Anda di halaman 1dari 5

Resensi: Sang Pencerah,

Mengenal Pendiri
Muhammadiyah
Oleh Oleh Asep Saefudin PhD *)  Jumat, 17 September 2010 16:22 WIB

(ANTARA News/Ist)
Jakarta (ANTARA News) - Sebagai orang yang pernah menimba ilmu agama
di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Muhammadiyah dan alumnus SD
Muhammadiyah di Garut (1964-1969), saya tertarik melihat film Sang
Pencerah (SP) garapan Hanung Bramantyo. Sineas muda yang juga
menggarap AAC (Ayat Ayat Cinta) ini memang patut diacungi jempol.

Muhammadiyah sejak pendiriannya memang didedikasikan untuk dunia


pendidikan dan kesehatan. Jadi, wajar kalau saat ini kita temukan pendidikan
dasar, menengah dan tinggi Muhammadiyah di Nusantara ini. Dan di
kompleks pendidikan Muhammadiyah itu selalu ada BKIA (Balai Kesehatan
Ibu dan Anak) dan PA (Panti Asuhan).

Secara keseluruhan film SP itu sangat bagus ditinjau dari segi kandungan,
alur cerita, seni penataan musik, dan segi perfilman lainnya. Paling tidak,
sebagai orang awam-film, saya dapat menikmati nonton film SP, mampu
memberikan atensi terhadap film tersebut, duduk dengan tenang.

Muhammad Darwis (nama KH Ahmad Dahlan) sebelum ke Mekkah) selalu


bertanya di dalam hatinya. Mengapa agama yang diyakininya
sebagai rahmatan lilalamin (rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam) justru
tidak nampak.

Secara fakta banyak sekali masyarakat yang terlantar dan seakan-akan


dibiarkan oleh para pemuka agama. Orang-orang miskin dibiarkan melarat
seakan sudah menjadi takdir mereka, nyata-nyata di hadapan masjid.
Kesehatan masyarakat sangat rapuh. Tidak ada yang tergerak hatinya untuk
memperbaiki hidup dan kehidupan mereka.

Para pemuka agama dan pengikutnya tidak terusik dan sibuk dengan ritual
keagamaan. Setiap hari mereka sholat berjamaah, sementara masyarakat
miskin di sekitar masjid sudah kehilangan harapan hidup. Situasi demikian
kontras, dan dari hari ke hari semakin banyak jumlah.
Pemahaman agama juga bercampur aduk dengan kepercayaan mistik
berlebih-lebihan. Sesajen berbagai jenis makanan terbuang begitu saja.
Sangat mubah. Upacara tahlilan sangat berlebihan. Bahkan mereka yang
sudah kehilangan saudaranya juga harus melaksanakan tahlilan yang
overdosis, membuat masyarakat menjadi sedih lahir dan batin.

Masyarakat menganggap bahwa tahlilan adalah kewajiban agama. Darwis


merasa yakin bahwa ini bukan esensi beragama. Pasti ada kesalahan
pemahaman terhadap agama yang sebenarnya untuk rahmatan lilalamin.

Bila sebuah kebiasaan lalu dibungkus dengan kepercayaan sebagai sesuatu


yang sakral, maka kebiasaan itu dianggap sebuah kebenaran. Keluar dari
kebiasaan itu berarti pelanggaran.

Orang lain akan menganggap mereka yang tidak sama kebiasaannya


bukanlah kelompoknya, bukan orang-orang beriman alias kafir. Situasi ini
dimanfaatkan oleh penguasa (penjajah), bila menguntungkan maka akan
diteruskan dan dilindungi seolah-olah inilah ajaran Tuhan yang wajib ditaati.

Bila kebiasaan ini mengusik kenikmatan atasan (pemimpin umat, pemerintah,


penjajah) maka itu harus dimusnahkan. Keadaan bercampur aduk dengan
pimpinan agama yang vested dan mudah memberi cap kafir bagi mereka
yang tidak sepaham. Itulah secara umum yang terjadi di sekitar
Ngayogyakarta pada saat itu.

Cap kafir ini sangat mujarab sehingga orang tidak ada yang mempertanyakan
kekeliruan ini terus terjadi. Para pengikut agama yakin seyakin yakinnya
bahwa perilaku kafir adalah sebesar-besarnya dosa. Jadi, harus dijauhi.

Tetapi mereka banyak yang tidak paham makna iman, musyrik, mistik, sholat,
ibadah, kafir, dan sesajen campur baur menjadi kepercayaan seakan
kebenaran ajaran yang wajib ditaati. Tanpa reserve.

Ketika Darwis membahas semua itu dengan ayahandanya yang diperankan


oleh Ikrangera, sang ayah tidak sepenuhnya menerima. Dikatakannya bahwa
agama itu bukan soal akal saja, tetapi juga harus dengan hati.

Pernyataan ini ada benarnya, tetapi hati yang bagaimana dulu? Hati yang
sudah dilumuti kesenangan duniawi, kedudukan, kepangkatan, kewibawaan,
tentunya akan memelihara kebiasaan yang dibungkus dengan kepercayaan
yang seolah-olah agung. Tidak jarang hati seperti ini justru telah mengikat kita
dengan ketamakan duniawi. Kita tidak lagi menjadi bebas, tetapi terperdaya
oleh hawa nafsu.

Muhammad Darwis tetap tidak bisa menerima situasi demikian. Tetapi


bagaimana caranya? Inilah yang menjadi esensi perjuangannya. Darwis lalu
pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah al Mukaramah. Di sanalah Darwis
sempat membaca pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh.

Muhammad Abduh (1849-1905) pemikir modern dari Mesir yang menekankan


betapa pentingya akal. Seperti yang dituangkan di dalam Surah Al-Baqarah
(30-34) tentang kejadian manusia, jelas sekali bahwa kelebihan manusia di
atas makhluk hidup lainnya adalah karena kekuatan akalnya. Akal-fikiran
itulah yang membuat manusia layak menjadi khalifatul-fil-ardli (pemimpin di
muka bumi).

Abduh mengajarkan bahwa manusia diberikan anugerah intelegensia oleh


Allah, untuk dipergunakan. Manusia bukanlah kerbau yang ditusuk hidungnya
lalu mengekor ke mana saja maunya pimpinan.

Abduh berprinsip bahwa kebebasan berpikir untuk selalu bertanya dan


berinovasi adalah modal kemajuan sebuah negara. Negara maju, menurut
Abduh, adalah negara yang pandai menggunakan otaknya.

Dengan demikian, ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai dengan


kemajuan zaman. Itulah kelebihan orang Barat ketimbang Timur. Dalam
konteks ini barangkali Abduh berpendapat "saya melihat Islam di negara
Barat, tetapi sedikit Muslim. Dan saya melihat banyak Muslim di Timur, tetapi
tidak ada Islam".

Abduh juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh dari kalangan Nasrani dan
Yahudi.

Rupanya pemikiran Abduh sejalan dengan apa yang dipikirkan Darwis. Tidak
heran kalau Darwis sering berpendapat bahwa guru agama bukanlah yang
menentukan segalanya. Kebenaran harus bersama-sama dicari, bukan hanya
milik guru.

Pola pendidikan ini tentu sangat berbeda diametral dengan yang selama ini
dianggap kebenaran di Ngayogyakarta, yakni petuah guru adalah kebenaran.
Murid hanya boleh mengikuti, tanpa ada bantahan sedikitpun.

Seperti kebiasaan masa itu, orang Indonesia yang pergi berhaji, lalu
mendapat nama baru. Begitupun Darwis, namanya jadi Ahmad Dahlan (AD).
Dengan bekal nalar yang kuat ditambah pengetahuan agama yang semakin
banyak selama di Makkah al-Mukaramah, AD semakin memiliki modal untuk
melakukan perubahan.

Sepulang dari Mekah, AD dijadikan Imam Masjid di Kauman dan berhak


memberikan tausiah. Ceramah-ceramahnya agak berbeda dengan para kiai
umumnya waktu itu yang sangat menekankan penerimaan tanpa banyak
bertanya, AD justru menekankan betapa pentingnya akal.

Bertanya dan diskusi adalah modal awal untuk maju. AD juga mengajarkan
bahwa Al-Qur'an dapat dikaji sesuai dengan nuansa ke kinian, tidak statis tapi
dinamis. Tentu saja tausiah model ini cukup membuat para kiai saat itu
merinding, karena sudah keluar dari pakem.

Dengan bekal pengetahuannya tentang ilmu bumi dan penggunaan kompas,


AD mempertanyakan arah sholat yang sudah bertahun-tahun diterima
sebagai suatu kebenaran. Inipun membuat hampir semua jamaah terutama
para kiainya tersinggung. Mereka tidak mau menerima penjelasan berbasis
ilmu pengetahuan yang dipakai AD.

Inilah barangkali yang ada di dalam salah satu ayat Surah Al-Baqarah
'tertutuplah mata dan hatinya, sehingga mereka tidak mau belajar'.

Ahmad Dahlan bependapat bahwa penggunaan alat dan ilmu pengetahuan


adalah bagian dari proses modernisasi. Akan tetapi tidak semudah
membalikkan tangan untuk meyakinkan mereka yang sudah larut dengan
kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar. Kala itu modernisasi bahkan bisa
dicap sebagai langkah menuju ke kafir atau meniadakan Tuhan. Dus,
modernisasi lebih berat dari tabu! Harus dijauhi.

Karena perbedaan yang dianggap prinsipil, maka AD diberhentikan dari


jabatan Imam mesjid. Dan AD membuat mesjid kecil sekalian dipergunakan
untuk belajar mereka yang mulai berpikir terbuka. Para muridnya memanggil
kiayi, lengkapnya Kiai Haji Ahmad Dahlan (KHAD).

Pola pengajiannya sangat berbeda dengan kebiasaan saat itu. Ketika ada
beberapa orang muda tertarik dengan pemikiran KHAD bertanya apa itu
agama. KHAD malah memainkan biolanya yang membuat orang-orang muda
menjadi tenang mendengar kesyahduannya.

Lalu biola itu diberikan kepada salah seorang pemuda dan diminta
memainkannya. Keruan saja suaranya menjadi berantakan, karena pemuda
itu tidak punya ilmu dan keahlian memainkan biola.

Seusai itu KHAD menerangkan makna agama 'Agama bagaikan musik indah
yang mampu memberikan kesyahduan, ketenangan, dan kebahagiaan. Tetapi
harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan, kalau tidak malah bisa menjadi
kacau dan jadi bahan tertawaan'.

Perjuangannya semakin mendapat tantangan dan tidak jarang KHAD


dikategorikan orang kafir. Akan tetapi KHAD semakin "keukeuh" bahwa
perubahan harus dilakukan.
Maka KHAD mempelajari organisasi-organisasi modern yang mengajak pada
perubahan, terutama Budi Utomo. Dari situ muncullah inspirasi pendirian
Muhammadiyah. Maka lahirlah Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember
1912, sebagai perserikatan non-politik.

Berbasis perjuangan melalui pendidikan dan kesehatan Muhammadiyah terus


berkembang secara kuantitatif. Secara kualitatif, Muhammadiyah harus mulai
introspeksi, karena tantangan zamannya juga semakin kompleks.

Tanpa harus berubah menjadi sebuah partai, Muhammadiyah bisa dengan


tegar memberikan masukan kepada penyelenggara negara. Yang jelas, titipan
KHAD harus terus dipegang "hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan mencari
penghidupan dari Muhammadiyah". Insya Allah. (***)

Anda mungkin juga menyukai