Anda di halaman 1dari 4

Tugas 1

UTILITARISME

Tinjauan Kritis

Dari proposisi di atas dapat dipahami bahwa utilitarianisme Jeremy Bentham dengan prinsip the greatest
happiness of the greatest number seolah-olah menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme.
Konsekuensialisme dipahami sebagai paham yang bependirian bahwa yang baik ditetapkan berdasarkan
akibat. Bila akibat itu baik, maka perbuatan yang bersangkutan baik. Sebaliknya, meskipun dikatakan
baik, bila akibatnya buruk, maka perbuatan yang bersangkutan buruk. Welfarisme adalah paham yang
berpendirian bahwa usaha masyarakat, terutama negara, harus ditujukan untuk kesejahteraan masing-
masing warga negara dan rakyat secara keseluruhan. Karena itu, utilitarianisme berpendirian bahwa
perbuatan baik ditentukan menurut akibat baik, kegunaan, manfaat, dan keuntungannya bagi masing-
masing dan sebagaian besar orang yang terkena (Mangunhardjo. 2000: 229).

Dari konsepsi berfikir seperti di atas, maka sebagai prinsip moral, Utilitarianisme mengandung beberapa
kelemahan mendasar. Pertama, Terlalu menekankan kegunaan, manfaat keuntungan, sebagai kriteria
untuk menilai baik dan buruknya perbuatan. Muncul pertanyaan, ”berguna untuk siapa”?. Karena
kegunaan, manfaat, keuntungan selalu berhubungan dengan orang yang terkena. Padahal pandangan
orang tentang apa yang berguna, bermanfaat, menguntungkan sangat subyektif dan berbeda-beda.
Selain itu, prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa kebahagiaan dibagi juga dengan adil.
Jika dalam suatu masyarakat mayoritas terbesar hidup makmur dan sejahtera serta hanya ada minoritas
kecil yang serba miskin dan mengalami rupa-rupa kekurangan, menurut utilitarisme dari segi etis
masyarakat seperti telah diatur dengan baik, karena kesenangan melebihi ketidaksenangan (Bertens,
2000: 252).

Kedua, Utilitarianisme sangat memperhatikan akibat dan bukan hakikat perbuatan. Hal tersebut
menyebabkan atas nama Utilitarianisme, orang tidak perlu sibuk dengan pemikiran tentang hakikat,
tetapi apa akibat bagi hidup kita. Maka dalam prakteknya Utilitarianisme mudah mengesampingkan fakta
kemanusiaan dan etis dasar yang tersangkut oleh perbuatan. Alasannya jelas sebab fakta kemanusiaan
dan etis dasar itu secara langsung menampakkan ketidakgunaan, ketidakmanfaatan, dan kerugiannya.
Atas nama keuntungan, orang-orang Utilitarianisme dengan tenang akan melanggar hak asasi manusia
seperti hak milik.

Ketiga, Utilitarianisme mendorong tumbuhnya mentalitas Instan, langsung (immediate), dan berfikiran
dan pandangan pendek (short sight). Karena terjebak pada paradigma kegunaan, manfaat, dan
keuntungan untuk memenuhi kebutuhan. Maka ada kemungkinan memakainya untuk membenarkan
perbuatan yang menurut pendapat umum egois bahkan amoral (Bertens, 2000: 229-230).

Namun di balik itu semua, ada hal yang sangat positif dari etika Utilitarianisme, Pertama, Rasionalitas.
Suatu tindakan dipilih, atau pada gilirannya dinilai baik, karena tindakan itu akan mendatangkan akibat
baik yang lebih banyak daripada tindakannya. Di sini ada sebuah neraca perhitungan. Dengan demikian,
dalam kerangka pengambilan keputusan, khususnya dalam hal ini di bidang bisnis, Ia memberi peluang
bagi debat, argumentasi dan diskusi dalam rangka kalkulasi keuntungan atau nilai lebih yang akan
diperoleh suatu tindakan atau kebijakan tertentu. Ia tidak sekedar menenakankan tindakan tertentu
demi tindakan itu, melainkan karena alasan rasional.

Kedua, Universalitas. Akibat atau nilai lebih yang hendak dicapai diukur berdasarkan banyaknya orang
yang memperoleh manfaat dari nilai lebih itu. Etika Utilitarianisme mengutamakan tindakan atau
kebijaksanaan yang mengutamakan kepentingan banyak orang di atas kepentingan segelintir
orang( Berten, 2000: 78).

Ketiga, Kebahagiaan yang merupakan tolak ukur utilitarianisme tentang betul-salahnya kelakukan
manusia bukanlah kebahagian si pelaku sendiri, melainkan kebahagiaan semua orang yang
bersangkutan. Utilitarianisme menuntut agar pelaku berlaku dengan tidak berpihak, sebagai pengamat
positif dan tanpa pamrih, dalam memilih antara kebahagiaannya sendiri dan kebahagiaan orang lain
(Suseno, 2003 :182).

Menurut Perspektif Islam aliran utilitarianisme sangat berbahaya karena akan menghalalkan segala cara
agar mendapat kebahagiaan yang diimpikan. Sedangkan Islam sendiri dengan konsep rahmatan lil
alamien-nya mempunyai ajaran al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ’an al-munkar artinya mengajak
sebanyak-banyaknya manusia untuk selalu melaksanakan kebaikan agar mendapat kebahagiaan hakiki
dan mencegah manusia sebanyak-banyaknya dari perbuatan tercela agar tidak terjebak pada perbuatan-
perbuatan yang merugikan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Menurut al-Mawardi sebagaimana dikutip Suparman Syukur, maksud dan tujuan diwajibkannya al-amar
bi al-ma’ruf di dalam Islam adalah untuk menekankan betapa pentingnya melakukan perintah-perintah
Allah (yang tentunya terkandung berbagai kebaikan bagi manusia sendiri dalam hidupnya), sedangkan
perintah meninggalkan larangan-larangannya, tidak lain untuk menekankan manusia betapa ruginya
melakukan hal-hal tersebut. Perintah melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal yang buruk menjadi
semakin penting karena jiwa manusia yang loba itu sering didominasi oleh sifat kekanak-kanakan dan
kebodohan (sabwah) dalam mengikuti segala perintah Allah, dan sering terbuai kelalaian oleh beberapa
keinginan yang jelek (al-syahawat), sehingga lupa terhadap larangan-larangan tersebut (Syukur, 2004:
217-218).

EUDEMONISME

Tinjauan kritis

a. Memang benar, pemikiran tentang keutamaan adalah bagian paling menarik dalam etikanya. Tapi
ajarannya mempunyai kelemahan juga. Salah satu kelemahan adalah bahwa daftar keutamaan yang
disebut olehnya tidak merupakan hasil pemikiran Aristoteles saja tapi mencerminkan pandangan etis
dari masyarakat Yunani pada waktu itu dan lebih khusus lagi mencerminkan golongan atas dalam
masyarakat Athena tempat Aristoteles hidup. Dan ternyata tidak bisa diharapkan juga ia akan menyajikan
daftar keutamaan yang berlaku selalu dan dimana-mana. Pasti ada sejumlah keutamaan yang berlaku
agak umum. Tapi di samping itu setiap kebudayaan dan setiap periode sejarah akan memiliki keutamaan-
keutamaan sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau periode sejarah lain. Kerendahan
hati, misalnya, merupakan keutamaan yang berasal dari tradisi lain dan belum bisa diharapkan dalam
pembahasan Aristoteles. Suka bekerja keras merupakan contoh lain tentang keutamaan yang tidak
mungkin ditemukan pada Aristoteles. Malah ia memandang rendah pekerjaan fisik, sesuai dengan
pandangan Yunani pada waktu itu.

b. Keberatan lain menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai jalan tengah antara
dua ekstrem. Aristoteles menjelaskan hal itu dengan sebuah analisis bagus dan tajam tentang
keberanian, misalnya. Tapi soalnya adalah apakah keutamaan selalu merupakan jalan tengah antara
“kurang’ dan “terlalu banyak”. Aristoteles sendiri mengalami kesulitan dengan keutamaan seperti
pengendalian diri. Perbuatan seperti makan terlalu banyak, jelas bertentangan dengan keutamaan
pengendalian diri. Tapi jika orang makan kurang daripada apa yang dianggap perlu , apakah
perbuatannya melanggar keutamaan itu juga ? rupanya sulit mengatakan demikian. Perbuatan seperti
berpuasa justru dianggap suatu perbuatan terpuji dan pelaksanaan keutamaan pengendalian diri.
Aristoteles sendiri mengakui bahwa praktis tidak ada manusia yang tak acuh terhadap makanan,
sehingga segi “kurang” di sini sulit ditunjukkan.

c. Tadi sudah dijelaskan bahwa pemikiran Aristoteles diwarnai suasana eliter karena terutama
mencerminkan golongan atas dalam mesyarakat Yunani waktu itu. Bisa ditambah lagi bahwa pada
Aristoteles kita sama sekali belum melihat paham hak manusia, apalagi persamaan hak semua manusia.
Malah ia membenarkan secara rasional lembaga perbudakan, karena ia berpendapat bahwa beberapa
manusia menurut kodratnya adalah budak. Suatu pandangan menurut orang modern justru tidak etis.
Tapi keberatan ini tidak perlu terlalu ditekankan, karena kita tidak bisa mengeritik seseorang karena dia
anak dari zamannya. Kita tidak bisa menghukum filsuf Yunani kuno ini, karena belum termasuk zaman
modern.

d. Etika Aristoteles dan khususnya ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk
memecahkan dilema-dilema moral besar yang kita hadapi sekarang ini. Pemikirannya tidak membantu
banyak dalam mencari jalan keluar bagi masalah-masalah moral penting di zaman kita, seperti misalnya
risiko penggunaan tenaga nuklir, reproduksi artificial, percobaan medis dengan embrio dan sebagainya.
Disini kita membutuhkan pertimbangan–pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pandangan
Aristoteles tentang keutamaan lebih cocok untuk menilai kadar moral seseorang berdasarkan perbuatan-
perbuatannya, termasuk juga hidup moralnya sebagai keseluruhan.

HEDONISME

Tinjauan Kritis

a. Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam: manusia menurut kodratnya mencari
kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan. Sigmund Freud memperlihatkan bahwa
kecenderungan manusia itu bahkan terdapat pada taraf tak sadar. Tidak bisa disangkal, keinginan akan
kesenangan merupakan suatu dorongan yang sangat mendasar dalam hidup manusia. Tapi disini perlu
dikemukakan sebuah catatan kritis yang pertama. Apakah manusia selalu mencari kesenangan? Apakah
manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dalam arti bahwa ia tidak lagi manusia (tapi malaikat
atau apa...), jika ia tidak mencari kesenangan? Apakah tidak mungkin juga manusia yang membaktikan
seluruh hidupnya demi kebaikan orang lain, dengan niat murni dan tanpa pamrih? Tentu saja para
hedonis selalu bisa mengatakan bahwa mencari kesenangan adalah motivasi terakhir. Para hedonis bisa
menegaskan bahwa membantu orang lain selalu juga menyenangkan, karena “lebih baik memberi
daripada menerima”.

b. Kritik lebih berat lagi adalah bahwa dalam argumentasi hedonisme terdapat loncatan yang tidak
dipertanggungjawabkan. Dari anggapan bahwa kodrat manusia adalah mencari kesenangan (yang
menurut hemat kami dapat dipertanyakan lagi), ia sampai pada menyetarafkan kesenangan dengan
moralitas yang baik. Secara logis hedonisme harus membatasi diri pada suatu etika deskriptif saja (pada
kenyataannya kebanyakan manusia membiarkan tingkah lakunya dituntun oleh kesenangan), dan tidak
boleh merumuskan suatu etika normatif (yang baik secara moral adalah mencari kesenangan). ada yang
memperoleh kesenangan dengan menyiksa atau malah membunuh orang lain, yaitu mereka yang
disebut kaum sadis. Para hedonis tidak bisa menyingkirkan kenyataan itu dengan menandaskan: tapi
perbuatan seperti itu akan dihukum dan karena itu akan disertai ketidaksenangan. Sebab, banyak
perbuatan jahat tidak diketahui dan akibatnya tidak dihukum. Karena itu kesenangan saja tidak cukup
untuk menjamin sifat etis suatu perbuatan.

c. Para hedonis mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa sesuatu
adalah baik, karena disenangi. Sebenarnya kesenangan adalah pantulan subyektif dari sesuatu yang
obyektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena
memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik.

d. Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja.
Yang dimaksudkan dengan egoisme disini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa
saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi diri saya
sendiri. Egoisme etis mempunyai prinsip: saya duluan, orang lain belakangan saja. Egoisme etis harus
ditolak karena bertentangan dengan prinsip persamaan: semua manusia harus diperlakukan dengan cara
sama, selama tidak ada alasan untuk perlakuan yang berbeda.

DEONTOLOGI

Tinjauan kritis

Kita memang sering merasa terikat dengan kewajiban dalam prilaku moral kita, sehingga tidak bisa
disangkal bahwa kewajiban merupakan aspek penting dalam hidup moral kita. Tapi ada juga kritik untuk
teorinya yaitu:

a. Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku.

b. Sulit juga untuk diterima bahwa konsekuensi bisa diabaikan saja dalam menilai moralitas perbuatan
kita.

Anda mungkin juga menyukai