Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pekerja atau buruh perempuan sudah muncul sejak masa kolonialisme Belanda. Buruh
perempuan tersebut biasa bekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan sebagai "Kuli Kebon".
Pada saat masa Orde Baru pergerakan buruh mengalami pembungkaman, karena diduga terlibat
dalam pergerakan komunisme di Indonesia (Tanjung, 2018). Buruh dan segala wacana yang
mengikutinya dinilai ‘kekiri-kirian’, sehingga perlu dijinakkan. Akibatnya pergerakan mereka
dibatasi dan terus dalam pantauan. Pada masa reformasi mulai terjadi kebangkitan pergerakan
buruh di Indonesia. Munculnya organisasi buruh dibelakangnya menjadikan ruang gerak buruh
semakin besar dan meningkat, sehingga pergerakan buruh perempuan pun semakin menonjol.
Menurut data BPS pada tahun 2018, Provinsi Sumatera Utara memiliki lahan seluas 1,05
juta hektar perkebunan. Perkebunan terdiri dari kelapa sawit sebesar 434,36 ribu hektar, karet
sebesar 361,78 ribu hektar, kopi sebesar 93,70 ribu hektar, kakao sebesar 53,67 ribu hektar, teh
sebesar 4,33 ribu hektar, tembakau sebesar 1,87 ribu hektar dan tebu sebesar 0,81 ribu hektar.
Produksi hasil perkebunan diusahakan terus meningkat, dan komoditas pekerja atau buruh
perkebunan di Sumatera Utara akan semakin bertambah.
Kondisi buruh perempuan yang bekerja di perkebunan relatif lebih buruk dibandingkan
buruh laki-laki, dikarenakan buruh laki-laki umumnya berstatus sebagai buruh tetap. Status
tersebut membuat buruh laki-laki mendapat perlakuan yang lebih baik dari buruh perempuan
yang umumnya berstatus sebagai buruh tidak tetap. Status buruh perempuan yang tidak tetap
juga membuat pihak perkebunan relatif lebih diuntungkan.
Sejak zaman kolonial sudah banyak kasus penindasan, dan diskriminasi yang dialami
oleh buruh perempuan di perkebunan, seperti pelanggaran hak maternitas, upah, sistem
rekrutmen, pelecehan seksual, jam kerja, pemecatan setelah cuti melahirkan, hingga keguguran
saat bekerja. Permasalahan ini tidak berlangsung di zaman kolonial saja, hingga saat ini terdapat
kasus yang sama terjadi pada buruh perempuan yang bekerja di sektor perkebunan, terutama erat
kaitannya dengan masalah kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, isu ini merupakan hal yang
penting untuk di bahas lebih dalam, dan diperlukan beberapa solusi serta intervensi untuk
memecahkan permasalahan yang ada.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Buruh
Pada zaman penjajahan Belanda, yang dimaksud buruh adalah orang-orang pekerja kasar
seperti kuli, tukang, dan lainnya. Pemerintah Belanda menyebut orang-orang ini dengan sebutan
blue collar yang artinya berkerah biru, sedangkan white collar yang artinya berkerah putih
adalah sebutan yang digunakan untuk orang-orang yang mengerjakan pekerjaan halus seperti
pegawai administrasi yang biasa duduk di kantor, dan juga orang-orang Belanda dan Timur
Asing lainnya (Asyhadie, 2007).
Istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja dalam perkembangan
hukum perburuhan di Indonesia, sebagaimana yang diusulkan oleh Departemen Tenaga Kerja
ketika kongres FSBI II pada tahun 1985. Alasan pemerintah untuk mengganti istilah buruh
karena kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, dimana buruh lebih cenderung menunjuk pada
golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain.
Menurut Budiono (2001), terdapat Undang-Undang yang berkaitan dengan buruh dan
tenaga kerja, yakni Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut menunjuk kepada konsep
“Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain” adalah
pekerja atau buruh. Persamaan penggunaan istilah pekerja dengan buruh merupakan kompromi
dalam waktu yang cukup panjung agar dapat diterima oleh masyarakat. Menurut Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Ketenegakerjaan dijelaskan bahwa, pekerja atau buruh
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan sendri atau masyarakat.

2.2 Sejarah Munculnya Buruh Kebun Perempuan di Sumatera Utara


Pada tahun 1870, Sumatera Utara masih tergabung dalam wilayah Sumatera Timur yang
dipimpin oleh Sultan Mahmud Al-Rasyid Perkasa Alamsyah dari Kesultanan Deli sejak tahun
1858 sampai dengan 1873. Kualitas tanah yang dimiliki oleh wilayah Sumatera Timur sangatlah
subur, sehingga mudah untuk ditanami berbagai tanaman.

2
Usaha perkebunan di Sumatera Timur dirintis pertama kali oleh Jacobus Nienhuys,
seorang pengusaha Belanda, yang berkesimpulan setelah melakukan penelitian bahwa tanah di
daerah itu sangat cocoku ntuk usaha perkebunan. Pada tahun 1862 Sultan Mahmud Al-Rasyid
Perkasa Alamsyah memberi izin Jacobus Nienhuys untuk membuka lahan perkebunan tembakau
di Deli dengan menandatangani sebuah perjanjian. Usaha Nienhuys itu ternyata berhasil, karena
lahan di daerah tersebut mampu menghasilkan daun tembakau pembungkus cerutu yang halus
dan mahal harganya di pasaran dunia.
Usaha perkebunan tidak dapat dilepaskan dari masalah tanah, modal, dan tenaga kerja.
Perusahaan perkebunan yang besar juga membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Jacob
Nienhuys mengalami kesulitan ketika melakukan penanaman tanaman tembakau dalam jumlah
besar dengan tenaga kerja yang sedikit. Pada awalnya, tenaga kerja yang dibawa untuk bekerja
di perkebunan berasal dari daerah Bagelen, Jawa Tengah. Akan tetapi, tenaga kerja yang
dibutuhkan masih belum terpenuhi. Untuk memenuhi tenaga kerja tersebut, Jacob Nienhuys
beserta pemilik modal memanfaatkan koneksinya dengan meminta bantuan agen swasta untuk
mencarikan tenaga kerja. Tenaga kerja tersebut berasal dari Penang dan Singapura yang berada
di bawah perlindungan hukum Inggris.
Di dalam perkebunan terdapat buruh laki-laki dan buruh perempuan. Pada awal masa
pembukaan perkebunan di Sumatera Timur, jumlah buruh perempuan masih sangat sedikit,
bahkan hampir tidak ada. Hal tersebut dikarenakan pihak perkebunan hanya mencari tenaga kerja
dengan syarat memiliki kekuatan dan ketahanan fisik. Buruh perempuan yang pertama kali
berada di perkebunan merupakan buruh perempuan yang berasal dari Cina.
Seiring berkembangnya waktu, buruh perempuan Cina tidak dapat dipekerjakan lagi di
perkebunan. Hal tersebut disebabkan masalah perizinan dengan pemerintah Cina yang
mengalami kesulitan. Selain itu, krisis yang terjadi di sekitar tahun 1880an akhir yang
menyebabkan banyak perusahaan mengalami kerugian. Biaya pengangkutan buruh Cina yang
mahal menjadi beban tersendiri juga bagi perusahaan perkebunan. Selain itu, banyaknya kuli
yang terkena penyakit akibat buruh perempuan Cina. Beberapa hal tersebut menjadi faktor
penyebab penggantian buruh perempuan Cina dengan buruh perempuan Jawa.
Buruh-buruh perkebunan yang dibawa ke daerah Sumatera Timur itu biasanya diperoleh
melalui agen-agen perusahaan perkebunan di daerah asal mereka. Para buruh Cina, misalnya,
diperoleh melalui agen-agen baik yang ada di Semenanjung Malaya, Singapura, maupun di

3
daratan Cina sendiri. Sedangkan buruh yang berasal dari Jawa diperoleh melalui agen-agen Deli
Planters Vereeniging (Perkumpulan para Pekebun Deli) yang dikelola oleh bangsa Eropa dengan
petugas lapangan berasal dari orang-orang Jawa sendiri.
Perekrutan terhadap buruh perempuan dilakukan secara selektif. Perempuan yang akan
dipekerjakan di Perkebunan Deli dipilih dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut
yaitu perempuan yang masih muda, fisik yang baik dan sehat, serta cantik. Syarat-syarat tersebut
mempunyai alasan tersendiri. Perempuan yang masih muda pasti mempunyai tubuh yang masih
bagus. Selain itu, usia yang muda merupakan usia yang produktif untuk bekerja. Perempuan
yang mempunyai wajah cantik akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para laki-laki yang ada di
dalam perkebunan. Hal tersebut tidak lepas dari tujuan para pengusaha perkebunan merekrut
perempuan untuk dijadikan pelacur. Hal tersebut dijelaskan dalam skripsi karangan Wahyu Putra
Kelana yang berjudul Pelacuran pada Wilayah Perkebunan di Deli Sumatra Timur Tahun 1870-
1930.
Bidang pekerjaan buruh perempuan di perkebunan dibagi menjadi buruh perkebunan dan
pekerjaan sampingan. Buruh perempuan yang menjadi buruh perkebunan dipekerjakan untuk
pekerjaan yang berhubungan dengan perawatan tanaman tembakau hingga menjadi produk
tembakau yang mempunyai nilai jual yang tinggi. Buruh-buruh perempuan melakukan pekerjaan
menyortir atau memilah, mencari hama dan penyakit seperti ulat, menggaru tanah, mengikat, dan
menggantung daun tembakau.
Pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh buruh perempuan yaitu pelacuran dan
pergundikan. Pelacuran yang dilakukan oleh buruh perempuan memang dimanfaatkan oleh
pihak perkebunan sebagai alat untuk mengikat para buruh laki-laki agar tetap bekerja di
perkebunan. Para pihak perkebunan sengaja memberikan upah yang rendah kepada para buruh
perempuan agar mau menjadi pelacur. Upah yang rendah dan tingkat kebutuhan yang tinggi
menjadi salah satu faktor para buruh perempuan mau menjalankan profesi sebagai pelacur
(Kelana, 2016).
Dalam profesi pelacuran tersebut terdapat perbedaan antara kuli perempuan Cina dan kuli
perempuan Jawa. Kuli perempuan Cina menjalani profesinya sebagai pelacur dikalangan tandil
dan asisten perkebunan. Alasannya, kuli perempuan Cina dianggap lebih cantik dan lebih
menarik dibandingkan kuli perempuan Jawa. Sedangkan sebagian besar kuli perempuan Jawa

4
menjalani profesinya sebagai pelacur dikalangan sesama kuli, baik kuli laki-laki Jawa maupun
kuli laki-laki Cina (Aulia, 2006).
Tempat tinggal atau pemukiman para buruh di perkebunan disebut dengan barak. Barak-
barak yang dibangun cukup besar tersebut akan dihuni oleh ratusan buruh tanpa sekat. Bahkan,
sebenarnya barak merupakan tempat pengolahan tembakau pasca-panen yang sekaligus dijadikan
sebagai pemukiman para buruh. Kondisi kebersihan di pemukiman buruh, baik buruh perempuan
maupun buruh laki-laki tidak diperhatikan. Buruh perkebunan juga tidak mendapatkan kamar
mandi yang layak, sehingga mereka juga menggunakan barak tersebut sebagai kamar mandi.
Sehingga, kotoran dan tempat tidur mereka jadi satu di dalam barak tersebut. Akibat kebersihan
barak buruh yang tidak diperhatikan, banyak buruh yang terserang penyakit.
Gambaran dari kehidupan buruh kebun perempuan pada zaman kolonial adalah sebuah
kenyataan bahwa sistem usaha perkebunan yang dikembangkan sejalan dengan cita-cita politik
liberal, telah membawa dampak yang saling berlawanan. Di satu sisi para pengusaha perkebunan
dibantu oleh pemerintah kolonial Belanda telah memperoleh keuntungan ekonomi yang sangat
besar. Sedangkan di sisi lain penduduk di daerah Sumatera Timur tempat di mana perkebunan itu
berada tidak mendapatkan kemajuan dan kesejahteraan hidup yang berarti.

5
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Eksistensi Buruh Kebun Perempuan di Sumatera Utara
Faktor yang paling mendasari eksistensi buruh kebun perempuan di Sumatera Utara pada
tahun 2000an sampai dengan sekarang adalah faktor ekonomi. Terutama jika suami tidak mampu
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, istri sebagai seorang perempuan juga ikut membantu
dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Munculnya buruh perempuan sebagai angkatan
kerja berawal dari sebuah institusi keluarga. Eksistensi buruh perempuan melahirkan
permasalahan baru, yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi dalam hal pengupahan,
kepentingan, serta sikap-sikap sosial terhadap perempuan.
Lahan perkebunan yang luas di Sumatera Utara, membuat mata pencarian rakyat dari
sektor perkebunan sangat tinggi. Eksistensi buruh perempuan di Sumatera Utara pun cukup
banyak dibandingkan daerah lain. Bagi perempuan yang bertempat tinggal di sekitar wilayah
perkebunan, dengan latar belakang status sosial-ekonomi menengah kebawah, juga membuat
mereka memilih untuk bekerja sebagai buruh kebun untuk menambah pemasukan untuk
keluarga. Bekerja sebagai buruh harian lepas tidak memerlukan ijazah melainkan hanya
membutuhkan tenaga dan keuletan saja, sehingga bagi para perempuan-perempuan yang tidak
memiliki jenjang pendidikan tinggi mampu bekerja sebagai buruh harian lepas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmadini Tanjung pada tahun 2018 di
PTPN II Kebun Bulu Cina, terdapat faktor lain yang membuat para perempuan memilih
pekerjaan mereka sebagai buruh perkebunan. Terdapat ikatan emosional, rasa kekeluargaan dan
gotong-royong dengan pekerjaan tersebut yang sudah berlangsung selama 3 generasi. Sehingga
membuat buruh perempuan merasa cukup nyaman. Walaupun faktor ekonomi tetap menjadi
alasan utama mereka untuk bekerja.
Sebagian buruh kebun perempuan di Sumatera Utara masih mendapatkan perlakuan
diskriminasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Afrida Lubis pada tahun 2006,
mengungkapkan fakta buruknya kondisi buruh kebun perempuan yang ada di Serdang Bedagai.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, mayoritas buruh perempuan masih berstatus sebagai

6
buruh tidak tetap, upah dan penghargaan terhadap nilai serta hasil kerja yang rendah, fasilitas dan
kesejahteraan sosial yang rendah dengan beban kerja yang berat, tidak ada jaminan cuti haid dan
melahirkan, serta berbagai hak normatif buruh perempuan yang belum terpenuhi.
Hasil penelitian Rahmadini Tanjung pada tahun 2018 di PTPN II Kebun Bulu Cina, juga
menunjukkan gambaran dari buruh kebun perempuan yang masih memiliki upah rendah,
sehingga mereka harus memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh cuci, bekerja di tempat
makan, dan membuka usaha kecil di rumah.

7
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kehidupan buruh kebun perempuan di Sumatera Utara periode tahun 1800an-1900an
sangat memperihatinkan. Pihak Perkebunan menginginkan buruh laki-laki untuk bekerja di
perkebunan, tetapi pihak perkebunan merasa kesulitan mencari dan mempertahankan buruh laki-
laki untuk bekerja di perkebunan. Oleh karena itu, demi mencari dan mempertahankan kuli laki-
laki agar tetap berada di perkebunan, pihak perkebunan melakukan perekrutan buruh perempuan.
Ketika telah mendapatkan buruh perempuan yang mau bekerja di Perkebunan, pihak Perkebunan
tidak memerhatikan dan tidak peduli terhadap kehidupan buruh perempuan. Kebutuhan hidup
buruh perempuan seringkali atau bahkan diabaikan begitu saja. Janji memberikan kehidupan dan
tempat tinggal layak bagi buruh perempuan juga tidak ditepati oleh pihak perkebunan. Selain
pengabaian hak-hak dan tidak memberikan kehidupan yang layak bagi buruh perempuan, pihak
perkebunan juga memberikan upah kepada buruh perempuan lebih rendah daripada upah buruh
laki-laki.
Pada tahun 2000an sampai dengan sekarang, eksistensi buruh kebun perempuan semakin
banyak, namun kondisi kehidupan mereka tidak seburuk pada periode tahun 1800an-1900an.
Masalah ekonomi merupakan alasan dasar perempuan muncul di ranah publik selain masalah
pendidikan dan keahlian, kemiskinan menuntut para perempuan di perkebunan untuk bekerja
sebagai buruh harian lepas. Bekerja sebagai buruh lepas di perkebunan merupakan pilihan bagi
perempuan yang tinggal di lingkungan perkebunan yang letaknya jauh dari perkotaan, karena
hanya pekerbunan yang mampu memberikan pekerjaan bagi perempuan-perempuan tersebut.
Namun bagi perempuan-perempuan dimana pemasukannya hanya di gantungkan kepada
penghasilan dari bekerja sebagai buruh harian lepas kehidupan keluarganya dikatakan tidak
sejahtera. Mereka harus memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh cuci, bekerja di tempat
makan, dan membuka usaha kecil di rumah. Hal tersebut menjadi beban ganda bagi para buruh
kebun perempuan, disamping mereka bekerja sebagai buruh di kebun, mereka juga harus bekerja
di tempat lain dan mengurus kebutuhan rumah tangga mereka. Sebagian buruh kebun perempuan

8
di Sumatera Utara masih mendapatkan perlakuan diskriminasi. Bedasarkan hasil penelitian
Afrida Lubis pada tahun 2006, mayoritas buruh perempuan masih berstatus sebagai buruh tidak
tetap, upah dan penghargaan terhadap nilai serta hasil kerja yang rendah, fasilitas dan
kesejahteraan sosial yang rendah dengan beban kerja yang berat, tidak ada jaminan cuti haid dan
melahirkan, serta berbagai hak normatif buruh perempuan yang belum terpenuhi.

4.2 Saran atau Strategi Intervensi


1. Mensosialisasikan kepada seluruh warga di perkebunan tentang pentingnya pendidikan
untuk kehidupan yang sejahterah serta investasi masa depan, agar anak-anak untuk mau
meneruskan sekolahnya dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi
lagi.
2. Menghilangkan stereotipe bahwasannya laki-laki sebagai kepala keluarga yang pencari
nafkah utama sedangkan perempuan hanya bekerja untuk tambahan bagi ekonomi
keluarga, sehingga baik laki-laki dan perempuan sama-sama dapat memiliki kesempatan
bekerja sebagai karyawan tetap mendapatkan tunjangan dan fasilitas serta upah yang
sama agar dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga.
3. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 harusnya menjadi hal yang perlu diketahui oleh
seluruh buruh kebun perempuan, karena mengatur hak dan kewajiban para tenaga kerja
agar mendapatkan perlindungn, terjaminnya kesempatan dan hak-hak dasar, serta
mendapatkan perlakuan tanpa diskriminasi. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 menjadi
hal yang mutak untuk dilaksanakan, sebagai sebuah perlindungan hukum bagi buruh
kebun perempuan baik di Sumatera Utara, maupun di daerah lain.
4. Menerapkan pengawasan ketenagakerjaan, merupakan solusi lain dari permasalahan yang
ada. Menurut Agusmidah (2010) pengertian pengawasan ketenagakerjaan secara luas,
merupakan tindakan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengawasi pelaksananaan
kesehatan kerja, keamanan kerja, pelaksanaan peraturan perlindungan kerja, seperti
waktu kerja, waktu istirahat, aspek K3 dan sebagainya. Pengawasan ini dapat dilakukan
oleh berbagai pihak, baik oleh pemerintah, pihak swasta, organisasi perserikatan buruh,
dan sebagainya.

9
Daftar Pustaka
Agusmidah. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.

Aulia, Emil W. 2006. Berjoeta-joeta dari Deli: Satoe Hikajat Koelie Contract. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Awalyna, Anggia Citra Ayu. 2015. Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh Perempuan yang
Bekerja pada Malam Hari di PTPN X Unit Industri Bobbin, Jember. Skripsi.
Jember: Universitas Jember.

Badan Pusat Statistik, 2019. Sumatera Utara Dalam Angka 2019, Medan: BPS Sumatera Utara.
Breman, Jan. 1992. Koelies, Planters en Koloniale Politiek. Leiden: KITLV Uitgeverig.

Budiono, Abdul Rachmad. 2001. Hukum Perburuhan. Jakarta: PT Indeks.

Heryanto, V. R. 2001. Teror Negara: Ariel Heryanto tentang Politik Pendidikan dan Batuk-batuk
Pagi. Dalam Baskara T. Wardaya (Ed.), Menuju Demokrasi: Politik Indonesia
dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jufrida. 2007. Masuknya Bangsa Cina ke Pantai Timur Sumatera. Jurnal Historisme. Nomor 23
Medan: Balai Arkeologi Medan.

Kelana, Wahyu Putra. 2016. Pelacuran pada Wilayah Perkebunan di Deli Sumatra Timur Tahun
1870-1930. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara

Lubis, Afrida. 2006. Diskriminasi terhadap Buruh Perempuan di Serdang Bedagai Sumatera
Utara. Skripsi. Medan: Universitas Negeri Medan.

Ollenburger, Jane C dan Moore, Hellen A. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineka Cipta
Sari, Asteria Desi Kartika. 2019. Detail Data Kondisi Perkebunan Sumut Masih Minim,
Bisnis.com, diakses dari
https://sumatra.bisnis.com/read/20190725/533/1128399/detail-data-kondisi-perkebunan-
sumut-masih-minim diakses pada tanggal 12 April 2020 pukul 09:33

10
O’Malley, William Joseph. 1988. “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anne Booth,William
J.O’Malley, dan Anna Wiedemann (Ed.). Sejarah Ekonomi Indonesia.
Terjemahan. Jakarta: Penerbit LP3ES
Ramayanti, Anisyah. 2018. Kehidupan Kuli Perempuan di Perkebunan Tembakau Deli
Sumatera Timur Tahun 1870-1930. Skripsi. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya

Rosidah, Iyos. 2012. Eksploitasi Pekerja Perempuan di Perkebunan Tembakau Deli Sumatra
Timur 1870-1930. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Saragih, Nurul Kumala Sari. 2013. Profil Perempuan Sebagai Buruh Harian Lepas (Menol) di
PT . Perkebunan Nusantara IV Sei Kopas Kecamatan Bandar Pasir Mandoge Kabupaten
Asahan. Skripsi. Medan: Universitas Negeri Medan.

Suwirta, Andi (2002). Buruh Perkebunan di Sumatera Timur: Sebuah Tinjauan Sejarah. Jurnal
Pendidikan Sejarah, 3, 32.
Suyono, R.P. 2005. Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Tanjung, Rahmadini. 2018. Eksistensi Buruh Perempuan (Studi tentang Buruh PTPN II Kebun
Bulu Cina dari Orde Baru sampai Reformasi). Skripsi. Medan: Universitas Negeri
Medan.

Thamrin, Mahandis Yoanata. 2013. Kisah Tak Terperi Kuli Hindia Belanda, National
Geographic Indonesia, diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/131662370/kisah-
tak- terperi-para-kuli-hindia-belanda pada tanggal 12 April 2020 pukul 09:33
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

11
12

Anda mungkin juga menyukai