Anda di halaman 1dari 3

Akhlak atau Etika dalam Perspektif Filsafat Barat

Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (atau moralitas). Namun, meskipun sama
terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian.
Secara singkat, jika moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap
perbuatan manusia itu sendiri”, maka etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang baik dan
buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk
(ethics atau ‘ilm ul-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah praktiknya. Dalam disiplin filsafat,
ter-kadang etika disamakan dengan filsafat moral.

Garis merah yang jelas antara etika dan moral dari definisi yang diberikan oleh Haidar Bagir
di atas, berarti etika adalah teori (teoritis, al-nadariyah) dan moral adalah praktik (praktis, al-
‘amaliyah). Sedangkan filsafat itu ada pa-da tataran teori atau pemikiran. Jadi pada akhirnya
pun etika sebagai teori ditarik kepada bagian dari filsafat, di sana dibicarakan tentang nilai,
norma dan atau ukuran secara toeritis (al-nadariyah) dari etika itu sendiri.

Dalam khazanah pemikiran Islam etika bersama-sama dengan politik dan ekonomi biasa
dimasukkan ke dalam apa yang disebut sebagai filsafat praktis (al-hikmah al-‘amaliyah).
Filsafat praktis itu sendiri berbicara tentang segala sesuatu “sebagaimana seharusnya”.
Walaupun demikian, ia mesti didasarkan pada filsafat teoretis (al-hikmah al-nadariyah).
Yakni pembahasan mengenai segala sesuatu “sebagaimana adanya”, termasuk di dalamnya
metafisika.
Pada umumnya, pandangan-pandangan mengenai etika yang berkem-bang di belahan
dunia ini dikelompokkan menjadi tiga golongan, yakni; etika hedonistik, utilitarian, dan
deontologis.
Hedonisme mengarahkan etika kepada keperluan untuk menghasilkan sebanyak-
banyaknya kesenangan bagi manusia. Etika utilitaristik mengoreksinya dengan
menambahkan bahwa kesenangan atau kebahagiaan yang di-hasilkan oleh suatu etika yang
baik adalah kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang dan bukan kesenangan atau
kebahagiaan individual – yang di sisi lain, mungkin justru menimpakan kesengsaraan bagi
orang lain yang justru jauh lebih banyak lagi jumlahnya dibandingkan dengan yang
mendapatkan kebahagiaan itu sendiri. Sementara etika deontologis (berasal dari ka-
ta deon yang mempunyai arti kewajiban) memandang bahwa sumber bagi perbuatan etis
adalah rasa kewajiban. Sejalan dengan itu, aliran ini mem-percayai bahwa sikap etis bersifat
fitri dan, pada saat yang sama, tidak (mur-ni) rasional. Pada kenyataannya, hasil pemikiran
para filosof Barat berkena-an dengan etika seringkali merupakan irisan dari ketiga aliran
besar itu. De-ngan kata lain, pemikiran dan pandangan masing-masing mereka bisa
mengandung prinsip-prinsip lebih dari satu aliran besar tersebut di atas. Adapun pemikiran
dan pandangan masing-masing mereka adalah

1. Teori yang Bersifat Fitri


Teori etika yang bersifat fitri (innate nature) ini dikemukakan oleh Socrates, tokoh
filsafat pertama dan ternama yang mendapat julukan sebagai Bapak Filsafat Yunani Klasik,
tokoh yang dihukum mati karena filsafatnya ber-tentangan dengan adat budaya bangsanya
dengan hukuman minum racun, sebagaimana disampaikan oleh muridnya, Plato. Teori ini
menyatakan bah-wa moratilas itu bersifat fitri (innate nature). Yakni, pengetahuan yang
berke-naan dengan baik dan buruk atau dorongan untuk berbuat baik sesungguh-nya telah ada
pada sifat alami (pembawaan) manusia (fitrah atau innate na-ture).
Teori kefitrian ini sepertinya sejalan dengan pemikiran Islam, yang menegaskan bahwa
ketika manusia lahir dalam keadaan fitri (nature). Secara jujur, hati nurani sering mengatakan
kebenaran itu, bahkan–mungkin–sampai saat ini hati nuranilah yang masih dalam keadaan
fitri, ia tidak terkontaminasi oleh lingkungan yang buruk, hanya saja ia sering tertutupi oleh
nafsu manusia yang telah sangat kotor dan penuh oleh debu-debu ketidak-benaran.

2. Teori yang Bersifat Empirik Klasik


Seorang murid Plato, Aristoteles atau yang lebih dikenal dengan julukannya sebagai
Bapak Logika, berpendapat bahwa etika merupakan suatu keterampilan semata dan tidak ada
kaitannya sama sekali dengan alam Idea Platonik yang bersifat supranatural. Dimana
keterampilan tersebut, menurutnya diperoleh dari hasil latihan dan pengajaran. Seseorang
yang berlatih dan belajar untuk berbuat baik, maka ia pun akan menjadi seorang yang
bermoral.
Lebih dari itu, Aristoteles, peletak landasan peripaterisme, dan Guru Pertama yang
dikenal dengan teorinya yang berkenaan dengan moderasi (hadd ul-wasath) tersebut,
mengatakan bahwa moral yang baik sesungguhnya iden-tik dengan memilih segala sesuatu
yang bersifat “tengah-tengah”. Pada dasarnya, setiap perbuatan bersifat netral. Hakikatnya
ketakutan tidaklah lebih jelek. Begitu pun dengan keberanian. Keberanian qua keberanian
tidak mutlak bagus. Demikian pula, ketakutan tidak mutlak buruk. Keduanya bisa disebut
baik jika ditempatkan di posisi yang moderat atau proporsional–tidak berlebihan, tidak
kekurangan. Jika keduanya tidak ditempatkan pada posisi moderat, akan ada suatu saat yang
di dalamnya sesuatu yang umumnya dikenali sebagai baik berubah menjadi jelek dengan
sendirinya, dan sebaliknya. Bagi Aristoteles, pada puncaknya tujuan dari tindakan-tindakan
etis itu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan intelektual (eudemonia).

3. Teori Etika Modernisme


Bapak dari filsafat modernisme ini adalah Rene Descartes, seorang filo-sof abad ke-15
yang terkenal dengan pemikiran filsafat cogito ergo sum (aku berfikir maka aku ada) sebagai
sebuah pemikiran filsafat–yang kami sebut dengan filsafat–keraguan. Dalam persoalan etika,
corak pemikiran modernisme berbeda dari dua teori di atas. Akan tetapi, pada saat yang
sama, mereka justru mempercayai adanya satu etika yang bersifat rasional, absolut, dan
universal – yakni bisa disepakati oleh semua manusia.[5]
Secara jelas pemikiran tokoh utama filsafat modernisme ini terdapat dalam
bukunya Discours de la Methode[6] yang dirumuskannya menjadi tiga atau empat prinsip
moral sementara. Yaitu:
1. Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil berpegang teguh kepada agama.
2. Bersikap setegas dan semantap mungkin dalam tindakan, dan mengikuti pendapat yang
paling meragukan secara sama mantapnya sebagaimana mengikuti pendapat yang sangat
meyakinkan, bila telah memutuskan untuk mengikutinya.
3. Selalu berusaha mengalahkan diri sendiri daripada menunggu nasib; mengubah keinginan-
keinginan sendiri, dan bukannya merombak tata-nan dunia, serta membiasakan diri untuk
meyakini bahwa tidak ada satu pun yang berada di bawah kekuasaan individu sepenuhnya
kecuali pi-kiran individu tersebut.

4. Teori Etika Immanuel Kant


Menurut Immanuel Kant, etika itu bersifat fitri, meskipun demikian sumbernya tidak bersifat
rasional ataupun teoretis. Bahkan menurutnya, ia bukanlah urusan “nalar murni”. Akan tetapi
justru, apabila manusia meng-gunakan nalarnya dalam berusaha merumuskan etika, ia dengan
sendirinya tidak akan sampai pada etika sesungguhnya. Di samping bakal berselisih satu
sama lainnya mengenai mana yang baik dan mana yang buruk, “etika” yang bersifat rasional
sudah bukan lagi etika, melainkan bisa terjebak ke dalam perhitungan untung dan rugi. Di
mana dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perbuatan etis itu dapat menghasilkan
keuntungan bagi si pelaku, dan akan tetapi bisa juga mengakibatkan kerugian baginya. Kant
mengatakan bahwa etika adalah urusan “nalar praktis”. Artinya, pada dasarnya nilai-nilai
moral itu telah tertanam pada diri manusia sebagai sebuah kewajiban (imperatif kategoris).
Kecenderungan untuk berbuat baik, misalnya, sebenarnya telah ada pada diri manusia.
Manusia pada intinya hanya menunaikan kecenderungan diri dalam setiap perbuatannya.
Dengan kata lain, perbuatan etis bersifat deontologis dan berada di balik nalar

5. Teori Bertrand Russel


Bertrand Russel berpendapat bahwa perbuatan etis itu bersifat rasional, ini sangat berbeda
dengan apa yang dikatakan oleh Immanuel Kant. Artinya, justru karena manusia itu sendiri
memang rasional, sehingga dia melihat perlunya bertindak secara etis. Mengapa demikian?
Karena bertindak secara etis itu pada akhirnya pastilah akan mendukungnya dalam
pencapaian interest (kepentingan) sang pelaku itu sendiri, baik itu interest yang bersifat
material maupun yang bersifat nonmaterial. Yang dengan istilah lain dapat dikatakan sebagai
nilai-nilai etis sekaligus pragmatis atau utiliristik.

6. Teori Etika Post-modernisme


Era post-modernisme secara umum dapat dicirikan dengan hilangnya kepercayaan terhadap
“narasi-narasi besar” (teori-teori yang diandaikan berlaku secara indiskriminatif dan absolut)
yang mencirikan modernisme. Para tokoh post-modernis memandang bahwa kebenaran
bersifat relatif, terhadap waktu, tempat, budaya dan sebagainya. Yang mungkin hanyalah
teori-teori yang memiliki keberlakuan terbatas. Bukan saja narasi-narasi besar itu tak bisa
memiliki kebenaran dan bisa menyesatkan, pemaksaannya untuk menjelaskan berbagai
fenomena secara indiskriminatif mengandung potensi menindas. Dengan kata lain, akan ada
pemaksaan agar obyek disesuaikan dengan teori. Termasuk di dalamnya teori tentang hukum,
ekonomi, sejarah ataupun etika. Oleh karena itu, harus dirumuskan secara lokal dan
kontekstual untuk kepentingan sebanyak mungkin kelompok manusia yang di dalamnya etika
itu dirumuskan

Anda mungkin juga menyukai