehalalan produk susu terkait bahan tambahan pada diversifikasi produk
dan hasil sampingnya.
 Kehalalan pangan bioteknologi terkait modifikasi gen dan konsep istihala
 Instrumentasi untuk uji kehalalan meliputi instrumen berbasis fisiko-
kimia, pendekatan analisa DNA, serta analisa untuk ayam bangkai.
Semoga berguna, terimakasih.
DAFTAR ISI

1. PANGAN HALAL EMERGING GLOBAL TREND


2. KENAPA HALAL? KENAPA HARAM?
3. PRINSIP HALAL HARAM DAN MAKANAN DALAM
PANDANGAN ISLAM
3.1. Prinsip Halal Haram
3.2. Makanan Dalam Pandangan Islam
4. HALAL ADALAH SEBUAH STANDAR MUTU
4.1 Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
4.2 Halal Control Point (HCP)
5. MENIKMATI DAGING HALAL
5.1 Penyembelihan
5.2 HCP Penanganan Daging
5.3 Soal Stunning
6. TENTANG ALKOHOL
6.1 Antara Khamr dan Alkohol
6.2 Pedoman Penggunaan Alkohol
7. PRODUK BAKERY
7.1 Titik Kritis Kehalalan Bakery dan Kue
7.2 Bahan Baku
7.3 Pelumasan Loyang dan Pengolesan Permukaan Roti
7.4 Pengemasan
8. PRODUK SUSU
8.1 Susu Cair
8.2 Susu Bubuk
8.3 Mentega
8.4 Es Krim
8.5 Keju
9. PANGAN BIOTEKNOLOGI
9.1 Pandangan Kehalalan
9.2 Modifikasi Gen dan Istihala
10. OTENTIFIKASI KEHALALAN
10. 1 Instrumen Fisiko Kimia
10.2 Pendekatan DNA
10. 3 Analisa Ayam Bangkai
11. EPILOG
1. PANGAN HALAL AN EMERGING GLOBAL TREND

Dari sudut pandang sejarah sains dan agama, kehalalan pangan sekarang ini

merupakan suatu fenomena yang istimewa karena didalamnya ada kerjasama

antara sains dan agama. Meskipun dalam tradisi sejarah keilmuan Islam tidak

terjadi benturan sengit antara sains dan agama, namun secara umum sains dan

agama merupakan dua hal yang seringkali berbenturan dalam sejarah manusia.

Benturan yang bermula dari Copernicus yang menyatakan bumi manusia bukanlah

pusat semesta, disusul Darwin dengan evolusinya yang menjadikan manusia tak

lebih dari binatang tanpa keilahian, lanjut kemudian Freud dengan

psikoanalisanya menjadikan manusia tak lagi mengusai jiwanya sendiri.

Pendekatan analisis bahan pangan baik secara bioteknologi, kimia atau

pun secara manajemen operasi pada pangan halal saat ini menunjukkan bahwa

sains tidak menyerang agama tapi „melayani‟ agama. Tak berlebihan rasanya jika

kita menyitir Ken Wilber yang menyebut kerukunan antara sains dan agama

sebagai The Mariage of Sense and Soul, yang diterjemahkan Jalaluddin Rakhmat

sebagai perkawinan antara tubuh dan ruh. Kehalalan pangan adalah salah satu

bagian dari perkawinan ini.

Perkawinan sains dan agama dalam hal kehalalan pangan ternyata

„direstui‟ secara ekonomi. Pada tahun 2002 nilai bisnis pangan halal menurut

Egan mencapai 150 milyar US$ (Riaz and Chaudry, 2004). Nilai ini mengalami

peningkatan lebih dari empat kali lipat pada tahun 2010 dimana nilai bisnis dari
pangan halal mencapai 651 milyar US$ dan pada tahun 2011 diperkirakan

mencapai 661 milyar US$ (World Halal forum, 2011).

World Halal Forum mengklaim bahwa bisnis halal dan keuangan islam

merupakan dua bisnis yang bernilai triliunan dolar dengan pertumbuhan sekitar

15-20 % per tahun. World Halal forum pun menyatakan bahwa nilai bisnis halal

secara total mencapai 2,3 triliun US$ pada tahun 2011. Nilai ini merupakan

gabungan dari bisnis pangan halal, obat-obatan, kosmetik dan travel. Sedangkan

menurut Shield (2009) nilai market pangan halal global akan mencapai 2.1 triliun

US$ di tahun 2015 (Santoso, 2011). Melihat nilai market ini New Zealand Trade

and Enterprise bahkan mengklasifikasikan bisnis halal sebagai emerging global

trend atau tren global baru dan merekomendasikan perusahaan perusahaan New

Zealand untuk tetep mantengin alias stay up to date pada tren ini.

Tabel Nilai Market Bisnis Pangan Halal Global (milyar US$)

Wilayah 2009 2010


Global 634.5 651.5
1. Afrika 150.3 153.4
2. Asia 400.1 416.1
GCC* 43.8 44.7
Indonesia 77.6 78.5
China 20.8 21.2
India 23.6 24.0
Malaysia 8.2 8.4
3. Eropa 66.6 67.0
Prancis 17.4 17.6
Federasi Russian 21.7 21.9
Inggris 4.1 4.2
4. Australia 1.5 1.6
5. Amerika 16.1 16.2
Amerika Serikat 12.9 13.1
Kanada 1.8 1.9
*GCC : Gulf Cooperation Council, yang terdiri dari Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Bahrain,
Kuwait, Oman dan Qatar
Sumber : World Halal Forum dalam Global Pathfinder Report Halal Food Trends, Agriculture and
Agri-Food Canada (2011)

Bila kita bandingkan antara nilai market pangan halal dengan nilai market

bisnis pangan global secara keseluruhan, nilai market industri pangan halal berada

sekitar 15 % dari industri pangan total (perbandingan ini mengunakan nilai di

tahun 2009). Alpen Capital melaporkan bahwa nilai market industri pangan global

berada di angka 4,2 triliun US$ pada tahun 2009 dan diprediksi akan meningkat

menjadi 5.3 triliun US$ pada akhir tahun 2014. Diprediksi juga oleh Alpen

Capital bahwa tingkat pertumbuhan nilai market pangan global ada di angka 4,4

%. Dengan demikian terlihat bahwa meskipun pangan halal mempunyai nilai

market di angka belasan dari total market namun dengan tingkat pertumbuhan

yang bisa mencapai 15 - 20 % per tahun jelas menjadikannya layak disebut

sebagai emerging global trend.

Nilai market diatas tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor kependudukan

atau demografi umat islam itu sendiri sebagai konsumen produk halal. Islam

merupakan agama dengan jumlah pemeluk terbesar kedua dunia. Di tahun 2011

jumlah penduduk dunia mencapai 7 milyar dengan rata-rata 266 bayi lahir tiap

menitnya (Population Reference Bureau, 2011). Populasi muslim berjumlah 1,97

milyar atau sekitar 28,73 % dari total penduduk dunia dan di tahun 2011 pemeluk
agama Islam mempunyai tingkat pertumbuhan sebesar 1,84 % per tahun

(muslimpopulation.com, 2011).

Grafik Persentase Global Food Market Size dan Global Halal Food Market Size.
Sumber : World Trade Organization dalam Global Pathfinder Report Halal Food Trends,
Agriculture and Agri-Food Canada (2011)

Sebuah studi yang dilakukan Pew Researh Center (2011) memperkirakan

bahwa rata-rata laju pertumbuhan populasi muslim akan menurun dari rata-rata

2,2 % di tahun 1990-2010 menjadi rata-rata sekitar 1,5 % di tahun 2020-2030.

Namun dengan menggunakan angka 1.5 % sebagai rata-rata pertumbuhan

populasi di tahun 2010-2030 populasi muslim akan meningkat dari 1,6 milyar

menjadi 2,2 milyar orang atau naik sebesar 35 %. Dengan rata-rata laju

pertumbuhan 1.5 % populasi muslim di tahun 2030 akan mencapai 26,4 % dari

total penduduk dunia yang diperkirakan mencapai 8,3 milyar orang. Rata-rata laju

pertumbuhan 1.5 % pun masih nilai yang tinggi karena dua kali rata-rata

pertumbuhan populasi non-muslim yang diperkirakan hanya 0.7 % per tahun.

Informasi lain dari studi Pew Researh Center (2011) adalah Pakistan akan

mengalahkan Indonesia dalam hal populasi muslim di tahun 2030. Diperkirakan

populasi muslim Pakistan akan mencapai 256,11 juta orang sedangkan populasi
muslim Indonesia akan akan menempati posisi runner up dengan jumlah 238,83

juta orang. Selain itu, dari segi regional, Amerika akan menjadi wilayah dengan

laju pertumbuhan populasi muslim tertinggi dibanding wilayah lainnya. Populasi

muslim Amerika diperkirakan akan mencapai 6,2 juta orang di tahun 2030.

Grafik Rata-rata Pertumbuhan Populasi Muslim per Tahun secara Regional.


Sumber : Pew Researh Center‟s Forum on Religion and Public Life. The Future of The
Global Muslim Population (2011).

Jumlah dan nilai pertumbuhan populasi secara regional menjadi penting

bila kita akan menetapkan wilayah tujuan bagi eksport produk halal. Keuntungan

melakukan ekspor ke wilayah dengan populasi muslim mayoritas adalah bahwa

produk halal tersebut tidak hanya akan dikonsumsi secara massif oleh orang

muslim tapi juga oleh orang non-muslim. Hal ini dapat kita temukan dengan

mudah di Indonesia.

Maka dengan melihat perkembangan sains-teknologi, nilai market dan

dukungan populasi pemeluk islam yang terus bertambah, rasanya kita tak perlu
lagi ragu bahwa industri pangan halal merupakan suatu industri yang promising

atau menjanjikan. Apalagi bagi bangsa Indonesia yang saat ini masih jawara

populasi muslim dunia. Sehingga yang akan kita lakukan selanjutnya disini adalah

mengelaborasi lebih lanjut bagaimana industri pangan yang halal itu dilakukan?

Pustaka

Agriculture and Agri-Food Canada. 2011. Global Pathfinder Report Halal Food
Trends. International Markets Bureau. Market Indicator Report 2011.
Canada.
Alpen Capital. 2011. GCC Food Industry. Alpen Capital Banking Investment.
Muslimpopulation.com. 2011. Islamic Population World Wide.
http://www.muslimpopulation.com/World/
New Zealand Trade and Enterprise. 2011. New Global Business Trend. Halal.
http://www.nzte.govt.nz/access-international-networks/Explore-
opportunities-in-growth-industries/new-global-business-
trends/Pages/Halal.aspx
Pew Research Center Forum On Religion & Public Life. 2011. The Future Global
Muslim Population Projections for 2010-2030. Washington, D.C.
Population Reference Bureau, 2011. World Population Data Sheet. The World at
7 Billion. Washington DC. USA
Riaz, M.N and M.M Chaudry. 2004. Halal Food Production. CRC Press. New
York.
Rakhmat, J. 2003. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Mizan. Bandung
Santoso, U. 2011. The Development of Halal Food in Indonesia. The 12 th ASEAN
Food Conference. Bangkok. Thailand
World Halal Forum. 2011. Towards a Halal Economy – The Power of Values in
Global Market. POST-EVENT REPORT of The 6th World Halal Forum.
2. KENAPA HALAL? KENAPA HARAM?

Kenapa, eh kenapa minuman itu haram?

Karena, eh karena merusakkan pikiran

Kenapa, eh kenapa berzina juga haram?

Karena, eh karena itu cara binatang

Kenapa semua yang asyik itu diharamkan?

Kenapa semua yang enak-enak itu yang dilarang?

Itulah perangkap syaitan

Umpannya ialah bermacam-macam kesenangan

Bila Anda adalah penggemar Bang Haji Rhoma Irama tentu sudah bernyanyi

meski dalam hati ketika membaca lirik lagu di atas. Sungguh terlalu kalau nggak

ngaku. Sebagai apresiasi, di lirik lagu ini kita lihat bagaimana Bang Haji

memberikan jawaban atas pertanyaan „kenapa sesuatu itu haram?‟ dengan

bungkus sebagai seniman dangdut. Apakah jawaban ini memuaskan atau tidak,

tentu tiap orang punya penilaian yang berbeda.

Halal dengan mudah bisa kita artikan sebagai boleh sedangkan haram itu

tidak-boleh. Dalam menjelaskan kenapa sesuatu itu halal atau haram, penulis

berpendapat bahwa orang sering memberikan jawaban dengan dua pendekatan.

Pendekatan yang pertama adalah pendekatan memakai otak dan yang kedua

adalah pendekatan memakai hati. Penggunaan otak dan hati disini tidak
dimaksudkan untuk menilai mana yang lebih baik tapi hanya sebagai analogi dari

sifat pendekatan tersebut. Pendekatan pertama bersifat rasional ilmiah dan yang

kedua bersifat dogmatik syariah.

Pada pendekatan pertama, orang melakukan rasionalisasi terhadap

larangan agama dengan menggunakan hasil penelitian sains yang menekankan

efek kesehatan pada manusia. Kita ambil contoh babi. Kenapa babi haram? Ada

banyak alasan ilmiah yang telah dikemukakan, diantaranya kita kutip di bawah

ini.

Babi adalah inang dari cacing pita Taenia solium yang bisa menjangkiti

manusia dan bahkan bisa sampai di otak. Seperti dilaporkan Lauren Cox (2008),

seorang pasien di negeri Pakde Sam a.k.a Amerika yang bernama Rosemary

Alvarez dari Phoenix melakukan operasi otak karena mengira dirinya terserang

tumor. Tapi bukan tumor otak ditemukan melainkan cacing Taenia solium. Dari

Al Sheha, diketahui bahwa kasus yang sama terjadi tahun 2001 pada Dawn

Becerra dari Arizona. Kedua kasus tersebut terjadi karena mengonsumsi daging

babi yang undercooked alias belum masak.

Secara inheren daging babi adalah daging dengan kandungan lemaknya

yang paling tinggi dibanding sapi dan domba. Jika dibiarkan berada di udara

terbuka maka daging yang pertama kali busuk adalah daging babi, diikuti daging

domba dan yang terakhir adalah daging sapi. Dan jika daging-daging tersebut

dimasak, maka yang paling lambat proses pemasakannya adalah daging babi.

Kadar asam urat (uric acid) yang terdapat di daging babi sangat tinggi. Asam urat

(C5H4N4O3) adalah salah satu komponen yang terbentuk saat tubuh memecah
nukleotida purin. Tingginya kadar asam urat di dalam darah (> 8 mg/dL) dapat

menyebabkan penyakit “gout” atau “pirai” atau “peradangan sendi kronis”.

Tingginya kadar asam urat di dalam daging babi dikarenakan tubuh babi memiliki

mekanisme ekskresi atau pemecahan asam urat yang berbeda. Berbanding terbalik

dengan mekanisme ekskresi atau pemecahan asam urat pada manusia. Pada babi,

98 % asam urat tertahan di tubuhnya, hanya 2 % saja yang disekresikan.

Sedangkan pada manusia, 98 % dikeluarkan lewat urine, sisanya disimpan atau

dipecah lewat sistem metabolisme tubuh (Kumari, 2009).

Selain Taenia solium, babi juga jadi tempat tinggal parasit lain. Parasit

yang umumnya ada pada babi menurut Robert Corwin (1997) adalah Ascaris

suum, Strongyloides ransomi, Trichuris suis, Oesophagostomum dentatum,

Metastrongylus spp, Stephanurus dentatus, Isospora suis, Cryptosporidium

parvum, dan Eimeria spp. Sebagai contoh kita ambil Ascaris suum, cacing ini

dapat menular ke manusia dan mencapai hati, jantung bagian kanan, dan paru-

paru lewat sistem limfatik atau peredaran darah (Soeharsono, 2002).

Penyakit lain dengan carrier babi yang bahkan secara mengejutkan jadi

pandemi dunia adalah flu babi. Virus H1N1 yang bersemayam di tubuh celeng ini

membuat dunia jadi teleng. Flu babi telah menewaskan lebih dari 18.400 orang.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, hampir semua negara di dunia terkena

dampak sejak ditemukan di Meksiko dan Amerika Serikat pada April 2009

(Republika, 2011).

Masih banyak fakta lain tentang babi yang tidak bisa kita urai disini dan

sebaiknya kita segera berpindah ke pendekatan kedua. Pada pendekatan kedua,


dinyatakan bahwa kita tak perlu mempunyai alasan ilmiah untuk sesuatu yang

dilarang oleh dalil agama. Aturan agama harus diterima sepenuhnya sebagai

konsekuensi dari keimanan yang menuntut totalitas. Bagaimana pun alasan ilmiah

itu ada, itu tidaklah penting dan tak perlu dicari, cukup dengan kami mendengar

perintah agama dan kami taat. Semuanya hak preogratif Tuhan.

Alasan ini pun diperkuat dengan melihat kenyataan bahwa sains tidak bisa

dijadikan sebagai acuan karena sifat sains yang progresif atau berkembang dari

masa ke masa. Misalnya di abad 19 sains menganggap bahwa alam semesta itu

statis, tapi di abad 21 setelah Edwin Hubble (1929) menemukan ujung spektrum

bintang-bintang yang menjadi berwarna merah yang menandakan bintang-bintang

tersebut menjauhi bumi, sains menyatakan bahwa alam semesta itu mengembang

yang artinya bersifat dinamis (Harun Yahya, 2002). Kesimpulan yang diberikan

sains merupakan open ended conclusion, kesimpulan yang terbuka, kesimpulan

yang tidak mutlak, sehingga kesimpulan sains sekarang belum tentu valid untuk

masa yang akan datang.

Kembali kita ambil contoh tentang haramnya babi, bila kita bertumpu pada

alasan ilmiah bahwa daging babi mempunyai efek yang buruk pada kesehatan

manusia, lantas bagaimana jika di masa yang akan datang–dengan rekayasa

genetika misalnya–dihasilkan sub-spesies babi yang tahan terhadap berbagai jenis

cacing, virus dan penyakit serta rendah asam urat? Apakah babi serta merta

update status menjadi halal? Saya kira tentu orang muslim sepakat tidak demikian

jadinya.
Selain alasan perkembangan sains, ada pula alasan paradoks sains. Sama

seperti paradoks dalam hal teknologi yang menciptakan dan memakan dirinya,

demikian pula dengan sains. Alasan kehalalan yang bersifat rasional ilmiah pun

bisa dikalahkan oleh alasan ilmiah yang lain. Kita ambil contoh pernyataan

berikut, jika babi haram karena bisa menjadi sarang virus flu babi lantas kenapa

sapi yang bisa kena bakteri anthraks tidak diharamkan Al Quran? Kenapa ayam

yang juga bisa terserang flu burung tidak diharamkan islam?

Dengan alasan sifat sains yang berkembang dan paradoks, alasan ilmiah

kehilangan kekuatannya. Di titik ini alasan keharaman satu-satunya adalah karena

itu adalah perintah agama yang diterima dan dilaksanakan karena dasar keimanan.

So nothing left to say, it‟s a Divine order, titik.

Tentang kedua pendekatan ini, sesungguhnya akan bijak bila kita tidak

meletakkan keduanya pada kutub yang berlawanan. Kedua pendekatan ini

sesungguhnya saling mendukung karena diambil dari keimanan dan sumber

hukum yang sama yaitu islam itu sendiri. Pada tataran keimanan memang dalil

agama akan berada diatas dalil sains tapi bagaimanapun temporal dan

paradoksnya dalil sains tetap bisa mendukung dalil agama karena islam adalah

agama yang menuntut umatnya untuk berfikir rasional dan mengambil hikmah

dari suatu perintah.

Dengan menyatukan bilah pemikiran ini, maka sebenarnya kita akan

kembali pada paradigma Einsteinian yang menyatakan bahwa sains dan agama

adalah dua hal yang saling membutuhkan. Inilah kutipan terkenal dari Albert

Einstein yang disampaikan pada tahun 1941, science without religion is lame,
religion without science is blind. Sains tanpa agama akan lumpuh, agama tanpa

sains akan buta.

Mempertanyakan kehalalan sama juga dengan mempertanyakan kenapa

shalat itu lima waktu bukan enam atau empat. Sebuah pertanyaan yang memang

sepantasnya hanya dijawab dengan iman dan sebagai tambahan dalam menjawab

kehalalan kita memiliki bukti-bukti ilmiah sebagai hikmah atau pelajaran yang

rasional, sehingga kita bisa menjawab dengan format “Ini adalah semata-mata

perintah agama dan hikmah rasional ilmiahnya adalah sebagai berikut...”

Sebagai penutup bab ini, ada ilustrasi menarik yang dikutip M. Quraish

Sihab (2003), dari Imam Al Ghazali tentang „illat (sebab atau hikmah) dari

larangan Illahi menyangkut halal atau haram serta bahwa kita boleh saja bertanya

atau mencari jawaban tentang mengapa Allah swt mengharamkan makanan

tertentu tetapi amat bijaksana jika jawaban yang ditemukan itu–walaupun sangat

memuaskan–tidak dijadikan sebagai satu-satunya jawaban. Ilustrasi tersebut

adalah sebagai berikut.

Seorang ayah memiliki anak yang tinggal bersama di satu rumah. Sebelum

kematian menjemputnya, sang ayah mewasiatkan kepada anaknya, “Jika engkau

ingin memugar rumah ini silakan, tetapi tumbuhan yang terdapat di serambi

rumah jangan ditebang.” Beberapa tahun kemudian sang ayah meninggal dan sang

anak pun memperoleh rejeki yang memadai. Rumah dipugarnya dan ketika

sampai di tumbuhan terlarang, ia berpikir “Apakah gerangan sebab ayah melarang

menebangnya?”. Pikiran sang anak kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa

aroma pohon itu harum. Di sisi lain, ia mengetahui bahwa telah ditemukan
tumbuhan lain yang memiliki aroma lebih harum. Maka ia pun memutuskan untuk

menebang tumbuhan itu dan menggantinya dengan tumbuhan yang lebih sedap.

Tetapi apa yang terjadi? Tidak lama kemudian muncul seekor ular, yang hampir

saja menerkamnya, dan ketika itu ia sadar bahwa rupanya aroma tumbuhan yang

ditebangnya merupakan penangkal kehadiran ular. Ia hanya mengetahui sebagian

„illat larangan ayahnya, bukan semuanya, bahkan bukan yang terpenting darinya.

Pustaka

Al Sheha, A. The Key to Happiness. Translated from Arabic Text Miftahus


Sa‟adah by Abdurahman Murad.
Corwin, R. 1997. Pig Parasite Diagnosis. Swine Health and Production. Volume
5, Number 2 Maret- April 1997.
Cox, L. 2008. It‟s not A Tumor, It‟s A Brain Worm. ABC News Medical Health
Unit. November, 24, 2008
Kumari, 2009. Waspada Flu Babi. Ayyana. Yogyakarta.
Republika, 2011. Januari 2011, Flu Babi di Cina Renggut 21 Nyawa. Republika
edisi 4 Februari 2011.

Sihab, M.Q. 2003. Wawasan Al Quran. Mizan. Bandung.


Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Kanisius.
Yogyakarta.
Yahya, H. 2002. Mengenal Allah Lewat Akal. Robbani Press. Jakarta.
3. PRINSIP HALAL HARAM DAN MAKANAN DALAM PANDANGAN

ISLAM

Bagaimana hukumnya makan jengkol dalam islam?

Bila Anda sudah tahu jawabannya abaikan saja pertanyaan ini. Untuk

Anda yang belum tahu dan doyan jengkol, saya beritahu, islam mengkategorikan

makan jengkol sebagai perbuatan makruh. Apa itu makruh? Bagaimana islam

membuat kategori seperti itu?

Islam bukan agama yang melulu mengurus teologi dan ritual, tapi islam

punya syariat yang mengatur kehidupan sehari-hari umatnya sehingga islam

disebut way of life. Secara literal atau bahasa, syariat berarti jalan raya atau arah.

Sumber paling utama syariat dan metodologi hukum Islam adalah kitab suci Al

Quran. Terdapat sekitar 350 ayat hukum dalam Al Quran yang dalam hukum barat

biasa disebut juris corpus. Jumlah ayat ini hanya sebagian kecil dari jumlah

keseluruhan ayat Al Quran, tetapi ayat ini sangat esensial sebagai dasar hukum

islam (Nasr, 2003).

Sunnah merupakan sumber syariat Islam setelah Al Quran. Kata sunnah

berarti „metode, contoh atau jalan (A. W. Hamid, 2001). Menurut Ahmad Sarwat,

sunnah berfungsi merinci garis besar Al Quran, menjelaskan yang musykil,

membatasi yang mutlak, dan memberikan penjelasan hukum. Menurut ulama

hadits sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw. berupa perkataan,

perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani ataupun sifat akhlak.”

Sumber hukum lainnya adalah ijma‟ (kesepakatan ulama), qiyas (analogi) dan
sumber-sumber tabaiyah atau sumber-sumber yang diturunkan dari pemahaman

Al Quran dan sunnah.

Dalam islam ada lima kategori perbuatan dan nilai yaitu wajib (fardh),

dianjurkan (mandub), dilarang (haram), tidak disenangi (makruh), dan dibolehkan

(mubah atau halal). Dalam kategori wajib ada kewajiban yang disandang individu

(„aini) dan ada yang disandang masyarakat (kafa‟i). Perbuatan yang termasuk

dalam kategori dianjurkan (mandub) adalah hal-hal yang tidak dituntut tetapi akan

menyenangkan Tuhan dan mendapatkan ganjaran. Kategori dilarang (haram)

termasuk segala perbuatan yang apabila dilakukan akan dikenakan hukuman dan

apabila ditinggalkan akan diberi pahala. Perbuatan yang tidak disenangi (makruh)

adalah perbuatan yang apabila tidak dilakukan akan lebih baik daripada

melakukannya. Orang yang melakukan perbuatan makruh tidak diberikan sanksi

oleh hukum, tetapi yang menghindarinya mendapat pahala. Perbuatan yang

dibolehkan (mubah atau halal) menyangkut setiap perbuatan seseorang yang

diperbolehkan memilih untuk melakukan atau tidak melakukannya (Nasr, 2003).

3.1. Prinsip Halal Haram

Mengenai prinsip-prinsip Islam tentang halal dan haram berikut adalah

rangkuman dari 11 prinsip halal haram yang diuraikan oleh Dr. Yusuf Qardhawi

(2005).

1. Pada Dasarnya Segala sesuatu Hukumnya Mubah

Prinsip pertama yang ditetapkan Islam: pada asalnya segala sesuatu yang

diciptakan Allah itu halal. Tidak ada yang haram kecuali jika ada nash (dalil) yang

shahih (tidak cacat periwayatannya) dan sharih (jelas maknanya) dari pemilik
syariat (Allah swt) yang mengharamkannya. Jika tidak ada nash shahih atau tidak

ada nash sharih yang menunjuk keharamannya, maka sesuatu itu dikembalikan

kepada hukum asalnya: halal.

Hal ini didasarkan pada ayat Al Quran berikut:

“Dialah yang telah menciptakan untuk kalian segala sesuatu di bumi.” Al

Baqarah (2):9

“(Allah) telah menundukkan untuk kalian apa-apa yang ada di langit dan di

bumi, (sebagai rahmat) dari-Nya.” Al Jatsiyah :13

“tidakkah kalian melihat bahwa Allah telah menundukkan untuk kalian apa-apa

yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya, lahir

maupun batin.” Luqman : 20

Dari sinilah maka wilayah keharaman dalam syariat Islam sesungguhnya

sangatlah sempit. Sebaliknya, wilayah kehalalan terbentang sangatlah luas. Itu

karena, nash–baik yang shahih maupun sharih–yang datang dengan pengharaman

sedikit sekali jumlahnya. Selain itu, sesuatu yang tidak ada nash yang

mengharamkan atau menghalalkannya, ia kembali kepada hukum asalnya, yaitu

boleh. Ia berada di wilayah kemaafan Tuhan.

Tentang hal ini sebuah hadits (perkataan Nabi saw) yang diriwayatkan

oleh Hakim dan dishahihkan oleh Bazzar menyebutkan:

“Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, ia halal, dan apa yang Allah

haramkan, ia haram. Sedangkan hal-hal yang didiamkan-Nya, ia dimaafkan.

Terimalah pemaafan dari Allah, karena Allah sesungguhnya tidak lupa terhadap
sesuatu pun. (Rasulallah saw. membaca sebuah ayat Al Quran) ‟Tidaklah

Tuhanmu lupa akan sesuatu‟ (Maryam : 64).”

Hadits lain diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah menyebutkan dari

Salman Al Farisi bahwa Rasulallah saw. ditanya tentang minyak samin, keju dan

jubah dari kulit binatang, lalu beliau menjawab:

“Yang halal adalah segala sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, dan yang

haram adalah segala sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan

apa yang didiamkan-Nya maka ia termasuk yang dimaafkan kepada kalian.”

2. Penghalalan dan Pengharaman Hanyalah Wewenang Allah

Islam membatasi kewenangan dalam pengharaman dan penghalalan. Maka

dicabutlah kekuasaan itu dari tangan makhluk, bagaimanapun martabatnya dalam

agama ataupun kedudukannya dalam masyarakat manusia. Lalu dijadikanlah ia

sebagai hak wewenang Allah semata. Hal ini merujuk ayat Al Quran:

“Katakanlah, „Apa pandangan kalian tentang rejeki yang Allah turunkan kepada

kalian kemudian kalian jadikan sebagian darinya haram dan halal?‟ katakan,

„Apakah Allah telah memberi ijin kepada kalian ataukah kalian membuat

kedustaan atas nama Allah.” Yunus :59

“Dan Dia benar-benar telah menguraikan kepada kalian apa yang diharamkan

kepada kalian.” Al An‟am :119

3. Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram adalah

termasuk Kemusyrikan
Islam mengecam keras mereka yang mengharamkan yang halal karena

perilaku itu mengandung makna kekerasan terhadap manusia dan tanpa alasan

yang benar mempersempit sesuatu yang telah dilapangkan oleh Allah swt.

Rasullah saw memproklamirkan risalah atau agamanya dan bersabda:

“Aku diutus dengan hanifiyatus samhah (kemurnian dan toleransi)” Hadits

riwayat Ahmad.

Allah swt. berfirman dalam Al Quran surat Al A‟raf:

“Katakanlah, „Siapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang dikeluarkan

untuk hamb-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang

baik-baik?‟ katakanlah „Sesungguhnya Tuhan-ku hanya mengharamkan

perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak ataupun tersembunyi, perbuatan

dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, dan mengharamkan jika

kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah

untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-ada terhadp Allah apa yang kalian

tidak ketahui.” Al A‟raf : 32-33

4. Sesuatu Diharamkan karena Buruk dan Berbahaya

Dalam islam pengharaman terhadap sesuatu itu terjadi karena adanya

keburukan dan kemadaratan. Karena itu, sesuatu yang madaratnya mutlak adalah

haram dan yang manfaatnya mutlak adalah halal, yang madaratnya lebih besar

adalah haram, yang manfaatnya lebih besar adalah halal. Telah menjadi aksioma

bahwa jika ditanyakan tentang sesuatu yang halal dalam islam pasti karena ia

baik. Yaitu sesuatu yang dianggap baik oleh jiwa yang sehat dan dinilai baik pula
oleh umumnya manusia. Sebuah penilaian yang tidak subjektif dan tumbuh dari

pengaruh adat kebiasaan. Allah swt berfirman:

“Mereka bertanya tentang apa yang dihalalkan bagi mereka. Katakanlah,

dihalalkan bagi kalian yang baik-baik.” Al Maidah : 4

5. Dalam Sesuatu yang Halal Ada Hal yang Menjadikan Kita Tak

Memerlukan Lagi yang Haram

Di antara kebaikan islam dan kemudahan yang dibawanya adalah bahwa

tiada sesuatu yang diharamkan kecuali bahwa ia diganti dengan sesuatu yang lebih

baik darinya, sebagai alternatif yang menjadikan kita tak perlu lagi kepada yang

haram itu. Misalnya islam mengharamkan minuman keras dan menggantikannya

dengan minuman lain yang bermanfaat bagi jasmani dan rohani. Firman Allah swt

dalam Al Quran:

“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukimu

kepada jalan-jalan orang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak)

menerima tobatmu. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Dan Allah

hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya

bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah

hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat

lemah.” An Nisa : 26-28

6. Sesuatu yang Mengantarkan kepada yang Haram adalah Haram

Di antara prinsip yang telah ditetapkan islam adalah bahwa jika ia

mengharamkan sesuatu maka ia mengharamkan pula berbagai sarana yang


mengantarkan kepadanya dan menutup rapat berbagai pintu yang menuju ke

arahnya. Misalnya dalam hal khamr (minuman/zat yang memabukkan) Rasulallah

saw melaknat peminum, pembuat dan pembawanya, juga yang dibawakan dan

yang memakan hasil penjualannya.

7. Menyiasati yang Haram adalah Haram Hukumnya

Sebagaimana islam mengharamkan berbagai cara dan sarana lahir yang

mengantarkan pada yang haram, islam juga mengharamkan tipu muslihat dengan

berbagai cara yang samar dan cara yang licik. Disebutkan oleh Imam Ibnu

Qayyim bahwa ada hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Abdilah

bin Battah yang berbunyi:

“Janganlah kalian melakukan dosa sebagaimana yanga dilakukan orang-orang

yahudi dan jangan menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan muslihat

dan alasan yang sepele.”

8. Niat Baik Tidak Menghalalkan yang Haram

Islam menghargai motivasi bersih, maksud baik, dan niat yang tulus suci

dlam peraturan-peraturan syariat dan semua arahan-arahannya. Rasulallah saw

sendiri bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari:

“Sesungguhnya amal perbuatan itu (tergantung) pada niatnya dan sesungguhnya

setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.”

Adapun masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya

niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama dia itu tidak

dibenarkan oleh Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat
untuk mencapai tujuan yang terpuji. Sebab Islam selamanya menginginkan tujuan

yang suci dan caranya pun harus suci juga. Syariat Islam tidak membenarkan

prinsip apa yang disebut al-ghayah tubarrirul wasilah (untuk mencapai tujuan,

cara apapun dibenarkan), atau suatu prinsip yang mengatakan: al-wushulu ilal haq

bil khaudhi fil katsiri minal bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik,

boleh dilakukan dengan bergelimang dalam kebatilan). Bahkan yang ada adalah

sebaliknya, setiap tujuan baik, harus dicapai dengan cara yang baik pula.

Demikian seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah s.a.w.,

sebagaimana disabdakan:

"Sesungguhnya Allah itu baik, Ia tidak mau menerima kecuali yang baik pula.

Allah pun memerintah kepada orang mu'min seperti halnya perintah kepada para

Rasul."

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban

dan Hakim dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda:

“Barangsiapa mengumpulkan harta dari (harta) yang haram kemudian

menyedekahkannya, ia tidak mendapatkan pahala sedekah tersebut, dan dialah

yang menanggung dosanya.”

9. Hindari yang Syubhat Supaya Tidak Terjerumus pada yang Haram

Ada wilayah di antara yang jelas-jelas halal dan jelas-jelas haram, yaitu

wilayah syubhat. Bagi sebagian orang, beberapa masalah halal dan haram tidak

begitu jelas. Hal itu mungkin karena ketidakjelasan dalil-dali baginya, karena

kebimbngannya dalam menerapkan nash dalam realita atau karena hal itu sendiri

memang masih membingungkannya. Islam menekankan sikap wara‟, yakni bahwa


seorang muslim hendaknya menghindar dari hal-hal tidak jelas atau syhubhat

sebagai usaha preventif supaya tidak terjerumus kepada hal yang haram.

Diriwayatkan oleh Turmudzi bahwa Rasulallah saw bersabda:

“Yang halal itu jelas, yang haram jelas. Dan diantara keduanya adalah masalah-

masalah syubhat, kebanyakan orang tidak mengenalinya; termasuk halalkah ia

atau haram? Karena itu barangsiapa meninggalkannya berarti ia telah

membersihkan agama dan kehormatannya, ia selamat. Dan barangsiapa

terjerumus pada sesuatu diantaranya, berarti hampir terjerumus ke dalam yang

haram. Sebagaimana jika orang menggembala ternaknya di sekitar hima (tempat

khusus milik raja tempat menggembala ternaknya dan tidak boleh dimasuki ternak

orang lain), maka ia hampir-hampir memasukinya. Ketahuilah bahwa

sesungguhnya setiap raja memilki hima, ketahuilah bahwa hima Allah adalah

larangan-laranganNya.”

10. Yang Haram adalah Haram untuk Semua

Haram dalam islam bersifat universal. Tak ada sesuatu pun yang haram

bagi orang berkulit hitam tapi boleh untuk orang berkulit putih. Tidak ada sesuatu

pembolehan, pemudahan, atau dispensasi untuk suatu kalangan atau kelompok

manusia tertentu, sehingga bebas melakukan apa saja yang diinginkannya hanya

karena mereka itu bangsawan, pendeta, raja, atau berdarah biru. Hal ini tercermin

dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulallah Muhammad saw

bersabda:

“Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri

yang akan memotong tangannya.”


11. Situasi Darurat Membuat yang Haram Menjadi Boleh

Islam mempersempit wilayah haram, setelah itu bersikap keras dalam

masalah haram dengan menutup pintu yang mengantarkan kepadanya, baik

terang-terangan atau pun tersembunyi. Meskipun demikian, islam tidak

melalaikan kebutuhan-kebutuhan hidup dan kelemahan manusia. Karena itu islam

menghormati keadaan darurat yang tak bisa ditoleransi, mengakui kelemahan

manusiawi dan–dalam kondisi darurat–islam membolehkan seorang muslim

menikmati berbagai larangan demi menghilangkan kondisi darurat itu, dan

memelihara dirinya dari kebinasaan. Karena itulah, setelah menyebut makanan-

makanan larangan berupa bangkai, darah dan daging babi, Allah swt berfirman:

“Maka barangsiapa terpaksa, dengan tidak sengaja mencarinya dan melampaui

batas, tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

penyayang.” Al Baqarah : 173

Ayat tersebut memberi syarat kepada orang yang terpaksa dengan “tidak

sengaja mencari dan tidak pula melampaui batas” ini ditafsirkan dengan tidak

sengaja menikmati dan tidak melampaui batas kekenyangan. Dengan

diperbolehkannya yang haram oleh islam dalam kondisi darurat itu tidak lain demi

beradaptasi dengan jiwa islam secara umum dan secara global, yakni jiwa

kemudahan dan keinganan yang membebaskan umat ini dari berbagai belenggu

dan beban. Allah swt berfirman dalam Al Quran:

“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan.”

Al Baqarah : 185

3.2. Makanan Dalam Pandangan Islam


Sola dosis facit venenum ini adalah ungkapan latin dari Paracelcus ahli

toksikologi Swiss abad 15, yang jika ditranslasikan ke bahasa David Beckham

menjadi the dose makes the poison. Ungkapan ini dipahami dari Paracelcus

bahwa segala sesuatu adalah racun dan tidak ada yang tanpa racun hanya dosis

yang membuat sesuatu menjadi bukan racun (Staal et al., 2008). Sederhananya

dosis segala sesuatu itu harus sepadan proporsinya dan tidak berlebihan. Hal ini

sejalan dengan pandangan Al Quran surat Al A‟raf ayat 31 dan Al Maidah ayat 87

yang menuntun umatnya untuk tidak berlebihan atau melampaui batas termasuk

dalam mengonsumsi makanan meskipun makanan itu adalah makanan halal.

M. Quraish Sihab (2003) menyatakan bahwa makanan atau tha‟am dalam

bahasa Al Quran adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu

„minuman‟ pun termasuk dalam pengertian tha‟am. Al Quran surat Al Baqarah

ayat 249 menggunakan kata syariba (minum) dan yath‟am (makan) untuk objek

berkaitan dengan air minum. Menarik untuk disimak bahwa bahasa Al Quran

menggunakan kata „akala‟ dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas

„makan‟. Tetapi kata tersebut tidak digunakannya semata-mata dalam arti

„memasukkan sesuatu ke tenggorokan‟ tetapi ia berarti juga segala aktivitas dan

usaha. Perhatikan misalnya pada surat Al Nisa ayat 4.

“Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang kamu kawini), sebagai

pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka menyerahkan

kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah

(ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makananan) yang sedap lagi baik

akibatnya.” Al Nisa : 4
Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus bahkan tidak

lazim berupa makanan, namun demikian ayat ini menggunakan kata „makan‟

untuk penggunaan mas kawin tersebut. Selanjutnya firman Allah dalam surat Al

An‟am ayat 121.

“Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika

menyembelihnya).” Al An‟am : 121

Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud–mantan

pemimpin tertinggi Al Azhar–sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa pun

yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata „makan‟ di sini

dipahami dalam arti luas yakni „segala bentuk aktivitas‟. Penggunaan kata tersebut

untuk arti aktivitas seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori,

dan kalori diperoleh dari makanan.

Menurut Afzalur Rahman (2007), Al Quran meminta manusia agar

memerhatikan dengan cermat keadaan dirinya dan mendorongnya mempelajari

keadaan tubuh, jiwa, dan hubungan diantara keduanya. Setiap orang dianjurkan

memakan makan makanan yang bersih dan suci serta tidak tergiur kepada barang

yang tidak bersih, buruk dan berbahaya. Al Quran menyatakan dalam surat Al

Baqarah ayat 168.

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (thayyib) dari apa yang

terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena

sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Al Baqarah : 168

M. Quraish Sihab (2003) menguraikan bahwa kata thayyib dari segi

bahasa berarti lezat, baik, sehat, menentramkan, dan paling utama. Pakar-pakar
tafsir ketika menjelaskan kata ini dalam konteks perintah makan menyatakan

bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak

(kadaluarsa), atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai

makanan yang mengundang selera bagi yang memakannya dan tidak

membahayakan fisik dan akalnya. Kita dapat bahwa kata thayyib dalam makanan

adalah makanan yang sehat (memiliki gizi yang cukup dan seimbang),

proporsional (sesuai dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebih dan tidak kurang),

dan aman (efeknya baik dan tidak menimbulkan penyakit).

Ada pun ayat ayat Al Quran yang menerangkan halal haramnya makanan

yang dikonsumsi manusia adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging

babi dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa dalam

keadaan terpaksa, sedangkan ia tidak berkehendak dan tidak melampaui batas,

maka tidaklah berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Pengasih”. Al Baqarah : 173

“Katakanlah, saya tidak mendapat pada apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu

yang diharamkan bagi yang memakannya, kecuali bangkai, darah yang tercurah,

daging babi karena ia kotor atau binatang yang disembelih dengan atas nama

selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedangkan ia tidak

menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidaklah berdosa.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”. Al-Anam : 145

“Diharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih

dengan atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kalian sempat

menyembelihnya. Dan diharamkan pula bagi kalian binatang yang disembelih di

sisi berhala”. Al-Maidah : 3

“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya meminum khamr,

berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah

perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan

itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syetan itu hendak

menimbulkan permusuhan dan perbencian di antara kalian lantaran meminum

khamr dan berjudi dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat,

maka apakah kalian berhenti dari mengerjakan pekerjaan itu.” Al-Maidah : 90-

91

“Dihalalkan untuk kalian binatang buruan laut dan makanannya”. Al-Maidah :

96

Berikut adalah rincian lebih lanjut tentang jenis-jenis makanan yang

diharamkan dalam agama islam dari As Sidawi dan Fatwa (2008).

1. Bangkai

Bangkai adalah hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu.

Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan

manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap

sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai dibagi menjadi 4 jenis yaitu:

a. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja

atau tidak.
b. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras

hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.

c. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau

jatuh ke dalam sumur sehingga mati.

d. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya.

Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai

ikan dan belalang berdasarkan hadits: “Dari Ibnu Umar berkata: ” Dihalalkan

untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang,

sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” Rasululah juga pernah ditanya tentang air

laut, maka beliau bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”

2. Darah

Darah yang mengalir adalah haram sebagaimana dijelaskan dalam Al

Quran surat Al-An‟Am ayat 145. Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada

pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar. Demikian pula

sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih.

Semuanya itu hukumnya halal.

3. Daging Babi

Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina, dan mencakup

seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya.

4. Sembelihan untuk Selain Allah


Setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya

haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhluk-Nya disembelih dengan

nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal

itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, berhala dan lain sebagainya ,

maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.

5. Hewan yang Diterkam Binatang Buas

Daging hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu

dimakan sebagian oleh binatang buas tersebut kemudian mati, maka hukumnya

adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua

itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Adapun hewan yang diterkam

binatang buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan

kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar‟i,

maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.

6. Binatang Buas Bertaring

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim, “Dari Abu Hurairah

dari Nabi saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram

dimakan” Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas

yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja

adalah pendapat yang salah.

7. Burung yang Berkuku Tajam

Hal ini didasarkan hadits riwayat Muslim, dari Ibnu Abbas berkata:

“Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam”.
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah “Demikian juga setiap burung

yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi

berkata dalam Syarh Shahih Muslim “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab

Syafi‟i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya

memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.”

8. Khimar Ahliyyah (Keledai Jinak)

Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhori dan Muslim, dari Jabir

berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar

dan memperbolehkan daging kuda”. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal

dengan kesepakatan ulama.

9. Al-Jallalah

Al-Jalalah adalah setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki

dua-yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran

manuasia/hewan dan sejenisnya. Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan

bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan

yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya,

bahkan hukumnya halal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu.

10. Hewan yang Diperintahkan Agama Supaya Dibunuh

Hal berdasarkan hadits, “Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima

hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu

ular, tikus, anjing hitam” Kemudian dari hadits, “Dari Ummu Syarik berkata

bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak”


11. Hewan yang Dilarang Untuk Dibunuh

Hal ini didasarkan pada hadits, dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah

melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad.

” Imam Syafi‟i dan para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang

dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu

tidak akan dilarang membunuhnya.” Haramnya hewan-hewan di atas merupakan

pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali

semut, nampaknya disepakati keharamannya.

12. Binatang yang Hidup di Dua Alam

Sejauh ini belum ada dalil dari Al Qur‟an dan hadits yang shahih yang

menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat).

Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya adalah halal

kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Berikut contoh beberapa dalil hewan

hidup di dua alam.

 Kepiting hukumnya halal sebagaimana pendapat Atha‟ dan Imam Ahmad.

 Kura-kura dan penyu juga halal sebagaimana madzab Abu Hurairah,

Thawus, Muhammad bin Ali, Atha‟, Hasan Al-Bashri dan fuqaha‟

Madinah.

 Anjing laut – juga halal sebagaimana pendapat imam Malik, Syafe‟i, Laits,

Syai‟bi dan Al-Auza‟i.

 Katak/Kodok – hukumnya haram secara mutlak menurut pendapat yang

rajih (yang kuat) karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh.


Pustaka

As Sidawi, A.U.Y dan A.A.S Fatwa. 2008. Indahnya Fiqih Praktis Makanan.
Pustaka Al Furqon. Gresik.

halalguide.info. 2009. Mengenal Makanan Haram.


http://www.halalguide.info/2009/03/27/mengenal-makanan-haram/

Hamid, A.H. 2001. Islam Cara Hidup Alamiah. Lazuardi. Yogyakarta.

Nasr, S.H. 2003. The Heart of Islam. Mizan. Bandung.

Qardhawi, Y. 2005. Halal Haram dalam Islam. Era Intermedia. Solo.

Rahman, A. 2007. Ensiklopediana Ilmu dalam Al Quran. Mizania. Bandung.

Sarwat, A. Fiqih dan Syariah. DU Center. Jakarta.

Sihab, M.Q. 2003. Wawasan Al Quran. Mizan. Bandung.

Staal, F. J. T., K. Pike-Overzet, Y .Y .Ng, dan J J M Van Dongen. (2008). Sola


Dosis Facit Venenum. Leukemia in Gene Therapy Trials: A Question of
Vectors, Inserts and Dosage? Leukemia official Journal of the Leukemia
Society of America. Leukemia Research Fund U.K. Volume: 22, Issue: 10,
Pages: 1849-1852
4. HALAL ADALAH SEBUAH STANDAR MUTU

Sifat haram dalam islam itu ada dua yaitu haram li-dzatih dan haram

ghairih/‟aridhi (Sholihin, 2010). Makanan yang haram lidzatih (haram intrinsik)

adalah kondisi makanan haram karena memang makanan itu haram dari segi

zatnya berdasarkan ajaran islam contohnya seperti babi dan khamr. Haram ghairih

(haram ekstrinsik) adalah yang haram karena adanya faktor eksternal yang

membuat makanan itu menjadi haram. Untuk yang haramnya intrinsik maka tak

perlu diperdebatkan lagi, tapi untuk menjaga agar tidak terjadi haram yang

ekstrinsik kita memerlukan perangkat tersendiri. Perangkat tersebut adalah

manajemen operasi halal. Tujuan utama dari proses manajemen operasi pada

kehalalan sebuah produk pangan adalah untuk menjamin kehalalan produk

tersebut dari tingkat produksi sampai ke tingkat konsumsi, dari kebun sampai ke

lambung, from farm to fork.

Dari segi definisi, manajemen operasi adalah kajian pengambilan

keputusan dari suatu fungsi operasi (Nasution, 2006). Dengan demikian, secara

tematik, manajemen operasi halal merupakan kajian keputusan bagaimana suatu

fungsi operasi dari produk pangan itu halal sesuai kaidah syariah islam. Hasil dari

kajian keputusan ini adalah keberadaan suatu sistem, standar atau aturan main

bagi para pelaku dan pemangku kepentingan industri pangan yang meliputi

seluruh fungsi operasinya.

Negara-negara berpenduduk muslim telah lama mengembangkan

manajemen operasi untuk kahalalan pangan ini. Sebagai negara yang berambisi
menjadi pusat kehalalan global, Malaysia telah mengembangkan standar untuk

produksi pangan yang diberi nama MS1500:2009. Standard ini merupakan

pengembangan dari MS1500:2004 yang didasarkan pada MS1500:2000 yang

dibuat oleh Malaysian Institute of Industrial Research and Standard (Daud et al.,

2011). Adapun perangkat manajemen halal yang di kembangkan di Indonesia

disebut sebagai Sistem Jaminan Halal yang core product-nya adalah sertifikasi

dan labeliasasi halal oleh LP POM MUI, Departemen Kesehatan dan Departemen

Agama.

Menurut Apriyantono et al. (2003), pengembangan sistem jaminan halal

didasarkan pada konsep total quality management yang terdiri dari empat unsur

utama yaitu, komitmen, kebutuhan konsumen, peningkatan tanpa penambahan

biaya, dan menghasilkan barang setiap waktu tanpa rework, tanpa reject dan tanpa

inspection. Penerapan sistem jaminan halal dapat dirumuskan untuk menghasilkan

suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit, zero defect dan zero risk (three zero

concept). Pada three zero concept material haram tidak boleh ada pada level

apapun (zero limit), tidak memproduksi produk haram (zero defect), dan tidak ada

risiko merugikan yang diambil bila mengimplementasikan sistem ini (zero risk).

Total quality management didefinisikan sebagai sistem dimana setiap orang di

dalam setiap posisi dalam organisasi harus mempraktekkan dan berpartisipasi

dalam manajemen halal dan aktifitas peningkatan produktivitas.

Adanya manajemen operasi halal ini dengan sendirinya mengubah sifat

mutu konvensional produk pangan yang tadinya hanya didasarkan pada aspek

material semata seperti aspek kimia, fisik, mikrobiologi, dan organoleptik-

sensoris. Kehalalan menuntut produk pangan untuk mempunyai mutu


transendental atau aspek spiritual. Baadilla (1996) menyatakan bahwa sesuai

dengan tuntutan konsumen produk pangan harus memenuhi persyaratan mutu

yang meliputi beberapa aspek yaitu aspek keamanan, aspek citarasa, aspek nutrisi,

aspek estetika dan bisnis, serta aspek halal.

4.1 Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)

Dalam hal jaminan mutu industri pangan biasanya mengacu pada standar

international yaitu ISO 9000 sedangkan untuk keamanan pangan (food safety)

adalah ISO 22000. Sebelum adanya ISO 22000, menurut Alli (2004), ISO 9000

bisa disinergikan dengan Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis atau

Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). Dalam perkembangan

selanjutnya HACCP diadopsi langsung oleh ISO 22000. Dari sudut sejarah HCCP

adalah konsep yang dikembangkan tahun 1960 oleh The Pillsbury Company

bersama dengan NASA dan Laboratorium Militer Amerika. Hal ini didasarkan

pada konsep engeenering Failure, Mode, Effect and Analysis (FMEA) yang

kemudian diterapkan pada tataran mikrobiologi (Mortimore and Wallace, 2001).

Codex Alimentarius Commission menjabarkan sistem Hazard Analysis

Critical Control Point (HACCP) sebagai suatu sistem yang memiliki landasan

ilmiah dan yang secara sistematis mengidentifikasi potensi-potensi bahaya

tertentu serta cara-cara pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan.

Tujuan dasar sistem HACCP adalah untuk menunjukkan letak potensi bahaya

yang berasal dari makanan yang berhubungan dengan jenis bahan pangan yang

diolah oleh perusahaan pengolah makanan dengan tujuan untuk melindungi

kesehatan konsumen dan ditujukan untuk pencegahan, penghilangan atau


pengurangan potensi bahaya keamanan pangan hingga ke tingkat yang dapat

diterima (European Committee for Standardisation, 2004).

Berdasarkan Codex Alimentarius Commission and FAO-WHO Food

Standards Programme (1997), HACCP mempunyai 7 prinsip utama yaitu:

1. Melakukan analisis bahaya

2. Menentukan Titik Pengendalian Kritis (Critical Control Point atau CCP)

3. Menentukan ambang batas kritis

4. Membuat suatu sistem pemantauan (monitoring) terhadap CCP

5. Menyusun tindakan-tindakan perbaikan yang harus diambil ketika

pengawasan menunjukkan bahwa suatu titik pengendalian kritis (CCP)

berada diluar kendali.

6. Menyusun prosedur pengecekan ulang untuk memastikan bahwa sistem

HACCP dapat bekerja dengan efektif.

7. Menyusun dokumentasi yang berhubungan dengan semua prosedur dan

catatan-catatan yang sesuai untuk prinsip-prinsip ini beserta aplikasinya.

Bagi yang belum akrab dengan HACCP, sebagai contoh untuk

pemahaman terhadap prinsip-prinsip diatas, kita ambil kasus penerapan HACCP

pada makanan favorit berjuta umat, mie instan. Krisnawati (2002) menuturkan

penerapan prinsip pertama HACCP dalam pembuatan mie instan adalah

mengidentifikasi bahaya yang mungkin ada akibat faktor biologi, kimia, atau pun

fisik dari mulai bahan baku sampai pada produk akhir. Bahaya pada bahan baku

misalnya ada kutu pada terigu. Jika ada kutu maka terigu tersebut harus ditolak.
Dari identifikasi bahaya tersebut ditentukan bagian mana saja yang bersifat

kritis sebagai prinsip kedua. Penerimaan bahan baku, pencampuran larutan alkali,

steaming, penggorengan, cooling, dan pengemasan adalah titik kritis atau critical

point pada proses produksi mie instan. Pada prinsip ketiga ditetapkan batas dari

bahaya tersebut misalnya pada penggorengan batas asam lemak bebas atau FFA

(free fatty acid) pada minyak goreng yang digunakan adalah 0.25 %.

Prinsip keempat, monitoring dilakukan untuk antisipasi penyimpangan

terhadap batas kritis. Pada umumnya yang bertanggung jawab terhadap

monitoring adalah operator pelaksana produksi, teknisi quality control, supervisor

produksi dan manajer produksi. Pembersihan kembali peralatan yang kotor,

pengembalian bahan baku pada supplier, kalibrasi peralatan, pengemasan ulang

dan penarikan produk adalah contoh dari tindakan koreksi sebagai prinsip kelima.

Penerapan prinsip keenam adalah dokumentasi terhadap seluruh tahapan

produksi mie instan. Dokumentasi ini harus mencakup data data teknis hasil studi

yang meliputi ingredient, risiko bahaya, tahapan proses dan kemungkinan

bahayanya, titik kendali kritis, penyimpangan yang terjadi, tindakan koreksi yang

diambil, dan modifikasi HACCP. Verifikasi sebagai prinsip terakhir dilakukan

dilakukan dengaan review terhadap rencana HACCP, kesesuaian titik kritis,

konfirmasi penangan penyimpangan, inspeksi visual, dan penulisan laporan.

4.2 Halal Control Point (HCP)

Konsep HACCP diubahsesuaikan sedemikian rupa oleh ahli-ahli ilmu

pangan muslim. Dr. Mian Riaz dari Texas A & M University mengubahsesuaikan

HACCP menjadi Halal Control Point atau HCP. Sementara begawan ilmu pangan
Indonesia, Prof. Anton Apriyanto dari Institute Pertanian Bogor

mengubahsesuaikan menjadi Haram Analysis Critical Control Point atau

HrACCP. Namun ditilik dari prinsip, sejatinya antara HCP dan HrACCP hanya

berbeda dalam penamaan saja. Intinya zat yang tidak halal alias haram

dipersamakan sebagai hazard.

Dr. Mian Riaz berpendapat bahwa Good Manufacturing Process (GMP)

dan Good Hygiene Process (GHP) belumlah cukup tanpa HACCP untuk

menciptakan pangan yang aman. Kelebihan HACCP adalah sebagai instrument

preventif untuk bahaya dan memiliki kemampuan untuk membuktikan keamanan

pangan tersebut. GMP dan GHP adalah basis dari HACCP sehingga HACCP

adalah inti dari total quality management. Prinsip pencegahan bahaya HACCP

mempunyai prinsip yang sama dengan prinsip pencegahan bahan haram sehingga

halal control point bisa ditambahkan pada aplikasi HACCP. Penerapan konsep

halal, ISO, food hygine dan HACCP secara berbarengan akan membentuk total

quality management untuk tataran produksi pangan. Berikut adalah gambaran

konsepsi Dr. Mian Riaz untuk total quality management tersebut.

Sumber : Riaz (2009). Halal an Emerging Food Quality Standard.


World Halal Food Research Summit Presentation.
Menurut Apriyantono et al. (2003), titik kritis keharaman produk atau

Haram Analysis Critical Control Point (HrACCP) pada prinsipnya mengikuti

prinsip yang diterapkan pada Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

akan tetapi dalam hal ini ditujukan pada usaha pencegahan masuknya bahan

haram dan najis ke dalam sistem produksi sedini mungkin. Bahan haram dan najis

tidak boleh kontak dengan produk halal pada seluruh rangkaian produksi dan pada

kadar berapapun. Penerapan HrACCP terdiri dari enam komponen yaitu :

1. mengidentifikasi semua bahan yang termasuk haram dan najis,

2. mengidentifikasi titik-titik kontrol krisis,

3. membuat prosedur pemantauan,

4. membuat tindakan koreksi,

5. membuat dokumen-sistem perekaman, dan

6. membuat prosedur verifikasi.

Disini kita lihat bahwa point 3 dalam dalam prinsip HACCP yaitu

menetapkan ambang batas kritis hilang dari prinsip HrACCP. Keadaan ini

dikarenakan masalah halal haram bukanlah masalah kuantitatif tapi kualitatif.

Apriyantono et al. (2003), menyatakan titik kendali kritis masalah halal haram

adalah masalah ada atau tidak ada bahan haram dalam suatu produk atau proses,

sehingga pendekatannya bukan berdasarkan ambang batas atas-bawah dengan

suatu standar deviasi tertentu, melainkan no haram product. Hal ini didasarkan

pada prinsip dalam Islam bahwa jika sesuatu yang itu haram maka tak peduli

banyak atau sedikit tetap sama-sama haram.


Semua bahan diidentifikasi termasuk haram atau najis dengan melakukan

penentuan resiko halal-haram yang didasarkan atas “Analisa bahaya dan resiko

halal-haram khususnya untuk bahan baku, proses, penyimpanan serta distribusi

produk jadi”. Penentuan Haram CCP dengan menggunakan diagram pohon

pertanyaan atau pohon keputusan. Diagram pohon ini dimaksudkan untuk

membantu penelusuran dan pengkajian suatu bahan baku atau produk atau suatu

proses tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi terhadap penyebab

keharaman suatu produk atau tahapan proses. Pohon keputusan CCP yang dapat

digunakan dari sistem jaminan halal MUI (2008) adalah sebagai berikut.
Pohon Keputusan untuk Identifikasi Titik Kritis Keharaman
(TK : Titik Kritis; Non TK : Tidak Kritis)
Sumber: LPPOM-MUI 2008

Tambahan untuk produk mikrobial, semua produk mikrobial adalah titik

kritis. Titik kritis terletak pada media, baik media penyegaran ataupun media
produksi. Pelaksanaan Sistem HrACCP ini dipermudah dengan membuat Lembar

Kerja Status Preventif dan Tindakan Koreksi (LKSPTK) (control measure).

LKSPTK ini merupakan lembaran kerja yang menyajikan uraian tentang lokasi

CCP pada tahap proses produksi, faktor-faktor yang mungkin menyebabkan

keharaman produk antara lain jenis bahan dan kontaminasi najis, prosedur

pemantauan, tindakan koreksi, verifikasi dan pencatatan. Penerapan dari HCP atau

HrACCP ini akan kita spesifikan lebih lanjut pada bab-bab selanjutnya.

Pustaka

Alli, I. 2004. Food Quality Assurance: Principles And Practices. CRC Press LLC.
New York.
Apriyantono, A., J. Hermanianto dan N. Wahid. 2007. Pedoman Produksi Pangan
Halal. Khairul Bayan Press.Jakarta.

Baadilla HO. 1996. Persyaratan Mutu Pangan Era Perdagangan Bebas. Makalah
Seminar Nasional Pangan dan Gizi. Yogyakarta : 10-11 Juli 1996.
Codex Alimentarius Commission Joint FAO/WHO Food Standards Programme.
1997. Food Hygiene. FAO. Italy.
Daud, S., R. C. Din, S. Bakar, M. R. Kadir and N.M. Sapuan. 2011.
Implementation of MS1500: 2009: A Gap Analysis. IBIMA Publishing.
Malaysia. Vol. 2011 (2011), Article ID 360500
European Committee for Standardisation. 2004. Pelatihan Penerapan Metode
HACCP. European Committee for Standardisation-Implementing Agency
for the Contract No ASIA/2003/069-236
Krisnawati, A. Aplikasi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Pada
Produk Instat Noodle Di PT Sentrafood Indonusa Karawang. Skripsi
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LPPOM–MUI. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM–MUI.
Mortimore, S. dan C. Wallace. 2001. FOOD INDUSTRY BRIEFING SERIES:
HACCP. Blackwell Science Ltd. USA
Nasution, A.H. 2006. Manajemen Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Riaz, M.N. 2009. Halal : An Emerging Food Quality Standard - Similarities of


Halal & HACCP. World Halal Research Summit 2009. Kuala Lumpur.
Sholihin, A.I. 2010. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
5. MENIKMATI DAGING HALAL

Pernah dengar atau baca alat yang bernama electroenchephalograph? Atau alat

yang dinamakan electrocardiograph? Hmm… pasti pernah. Setidaknya sedetik

yang lalu ketika barusan Anda membaca paragraf ini.

Electroenchephalograph (EEG) adalah alat untuk mengukur aktivitas

otak. Bidang keilmuan psikologi menggunakan alat ini untuk pengukuran

psikofisiologis seperti aktivitas elektrik dalam sistem saraf otonom atau

sistem saraf pusat (Davison et al., 2006). Electrocardiograph (ECG) adalah

alat untuk mengukur aktivitas jantung. Willem Einthoven memenangkan

hadiah nobel bidang medis di tahun 1924 untuk penemuan mekanisme ECG

ini.

Kenapa kita membahas electroenchephalograph dan electrocardiograph?

Apa hubungannya dengan daging yang halal? Sabar, sebab kita akan bercerita

tentang sebuah penelitian yang sudah berusia lebih dari 30 tahun untuk mencoba

menjelaskan sebuah hadits yang sudah berusia lebih dari 14 abad.

Hannover, Jerman, 1977. Tampaknya ketika itu ada sebuah pertanyaan

yang mengganggu para ilmuan tentang bagaimana sebenarnya kedaan hewan yang

disembelih. Persepsi manusia melihat bahwa hewan berada dalam kondisi

kesakitan saat disembelih sehingga ini dijadikan pertimbangan dilakukannya

pemingsanan (stunning). Dengan anggapan bahwa pemingsanan akan

menghilangkan kesadaran hewan dan dengan hilangnya kesadaran tersebut, si

hewan tak akan merasa kesakitan saat disembelih. Inilah pandangan yang
manusiawi, tapi benarkah persepsi tersebut? Bukankah seharusnya ada

pengukuran objektif tentang rasa sakit ini dan tidak didasarkan pada persepsi

manusia belaka?

Dari The Clinic for Small Clawed Animals and Forensic Medicine and

Mobile Clinic of The Veterinary University of Hannover, awal bulan Juni 1977,

Profesor Schulze dan koleganya menerbitkan laporan penelitian tentang

perbandingan cara penyembelihan hewan menggunakan „cara barat‟ dan „ritual

agama‟ pada sapi dan domba. Penyembelihan konvensional cara barat ini

menggunakan pemingsanan dengan captive bolt pistol stunning (CBPS).

Penyembelihan ritual agama di eropa biasa mengacu pada tatacara penyembelihan

islam atau yahudi. Perlu diketahui bahwa makanan yang boleh dikonsumsi dalam

islam disebut halal sedangkan makanan yang boleh dikonsumsi dalam agama

yahudi disebut kosher. Cara penyembelihan hewan dalam agama yahudi

dinamakan shechita sedangkan dalam islam disebut dhabiha. Shechita hampir

sama seperti dhabiha dalam hal keharusan penggunaan alat yang tajam,

memutuskan kerongkongan dan tenggorokan, serta memutuskan bagian dua

pembuluh darah utama yaitu arteri carotid dan jugular veins (Reynnells, 2007).

Aisha El-Awady (2003), menuturkan bahwa Prof Schulze bersama DR

Hazeem mengeluarkan hasil penelitian dengan judul Attempts to Objectify Pain

and Consciousness in Conventional (captive bolt pistol stunning) and Ritual

(Halal, knife) Methods of Slaughtering Sheep and Calves. Pada penelitian itu,

sebagaimana ditulis oleh Nanung Danar Dono (2009), EEG dipasang pada

permukaan otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak. Alat

ini dipakai untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih.
Pada jantung sapi-sapi tersebut juga dipasang ECG untuk merekam aktivitas

jantung saat darah keluar.

Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG dan

ECG (yang telah terpasang) beberapa minggu. Setelah masa adaptasi dianggap

cukup, separuh sapi disembelih secara ritual agama dan separuh sisanya

disembelih secara metode barat. Selama penelitian, EEG dan ECG pada seluruh

ternak dicatat untuk merekam keadaan otak dan jantung semenjak sebelum

pemingsanan (atau penyembelihan) hingga hewan ternak benar-benar mati.

Hasilnya adalah sebagai berikut :

Penyembelihan menurut ritual halal

Pertama, pada 3 detik pertama setelah disembelih (dan ketiga saluran pada leher

sapi bagian depan terputus), tercatat tidak ada perubahan pada grafik EEG. Hal ini

berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah disembelih tidak ada indikasi rasa

sakit.

Kedua, pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam adanya penurunan

grafik secara gradual (bertahap) yang sangat mirip dengan kejadian deep sleep

(tidur nyenyak) hingga sapi-sapi tersebut benar-benar kehilangan kesadaran. Pada

saat tersebut, tercatat pula oleh ECG bahwa jantung mulai meningkat aktivitasnya.

Ketiga, setelah 6 detik pertama tersebut, ECG pada jantung merekam adanya

aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin darah dari

seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan refleks

gerakan koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal cord).
Pada saat darah keluar dari leher, grafik EEG tidak naik, tapi justru drop sampai

ke zero–level (angka nol). Diterjemahkan peneliti tersebut bahwa, “No feeling of

pain at all!” atau tidak ada rasa sakit sama sekali!

Keempat, oleh karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung keluar tubuh

secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang sehat) yang layak

dikonsumsi oleh manusia. Jenis daging semacam ini sangat sesuai dengan prinsip

Good Manufacturing Practice (GMP) yang menghasilkan healthy food (pangan

sehat).

Penyembelihan cara barat

Pertama, segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan), sapi terhuyung

jatuh dan collaps. Setelah itu, sapi tidak bergerak-gerak lagi sehingga mudah

dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat dengan mudah disembelih, tanpa

meronta-ronta, dan (nampaknya) tanpa rasa sakit. Pada saat disembelih, darah

yang keluar hanya sedikit tidak sebanyak bila disembelih tanpa proses stunning.

Kedua, segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya kenaikan yang sangat

nyata pada grafik EEG. Hal tersebut mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit

yang diderita oleh ternak pada saat kepalanya dipukul.

Ketiga, grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi grafik ECG yang

drop ke batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan rasa

sakit yang luar biasa sehingga jantung berhenti berdetak lebih awal. Akibatnya,

jantung kehilangan kemampuannya untuk menarik darah dari seluruh organ tubuh

serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh.


Keempat, oleh karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara

maksimal, maka dihasilkan unhealthy meat (daging yang tidak sehat), sehingga

tidak layak dikonsumsi oleh manusia.

Dari penelitian ini disimpulkan bahwa penyembelihan dengan cara islam

tidak mengindikasikan rasa sakit. Meronta-ronta dan meregangkan otot pada saat

ternak disembelih ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit. Jauh berbeda dengan

dugaan atau persepsi manusia sebelumnya. Sapi meronta-ronta dan meregangkan

otot bukanlah ekspresi rasa sakit, tetapi hanyalah ekspresi „keterkejutan otot dan

saraf‟ saja yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras. Mengapa

demikian? Tentunya, hal ini tidak terlalu sulit dijelaskan mengingat grafik EEG

tidak menunjukkan adanya rasa sakit.

Setelah jenis hewan hewan yang halal dimakan, tata cara penyembelihan

adalah hal yang penting dalam islam. Hewan yang halal jika cara

penyembelihannya tidak islami maka akan menjadi haram. Dalam penyembelihan

ini seorang muslim harus ihsan atau berbuat dengan cara yang baik sesuai dengan

hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.

“Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan (ihsan) pada segala sesuatu, maka

jika kalian membunuh hendaklah kalian berbuat ihsan dalam membunuh, dan

apabila kalian menyembelih, maka hendaklah berbuat ihsan dalam menyembelih,

(yaitu) hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya agar

meringankan binatang yang disembelihnya”


Dari hadits diatas diketahui bahwa menajamkan alat penyembelihan atau

pisau adalah bagian dari ihsan karena meringankan (rasa sakit) binatang tersebut.

Pernyataan yang sepertinya berlawanan menurut persepsi manusia. Bagaimana

bisa kita berbuat kebaikan atau ihsan padahal kita merenggut nyawa mahluk

hidup? Hal ini tentu sulit kita mengerti tanpa mengetahui hasil penelitian dari

Prof. Schulze dan DR. Hazeem diatas yang justru mengungkapkan tidak adanya

rasa sakit pada hewan yang disembelih secara islami.

Lebih lanjut tentang cara penyembelihan islami yang tidak menyebabkan

rasa sakit dijelaskan karena otak dan kulit hewan berbeda dengan otak dan kulit

manusia. Menurut Khan (1982), bagian frontal lobe otak hewan tidak tumbuh

seperti manusia. Otak hewan berfungsi seperti orang yang mengalami frontal

leucotomy sehingga kurang peka terhadap rasa luka dan ancaman. Kulit hewan

lebih tebal dari pada manusia dan mempunyai ambang batas yang rendah terhadap

rasa sakit. Hal inilah yang sering dilupakan orang dan mengakibatkan orang

mengandalkan persepsinya bahwa penyembelihan dengan cara islam adalah hal

menyakitkan.

Keuntungan lain dari cara penyembelihan sesuai agama adalah rendahnya

tingkat stres hewan sembelihan sebagaimana dalam penelitian Pouillaude (1992)

yang dikutip oleh French Ministry of Food, Agriculture and Fishing (2008).

Tingkat stres ini diukur dengan tingkat glikemia pada darah. Diketahui bahwa

pada hewan yang disembelih sesuai agama tingkat glikemianya normal yang

berarti hewan tersebut tidak stres. Lain halnya dengan metode penyembelihan
yang melibatkan stunning, tingkat glikemia hewan tersebut lebih tinggi

(hyperglycemia) yang menandakan hewan tersebut mengalami stres.

Meskipun ada sederet bukti tentang kelebihan penyembelihan secara

islam, namun sampai buku ini ditulis pun masih banyak kontroversi yang

menganggap bahwa cara penyembelihan islami adalah cara yang barbar, tidak

manusiawi, horror dan cruel. Anggapan ini muncul dari mereka yang pro-

stunning ataupun dari kelompok vegetarianism. Mereka mendasarkan anggapan

ini karena hewan dalam cara penyembelihan islam ada dalam keadaan sepenuhnya

sadar.

Orang yang menilai buruk cara islam dan yang memilih untuk pro-

stunning seringkali mengabaikan rasa sakit yang muncul dari proses stunning itu

sendiri. Dalam kalangan islam ada perbedaan pendapat tentang stunning ini. Ada

yang menerima karena prinsipnya stunning tidak membunuh hewan dan hewan

tersebut tetap bisa disembelih dengan cara islam. Ada juga yang menolak karena

stunning menyakitkan hewan dan berpotensi membunuh hewan. Di akhir bab ini

akan kita bahas bagaimana efek dari stunning. Sementara ini kita beralih pada

syariat tentang daging yang halal dan halal control point pada industri daging.

5.1 Penyembelihan

Industri pangan wong kulon menggunakan istilah meat and poultry untuk

produk daging-dagingan. Meat yang secara bahasa berarti daging biasa digunakan

untuk mewakili produk yang berasal dari hewan berkaki empat seperti sapi dan

domba. Poultry yang secara bahasa berarti unggas biasa digunakan untuk
mewakili kelompok unggas seperti ayam dan kalkun. Untuk menjadi halal meat

and poultry ini tentu harus melalui penyembelihan secara islami. Kaidah

penyembelihan secara islami sebagaimana dirinci oleh As Sidawi dan Fatwa

(2008) adalah sebagai berikut.

1. Orang yang Menyembelih

a. Berakal baik laki-laki atau wanita, sudah baligh atau belum dengan

catatan sudah mencapai usia tamyiz. Tidak sah sembelihan orang gila,

anak kecil yang belum berakal, atau orang yang sedang mabuk.

b. Agama orang yang menyembelih hendaklah orang muslim atau ahli

kitab (yahudi dan nasrani).

c. Membaca bismillah (tasmiyah atau invocation)

d. Tidak boleh menyembelih atas nama selain Allah

2. Alat untuk menyembelih

a. Alat harus tajam dan dapat memotong dengan cepat

b. Bukan dari kuku dan gigi

3. Hewan Sembelihan

a. Hewan yang disembelih masih dalam keadaan hidup, tidak boleh

menyembelih hewan yang sudah mati

b. Hilangnya nyawa hewan semata-mata karena sebab penyembelihan

bukan karena tercekik atau terpukul.


c. Jenis hewan yang disembelih adalah hewan darat dan udara yang

halal dimakan seperti kambing, unta, sapi, ayam dan burung.

Sedangkan hewan laut semuanya halal dan tidak disyaratkan

penyembelihan.

4. Bagian yang disembelih

a. Apabila hewannya jinak dan mungkin untuk disembelih maka

tempat yang disembelih adalah pada lehernya dengan memutus

saluran pernapasan, saluran makanan, dan dua urat leher (arteri

carotid dan vena jugularis).

b. Apabila hewan yang akan disembelih tidak bisa dijinakkan, dalam

arti malah lari dan tidak mungkin disembelih pada lehernya, atau

malah jatuh masuk sumur dan belum mati, maka boleh

menyembelih pada bagian tubuh mana saja yang mungkin untuk

disembelih dan mematikan.

Adapun adab dan hal yang tidak disarankan untuk proses penyembelihan seperti

yang ditulis Khan (1982), adalah sebagai berikut.

a. Dilarang menajamkan atau mengasah pisau atau pun alat penyembelihan

lainnya di depan hewan yang akan disembelih.

b. Penyembelihan tidak disarankan mengenai tulang belakang (spinal cord)

atau memutuskan kepala dari badan.

c. Tidak boleh memutuskan leher atau menguliti hewan sementara hewan

tersebut masih terlihat hidup.


d. Tidak boleh menggunakan alat yang tumpul.

e. Tidak disarankan menyembelih di depan hewan lain yang akan

disembelih.

Dilarang mengasah pisau di depan hewan merupakan bagian dari adab

penyembelihan yang berdasarkan hadits riwayat Al Hakim yang menyatakan

bahwa Ibnu „Abbas radhiyallahu „anhu berkata, Rasulullah saw melewati

seseorang yang menginjakkan kakinya di atas lambung seekor kambing sambil

menajamkan pisaunya dan diperlihatkan di depan mata kambing itu. Beliau

bersabda, “Apakah kamu ingin membunuhnya dengan dua kematian? Tidakkah

kamu tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkannya?”

Dalam penyembelihan secara modern, mengingat banyaknya hewan yang

disembelih dalam satu waktu, khususnya penyembelihan ayam, maka seringkali

penyembelihan dilakukan dengan menggunakan mesin. Sebagian ulama

memperbolehkan penyembelihan menggunakan mesin sepanjang tetap dibacakan

basmallah untuk setiap hewan, sebagian lagi membolehkan basmallah hanya

dibaca diawal. Akan tetapi sebagian ulama tidak membolehkan penyembelihan

menggunakan mesin, harus manual dan dengan membacakan basmallah

(Apriyantono, 2007). Untuk di Indonesia, MUI memperbolehkan cara mekanis

ini.

5.2 HCP Penanganan Daging

Semua kaidah penyembelihan diatas menjadi Halal Control Points (HCP)

dalam pengolahan meat and poultry. Menyangkut seluruh proses pengolahan


secara umum di rumah potong hewan (RPH), Halal Control Points selengkapnya

menurut Riaz and Chaudry (2004) adalah sebagai berikut.

HCP 1 → Hewan yang disembelih haruslah hewan yang halal seperti domba, sapi,

kambing, ayam atau burung. Hewan yang haram disembelih seperti babi tidak

menjadi halal meskipun cara penyembelihannya mengikuti cara yang halal.

HCP 2 → Islam mengajarkan untuk berbuat baik pada binatang sehingga binatang

harus diperlakukan dengan baik dan tidak mengalami stres. Setibanya di rumah

potong, hewan harus diistirahatkan terlebih dahulu dengan makanan dan minuman

yang cukup sebelum disembelih. Penulis tambahkan bahwa pada titik ini praktek

meng-gelonggong tidak bisa diterima secara islami.

HCP 3 → Penyembelihan hewan lebih baik tanpa melakukan pemingsanan

(stunning). Bila stunning dilakukan maka harus dipastikan bahwa hewan dalam

keadaan hidup setelah stunning sebelum penyembelihan dilakukan. Metode

stunning yang biasa digunakan adalah captive bolt stunning, electric stunning,

mushroom-shaped hammer stunner (direkomendasikan untuk substitusi captive

bolt stunning), dan carbon dioxide stunning atau gassing (tidak

direkomendasikan).
Halal Control Points pada Pemrosesan Meat and Poultry
Sumber : Riaz and Chaudry (2004)

HCP 4 → Alat yang digunakan harus tajam dan proporsional dengan ukuran

hewan yang akan disembelih. Penyembelihan dianjurkan dilakukan dengan sekali

potong sehingga menimbulkan efek anastetik pada hewan yang disembelih.

HCP 5 → Penyembelih haruslah orang islam baik laki-laki ataupun perempuan

yang berakal sehat dan terlatih melakukan pemyembelihan. Penyembelih ini tidak

boleh weak at heart alias jantungan.


HCP 6 → Penyembelihan haruslah memotong kerongkongan, tenggorokan, arteri

carotid dan vena jugularis, serta tanpa menyentuh tulang belakang (spinal cord).

HCP 7 → Tasmiyah dilakukan sambil memotong kerongkongan. Cukup dengan

membaca “Bismillah” sekali saja. Namun biasanya untuk hewan yang lebih besar

seperti sapi atau kambing, tasmiyah dilakukan dengan membaca “Bismillahi

Allahu Akbar” tiga kali.

HCP 8 → Tidak boleh memotong-motong tubuh hewan sebelum hewan tersebut

benar-benar tidak bernyawa. Bisanya setelah darah keluar dan jantung berhenti

berdetak, barulah hewan tersebut dikuliti dan diambil jeroannya untuk seterusnya

dilakukan pemisahan tulang dan daging.

HCP 9 → Pengemasan dilakukan menggunakan bungkus dan boks yang bersih

kemudian diberi label halal sebagai penunjuk bahwa produk ini merupakan

produk halal.

Konsep HCP diatas bisa disesuaikan kembali atau pun disederhanakan

secara spesifik pada masing-masing perusahaan. Hal ini bisa kita lihat contoh

HCP pada rumah potong ayam berikut.


Halal Control Points (*) pada Sebuah Perusahaan Rumah Potong Ayam (RPA)
Sumber : Estuti (2005)

Dijelaskan Estuti (2005), bahwa penerimaan ayam hidup (unloading)

menjadi haram critical control point atau HCP 1 pada tahap proses produksi

daging ayam, karena ada kemungkinan ayam yang dikirim mati. Bila pengawasan

ayam mati terlewatkan pada waktu penerimaan ayam, maka yang masuk dalam

proses produksi adalah bangkai dan produk menjadi tidak halal. Namun penyebab

keharaman ini dapat dicegah dengan adanya upaya pencegahan dengan melakukan
pemeriksaan ante mortem oleh petugas produksi/ QC, sehingga ayam yang mati

dapat dipisahkan.

Pemingsanan (stunning) menjadi HCP 2, karena pada tahap ini ada

kemungkinan ayam mati karena voltase stunner yang terlalu tinggi. Stunning yang

dilakukan untuk ayam biasanya electric stunning. Tahap ini dapat dicegah dengan

melakukan pengontrolan tegangan dan arus listrik oleh petugas produksi/QC.

Pengawasan selalu dilakukan dengan pengontrolan kondisi ayam hidup setelah

stunning, jika ditemukan ayam mati maka akan dipisahkan, dihitung dan

dimusnahkan.

Penyembelihan (killing) menjadi HCP 3, karena tahap penyembelihan

memerlukan persyaratan penyembelih ayam (killerman) adalah seorang muslim

yang sudah terlatih dalam melakukan penyembelihan. Bila penyembelih adalah

orang yang tidak terlatih dan bukan muslim, bisa menyebabkan hasil

penyembelihan yang kurang sempurna atau tidak sesuai dengan syari‟at Islam,

sehingga ayam tersebut dapat dikatagorikan bangkai. Hal ini dapat dicegah

dengan mengawasi kondisi ayam setelah penyembelihan. Pada penyembelihan

ayam yang menggunakan mesin, ditugaskan satu atau dua orang personel yang

bertugas menyembelih ayam jika ada ayam yang luput dari mesin dan belum

tersembelih.

Penirisan darah menjadi haram HCP 4, penyebab ketidakhalalannya adalah

karena darah tidak keluar tuntas dan darah yang tertinggal di dalam tubuh ayam

merupakan najis. Sehingga darah harus keluar secara tuntas dari karkas.
Selain control point pada tahap produksi, control point lainnya lainnya

berlaku untuk air yang digunakan pada proses produksi tersebut. Hal ini

dikarenakan air yang digunakan dalam produksi daging ayam dapat tercemar najis

atau kotoran. Bila air terkontaminasi najis, maka air tersebut akan mencemari

daging ayam selama proses produksi. Air yang digunakan harus dijamin bersih

dan tidak terkena najis.

Menurut Riaz dan Chaudry (2004), pada industri pengolahan meat and

poultry, setelah memastikan daging tersebut berasal dari sumber yang halal,

peralatan yang digunakan menjadi halal control point selanjutnya jika industri

tersebut juga mengolah produk non-halal. Peralatan harus dibersihkan terlebih

dahulu jika akan digunakan untuk produk halal sehingga tidak terjadi kontaminasi

silang. Namun karena tidak mungkin untuk membersihkan peralatan dari lemak

babi, oleh karena itu produk babi harus terpisah secara mutlak dari peralatan

produk halal.

Ingridient produk olahan daging menjadi halal control point karena

banyaknya ingridient yang statusnya non-halal. Patut diperhatikan pula halal

control point untuk produk olahan daging yang menggunakan casing seperti sosis

baik edible casing ataupun non-edible casing. Berdasarkan asalnya ada 3 jenis

casing yang biasa dipakai yaitu :

 Natural casing, casing ini terbuat dari usus binatang seperti

domba, sapi, kambing atau pun babi. Casing dari babi tidak boleh

dipakai untuk produk halal. Casing untuk produk halal harus

berasal dari binatang halal yang juga disembelih secara halal.


 Collagen casing, casing ini terbuat dari kulit lembu atau kulit babi.

Sama seperti natural casing, casing dari babi tidak boleh dipakai

untuk produk halal dan casing yang digunakan harus berasal dari

binatang halal yang juga disembelih secara halal.

 Cellulosa casing, casing ini adalah non-edible casing. Biasa dibuat

dari selulosa tumbuhan dengan menggunakan bahan lain seperti

glicerin. Status glicerin ini bersifat syubhat sehingga jika akan

menggunakan cellulosa casing baiknya gunakan yang sudah

tersertifikasi halal.

Saat ini juga ada jenis kulit sosis artifisial lainnya yang berbahan

polyamide dan polivinilidena klorida (PVDC). Bahan polyamide bisa digunakan

untuk produksi sosis yang dimasak secara perebusan pada suhu pasteurisasi,

sedangkan polivinilidena klorida digunakan untuk sosis yang tidak memerlukan

ruang pendingin untuk memasarkannya atau yang disebut sebagai “retort” sosis

(Setiawan, 2010). Meski sudah sesuai untuk produk pangan atau food grade, hal

perlu diperhatikan pada polyamide dan polivinilidena klorida adalah proses

pembuatannya yang berbasis industri plastik. Pada proses tersebut biasanya

digunakan zat additif atau lubricant. Zat additif dan lubricant bisa berstatus

syubhat bahkan haram seperti senyawa stearat.

5.3 Soal Stunning

Menurut Anil dan Lambooij (2009) metode stunning dibedakan menjadi

metode elektrik, mekanis, fisik, dan gas. Metode elektrik menggunakan arus

listrik dengan elektroda yang diarahkan pada kepala atau kepala-punggung.

Metode mekanis biasanya menggunakan alat captive bolt, free bullet, water jet,
dan pemlintiran leher. Metode fisik diantaranya menggunakan pemanasan otak

dengan menggunakan gelombang pendek (short wave diathermy), pendinginan

pada 8-10 0C, dan stimulasi magnetik. Sedangkan metode gas menggunakan gas

karbondioksida (CO2) dan dengan gas lain seperti karbonmonoksida (CO),

dinitrogenoksida (N2O), sianida (HCN), argon (Ar), dan nitrogen (N2).

Rentang arus pada stunning elektrik untuk domba adalah 1-1,5 A dengan

rentang waktu 1-4 detik sedangkan pada sapi 1,1-2,5 A dengan rentang waktu 1,1-

4 detik (Petch, 2001). Untuk ayam, arus yang digunakan 10-20 mA selama 10-20

detik. Agar tidak mematikan, arus yang melebihi 20 mA tidak boleh digunakan

untuk produksi daging ayam halal (Riaz dan Chaudry, 2004).

Kecepatan bolt pada alat captive bolt stunning untuk sapi adalah 55 m/s

(Greogry et. al, 2007). Riaz dan Chaudry (2004), menyatakan bahwa untuk

produk halal sapi tersebut harus segera disembelih dalam rentang waktu 1-3 menit

setelah penembakan bolt. Metode stunning dengan menggunakan gas pada

prinsipnya mencegah hewan agar tidak menghirup oksigen. Gas anoksik seperti

HCN dan CO sangat berpengaruh pada aktivitas oksigen dalam tubuh. HCN

mencegah aliran oksigen pada jaringan sedangkan CO berikatan lebih kuat dengan

hemoglobin yang seharusnya berikatan dengan oksigen (Anil dan Lambooij,

2009). Hal ini tidak direkomendasikan karena dianggap sama dengan melakukan

pencekikan secara kimia (chemical strangulation). Sedangkan dalam islam sendiri

pencekikan ini tidak dibolehkan (Riaz dan Chaudry, 2004).


Proses Stunning Sapi Menggunakan Captive Bolt
Sumber: Al Mazeedi (2012)

Fatwa MUI tahun 1976 menyatakan bahwa proses penyembelihan mekanis

dan melibatkan stunning ini diperbolehkan. Sementara itu Halal Food Authority

(HFA) Inggris hanya memperbolehkan stunning elektrik sedangkan captive bolt

dan gas stunning tidak boleh dilakukan (HFA, 2010). Masalah pada stunning ini

adalah risiko kematian hewan akibat proses terbut. Anton Apriyantono (2007)

menyatakan bahwa mengingat katahanan hewan yang bervariasi, risiko kematian

setelah stunning dan sebelum pemotongan masih besar. Akibat risiko kematian

ini, Mufti Muhammad Taqi Usmani (2006) pun menyatakan bahwa proses

stunning merupakan hal yang meragukan yang sebaiknya tidak dilakukan.

Selain itu stunning pun bisa jadi sebab penularan penyakit dari sapi ke

manusia. Menurut Dono (2009), virus Bovine Spongioform Enchephalopathy

(BSE)–yang sering pula disebut sebagai Virus Sapi Gila atau di negara asalnya
lebih dikenal dengan istilah Mad Cow–yang ada di material otak sapi bisa

berpindah ke jaringan daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa material atau

jaringan otak tersebut dapat sampai ke daging sebagai akibat proses pemingsanan

(stunning) sebelum disembelih.

Pustaka

Al-Mazeedi, H.M. 2012. Facts about Halal and Haram in Food, Cosmetics, Drugs,
Health and Skincare Products. Kuwait Grand Mosque.

Anil, H dan B. Lambooij. 2009. Stunning and Slaughter Methods dalam F.J.M
Smulders dan B. Algers (Eds) Welfare of Production Animals: Assessment
and Management of Risks. Wageningen Academic Pub. Netherlands.

Apriyantono, A. 2007. Potensi Ketidakhalalan Produk Pangan dan Masalah


Pangan Hasil Rekayasa Genetika. Kiblat. Bandung.

As Sidawi, A.U.Y dan A.A.S. Fatwa. 2008. Indahnya Fiqih Praktis Makanan.
Pustaka Al Furqon. Gresik.

Davison et al,. 2006. Psikologi Abnormal

Dono, N.D. 2009. Apakah Syari'at Islam Tidak Manusiawi? Materi Khutbah
Sholat Idul Adha 1431 H. KBRI London.

Estuti, W. 2005. PENGEMBANGAN KONSEP MODEL SISTEM JAMINAN


HALAL DI RUMAH POTONG AYAM (Studi Kasus Pada Industri
Daging Ayam). Tesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

El-Awady, A. 2003. Is Islamic Slaughtering cruel to Animals? dalam Mufti


Muhammad Taqi Usmani (2006) The Islamic Laws of Slaughtering. White
Thread. California. USA. Translated into English from Arabic text Ahkam
Al-Dhabiha by Amir A. Toft.

French Ministry of Food, Agriculture and Fishing. 2008. Benefits of religious


slaughter without stunning for animals and humans. Bibliographical report
on religious slaughter and the welfare of animals - March 24th 2008.
Translated into English by ASIDCOM Association.

Gregory, N. et al. 2007. Depth of concussion in cattle shot with penetrating


captive bolt. Meat Science. Volume 77 issue 4 : 499-503

HFA. 2010. Frequently Asked Questions. Available on line at


http://www.halalfoodauthority.co.uk/FAQs.html

Khan, G.M. 1982. Al-Dhabh. Slaying Animal for Food The Islamic Way. Islamic
Medical Association London and Ta Ha Publisher Ltd. London.

Petch, P.E. 2001. Electrical Inputs and Meat Processing. Dalam Hui, et. Al (ed)
Meat science and Applications. Marcel Dekker. Inc. New York.

Reynnells, R (ed). 2007. Proactive Approaches to Controversial Welfare and


Ethical Concerns in Poultry Science. Bioethics Symposium. World
Congress Center. Atlanta, Georgia.

Riaz, M.N and M.M Chaudry. 2004. Halal Food Production. CRC Press. New
York.

Schulze, W., H. Schultze-Petzold, A.S. Hazem, and R. Gross. 1978. Summary


Report Experiments for the objectification of pain and consciousness
during conventional (captive bolt stunning) and religiously mandated
(“ritual cutting”) slaughter procedures for sheep and calves. Deutsche
Tieraerztliche Wochenschrift (German veterinary weekly) volume 85
(1978), pages 62-66. Translated into English by Dr Sahib M. Bleher, Dip
Trans MIL.

Setiawan, A. 2010. Varian Kulit Sosis. Food Review Indonesia. Edisi Maret 2010.

Usmani, M.T. 2006. The Islamic Laws of Slaughtering. White Thread. California.
USA. Translated into English from Arabic text Ahkam Al-Dhabiha by
Amir A. Toft.
6. TENTANG ALKOHOL

Bila Anda menonton film Eat, Pray and Love yang dibintangi Julia Roberts tentu

Anda akan tahu kalau wong kulon menganggap durian sebagai buah yang berbau

dirty foot atau kaki kotor. Beda dengan orang Indonesia yang menganggapnya

buah eksotis dan pasti akan ramai berkumpul bila durian dijual apalagi dengan

harga kisaran 1 US$ alias di bawah sepuluh ribu rupiah per buah. Tapi tahukah

Anda bila menurut penelitian Ariantatik (2002) durian mengandung 0,37-0,73 %

alkohol?

Bila Anda orang sunda atau suka dengan kuliner sunda tentu tidak akan asing

dengan yang namanya peuyeum atau tape. Entah itu yang terbuat dari singkong

atau pun beras ketan pasti Anda kenal betul dengan aroma, cita rasa dan

teksturnya yang khas. Tapi pernahkah Anda membaca International Journal Of

Food Sciences and Nutrition volume 52 tahun 2001 yang menyebutkan bahwa

setelah dua setengah hari atau 60 jam pemeraman tape beras ketan mengandung

3,38 % alkohol?

Bila Anda disuruh untuk memilih antara vanilla sintetik dan vanilla alami,

kemungkinan besar Anda akan berpikir untuk memilih vanilla alami. Selain aroma

yang lebih bagus, sifat produk yang alami tentu jadi pertimbangan utama. Tapi

sempatkah Anda berpikir bahwa produk ekstrak vanilla alami berdasarkan standar

Food and Drug Administration USA disyaratkan untuk mengandung 35 %

alkohol sebagai pelarutnya?


6.1 Antara Khamr dan Alkohol

Khamr menurut bahasa adalah sesuatu yang memabukkan yang dibuat dari

perasan anggur, dinamakan demikian karena pengaruhnya dapat menutup akal.

Sedangkan dalam pengertian syara‟ yang disebut khamr adalah setiap minuman

yang memabukkan (kullu syarabin muskirin), baik dari perasan anggur dan

lainnya (Ansharullah, 2011). Kata alkohol biasa mengacu pada etanol atau etil

alkohol yang merupakan kandungan utama dalam apa yang disebut Al Quran

sebagai khamr atau minuman keras (Riaz and Chaudry, 2004).

Keharaman khamr dan apapun yang memabukkan adalah sesuatu yang tak

perlu dipertanyakan lagi bagi orang Islam. Masalah yang sering dipertanyakan

tentang keharaman khamr adalah apakah keharaman tersebut dari segi zat ataukah

dari segi sifatnya. Menurut Ansharullah (2011), berdasar pada Al Quran, hadits

dan pendapat ulama, keharaman khamr ini mengacu pada sifatnya yang

memabukkan dan tidak dari zatnya, dengan demikian dari segi zatnya khamr

bukan merupakan najis secara hakiki tetapi najis secara maknawi. Hal ini

memberikan kita pengertian sederhana bahwa berbeda dengan meyentuh kotoran

ayam yang merupakan najis dari zatnya, tangan kita bisa menyentuh alkohol

secara langsung tanpa dibersihkan lagi karena zat alkohol tersebut bukan

merupakan najis.

Berbeda dengan pandangan general diatas, Riaz and Chaudry (2004)

menulis ada pendapat ahli-ahli fiqih bahwa alkohol yang berasal dari anggur,

kurma dan raisin dikategorikan sebagai najis. Penggunaan alkohol dari ketiga

bahan tersebut tidak diperbolehkan meskipun untuk penggunaan selain bahan


pangan seperti untuk kosmetik, parfum ataupun produk perawatan pribadi lainnya.

Bila akan menggunakan alkohol kita harus memakai alkohol yang berasal dari

bahan halal seperti alkohol dari biji-bijian atau alkohol sintetik.

Pada tataran industri alkohol diproduksi dengan cara fermentasi dan

sintesis. Fermentasi alkohol merupakan cara yang sudah lazim dari bahan

tumbuhan yang mengandung gula, pati atau selulosa. Fermentasi ini biasa

melibatkan bantuan mikroba baik itu bakteri, kapang ataupun khamir, salah

satunya adalah khamir Saccharomyses cerevisiae yang digunakan untuk

fermentasi glukosa menjadi etanol. Secara teoritis 100 gram glukosa bisa

menghasilkan 51,4 gram etanol dan 48,8 gram karbondioksida, namun dalam

prakteknya mikroba tersebut menggunakan glukosa untuk pertumbuhannya dan

etanol yang dihasilkan kurang dari 100% (Badger, 2002).

Menurut Muslim Consumer Group, alkolhol sintesis mempunyai rumus

kimia dan sifat yang sama dengan alkohol yang dihasilkan proses fermentasi.

Alkohol sintesis ini dibuat dengan menggunakan dehidrasi gas etilen atau dari

sumber petrokimia. Dehidrasi gas etilen dilakukan pada suhu 300 0C dan tekanan

6.8 MPa dengan katalis asam fosfat (H3PO4). Kemurnian alkohol dari proses

dehidrasi etilen ini mencapai 95-96 % (Engineers Guide, 2012). Secara resmi,

alkohol sistesis ini telah dinyatakan oleh pengawas obat dan makanan Amerika

(FDA) bisa digunakan pada produk makanan dalam Compliance Policy Guidance

Sec. 555.100 (FDA, 2009).


6.2 Pedoman Penggunaan Alkohol

Sebagai pedoman dalam persoalan alkohol ini, mari kita perhatikan

dua fatwa MUI berikut ini.

 Kutipan Fatwa MUI No 4/2003 Tentang Pedoman Fatwa Produk

Halal

Alkohol dan Turunannya

1. Khamr adalah setiap yang memabukkan, baik minuman maupun

yang lainnya. Hukumnya haram.

2. Minuman yang termasuk dalam kategori khamr adalah minuman

yang mengandung ethanol (C2H5OH) minimal 1 %.

3. Minuman yang termasuk kategori khamr adalah najis.

4. Minuman yang mengandung ethanol dibawah 1 % sebagai hasil

fermentasi yang direkayasa adalah haram atas dasar preventif, tapi

tidak najis.

5. Minuman yang dibuat dari air perasan tape dengan kandungan

ethanol minimal 1 % termasuk kategori khamr.

6. Tape tidak termasuk khamr.

7. Ethanol yang merupakan senyawa murni yang bukan berasal dari

industri khamr adalah suci.

8. Penggunaan ethanol yang merupakan senyawa murni yang bukan

berasal dari industri khamar untuk proses produksi pangan

hukumnya

a. Mubah, apabila dalam hasil produk akhirnya tidak terdeteksi

b. Haram, apabila dalam hasil produk akhirnya masih terdeteksi


9. Penggunaan ethanol yang merupakan senyawa murni yang berasal

dari industri khamr untuk proses produksi industri hukumnya

haram.

 Kutipan Fatwa MUI No 11/2009 Tentang Hukum Alkohol

Pertama : Ketentuan Umum

dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :

1. Khamr adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari

anggur atau yang lainnya, baik dimasak taupun tidak.

2. Alkohol adalah istilah yang umum untuk senyawa organik apapun

yang memiliki gugus fungsional yang disebut gugus hidroksil (-

OH) yang terikat pada atom karbon. rumus umum senyawa alkohol

tersebut adalah R-OH atau Ar-OH di mana R adalah gugus alkil

dan Ar adalah gugus aril.

3. Minuman beralkohol adalah :

a. minuman yang mengandung etanol dan senyawa lain diantaranya

metanol, asetaldehida, dan etilasetat yang dibuat secara

fermentasi dengan rekayasa dari berbagai jenis bahan baku

nabati yang mengandung karbohidrat; atau

b minuman yang mengandung etanol dan/metanol yang

ditambahkan dengan sengaja.

Kedua : Ketentuan Hukum

1. Meminum minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan umum hukumnya haram.


2. Khamr sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah

najis.

3. Alkohol sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum yang

berasal dari khamr adalah najis. sedangkan alkohol yang tidak

berasal dari khamr adalah tidak najis.

4. Minuman beralkohol adalah najis jika alkohol/etanolnya berasal

dari khamr, dan minuman beralkohol adalah tidak najis jika

alkohol/etanolnya berasal dari bukan khamr.

5. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri khamr untuk produk

makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan, hukumnya haram

6. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik

merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] atau pun hasil

industri fermentasi non khamr) untuk proses produksi produk

makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan, hukumnya:

mubah, apabila secara medis tidak membahayakan.

7. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik

merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] atau pun hasil

industri fermentasi non khamr) untuk proses produksi produk

makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan, hukumnya:

haram, apabila secara medis membahayakan.

Beberapa hal dibawah ini merupakan pedoman dalam produksi pangan

halal menurut Riaz and Chaudry (2004) terkait alkohol.


1. Produk alami yang mengandung alkohol dalam konsentrasi yang kecil

tidak mengalami masalah dengan kehalalan.

2. Alkohol yang ada pada produk alami bisa dibuat menjadi konsentrat ke

dalam bentuk essence sehingga kandungan alkohol tersebut terkonsentrasi.

Secara umum, kebanyakan lembaga kehalalan menerima kandungan

alkohol dibawah 0,1-0,5 % (Penulis tambahkan disini bahwa lembaga

kehalalan negara mempunyai batas berbeda untuk batas kandungan

alkohol contohnya IFANCA, MUI-nya Amerika, yang memberikan batas

dibawah 0,5 %, nilai yang lebih kecil dibanding batas yang ditetapkan

MUI pada fatwa No 4/2003 yaitu dibawah 1%) .

3. Penggunaan alkohol dalam kegiatan industri diperkenankan berdasarkan

alasan teknis jika tidak ada cara alternatif. Konsentrasi akhir alkohol hasil

proses tersebut tetap harus direduksi menjadi dibawah 0,5 % dengan

melakukan evaporasi atau dikonversikan menjadi asam asetat.

4. Penambahan minuman beralkohol seperti bir dan wine pada produk

pangan menjadikan produk tersebut haram. Namun bila yang ditambahkan

adalah essence yang diekstrak dari minuman beralkohol dengan

konsentrasi akhir alkohol sesuai standar, sebagian negara menerima hal ini

sehingga penggunaan essence ini harus disesuaikan dengan peraturan

lembaga kehalalan di negara tersebut.

5. Untuk dinyatakan halal produk konsumsi yang menggunakan bahan baku

yang mengandung alkohol baiknya harus mempunyai konsentrasi alkohol

dibawah 0,1 % karena dalam konsentrasi ini sesorang tak bisa melihat,

merasakan, dan mencium bau alkohol. Ini merupakan kriteria yang umum,
batas konsentrasi kehalalannya sendiri secara pasti bisa berbeda tergantung

peraturan kehalalan di tiap negara.

Setelah membaca beberapa petunjuk diatas kiranya dengan nalar

sederhana kita bisa menjawab wacana awal yang di tampilkan pada bab ini.

Tentang si raja buah durian, meski mengandung alkohol kita tak perlu risau

karena produk alami tidak punya masalah dengan yang namanya kehalalan.

Pertimbangan konsumsi durian lebih merupakan urusan kesehatan personal. Kalau

Anda punya masalah hipertensi dan maksa makan durian, itu berarti Anda sendiri

yang cari masalah.

Bila kita menilik fatwa No 4/2003 diatas maka tak ada keraguan tentang

kehalalan tape. Sedangkan untuk penggunaan vanilla alami dengan pelarut

alkohol, dengan melihat fatwa diatas, bisa saja digunakan sebagai ingredient

dengan catatan alkohol yang dijadikan pelarut tidak berasal dari sumber yang

dikategorikan sebagai najis dan konsentrasi alkohol pada produk akhir haruslah

dibawah 0,1%, tapi pendapat yang ada lebih banyak melarang penggunaan

alkohol sebagai pelarut. Adapun salah satu kasus yang santer beberapa tahun

belakangan, yaitu bir dengan konsentrasi 0% alkohol, satatusnya tetap dinyatakan

haram karena kategorisasi bir sebagai khamr.

Pustaka

Anshrulloh, M. 2011. Beralkohol Tapi Halal. Pustaka Arafah. Solo.


Ariantatik, M.T. 2002. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Kandungan
Alkohol Daging Buah Durian (Durio zibethinus Murr). Undergraduate
Thesis. FMIPA UNDIP.
Badger, P.C. 2002. Ethanol From Cellulose: A General Review. Reprinted from:
Trends in New Crops And New Uses. 2002. J. Janick and A. Whipkey
(eds.). ASHS Press. Alexandria.

Engineers Guide. Direct Hydration Process of Ethylene to Produce Synthetic


Ethanol. Available on line at http://enggyd.blogspot.com/2010/10/direct-
hydration-of-ethylene-to-produce.html
Food and Drug Administration USA. 2009CPG Sec. 555.100 Alcohol; Use of
Synthetic Alcohol in Foods. Available online at
http://www.fda.gov/ICECI/ComplianceManuals/CompliancePolicyGuidan
ceManual/ucm074550.htm
Muslim Consumer Group, USA. Fiqah And Science. Available on line at
http://www.muslimconsumergroup.com/fiqah_science.html
Riaz, M.N and M.M Chaudry. 2004. Halal Food Production. CRC Press. New
York.
7. PRODUK BAKERY

Apriyantono (2007) menyatakan, produk bakery adalah produk makanan

yang bahan utamanya adalah tepung (kebanyakan tepung terigu) dan dalam

pengolahannya melibatkan proses pemanggangan. Kue sendiri ada yang dibuat

melalui proses pemanggangan, ada yang tidak. Produk bakery contohnya adalah

roti, biskuit, pie, pastry, dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari produk bakery

dan kue banyak sekali kita temui dan konsumsi. Sebagian produk ini dikemas dan

informasi mengenai daftar ingredien yang digunakan dalam pembuatannya

dicantumkan dalam kemasan, selain itu status kehalalannya juga bisa kita baca di

kemasan yaitu adanya label atau logo halal pada produk produk yang sudah

memiliki nomor pendaftaran MD (produk dalam negeri) atau ML (produk luar

negeri).

Roti adalah produk bakery yang paling lumrah bagi kita. Dari segi sejarah,

menurut Sufi (2006), roti berasal dari negara Mesir kuno ribuan tahun lampau.

Orang Mesir kuno mengolah tepung gandum menjadi roti gepeng yang

dipanggang di atas batu yang dipanaskan. Orang-orang Yunani dan Romawi

kemudian membuat roti dengan cara dan bahan khas daerah setempat. Pada abad

pertengahan, di Eropa mulai dikembangkan cara pembuatan roti yang lebih

modern, seperti misalnya roti menjadi lebih harum dan lembut karena diperkaya

dengan susu dan kuning telur. Kini roti dibuat oleh bakery atau pabrik roti dengan

peralatan modern, jenis dan campuran roti pun ada banyak macamnya.
Meski produk bakery dan kue banyak sekali kita temui dan konsumsi

setiap hari, bukan berarti tidak ada masalah tentang kahalalan produk ini. Tahun

2008, kita mendengar masalah kehalalan menimpa salah satu toko roti franchise

terkenal yang didirikan oleh George Quek, BreadTalk. Tahun 2012, konsumen

bertanya-tanya tentang kehalalan roti unyil. Roti unyu dan kecil asal kota Bogor

itu dipertanyakan kehalalannya terkait isu daging babi dan karena tidak

bersertifikat halal (detikFood, 2012).

7.5 Titik Kritis Kehalalan Bakery dan Kue

Dalam usaha penjaminan kehalalan produk bakeri seperti roti maka kita

akan kembali pada konsep Halal Control Point. Menurut Riaz and Chaudry

(2004), ada tiga titik kritis kehalalan dalam produksi roti yaitu:

1. Bahan baku atau ingridient yang digunakan

2. Penggunaan pelumas pada loyang

3. Pengemasan

Adapun diagram alir dari proses pembuatan roti beserta halal control

point-nya, bisa kita lihat pada gambar berikut ini.


Halal Control Points pada Produksi Roti
Sumber : Riaz and Chaudry (2004)

7.6 Bahan Baku

Bahan-bahan yang harus diperhatikan dalam pembuatan roti halal menurut

Apriyantono (2007), meliputi tepung terigu, ragi, pengembang, emulsifier, dough

conditioner, dan shortening.

Tepung terigu

Tepung terigu adalah bahan utama dalam pembuatan produk bakery dan

kue yang dibuat dari biji gandum. Ada dua jenis tepung gandum yaitu tepung

gandum keras (strong flour) dan tepung gandum lunak (soft flour). Tepung terigu

keras mengandung gluten sekitar 13% sedangkan tepung terigu lunak kandungan

glutennya sekitar 8.3% (Apriyantono, 2007). Gluten memiliki sifat penting untuk
pengembangan adonan tepung terigu setelah ditambah air dan diadon (Potter,

1986). Gluten adalah campuran heterogen protein yang komponen utamanya

gliadin dan glutenin serta berfungsi untuk memerangkap gas selama fermentasi

adonan (Damodaran, 1996).

L-sistein biasa ditambahkan pada tepung gandum agar adonan tepung

gandum menjadi lebih lembut dan mengakibatkan pengembangan adonan yang

lebih besar. L-sistein yang murah yang banyak tersedia di pasaran adalah L-sistein

yang dibuat dari rambut manusia, karena berasal dari bagian tubuh manusia maka

L-sistein ini haram sehingga tepung terigu yang menggunakan L-sistein dari

rambut manusia haram hukumnya bagi umat Islam (Apriyantono, 2007). Uni

Eropa pun melarang penggunanaan L-sistein yang berasal dari rambut manusia ini

(Nordic Council of Ministers, 2002).

Ada 3 macam sumber L-sistein, yaitu: dari hasil ektraksi rambut manusia,

ekstraksi bulu binatang, dan dari produk mikrobial. L-sistein yang diperoleh dari

bulu unggas, seperti bulu bebek (duck feather) dan bulu ayam (chicken feather)

hukumnya haram jika diekstraksi dari bulu unggas yang tidak disembelih secara

syar‟i. L-sistein yang dihasilkan dari reaksi mikrobial juga berstatus haram jika

mikrobianya ditumbuhkan pada media yang tidak halal (Dono, 2011). Menurut

Apriyantono (2007), L-sistein yang diproduksi secara fermentasi (mikrobial)

boleh digunakan, hanya saja harganya memang lebih mahal. Selain L-sistein, ada

pula bahan aditif yang ditambahkan kedalam tepung terigu dengan maksud untuk

memperkaya nilai gizi, diantaranya vitamin A. Agar vitamin A mudah larut dalam

produk dan tidak mudah rusak selama penyimpanan, vitamin A biasanya disalut.

Bahan penyalut yang digunakan selain bahan yang halal seperti berbagai jenis
gum juga bahan yang diragukan kehalalannya yaitu gelatin. Penggunaan gelatin

inilah yang harus diperhatikan.

Ragi/Yeast (Gist)

Dalam pembuatan roti, ragi/yeast berfungsi agar adonan bisa mengembang

dan memberikan aroma. Adonan akan mengembang ketika gluten memerangkap

karbondioksida pada fermentasi roti (Sufi, 2006) Secara komersial ragi/yeast

dapat diperoleh dalam 3 bentuk, yaitu compressed yeast (bentuk cair dengan

kandungan yeast yang padat); active dry yeast (ragi bentuk kering, perlu

diaktifkan dulu sebelum digunakan) dan instant active dry yeast atau ragi dadak

(ragi instan, bentuk kering yang bisa langsung digunakan, tanpa perlu diaktifkan

lagi). Di super market biasanya yang tersedia adalah yang instant active dry yeast

(ragi instan), bisa langsung digunakan, tinggal dimasukkan kedalam adonan

(Apriyantono, 2007).

Dari segi kehalalan bahan aditif pada yeast adalah yang perlu dicermati

kehalalannya. Pada pembuatan compressed yeast sering ditambahkan pengemulsi

(emulsifier) dan bahan anti gumpal (anticaking agent) yang status kehalalannya

syubhat. Anticaking agent seperti E542 (edible bone phosphate, berasal dari

tulang hewan), E 570 (asam stearat) dan E572 (magnesium stearat). Asam stearat

dapat berasal dari tanaman atau dari hewan, magnesium stearat dibuat dengan

menggunakan bahan dasar asam stearat. Disamping gum atau dekstrin, gelatin

kadang digunakan sebagai bahan pengisi pada ragi instan. Di pasaran sudah

tersedia ragi instan yang sudah dijamin kehalalannya, oleh karena itu pilihlah ragi

instan yang sudah dijamin kehalalannya (Apriyantono, 2007).


Bahan Pengembang

Pengembang (bread improver) dipakai untuk membuat adonan roti

mengembang saat diolah menjadi roti karena menghasilkan gas karbondioksida.

Menurut Apriyantono (2007), bahan yang biasa digunakan yang pertama disebut

sebagai baking soda, yang disebut pula dengan nama soda kue, yang isi

sebetulnya adalah bahan kimia yang bernama sodium bikarbonat. Bahan ini dibuat

secara sintesis kimia dan tidak ada masalah dari segi kehalalannya. Bahan

pengembang jenis kedua yaitu apa yang disebut sebagai baking powder yang

merupakan campuran antara sodium karbonat (baking soda) dengan asam

pengembang atau leavening acid. Lindsay (1996), menyatakan bahwa adanya air

dan bahan lain pada adonan menyebabkan reaksi sehingga baking soda

menghasilkan karbondioksida (CO 2). Jika ditulis dalam persamaan kimia, reaksi

tersebut adalah sebagai berikut.

Asam pengembang umumnya adalah garam fosfat, sodium aluminium

fosfat, glukono delta lakton dan cream of tartar. Cream of tartar sebetulnya adalah

garam potasium dari asam tartarat yang diperoleh sebagai hasil samping (hasil

ikutan) industri wine, itu sebabnya mengapa bahan ini tidak boleh digunakan oleh

umat Islam (Apriyantono, 2007). Menurut Dono (2011), asam tartarat (tartaric

acid, E334) halal jika dibuat dari bahan (kimia sintetis) halal, namun apabila

dibuat dari hasil samping pembuatan minuman keras maka statusnya menjadi

haram.
Emulsifier

Bahan pengemulsi (emulsifier) adalah bahan yang ditambahkan pada

adonan pangan yang ditujukan agar bahan baku yang berkadar lemak tinggi dapat

bercampur dengan air secara merata (homogen) dan stabil dalam waktu lama.

Status kehalalan bahan pengemulsi tergantung oleh senyawa yang dipakai, seperti

misalnya: lesitin (lechitin). Lesitin adalah senyawa fosfolipida yang berasal dari

lemak, tentu bisa lemak hewani maupun lemak nabati. Apabila berasal dari lemak

hewan, maka harus dipastikan status kehalalan hewannya. Lesitin juga dapat

diekstrak dari bahan nabati, seperti: biji kedelai (soy/soya lechitin). Lesitin kedelai

halal apabila dalam proses produksinya tidak menggunakan bahan-bahan yang

diharamkan. Apabila hidrolisis lemaknya menggunakan enzim yang diharamkan,

maka tentu lesitin kedelai ini menjadi haram. Dalam skala industri, lesitin kedelai

diekstrak menggunakan pelarut organik dan kemudian pelarutnya dihilangkan

sehingga diperoleh ekstrak kasar lesitin. Agar diperoleh hasil lesitin yang lebih

baik, dibuatlah turunan-turunan lesitin menggunakan proses enzimatis. Apabila

proses ini menggunakan enzim fosfolipase A dari pankreas babi, maka lesitin

nabati ini berstatus haram (Dono,2011).

Cake emulsifier adalah suatu bahan yang digunakan untuk penstabil dan

pelembut adonan cake, kadang digunakan pula untuk menghemat penggunaan

telur. Di pasaran bahan ini dikenal dengan nama-nama dagang seperti Ovalet, SP,

Spontan 88, TBM (istilah jenis cake emulsifier dalam bahasa Jerman). Status

emulsifier secara umum adalah syubhat karena bisa terbuat dari bahan nabati

(tanaman) atau hewani (dari hewan). Disamping itu, seringkali di pasaran bahan

ini dicampur dengan lemak padat, sayangnya tidak jelas jenis lemak apa yang
digunakan sehingga menambah kekhawatiran dari segi kehalalannya karena lemak

yang memadat pada suhu ruang biasanya adalah lemak hewani disamping lemak

nabati yang dibuat dengan cara proses hidrogenisasi minyak nabati. Sebab itu

pilihlah emulsifier yang sudah dijamin kehalalannya (Apriyantono, 2007).

Dough Conditioner

Dough conditioner merupakan bahan yang berguna multifungsi, bisa

melembutkan adonan, mengembangkan adonan dan memperpanjang umur

simpan. Itulah sebabnya dough conditioner berisi campuran berbagai jenis bahan

diantaranya yaitu L-sistein, tepung kedelai, asam askorbat, lemak, gula, pengawet,

emulsifier dan gipsum. Karena mengandung L-sistein, lemak dan emulsifier maka

status dough conditioner adalah syubhat (Apriyantono, 2007).

Shortening

Menurut Dono (2011), shortening adalah salah satu bahan standar yang sering

dipakai pada industri roti. Para pengusaha makanan lebih familiar menyebut

bahan pelembut roti ini dengan istilah mentega putih.

Di dunia bakery dan kue, istilah shortening memiliki arti lemak, minyak dan

berbagai versi olahan minyak dan lemak yang digunakan sebagai ingredien dalam

pembuatan adonan. Arti sesungguhnya dari shortening adalah lemak atau

campuran yang memiliki sifat plastisitas tertentu sehingga mampu membuat

makanan seperti roti dan kueh menjadi lembut. Untuk tujuan tersebut maka

shortening biasanya merupakan campuran lemak dimana bisa terdiri dari lemak

nabati semua (biasanya yang sudah dijenuhkan), campuran lemak nabati dengan

lemak hewani atau lemak ikan; bisa pula merupakan campuran lemak hewani
(lemak babi, lemak sapi) saja. Oleh karena itu jelas secara umum shortening

berstatus syubhat, kecuali yang sudah diketahui komposisinya dan telah

dinyatakan halal oleh yang berwenang (Apriyantono, 2007).

Selain memberi sensasi lembut, shortening ini juga disukai karena dapat

memberikan sensasi renyah (crispy) pada produk. Apabila shortening berasal dari

lemak tanaman, maka tentu tidak masalah dari segi kehalalan. Namun apabila

berasal dari lemak hewan, maka harus dipastikan status kehalalan lemaknya.

Apabila dibuat dari lemak babi (lard), maka sudah tentu haram. Apabila dibuat

dari lemak sapi (tallow), maka harus dipastikan bahwa lemak tersebut berasal dari

sapi yang disembelih secara syar‟i. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para

pengusaha bakery non Muslim sangat menyukai lard karena lemak babi ini

dikenal sebagai lemak hewan yang paling enak dan memberi aroma sedap pada

produk (Dono, 2011).

7.7 Pelumasan Loyang dan Pengolesan Permukaan Roti

Meski terlihat sepele, pelumasan loyang yang bertujuan untuk

memudahkan pelepasan roti dari loyang setelah dipanggang merupakan hal yang

harus karena zat atau bahan yang digunakan kemungkinan bahan yang tidak halal.

Menurut Riaz and Chaudry (2004), pelumas loyang atau pan grease kemungkinan

terdiri dari wine, lemak sapi (tallow), lemak babi (lard), gelatin, gula, zein protein

dan komponen lain. Meskipun komponen sayuran dan mineral pada bahan ini

halal namun harus menghindari adanya komponen yang meragukan seperti tallow

dan gelatin serta komponen yang haram seperti lard. Pan grease yang halal dan
bisa digunakan sebagai coating roti adalah gula, zein, pati, bees wax, dan minyak

sayur.

Selain bahan, proses pelumasan dan pengolesan permukaan roti sebelum

dipanggang yang perlu dikritisi dari segi kehalalan adalah penggunaan kuas untuk

mengoles. Kuas yang digunakan dapat berasal dari bulu hewan, termasuk berasal

dari bulu babi. Pada gagang kayu kuas jika tertulis “bristle” maka kemungkinan

besar kuas berasal bulu babi, atau hewan. Dan umumnya kuas yang ada di pasar

berasal dari China, yang menyuplai 70 persen keperluan konsumsi babi dunia

(Annisa Magazine, 2012).

Orang Indonesia mungkin bertanya kenapa bulu babi yang pendek bisa

dijadikan kuas, menurut Dono (2012), bahwa bulu babi di negara-negara tropis itu

pendek, namun bulu hewan (termasuk babi) di daerah 4 musim (iklim

temperate/sub tropis) panjang-panjang. Itu dipakai sebagai jaket (insulation)

hewan tersebut di musim dingin (salju). Di pasaran menunjukkan bahwa

umumnya asal kuas adalah dari Cina dan Australia (Southern Territory). Data

yang lebih jelas kita peroleh dari Majalah Jurnal Halal LPPOM-MUI, N0.

41/VII/2002. Disebutkan bahwa menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada

periode Januari-Juni 2001, Indonesia mengimpor boar bristle dan pig/boar hair

sejumlah 282.983 kg atau senilai 1.713.309 dolar AS. Ada beberapa cara yang

bisa dipakai untuk membedakan kuas berbulu babi dengan kuas plastik :

1. Perhatikan tulisan Bristle (Pure Bristle, China Bristle, 100% Pure China

Bristle) pada gagang kuas. Di dalam kamus Webster‟s, kamus Oxford, dan

www.dictionary.com disebutkan bahwa makna boar bristle adalah stiff


hair of swine (bulu yang tegak dari babi). Meskipun sekarang makna kata

bristle telah meluas menjadi bulu (saja), namun kata tersebut asal

muasalnya adalah istilah khas untuk menyebutkan bulu babi.

2. Perhatikan bau asapnya saat dibakar. Kuas berbulu plastik pasti berbau

plastik saat terbakar. Namun kuas bulu binatang pasti berbau mirip/sama

dengan rambut (atau kuku) yang terbakar. Hal ini disebabkan karena di

dalam bulu binatang dan rambut manusia terdapat protein keratin yang

memberi kesan bau yang khas saat dibakar.

3. Perhatikan warna asapnya saat dibakar. Jika dibakar, kuas berbulu

binatang pasti mengeluarkan asap berwarna putih, karena ia berasal dari

bahan organik. Sebaliknya, kuas berbulu plastik pasti mengeluarkan asap

hitam, karena ia berasal dari bahan anorganik.

4. Perhatikan warna bulunya. Karena satu adonan (satu cetakan warna saat

dibuat), maka warna kuas bulu plastik pasti seragam. Akan tetapi, karena

berasal dari tubuh makhluk hidup, maka kuas berbulu binatang pasti

warnanya tidak seragam. Umumnya penampilan kuas berbulu binatang

cenderung mengkilap (memantulkan sinar).


Contoh Kuas Boar Bristle
Sumber: Everiss (2010)

5. Perhatikan ukuran bulunya. Ukuran (panjang dan tebal) bulu binatang

pasti tidak seragam, karena pertumbuhan bulu binatang tidak seragam,

meskipun berasal dari hewan yang sama. Oleh sebab itu, ketebalan dan

panjang-pendek bulu kuas dari bulu binatang tidak seragam. Kadang di

pangkal agak tebal dan diujung lebih tipis. Kadang bagian ujung runcing.

Sebaliknya, kuas bulu plastik (polyester) buatan pabrik pasti ketebalan dan

ukuran panjangnya sama (karena dipotong rata).

6. Ujung bulu babi sering bercabang 2 atau bahkan 3. Namun, seringkali kita

tidak menemukan penampilan ini pada kuas komersial, karena seringkali

ujungnya sudah dipotong rata.


Gambar sebelah kiri adalah bulu dari babi dan Gambar sebelah kanan adalah
rambut manusia.
Sumber: Everiss (2010)

Selain digunakan sebagai kuas untuk roti, boar bristle ini juga digunakan

untuk melukis dan juga untuk sikat rambut. Sikat rambut dari bulu babi (natural-

bristle round brush) diklaim ideal untuk pelurusan rambut karena sikat ini

menutup lapisan kutikula dan membuat rambut lebih lurus, lembut dan bercahaya.

7.8 Pengemasan

Packaging atau pengemasan menjadi hal penting bagi kehalalan

dikarenakan penggunaan stearat pada produksi bahan pengemas. Apalagi jika

sumber stearat tersebut berasal dari sumber hewani (Riaz and Chaudry, 2004).

Senyawa stearat berasal dari asam stearat yang bisa berasal dari sumber nabati

ataupun hewani termasuk babi (Morgan, 2006). Asam stearat pada lemak hewani

lebih besar kandungannya yaitu sekitar 30 % sedangkan pada lemak nabati kurang

dari 5 %, kecuali pada cocoa butter dan shea butter yang kandungannya mencapai

28-45% (Rogers, et al., 2001).


Asam stearat digunakan sebagai lubricant atau pelumas pada mesin

pembuat kertas. Terkuaknya stearat sebagai bagian non-halal dari pengemas

karena senyawa stearat ini mampu bermigrasi dari bahan pengemas ke makanan

(Harrington, 2012). Selain pada bahan pengemas yang berbentuk kertas, senyawa

stearat juga digunakan sebagai aditif pada pembuatan plastik. Senyawa stearat

seperti calcium stearate dan zinc stearate merupakan senyawa yang polar

dibanding dengan polimer plastik seperti polipropilen. Kepolaran inilah yang

menyebabkan senyawa stearat berada pada permukaan plastik sehingga berlaku

sebagai lubricant pada pembuatan plastik. Kepolaran ini juga kiranya yang

menjadikan senyawa stearat bisa bereaksi dengan bahan makanan sekaligus

bermigrasi pada makanan (Pollak, 2012).

Maka untuk kehalalan sebaiknya dipilih pengemas yang menggunakan

senyawa stearat berbasis nabati dan tidak menggunakan senyawa stearat dari

tallow atau lard pada proses produksinya. Saat ini kesadaran pengemas yang halal

sudah mulai terealisasi. Ada banyak perusahaan plastik atau pengemas yang

melakukan sertifikasi halal pada pengemas yang dibuatnya.

Pustaka

Annisa Magazine. Mengurai Kehalalan Roti. Juni 2012.

Apriyantono, A. 2007. Potensi Ketidakhalalan Produk Pangan dan Masalah


Pangan Hasil Rekayasa Genetika. Kiblat. Bandung.

Damodaran, S. 1996. Amino acids, Peptides, and Proteins dalam O. R. Fennema


(Eds) Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
detikFood. 2012. Kehalalan Roti Unyil. Available on line at
http://food.detik.com/read/2012/03/01/154124/1855797/1089/kehalalan-
roti-unyil

Dono, N. D. 2011. Panduan Halal-Haram Ingredient Makanan-Minuman. Must


be Halal. United Kingdom.

__________ 2012. Hati-Hati, Banyak Kuas Roti & Masakan Bebakaran Dibuat
Dari Bulu Babi. Must be Halal. United Kingdom.

Everiss, B. (2010). A beginner’s guide to boar brushes. Available on line at


http://www.bruceonshaving.com/2010/10/10/a-beginners-guide-to-
boar-brushes/

Harrington, R. 2012. Packaging Highlighted As Increasing Source Of Halal Food


Contamination. Available on line at
http://www.foodproductiondaily.com/Quality-Safety/Packaging-
highlighted-as-increasing-source-of-Halal-food-contamination

Lindsay, R.C. 1996. Food Additives dalam O. R. Fennema (Eds) Food Chemistry.
Marcel Dekker Inc. New York.

Morgan, E. 2006. Magnesium Stearate. Available on line at


http://ezinearticles.com/?Magnesium-Stearate&id=200360

Nordic Council of Ministers. 2002. Food Additives in Europe 2000. Status of


safety Assessment of Food Additives Presently Permitted in The EU.
TemaNord 2002:560. Copenhagen.

Pollak, A. 2012. The Story Behind Kosher Plastics. Available on line at


http://www.star-k.org/kashrus/kk-containers-plastics.htm

Potter, N.N. 1986. Food Science (Eds). Chapman and Hall. New York.

Riaz, M.N and M.M Chaudry. 2004. Halal Food Production. CRC Press. New
York.

Rogers, B., J. Dieffenbacher, A. Holm. 2001. Lexicon of Lipid Nutrition (IUPAC


Technical Report). Pure and Applied Chemistry 73 (4): 685–744

Sufi, S.Y. 2006. Kreasi Roti. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
8. PRODUK SUSU

Kata peribahasa „tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat‟, dengan pola yang

sama mungkin kita bisa katakan „minumlah susu dari Anda balita sampai Anda

jadi manula‟. Betapa tidak, produk susu saat ini tidak lagi menjadi barang

konsumsi bagi manusia yang sedang dalam masa pertumbuhan. Perkembangan

diversifikasi produk susu, terutama susu formula, sekarang ini kian segmented.

Mau tumbuh ke atas atau mau tumbuh ke pinggir? beda susunya, mau tambah

massa badan atau massa otot? beda susunya. Beda usia beda susunya, beda jenis

kelamin juga beda susunya. Ibu yang sedang menyusui pun ada susu formulanya.

Mungkin saja nanti akan ada susu formula berdasarkan zodiak dan weton, wah

bahaya kalau sampai begitu, kasihan dosen teknologi pangan, bisa-bisa profesinya

nanti di-akuisisi sama Ki Joko Bodo dan Ki Gendeng Pamungkas. Tapi kalau

akusisi beneran terjadi, arwah Zacharias Jansen pun akan galau di alam barzah

sana, soalnya melihat bakteri tidak perlu lagi pakai mikroskop, bisa langsung

pakai ilmu terawangan. Hehe, bercanda sedikit boleh lah ya.

Susu sebagai bahan pangan hewani yang dikenal kaya dengan kandungan

gizi, diperkirakan tingkat konsumsinya semakin meningkat di seluruh dunia.

Menurut Bruinsma (2003), antara tahun 1997/1998 hingga tahun 2030, konsumsi

susu dan produk olahannya di negara-negara berkembang konsumsinya

diperkirakan akan meningkat dari 45 kg menjadi 66 kg per kapita dan di negara-

negara maju meningkat dari 212 kg menjadi 221 kg per kapita. Dari data ini jelas
sekali bagaimana jomplangnya tingkat konsumsi antara negara berkembang dan

negara maju.

Muchtadi dan Sugiyono (1992) mendefinisikan susu sebagai sekresi dari

kelenjar susu binatang yang menyusui anaknya (mamalia). Susu adalah sekresi

yang komposisinya sangat berbeda dari komposisi darah yang merupakan asal

susu. Bila dilihat dari sistem pangan, susu merupakan emulsi lemak dalam air (oil

in water) yang mengandung garam-garam mineral, gula, dan protein.

Komponen utama susu adalah air (86-88 %), lemak (3-6 %), protein (3-4

%), laktosa (5 %), serta fosfor dan mineral/abu (0,7 %) dengan total padatan 11-

14 %. Komposisi susu ini dipengaruhi oleh beragam faktor dengan faktor

utamanya adalah jenis sapi dan perubahan musim (Eskin, 1990). Susu segar

bersifat agak asam dan mempunyai pH dengan kisaran 6,5-6,6 karena dalam susu

terkandung fosfat, protein (kasein dan albumin), sejumlah kecil karbondiokisda

(CO2) dan asam sitrat. Berat jenis (BJ) susu berkisar antara 1,027-1,035 dimana

BJ susu itu sendiri dipengaruhi oleh lemak susu. Apabila kandungan lemak susu

tinggi maka BJ akan menurun. Di sisi lain, jika persentase bahan padat bukan

lemak semakin tinggi maka semakin berat susu tersebut. Susu segar rasanya agak

amis, flavor yang khas dari susu mempunyai hubungan dengan kandungan laktosa

yang tinggi dan kadar klorida yang rendah (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

Luasnya diversifikasi produk susu menyebabkan beragamnya hal-hal yang

berkaitan dengan kehalalan karena dalam proses produk-produk tersebut banyak

bahan lain yang terlibat. Kita ketahui bahwa susu tidak hanya dikonsumsi dalam

bentuk aslinya, tetapi juga dalam bentuk olahannya seperti keju dan es krim.
Disini kita akan coba untuk mengetahui masalah kehalalan pada beberapa produk

tersebut.

8.1 Susu Cair

Semua jenis susu ini diberi perlakuan panas dengan tujuan membunuh

mikroba, meningkatkan daya tahan dan mendapatkan karakteristik yang

diinginkan dari produk tersebut. Jenis susu cair yang bisa kita temukan mulai dari

jenis susu pasteurisasi, susu sterilisasi, susu evaporasi, dan susu kental manis

dengan berbagai jenis flavor seperti coklat, strawberry, atau vanilla.

Susu Pasteurisasi

Susu pasteurisasi adalah susu dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu

dengan tujuan membunuh mikroba seperti Mycobacterium tuberculosis penyebab

penyakit TBC dan Coxiella burnetii penyebab Q Fever atau demam Q. Ada dua

metode pasteurisasi, Batch Method dan High Temperature Short Time (HTST).

Cara pertama dilakukan pada suhu tidak kurang dari 63 0C (145 0F) selama 30

menit. Adapun HTST dilakukan pada suhu tidak kurang dari 72 0C (161 0F)

selama tidak kurang dari 15 detik (Potter, 1986).

Kehalalan susu pasteurisasi tidak bermasalah jika tidak ada tambahan

bahan lain, khususnya perisa atau flavoring agent. Perisa statusnya adalah

meragukan alias syubhat, sehingga susu pasteurisasi berflavor yang tidak dijamin

kehalalannya berstatus syubhat (Apriyantono, 2011).

Susu Sterilisasi
Susu sterilisasi merupakan susu yang diberi proses pengawetan yang

dilakukan dengan cara memanaskan susu hingga mencapai temperatur di atas titik

didih, sehingga bakteri maupun mikroba lain berikut sporanya akan mati. Menurut

(Potter, 1986), susu diberi perlakuan panas 150 0C selama 2-3 detik dan kemudian

langsung didinginkan dan dikemas secara aseptik. Proses sterilisasi ini lazim

disebut sebagai proses Ultra High Temperature (UHT) karena suhu yang

digunakan relatif tinggi. Itu sebabnya di pasaran susu sterilisasi dikenal juga

dengan nama susu UHT. Proses ini memiliki kelebihan karena bisa menjaga

flavor dan warna susu yang bisa menyimpang bila mengalami perlakuan panas

dengan waktu yang relatif lebih lama.

Menurut SNI 01-3950-1998, susu UHT adalah produk susu yang diperoleh

dengan cara mensterilkan susu minimal pada suhu 135°C selama dua detik,

dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan

yang diizinkan, serta dikemas secara aseptik. Pada susu UHT kandungan lemak,

laktosa dan garam mineral tidak banyak mengalami perubahan, tetapi vitamin

yang larut air sebagian akan hilang, namun riboflavin dan kasein merupakan

vitamin dan protein yang tahan terhadap suhu pemanasan. Pemanasan pada susu

sterilisasi menyebabkan rusaknya protein whey yang terdiri atas laktalbumin dan

lactoglobulin. Kerusakan kandungan nutrisi semakin besar pada susu yang

mengalami proses sterilisasi. Oleh karena itu rasa susu UHT lebih baik dan

disukai masyarakat dibandingkan dengan rasa susu sterilisasi non UHT (Usmiati,

2010).
Apriyantono (2011), menuturkan kehalalan susu sterilisasi mirip dengan

susu pasteurisasi hanya ada hal lain yang perlu diwaspadai pada susu sterilisasi

karena dalam pembuatan susu sterilisasi tidak selalu menggunakan susu murni

segar, tetapi bisa menggunakan susu rekombinasi atau campuran susu murni

dengan bahan bahan lain biasanya susu skim dan lemak susu, namun tidak

tertutup kemungkinan susu rekombinasi dibuat dengan mencampurkan bukan

hanya susu skim dan lemak susu tapi juga whey. Disamping itu ada penambahan

bahan aditif seperti pengemulsi dan penstabil pada produk susu sterilisasi, juga

ada penambahan vitamin seperti vitamin A, B1, B6 dan D. Status kehalalan whey,

emulsifier dan penstabil ini syubhat karena enzim yang digunakan pada produksi

whey, kebanyakan emulsifier melibatkan asam lemak yang bisa berasal dari

hewan, sedangkan salah satu jenis penstabil adalah gelatin yang juga bisa berasal

dari hewan yang tidak halal.

Susu Evaporasi

Evaporasi atau penguapan, adalah peningkatan konsentrasi dengan cara

penguapan sebagian air dari bahan cair. Hal ini dapat meningkatkan total padatan

terlarut dari makanan. Susu evaporasi atau evaporated milk sendiri adalah jenis

susu yang telah diuapkan sebagian kadar airnya, sehingga menjadi lebih kental

atau pekat daripada susu cair biasa. Menurut Potter (1986), kepekatan susu

evaporasi kira kira mencapai 2,25 kali lebih pekat daripada susu cair biasa dan di

Amerika susu jenis ini biasa difortifikasi atau diperkaya dengan vitamin D

sebelum proses homogenisasi susu. Di Indonesia beberapa merk untuk susu


evaporasi adalah Carnation, F&N dan Marigold. Susu-susu tersebut dijual dalam

kemasan kaleng dan bisa diperoleh di supermarket besar.

Menurut Apriyantono (2011), jika hanya menggunakan susu murni maka

tidak ada masalah dengan kehalalan susu evaporasi, akan tetapi jika menggunakan

susu rekombinasi atau pencampuran susu murni dengan bahan lain maka seperti

yang terjadi pada susu sterilisasi maka status produk susu evaporasi yang dibuat

dengan cara tersebut menjadi syubhat.

Susu Kental Manis

Susu kental manis adalah susu yang diperoleh dengan menghilangkan

sebagian besar air dari campuran susu dan ditambahkan pemanis atau gula yang

cukup untuk mencegah kerusakan. Kadar gula yang ditambahkan pada susu kental

manis mencapai 63 %. Bahan dasar susu kental manis adalah susu pasteurisasi.

Susu jenis ini tidak mengalami proses sterilisasi karena kerusakan akibat aktivitas

mikroba dicegah dengan kadar gula yang tinggi tersebut (Potter, 1986).

Sementara menurut Apriyantono (2011), susu kental manis dapat dibuat

menggunakan susu murni, susu rekombinasi atau campuran berbagai bahan,

bahkan pada saat ini banyak sekali susu kental manis yang dibuat dengan bahan

utama susu skim dan lemak nabati. Penggunaan lemak nabati dimaksudkan agar

harganya lebih murah dan dari segi gizi lebih sehat karena lemak susu lebih

banyak mengandung lemak jenuh dibandingkan dengan lemak nabati. Dengan

demikian, perlu dicermati ingredien yang digunakan dalam pembuatan susu kental

manis, jika ada whey maka statusnya syubhat. Jika dalam pembuatan susu kental
manis digunakan susu murni, dalam proses pemekatan seringkali terjadi

pembentukan kristal laktosa yang besar yang berakibat adanya sifat grainy

(sewaktu dikonsumsi seperti ada butiran butiran besar). Untuk menghindari hal

ini ada penambahan laktosa pada waktu proses pemekatan supaya terjadi kristal

laktosa yang halus. Penambahan laktosa menimbulkan masalah dari segi

kehalalan karena status kehalalan laktosa adalah syubhat mengingat laktosa dapat

diperoleh sebagai hasil samping pembuatan keju dimana dalam pembuatan keju

dapat terjadi penggunaan enzim yang berasal dari hewan.

Polisorbat

Terkait dengan fortifikasi vitamin A dan D pada produk susu cair, menurut

Riaz dan Chaudry (2004), agar kedua vitamin ini larut dalam air harus dicampur

dengan emulsifier seperti senyawa polisorbat. Senyawa polisorbat merupakan

senyawa lemak yang bisa dibuat dari bahan lemak hewani atau pun nabati. Untuk

masalah kehalalan sumber polisorbat ini tidak boleh berasal dari produk hewani

seperti lemak babi. Polisorbat yang boleh digunakan bisa berasal dari lemak

nabati seperti kacang kedelai (muslimconsumergroup.com).

Japanese Food Safety Commission (2007) mencatat ada empat jenis

polisorbat, yaitu polisorbat 20, polisorbat 60, polisorbat 65 dan polisorbat 80.

Sifat polisorbat 20 lebih hidrofilik (suka air) daripada polisorbat 60 dan 80.

Sedangkan polisorbat 65 lebih lipofilik (suka minyak) dibandingkan jenis yang

lainnya. Di Indonesia polisorbat yang bisa digunakan adalah polisorbat 60,

polisorbat 65 dan polisorbat 80 (Saparinto dan Hidayati, 2006).


Polisorbat merupakan campuran dari sorbitol atau sorbitol anhidrat yang

diesterifikasi dengan asam lemak dan kemudian dikondensasikan dengan etilen

oksida. Asam lemak yang digunakan pada polisorbat 20 adalah asam laurat.

Polisorbat 60 dan polisorbat 65 menggunakan asam lemak stearat dengan

perbedaan perbandingan molar antara sorbitol dan asam stearat yang

ditambahkan. Polisorbat 60 mempunyai perbandingan 1:1 sedangkan polisorbat

65 mempunyai perbandingan 3:1. Asam lemak oleat digunakan pada polisorbat 80

(Japanese Food Safety Commission, 2007).

Mengingat sorbitol merupakan fraksi gula dan etilen oksida merupakan

fraksi hidrokarbon sedangkan fraksi asam lemak bisa diperoleh dari lemak hewani

dan nabati, maka masalah kehalalan ada pada sumber asam lemak ini. Asam laurat

pada polisorbat 20 bisa diperoleh dari minyak kelapa, cinnamon oil dan palm

kernel oil. Minyak kelapa mengandung 40-60 % asam laurat, sedangkan

cinnamon oil adalah sumber paling melimpah untuk asam laurat kandungannya

mencapai 80-90 % (cyberlipid.org).

Polisorbat 60 dan 65 menggunakan asam stearat yang bisa berasal dari

sumber nabati ataupun hewani termasuk babi (Morgan, 2006). Asam stearat pada

lemak hewani lebih besar kandungannya yaitu sekitar 30 % sedangkan pada lemak

nabati kurang dari 5 %, kecuali pada cocoa butter dan shea butter yang

kandungannya mencapai 28-45% (Rogers, et al., 2001).

Pada polisorbat 65 juga digunakan asam palmitat (Japanese Food Safety

Commission, 2007). Asam palmitat bisa diperoleh dari sumber minyak nabati

seperti dari kacang tanah, kelapa, kacang kedelai dan jagung. Kandungan asam
palmitat pada minyak nabati adalah sekitar 10 % (cyberlipid.org). Sumber

hewani dari asam palmitat adalah lemak sapi kadarnya mencapai 26 % dan lemak

babi kadarnya mencapai 25-28 % (National Research Council, 1976).

Polisorbat 80 menggunakan asam oleat, asam lemak ini bisa berasal dari

minyak zaitun dan kandungannya bisa mencapai 55-83 % (Redaksi Trubus, 2010).

Asam oleat juga bisa ada pada minyak kacang tanah dengan kadar mencapai 36-

67 % (Moore and Knauft, 1989). Kandungan asam oleat pada lemak sapi (tallow)

adalah 47 %, sedangkan pada lemak babi (lard) kadarnya mencapai 44-47 %

(National Research Council, 1976).

8.2 Susu Bubuk

Apriyantono (2011), menyatakan kebanyakan susu bubuk yang ada di

pasaran Indonesia tidak lagi murni dibuat dari susu segar, akan tetapi dibuat dari

campuran berbagai bahan seperti susu skim, whey, lemak susu, laktosa, dan bahan

aditif yang ditambahkan pada susu bubuk ini dari mulai vitamin, asam lemak

omega-3, probiotik, perisa dan lain sebagainya. Beberapa ingredien yang patut

mendapat perhatian dari segi kehalalan seperti whey, laktosa, pengemulsi, perisa

dan vitamin, maka ingredien lain yang perlu mendapat perhatian yaitu asam lemak

omega-3.

Menurut Rasyid (2003), asam lemak omega-3 termasuk dalam kelompok

asam lemak esensial. Asam lemak ini disebut esensial karena tidak dapat

dihasilkan oleh tubuh dan hanya bisa didapatkan dari makanan yang dikonsumsi

sehari-hari. Asam lemak esensial lainnya yang termasuk dalam kelompok


"omega" adalah asam lemak omega-6. Asam lemak omega-3 termasuk asam

lemak tidak jenuh ganda (poly unsaturated fatty acid, PUFA) adalah asam lemak

yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap, dengan ikatan rangkap terakhir

terletak pada atom karbon ketiga dari ujung metil rantai asam lemak. Asam alfa

linolenik (ALA, 18:3 ω-3), asam eikosapentaenoik (EPA, 20:5 ω-3), dan asam

dokosaheksaenoik (DHA, 22:6 ω-3) adalah asam lemak omega-3 yang paling

umum. Rumus molekul ketiga asam lemak omega-3 tersebut adalah sebagai

berikut:

Asam linolenat :

CH3CH2CH=CHCH2CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH

Asam eicosapentaenoat :

CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-

(CH2)3-COOH

Asam docosahexaenoat :

CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-

CH2-CH=CH-(CH2)2-COOH

Penambahan asam lemak omega-3 dimaksudkan untuk mendapatkan nilai

tambah susu bubuk karena asam lemak omega-3 dipercaya dapat meningkatkan

kecerdasan otak, khususnya bagi anak-anak, sedangkan bagi orang dewasa

diharapkan mampu membantu menurunkan kadar kolesterol dan membantu

mencegah penyakit jantung koroner (Apriyantono, 2011). Menurut Hardywinoto

dan Setiabudhi (2003), asam lemak omega-3 linolenat (ALA) bisa diperoleh dari

jagung, kedelai, dan biji bunga matahari. DHA dan EPA bisa diperoleh dari

makanan laut (seperti ikan makarel, sarden, tuna, dan salmon). Sumber utama
asam lemak omega-3 yang tersedia di pasar adalah minyak ikan, biasanya

dikonsumsi dalam bentuk ikan yang dimasak, kapsul minyak ikan, atau makanan

dengan bahan tambahan minyak ikan. Asam lemak utama pada minyak ikan

berkonfigurasi omega-3, sedangkan pada minyak tumbuhan dan hewan lainnya

lebih banyak mengandung asam lemak berkonfigurasi omega-6 (Rasyid,2003).

Asam lemak omega-3 bersifat tidak stabil, mudah rusak karena reaksi

oksidasi. Oleh karena itu, untuk menghindari kerusakan karena reaksi oksidasi

asam lemak omega-3 biasanya dienkapsulasi (disalut) dimana dalam hal ini asam

lemak omega-3 akan berada didalam suatu penyalut (enkapsulan). Ada banyak

jenis penyalut yang dapat digunakan, kebanyakan dari bahan tanaman seperti pati

termodifikasi, gum dan maltodekstrin yang kesemuanya berasal dari tanaman dan

tidak bermasalah, sedangkan salah satu jenis penyalut yang juga bisa digunakan

yaitu gelatin yang berstatus syubhat (Apriyantono, 2011).

Susu bubuk dibuat dengan prinsip mengurangi kadar air yang terdapat

dalam susu sampai batas tertentu dengan tujuan agar daya simpan susu ini

menjadi lebih lama. Proses pengolahan susu bubuk meliputi beberapa tahapan.

Budi (2011), menuturkan tahap-tahap tersebut secara garis besar dapat

dikelompokkan menjadi tahap Wet Process (Proses Basah), Dry Process (Proses

kering) dan Blending (Pencampuran). Pengeringan susu dilakukan pada tahap Dry

Proses dengan alat pengeringan yang paling banyak digunakan adalah

pengeringan semprot (spray dryer). Riaz and Chaudry (2004), menyatakan spray

dryer tersebut harus digunakan secara terpisah dengan produk haram untuk

menjaga kehalalan.
8.3 Mentega

Rahman et al. (1992) dalam Darudjati (2009), menyatakan bahwa mentega

merupakan suatu produk emulsi, yaitu tipe emulsi air dalam minyak dengan

karateristik plastis. Mentega yang baik mempunyai kadar lemak minimal 83%,

kadar air maksimum 16%, kadar protein maksimum 1%, garam maksimum

5/1000, zat warna food grade maksimum 3/10000, dan tidak boleh terdapat

bahan–bahan atau pun mineral lainnya Berdasarkan proses pengolahannya,

mentega diklasifikasikan menjadi mentega ripening dan mentega non-ripening.

Sedangkan berdasarkan rasanya, mentega diklasifikasikan menjadi mentega asin

(salted butter), dan mentega tawar (unsalted butter).

Bahan utama pembuatan mentega adalah krim yang memiliki kadar lemak

antara 25– 45 %. Krim diperoleh dari susu sapi dengan menggunakan alat

separator. Fermentasi krim menggunakan bakteri asam laktat dimaksudkan untuk

menghasilkan mentega dengan aroma yang enak, tercium wangi dan

gurih. Mentega yang di pasaran dikenal dengan nama roombutter diduga dibuat

dengan melibatkan proses fermentasi. Nama room (rum) disitu tidak ada sangkut

pautnya dengan minuman keras rum, nama ini berasal dari bahasa

Belanda. Masalahnya, kehalalan mentega yang dibuat dengan melibatkan proses

fermentasi ini diragukan (kecuali yang sudah mendapatkan sertifikat halal

tentunya) mengingat media tumbuh bakteri asam laktat rawan kehalalannya dan

media ini bisa tercampur kedalam mentega. Jika mentega dibuat dengan metode

tanpa fermentasi maka kehalalannya tidak bermasalah, kecuali jika ditambahkan

pewarna karoten karena pewarna karoten biasanya berada dalam suatu carrier
(penyalut), salah satu bahan yang bisa digunakan sebagai carrier adalah gelatin

yang berstatus syubhat (Apriyantono, 2011).

Media tumbuh bagi bakteri asam laktat (lactobacilli) contohnya adalah

MRS Agar (Kusmiati dan Malik, 2002). Nama MRS merupakan singkatan nama

formulator untuk media tumbuh ini, mereka adalah deMan, Rogosa dan Sharpe

yang mempublikasikan formulanya pada tahun 1960. Acumedia Manufacturer

(2011), menulis bahwa MRS Agar terdiri dari enzymatic digest jaringan hewan

(enzymatic digest of animal tissue), ekstrak sapi (beef extract), ekstrak khamir

(yeast extract), dekstrosa, sodium asetat, ammonium sitrat, potassium fosfat,

magnesium sulfat, mangan sulfat, polisorbat 80 dan agar-agar.

Enzymatic digest jaringan hewan, ekstrak sapi, ekstrak khamir berfungsi

sebagai sumber karbon, nitrogen dan vitamin untuk pertumbuhan bakteri.

Dekstrosa berfungsi sebagai karbohidrat yang bisa difermentasi. Sodium asetat

adalah bahan inhibitor agar mikroba lain tak tumbuh. Sodium asetat dan

ammonium sitrat selain berfungsi sebagai agen seleksi mikroba yang tumbuh juga

berfungsi sebagai sumber energi. Potassium fosfat berfungsi sebagai agen

penyangga pH (buffer). Magnesium sulfat dan mangan sulfat menyediakan kation

untuk metabolisme bakteri. Polisorbat 80 berperan sebagai surfaktan yang

memfasilitasi penyerapan nutrient oleh bakteri. Agar-agar berfungsi sebagai bahan

pengisi agar media tersebut solid (Acumedia Manufacturer, 2011).

Melihat komposisi media tumbuh bakteri diatas jelas sekali bersinggungan

dengan aspek kehalalan terutama terkait dengan asal jaringan hewan, ekstrak sapi

dan ekstrak khamir. Jenis hewan dan bagaimana hewan (dan sapi) tersebut
disembelih menjadi fokus kehalalan. Begitu pula dengan ekstrak khamir yang bisa

diperoleh dari hasil samping produksi bir.

8.4 Es Krim

Nuraini (2007), menuturkan bahwa es krim adalah salah satu produk yang

sangat digemari anak-anak sampai orang dewasa. Menurut Standar Nasional

Indonesia (SNI), es krim adalah jenis makanan semi padat yang dibuat dengan

cara pembekuan tepung es krim atau capuran susu, lemak hewani maupun nabati,

gula dengan atau tanpa bahan makanan lain dan bahan makanan yang diijinkan.

Komponen utama dari es krim adalah lemak susu dan susu skim. Berdasarkan

komponen penyusunnya es krim dibagi tiga kategori yaitu, standar (kadar lemak

10 % dan padatan susu non lemak 11 %), premium (kadar lemak 15 % dan

padatan susu non lemak 10 %), dan super premium (kadar lemak 17 % dan

padatan susu non lemak 9,25 %).

Di beberapa negara lemak yang digunakan harus berasal dari lemak susu

(lemak yang diperoleh dari susu, khususnya susu sapi), jika berasal bukan dari

lemak susu maka produknya tidak boleh dinamai es krim. Akan tetapi, di negara

lainnya seperti Islandia, Portugal dan UK boleh menggunakan lemak yang bukan

lemak susu dan jika lemaknya secara keseluruhan adalah lemak susu maka

produknya dinamakan dairy ice cream (Apriyantono, 2011).

Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa proses pembuatan es krim dibagi

menjadi beberapa tahap yaitu tahap formulasi, pencampuran, homogenisasi,

pasteurisasi, pendinginan, aging dan pembekuan. Pada tahap formulasi semua


bahan disiapkan sesuai dengan nisbahnya. Tahap pencampuran melibatkan proses

pengadukan adonan dan penyaringan untuk memisahkan partikel adonan yang

dapat lolos dengan ukuran kurang dari 200 mikron. Homogenisasi dilakukan

untuk menstabilkan emulsi adonan dengan cara memperkecil globula lemak

sampai diperoleh ukuran kurang dari 2 mikron. Pateurisasi dilakukan dengan

menggunakan metode high temperature short time (85-88 0C selama 15 detik).

Adonan hasil pasteuriasi didinginkan hingga suhu 27-30 0C pada cooler kemudian

dilewatkan pada chiller hingga diperoleh suhu 4 0C. Aging dilakukan selama 24

jam pada suhu 4 0C untuk mengoptimalkan kerja stabilizer dan emulsifier.

Pembekuan dengan mesin pembeku dilakukan dengan cara pemebekuan adonan di

dalam tabung pembeku yang sebelumnya sudah didinginkan dengan amoniak cair.

Disamping itu, untuk didapatkan adonan yang mengembang, dilakukan

penambahan udara bersih sehingga didapatkan overrun (tingkat penambahan

volume) yang tepat. Adonan yang keluar dari freezer berbentuk semi padat dan

mempenuayi suhu -5 sampai -8 0C. Es krim diisikan secepat mungkin ke dalam

wadah terakhir dan dipindahkan ke ruangan pengeras dimana suhunya dijaga tetap

pada -20 sampai -30 0C.

Dari segi proses pembuatannya tidak ada yang kritis dalam hal

pengaruhnya terhadap kehalalan es krim, akan tetapi menjadi kritis apabila dalam

suatu pabrik dihasilkan es krim yang halal dan yang tidak halal karena tidak boleh

bercampur antara yang halal dengan yang tidak halal, keduanya harus

menggunakan peralatan dan tempat yang terpisah, jika tidak, maka produk es krim

yang dihasilkan dari proses dimana dihasilkan juga es krim yang tidak halal, tidak

boleh diklaim halal (Apriyantono, 2011).


Menurut Frandsen dan Arbuckle (1961), untuk menghasilkan es krim yang

bercitarasa baik biasanya digunakan 16 % lemak susu yang bermutu dan

bercitarasa baik. Lemak susu dapat memperlambat pelelehan es krim,

meningkatkan kekentalan, mengurangi pengembangan dan memengaruhi

kestabilan adonan es krim. Komposisi es krim yang paling baik menurut Arbuckle

(1986), es krim mengandung lemak 12 %, padatan susu tanpa lemak 11 %, gula

15 %, bahan penstabil dan pengemulsi 0,3 % dan total padatan sebesar 38,3 %.

Lemak susu dan padatan susu tanpa lemak (PSTL) memiliki pengaruh

yang sangat besar pada citaras es krim. Lemak yang berasl dari susu memengaruhi

flavor, massa dan tekstur pada produk (Arbuckle dan Marshal, 1996). Menurut

Nuraini (2007) padatan susu tanpa lemak (PSTL) dikenal juga dengan sebutan

serum solid mempunyai kandungan protein (casein dan whey protein) dan

karbohidrat (laktosa). Protein yang berasal dari susu memberi kekompakan dan

kehalusan serta cenderung mencegah body atau badan es krim yang lemah dan

tekstur yang kasar, meningkatkan viskositas dan resistensi pelelehan, juga

menurunkan titik beku (Arbuckle dan Marshal, 1996).

Dinyatakan Apriyantono (2011), disamping diperoleh dari susu penuh

(whole milk), padatan susu tanpa lemak (PSTL) juga dapat diperoleh dari berbagai

sumber, diantaranya yaitu susu penuh pekat (concentrated whole milk), bubuk

susu skim, bubuk susu penuh, sweet cream buttermilk kering, dan bubuk

whey. Dari bahan-bahan sumber padatan tanpa lemak ini yang berstatus syubhat

adalah whey. Hal ini karena whey diperoleh dari hasil samping penggumpalan

susu pada tahap pembuatan keju atau kasein dimana proses penggumpalan
tersebut biasanya menggunakan enzim yang dapat berasal dari hewan (sapi atau

babi), mikroorganisme, dan penggumpalan juga dapat dilakukan dengan

menggunakan asam.

Gula pada es krim dibutuhkan sebagi pemanis dan sebagai tambahan

padatan yang diperlukan untuk menghasilkan es krim yang memiliki body atau

tekstur yang baik (Robinson, 1986). Selain gula pasir, menurut Apriyantono

(2011), dapat pula digunakan sirup jagung (hasil hidrolisis pati jagung) yang dapat

berupa bubuk (powder) atau sirup (cairan kental). Pemanis lainnya adalah sirup

glukosa, sirup maltosa (high maltosa syrup) dan sirup fruktosa (high fructose

syrup). Pembuatan berbagai sirup diatas dapat dilakukan dengan dua metode

utama yaitu hidrolisis (pemecahan molekul dengan bantuan air) asam dan

hidrolisis enzimatik (menggunakan enzim). Pembuatan sirup gula dengan

menggunakan proses hidrolisis enzimatik memiliki keuntungan yaitu produknya

berwarna jernih dan tidak menghasilkan senyawa pahit. Itu sebabnya banyak sirup

sirup ini diperoleh dengan menggunakan enzim dimana salah satu enzim yang

diperlukan yaitu enzim α-amilase, sayangnya enzim ini disamping dapat diperoleh

dari mikroorganisme juga dapat diperoleh dari hewan. Oleh karena itu status

kehalalan sirup gula adalah syubhat.

Arbuckle dan Marshal (1996) menyatakan bahwa bahan penstabil

(stabilizer) yang digunakan pada es krim adalah gelatin (0,5 %) dan sodium

alginat (0,2-0,3 %), berfungsi mencegah pembentukan kristal es yang besar,

memperhalus tekstur, menghasilkan produk yang seragam dan memperlambat

pelelehan. Menurut Apriyantono (2011), diantara penstabil yang dapat digunakan


pada pembuatan es krim, ada dua yang berstatus syubhat yaitu gelatin dan gum

xanthan. Gelatin dapat diperoleh dari babi, sapi atau ikan, sedangkan xanthan

gum adalah hasil fermentasi sehingga kehalalannya tergantung kepada media yang

digunakan pada waktu pembuatan xanthan gum.

Senyawa emulsi (emulsifier) yang digunakan pada es krim adalah lesitin

atau kuning telur yang dikeringkan atau dibekukan. Pengemulsi digunakan untuk

menurunkan waktu pembekuan, memperbaiki mutu whipping dan menghasilkan

es krim dengan tekstur yang baik (Buckle et al. 1987). Lesitin secara kimia

adalah fosfolipida yang dalam proses pembuatannya mula-mula diektraksi dari

kedelai dengan menggunakan pelarut organik lalu setelah terekstrak pelarutnya

dihilangkan sehingga diperoleh apa yang disebut dengan ekstrak kasar lesitin. Di

masa lalu lesitin jenis inilah yang digunakan, tetapi untuk tujuan memperbaiki

sifatnya maka dibuat turunan-turunan lesitin agar diperoleh sifat yang lebih baik.

Ada berbagai cara untuk membuat produk turunan lesitin, yang diragukan

kehalalannya adalah proses yang menggunakan enzim fosfolipase A yang berasal

dari pankreas babi dan proses ekstraksi yang menggunakan alkohol. Secara umum

status kehalalan lesitin adalah syubhat karena ternyata ada jenis turunan lesitin

yang haram dan dipasarkan dengan menyebutkan hanya lesitin saja, tidak

dibedakan yang mana ekstrak kasar lesitin dan mana turunan lesitin

(halalmui.org).

Apriyantono (2011) menyatakan bahwa selain pengemulsi, perisa juga bisa

berstatus syubhat. Di samping itu, pewarna juga bisa bermasalah karena pewarna

biasanya tidak selalu berada dalam bentuk murninya melainkan dilarutkan dalam
suatu pelarut, dibuat dalam bentuk emulsi atau disalut (dienkapsulasi) sehingga

kehalalannya tergantung kepada kehalalan bahan bahan pelarut, pengemulsi dan

bahan penyalut yang digunakan. Es krim yang berasal dari luar negeri (negara non

muslim) penting untuk diperhatikan meningat adanya es krim yang didalamnya

mengandung minuman keras seperti brandy, whisky, rhum, dasn lain

sebaginya. Es krim yang didalamnya ada terkandung minuman keras seperti ini

statusnya jelas haram.

8.5 Keju

Berbeda dengan es krim dan mentega yang berbasis lemak susu, keju

merupakan olahan yang berbasis protein susu. Menurut Swaisgood (1996), protein

dalam susu ada dua jenis yaitu kasein dan whey. Kasein pada protein susu

mencapai 80 % dan dibedakan atas empat jenis yaitu α-kasein, β-kasein, κ-kasein

dan γ-kasein. Yamamoto (1975), menyatakan bahwa protein-protein tersebut

berikatan dengan ion kalsium dan anion seperti fosfat dan sitrat membentuk misel

kasein yang stabil. Whey protein terdiri dari β-laktoglobulin, α-laktalbumin,

proteose-pepton dan protein darah yaitu serum albumin dan immunoglobulin

(Swaisgood, 1996).

Keju sendiri adalah salah satu bentuk pangan hasil olahan dari susu yang

prinsip pembuatannya secara umum dengan penggumpalan kasein dari susu,

walaupun sebagian kecil ada yang dibuat dari whey. Kasein dapat dipresipitasi

atau digumpalkan dengan menurunkan pH hingga dicapai titik isoelektriknya

dengan menggunakan asam. Selain itu, kasein juga dapat dikoagulasi dengan
menghidrolisa κ-kasein, yaitu fraksi kasein yang stabil, dengan menggunakan

enzim koagulan rennin atau sejenisnya (Campbell dan Marshall, 1975).

Wirakusumah (2010), menulis bahwa keju dibuat dengan menggumpalkan

susu, krim, atau kombinasi keduanya. Secara umum I kg keju dibuat dengan

menggunakan 10-11 liter susu. Ada banyak macam jenis keju, di Prancis saja ada

350 jenis keju. Menurut Nelson dan Trout (1951), keragaman jenis keju

tergantung pada bahan dasar yang digunakan, metoda kogulasi susu, kadar whey

dalam dadih (curd), dengan atu tanpa pemeraman, dan metode pemeraman. Oleh

karena cara pembuatannya sangat bervariasi dan berbeda di tiap negara penghasil

keju sehingga membuat klasifikasi keju agak rumit. Berdasarkan tahap

pematangannya dikenal keju metode setting panjang (memerlukan tahap

pematangan yang lama dan metode setting pendek (memerlukan tahap

pematangan yang lebih singkat atau dikenal keju segar). Keju diklasifikasikan

menjadi tiga kategori yaitu: (1) Keju keras dan sangat keras, seperti keju keju

gouda Belanda, keju cheedar Inggris, pemersan Italia dan keju kasar Turki; (2)

Keju semi lunak seperti Brie, Camembert dan banyak bentuk lainnya dari

Perancis; (3) Keju Lunak seperti keju Cottage (Nurhidayati, 2010). Secara luas

keju diklasifikasikan menjadi keju natural dan keju olahan (Langhus, 1974).

Bahan baku dari keju olahan adalah keju natural. Menurut Campbell dan

Marshall (1975), keju olahan dibuat dengan menggiling, memanaskan, dan

mencampurkan keju-keju tipe keras, kemudian mengemulsikannya

(membentuknya jadi emulsi) dengan menambahkan tidak lebih dari 3 % garam

anorganik, bisanya natrium sitrat dan natrium fosfat. Keju segar (muda, hijau atau
baru) biasanya dicampur dengan keju yang telah matang atau tua untuk

mendapatkan keju olahan dengan flavor dan aroma sesuai dengan yang

dikehendaki. Campuran tersebut biasanya terdiri atas satu, dua, atau lebih macam-

macam keju asli (keju natural) dan biasa pula berisi pimento, buah-buahan,

sayuran, atau daging.

Walaupun ada banyak variasi dalam pembutan keju (baca keju natural),

menurut Apriyantono (2012), pada dasarnya keju dibuat melalui 5 tahap yaitu: 1)

persiapan susu, 2) koagulasi atau penggumpalan susu dengan menggunakan enzim

atau asam yang akan menghasilkan curd (bagian susu yang terkoagulasi atau

tergumpalkan) dan whey (bagian susu yang dalam bentuk cairan setelah curd

terbentuk dan dipisahkan), 3) pemisahan whey untuk mendapatkan dadih (curd),

4) pengolahan curd dan 5) pematangan keju.

Penambahan bahan untuk proses penggumpalan susu atau koagulasi

adalah tahap yang kritis dari segi kehalalan keju (Riaz and Chaudry, 2004). Ada

tiga metoda yang biasa dilakukan pada tahap koagulasi susu ini, yaitu

1. Metode enzimatis

2. Metode mikrobiologis

3. Metode asam dan pemanasan

Metoda pertama menggunakan enzim yang mampu menggumpalkan susu,

biasanya merupakan jenis enzim protease. Enzim yang sering digunakan adalah

enzim rennin. Enzim rennin ini terkandung dalam ekstrak kasar enzim yang

disebut rennet. Rennet diperoleh dari abomasum anak sapi atau hewan ruminansia
lain terutama yang masih menyusui. Selain mengandung rennin, rennet juga

mengandung enzim-enzim lain. Rennin disebut juga kimosin untuk membedakan

dengan hormon renin yang disekresi oleh ginjal (Muchtadi dkk, 1992).

Menurut Apriyantono (2012), pada saat ini rennet diperoleh dari bukan

hanya perut sapi muda akan tetapi juga perut sapi dewasa, anak kambing,

kambing dewasa, domba dan babi. Disamping itu, koagulan juga ada yang berasal

dari mikroorganisma, tumbuh-tumbuhan dan hasil fermentasi GMO (Genetically-

Modified Organism). Dari segi kehalalan, penggunaan koagulan yang berasal dari

hewan jelas rawan menghasilkan keju yang tidak halal karena disamping bisa

berasal dari babi juga bisa berasal dari sapi atau kambing yang tidak disembelih

secara Islami dan juga bercampur dengan keju yang dihasilkan. Oleh karena itu

yang relatif aman adalah jika koagulannya berasal dari tumbuh-tumbuhan,

mikroorganisma atau hasil fermentasi GMO dimana pada fermentasinya

digunakan media yang halal. Di pasaran, khususnya di luar negeri, keju yang

dibuat dengan menggunakan koagulan yang berasal dari mikroorganisma

(microbial rennet) dapat dikenali dengan membaca informasi di kemasan keju

tersebut. Informasi ini diperlukan bagi mereka yang menghindari koagulan yang

berasal dari hewan yaitu kalangan vegetarian dan muslim.

Metode kedua yang digunakan untuk menggumpalkan susu yaitu dengan

menggunakan asam yang dapat dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang

ditambahkan kedalam susu, atau dengan menggunakan asam organik seperti asam

sitrat, asam asetat, asam tartarat atau whey yang telah diasamkan. Metoda kedua

ini diterapkan dalam produksi keju Cottage dan keju Cream. Bakteri asam laktat
mula-mula ditumbuhkan dulu dalam suatu media (tempat pertumbuhan dan

sumber makanan mikroorganisme), dipekatkan, dibekukan atau dikeringbekukan,

kemudian bakteri yang masih mengandung media inilah yang akhirnya

dicampurkan kedalam susu (Apriyantono, 2012).

Nurhidayati (2010), menyatakan bahwa dalam industri pengolahan keju,

biasanya digunakan starter campuran dari dua kelompok bakteri asam laktat yaitu

S. thermophillus dan L. bulgaricus. Kedua bakteri ini termasuk dalam kelompok

thermobakteria dengan ciri-ciri sel berbentuk batang, mampu hidup pada

lingkungan yang mengandung NaCl dengan kadar 3-6%, dengan kisaran pH

antara 4-7.4, suhu optimum pertumbuhannya berkisar antara 37 0C - 45 0C dan

dapat bertahan pada suhu 63 0C selama 30 menit. Penggunaan starter ganda

tersebut akan menghasilkan asam laktat lebih cepat daripada ditumbuhkan secara

terpisah. Nampaknya kedua bakteri ini berinteraksi secara menguntungkan. Pada

awal fermentasi asam amino yang dihasilkan L. bulgaricus menstimulasi

pertumbuhan S.thermophillus sehingga cepat menghasilkan asam laktat yang

dapat menurunkan pH medium sampai 4,5. Pada medium inilah L. bulgaricus

akan tumbuh cepat.

Dari segi kehalalan perlu dicermati media yang digunakan karena biasanya

terdiri dari komponen susu dan nutrien lain seperti ekstrak khamir (yeast extract),

mineral dan vitamin. Ekstrak khamir bisa tidak halal jika diperoleh sebagai hasil

samping industri bir, atau jika untuk memproduksinya menggunakan media yang

mengandung bahan yang tidak halal (Apriyantono, 2012). Pada metode kedua ini

juga bisa ditambahkan koagulan glucono-delta-lactone (Hill, 1995). Koagulan ini


juga berguna untuk penggumpal susu kedelai, produksi tahu halus atau tahu sutra,

juga sebagai pengawet untuk mayonaise. Status glucono-delta-lactone ini halal.

Metode ketiga yang menggunakan asam dan pemanasan yang tinggi

didasarkan pada denaturasi protein bila dipanaskan. Panas akan mendenaturasi

protein whey yang kemudian akan berinteraksi dengan kasein. Dengan adanya

penambahan asam, kasein pun tergumpalkan bersama whey. Dibandingan dengan

metode enzimatis menggunakan rennet, metode ketiga ini memberikan hasil yang

lebih besar dalam penggumpalan protein susu. Metode rennet hanya

menggumpalkan 76-78 % protein susu, sedangkan metode asam-panas ini bisa

menggumpalkan sampai 90 %. Metoda ini diterapkan misalnya dalam pembuatan

keju Paneer, Ricota dan Queso Blanco (Hill, 1995).

Pada pembuatan keju juga sering ditambahkan enzim lain selama

pembuatannya dengan maksud untuk menghasilkan flavor yang disukai. Enzim

yang ditambahkan kebanyakan jenis proteinase dan kadang-kadang lipase. Kedua

jenis enzim ini dapat berasal dari hewan selain dapat diperoleh juga dari

mikroorganisme. Dengan demikian, penambahan enzim ini menambah titik kritis

kehalalan keju. Adapun kehalalan keju olahan tergantung pada keju natural,

pengemulsi dan whey yang digunakan. Ketiga bahan ini bisa tidak halal

tergantung dari cara pembuatannya (Apriyantono, 2012).

Protease Pengganti Rennet

Protease merupakan salah satu enzim yang penting dalam industri, karena

lebih dari 60 % enzim yang dipasarkan adalah protease (Hidayat, 2009). Menurut
Whitaker (2003), protease atau enzim proteolitik merupakan enzim yang mampu

menghidrolisis ikatan peptida pada protein dengan reaksi sebagai berikut:

protease +
-HN-CHR1-CO-NH-CHR2-CO- + H2O NH-CHR1-COOH + H3N-
CHR2-CO-
Beberapa enzim yang diekstrak dari tumbuhan telah dicoba untuk

menggumpalkan susu meski tidak memberikan hasil memuaskan. Getah Ficus

carica yang mempunyai enzim fisin, sebagai koagulan susu telah banyak

digunakan dalam pembuatan keju di India. Beberapa koagulan dari tumbuhan lain

juga mampu menggumpalkan keju, tetapi terlalu bersifat proteolitik, seperti

papain yang berasal dari papaya, bromelin yang berasal dari nenas serta risin dari

biji Ricinus comunis (Scott, 1981).

Menurut Sardjoko (1991), faktor yang perlu diperhatikan dalam

memanfaatkan enzim pengganti rennet adalah adanya aktivitas proteolitik yang

berlebihan dan kemungkinan timbulnya rasa pahit. Selain dari tumbuhan, protease

pengganti rennet juga dikembangkan dari kapang yang diproduksi oleh spesies

Mucor miehei, Mucor pusillus dan Endothya parasitica yang dikembangkan untuk

mensubstitusi rennin secara keseluruhan atau sebagian. Rennet dari kapang-

kapang tersebut telah banyak diperjualbelikan untuk pembuatan berbagai jenis

keju (Scott, 1981). Rennet yang dikembangkan dari Mucor miehei disebut sebagai

microbial rennet sebagaimana menurut Apriyantono (2012), microbial rennet ini

cocok untuk vegetarian dan muslim.

Enzim pepsin merupakan jenis protease lain yang bisa digunakan dalam

koagulasi keju. Enzim ini bisa berasal dari babi, sapi dan ayam (Hill, 1995).
Secara umum pepsin memiliki aktivitas proteolitik yang besar sehingga akan

menghasilkan peptida-peptida yang terasa pahit serta menghasilkan keju dengan

rendemen yang rendah (Cheesman, 1981). Campuran pepsin dengan dengan

rennin dengan perbandingan 1:1 merupakan pilihan yang banyak digunakan.

Faktor yang menyebabkan pepsin tidak digunakan secara mandiri adalah waktu

penggumpalan yang lebih lama, curd yang lebih lunak, kehilangan lemak dalam

whey, terbentuknya rasa pahit dan ketidakmampuan untuk aktif pada pH diatas

6,5 (Kilara dan Iya, 1981).

Protease pun dapat bersumber dari hewan laut. Ekstraksi pepsin dari

lambung tuna telah dilakukan oleh Tevarez (1982). Protease lambung tuna ini

kurang memuaskan karena membentuk curd yang lunak. Sementara Shasuzzaman

dan Haard (1981) mematenkan protease dari mucosa perut anjing laut dengan

tujuan untuk substitusi penggunaan rennet pada pembuatan keju.

Tampaknya posisi rennin sebagai koagulan yang paling baik untuk keju

tak bisa tergantikan karena sifat proteolitik rennin yang pas. Dengan teknologi

rekayasa genetika rennin pun bisa dibuat menggunakan mikroba. Dengan teknik

DNA recombinan materi genetik bisa dipindahkan sehingga tercipta rennin atau

kimosin sintesis. Mikroba yang digunakan pada proses ini adalah strains

Eshericia coli, Klaveromyces lactis, atau Aspergillus niger (Hill, 1995). Produk

rennin dengan menggunakan rekayasa genetika disebut sebagai modern rennet

(Fankhauser, 2009).
Hasil Samping Industri Keju

Hasil samping industri keju yang utama adalah whey dan laktosa

(Apriyantono, 2012). Laktosa menjadi hasil samping yang mandiri setelah

dipisahkan dari whey. Menurut Adnan (1984), kandungan laktosa dalam whey

adalah sebanyak 70 %. Kadar laktosa dalam susu sapi sendiri adalah sebesar 4,6

% lebih sedikit dibandingkat ASI yang kandungan laktosanya mencapai 7 %.

Laktosa yang merupakan satu-satunya karbohidrat dalam susu mammalia, adalah

disakarida yang terdiri dari gabungan 2 monosakrida yaitu glukosa dan galaktosa

(Heyman, 2006).

Dinyatakan oleh Nurliyani (2010), laktosa digunakan dalam penyiapan

produk bakery karena akan mengalami reaksi Maillard dengan protein sehingga

menghasilkan efek pencoklatan. Oleh karena ASI mengandung 7% laktosa, maka

laktosa ditambahkan ke dalam susu sapi dalam penyiapan infant formula. Dalam

bentuk murni, α - laktosa selalu digunakan oleh industri farmasi sebagai excipient

(komponen yang secara kimia inert, untuk proteksi atau meningkatkan biological

availability obat atau meningkatkan aspek keamanan obat).

Laktosa dapat ditransformasi menjadi tiga produk yaitu, laktulosa yang

dihasilkan dengan proses isomerasi, laktitol dengan proses reduksi dan asam

laktobionat dengan proses oksidasi. Laktitol adalah gula alkohol sintetik, pemanis

non-nutritive yang rendah kalori. Laktulosa dikenal sebagai prebiotik atau faktor

pertumbuhan untuk bifidobakteria dan mempunyai implikasi penting dalam nutrisi

balita. Asam laktobionat (lactobionic acid) merupakan derivat laktosa yang

ekivalen dengan glukosa dari asam glukonat dan dapat digunakan untuk
mengkhelat mineral seperti besi, kalsium, dan magnesium yang cocok

diaplikasikan dalam ingridien pangan. Asam pada derivat laktosa ini tahan

terhadap enzim pencernaan di usus halus, sehingga juga mempunyai efek

prebiotik (Nurliyani, 2010).

Ada beberapa jenis protein whey, yakni whey powder, whey protein

concentrate (WPC), dan whey protein isolate (WPI). Ketiganya memiliki karakter

spesifik, yang penggunaannya dapat digunakan sesuai kebutuhan. Whey powder

berasal dari proses pemisahan proses pembuatan keju secara langsung. Sedangkan

whey protein concentrate (WPC), diperoleh dengan memekatkan whey hasil

proses pemisahan dari kasein. Selain itu dilakukan pula penyaringan untuk

menghilangkan molekul berukuran besar seperti laktosa dan abu. Whey protein

isolate (WPI) adalah yang memiliki kandungan protein paling tinggi, yakni hingga

mencapai 90% (kulinologi.biz).

Whey banyak digunakan di industri pangan, diantaranya pada produk-

produk susu (susu bubuk, makanan bayi, yoghurt), biskuit, sup, saus,

confectionary, produk daging (sosis, hamburger). Fungsi whey pada produk

produk ini yaitu menambah gizi (protein), pembentuk gel, memperbaiki tekstur,

pengemulsi, pengental, dan pengikat air (Apriyantono, 2012). Untuk pangan atau

minuman olahraga, protein whey dipilih karena memiliki BCAA (Branched Chain

Amino Acids), leusin, isoleusin, dan valin yang tinggi. BCAA sangat penting bagi

sel otot dalam menjaga glikogen, bentuk lain dari glukosa yang terbentuk pada

saat tubuh berolahraga. Whey juga digunakan untuk produk snack dengan tujuan

sebagai flavor carrier/agent, peningkat flavor, memodifikasi tekstur, dan


meningkatkan nilai gizi. Tidak hanya itu, protein whey juga sering ditambahkan

pada seasoning snack, contohnya pada seasoning berbasis keju (Food Review,

2010)

Kehalalan whey dan laktosa tergantung pada jenis koagulan yang

digunakan dalam proses penggumpalan susu untuk menghasilkan curd dan whey.

Jika menggunakan koagulan yang berasal dari hewan maka whey dan laktosa ini

bisa tidak halal. Oleh karena itu baik keju, whey maupun laktosa termasuk

kedalam kategori bahan pangan yang status kehalalannya syubhat karena bisa

halal, bisa juga tidak halal (Apriyantono, 2012).

Pustaka

Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi Offset.
Yogyakarta.

Apriyantono, A. 2011. Titik kritis kehalalan eskrim. Komunitas Halal. Dirilis 17


November 2011.

___________________Titik Kritis Kehalalan Susu Cair dan Susu Bubuk.


Komunitas halal. Dirilis tanggal 4 Desember 2011.

___________________ Titik Kritis Kehalalan Mentega dan Margarin.


Komunitas Halal. Dirilis tanggal 26 Desember 2011.

_______________2012.Titik Kritis Kehalalan Keju dan Hasil Sampingnya.


Komunitas Halal. Dirilis tanggal 1 Februari 2012.
Arbuckle, W.S. 1986. Ice Cream. The AVI Publishing Company. Westport,
Connecticut.
Arbuckle, W.S. and R.T. Marshal. 1996. Ice Cream. chapman and Hall. New
York.
Bruinsma J. (Ed). 2003. World Agriculture : Toward 2015/2030. an FAO
Perspective. Earthscan Publications Ltd., London.
Buckle, K.A., R.A.Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wooton 1987. Ilmu Pangan. UI
Press. Jakarta.

Budi, G.L. 2011. Proses Pengolahan Susu Bubuk. Available on line at


http://tentangteknikkimia.wordpress.com/2011/12/16/90/

Campbell, J.R. dan R.T. Marshall. 1975. The Science Of Providing Milk For Man.
McGraw-Hill Book Company. New York.

Cheesman, G.C. 1981. Rennet and Cheese Making dalam G.C Birch et al (eds)
Enzymes and Food Processing. Applied Science Publ. New York.

Cokelat, Digemari tapi Jangan Lupa Diwaspadai. 31 August 2010. Available


online at http://halalmui.org/index.php?view=article&catid=93%3Ahalal-
article&id=519%3Acokelat-digemari-tapi-jangan-lupa-
diwaspadai&tmpl=component&print=1&page=&option=com_content&Ite
mid=428&lang=en
Dairy Based Ingredients. Available online at
http://kulinologi.biz/index1.php?view&id=858

Eskin, N.A.M. 1990. Biochemistry of Food Second Edition. Academic Press Inc.
New York.

Fankhauser, D.B. 2009. Rennet For Making Cheese. Available on line at


http://biology.clc.uc.edu/fankhauser/cheese/rennet/rennet.html
Fatty Acids. Available online at http://www.cyberlipid.org/fa/acid0001.htm
Food Review. 2010. The Way of Whey Protein. Food Review Indonesia Edisi
Juni 2010.

Frandsen, M.S. dan W.S. Arbuckle. 1961. Ice cream and Related Product. The
AVI Publishing Company. Westport, Connecticut.
Heyman, M.B. 2006. Lactose Intolerance in Infants, Children, and Adolescent.
Ped. J. 118, 3, 1279.
Hidayat, N. 2009. Produksi Protease dari Limbah Ikan. TIP - FTP Universitas
Brawijaya. Malang.

Hill, A.R. 1995. Cheese. Available on line at


http://www.foodsci.uoguelph.ca/dairyedu/cheese.html
Ingredients Description. Available on line at
http://www.muslimconsumergroup.com/ingredients_description.html
Kilara, A. dan K.K Iya. 1984. Proteolytic Enzyme and Their Application on Dairy
Industry. Journal of Dairy Science. 37(3): 241.
Kusmiati dan A. Malik. 2002. Aktivitas Bakteriosin dari Bakteri Leuconostoc
mesenteroides Pbac1 pada Berbagai Media. Makara, Kesehatan, Vol. 6,
no. 1, Juni 2002
Langhus, W.L. 1974. Cheese dalam A.H. Johnson dan M.S. Peterson.
Encyclopedia of Food Technology. The Avy Publishing Company.
Westport, Connecticut.
Moore, K.M. and D.A Kanuft. 1989. The Inheritance of High Oleic Acid in
Peanut. Journal of Heredity (1989) 80(3): 252-253

Muchtadi, D., M. Astawan dan N.S. Palupi. 1992. Ezim dalam Industri Pangan.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor
Muchtadi, T.R dan Sugiyono, 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu pengetahuan
Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor
National Research Council, 1976, Fat Content and Composition of Animal
Products, Printing and Publishing Office, National Academy of Science,
Washington, D.C
Nelson, J.A dan G.M. Trout. 1951. Judging Dairy Product. the Olsen Publishing
Co. Winconsin.
Nuraini, H. (2007). Memilih & Membuat Jajanan Anak yang SEhat & Halal.
Qultum Media. Jakarta.
Nurhidayati, T. 2010. Pengganti Rennet dalam Pembuatan Keju. Majalah Food
Review. Juni 2010.
Nurliyani, L. 2010. Laktosa sebagai Ingridien Pangan. Food Review Indonesia
Edisi Juni 2010.
Potter, N.N. 1986. Food Science (Eds). Chapman and Hall. New York.
Rasyid, A. 2003. Asam Lemak Omega-3 Dari Minyak Ikan. Oseana, Volume
XXVIII, Nomor 3, 2003 : 11-16
Redaksi Trubus, 2010. My Healthy Life Trio Herbal. PT Trubus Swadaya.
Jakarta.

Robinson, R.K. 1986. Advances in Milk Processing Modern. Dairy Technologies


Vol 1. Elsevier Applied Science Publisher. London and New York.

Saparinto, C. dan D. Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius.


Yogyakarta.

Scoot, E.G. 1981. Cheese making Practice. Applied Science Publ. Ltd. London.
Shasuzzaman, K.M dan N.F. Haard. 1981. Rennet Substitute from Seals for
Making Cheese. US Patent 4,526,868
Swaisgood, H.E. Characteristics of Milk dalam O. R. Fennema (Eds) Food
Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
Tevarez, J.F.D.P. 1984. Recovery of Milk Coagulating Enzyme from Tuna
Waste.Food Industries and The Environment. ElseVier. Amsterdam.
Usmiati, S. 2010. Teknologi Sterilisasi Susu. Balai Besar Pascapanen. Kampus
Penelitian Pertanian Cimanggu.
Whitaker, J.R. 2003. Proteolytic Enzymes dalam J.R. Whitaker, Alphons, G.J.
Voragen. Dominic W.S. dan Wong (eds) Handbook of Food Enzymology.
Marcel Dekker Inc. New York.
Wirakusumah, E.P. 2010. Sehat Cara Al-Quran dan Hadis. Mizan Publika.
Jakarta.
Yamamoto, A. 1975. Proteolitic Enzyme dalam G. Reed (Ed.) Enzyme in Food
Processing. Academic Press. New York.
9. PANGAN BIOTEKNOLOGI

Bioteknologi bukan merupakan hal yang baru bagi umat manusia. Pada konteks

tradisional, makanan sperti kecap, oncom, tempe dan tauco adalah contoh-contoh

produk bioteknologi. Lebih dari 8000 tahun yang lalu mikroorganisme telah

digunakan pada pembuatan bir, cuka, yoghurt, keju dan anggur. Acuan tentang

anggur dan cuka juga telah terlihat dalam kitab injil yang memberikan indikasi

pembuatannya telah dikenal sejak dulu kala (Pimrose, 1987). Hanya saja pada

konteks modern masalah bioteknologi sekarang mengerucut pada yang namanya

gen dengan istilah rekayasa genetika, transgenik , dan genetically modified

organism (GMO).

Masalah reakayasa genetika, terutama di dunia kedokteran, menjadi

perdebatan apalagi jika dikaitkan dengan filsafat etika. Alhasil lahirlah apa yang

dinamakan bioetika yang hendak memancang ilmu hayat tetap di jalur taat moral.

Di ladang pertanian sendiri, rekayasa ini memberikan kontribusi yang tidak bisa

dianggap enteng. Perubahan genetika tidak hanya membangun ulang rangkaian

dobel heliks DNA pada spesies tapi juga berpengaruh secara ekologis dan sosial.

Bayangkan anak-anak dan orang tua yang kurus dengan tulang kerontang akibat

kekeringan dan kelaparan yang ada di Afrika dan bayangkan juga padi transgenik

yang mampu tumbuh subur dengan cekaman kekeringan dan iklim subsahara.

Bukankah padi itu bisa merupakan solusi bagi kelaparan tersebut?

Contoh lain dari kasus padi adalah padi emas atau golden rice yang ke

dalam padi ini dimasukkan gen dari lobak merah untuk membantu mengatasi
masalah kekurangan vitamin A yang menyebabkan kerabunan dan kemungkinan

bisa mengakibatkan kematian dua juta anak-anak dalam masa setahun. Ada juga

tumbuhan lain yang direkayasa agar mempunyai kandungan asam lemak trans

yang rendah. Asam lemak trans ini dikenal sebagai asam lemak jahat, sehingga

produk tumbuhan transgenik dengan asam lemak trans yang rendah itu baik untuk

kesehatan jantung.

Dano (2007), memaparkan bahwa transgenik dapat menyebabkan

perubahan-perubahan baik ekologi maupun sosial yang tidak dapat ditarik

kembali. Transgenik memiliki sifat-sifat khusus yang dapat menimbulkan dampak

ekologi dan sosial yang lebih serius dan meluas. Perdebatan mendasar etika dan

sosial berpangkal dari kenyataan bahwa pada transgenik terjadi manipulasi

bentuk-bentuk dan proses kehidupan, serta menimbulkan dampak sosial-ekonomi

dan ekologi akibat pencemaran transgenik tersebut. Hal ini merupakan satu di

antara banyak aspek unik teknologi ini. Bahkan jika teknologi ini ditarik kembali

atau masyarakat menghentikan penerapan teknologi ini, maka dampak sosial-

ekonominya masih tetap ada dan membekas secara permanen dalam sejarah dan

masyarakat. Lebih serius lagi, jika transgenik ini bersilang dengan populasi liar

atau mencemari tanaman konvensional (outcrossing) bahkan meski petani telah

lama menghentikan penanaman tanaman transgenik tersebut.

Dalam hal sosial-ekonomi, keuntungan transgenik bisa menjadi

dipertanyakan misalnya dalam kasus benih transgenik yang tahan hama. Memang

betul tanaman dari benih tersebut menguntungkan karena lebih tahan hama,

namun yang dipertanyakan adalah petani menjadi sangat tergantung kepada

perusahaan penghasil benih transgenik tersebut. Apalagi dengan adanya hak


paten, ini menjadikan petani sebagai stake holder yang dirugikan dan keuntungan

hanya berpihak pada perusahaan penghasil benih tersebut.

Berurusan dengan transgenik berarti berusan dengan mutan. meskipun

persepsi kita tentang mutan lebih didasarkan pada penggiringan opini oleh

Hollywood, jangan bayangkan mutan sebagai manusia super seperti Wolverine

dan kawan-kawan. Istilah mutan sendiri mengacu pada sepesies yang mengalami

mutasi gen alias perubahan struktur gen. Bagi orang-orang yang tidak setuju

dengan tanaman reakayasa genetika, produk tanaman transgenik tidak dianggap

sebagai produk alami karena tanaman tersebut telah dimodifikasi, dimanipulasi,

engineered. Memanen tanaman transgenik berarti sama dengan memanen mutan.

Produk rekayasa genetik baik dari tanaman, hewan, atau mikroba,

dimanfaatkan diantaranya sebagai bahan pangan yang biasa dikenal sebagai

pangan produk rekayasa genetik (pangan PRG). Pangan PRG meliputi pangan

segar, pangan olahan, bahan tambahan pangan dan bahan lain yang digunakan

untuk produksi pangan. Pemanfaatan pangan PRG mengundang kekhawatiran

bahwa pangan tersebut mungkin dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan

manusia. Kemungkinan timbulnya risiko perlu diminimalkan melalui pendekatan

kehati-hatian (precautionary approach). Kekhawatiran terhadap pangan produk

rekayasa genetika mencakup berbagai aspek, 3 isu yang sering dipermasalahkan

adalah kecenderungan untuk menyebabkan reaksi alergi (alergenisitas), transfer

gen dan outcrossing (BPOM, 2010).


9.1 Pandangan Kehalalan

Dalam wacana kehalalan, tinjauan tentang transgenik ini tentu saja

didasarkan pada sumber hukum Islam. Menurut Riaz dan Chaudry (2004), dalam

pandangan Islam segala sesuatu itu halal kecuali secara spesifik diharamkan oleh

syariat. Tidak ada ayat Al Quran atau pun hadits yang mengharamkan makanan

hasil-hasil rekayasa genetika karena rekayasa genetika ini merupakan

perkembangan baru dalam sains. Namun produk rekayasa genetika yang

dihasilkan dari yang diharamkan tetap merupakan produk yang haram. Contohnya

karena babi merupakan hewan yang haram, maka semua produk rekayasa genetika

dari babi pun menjadi haram. Kehalalan produk rekayasa genetika ini pun

mengikuti prinsip-prinsip halal-haram dalam Islam. Contohnya prinsip-prinsip

seperti yang diuraikan oleh Yusuf Qardawi sebagaimana telah dirangkum pada

bab 3 buku ini.

Lebih lanjut diungkapkan Riaz dan Chaudry (2004), bioteknologi telah

memberikan keuntungan bagi umat muslim, contohnya pada penggunan modern

rennet hasil rekayasa genetika. Modern rennet yang digunakan pada pembuatan

keju merupakan pengganti dari rennet yang dihasilkan dari babi yang haram

ataupun dari sapi dan kambing yang syubhat karena tak diketahui cara

penyembelihannya. Modern rennet merupakan genetically modified chymosin

yang sekarang ini penggunaannya mencapi 40 % di seluruh industri keju dunia.

Meski tidak ada ayat atau hadits khusus tentang rekayasa genetika, namun

mengingat perubahan yang dilakukan pada organisme oleh rekayasa ini, kehalalan

rekayasa genetika masih merupakan kontroversi dalam agama Islam terutama


dikaitkan dengan ayat Al Quran surat An Nisa 119 tentang mengubah ciptaan

Allah.

“Dan aku (syaitan) benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan

membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka

(memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar

memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-

benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi

pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”

An Nisa (4):119

Selain pertimbangan ayat di atas, masalah rekayasa genetika dalam

pandangan Islam juga menimbang manfaat dan bahaya dari rekayasa genetika ini.

Secara general menurut Amin et al (2012), jika risiko maslahat (manfaat) dan

mafsadat (bahaya) bioteknologi modern masih belum jelas maka dapat dinyatakan

bahwa status yang berlaku untuk bioteknologi modern bisa dinyatakan sebagai

syubhat.

Produk rekayasa genetika merupakan hasil industri yang berbasis sains

sehingga berkaitan dengan bahaya yang yang mungkin timbul harus dilakukan

pencegahan dengan prosedur yang ketat. Menurut Apriyantono (2007), sekarang

ini sudah ada protokol untuk menguji keamanan pangan PRG. Jika suatu pangan

PRG telah dinyatakan boleh diedarkan ke masyarakat oleh badan yang berwenang

setelah melalui pemeriksaan yang lengkap dan ketat maka sebetulnya produk

tersebut dianggap aman sesuai dengan tingkat pengetahuan manusia saat ini.
Pengkajian terhadap keamanan pangan PRG dilaksanakan kasus per kasus,

karena organisme rekayasa genetik yang berbeda memiliki gen sisipan yang

berbeda dan disisipkan dengan cara yang berbeda pula. Hal ini berarti bahwa

setiap pangan hasil rekayasa genetik dan keamanannya harus dikaji secara

individu (kasus per kasus) dan tidak mungkin untuk membuat pernyataan umum

tentang keamanan semua pangan produk rekayasa genetik (BPOM, 2010).

Menilik pangan hasil rekayasa genetik yang keamanannya harus dikaji per kasus,

maka begitu juga kehalalan produk pangan hasil rekayasa genetik itu sendiri harus

dianalisa per kasus.

9.2 Modifikasi Gen dan Istihala

Dalam hal modifikasi genetik dan kehalalan, menurut Khattak et al.

(2011), ada tiga kategori modifikasi yang jadi perhatian utama, yaitu :

1. Perpindahan gen dari binatang ke tanaman, vice versa dari tanaman ke

binatang.

2. Perpindahan gen dari serangga ke tanaman

3. Perpindahan gen dari hewan ke hewan

Perpindahan gen dari binatang ke tanaman dibolehkan asalkan gen tersebut

berasal dari hewan yang halal. Namun produk rekayasa genetika yang dihasilkan

dari hewan yang diharamkan tetap merupakan produk yang haram. Di Jepang ada

padi Nihonbare yang mengintroduksi gen cytochrome P450 yang berasal dari

babi. Produk introduksi ini menunjukkan ketahan terhadap herbisida. Meskipun

demikian beras padi ini adalah haram bagi umat muslim.


Perpindahan gen dari serangga ke tanaman menghasilkan produk yang bisa

diterima karena status serangga yang tidak terdefinisikan dengan jelas. Golongan

atau mazhab fiqih berbeda pendapat tentang kehalalan serangga. Sementara untuk

belalang disepakati kahalalannya. Perpindahan gen dari serangga ke tanaman juga

bisa diterima jika proses tersebut tidak memacu produksi racun pada tumbuhan

atau hal lain yang membayakan. Perpindahan gen dari hewan ke hewan bisa

diterima asalkan merupakan hewan yang halal dan tidak menimbulkan efek yang

membahayakan terutama bagi kesehatan.

Perpindahan gen dari sumber yang haram ke hewan atau tumbuhan yang

halal pun masih menyisakan pertanyaan sehubungan dengan adanya konsep

istihala dalam Islam (Riaz dan Chaudry, 2004). Istihala adalah konsep perubahan

bentuk dan status dari suatu zat, misalnya bangkai itu najis namun ketika dibakar

menjadi abu atau terdekomposisi menjadi tanah maka menjadi tanah tersebut

adalah suci. Contoh lainnya adalah perubahan anggur (wine) menjadi cuka dengan

tanpa rekayasa. Cuka yang berasal dari anggur yang berubah dengan sendirinya

ini halal dengan mengikuti konsep istihala.

Pertanyaan analogi dari sifat ini adalah misalnya gen dari babi

dipindahkan ke beras yang halal, apakah konsep istihala bisa diterapkan karena

transformasi bentuk yang sama sekali berbeda dengan babi itu sendiri? Apakah

sama mengonsumsi materi gen dengan mengonsumsi daging babi?

Moosa (2009), menyatakan bahwa terkait konsep istihala ini ahli fiqih

terbagi dua dalam menyikapi perpindahan gen dari sumber haram, ada yang

membolehkan ada juga yang tidak. Pihak yang membolehkan melihat perubahan
bentuk tersebut sehingga konsep istihala bisa diterapkan. Pihak yang tidak

memperbolehkan melihat kesamaan mengonsumsi materi gen dengan

mengonsumsi sumber haram tersebut.

Adanya risiko dan perbedaan pandangan pada rekayasa genetika

menjadikan hal ini agak pelik. Seiring perkembangan yang terjadi, penulis melihat

bahwa pangan rekayasa genetika ini merupakan masalah yang belum final

meskipun Indonesia sendiri memberikan lampu hijau kepada produk ini.

Pustaka

Amin, L., S. Fairuz, S.A. Latif, S.M. Sabri, H.M. Nasran, M.M. Yusof, dan HJ.
Othman. 2011. Pendekatan Islam Dalam Menangani Percanggahan
Manfaat Dan Risiko Bioteknologi Moden Tumbuhan. Jurnal Hadhari 3 (2)
(2011) 1-22

Apriyantono, A. 2007. Potensi Ketidakhalalan Produk Pangan dan Masalah


Pangan Hasil Rekayasa Genetika. Kiblat. Bandung.

BADAN POM RI. 2010. Pangan Produk Rekayasa Genetika Dan Pengkajian
Keamanannya Di Indonesia. InfoPOM. Volume XI, No.1 MARET -
APRIL 2010

Dano, E.C. 2007. Dampak Potensial Transgenik terhadap Sosial-Ekonomi,


Budaya dan Etika: Prospek Kajian Dampak Sosial-Ekonomi. Third World
Network. Penang, Malaysia

Khattak, J.Z.K., A. Mir, Z. Anwar, H. M. Wahedi, G. Abbas, H. Z. K. Khattak


and H. Ismatullah. 2011. Concept of Halal Food and Biotechnology.
Advance Journal of Food Science and Technology 3(5): 385-389

Moosa, E. 2009. Genetically Modified Foods and Muslim Ethics dalam Conrad G.
Brunk and Harold Coward (Eds) Acceptable genes? religious traditions
and genetically modifi ed foods. Suny Press. New York.

Primrose, S.P. 1987. Modern Biotechnology. Blackwell Scientific Publications.


Oxford, London.

Riaz, M.N and M.M Chaudry. 2004. Halal Food Production. CRC Press. New
York.
10. OTENTIFIKASI KEHALALAN

Berbeda dengan sistem jaminan halal dan halal control point yang menganalisis

kehalalan pada tataran proses, otentifikasi lebih merupakan analisis yang berbasis

end-product testing atau pengujian terhadap produk jadi. Produk jadi tersebut bisa

merupakan produk yang memang siap konsumsi ataupun masih produk antara

yang berarti merupakan bahan atau ingredient untuk produk pangan. Otentifikasi

menjawab apakah produk tersebut mengandung kontaminan haram ataukah sudah

seratus persen bebas dari bahan yang dikategorikan non-halal?

Dalam pendeteksian kontaminasi atau pencemaran bahan non-halal dalam

bahan pangan digunakan metode instrumentasi laboratorium untuk analisa bahan

pangan. Jaswir (2009), menyatakan pada saat sekarang metode-metode analisa

untuk verifikasi halal sudah semakin banyak dikembangkan. Namun begitu, setiap

metode yang tersedia tetap memiliki keterbatasan masing-masing. Untuk itu,

metode-metode yang cepat, sensitif, bisa dihandalkan serta terjangkau dalam hal

harga, tetap sangat dibutuhkan untuk tujuan verifikasi ini, serta untuk mendeteksi

komponen-komponen non-halal (misalnya produk-produk turunan babi) di dalam

produk olahan.

Menurut Apriyantono, hal yang paling menyulitkan dalam penentuan halal

tidaknya suatu produk ialah apabila produk yang bersangkutan mengandung

bahan aditif yang dapat berasal dari hewan. Misalnya, bagaimana mengenali asam

lemak atau gliserol yang berasal dari hewani dan yang berasal dari hasil sintesis
kimia. Apalagi jika asam lemak atau gliserol tersebut telah direaksikan lagi

dengan senyawa lain membentuk senyawa baru. Sebagai contoh, monostearin

adalah monogliserida yang dapat dihasilkan dari reaksi antara gliserol dengan

asam stearat (anggap keduanya hasil sintetis kimia), akan tetapi dapat pula berasal

dari hidrolisis trilgiserida lemak hewani. Bagaimana membedakan asal keduanya,

tentu saja tidak mudah, secara fisik jelas tidak bisa sama sekali. Melalui analisis

laboratorium mungkin masih dapat membedakannya pada tingkat tertentu,


14
misalnya dengan mendeteksi adanya isotop C, atau rasio isotop 13C dengan 12C.

Hal ini dapat dilakukan karena gliserol hasil sintesis kimia berasal dari minyak

bumi yang mempunyai komposisi isotop karbon yang berbeda dengan yang

terdapat pada hewan. Walaupun demikian, jelas hal ini memerlukan peralatan

canggih dan keahlian tinggi, apakah Indonesia telah memiliki alat dan keahlian

yang diperlukan? Dalam beberapa hal mungkin dapat dilakukan di Indonesia,

tetapi jelas memerlukan waktu, biaya dan usaha yang besar. Itu baru satu kasus

saja, yang masih mungkin dipecahkan melalui analisis laboratorium. Akan tetapi,

apabila kita ingin membedakan yang mana yang berasal dari minyak nabati dan

mana yang berasal dari lemak hewani, jelas hal ini akan sangat sulit sekali, bahkan

bisa jadi tidak mungkin. Oleh karena itu, analisis laboratorium tidak dapat

dijadikan andalan, hanya pelengkap pada kasus-kasus tertentu saja.

Terlepas dari keterbatasan metode dan instrumen laboratorium untuk

otentifikasi kehalalan, ada baiknya kita mengetahui apa saja instrumen yang bisa

digunakan. Fauzi dan Mas‟ud (2009), membagi metode instumentasi untuk

otentifikasi bahan pangan sebagai berikut:


1. Kromatografi yang bisa dilakukan misalnya dengan metode Gas

Chromatography (GC) dan High Pressure Liquid Chromatography

(HPLC).

2. Spektroskopi yang bisa dilakukan misalnya dengan metode Infra Red

Mass Spectroscopy (IRMS), Fourier Transform Infrared (FTIR)

Spectroscopy, Raman, dan Nuclear Magnetic Resonance (NMR)

spectroscopy.

3. Kromatografi-Spektroskopi yang bisa dilakukan misalnya dengan

metode Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) dan Liquid

Chromatography–Mass spectrometry (LC-MS).

4. Metode Termal yang bisa dilakukan misalnya dengan metode

Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan Thermogravimetric

Analysis (TGA).

5. Enzyme Immunoassay

6. Analisa gen atau DNA

Bahasan kita disini akan dipersempit pada instrumen dengan basis fisiko-

kimia, pendekatan DNA dan sedikit tentang analisa ayam bangkai.

10. 1 Instrumen Fisiko Kimia

Gas Chromatography (GC)

Pengertian kromatografi menyangkut metode pemisahan yang didasarkan

atas distribusi deferensial komponen sampel diantara fasa gerak (cair atau gas)

dan fasa diam (padat atau cair). Kromatografi gas (GC) merupakan teknik
instrumental yang dikenalkan pertama kali pada tahun 1950-an dan merupakan

jenis umum dari kromatografi yang digunakan dalam kimia analitik untuk

memisahkan dan menganalisis senyawa yang dapat menguap tanpa dekomposisi.

Menurut Kealey dan Haines (2002), ada 2 jenis kromatografi gas berdasarkan fasa

gerak dan fasa diamnya, yaitu :

1. Kromatografi gas–cair (KGC) yang fase diamnya berupa cairan

yang diikatkan pada suatu pendukung sehingga solut akan terlarut

dalam fase diam.

2. Kromatografi gas-padat (KGP), yang fase diamnya berupa padatan

dan kadang-kadang berupa polimerik.

Menurut Jaswir (2009), GC biasa digunakan untuk menganalisa komposisi

asam lemak. Lemak babi (lard) berbeda dengan lemak sapi di dalam asam-asam

lemak C20:0, C16:1, C18:3, dan C20:1, dan dengan ayam di dalam asam-asam

lemak C12:0, C18:3, C20:0, dan C20:1. Lemak babi dan ayam berbeda nyata

dalam hal komposisi disaturated dan triunsaturated triacylglycerols (TAGs). GC

juga pernah digunakan untuk melihat kontaminasi minyak sawit dengan

enzymatically-randomized lard (ERLD). Farag et al (1983), menggunakan metode

GC untuk meneliti mentega dan menemukan adanya komponen lemak babi pada

mentega ghee yang dibuat dari lemak sapi dan kerbau. Menurut Fauzi dan Mas‟ud

(2009), GC juga bisa digunakan dalam penentuan kadar alkohol.

Kelemahan GC adalah hanya untuk sampel yang mudah menguap (volatil)

dan harus stabil pada suhu analisis. Volatilitas sampel itu harus mempunyai

tekanan uap yang cukup pada suhu kolom dari alat GC. Kebanyakan sampel
organik tidak cukup volatil sehingga menjadi pembatas untuk penerapan langsung

dari GC. Kelemahan GC juga ada dari segi keterulangan (roproductability), waktu

retensi dan polaritas komponen.

High Pressure Liquid Chromatography (HPLC)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut

dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan teknik

pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa

tertentu dalam suatu sampel. Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan

senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis. KCKT merupakan

metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif

maupun kuantitatif (Rohman 2007).

HPLC bekerja dengan memisahkan molekul berdasarkan perbedaan

afinitasnya terhadap zat padat tertentu. Berbeda dengan GC yang menganalisa zat

volatil, HPLC bisa digunakan untuk zat non-volatil. Menurut Jaswir (2009),

separasi kimia bisa dilakukan dengan HPLC mengingat setiap komponen

mempunyai laju migrasi yang berbeda pada setiap kolom dan fase gerak yang

sama. Karena itu setiap komponen akan memiliki puncak (peak) tersendiri di

bawah kondisi kromatografi tertentu. Komponen yang diidentifikasi dengan

HPLC harus larut dalam pelarut yang juga berperan sebagai fase gerak.

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas komponen pokok yaitu wadah fase

gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan sampel kolom,

detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung penghubung dan suatu

komputer atau integrator atau perekam (Johnson, 1991).


Aplikasi HPLC pada analisa pangan sangat beragam. Untuk karbohidrat,

HPLC bisa digunakan untuk gula dengan titik leleh rendah serta oligosakarida.

Penentuan secara kuantitatif karbohidrat dalam bahan pangan dengan HPLC juga

sudah menjadi standar baku. Untuk lemak atau lipid yang kompleks, yang

memiliki volatilitas rendah serta yang struktur kimianya sensitif terhadap suhu

tinggi, HPLC juga menjadi pilihan terbaik. Kemudian, HPLC juga dapat

digunakan penentuan kadar vitamin dalam bahan pangan. Selain itu, yang juga

banyak dilakukan adalah penggunaan HPLC untuk melihat komposisi asam amino

dalam protein (Jaswir, 2009).

Saeed et al (1989), menggunakan metode ini untuk mendeteksi kandungan

daging babi sebagai campuran pada daging sapi dan daging domba (mutton). Jorfi

et al (2012), juga melakukan penelitian yang hampir sama dengan metoda HPLC

untuk perbedaan daging babi dengan daging sapi, mutton, ayam dan chevon

dengan didasarkan pada perbedaan asam amino utama. Daging babi bisa

dibedakan dengan daging ayam dengan asam amino alanin, serin dan valin

sebagai penandanya. Sedangkan asam amino penanda daging babi dengan hewan

berdaging merah lainnya adalah valin, histidin, dan arginin. Sementara itu

Marikkar et al (2005) menemukan campuran komponen lemak babi pada

beberapa minyak nabati yang terdiri dari minyak sawit atau palm oil (PO), minyak

inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO), dan canola oil (CLO) dengan

berdasar pada rasio triasilgliserol (TAG).


Gas Chromatography–Mass Spectroscopy (GC–MS)

Silamba (2011), menyatakan bahwa GC merupakan alat analisis yang

populer, kuat, cukup murah dan mudah dioperasikan. Campuran yang akan

dianalisa diinjeksikan ke dalam saluran gas inert dan disebarkan pada tabung yang

dilengkapi lapisan padat dengan fase cair. Interaksi absorptif antara komponen-

komponen dalam saluran gas dan lapisan fase diam kolom menyebabkan

terjadinya perbedaan pemisahan campuran komponen-komponen, selanjutnya

komponen tersebut akan dideteksi oleh detektor. Detektor GC, identifikasinya

didasarkan pada waktu retensi di dalam kolom.

Mass spectrometer mengantar material yang diinjeksikan, mengionisasinya

dalam kondisi sangat vakum, mendorong dan memfokuskan ion-ion ini dan hasil

fragmentasi melalui sebuah magnetic mass analyzer, dan selanjutnya jumlah

setiap ion pada detektor dikumpul dan diukur. Mass spectrometer adalah alat yang

sangat baik untuk mengidentifikasi dengan baik struktur dari suatu komponen,

tetapi kurang baik untuk mendeteksi struktur jika komponen terdapat dalam

bentuk campuran.

Penggabungan dua komponen menjadi sebuah bentuk sistem GC-MS

memungkinkan pemisahan campuran menjadi komponen tunggal, yang dapat

diidentifikasi, dan memberikan informasi kuantitatif dan kualitatif dari jumlah dan

struktur kimia setiap komponen. Penentuan struktur molekul sebuah komponen

didasarkan pada berat molekul dan fragmentasi spektra.


Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) mampu mengetahui

kandungan organik yang terdapat dalam makanan. Selain itu, alat ini juga mampu

mengidentifikasi kandungan lemak yang ada dalam makanan sampai spesifik di

ukuran milimikron. Metode GC-MS bisa diaplikasikan untuk analisis senyawa

volatil dari beberapa jenis daging yang telah melalui proses pemasakan.

Wittasinghe et al (2001) melakukan uji kuantitatif terhadap senyawa volatil dari

daging ayam, daging sapi dan daging babi. Penelitian tersebut menunjukkan

jumlah senyawa yang berbeda-beda dari masing-masing daging.

Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy

FTIR merupakan suatu metode spektroskopi infrared (IR) yang dapat

mengidentifikasi kandungan gugus kompleks dalam senyawa tetapi tidak dapat

menentukan molekular unsur penyusunannya. Pada spekroskopi IR, radiasi IR

ditembakkan pada sampel. Sebagian radiasi IR diserap oleh sampel dan sebagian

lainnya diteruskan. Jika frekuensi dari suatu vibrasi sama dengan frekuensi radiasi

IR yang langsung menuju molekul, molekul akan menyerap radiasi tersebut.

Spektrum yang dihasilkan menggambarkan absorpsi dan transmisi molekular

(Huang dan Yasuhisa, 2005)

FTIR spectroscopy bisa digunakan untuk menganalisa beragam bahan

pangan, seperti lemak hewani, coklat, kue serta biskuit untuk mendeteksi

kehadiran bahan pangan tidak halal, seperti lard (lemak babi). Analisa mencakup

karakterisasi dan identifikasi perbedaan profil FTIR. FTIR spectroscopy dengan

analisa kemometrik menawarkan teknik analisa yang sangat cepat, sederhana,

dapat dihandalkan, serta ramah lingkungan untuk mendeteksi dan menentukan


kadar kontaminasi bahan non-halal dalam makanan hingga level yang cukup

rendah (3%). FTIR juga sudah secara sukses digunakan untuk menentukan

beragam parameter kualitas minyak sayuran, seperti nilai iodine, asam lemak

bebas, nilai anisidine, serta nilai peroksida, serta deteksi kehadiran lemak babi

dalam campuran lemak hewani yang lain. Selain itu FTIR juga bisa digunakan

menentukan aflatoksin pada kacang-kacangan serta produk kue berbahan kacang

(Jaswir, 2009).

Microscopic Determinations (Microanalysis)

Dalam metode mikroskopik ini yang digunakan adalah mikroskop

electron. Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Transmission Electron

Microscopy (TEM) menawarkan banyak aplikasi yang memberi peluang inovasi

dalam pengembangan prosedur-prosedur baru untuk sampel-sampel yang tidak

biasa (Jaswir, 2009).

Prinsip kerja SEM mirip dengan mikroskop optik, hanya saja berbeda

dalam perangkatnya. SEM digunakan untuk mengamati morfologi dari suatu

bahan. Prinsipnya adalah sifat gelombang dari elektron yakni difraksi pada sudut

yang sangat kecil. Pertama berkas elektron disejajarkan dan difokuskan oleh

magnet yang didesain khusus berfungsi sebagai lensa. Energi elektron biasanya

100 keV, yang menghasilkan panjang gelombang kira-kira 0,04 nm. Spesimen

sasaran sangat tipis agar berkas yang dihantarkan tidak diperlambat atau

dihamburkan terlalu banyak. Bayangan akhir diproyeksikan ke dalam layar pendar

atau film. Berbagai distorsi yang terjadi akibat masalah pemfokusan dengan lensa

magnetik membatasi resolusi hingga sepersepuluh nanometer (Gabriel, 1985).


SEM berpotensi digunakan untuk analisa produk-produk halal. Sejauh ini,

SEM juga sering dipakai untuk penentuan kehalalan produk-produk dari kulit

(Jaswir, 2009). Mirghani et al (2012), menggunakan SEM untuk membedakan

produk kulit babi, kulit kambing, kulit sapi, kulit domba dan dibandingkan

dengan kulit sintetis yang dalam hal ini adalah polyurethane. Perbedaan antara

produk kulit babi dan kulit sintetis (poliurethane) bisa dilihat pada gambar berikut.

Kulit Babi Polyurethane

Observasi fisik kulit babi dan poliurethane sekilas mirip karena adanya
konfigurasi titik-titik lubang yang membentuk segitiga

Hasil foto mikroskop elektron menunjukkan perbedaan konfigurasi titik-titik


lubang segitiga pada kulit babi dan polyurethane.
Sumber: Mirghani et al (2012)
Electronic Nose (E-Nose) Technology

Alat E-nose atau hidung elektronik bekerja dengan sistem pengenalan

aroma menggunakan sensor hidung elektronik (gas sensor) yang akan

menerjemahkan informasi yang diterima indera penciuman lalu menerjemahkanya

sebagai tingkatan kuat lemahnya bau yang tercium. Electronic Nose buatan dosen

Teknik Elektro ITS, Dr. Muhammad Rivai ST. MT. misalnya, merupakan sebuah

device yang dapat menirukan indra penciuman manusia. Device tersebut mampu

mengenali, mengidentifikasi, dan menganalisa aroma tertentu dengan

memanfaatkan pola-pola algoritma "neural network”. Cara kerja Electronic Nose

adalah mulai dengan memasukkan uap aroma ke dalam sensor device tersebut,

lalu uap akan diekstraksi menjadi komponen penyusun uap yang diatur oleh

sensor Quartz Crystal Microbalance (QCM).

Menurut Jaswir (2009), detektor ini merupakan sebuah teknologi sensor

elektronik yang dapat menyediakan hasil dengan sangat cepat, identifikasi serta

quantifikasi perubahan atmosfir yang disebabkan spesies bahan kimia yang sudah

dikondisikan pada alat tersebut. Penelitian-penelitian banyak menunjukkan bahwa

E-nose sangat berpotensi sebagai alat deteksi untuk kontaminasi bahan non-halal

dalam matriks pangan dengan mengkarakterisasi zat bau (odour), baik yang

sederhana maupun yang kompleks. Instrumen ini sudah terbukti dapat digunakan

untuk alkohol, bahan memabukkan, dan sampai pada tahap tertentu bisa

mendeteksi apakah suatu daging dihasilkan melalui penyembelihan yang sejalan

dengan Islam. Hal ini memungkin lewat pendeteksian retensi darah maupun

jumlah Fe di dalam daging yang baru disembelih. Baru-baru ini, aplikasi medis E-
nose telah banyak dilaporkan, di antaranya digunakan untuk mendeteksi aflatoksin

and mikotoksin. Selain itu, analisa E-nose untuk berbagai parameter kualitas

minyak goreng juga sudah banyak diteliti. E-nose juga sudah digunakan dalam

penentuan tahap kerusakan susu sapi.

Differential Scanning Calorimetry (DSC)

DSC merupakan alat yang mengukur perubahan dari perbedaan aliran

panas pada suatu sampel dan aliran panas tersebut dibandingkan dengan aliran

panas pada zat referensi. DSC bekerja dengan mengukur tingkat aliran panas dan

sifat suhu dari sebuah reaksi atau pun transisi. Pengukuran panas ini tidak hanya

bersifat integral (total) dari reaksi atau pun transisi tetapi juga mengukur panas

parsial dengan menggunakan interval suhu tertentu. Nilai tertentu ini bisa

digunakan untuk evaluasi kinetik dan penentuan kristalitas serta kemurnian

(Hohne, 2003).

DSC sebelumnya banyak digunakan dalam bidang polimer. Profil

thermogram DSC bisa digunakan untuk melihat kehadiran substansi campuran

maupun yang ditambahkan, seperti minyak babi dalam makanan. DSC juga sudah

terbukti sebagai alat analisa yang cepat dan akurat untuk menentukan campuran

minyak babi dalam minyak hewani lainnya. Melalui DSC, titik lebur, cloud point,

serta nilai iodine minyak sawit bisa dideteksi secara kuantitatif. Juga ditemukan

bahwa perbedaan dalam komposisi grup trigliserida (TG) lemak juga bisa dibaca

lewat thermogram DSC. Deteksi lemak hewani pada produk ghee dan mentega

juga sudah dilakukan dengan DSC (Jaswir, 2009).


Teknik ELISA

Menurut Atkin (2006), ELISA atau Enzim-Linked Immunosorbent Assays

telah banyak mengalami modifikasi sejak pertama kali teknik ini diperkenalkan.

Ciri utama ELISA adalah digunakannya enzim (alkalin fosfatase atau peroksidase)

untuk reaksi imunologi. ELISA digunakan pertama kali pada tahun 1969 untuk

deteksi virus. ikatan kovalen antara molekul immonoglobulin dan enzim dapat

digunakan untuk mengamplifikasi reaksi antigen-antibodi. Saat ini prosedur

ELISA ada beberapa metode diantaranya ELISA langsung, ELISA tak langsung

dan ELISA penangkap antigen atau ELISA lapis ganda (sandwich).

ELISA telah digunakan sebagai alat diagnosa dalam dunia kedokteran

maupun patologi tanaman, disamping sebagai salah satu alat untuk mengontrol

kualitas di berbagai industri. Teknik ELISA relatif sederhana untuk dilakukan.

Dalam industri halal, teknik ELISA bisa digunakan mendeteksi turunan produk

dari babi dalam bahan pangan secara kualitatif, seperti di dalam sosis dan berbagai

produk daging lainnya, dengan hasil sangat memuaskan.

Alina et al (2012) menggunakan metode ELISA sandwich pada surimi

untuk mendeteksi penggunaan plasma transglutamilase yang tidak halal. Surimi

merupakan salah satu bentuk produk olahan setengah jadi (intermediate product)

yang berasal dari daging ikan daging ikan lumat yang telah dicuci dengan air dan

dicampur dengan krioprotektan untuk penyimpanan beku. Transglutamilase

sendiri merupakan enzim yang digunakan untuk memperkuat karakteristik gel

surimi. Plasma transglutamilase ini menjadi tidak halal karena berasal dari plasma

babi.
10.2 Pendekatan DNA

DNA bisa disebut sebagai bank data bagi organisme termasuk manusia

karena memuat informasi genetik yang memunculkan sifat organisme. Sifat DNA

yang spesifik untuk individu atau spesies menyebabkannya bisa dijadikan sebagai

penciri. DNA adalah polimer asam nukleat yang tersusun secara sistematis dan

merupakan pembawa informasi genetik yang diturunkan kepada jasad

keturunannya (Yuwono, 2009). Asam deoksiribonukleat atau DNA terutama

ditemukan di dalam inti sel dan juga dapat ditemukan pada mitokondria. Struktur

DNA yang ditemukan oleh Watson dan Crick, terdiri atas dua rangkaian

nukleotida yang tersusun secara linier. Kedua rangkaian yang saling berikatan itu

terbentuk seperti tali berpilin, sehingga molekul DNA dikatakan sebagai double

helix (heliks ganda). Satu rangkaian nukleotida merupakan susunan dari banyak

nukleotida yang diikat satu sama lain oleh ikatan phospodiester, sedangkan kedua

rangkaian nukleotida tersebut direkatkan oleh ikatan hidrogen.

Dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) yang merupakan

suatu metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik dapat menghasilkan

DNA dalam jumlah besar dalam waktu singkat sehingga memudahkan berbagai

teknik lain yang menggunakan DNA (Jaswir, 2009). Pengembangan dari teknik

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah Real-Time PCR, yang menghasilkan

senyawa berflourensi sehingga sangat peka (Sudjadi, 2008). Keunggulan teknik

Real-Time PCR dibandingkan dengan teknik PCR konvensional antara lain

akurasi dan sensitivitas yang lebih tinggi, proses amplifikasi dan deteksi

dilakukan secara cepat, menurunkan kemungkinan terjadinya kontaminasi dan


waktu analisa yang lebih singkat karena tidak perlu dilakukan elektroforesis

(Liyana et al, 2009). Selain itu ada juga variasi teknik PCR seperti PCR

Multiplex, PCR-RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dan PCR-

RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).

Teknik PCR dalam industri halal dapat digunakan untuk verifikasi,

sertifikasi (pengesahan), maupun untuk monitoring kebanyakan protein hewani

dan produk-produk berkaitan untuk kegunaan authentikasi halal secara efisien dan

efektif. Teknik ini juga banyak digunakan untuk deteksi kehadiran produk

Genetically Modified Organism (Jaswir, 2009).

Penggunaan teknik PCR yang sering diteliti adalah untuk mendeteksi

DNA babi pada produk daging. Sahilah et al (2011), menganalisis cemaran daging

babi dan celeng dengan menggunakan DNA mitokondria (mtDNA) dan

menyimpulkan bahwa metode ini bisa melacak cemaran daging babi dengan cepat

pada produk daging. Erwanto et al (2011), mengemukakan bahwa teknik PCR-

RFLP bisa mengidentifikasi DNA babi pada produk berupa daging campur (meat

mixture products berupa sosis sapi dan nugget ayam) yang telah dimasak.
o
Ternyata pemasakan dengan suhu 160-170 C selama 5 menit tidak

menghancurkan DNA babi. DNA tersebut masih dapat diisolasi dan dianalisa.

Selain daging babi, teknik PCR juga digunakan untuk mendeteksi cemaran

daging tikus. Primasari (2011), menggunakan multipleks PCR pada gen sitokrom

b (cyt b) tikus untuk mendeteksi cemaran daging tikus pada produk daging.

Hasilnya Gen cyt b sensitif sebagai marka spesifik untuk tikus dibuktikan dengan

terdeteksinya DNA tikus pada level campuran 1% dengan persentase keberhasilan


dan ketepatan amplifikasi 100%. Cemaran tikus pada bakso sudah dapat terdeteksi

pada level cemaran 1%, sedangkan pada abon mulai dapat terdeteksi pada level

cemaran di atas 2.5%.

10. 3 Analisa Ayam Bangkai

Rasa-rasanya istilah ayam tiren sudah tidak asing di telinga kita. Ayam

tiren alias mati kemaren yang berarti ayam mati disembelih kemudian dagingnya

diperdagangkan jelas merupakan produk haram dan berbahaya dari segi

kesehatan. Masalah selanjutnya adalah untuk identifikasi ayam bangkai ini

penilaian organoleptik atau pun penilaian secara visual bisa misleading atau salah.

Metode objektif pun harus dikembangkan untuk mengetahui perbedaan

daging yang disembelih dengan cara Islam dengan yang tidak. Berdasarkan pada

penelitian Razali (2007), yang meneliti perbedaan antara daging ayam bangkai

dengan ayam yang disembelih secara halal, ada dua penilaian yang bisa dijadikan

penciri dari daging ayam bangkai. Penilaian tersebut adalah dengan metode

biologis dan nilai impedansi.

Metode biologis yang dapat dijadikan indikator pembeda antara daging

ayam bangkai dan bukan bangkai adalah persentase degenerasi dan nekrosa, jarak

antar serabut otot, gambaran pembuluh darah arteri dan vena serta tingkat

eksudasi jaringan, kemudian nilai keempukan, nilai kecerahan (L*) dan

kemerahan (a*) daging.

Dengan pengamatan mikroskopis, pada ayam bangkai terjadi degenerasi

dan nekrosa yang ditandai perubahan serabut otot dari bentuknya yang poligonal
menjadi membulat dan adanya pembentukan rongga di sitoplasma. Daging ayam

yang berasal dari hasil penyembelihan halal memiliki struktur dan integritas

serabut otot yang masih utuh. Sedangkan daging ayam bangkai struktur serabut

ototnya telah mengalami dissosiasi dan jarak antar serabut otot terlihat lebih lebar

dengan kondisi dissosiasi yang lebih berat.Pada pembuluh darah ayam bangkai

dipenuhi oleh darah yang diakibatkan tidak terjadinya pengeluaran darah dari

pembuluh (bled out) secara sempurna pada saat pemotongan sementara ayam

yang disembelih dengan cara halal pembuluh darahnya kosong yang berarti

sebagian besar darah telah keluar pada saat pemotongan.

Eksudasi disebabkan oleh keluarnya cairan darah lewat pembuluh darah ke

jaringan. Pada otot dada dan otot paha ayam halal tidak terdapat banyak eksudasi

baik di daerah antar serabut otot maupun di jaringan penunjang. Ini memberikan

gambaran bahwa dengan dilakukan pemotongan ayam secara benar dan berasal

dari ayam yang sehat, maka darah tidak akan tertahan di dalam sistem sirkulasi

dan secara deskriptif dapat dikatakan bahwa eksudasi yang terjadi pada ayam

halal hanya terlihat kurang dari 5% sementara ayam bangkai mencapai 50 %.

Hasil pengujian terhadap nilai keempukan menunjukkan bahwa pada setelah 9

jam postmortem tekstur daging paha ayam bangkai menjadi semakin lunak,

sedangkan tekstur daging paha ayam halal bersifat lebih kompak.

Pengukuran warna sistem Commission International d‟Eclairage (CIE)

didasarkan pada penginderaan warna oleh mata manusia. Diyakini bahwa mata

mengandung tiga reseptor yang peka terhadap cahaya yaitu reseptor merah, hijau,

dan biru. Dalam teori pengukuran warna ini, dianggap bahwa ada tahap
pengalihan sinyal-sinyal antara reseptor cahaya dalam retina dan saraf optik yang

mengantar sinyal warna ke otak. Dalam mekanisme pengalihan ini tanggapan

merah dibandingkan dengan hijau dan menghasilkan dimensi warna merah ke

hijau. Kemudian tanggapan kuning dibandingkan dengan biru menghasilkan

dimensi warna kuning ke biru. Ke dua dimensi warna ini dinyatakan dengan

lambang a* dan b*. Dimensi warna ke tiga ialah keterangan atau kecerahan yang

dilambangkan dengan L*. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kecerahan

(L*) daging dada yang berasal dari ayam halal lebih tinggi dari angka kecerahan

(L*) daging dada ayam bangkai. Terhadap nilai kemerahan (a*) secara

keseluruhan dapat dinyatakan bahwa daging dada ayam bangkai lebih merah

dibandingkan dengan daging dada ayam halal.

Peneliti menulis bahwa menurut (Sylvia 1999), IMPEDANSI dapat

didefinisikan sebagai suatu hambatan terhadap aliran arus listrik yang mengalir

ketika aliran listrik tersebut melewati suatu material penghantar. Pengukuran nilai

impedansi dianggap dapat digunakan dengan asumsi bahwa daging dari ayam

bangkai diduga memiliki perbedaan nilai hambatan aliran listrik dibandingkan

dengan daging dari ayam bukan bangkai akibat adanya perbedaan perubahan fisik

dan kimiawi yang terjadi antara kedua jenis daging ini. Pada daging ayam bangkai

nilai impedansi lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai impedansi pada

daging ayam halal. Nilai impedansi daging dada pada ayam halal berkisar antara

1.6 sampai 1.9 ohm sedangkan pada ayam bangkai adalah 1.2 ohm.

Untuk deteksi ayam tiren sehari hari kita bisa mengikuti ciri-ciri ayam

tiren yang dikemukakan oleh Nareswari (2006), bahwa ayam tiren berwarna
kemerahan di hampir seluruh dagingnya, sedangkan daging ayam normal

berwarna keputihan. Tekstur daging ayam tiren lebih lunak dibandingkan dengan

ayam normal. Bau anyir (amis) pada daging ayam tiren sangat menyengat karena

telah terjadi dekomposisi beberapa komponen menjadi NH3 dan H2S sehingga

menimbulkan bau busuk. Pada permukaan daging ayam tiren terdapat lendir yang

menunjukkan tingginya jumlah mikroba pada daging.

Pustaka

Alina, A.R., M.A. Nur Illiyin, J. Juriani, Y. Salmah, A.S. Mashitoh dan A.K.
Imtinan. 2012. Detection of Non-Halal Plasma Transglutaminase in
Selected Surimi-Based Products by using Sandwich ELISA Method.
World Applied Sciences Journal 17 : 39-44, 2012

Apriyantono, A. Masalah Halal: Kaitan Antara Syar‟i, Teknologi dan Sertifikasi.


Available on line at http://pagihp.tripod.com/hal2.htm

Atkin, H.A. 2006. Virologi Tumbuhan. Kanisius. Yogyakarta.

Erwanto, Y., M. Z. Abidin, A. Rohman, & Sismindari. 2011. PCR-RFLP Using


BseDI Enzyme for Pork Authentication in Sausage and Nugget Products.
Media Peternakan, April 2011, hlm. 14-18

Gabriel BL. 1985. SEM: A user‟s Manual for Materials Science. Packer
Engineering Associate, Inc. Ohio.

Hohne, G.W.H., W.F Hemminger dan H.J. Flammersheim. 2003. Differential


Scanning Calorimetry. Springer Verlag. Berlin.

Huang, H. L, Yasuhisa, S. 2005 Filtration Characteristics of Polysulfone


Membrane Filters, Journal Aerosol Science 11:1-11.

Johnson EL, Robert S., 1991. Dasar Kromatografi Cair. Bandung: Penerbit ITB.
Bandung.

Jorfi, R., S. Mustafa, Y.B Che Man, D.B.M Hashim, A.Q. Sazili, A.S Farjam, L.
Nateghi dan P. Kashiani. 2012. Differentiation of pork from beef, chicken,
mutton and chevon according to their primary amino acids content for
halal authentication. African Journal of Biotechnology Vol. 11(32), pp.
8160-8166, 19 April, 2012

Kealey, D and Haines, P.J., 2002, Instant Notes: Analytical Chemistry, BIOS
Scientific Publishers Limited, New York.
Liyana, K.F., M. Shuhaimi, Y.B. Che Man, A.Q. Sazili, A.A. Aida, dan A. R.
Raha. 2009. Porcine Specific Real-time Polymerase Chain Reaction (PCR)
for Halal Verification. Proceedings on the 3rd IMT-GT International
Symposium on Halal Science and Management 19-23. Universiti Putra
Malaysia. UPM. Malaysia.

Marikkar, J.M.N. Ghazali, H.M., Che Man, Y.B., Peiris, T.S.G., and Lai, O.M.
Distinguishing lard from other animal fats in admixtures of some vegetable
oils using liquid chromatographic data coupled with multivariate data
analysis. Food Chem. 2005, 91: 5-14.

Mirghani, M.E.S., H.M. Salleh, Y.B. Che Man, I. Jaswir. 2012. Rapid
Authentication of Leather and Leather Products. Advances in Natural and
Applied Sciences, 6(5): 651-659, 2012.

Nareswari, A.R. Identifikasi Dan Karakterisasi Ayam Tiren. Skripsi. Institut


Pertanian Bogor. Bogor.

Primasari, A. 2011. Sensitivitas Gen Sitokrom B (cyt b) Sebagai Marka Spesifik


Pada Genus Rattus dan Mus Untuk Menjamin Keamanan Pangan Produk
Asal Daging. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Razali. 2007. Penggunaan Metode Biologis Dan Nilai Impedansi Untuk Deteksi
Daging Ayam Bangkai. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Rohman A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Saeed, T., Ali, S.G., Rahman, H.A., and Sawaya, W.N. Detection of pork and lard
as adulterants in processed meat: liquid chromatographic analysis of
derivatized triglycerides. J. Assoc. Off. Anal. Chem. 1989, 72(6): 921-925.

Sahilah, A.M., Y. Norhayati, A.S Norrakiah, A. Aminah, dan W.M.W Aida.


2011. Halal authentication of raw meats using PCR amplification of
mitchondrial DNA. International Food Research Journal 18(4): 1489-1491

Silamba, I. 2011 Identifikasi Profil Aroma Dua Varietas Nanas Dan Hasil
Silangannya Menggunakan Kromatografi Gas-Spektrometer Massa Dan
Kromatografi Gas-Olfaktometri Serta Uji Mutu Sensorinya. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudjadi. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Kanisius. Yogyakarta.

Wittasinghe, M., Vasanthan, T., Temelli, F., and Swallow, K. Volatile flavor
composition of cooked by product blends of chicken, beef, and pork: a
quantitative GC-MS investigation. Food Research International. 2001, 34:
149-158.

Yuwono, T. 2009. Biologi Molekular. Jakarta: Erlangga


11. Epilog

Di penutup buku ini penulis ingin kembali pada wacana awal buku ini

tentang industri pangan halal sebagai emerging global trend yang sekaligus

menjadi emerging global market. Di depan telah dipaparkan bagaimana pangan

halal dikaitkan dengan demografi masyarakat muslim. Mengingat luas sebaran,

tingkat perkembangan serta nilai ekonomi pasar pangan halal, penulis melihat

bahwa konsep pangan halal tidak lagi menjadi konsep yang dimiliki oleh orang

muslim an sich, tapi konsep ini pun harus dimiliki oleh orang non-muslim yang

bergelut dengan produksi pangan.

Pangan halal sebagai emerging global market pun telah bergerak menjadi

emerging quality system sehingga bagi siapa pun yang menginginkan bisnis

dengan masyarakat muslim, penguasaan konsep halal sebagai mutu atau kualitas

menjadi mutlak dan akan sebanding dengan keuntungan yang diberikan oleh pasar

pangan halal. Keuntungan ini pun tidak akan menghalangi keuntungan dari

konsumen non-muslim sebab semua produk pangan halal bisa dikonsumsi oleh

orang non-muslim.

Sebagai bagian kualitas, terutama Indonesia yang notabene penduduknya

mayoritas muslim, pangan halal menjadi determinan bagi pilihan konsumen.

Industri harus paham betul tentang tatalaksana pangan halal dan hal ini tentu akan

berimbas pada kebutuhan sumber daya manusia yang mumpuni untuk

melaksanakan konsep pangan halal di tingkat industri tersebut. Tanpa adanya


kecakapan sumber daya manusia, maka konsep pangan halal tidak akan berjalan

dengan sepadan.

Pabrik sumber daya manusia ini tidak lain dan tidak bukan adalah institusi

pendidikan. Lebih spesifik lagi perguruan tinggi dengan jurusan ilmu pangan. Di

titik inilah penulis sarankan kepada institusi pendidikan yang berkelindan dengan

ilmu pangan untuk menjadikan pangan halal sebagai emerging course in food

science. Saya harap pangan halal bisa masuk pada kurikulum ilmu pangan,

sehingga mahasiswa pangan baik muslim atau pun non-muslim tidak hanya

mengetahui tentang apa fungsi bahan pangan tapi juga tahu darimana sumber dan

bagaimana bahan pangan tersebut diproses secara halal.

Wallohu‟alam

Anda mungkin juga menyukai