Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman etnis dan suku,
karena memang Indonesia terbentuk dari berbagai suku - suku bangsa, dan setiap
suku bangsa mempunyai kebudayaan masing-masing. Sehingga tidak asing
apabila diasumsikan dengan kata bhineka tunggal ika, yang artinya berbeda –beda
tetapi tetap satu.
Apabila kita melihat dalam konteks global, maka kebudayaan yang dimiliki
ini sebetulnya dapat dijadikan aset negara sebagai keunggulan dan kekayaan
budaya khas Indonesia yang tidak tertandingi oleh Negara - negara lain sehingga
hal tersebut dapat mengangkat citra Indonesia dimata dunia. Partisipasi
masyarakat dalam melestarikan budaya sendiri harus saling terjalin dengan baik,
sehingga kesadaran kolektif dan jiwa optimis akan tertanam di setiap manusia
Indonesia.
Dengan keaneragaman kebudayaan yang muncul dalam keberadaan di
nusantara ini, ada bebebrapa macam kebudayaan yang sangat1 unik dan tetap
dinilai sebagai salah satu kebudayaan yang dihormati, salah satunya adalah
karapan sapi. Kerapan Sapi adalah sebagai salah satu wujud hasil budaya yang
berupa kesenian yang mana kerapan sapi merupakan salah satu jenis atraksi yang
diangkat dari budaya Madura dan bentuk dari budaya tersebut adalah
memperagakan lomba pacuan sapi yang memang khusus untuk dilombakan.1
Kerapan sapi merupakan budaya asli dari tanah Madura yang sudah dikenal
sejak abad ke-14 M. Pada zaman dahulu sapi merupakan satu-satunya alat
Transportasi tercepat yang ada di Madura dan banyak digunakan oleh masyarakat,
khususnya masyarakat elit atau kerajaan. Kerapan sapi ini merupakan salah satu
contoh budaya dan hiburan bagi masyarakat Madura yang telah turun temurun
dilaksanakan. Kerapan sapi dibuat untuk membantu masyarakat Madura dalam
melakukan interakasi dan komunikasi dengan orang lain. Interaksi dan

1
Fuad Hasan, “Dampak Sosial Ekonomi Pergeseran Nilai Budaya Karapan Sapi”. Dampak sosial
ekonomi. Vol. 5 No. 2, Oktober 2012, hal. 97.

1
komunikasi yang terjadi melalui Budaya Kerapan Sapi mengakibatkan
terbentuknya kelompok sosial.
Aspek menarik dari kelompok sosial adalah cara yang dilakukan dalam
mengendalikan anggotaanggotanya. Hal yang penting dari kelompok sosial terkait
tentang kekuatan-kekuatan yang saling berhubungan dan berkembang serta
memiliki peranan dalam mengatur tindakan-tindakan anggotanya untuk mencapai
tata tertib demi kebaikan kelompok.2
Dalam even karapan sapi para penonton tidak hanya disuguhi adu cepat sapi
dan ketangkasan para jokinya, tetapi sebelum memulai para pemilik biasanya
melakukan ritual arak-arakan sapi disekelilingi pacuan disertai alat musik seronen
perpaduan alat music khas Madura sehingga membuat acara ini menjadi semakin
meriah.3
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kebudayaan?
2. Bagaimana asal mula terbentuknya kerapan sapi?
3. Bagaimana pelaksanaan kerapan sapi pada masa sekarang?
4. Apakah fungsi budaya kerapan sapi bagi masyarakat Madura?

C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis.
Secara teoritis penelitian ini dapat digunakan atau dimanfaatkan sebagai
suatu Tambahan pengetahuan dalam kajian ilmu Sosiologi, khususnya
mengkaji tentang sosiologi kebudayaan masyarakat (Budaya Tradisional),
penelitian ini akan mengantarkan kajian secara menyeluruh mengenai
kerapan sapi.
2. Manfaat terhadap pembaca
Manfaat dari makalah ini yaitu untuk memberikan pemahaan pembaca
tentang:
2
Kurnia Fahmi Astutik dan Sarmini, “BUDAYA KERAPAN SAPI SEBAGAI MODAL SOSIAL
MASYARAKAT MADURA DI KECAMATAN SEPULU KABUPATEN BANGKALAN”. Budaya
Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial Masyarakat madura. Vol. 3 No. 1, 2014, hal. 324.
3
Fuad Hasan, “Dampak Sosial Ekonomi Pergeseran Nilai Budaya Karapan Sapi”. Dampak sosial
ekonomi. Vol. 5 No. 2, Oktober 2012, hal. 97.

2
A. Pengertian kebudayaan
B. Asal mula terbentuknya kerapan sapi
C. Pelaksanaan kerapan sapi pada masa sekarang
D. Fungsi budaya kerapan sapi bagi masyarakat Madura

3
BAB II
Kajian Pustaka
Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman etnis dan
suku, karena memang Indonesia terbentuk dari berbagai suku - suku bangsa, dan
setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan masing-masing. Sehingga tidak asing
apabila diasumsikan dengan kata bhineka tunggal ika, yang artinya berbeda –beda
tetapi tetap satu.4
A. Kebudayaan
Menurut Ralph Linton, Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari
masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap
lebih tinggi dan lebih diinginkan.
Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi
cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari
kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk
tertentu.5
B. Tinjauan umum tentang Karapan Sapi
1. Pengertian karapan sapi
Istilah kerapan sapi berasal dari bahasa Madura “keraben” atau “kerab”
yang berarti sebuah pertunjukan. Kata – kata ini kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia menjadi kerapan. Jadi istilah kerapan sapi berarti sebuah
pertandingan beberapa pasangsapi dengan bentuknya agar mendorong masyarakat
Madura melaksanakan tekhnik baru dalam pengolahan tanah pertanian. (Mercy
Hendrawati Kosasih, A paper, 1982 : 2)6
2. Asal muasal sapi
Berdasar cerita yang berkembang di masyarakat Madura, keberadaan
kerapan sapi tak bisa dilepaskan dari figur Kyai Ahmad Baidawi (yang dikenal
dengan sebutan Pangeran Katandur), salah seorang penyebar Islam di Madura.
Konon, kyai Baidawi menyebarkan Islam di Madura (utamanya di Sumenep) atas
perintah Sunan Kudus, salah seorang dari sembilan wali berpengaruh dalam
penyebaran Islam di tanah Jawa. Sebelum berangkat ke Madura, Sunan Kudus
memberi bekal kepada kyai Baidawi berupa dua tongkol jagung (janggel) yang
masih utuh. Setiba di Madura, beliau tidak langsung berdakwah, melainkan

4
Fuad Hasan, “Dampak Sosial Ekonomi Pergeseran Nilai Budaya Karapan Sapi”. Dampak sosial
ekonomi. Vol. 5 No. 2, Oktober 2012, hal. 97.
5
Leonard Siregar, “ANTROPOLOGI DAN KONSEP KEBUDAYAAN”. Antropologi Papua. Vol. 1
No. 1, Agustus 2002.
6
Moh Ahsanil Umam, Skripsi: “TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG BUDAYA KERAPAN
SAPI” (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1998), Hal. 21.

4
mengajarkan pola bercocok tanam jagung. Kemudian setelah panen, harus
dibarengi dengan ungkapan rasa syukur kepada Allah Sang Maha Pencipta. Untuk
tujuan ini, kaum petani diajari cara melaksanaan ibadah salat lima waktu.
Demikian seterusnya, cara tersebut diulangulang sampai akhirnya pemeluk Islam
semakin bertambah.
Dalam perkembangan berikutnya, karena pengolahan tanah pertanian
dengan tenaga manusia dirasa kurang efektif, muncul ide kyai Baidawi untuk
menggunakan tenaga hewan, yaitu sapi. Caranya, sepasang sapi dilengkapi
dengan pangonong dan nangggeleh atau salageh, kemudian seorang petani—
sambil memegang ujung nanggeleh/salageh-- mengikuti dari belakang untuk
membajak tanah-tanah yang hendak ditanami. Cara seperti ini oleh orang Madura
disebut asaka’ dan/asalageh. Bagi para petani, mengolah tanah dengan cara baru
ini cukup menyenangkan, lebih-lebih jika diselingi dengan permainan yang
menggembirakan dengan cara mengadakan lomba adu lari sapi sambil me-nyaka’
sawah. Dengan cara ini, betapapun banyaknya pekerjaan asaka’ yang harus
diselesaikan, karena dikerjakan sambil berlomba, para petani tak merasakan
beratnya pekerjaan.
Untuk mensyukuri hasil tani yang semakin melimpah, setiap pasca panen
kyai Baidawi menyelenggarakan “pesta panen” di sebuah alun-alun dengan
hiburan lomba lari sapi yang diiringi musik-musik tradisional. Momentum itu,
oleh kyai Baidawi, juga digunakan sebagai forum pembagian zakat hasil tani
kepada yang berhak (mustahiqqîn). Sejak itu, kerapan sapi menjadi tradisi turun
temurun yang tetap lestari hingga sekarang. Istilah ‘kerapan’ atau ‘karapan’ yang
dipakai hingga kini sebenarnya berasal dari kata ‘garapan’, karena pada awalnya
perlombaan sapi diadakan para petani sambil ‘menggarap’ sawahnya.7
3. Jenis – jenis kerapan sapi
Saat ini, secara garis besar, ada dua macam kerapan sapi, yaitu kerapan
sapi formal dan kerapan sapi nonformal. Kerapan sapi formal ditangani oleh
sebuah panitia penyelenggara yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten, yang

7
Mohammad Kosim, “KERAPAN SAPI; “PESTA” RAKYAT MADURA (Perspektif Historis-
Normatif)”. Vol. 11 No. 1, 1 April 2007, hal. 69-70.

5
dalam hal ini adalah Dinas Kehewanan dan Peternakan, dan pemenangnya diberi
hadiah dari sponsor atau dari panitia penyelenggara. Adapun kerapan sapi
nonformal tidak ditangani oleh panitia, tetapi hanya mendapatkan pengawasan
dari pemerintah terkait dengan masalah keamanan dan ketertibannya.8

8
Imam Bonjol Juhari, “Ekonomi dan Prestise dalam Budaya Kerapan Sapi di Madura”. hal. 194.

6
BAB III
Analisa
1. Pengertian Kebudayaan
Kata “kebudayaan” berasal dari kata sanskerta buddhayah, yaitu bentuk
jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-
an dapat diartikan: “hal – hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain
yangbmengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk
budi-daya, yang berarti “daya dan budi”. Karena itu mereka membedakan
“budaya” dan “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dan budi” yang
berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta,
karsa dan rasa itu. Dalam istilah “antropologi – budaya” perbedaan itu ditiadakan.
Kata “budaya” disini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari
“kebudayaan” dengan arti yang sama.9
Kebudayaan juga dapat di definisikan sebagai hasil pengungkapan diri
manusia ke dalam materi sejauh diterima dan dimiliki oleh suatu masyarakat dan
menjadi warisannya. Manusia harus menciptakan suatu kebudayaan, sebab tanpa
kebudayaan ia makhluk yang tidak berdaya, yang menjadi korban dari keadaannya
yang tidak lengkap dan naluri – nalurinya yang tidak terpadu. Kebudayaan juga
diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan kelompok orang,
meliputi segala perbuatan manusia.10
2. Asal mula terbentuknya kerapan sapi
Disebut kerapan sapi karena dua pasang sapi jantan diadu cepat larinya (ê
kerrap) sejauh jarak tertentu. Setiap satu pasang sapi dikendalikan seorang joki
(bhuto/tokang tongko’) dengan memakai peralatan/perlengkapan berupa
pangonong dan kalêlês. Yang paling awal sampai ke garis finis dianggap sebagai
pemenang.
Berdasar cerita yang berkembang di masyarakat Madura, keberadaan
kerapan sapi tak bisa dilepaskan dari figur Kyai Ahmad Baidawi (yang dikenal

9
Koentjaraningrat, PENGANTAR Ilmu Antropologi (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2009), hal.
146.
10
K.J. Veeger MSC, ILMU BUDAYA DASAR (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal.
7-9.

7
dengan sebutan Pangeran Katandur), salah seorang penyebar Islam di Madura.
Konon, kyai Baidawi menyebarkan Islam di Madura (utamanya di Sumenep) atas
perintah Sunan Kudus, salah seorang dari sembilan wali berpengaruh dalam
penyebaran Islam di tanah Jawa. Sebelum berangkat ke Madura, Sunan Kudus
memberi bekal kepada kyai Baidawi berupa dua tongkol jagung (janggel) yang
masih utuh. Setiba di Madura, beliau tidak langsung berdakwah, melainkan
mengajarkan pola bercocok tanam jagung. Kemudian setelah panen, harus
dibarengi dengan ungkapan rasa syukur kepada Allah Sang Maha Pencipta. Untuk
tujuan ini, kaum petani diajari cara melaksanaan ibadah salat lima waktu.
Demikian seterusnya, cara tersebut diulangulang sampai akhirnya pemeluk Islam
semakin bertambah.
Dalam perkembangan berikutnya, karena pengolahan tanah pertanian
dengan tenaga manusia dirasa kurang efektif, muncul ide kyai Baidawi untuk
menggunakan tenaga hewan, yaitu sapi. Caranya, sepasang sapi dilengkapi
dengan pangonong dan nangggeleh atau salageh, kemudian seorang petani—
sambil memegang ujung nanggeleh/salageh-- mengikuti dari belakang untuk
membajak tanah-tanah yang hendak ditanami. Cara seperti ini oleh orang Madura
disebut asaka’ dan/asalageh. Bagi para petani, mengolah tanah dengan cara baru
ini cukup menyenangkan, lebih-lebih jika diselingi dengan permainan yang
menggembirakan dengan cara mengadakan lomba adu lari sapi sambil me-nyaka’
sawah. Dengan cara ini, betapapun banyaknya pekerjaan asaka’ yang harus
diselesaikan, karena dikerjakan sambil berlomba, para petani tak merasakan
beratnya pekerjaan.
Untuk mensyukuri hasil tani yang semakin melimpah, setiap pasca panen
kyai Baidawi menyelenggarakan “pesta panen” di sebuah alun-alun dengan
hiburan lomba lari sapi yang diiringi musik-musik tradisional. Momentum itu,
oleh kyai Baidawi, juga digunakan sebagai forum pembagian zakat hasil tani
kepada yang berhak (mustahiqqîn). Sejak itu, kerapan sapi menjadi tradisi turun
temurun yang tetap lestari hingga sekarang. Istilah ‘kerapan’ atau ‘karapan’ yang
dipakai hingga kini sebenarnya berasal dari kata ‘garapan’, karena pada awalnya
perlombaan sapi diadakan para petani sambil ‘menggarap’ sawahnya.

8
3. Pelaksanaan kerapan sapi pada masa sekarang
Kerapan sapi masa kini tidak sama dengan di masa lampau. Kini,
pelaksanaan kerapan sapi sangat kompleks, banyak pihak terlibat di dalamnya,
motif dan jenis kerapan sapi-pun beragam. Secara umum penyelenggaraan
kerapan sapi masa kini dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni jenis
kerapan sapi formal dan nonformal. Kerapan sapi formal diselenggarakan secara
rutin tiap tahun oleh panitia yang dibentuk pemerintah. Waktu pelaksanaannya
relatif tetap dan pemenangnya mendapat hadiah. Puncak kerapan sapi formal
adalah kerapan sapi gubeng yang memperebutkan piala bergilir Presiden RI.
Sedangkan kerapan sapi non-formal tidak selalu diselenggarakan panitia tertentu,
walaupun pelaksanaannya tetap diawasi aparat kepolisian karena menyangkut
ketertiban dan keamanan. Pemenangnya ada yang mendapat hadiah ada yang
tidak. Pelaksanaannya bersifat insidentil, tergantung kebutuhan penyelenggara.
Termasuk dalam kategori ini adalah kerapan sapi pesanan, kerapan adat, dan
kerapan nadzar.
Pada kerapan sapi formal, agenda lomba diawali dari tingkat kecamatan
(berlangsung antara bulan AgustusSeptember), kemudian tingkat kabupaten
(berlangsung antara bulan SeptemberOktober), dan puncaknya adalah tingkat
karesidenan/tingkat Madura yang berlangsung antara bulan OktoberNopember.
Yang terakhir ini biasa disebut dengan kerapan sapi gubeng, yang diikuti empat
kabupaten di Madura, dan hadiahnya sangat bergengsi, yakni memperebutkan
piala bergilir presiden RI. Dalam kerapan sapi gubeng, pesertanya terdiri atas 24
pasang sapi mewakili empat kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep). Masing-masing kabupaten mengirim 6 pasang hasil
seleksi jenjang di bawahnya. Pelaksanaan kerapan sapi gubeng harus memenuhi
standar sebagaimana telah diatur dalam Konferensi Karesidenan Madura tahun
1956. Diantara ketentuan yang harus diikuti adalah; umur sapi peserta minimal 2
tahun, tinggi sapi peserta harus mencapai 120 cm, jarak tempuh kerap 130 meter,
dan sapi peserta dalam keadaan sehat yang dinyatakan oleh dokter hewan.

9
Kerapan sapi gubeng biasanya diawali dengan acara êpamantan, yakni
“pawai” keliling lapangan yang diikuti 24 pasang sapi peserta lomba, guna
mempertontonkan betapa anggun, tegar dan gagahnya semua pasangan sapi kerap
yang siap berlaga. Dalam acara ini setiap pasang sapi dilengkapi hiasan dan
aksesoris khas Madura di hampir sekujur tubuhnya, mulai dari kedua tanduk,
leher, moncong mulut, bahkan sampai ekornyapun dibungkus dengan hiasan
gemerlap. “Pawai” pasangan sapi kerap tersebut bertambah semarak karena
diiringi atraksi menarik musik tradisional khas Madura, saronên, yang dimainkan
oleh 6 sampai 8 orang. Dengan pakaian tradisional khas Madura yang kaya
asesoris dan corak warna menyolok, bahkan kadang lengkap dengan udeng dan
kacamata hitamnya, para pemain saronên menunjukkan kelihaian
berjingkrakjingkrak dan keterampilan memainkan tetabuhan, sambil melantunkan
kidungkidung bernada sakral yang menggambarkan heroisme pasangan sapi kerap
yang siap berlaga. Disamping musik saronên, para penonton juga disuguhi tari
pecut massal khas Madura. Setelah itu, barulah acara kerapan dimulai.11
Perubahan makna budaya kerapan sapi ini pada gilirannya turut mengubah
pandangan budaya dan konsep diri orang Madura. Pada perkembangan
berikutnya, kerapan sapi lebih mengarah pada kompetisi, sehingga para pemilik
sapi menghalalkan segala cara untuk memenangkan perlombaan. Apalagi setelah
ada intervensi pemodal besar atau konglomerat dalam kerapan sapi formal.
Kondisi semacam ini menyebabkan terjadinya penyimpangan dari tujuan semula
kerapan sapi; kontes memelihara sapi dengan tujuan agar melahirkan dan menjaga
sapi Madura yang berkualitas berubah menjadi bisnis (economics-oriented) dan
prestise (status sosial). Perubahan ini terlihat dari sebuah pola yang mulanya
tradisional-religius berubah menjadi pola yang berorientasi pasar.
Dengan demikian, sportifitas pemilik sapi kerapan semakin pudar.
Berbagai upaya dilakukan untuk menang, seperti menyogok joki lawan, menyiksa
sapi, dan bahkan membeli nomor punggung untuk menghindari lawan yang
tangguh, karena kemenangan di arena lomba sangat memengaruhi harga sapi. Di

Mohammad Kosim, “KERAPAN SAPI; “PESTA” RAKYAT MADURA (Perspektif Historis-


11

Normatif)”. Vol. 11 No. 1, 1 April 2007, hal. 69-72.

10
samping itu, kemenangan merupakan harapan dan idaman setiap peserta kerapan
sapi, karena dapat menaikkan status sosial dan gengsi si pemilik. Oleh karena itu,
harga sapi yang berhasil menjadi juara semakin mahal.12
4. fungsi budaya kerapan sapi bagi masyarakat Madura
Fungsi budaya dari Budaya Kerapan Sapi tidak lain adalah sebagai
kebudayaan orisinil masyarakat Madura. Kerapan Sapi merupakan suatu persitiwa
budaya yang menunjukkan identitas daerah Madura sebagai budaya asli yang
perlu dilestarikan dan dicermati dari aspek waktu baik pada saat persiapan, saat
pelaksanaan, dan setelah pelaksanaan dengan melibatkan masyarakat Madura
sebagai pemilik sapi kerapan, penonton, dan joki kerapan sapi. Budaya Kerapan
Sapi dikatakan sebagai sebuah kebudayaan, karena lahir dari adanya faktor sugesti
yang mengakar dan kemudian disepakati oleh masyarakat Madura serta dapat
melahirkan kearifan dalam masyarakat Madura dan membentuk pola pikir
perilaku masyarakat Madura.
Dilihat dari segi budaya, Kerapan Sapi berpengaruh terhadap penduduk
Madura, terutama bagi generasi mudanya. Hal ini disebabkan oleh Budaya
Kerapan Sapi yang merupakan budaya pewarisan dan turun-temurun dari generasi
ke generasi.Kecanggihan media komunikasi dan informasi yang semakin canggih
tidak meurunkan semangat generasi Madura yang memiliki ketertarikan sangat
tinggi terhadap Budaya Kerapan Sapi. Hal ini terbukti dengan banyaknya pemilik
kerapan sapi yang tertarik dengan Budaya Kerapan Sapi karena orangtuanya yang
juga pemilik kerapan sapi.
Nilai budaya yang terkandung dalam Budaya Kerapan Sapi sebenarnya
dapat membentuk pola dalam tatanan kehidupan masyarakat.Tatanan tersebut baik
yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun politik.Dalam aspek
Budaya Kerapan Sapi dapat membentuk suatu keunikan yaitu pola perilaku
pemilik sapi yang lebih menyayangi sapinya dengan bentuk perawatan sapi yang
sangat luar biasa, sehingga membutuhkan biaya yang besar.Pola perilaku pemiliki
sapi inilah yang menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dalam masyarakat

12
Imam Bonjol Juhari, “Ekonomi dan Prestise dalam Budaya Kerapan Sapi di Madura”. hal. 194.

11
Madura yang disebabkan oleh adanya faktor sugesti dari pihak yang memiliki
kedudukan dan berwibawa.13

Kurnia Fahmi Astutik dan Sarmini, “BUDAYA KERAPAN SAPI SEBAGAI MODAL SOSIAL
13

MASYARAKAT MADURA DI KECAMATAN SEPULU KABUPATEN BANGKALAN”. Budaya


Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial Masyarakat madura. Vol. 3 No. 1, 2014, hal. 328-329.

12
BAB IV
Penutupan
Kesimpulan :
1. kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai
kesempurnaan hidup.
2. Wujud kebudayaan yaitu Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-
ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; Sebagai
suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat; Sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Unsur-unsur kebudayaan yaitu Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
sehari-hari, System mata pencaharian dan system ekonomi, System
kemasyarakatan, Bahasa sebagai media komunikasi, Ilmu pengetahuan, Kesenian,
dan System religi.
3.      Kerapan sapi adalah atraksi tradisional berbentuk pacuan sapi.
4.      Asal usul kerapan sapi
6.      Ada beberapa nilai budaya yang dapat kita abil dala kerapan sapi
yaitu, nilai kerja keras,nilai kerja sama, nilai persaingan, nilai ketertiban, dan nilai
sportivitas.
Mengiringi berakhirnya penyusunan makalah ini penulis memanjatkan
puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah memberi petunjuk kepada penulis,
sehingga tersusunlah makalah yang sederhana ini.
Selanjutnya perkenalkanlah penulis menyampaikan pengakuan bahwa
sebagai hasil karya dari seorang manusia, maka sudah pasti terdapat kekeliruan
dan kekurangan dalam makalah ini. Karena itu penulis dengan lapang hati
menerima adanya kritik dan saran dari para pembaca guna dijadikan bahan
pertimbangan untuk perbaikan.

13
Referensi
Koentjaraningrat. 2009. PENGANTAR Ilmu Antropologi, Edisi Revisi. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
MSC, K.J. Veeger. 1992. ILMU BUDAYA DASAR, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Fuad Hasan, 2012. Dampak Sosial Ekonomi Pergeseran Nilai Budaya Karapan
Sapi. Dampak sosial ekonomi. 5(2): 97.
Astutik, Kurnia Fahmi dan Sarmini. 2014. BUDAYA KERAPAN SAPI
SEBAGAI MODAL SOSIAL MASYARAKAT MADURA DI KECAMATAN
SEPULU KABUPATEN BANGKALAN. Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal
Sosial Masyarakat madura. 3(1): 324, 328 - 329.
Siregar, Leonard. 2002. ANTROPOLOGI DAN KONSEP KEBUDAYAAN”.
Antropologi Papua. 1(1)
Kosim, Mohammad. 2007. KERAPAN SAPI; “PESTA” RAKYAT MADURA
(Perspektif Historis-Normatif). 11(1): 69-70.
Juhari, Imam Bonjol. Ekonomi dan Prestise dalam Budaya Kerapan Sapi di
Madura. 194.

Moh Ahsanil Umam. 1998. TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG BUDAYA


KERAPAN SAPI. Skripsi. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.

14

Anda mungkin juga menyukai