Anda di halaman 1dari 10

MATAKULIAH ETIKA BISNIS

"Teori-teori Etika"

DISUSUN OLEH :

Nurul izzah

A021191126

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
Istilah etika bisnis (Business Ethics), jauh lebih muda dari etika itu sendiri. Etika bisnis
sudah mulai muncul sejak tahun 1960an. Pada saat itu ditandai dengan perubahan
perubahan sudut pandang dalam perilaku komunitas di Amerika Serikat dan juga
menghadapi dunia bisnis.Ekonomi Amerika kala itu bertumbuh cepat dan niendominasi
pertumbuhan ekonomi dunia, Amerika merajai bisnis dunia, perusahaan-
perusahaannya beroperasi di banyak negara. Pelaku-pelaku bisnis yang memiliki harta
yang cukup banyak memasuki panggung politik dan berhasil, dan sebagian pengusaha
lainnya menjadi penguasa pemerintahan kala itu. Etika bisnis yang lahir di Amerika
Serikat sekitar tahun 1970-an dan menjadi isu utama yang mengglobal sejak tahun
1990-an, selanjutnya men-jadi isu yang ramai di bicarakan oleh berbagai kalangan
masyarakat.

Teori Etika memiliki peranan penting dalam melegitimasi segala perbuatan dan
tindakan yang dilihat dari sudut pandang moralitas yang telah disepakati oleh
masyarakat. Dalam prakteknya, terkadang penerapan nilai etika hanya dilakukan
sebatas persetujuan atas standar moral yang telah disepakati untuk tidak dilanggar.
Norma moral yang menjadi standar masyarakat untuk menentukan baik buruknya
perilaku dan tindakan seseorang, terkadang hanya dianggap suatu aturan yang
disetujui bersama tanpa dipertimbangkan mengapa aturan-aturan moral tersebut harus
kita patuhi. Untuk itu, pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam mengenai alasan-
alasan mengapa kita perlu berperilaku yang etis sesuai dengan norma-norma moral
yang telah disepakati, melahirkan suatu bentuk teori etika yang menyediakan kerangka
untuk memastikan benar tidaknya keputusan moral kita. Ada beberapa pendekatan
dalam teori etika antara lain :

1. Teori Hedonisme
Teori hedonisme berangkat dari pemikiran seorang filsuf bernama Aristippos
(435 – 366 SM) , salah satu murid Sokrates, dan yang kemudian dikembangkan
oleh Epikuros. Teori ini menekankan pada pandangan hidup yang menganggap
bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama dari hidup.
Aristippos menganggap bahwa kesenangan adalah hal yang manusia cari dalam
hidupnya. Manusia akan cenderung mencari kesenangan dan menjauhi diri dari
ketidaksenangan. Namun ia membatasi pemikirannya bahwa walaupun manusia
mencari kesenangan, mereka harus dapat membatasi diri agar tidak terbawa
oleh kesenangan tersebut. Selain itu ia juga mengungkapkan bahwa
kesenangan yang dimaksud adalah kesenangan yang sifatnya aktual (right now
and right here), badani, serta individual.
Pada perkembangan selanjutnya Epikuros mengembangkan konsep pemikiran
bahwa ksenangan merupakan tujuan akhir dari kehidupan manusia.
Pemikirannya sedikit berbeda dengan pandangan Aristippos mengenai
kesenangan. Menurutnya, kesenangan yang dicari manusiadapat melebihi dari
sekedar kesenangan badaniah. Hal ini juga tidak berarti bahwa ia
mengungkapkan kesenangan tertingi adalah kesenangan rohani karena menurut
filsuf ini kesenangan rohani merupakan bentuk halus dari kesenangan badaniah.
Epikuros menganggap kesenangan diperoleh dari keinginan-keingian seseorang
terhadap suatu hal, yaitu:
1. Keinginan alamiah yang perlu, misalnya seperti makanan, pakaian, dan
rumah;
2. Keinginan alamiah yang tidak perlu, misalnya makanan yang mewah, pakaian
yang indah, atau rumah yang bertingkat; serta
3. Keinginan yang sia-sia, misalnya kekayaan, kekuasaan, dan lain
sebagainya.
Dari ketiga sumber kesenangan ini, kesenangan yang pertamalah yang dianggap
paling menghasilkan kesenangan paling besar. Poin penting yang dimaksudkan
oleh Epikuros adalah suatu keadaan manusia dimana batinnya tenang (Ataraxia)
dan tubuhnya yang sehat. Maka dari itulah manusia dapat mencaai kebahagiaan
tertinggi dalam hidupnya ketika manusia tidak memiliki rasa untuk mendapatkan
sesuatu dengan tubuh yang sehat.
Hedonisme selalu mengedepankan kepentingannya diri sendiri terlebih dahulu
dibandingkan dengan kepentingan orang lain. Sehingga hal ini menggambarkan
bahwa hedonisme mengandung egoisme etis. Suatu perilaku hedonism etis
merupakan bagian dari moralitas yang dianggap baik. Namun kesenangan saja
tidak menjamin perbuatan seseorang dikatakan etis karena terdapat
pertimbangan-perymbangan lain selain kesenangan semata.
Contoh kasus:
Dari Koran harian Kompas, Rabu 11 April 2012, halaman 12, dapat diketahui
gambaran sekilas mengenai kehidupan para buruh tambang emas Monterado.
Monterado merupakan sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten
Bengkayang Kalimantan Barat. Setidaknya sejak tahun 1819, para buruh
tambang dan warga sekitar telah menggantungkan hidupnya pada tambang
emas. Namun tidak seperti beberapa abad yang lalu di mana para buruh dapat
hidup begitu sejahtera dan serba berkecukupan dari hasil penambangan emas,
kini hidup para buruh semakin sulit seiring dengan berkurangnya kandungan
emas akibat pengeksploitasian yang telah dilakukan hingga berabad-abad
lamanya.Nasib buruh tambang emas di Monterado, tambang yang amat terkenal
hingga diceritakan oleh Mary Somers Heidhues dan Yuang Bingling melalui buku
mereka yang berjudul Chinese Democracies, Study of The Kongsis of West
Borneo (1776-1884) kini sangat berkebalikan dengan buruh pada masa kongsi
dulu karena kemungkinan mereka hanya akan mendapatkan tiga gram emas
dalam sehari. Itupun jika sedang beruntung. Jika tidak, bisa saja mereka tidak
mendapatkan hasil apapun bahkan setelah bekerja sehari penuh. Padahal
pekerjaan mereka sama sekali bukanlah pekerjaan yang ringan.Untuk
mendapatkan emas, para buruh berbagi tugas di lubang tambang. Ada yang
menggali tanah, menyemprotkan air, memasang selang penyedot lumpur, ada
pula yang mengawasi mesin penyemprot serta penyedot air. Pada musim
kemarau seperti bulan Maret lalu, ketika siang hari tentu saja mereka harus
bekerja di bawah terik matahari. Apalagi mengingat posisi Monterado yang
berada di sekitas garis khatulistiwa. Mereka bekerja dalam kondisi baju yang
basah karena air dan lumpur selama hampir sehari penuh.

Tanpa pengamanan, pekerjaan tersebut menuntut mental dan stamina yang


tinggi. Namun dengan pekerjaan yang demikian tersebut, potensi sakit bagi para
buruh cukup tinggi. Apalagi ditambah rumah mereka yang juga memprihatinkan,
hanya berdinding kayu dengan sanitasi yang kurang sehat. Pekerjaan mereka
pun amat rawan kecelakaan. Salah satu buktinya ialah Tito, seorang buruh
tambang yang pernah hampir mati dan mengalami cacat kaki akibat tertimbun
longsor tanah dan pasir di pertambangan emas tradisional.
Tidak hanya itu, penderitaan para buruh tersebut kian bertambah karena mereka
hanya mendapatkan hak atas 30% hasil penjualan emas karena tujuh persennya
merupakan hak pemilik tambang. Sedangkan harga butiran emas dari
pertambangan Rp 360.000,00 per gramnya. Maka ketika lima orang buruh
mendapatkan tiga gram emas, mereka menghasilkan Rp 1.080.000,00. Namun
karena 70 persennya untuk pemilik tambang, mereka hanya berhak atas Rp
324.000,00 dibagi lima sehingga masing-masing buruh hanya mendapat Rp
64.800,00 dalam sehari setelah bekerja hampir sehari penuh. Hal tersebut
sangat tidak berimbang dibandingkan dengan Rp 648.000,00 yang diperoleh
pemilik tambang tanpa bekerja langsung di lapangan.
Menurut hedonis, apa yang dianggap benar-benar baik bagi manusia ialah
kesenangan. Sejak kecil manusia selalu berusaha mencapai kesenangan dan
menjauhkan diri dari ketidaksenangan. Hal tersebut diakui oleh dua filsuf Yunani
yaitu Aristippos yang merupakan murid Sokrates dan Epikuros. Walaupun
keduanya setuju bahwa pada dasarnya manusia menjadikan menjadikan
kesenangan sebagai tujuan hidupnya, pandangan masing-masing dari mereka
terhadap kesenangan itu sendiri berbeda-beda.
Aristrippos menganggap bahwa kesenangan hanya bersifat badani belaka yang
hakikatnya ialah gerak dalam badan dengan tiga kemungkinan. Pertama gerakan
kasar seperti rasa sakit yang merupakan ketidaksenangan, selanjutnya ada
gerakan halus yang merupakan ketidaksenangan, dan ada pula ketiadaan gerak
seperti tidur yang merupakan keadaan netral. Menurutnya pula yang dapat
dianggap sebagai kesenangan bersifat individual, dan terjadi di masa kini, bukan
masa lalu atau masa mendatang.
Oleh karenanya, jika ditinjau dari teori hedonisme versi Aristrippos, apa yang
dilakukan para buruh tambang Monterado sama sekali bukanlah sesuatu yang
baik walaupun dalam bekerja banyak hal-hal positif seperti bekerja keras,
sungguh-sungguh, pantang menyerah, rajin, dan ulet yang tercermin. Pekerjaan
sebagai buruh yang harus dilakukan hampir sepanjang hari setiap harinya
dengan penuh kerja keras, keuletan, dan pantang menyerah pastinya sangat
melelahkan dan rasa lelah tentu saja bukanlah hal yang menyenangkan bagi
tubuh. Apalagi ditambah dengan tidak adanya pengamanan tertentu bagi buruh
di lingkungan kerja yang sewaktu-waktu menyebabkan potensi terjadinya
kecelakaan kerja seperti yang dialami Tito dan mengakibatkan kecacatan tubuh.
Hal itu membuat tubuh dan indera harus selalu waspada sehingga juga memicu
kelelahan dan ketegangan. Juga pekerjaan yang menuntut mereka harus selalu
dalam keadaan basah oleh air dan lumpur dengan sengatan terik matahari di
atasnya pada musim kemarau yang normalnya akan menimbulkan rasa tidak
nyaman yang dirasakan tubuh.
Ketika sedang bekerja sesungguhnya mereka sedang memperjuangkan suatu
kesengan jasmaniah. Jika para buruh tidak bekerja mereka tidak akan
mendapatkan uang yang berarti mereka tidak dapat membeli makanan. Mereka
pun akan kelaparan dan hal itu bukanlah hal yang menyenagkan. Sedangkan
jika mereka bekerja kemungkinan besar nantinya ia akan mendapatkan uang
sehingga ia dapat membeli makanan, makan, dan tidak kelaparan. Namun
kembali lagi, berarti kesenangan itu baru akan didapatkan nanti, bukan waktu
sekarang (saat mereka bekerja). Oleh karena itu bekerjanya seorang buruh
tambang emas Monterado juga tetap teranggap sebagai hal yang tidak baik
menurut teori hedonisme Aristrippos.
Sedangkan menurut teori hedonisme Epikuros, bekerjanya para buruh dapat
digolongkan sebagai hal yang baik karena dengan bekerja mungkin keresahan
mereka karena bayangan tidak bisanya memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarga akan berkurang seiring dengan adanya harapan akan mendapatkan
emas dan upah. Bagi Epikuros yang dimaksud kesenangan bukanlah yang
bersifat jasmaniah atau indrawi saja melainkan ketenangan jiwa atau bebasnya
manusia dari berbagai keresahan hati, serta tidak membatasi bahwa yang dapat
dianggap kesenangan hanyalah yang terjadi saat ini saja.
Sedangkan apa yang dilakukan oleh pemilik tambang justru merupakan hal yang
baik ditinjau dari teori hedonisme, baik hedonisme menurut Aristrippos maupun
Epikuros walaupun mereka dapat dikatakan telah berbuat cukup kejam dan tidak
adil kepada para buruh. Ketika para buruh harus bekerja keras dan bersusah
payah ia dapat saja bersantai-santai tanpa membuat badan mereka kelelahan
atau lecet-lecet. Tanpa usaha fisik sesulit para buruh pun mereka sudah bisa
mendapatkan uang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
jasmaninya bahkan dengan jumlah yang berkali lipat lebih banyak. Dengan
demikian ia pun tidak akan mengalami kekhawatiran tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidup seperti yang dialami para buruh. Kemungkinan pula ia tidak
merasa resah karena perasaan bersalah akibat merasa telah bertindak kurang
adil pada buruh dengan sistem bagi hasil yang demikian. Jika ia mau, tentu bisa
saja dengan mudah ia meromabk peraturan menjadi 50:50 atau bahkan 20:80
perbandingan antara haknya dengan hak buruh atas uang yang dihasilkan.
2. Teori Eudemonisme
Pandangan ini dipelopori oleh seorang filsuf terkenal yang bernama Aristoteles
(384 – 322 SM). Ia berpedapat bahwa dalam setiap kehidupannya, manusia
berperilaku untuk mengejar tujuan-tujuan dalam hidupnya. Tujuan yang ia
maksudkan adalah kebahagiaan. Ia menganggap tujuan akhir dari segala
perilaku manusia adalah kebahagiaan. Bentuk perilaku yang dapat dilakukan
adalah dengan hidup mencari nikmat, hidup berpolitik, dan hidup berfilsafat.
Untuk itu manusia perlu untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada
didalam dirinya untuk dapat meraih kebahagiaan yaitu dengan menjalankan
kegiatan-kegiatan rasional. Kegiatan-kegiatan rasional tersebut harus dijalankan
berdasarkan keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan yang
dimaksud oleh Aristoteles memiliki fungsi untuk menuntun tindakan seseorang
secara tepat. Keutamaan intelektual ada untuk menyempurnakan rasio. Jadi
dengan keutamaan intelektual maka seorang individu dapat memahami
kebenaran secara universal (sophia) serta mengetahui tindakan yang tepat bila
dihadapkan dalam sebuah situasi (phonêsis). Sedangkan keutamaan moral
berbicara bagaimana manusia menjalankan pilihan yang perlu ia lakukan bila ia
dihadapkan pada situasi yang memiliki pilihan ekstrim. Maka dari itu keadaan
seperti inilah yang harus dihindari oleh manusia.
Keutamaan bukan didapatkan melalui pendidikan namun didapatkan dari
pengalaman kesehariannya dalam bertindak yang sesuai dengan keutamaannya
masing-masing individu. Namun teori ini menuia banyak kritik karena sudah tidak
sesuai dengan keadaan pada zaman sekarang. Pasalnya pemkiran Aristoteles
ini dipengaruhi oleh kaum elit bagsa Yunani pada zaman itu.
Contoh kasus :
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang makmur. Namun, dalam
kenyataannya, bangsa kita telah dikuasai oleh kehausan akan harta, kekuasaan,
keserakahan, dan keegoisan. Aneka persoalan memporak-porandakan bangsa
kita bagaikan lingkaran setan menghantui rakyat kecil. Rakyat menderita akibat
ulah pemerintah sendiri yang lebih mengedepankan kebahagiaan individual
daripada kebahagiaan bersama. Maka, tidaklah berlebihan kalau dikatakan
bahwa pada tataran inilah etika “eudaimonia” Aristotelian berada dalam posisi
kenaifan, yaitu ketika pemerintah mengedepankan kebahagiaan individu
daripada kebahagiaan bersama, padahal terminologi kebahagiaan dalam etika
“eudaimonisme” Aristotelian perlu disimak dengan rasionalitas yang baik.
Maksudnya, terminologi kebahagiaan dalam Aristotelian, bukan hanya
dimaksudkan pada kebahagiaan individu atau kelompok saja, tetapi juga
menyangkut kebahagiaan bersama. Maka rumusan prinsip pokok faham ini yang
seharusnya adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang
lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu :
a) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan,
b) kemauaan,
c) perbuatan baik, dan
d) pengetahuan batiniah.
Kebahagiaan bersama tercapai apabila masing-masing pihak menyadari apa arti
kebahagiaan dalam hidup manusia. Namun, persoalan yang kita hadapi adalah
justru para penguasa bangsa kita tidak mampu menciptakan kebahagiaan
bersama. Yang terjadi sebaliknya adalah rakyat menderita akibat ulah penguasa
bangsa kita. Penguasa yang sesungguhnya menjadi pendorong untuk
menciptakan “eudaimonia” bagi rakyat, justru berbalik menjadi penghambat
kebahagiaan itu sendiri. Rakyat kini terperangkap dalam kemiskinan akibat
kenaikan harga-harga. Tidak kalah pentingnya, rakyat kita semakin menderita,
bahkan kebahagiaan itu semakin menjauh dari harapan ketika apa yang kita
miliki disewakan kepada orang lain.
3. Teori Utilitarian
Etika Utilitarianisme adalah suatu Etika yang berangkat dari konsep
utilitarianisme berupa etika normatif yang menyatakan bahwa suatu tindakan
yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan, biasanya didefinisikan
sebagai memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.Bahwa
dalam menjalakan bisnis harus menjalankan keputusan berdasarkan baik
buruknya suatu keputusan, yaitu keputusan etis untuk utilitarianisme dan
keputusan bisnis untuk kebijaksanaan bisnis. Etika Utilitarianisme untuk pertama
kalinya diperkenalkan oleh Jeremy Bentham ( 1748 – 1832 ), pada saat tersebut
dia “ bagaimana menilai baik suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi dan
legal secara moral.
Etika Utilitarian adalah sebuah teori etika yang dikemukakan David Hume (1711–
1770) dan dirumuskan secara definitif oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill
(1806–1873) dan para pengikutnya.
Bentham berpendapat bahwa ada satu prinsip moral yang utama yakni “Prinsip
Utilitas”. Prinsip ini menuntut agar setiap kali kita menghadapi pilihan dari antara
tindakan alternatif atau kebijakan, sosial, kita mengambil satu pilihan yang
mempunyai konsekuensi, yang secara menyeluruh paling baik bagi setiap orang
yang terlibat di dalamnya.
Secara singkat teori Utilitarian klasik atau yang dikemukakan oleh Bentham dan
Mill dapat dinyatakan ke dalam tiga pernyataan sebagai berikut:
1. Tindakan harus dinilai benar atau salah dari sisi akibat-akibat
(consequences).
2. Untuk mengukur akibat-akibatnya, pertimbangan yang penting adalah jumlah
kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang diakibatkan, sedangkan hal atau
pertimbangan yang lain tidak relevan.
3. Kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya. Sebagaimana
dikatakan Mill, bahwa Utilitarisme menuntut orang besikap keras, tidak pilih
kasih, bagaikan penonton yang baik hati dan tidak pamrih (Rachels, 2008:
187–188).
Perlu diberikan catatan untuk pernyataan nomor tiga nampaknya sangat adil
bermoral dan mudah diterima. Namun demikian, Ross Poole (1993: 12)
memberikan catatan kelemahan dari sikap tidak pilih kasih ini dapat
menyebabkan hubungan khusus bagi orang yang dekat dengan subjek pelaku.
Hal itu dapat dicontohkan bahwa tidak mungkin seseorang mempermalukan
secara sama antara orang lain dengan keluarga dekat seperti anak, ibu, ayah
dan sebagainya.
Oleh karena itu moralitas utilitarian sama impersonalnya seperti pasar dalam
pembagian imbalan–imbalan dan hukuman–hukuman. Moral utilitarian dapat
menghilangkan kehangatan hubungan personal antarmanusia.Jadi, bagaimana
menilai kebijaksanaan public, yaitu kebijaksanaan yang mempunyai dampak bagi
kepentingan banyak orang , secara moral di mana setiap publik selalu
mengandung kemungkinan diterima dan didukung oleh pihak atau kelompok
tertentu sambil ditentang dan dikutuk pihak atau kelompok lainnya.Apalagi
kebijaksanaan publik dalam banyak hal sulit memenuhi secara memuaskan
kepentingan semua yang terkait secara sama. Karena , itu masalah kriteria,
termasuk yang paling minimal sekali pun, yang dapat dijadikan pegangan
sekaligus pembenaran moral atas suatu kebijaksanaan publik menjadi sangat
mendesak dan perlu.Bentham lalu menemukan bahwa dasar yang paling objektif
adalah dengan melihat apakah suatu kebijaksanaan atau tindakan tertentu
membawa manfaat atau hasil yang berguna atau sebaliknya, kerugian bagi
orang terkait.
Comtoh kasus:
Suatu contoh utilitarianisme dapat kita lihat pada sistem produksi makanan
ringan biskuit Oreo. Seperti yang telah diketahui bahwa produk makanan ini
merupakan makanan ringan yang sangat digemari oleh masyarakat terlebih anak
anak. Produk makanan ini dapat dikatakan produk yang harganya terjangkau
bagi masyarakat. Pada awal produksinya berjalan dengan baik dan sesuai uji
kesehatan dan gizi makanan. Namun, belakangan ini terdengar bahwa ada
penyelewenangan terhadap bahan baku digunakan yang sangat merugikan
masyarakat. Hal ini terjadi dengan alasan adanya krisis ekonomi global yang
mengakibatkan bahan baku produksinya lebih mahal dan implikasinya ke profit
yang diinginkan manajemen produk makanan Oreo tersebut menurun. Sehingga
mereka ingin mengurangi biaya produksi dengan menggunakan bahan baku
yang tidak semestinya. Yang mengakibatkan adanya dampak medis dan
kerugian material bagi konsumen.Sesuai dengan teori utilitarianisme
menyatakan bahwa tindakan dan kebijakan pengambilan keputusan ini perlu
dievalusi menjadi tindakan yang benar". Sehingga keinginan untuk mendapatkan
keuntungan yang besar harus dilakukan dengan produksi yang benar sehingga
tidak merugikan masyarakat dan dapat mengembalikan nama baik perusahaan
ke konsumen.
4. Teori Deontologi

Etika deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah
tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban
yang relevan untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'
dan logos berarti “pengetahuan”. Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh
C.D. Broad dalam bukunya Five Types of Ethical Theory. Etika deontologis juga
sering disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai
faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan.
Dalam pemahaman teori Deontologi memang terkesan berbeda dengan
Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan pada
konsekuensi, maka dalam Deontologi benar-benar melepaskan sama sekali
moralitas dari konsekuensi perbuatan. ”Deontologi” ( Deontology ) berasal dari
kata dalam Bahasa Yunani yaitu : deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam
suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan
tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari
hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi
menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik
tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu
perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik, karena dalam Teori
Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini merupakan suatu
keharusan..
Para penganut etika deontologis, seperti Immanuel Kant (1724-1804) sebagai
pelopornya misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara
mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil
yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau
"bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah
menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana
saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutalk
semua manusia sebagai makhluk rasional.
Contoh kasus:
PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat
bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata
dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga
sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana contoh diatas.
Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan
investor menjadi enggan untuk berinvestasi. Dalam kasus ini, PT. Perusahaan
Listrik Negara (Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti
dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu
memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika
deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya.

Anda mungkin juga menyukai