NAMA ANGGOTA :
1. RINDY CITRA DEWI-2320532002
2. LIZA YANTI-2320532006
BAB 6
KATIANISM
Di satu sisi, 'kehidupan yang baik' berarti kehidupan yang paling diinginkan atau paling bahagia. Dalam arti lain, ini berarti
kehidupan manusia yang paling berharga atau paling berbudi luhur.
Kisah Dr Faustus
Pada zaman Pemazmur Ibrani
◦ Pada zaman Pemazmur Ibrani, orang-orang dibingungkan oleh
kenyataan bahwa sering kali orang jahatlah yang menjadi
makmur. Tampaknya, kesalahan moral bukanlah penghalang
bagi kesuksesan materi. Sebaliknya, ada pepatah yang
mengatakan bahwa orang baik (sering) mati dalam usia muda,
sehingga melakukan hal yang benar bukanlah jaminan untuk
mendapatkan hasil yang baik. Contoh : ada seseorang yang
tidak memiliki prinsip dan bahkan tidak pernah melakukan hal
yg benar pun bisa mendapatkan hasil yang cukup baik
Para pemikir Yunani kuno
◦ Para pemikir Yunani kuno mereka tidak
merumuskan perbedaan ini secara jelas, namun
menyadari fakta-fakta umum tentang kebahagiaan
dan kebajikan. Aristoteles mengemukan bahwa
kehilangan manfaat social dan material dalam
kehidupan ini berarti kehilangan kehidupan yang
baik.
Menurut Filsuf Plato
◦ Menurut Filsuf Plato bahwa mereka yang mendapatkan apa yang mereka
inginkan dan menang atas orang lain saja terlihat untuk mendapatkan yang
terbaik darinya. Pada kenyataannya, menurutnya, mereka melakukan
kerusakan yang hampir tidak dapat diperbaiki terhadap kepentingan
mereka yang paling mendasar – yaitu kebaikan jiwa mereka sendiri. Oleh
karena itu Socrates berpendapat bahwa, ketika dihadapkan pada pilihan
antara melakukan kejahatan dan menderita kejahatan, mereka akan
memilih untuk menderita dari pada melakukan kejahatan karena mereka
menganggap bahwa itu adalah kesejahteraan sejati bagi mereka.
Kisah Dr Faustus
Kisah Dr Faustus adalah seorang pesulap asal Jerman,
Faust mengadakan perjanjian dengan iblis. Jika Faust
memberikan jiwanya kepada iblis, sebagai imbalannya iblis
akan memberinya pengetahuan dan kekuatan magic yang
jauh melebihi apa yang biasanya didapatkan dan dengan
begitu ia dapat mencapai semua keinginan duniawinya,
apakah kekayaan materi atau kekuasaan yang tidak terbatas.
Iniliah kehidupan yang baik bagi Faustus.
Jika kita berpegang teguh pada dunia ini, dan jika kita menafsirkan
kekalahan Faustus sebagai peristiwa yang terjadi pada masa kini
dan bukan peristiwa di masa depan, pertama-tama kita perlu
menunjukkan bahwa secara material kehidupan terbaik (yang pasti
dia nikmati) bukanlah secara moral kehidupan terbaik, dan kedua,
ada lebih banyak hal yang patut dipuji mengenai moralitas.
Dari kisah Faustus menunjukkan bahwa ia melakukan kesalahan, mengacu
pada perbedaan antara kebaikan material dan moral, antara cara kita hidup
dan cara kita berperilaku, antara kebaikan dan kebaikan moral. Namun,
kita juga harus menunjukkan mengapa satu jenis kehidupan yang baik –
melakukan hal yang benar – lebih disukai dibandingkan jenis kehidupan
yang lain – yang berjalan dengan baik. Ini berarti, seperti yang dilihat
Plato, menunjukkan mengapa, ketika dihadapkan pada pilihan, kita harus
lebih memilih menderita secara materi daripada melakukan kejahatan.
KANT AND ‘THE GOOD WILL’ (KANT DAN
KEINGINAN BAIK)
Kant adalah salah satu filsuf moral terbesar sepanjang masa yang berasal dari filsuf
Jerman. Dia mengembangkan dan menyempurnakan gagasan “kehidupan moral” dengan
tepat untuk memberikan jawaban rasional.
Menurut Kant : betapapun kaya atau berbakatnya kita, manfaat tersebut dapat
disalahgunakan. Karena kekayaan dapat dengan sengaja dihamburkan akan hal-hal
sepele, atau digunakan untuk merusak dan meremehkan orang lain
Kant juga berpendapat bahwa motivasi yang kita setujui tidak membawa nilai moral. Hal
ini karena timbul dari kecenderungan.Kant tidak berpikir, seperti anggapan sebagian
orang, bahwa Anda tidak boleh menikmati berbuat baik
Alasan Kant berpikir bahwa kebaikan dan keburukan moral
sejati melekat pada tindakan terlepas dari perasaan orang yang
melakukannya terletak pada keyakinannya bahwa
'kecenderungan tidak dapat diperintahkan' sedangkan tindakan
dapat diperintahkan.
Imperatif hipotesis terbagi dalam dua jenis. Pertama, imperatif 'teknis', instruksi yang
menunjuk pada sarana teknis untuk mencapai tujuan yang dipilih. Kedua, imperatif asertif.
hal ini bertumpu pada sebuah keinginan, tapi bukan keinginan yang dimiliki seseorang.
Imperatif kategoris, tampaknya tidak ada kebenaran yang perlu diperiksa.
NALAR PRAKTIS MURNI DAN HUKUM
MORAL
Kant memberi 4 contoh mengenai metode penalaran praktis murni :
1. Alasan seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang dapat mencelakai
dirinya sendiri.
2. Kondisi keuangan yang buruk selalu memberikan janji-janji palsu.
3. Orang yang suka bermalas-malasan
4. Orang yang tidak memiliki rasa peduli
UNIVERSALISABILITAS
◦ Filsafat moral sebagai keuniversalan adalah metode penerapan suatu
pengujian terhadap setiap tindakan yang masuk akal. Hal ini merupakan,
prosedur untuk melihat apakah alasan tindakan anda dapat diterapkan pada
semua orang secara setara atau apakah alasan tersebut lenih baik daripada
permohonan khusus dalam kasus itu sendiri. Menurut Kant, jika kita ingin
mengetahui apakah apa yang kita usulkan benar secara moral atau tidak, maka
tanyakan pada diri kita sendiri apakah kita dapat secara konsisten
menghendaki agar setiap orang juga memiliki alasan yang sama dengan kita.
BAB 7
UTILITARIANISME
Konsepsi yang lebih sukses dapat dicapai jika kita bangga terhadap kebahagiaan dan kesuksesan yang dapat kita
wujudkan. Hal ini akan dibahas dalam bab Utilitarianisme.
Utilitas berarti ‘kegunaan’, dan para reformis social diberi label demikian karena
mereka menjadikan kepraktisan dan kegunaan institusi-institusi social sebagai ukuran
penilaian mereka, bukan signifikansi religiusnya atau fungsi tradisional. Pada zaman
Victoria, Konsepsi utilitas yang keras ini mendasari makna modern dari ‘utilitarian’
yang artinya ‘berkaitan dengan kegunaan saja, tanpa memperhatikan keindahan atau
kesenangan’.
JEREMY BENTHEM
Jeremy Bentham (1748–1832) adalah orang yang sangat luar biasa. Dia kuliah
di Universitas Oxford pada usia dua belas tahun dan lulus pada usia lima belas
tahun. Dia kemudia]n belajar hukum dan dipanggil ke bar pada usia sembilan
belas tahun. Dia tidak pernah benar-benar mempraktikkan hukum, karena dia
segera terlibat dengan reformasi sistem hukum Inggris, yang menurutnya rumit
dan tidak jelas dalam teori dan prosedurnya serta dampaknya yang tidak
manusiawi dan tidak adil. Menurut Benthem ‘utilitas’ bukan ‘kegunaan tanpa
memperhatikan kesenangan’, melainkan ‘kegunaan tanpa memperhatikan
kesenangan’.
Bahwa harta benda pada benda apa pun, yang cenderung menghasilkan
manfaat, keuntungan, kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan untuk mencegah
terjadinya kenakalan, rasa sakit, kejahatan, atau ketidakbahagiaan. Salah satu
kontribusi Bentham terhadap teori utilitarianisme adalah penjabaran 'kalkulus
hedonis', suatu sistem yang membedakan dan mengukur berbagai jenis
kesenangan dan kesakitan sehingga bobot relatif dari konsekuensi berbagai
tindakan dapat dibandingkan.
Dengan cara ini, menurutnya, ia telah menyediakan metode pengambilan
keputusan yang rasional bagi pembuat undang-undang, pengadilan, dan
individu, yang akan menggantikan prasangka yang tidak berdasar dan proses
yang sangat aneh, dalam pandangan Bentham, yang menjadi dasar
pengambilan keputusan politik, peradilan, dan administratif. biasanya muncul.
EGOTISME, ALTRUISME, DAN KEBAJIKAN
UMUM
Egoisme dapat dicirkan sebagai sikap yang Altruisme adalah doktrin bahwa
memberikan kebanggan pada kesejahteraan diri
kepentingan orang lain harus
sendiri. Kaum utilitarian bersikeras bahwa
kesejahteraan setiap orang harus diperlakukan didahulukan diatas kepentingan kita
setara. sendiri.
Bagaimanapun hal ini mungkin terjadi, utilitarianisme tentu saja memperbolehkan kita untuk
memikirkan kesejahteraan kita sendiri, namun tidak mengesampingkan kesejahteraan orang lain. Jika
yang penting adalah kebahagiaan secara umum, maka kebahagiaan diri sendiri sama pentingnya dengan
kebahagiaan orang lain.
TINDAKAN DAN ATURAN
UTILITARIANISME
Beberapa filsuf berpendapat bahwa perbedaan antara utilitarianisme tindakan dan aturan pada akhirnya tidak
dapat dipertahankan sesuai dengan tujuan. Bagi banyak orang, hal ini tampaknya merupakan prinsip dasar
keadilan, namun dalam pandangan utilitarian, kekuatan aturan ini, baik kita menyebutnya sebagai aturan
keadilan atau tidak, muncul dari hubungannya yang penting dengan utilitas sosial. Kebahagiaan sebesar-
besarnya bagi sebagian besar orang dalam masyarakat luas akan terwujud dengan baik jika para penegak
hukum menganggap peraturan ini tidak dapat diganggu gugat
BAB 8
KONTRAKTUALISME
KEKUATAN PERJANJIAN
JOHN LOCKE AND ‘TACIT’ CONSENT (PERSETUJUAN
DIAM-DIAM)
JOHN RAWLS AND ‘HYPOTHETICAL’ CONSENT
(PERSETUJUAN 'HIPOTETIS')
HOBBES AND THE DICTATES OF PRACTICAL REASON
(PERINTAH-PERINTAH NALAR PRAKTIS)
POLITIK, MORALITAS DAN AGAMA
KEKUATAN PERJANJIAN
KONTRAK
ALAM
Mengapa seseorang
harus menepati janji?
KONTRAK
SOSIAL
JOHN LOCKE AND ‘TACIT’ CONSENT (PERSETUJUAN
DIAM-DIAM)
John Locke adalah seorang filsuf Inggris Locke berpendapat bahwa setiap orang
menulis dua risalah tentang yang mendapatkan manfaat dari suatu
Pemerintahan. Pada risalah pertama, Ia pemerintah secara tidak langsung
menentang klaim bahwa otoritas memberikan persetujuan diam-diam
penguasa berasal dari Tuhan melalui serta berkewajiban untuk tunduk pada
manusia pertama, Adam. Risalah kedua, hukum pemerintah tersebut. Argumen
ia menguraikan dan mempertahankan serupa juga dapat dibuat dalam konteks
gagasan sebaliknya, bahwa penguasa kewajiban moral, di mana mereka yang
sebenarnya berhutang kekuasaan kepada memperoleh manfaat dari aturan moral
rakyatnya, karena kekuasaan penguasa dapat dianggap juga telah setuju secara
berasal dari dukungan rakyat diam-diam.
JOHN RAWLS AND ‘HYPOTHETICAL’ CONSENT
(PERSETUJUAN 'HIPOTETIS')
John Rawls adalah seorang filsuf politik yang menggunakan konsep persetujuan hipotetis yang
tujuannya untuk mencapai prinsip-prinsip sosial dan politik yang adil. Dia mengemukakan dua
prinsip dasar yang mempertimbangkan kepentingan diri sendiri secara rasional :
EGOISME
HEDONISME
EKSISTENSIALIS
ME
ULTILITARIANIS
ME
OTORITAS MORALITAS
Masalah yang dihadapi dalam kehidupan moral melibatkan persaingan antara keinginan pribadi dan
kewajiban sosial. Kontraktualisme menawarkan solusi untuk mengatasi masalah ini dengan menjadikan
perjanjian atau kontrak sebagai dasar kewajiban sosial. Namun, kontraktualisme cenderung
menempatkan moralitas di bawah politik. Beberapa pemikir melihat solusi ini terletak pada kehendak
Tuhan yang berotoritas. Ketaatan terhadap kehendak Tuhan menarik karena sesuai dengan kepentingan
pribadi yang rasional, serta sejalan dengan keadilan dan kesejahteraan semua ciptaan.
Namun, masalahnya tidak sesederhana itu karena masih ada keraguan yang mempertanyakan masalah
keberadaan Tuhan, pengetahuan tentang kehendak-Nya, dan apakah itu memberikan panduan hidup yang
lebih baik daripada filosofi non-religius.
KEBERADAAN TUHAN DAN MASALAH KEJAHATAN
Apakah Tuhan
itu ada?
MASALAH PENGETAHUAN AGAMA
Yang kedua adalah bahwa agama tidak selalu menjamin nilai-nilai moral
dengan memberikan aturan-aturan yang tegas.Hanya sedikit penjelasan dalam
literatur suci agama tentang jalan moral atau kesuksesan duniawi.
MITOS TENTANG SISYPHUS
Kisah mitos tentang Sisyphus menunjukkan kehidupan yang tidak memiliki
makna. Sisyphus seorang raja legendaris yang dihukum dengan tugas
menggulingkan batu besar ke atas bukit, namun batu tersebut selalu jatuh ke
bawah, membuatnya harus memulai dari awal lagi. Pekerjaan ini tidak ada
artinya karena tidak akan berhasil dan tak berujunga. Namun, dari
ketidakbermakan tersebut, kita dapat mempertanyakan apa yang bisa memberi
makna dalam kehidupan. Mitos Sisyphus menggambarkan pentingnya
pemikiran tentang makna hidup dalam konteks manusia dan memberikan
kesempatan bagi para filsuf untuk menggali lebih dalam tentang pertanyaan ini.
NILAI SUBJEKTIF DAN MAKNA OBJEKTIF
Dalam kasus Sisyphus, nilai subjektif terkait dengan aktivitasnya yang membuatnya merasa
bahagia meskipun terlihat sia-sia dan konyol.
Makna objektif dapat ditemukan dalam pekerjaan keras Sisyphus jika dia mengetahui bahwa
batu-batu yang didorongnya akan membentuk bangunan spektakuler.
Beberapa filsuf berpendapat bahwa sudut pandang objektif dan subjektif tidak dapat
disatukan, tetapi penting bagi manusia untuk menghargai pentingnya hidup secara subjektif.
Richard Taylor berpendapat bahwa makna subjektif lebih penting daripada makna objektif
karena makna objektif tidak dapat diperoleh. Dia menggunakan mitos Sisyphus sebagai contoh
untuk menjelaskan pandangannya. Kedua pendapat tersebut memberikan nilai subjektif dan
tidak dapat memberikan nilai objektif.
PERSPEKTIF AGAMA
Para penulis seperti Camus, Taylor, dan Nagel menolak pandangan umum bahwa
agama dapat memberikan perspektif yang menggabungkan makna obyektif dan
nilai subyektif. Namun, tidak semua agama memiliki perspektif seperti itu.
Agama Buddha, misalnya, melihat manusia sebagai makhluk yang terperangkap
dalam roda kehidupan yang tak terelakkan. Agama Buddha menemukan nilai
tertinggi dalam kepunahan diri pribadi.
Agama-agama monoteistik di Barat, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, dapat
memberikan perspektif seperti yang dicari, dengan melihat ciptaan sebagai hasil
dari kehendak Tuhan. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan, dan
memiliki kebebasan untuk menyimpang dari prinsip-prinsip penciptaan-Nya.
TIGA KESULITAN YANG DIPERTIMBANGKAN
KEMBALI
Tiga kesulitan yang dipertimbangkan lagi yaitu :
1. Masalah kejahatan
2. Pengetahuan agama
3. Dilema Euthyphro
KESATUAN ANTARA YANG OBJEKTIF DAN SUBJEKTIF -
'DI MANA KEGEMBIRAAN SEJATI DAPAT DITEMUKAN'
◦ Penggabungan antara nilai subjektif dan makna objektif dapat terjadi melalui agama. Agama
menawarkan tujuan ilahi dan kepegawaian relatif, tetapi juga menghadapi kesulitan filosofis dan bahasa
yang serius. Keyakinan agama tidak hanya berasal dari intelektualitas tetapi juga perasaan dan
pengalaman religius. Agama tidak dapat sepenuhnya memenuhi tugas filosofis.
◦ Agama dapat mengatasi ketegangan antara nilai subjektif dan makna objektif yang menjelaskan sifat dan
makna objektif alam semesta. Dunia yang paling memuaskan adalah manusia mengikuti ketentuan ilahi
sehingga dapat menemukan nilai subjektif terbesar dalam tujuan ilahi. Namun, pemahaman agama
kadang sulit dicapai karena adanya kesulitan dalam pemikiran dan bahasa agama.
◦ Keyakinan agama dapat menjadi solusi bagi beberapa orang untuk mengatasi konflik dalam hidup
mereka. Namun, ada juga pilihan lain, seperti hidup dengan dikotomi antara kepentingan pribadi dan
tuntutan moral, atau memilih salah satu konsepsi secara filosofis. Namun, argumen-argumen ini belum
sepenuhnya memuaskan dan perlu diperiksa kembali.