Etika Bisnis S1 Nurul Izzah A021191126 Tugas Paper 2021
Etika Bisnis S1 Nurul Izzah A021191126 Tugas Paper 2021
"Teori-teori Etika"
DISUSUN OLEH :
Nurul izzah
A021191126
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
Istilah etika bisnis (Business Ethics), jauh lebih muda dari etika itu sendiri. Etika bisnis
sudah mulai muncul sejak tahun 1960an. Pada saat itu ditandai dengan perubahan
perubahan sudut pandang dalam perilaku komunitas di Amerika Serikat dan juga
menghadapi dunia bisnis.Ekonomi Amerika kala itu bertumbuh cepat dan niendominasi
pertumbuhan ekonomi dunia, Amerika merajai bisnis dunia, perusahaan-
perusahaannya beroperasi di banyak negara. Pelaku-pelaku bisnis yang memiliki harta
yang cukup banyak memasuki panggung politik dan berhasil, dan sebagian pengusaha
lainnya menjadi penguasa pemerintahan kala itu. Etika bisnis yang lahir di Amerika
Serikat sekitar tahun 1970-an dan menjadi isu utama yang mengglobal sejak tahun
1990-an, selanjutnya men-jadi isu yang ramai di bicarakan oleh berbagai kalangan
masyarakat.
Teori Etika memiliki peranan penting dalam melegitimasi segala perbuatan dan
tindakan yang dilihat dari sudut pandang moralitas yang telah disepakati oleh
masyarakat. Dalam prakteknya, terkadang penerapan nilai etika hanya dilakukan
sebatas persetujuan atas standar moral yang telah disepakati untuk tidak dilanggar.
Norma moral yang menjadi standar masyarakat untuk menentukan baik buruknya
perilaku dan tindakan seseorang, terkadang hanya dianggap suatu aturan yang
disetujui bersama tanpa dipertimbangkan mengapa aturan-aturan moral tersebut harus
kita patuhi. Untuk itu, pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam mengenai alasan-
alasan mengapa kita perlu berperilaku yang etis sesuai dengan norma-norma moral
yang telah disepakati, melahirkan suatu bentuk teori etika yang menyediakan kerangka
untuk memastikan benar tidaknya keputusan moral kita. Ada beberapa pendekatan
dalam teori etika antara lain :
1. Teori Hedonisme
Teori hedonisme berangkat dari pemikiran seorang filsuf bernama Aristippos
(435 – 366 SM) , salah satu murid Sokrates, dan yang kemudian dikembangkan
oleh Epikuros. Teori ini menekankan pada pandangan hidup yang menganggap
bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama dari hidup.
Aristippos menganggap bahwa kesenangan adalah hal yang manusia cari dalam
hidupnya. Manusia akan cenderung mencari kesenangan dan menjauhi diri dari
ketidaksenangan. Namun ia membatasi pemikirannya bahwa walaupun manusia
mencari kesenangan, mereka harus dapat membatasi diri agar tidak terbawa
oleh kesenangan tersebut. Selain itu ia juga mengungkapkan bahwa
kesenangan yang dimaksud adalah kesenangan yang sifatnya aktual (right now
and right here), badani, serta individual.
Pada perkembangan selanjutnya Epikuros mengembangkan konsep pemikiran
bahwa ksenangan merupakan tujuan akhir dari kehidupan manusia.
Pemikirannya sedikit berbeda dengan pandangan Aristippos mengenai
kesenangan. Menurutnya, kesenangan yang dicari manusiadapat melebihi dari
sekedar kesenangan badaniah. Hal ini juga tidak berarti bahwa ia
mengungkapkan kesenangan tertingi adalah kesenangan rohani karena menurut
filsuf ini kesenangan rohani merupakan bentuk halus dari kesenangan badaniah.
Epikuros menganggap kesenangan diperoleh dari keinginan-keingian seseorang
terhadap suatu hal, yaitu:
1. Keinginan alamiah yang perlu, misalnya seperti makanan, pakaian, dan
rumah;
2. Keinginan alamiah yang tidak perlu, misalnya makanan yang mewah, pakaian
yang indah, atau rumah yang bertingkat; serta
3. Keinginan yang sia-sia, misalnya kekayaan, kekuasaan, dan lain
sebagainya.
Dari ketiga sumber kesenangan ini, kesenangan yang pertamalah yang dianggap
paling menghasilkan kesenangan paling besar. Poin penting yang dimaksudkan
oleh Epikuros adalah suatu keadaan manusia dimana batinnya tenang (Ataraxia)
dan tubuhnya yang sehat. Maka dari itulah manusia dapat mencaai kebahagiaan
tertinggi dalam hidupnya ketika manusia tidak memiliki rasa untuk mendapatkan
sesuatu dengan tubuh yang sehat.
Hedonisme selalu mengedepankan kepentingannya diri sendiri terlebih dahulu
dibandingkan dengan kepentingan orang lain. Sehingga hal ini menggambarkan
bahwa hedonisme mengandung egoisme etis. Suatu perilaku hedonism etis
merupakan bagian dari moralitas yang dianggap baik. Namun kesenangan saja
tidak menjamin perbuatan seseorang dikatakan etis karena terdapat
pertimbangan-perymbangan lain selain kesenangan semata.
Contoh kasus:
Dari Koran harian Kompas, Rabu 11 April 2012, halaman 12, dapat diketahui
gambaran sekilas mengenai kehidupan para buruh tambang emas Monterado.
Monterado merupakan sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten
Bengkayang Kalimantan Barat. Setidaknya sejak tahun 1819, para buruh
tambang dan warga sekitar telah menggantungkan hidupnya pada tambang
emas. Namun tidak seperti beberapa abad yang lalu di mana para buruh dapat
hidup begitu sejahtera dan serba berkecukupan dari hasil penambangan emas,
kini hidup para buruh semakin sulit seiring dengan berkurangnya kandungan
emas akibat pengeksploitasian yang telah dilakukan hingga berabad-abad
lamanya.Nasib buruh tambang emas di Monterado, tambang yang amat terkenal
hingga diceritakan oleh Mary Somers Heidhues dan Yuang Bingling melalui buku
mereka yang berjudul Chinese Democracies, Study of The Kongsis of West
Borneo (1776-1884) kini sangat berkebalikan dengan buruh pada masa kongsi
dulu karena kemungkinan mereka hanya akan mendapatkan tiga gram emas
dalam sehari. Itupun jika sedang beruntung. Jika tidak, bisa saja mereka tidak
mendapatkan hasil apapun bahkan setelah bekerja sehari penuh. Padahal
pekerjaan mereka sama sekali bukanlah pekerjaan yang ringan.Untuk
mendapatkan emas, para buruh berbagi tugas di lubang tambang. Ada yang
menggali tanah, menyemprotkan air, memasang selang penyedot lumpur, ada
pula yang mengawasi mesin penyemprot serta penyedot air. Pada musim
kemarau seperti bulan Maret lalu, ketika siang hari tentu saja mereka harus
bekerja di bawah terik matahari. Apalagi mengingat posisi Monterado yang
berada di sekitas garis khatulistiwa. Mereka bekerja dalam kondisi baju yang
basah karena air dan lumpur selama hampir sehari penuh.
Etika deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah
tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban
yang relevan untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'
dan logos berarti “pengetahuan”. Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh
C.D. Broad dalam bukunya Five Types of Ethical Theory. Etika deontologis juga
sering disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai
faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan.
Dalam pemahaman teori Deontologi memang terkesan berbeda dengan
Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan pada
konsekuensi, maka dalam Deontologi benar-benar melepaskan sama sekali
moralitas dari konsekuensi perbuatan. ”Deontologi” ( Deontology ) berasal dari
kata dalam Bahasa Yunani yaitu : deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam
suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan
tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari
hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi
menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik
tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu
perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik, karena dalam Teori
Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini merupakan suatu
keharusan..
Para penganut etika deontologis, seperti Immanuel Kant (1724-1804) sebagai
pelopornya misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara
mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil
yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau
"bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah
menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana
saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutalk
semua manusia sebagai makhluk rasional.
Contoh kasus:
PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat
bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata
dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga
sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana contoh diatas.
Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan
investor menjadi enggan untuk berinvestasi. Dalam kasus ini, PT. Perusahaan
Listrik Negara (Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti
dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu
memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika
deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya.