Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis untuk melakukan

penelitian. Dengan adanya penelitian terdahulu dapat memperkaya penulis untuk

mengkaji penelitian yang dilakukan. Penulis mengangkat beberapa penelitian

sebagai reverensi dan menjelaskan tentang relevansi antara penelitian terdahulu

dengan penelitian saat ini. Berikut merupakan penelitian terdahulu yang diamil dari

skripsi maupun jurnal terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

Tabel 1. Penelitian Terdahulu

No Nama dan Judul Hasil Relevansi

1. Kurnia Fahmi Hasil dari penelitian 1. Relevansi


Astutik dan terdahulu ialah. anatara
Sarmini (Vol 3, Penelitian ini bertujuan penelitian
No 1, 2014) mengungkapkan tentang terdahulu
Budaya Kerapan budaya Kerapan Sapi dengan
Sapi Sebagai Madura sebagai salah penelitian saat
Modal Sosial satu Budaya asli Madura ini adalah.
Masyarakat yang penting untuk Kedua
Madura Di dilestarikan. Budaya penelitian ini
Kecamatan Kerapan Sapi masih menjelaskan
Sepulu terus bertahan hingga tentang
Kabupaten saat ini karena Budaya solidaritas
Bangkalan. Kerapan Sapi dapat masyarakat
menciptakan solidaritas. Madura
Proses terbentuknya sehingga
solidaritas dalam tradisi kerapan
Budaya Kerapan Sapi sapi dapat
melalui unsur-unsur tetap

14
tertentu. Budaya dilestarikan
Kerapan Sapi sebagai dan informan
modal sosial masyarakat yang diteliti
Madura dapat terbentuk sama-sama
melalui 3 aspek penting, pemilik sapi,
yaitu pertama, aspek masyarakat
penyelenggaraannya yang paham
yang terbagi atas tiga tentang asal
tahapan yaitu persiapan, usul tradisi
pelaksanaan, dan setelah kerapan sapi
pelaksanaan. Kedua, dan para joki
aspek pihak yang terlibat kerapan sapi.
yang meliputi: pemilik
sapi kerapan, joki,
pengibar bendera besar,
dan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata
Kabupaten Bangkalan.

2 Amelia Pratiwi Hasil dari penelitian 1. Relevansi


dan Dwiyani terdahulu ialah dengan
Sudaryanti (Vol Penelitian ini bertujuan penelitian saat
10, No1, 2016) untuk memaknai dan ini adalah sama-
Akuntansi menggambarkan arti dari sama
Karapan Sapi seni budaya Karapan menjelaskan
Pada Masyarakat Sapi pada masyarakat tradisi kerapan
Madura Dengan Madura yang sering kita sapi bagi
Pendekatan jumpai di agenda acara masyarakat
Etnografi tahunan di Madura. Madura.
Karapan Sapi adalah 2. Namun di
budaya asli dari tanah dalam kedua
Madura yang merupakan penelitian ini
perlombaan pacuan sapi terdapat
dimana sepasang sapi perbedaan jika
yang menarik kereta dari dalam
kayu (tempat joki berdiri penelitian
dan mengendalikan terdahulu lebih
pasangan sapi tersebut) fokus kepada
dipacu dalam lomba adu ekonominya,
cepat melawan seperti
pasangan-pasangan sapi kompensasi
lain). Sebagai bentuk bagi
suatu paguyuban parapemilik
tentunya paguyuban sapi,
tersebut menjadi payung pengeluaran
bagi paguyuban Karapan danauntuk

15
Sapi ini membutuhkan membeli
pengetahuan dan laporan sepasang sapi
akuntansi untuk agenda- kerap dan dana
agenda selanjutnya. yang
Penelitian ini dikeluarkan
menggunakan untuk merawat
pendekatan etnografi. sepasang sapi
Data diperoleh dari tersebut. Tapi
informan yang jika di
merupakan penduduk penelitian saat
asli dari tanah Madura, ini lebih fokus
melalui wawancara ke acara
mendalam, dokumentasi kerapan sapi
dan pengamatan dan keterlibatan
langsung. tokang taro
dalam kerapan
sapi.

3 Buyung Pambudi Hasil dari penelitian 1. Relevansi


(Vol 5, No 1, terdahulu ialah dengan
2015) Semiotika mendiskusikan penelitian saat
Karapan Sapi transformasi simbolik ini ialah, sama-
dan Transformasi karakter masyarakat sama
Simbolik Madura melalui karapan menjelaskan
Masyarakat sapi, yang dikenal keras tentang tradisi
Madura. menjadi antikekerasan. kerapan sapi di
studi ini menyatakan Madura.
bahwa telah terjadi 2. Namun di
perubahan karakter dalam kedua
masyarakat Madura, penelitian ini
yang ditampilkan terdapat
melalui perubahan perbedaan jika
symbol-simbol yang ada pada penelitian
di karapan sapi. Hal ini terdahulu
dapat dilihat dari menjelaskan
dihilangkannya larangan akan
penggunaan rekeng kekerasan dan
sebagai simbol tanpa ada
kekerasan dalam keterlibatan
karapan sapi, dan diganti tokang taro
dengan pecut biasa yang dalam kerapan
dibuat dari bahan tidak sapi, tapi jika di
tajam. Demikian itu, penelitian ini
merupakan inisiatif para yang lebih
tokoh masyarakat, tokoh dikaji adalah
adat, tokoh agama, dan keterlibatan

16
pemerintah untuk langsung
mengubah pelaksanaan tokang taro
karapan sapi, tanpa dalam tradisi
kekerasan. kerapan sapi.

4 Bambang Hasil dari penelitian 1. Relevansi


Badriyanto (Vol terdahulu ialah Aduan dengan
2, No 2, 2012) sapi adalah bentuk penelitian saat
Aduan Sapi Di laga antara dua ekor ini adalah,
Bondowoso sapi jantan yang sama-sama
Antara Tradisi, dipandu oleh dua orang membahas
Judi, Dan Politik. seler dan merupakan tradisi kerapan
ciri khas di Madura. sapi dan tokang
Penyelenggaraan aduan taro (judi).
sapi pada awalnya Dimana para
sebagai hiburan namun tokang taro
dalam perkembangannya (judi) sudah
berubah menjadi melekat pada
arena perjudian. Hal setiap masing-
itu merupakan bentuk masing individu
pembiasan oleh para dan pada acara
penggemarnya. kerapan sapi
Pergeseran dari tradisi tokang taro
menjadi judi dalam (judi) datang
aduan sapi sebenarnya untuk benar-
lebih banyak benar
dipengaruhi oleh menyaksikan
karakteristik etnik kerapan sapi
orang Madura yang atau bahkan
bersifat keras, hanya untuk
temperamental, dan taroan (judi)
suka bersaing. Predikat saja.
agamis yang melekat
pada identitas etnik
orang Madura tidak
mampu mencegah
praktik perjudian yang
telah merasuk dalam
aduan sapi. Terjadi
hubungan saling
tergantung antara
aduan sapi, perjudian,
dan pemerintah sebagai
pemegang otoritas dan
legalitas. Aduansapi
tanpa judi akan

17
kehilangan penonton dan
tanpa penonton
pemerinah tidak
memperoleh dana dari
pajak tontonan.

Dari beberapa penelitian terdahulu diatas maka akan dapat dikaitkan dengan

penelitian saat ini sebagai referensi bagi peneliti sehingga dapat mempermudah

peneliti melakukan penelitian yang terkait dengan judul skripsi “Keterlibatan

Tokang Taro Dalam Tradisi Kerapan Sapi Bagi Masyarakat Madura.

2.2 Tinjauan Pustaka

2.2.1 Definisi Keterlibatan

Keterlibatan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda

sehingga keterlibatan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau

semua benda dan segala yang di bendakan. Zaichkowsky (1985) seperti

dikutip Japarianto dan Sugiharto (2013) mendefinisikan keterlibatan

sebagai hubungan seseorang terhadap sebuah objek berdasarkan kebutuhan,

nilai, dan ketertarikan.

2.2.2 Tokang Taro (Judi) Dalam Kerapan Sapi

Penyelenggaraan aduan sapi pada awalnya sebagai hiburan namun

dalam perkembangannya berubah menjadi arena perjudian. Hal itu

merupakan bentuk kebiasaan oleh para penggemarnya. Pergeseran dari

tradisi menjadi judi dalam aduan sapi sebenarnya lebih banyak dipengaruhi

oleh karakteristik etnik orang Madura yang bersifat keras, temperamental,

18
dan suka bersaing. Predikat agamis yang melekat pada identitas etnik orang

Madura tidak mampu mencegah praktik perjudian yang telah merasuk

dalam aduan sapi. Terjadi hubungan saling tergantung antara aduan sapi,

perjudian, dan pemerintah sebagai pemegang otoritas dan legalitas. Aduan

sapi tanpa judi akan kehilangan penonton dan tanpa penonton pemerintah

tidak memperoleh dana dari pajak tontonan.

Secara faktual aduan sapi tidak dapat dipisahkan dengan judi. Setiap

diselenggarakan aduan sapi selalu dipadati penonton. Pada saat sapi

bertarung, suasana di sekeliling arena yang tertutup oleh atap sangat ramai

suara orang saling berteriak mencari lawan taruhan, persis separti suasana

di pasar lelang. Sebagian besar penonton yang berjumlah antara 200-300

orang adalah petaruh, dan beberapa di antaranya wanita. Mengadu sapi pada

dasarnya sama halnya dengan mengadu gengsi. Gengsi dan judi telah

menyatu di dalam peristiwa aduan sapi. Taruhan adalah bentuk manifestasi

dari gengsi. Kalah dalam bertaruh dianggap terhormat dalam

mempertahankan harga diri. Orang Madura mengatakan, todus mon ta’

taroan, ta’ lake, yang artinya merasa malu jika tidak bertaruh, tidak laki-

laki karena di anggap tidak mempunyai uang. Fenomena ini sangat

kontradiktif dengan identitas etnik Madura yang agamis, Islami, dan taat

dalam menjalankan ibadah.

Besar kecilnya taruhan dipengaruhi oleh kualitas sapi yang diadu.

Untuk sapi-sapi favorit (kelas), sudah dikenal oleh para penonton sehingga

mereka tidak asing lagi dan tentunya taruhannya lebih besar karena

19
pertarungannya juga lebih seru. Namun untuk sapi-sapi kelas pemula yang

belum punya nama, untuk memilih mana yang dijagokan

mempartimbangkan beberapa aspek separti postur tubuh, bentuk tanduk,

warna kulit, dan jenis sapi. (Bambang Samsu Badriyanto 2012 : 118-199).

2.2.3 Konsep Tradisi

Menurut Soerjono Soekanto tradisi adalah perbuatan yang di

lakukan berulang-ulang di dalam bentuk yang sama. (Soerjono Soekanto.

1990; 181). Sedangkan menurut G. Kartasapoetra mengatakan bahwa tradisi

merupakan suatu kebiasaan dalam adat istiadat yang dipelihara turun

temurun. (G.Kartasapoetra, 1992 ; 979). Tradisi adalah segala sesuatu

(seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya) yang turun

temurun dari nenek moyang (Kamus besar Bahasa Indonesia, 1984 ; 1088).

Menurut T.O. Ihromi (1981) menerangkan bahwa yang dimaksud

dengan tradisi adalah kebiasaan-kebiasaan, gagasan, pandangan yang

berlaku bagi suatu masyarakat tertentu yang hanya dapat dipahami secara

tepat apabila dpautkan dalam konteks yang wajar dan sesuai. Ini berarti

bahwa suatu kebiasaan dalam masyarakat yang lainnya bisa menyebabkan

suatu interpretasi yang berbeda dari setiap orang bahkan kelompok. Setiap

kebiasaan yang dapat kita amati, kita dapat menemukan sejumlah perbuatan

yang dapat dikategorikan sebagai tradisi. Kalau kita lihat tradisi yang

dimiliki oleh suatu masyarakat dengan mudah kita dapat membedakan jenis

tradisi menurut kriteria tertentu, dan dapat kita lihat macam-macam tradisi

seperti yang dikutip dalam buku ilmu sosial dan budaya dasar oleh M. Elly

20
Setiadi, menurut E. B. Tylor sebuah tradisi memiliki beberapa macam

makna yang meliputi, Kepercayaan, kesenian, keilmuan, hukum, Moral,

adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang di dapat oleh

manusia sebagai anggota masyarakat (M. Elly Setiadi, 2007: 27).

Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tradisi

adalah suatu adat atau kebiasaan yang di pertahankan keberadaannya

didalam masyarakat, dan pelaksanaannya pada saat-saat tertentu atau pada

saat pada saat yang dianggap keramat atau bersejarah oleh masyarakat yang

dilaksanakan secara turun-temurun.

Jadi tradisi karapan sapi adalah acara khas masyarakat Madura yang

di gelar setiap tahun pada bulan Agustus atau September, dan akan di

lombakan lagi pada final di akhir bulan September atau Oktober. Bagi

masyarakat Madura, karapan sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang

perayaannya digelar setiap tahun. Karapan sapi juga bukan hanya sebuah

tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Karapan sapi adalah sebuah kehormataan dan

kebanggaan yang akan mengangkat martabat masyarakat Madura.

2.2.4 Konsep Karapan Sapi

Seperti yang kita ketatahui Karapan sapi adalah ikon Madura, Tidak

hanya dikenal di tingkat nasional tetapi juga internasional. Karapan sapi

adalah budaya dan identitas masyarakat Madura. Karapan sapi adalah

sebutan untuk permainan adu lari sapi (dalam bahasa Madura di tulis

kerrabhan sapeh). Karapan sapi juga bisa di definisikan sebagai pacuan

21
sepasang sapi dengan sapi yang lain, yang di pertautkan keduanya dengan

pangonong dan kaleles. Karapan sapi biasanya digelar dibeberapa lokasi,

baik itu ditingkat Kecamatan, kemudian berlanjut di tingkat Kabupaten dan

akhirnya di tingkat Madura. Pesertanya adalah sapi-sapi kerap terbaik dari

seluruh kabupaten di pulau Madura. Perlombaan ini sangat lekat bagi

masyarakat Madura umumnya di pedesaan, mulai dari anak-anak sampai

orang dewasa bahkan kakek sepuh tidak ketinggalan untuk menonton.

Setiap tahun menjelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia,

di Madura digelar lomba karapan sapi tingkat nasional memperebutkan

Piala Presiden. Puncak lomba karapan sapi digelar pada bulan Agustus,

bertepatan dengan perayaan kemerdekaan. Namun, beberapa bulan

sebelumnya, karapan sapi sudah digelar di berbagai kabupaten di Madura

sebagai ajang penyisihan. Ajang penyisihan dimulai dari tingkat kecamatan

hingga kabupaten yang kemudian memunculkan juara tingkat kabupaten

untuk diadu lagi di tingkat puncak se-Madura. Selama ini, masyarakat

Madura identikkan dengan berbagai tipikal karakter, diantaranya keras,

lugas dan pekerja keras. Berbagai tipikal tersebut, bisa dicerminkan dengan

simbol-simbol yang ada dalam tradisi karapan sapi. Sebagai tradisi turun-

temurun, karapan sapi sangat kental dengan nuansa persaingan, kerja keras,

kegagahan dan kehormatan.

Sesuai dengan pewarisan tradisi melalui cerita lisan, karapan sapi

bermula pada era pemerintahan Pangeran Katandur di Keraton Sumenep

22
pada abad ke 15, raja yang dikenal arif dan bijaksana memikirkan cara agar

petani dapat meningkatkan produksi pertanian. Karena bercocok tanam

pada masa itu masih sederhana, yakni masih menggunakan batu untuk

membajak sawah dengan tenaga manusia sebagai penarik bajaknya.

Pangeran Katandur dikisahkan berhasil membuat alat bajak dari bambu

yang ditarik oleh dua ekor sapi. Atas keberhasilan tersebut, Pangeran

Katandur kemudian membuat pesta seusai panen (Rosida Irmawati

2004:80-85). Pangeran Katandur membuat perlombaan berupa adu

kecepatan dua ekor sapi sambil membawa bajak yang biasa digunakan

untuk menggarap sawah. Karena bajak dinilai mengurangi kecepatan pada

saat sapi berlari, bajak kemudian diubah menjadi kaleles. Yakni, bentuk

bajak yang sudah di modifikasi sehingga tidak menyulitkan sapi saat beradu

kecepatan.

Kerabhan sape atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa

Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi.

Ada dua versi mengenai asal usul nama karapan. Versi pertama mengatakan

bahwa istilah “karapan” berasal dari kata “kerrap” atau“kirap” yang artinya

“berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”.

Lambat laun, karapan sapi bukan sekedar pesta petani usai panen raya, tetapi

bergeser ajang lomba. Terjadilah pergeseran makna yang semula hanya

sebagai bentuk ungkapan rasa senang para petani setelah panen, berubah

menjadi ajang untuk meraih kemenangan. Kemenangan dalam perlombaan

memunculkan simbol kehormatan, kemegahan dan kekuasaan. Akan tetapi,

23
bagi yang kalah dalam lomba mereka tidak bisa meraih simbol tersebut.

Keinginan yang semulahanya untuk menikmati pesta panen berubah

menjadi ajang untuk merengkuh symbol-simbol kehormatan, kemegahan

dan kekuasaan.

Selain berimbas positif bagi berkembangnya budaya karapan sapi,

ajang lomba dalam karapan sapi juga menimbulkan dampak negatif.

Diantaranya, munculnya kekerasan yang dialami sapi-sapi dalam karapan

sapi. Tak jarang, dalam karapan sapi terdapat adegan kekerasan yang terjadi

saat penunggang sapi memacu sapi dengan menggunakan sejenis pemukul

yang dipenuhi dengan paku-paku tajam (Madura: rekeng). Orang Madura

dan karapan sapi sebagai satu kesatuan simbolik yang sulit dipisahkan

dalam pemaknaan simbol budaya dalam kehidupan sehari-hari. Muncullah

stereotype baru bahwa orang Madura adalah orang yang suka dengan

kekerasan. Stereotype tersebut terus direproduksi oleh banyaknya

dokumentasi berupa kekerasan yang dialami sapi dalam lomba karapan sapi.

Keresahan tokoh masyarakat dan para pemilik sapi di Madura terhadap

stereotype tersebut kemudian memunculkan gagasan berupa lomba karapan

sapi dikembalikan ke semula, yakni tanpa kekerasan. (Buyung, Pambudi

2015 : 115)

1. Pembagian Karapan Sapi

Pelembagaan karapan sapi secara formal dan kompetitif ini

merupakan lomba yang paling bergengsi dibandingkan dengan karapan sapi

24
lain, karena penontonnya bukan hanya dari pulau Madura, tetapi juga dari

daerah lain di Jawa Timur, wartawan, dan bahkan wisatawan mancanegara.

Orang Madura mengenal dua jenis kerapan sapi: (1) Kerapan kene’

(karapan dalam skala kecil), dan (2) Kerapan rajâ (karapan dalam skala

besar untuk memperebutkan suatu kejuaraan). Karapan sapi dilaksanakan

setiap tahun antara bulan Agustus sampai Oktober, berdasarkan jadwal yang

telah ditentukan oleh panitia. Sapi peserta karapan harus diseleksi dari

tingkat paling bawah, yaitu dari tingkat kecamatan, distrik (pembantu

bupati), kabupaten, dan hingga karesidenan (pembantu gubernur). Karapan

sapi tingkat karesidenan (gubeng) dikenal sebagai karapan sapi terbesar se-

Madura dan merupakan puncak dari karapan sapi formal. Karapan sapi

terbesar ini merupakan lomba yang sangat berdampak terhadap gengsi,

citra, dan status sosial pemilik sapi yang menjadi juara. Di samping itu,

karena mereka juga mewakili daerah masing-masing, mereka pun berusaha

keras demi gengsi daerahnya

Karapan sapi terbesar ini merupakan kerapan formal yang berhadiah

besar. Pelaksanaan lomba direkayasa sedemikian rupa, sehingga tampak

perbedaan antara kerapan sapi formal dengan karapan sapi adat atau

tradisional. Dalam kerapan sapi formal, di bentuk sebuah panitia yang

terdiri atas aparat Pemerintah Kabupaten, Dinas Peternakan, dan personel

TNI dan Polri yang bertanggungjawab atas keamanan pelaksanaan karapan

sapi. Perubahan makna budaya karapan sapi ini pada gilirannya turut

mengubah pandangan budaya dan konsep diri orang Madura. Pada

25
perkembangan berikutnya, karapan sapi lebih mengarah pada kompetisi,

sehingga para pemilik sapi menghalalkan segala cara untuk memenangkan

perlombaan. Apalagi setelah ada intervensi pemodal besar atau konglomerat

dalam kerapan sapi formal. Kondisi semacam ini menyebabkan terjadinya

penyimpangan dari tujuan semula karapan sapi; kontes memelihara sapi

dengan tujuan agar melahirkan dan menjaga sapi Madura yang berkualitas

berubah menjadi bisnis (economics-oriented) dan prestise (status sosial).

Perubahan ini terlihat dari sebuah pola yang mulanya tradisional-religius

berubah menjadi pola yang berorientasi pasar.

Dengan demikian, sportifitas pemilik sapi karapan semakin pudar.

Berbagai upaya dilakukan untuk menang, seperti menyogok joki lawan,

menyiksa sapi, dan bahkan membeli nomor punggung untuk menghindari

lawan yang tangguh, karena kemenangan di arena lomba sangat

memengaruhi harga sapi. Di samping itu, kemenangan merupakan harapan

dan idaman setiap peserta kerapan sapi, karena dapat menaikkan status

sosial dan gengsi si pemilik. Oleh karena itu, harga sapi yang berhasil

menjadi juara semakin mahal. (Imam Bonjol Juhari 2016 : 187)

2.2.5 Konsep Pulau Madura

Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa

Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.168 km², dengan penduduk

hampir 4 juta jiwa. Jembatan Nasional Suramadu merupakan pintu masuk

utama menuju Madura, selain itu untuk menuju pulau ini bisa dilalui dari jalur

26
laut ataupun melalui jalur udara. Pulau Madura terdiri dari 4 Kabupaten yakni

Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, dan

Kabupaten Bangkalan.

Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang mempunyai etos

kerja yang tinggi, ramah, giat bekerja dan ulet, mereka suka merantau karena

keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang perantauan asal

Madura umumnya berprofesi sebagai pedagang, misalnya: berjual-beli besi

tua, pedagang asongan, dan pedagang pasar.

a. Agama dan Keperyaan

Mayoritas masyarakat suku Madura hampir 100 % beragama Islam,

bahkan suku Madura yang tinggal di Madura bisa dikatakan 100 %

muslim. Suku Madura terkenal sangat taat dalam beragama Islam, seperti

halnya suku Melayu atau suku Bugis yang juga sangat menjunjung agama

Islam dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu sebabnya dengan adanya

Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh pulau madura.

Misalnya Pondok pesantren miftahul ulum panyepen, Pesantren

Mambaul Ulum Bata-Bata, pondok pesantren Al hamidiy banyuanyar

Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar di Kabupaten Pamekasan,

Pondok pesantren Annuqayah disingkat PPA pesantren yang terletak di

desa Guluk-Guluk, Pondok Pesantren Al-Amin di Sumenep dan , Pondok

Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Pondok Pesantren Attaraqqi

Sampang, dan pesantren-pesantren lainnya dari yang memiliki santri

27
ribuan, ratusan, dan puluhan yang tersebar di Pulau Madura. Pesantren-

pesantren begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat Madura karena

pesantren tidak sekadar mengajar ilmu agama tetapi juga mempunyai

kiprah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan peduli pada nasib

rakyat kecil.

b. Bahasa yang Digunakan

Bahasa yang digunakan masyarakat Madura adalah bahasa Madura

itu, akan tetapi setiap kabupaten memiliki logat tersendiri namun

mengandung arti yang sama misalnya di Kabupaten Sumenep yang

masyarakatnya tergolong keturunan raja dan ratu membuat masyarakat

Sumenep tergolong halus atau sopan dalam berbahasa, sedangkan pada

masyarakat Pamekasan yang masyarakatnya tergolong keturunan

keraton dan raja memiliki gaya bahasa yang tergolong menengah tidak

halus dan tidak kasar dan pada masyarakat Sampang dan masyarakat

Bangkalan gaya bahasanya tergolong keras karena pada umumnya

masyarakat disana memiliki karakteristik yang keras dan tegas, akan

tetapi juga tergolong keturunan raja. Karena pulau Madura banyak dihuni

oleh para raja dan ratu, namun setiap kabupaten memiliki raja dan ratu

yang berbeda-beda.

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan.

Juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang

Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya

untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai

28
tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik

Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).

c. Karakteristik Masyarakat Madura

Selama ini, masyarakat Madura diidentikkan dengan berbagai

tipikal karakter, diantaranya keras, lugas dan pekerja keras. Harga diri,

juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki

sebuah peribahasa lebbi baguspote tollang atembang pote mata. Artinya,

lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang

seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat Madura, tetapi

tradisi lambat laun melemah seiring dengan terdidiknya kaum muda di

pelosok desa, dahulu mereka memakai kekuatan emosional dan tenaga

saja, namun kini mereka lebih arif dalam menyikapi berbagai persoalan

yang ada.

Ada perbedaan antara Madura Timur (Sumenep dan Pamekasan)

dengan Madura Barat (Sampang dan Bangkalan). Orang Madura Timur

dikenal lebih halus baik dari sikap, bahasa, dan tatakrama daripada orang

Madura Barat. Orang Madura Barat lebih banyak merantau daripada

Madura Timur. Hal ini, disebabkan Madura Barat lebih gersang daripada

Madura Timur yang dikenal lebih subur

29
2.3 Landasan Teori : Tindakan Sosial Max Weber

Tindakan sosial menurut Max Weber dalam (Ritzer, 2016) merupakan suatu

tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi

dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Suatu tindakan individu yang

diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Suatu

tindakan akan dikatakan sebagai tindakan sosial ketika tindakan tersebut benar-

benar diarahkan kepada orang lain.Semakin rasional suatu tindakan sosial maka

semakin mudah untuk kita pahami.Weber membedakan tindakan sosial ke dalam

empat tipe yaitu:

1. Tindakan rasionalitas instrumental (berorientasi tujuan) Tindakan ini

merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas

pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan

itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Tindakan

ini dilakukan untuk mencapai tujuan dengan pertimbangan rasional.

2. Tindakan rasional nilai (berorientasi nilai atau berdasarkan nilai) Tindakan

rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan

pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuantujuannya

sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat

absolut. Tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan nilai etika,

adat maupun nilai lainnya.

3. Tindakan afektif atau Tindakan yang dipengaruhi emosi Tipe tindakan social

ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual.

30
Tindakan afektif sifatnya spontan, kurang rasional, dan merupakan ekspresi

emosional dari individu.

4. Tindakan tradisional atau Tindakan karena kebiasaan Dalam tindakan ini,

seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang

diperoleh dari diri sendiri maupun orang lain, tanpa refleksi yang sadar atau

perencanaan yang matang.

Keterlibatan tokang taro dalam tradisi karapan sapi jika dikaitkan dengan

teori tindakan sosial Max Weber tentang tipe Tindakan tradisional ini sangat cocok.

Dimana pada keterlibatan tokang taro dalam tradisi kerapan sapi yang fokusnya

pada perilaku peran, interaksi anatar individu serta tindakan-tindakan dan

komunikasi yang dapat diamati. Berdasarkan apa yang menjadi dasar dari

kehidupan kelompok manusia atau masyarakat, beberapa ahli dari paham Interaksi

Simbolik menunjuk pada “komunikasi” atau secara lebih khusus “simbol-simbol”

sebagai kunci untuk memahami kehidupan manusia itu. Interaksi Simbolik

menunjuk pada sifat khas dari interaksi antarmanusia. Artinya manusia saling

menerjemahkan dan mendefinisikan tindakannya, baik dalam interaksi dengan

orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Proses interaksi yang terbentuk

melibatkan pemakaian simbol-simbol bahasa, ketentuan adat istiadat, agama dan

pandangan-pandangan.

31

Anda mungkin juga menyukai