Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MATA C KULIAH ETIKA BISNIS DAN PROFESI


“RESUME GRAHAM 6, 7, 8, & 9”

OLEH:
KELOMPOK 2
ANGGOTA :
2320532002 RINDY CITRA DEWI
2320532006 LIZA YANTI

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


UNIVERSITAS ANDALAS
2023
BAB 6
KATIANISM
Di satu sisi, 'kehidupan yang baik' berarti kehidupan yang paling diinginkan atau paling bahagia.
Dalam arti lain, ini berarti kehidupan manusia yang paling berharga atau paling berbudi luhur.

VIRTUE AND HAPPINESS: ‘FARING WELL’ AND ‘DOING RIGHT’ (KEBAJIKAN


DAN KEBAHAGIAAN: 'NASIB BAIK DAN BERBUAT BAIK')
Dalam bab ini dibahas mengenai perbedaan “bernasib baik” dengan “berbuat baik”.
 Pada zaman Pemazmur Ibrani, orang-orang dibingungkan oleh kenyataan bahwa sering
kali orang jahatlah yang menjadi makmur. Tampaknya, kesalahan moral bukanlah
penghalang bagi kesuksesan materi. Sebaliknya, ada pepatah yang mengatakan bahwa
orang baik (sering) mati dalam usia muda, sehingga melakukan hal yang benar bukanlah
jaminan untuk mendapatkan hasil yang baik. Contoh : ada seseorang yang tidak memiliki
prinsip dan bahkan tidak pernah melakukan hal yg benar pun bisa mendapatkan hasil
yang cukup baik.
 Para pemikir Yunani kuno mereka tidak merumuskan perbedaan ini secara jelas, namun
menyadari fakta-fakta umum tentang kebahagiaan dan kebajikan. Aristoteles
mengemukan bahwa kehilangan manfaat social dan material dalam kehidupan ini berarti
kehilangan kehidupan yang baik.
 Menurut Filsuf Plato bahwa mereka yang mendapatkan apa yang mereka inginkan dan
menang atas orang lain saja terlihat untuk mendapatkan yang terbaik darinya. Pada
kenyataannya, menurutnya, mereka melakukan kerusakan yang hampir tidak dapat
diperbaiki terhadap kepentingan mereka yang paling mendasar – yaitu kebaikan jiwa
mereka sendiri. Oleh karena itu Socrates berpendapat bahwa, ketika dihadapkan pada
pilihan antara melakukan kejahatan dan menderita kejahatan, mereka akan memilih
untuk menderita dari pada melakukan kejahatan karena mereka menganggap bahwa itu
adalah kesejahteraan sejati bagi mereka.
 Kisah Dr Faustus adalah seorang pesulap asal Jerman, Faust mengadakan perjanjian
dengan iblis. Jika Faust memberikan jiwanya kepada iblis, sebagai imbalannya iblis akan
memberinya pengetahuan dan kekuatan magic yang jauh melebihi apa yang biasanya
didapatkan dan dengan begitu ia dapat mencapai semua keinginan duniawinya, apakah

1
kekayaan materi atau kekuasaan yang tidak terbatas. Iniliah kehidupan yang baik bagi
Faustus.
 Jika kita berpegang teguh pada dunia ini, dan jika kita menafsirkan kekalahan Faustus
sebagai peristiwa yang terjadi pada masa kini dan bukan peristiwa di masa depan,
pertama-tama kita perlu menunjukkan bahwa secara material kehidupan terbaik (yang
pasti dia nikmati) bukanlah secara moral kehidupan terbaik, dan kedua, ada lebih
banyak hal yang patut dipuji mengenai moralitas.
 Dari kisah Faustus menunjukkan bahwa ia melakukan kesalahan, mengacu pada
perbedaan antara kebaikan material dan moral, antara cara kita hidup dan cara kita
berperilaku, antara kebaikan dan kebaikan moral. Namun, kita juga harus menunjukkan
mengapa satu jenis kehidupan yang baik – melakukan hal yang benar – lebih disukai
dibandingkan jenis kehidupan yang lain – yang berjalan dengan baik. Ini berarti, seperti
yang dilihat Plato, menunjukkan mengapa, ketika dihadapkan pada pilihan, kita harus
lebih memilih menderita secara materi daripada melakukan kejahatan.

KANT AND ‘THE GOOD WILL’ (KANT DAN KEINGINAN BAIK)


Kant adalah salah satu filsuf moral terbesar sepanjang masa yang berasal dari filsuf Jerman. Dia
mengembangkan dan menyempurnakan gagasan “kehidupan moral” dengan tepat untuk
memberikan jawaban rasional. Kant memaparkan karakter pemikiran dan tindakan moral yang
fundamental dan rasional. Dia memulai bukunya dengan beberapa argument :
 Menurut Kant : betapapun kaya atau berbakatnya kita, manfaat tersebut dapat
disalahgunakan. Karena kekayaan dapat dengan sengaja dihamburkan akan hal-hal
sepele, atau digunakan untuk merusak dan meremehkan orang lain. Kant melihat bahwa,
kecuali kita sipa untuk mengatakan hal-hal baik tersebut adalah baik tanpa syarat, kita
harus mencari di tempat lain untuk mendapatkan standar paling dasar mengenai baik dan
buruk, benar dan salah. Menurut Kant, betapapun kita hati-hati merencanakan tindakan
kita, mustahil untuk menjamin hasilnya, karena Nasib buruk atau ketentuan yang tidak
tepat, kita tidak dapat mencapai tujuan yang kita inginkan.
 Namun yang lebih kontroversial, Kant juga berpendapat bahwa motivasi yang kita setujui
tidak membawa nilai moral. Hal ini karena timbul dari kecenderungan.Kant tidak
berpikir, seperti anggapan sebagian orang, bahwa Anda tidak boleh menikmati berbuat

2
baik. Namun ia berpikir bahwa ada perbedaan penting antara tindakan seseorang yang
secara spontan dan dengan senang hati melakukan apa yang benar dan tindakan yang
sama yang dilakukan oleh orang yang melakukan tindakan tersebut, mungkin dengan
kesulitan, tetapi semata-mata Karena itu benar.
 Alasan Kant berpikir bahwa kebaikan dan keburukan moral sejati melekat pada tindakan
terlepas dari perasaan orang yang melakukannya terletak pada keyakinannya bahwa
'kecenderungan tidak dapat diperintahkan' sedangkan tindakan dapat diperintahkan.
Karena orang hanya dapat dipuji atau dicela jika mereka dapat dianggap bertanggung
jawab, maka pujian dan celaan hanya dapat dikaitkan dengan tindakan, bukan perasaan.
 Menurut pandangan Kant, tindakanlah yang menentukan nilai moral

DAVID HUME DAN NALAR PRAKTIS


 Para filsuf sering menguraikan perbedaan antara alasan teoritis dan alasan praktis.
Perbedaan yang ada dalam pikiran mereka adalah antara penalaran yang diarahkan untuk
memberi tahu apa yang harus dipikirkan atau diyakini, dan penalaran yang diarahkan
untuk memberi tahu anda apa yang harus dilakukan.Namun, secara umum, alasan teroritis
dan alasan praktis sama-sama mengacu pada bukti, argument dan diakhiri dengan
kesimpulan.
 Beberapa filsuf berpendapat bahwa perbedaan antara alasan teoritis dan praktis adalah
sebagai baerikut : alasan praktis memerlukan beberapan keinginan dari pihak yang
berpikir sebelum alasan tersebut mempunyai kekuatan.
 Beberapa filsuf menyatakan bahwa semua alasan praktis bersifat hipotesis. Filsuf
Skotlandia, yaitu David Hume juga mengatakan hal yang sama, David Hume,
menyatakan bahwa penggunaan akal hanya bisa praktis sejauh ia menunjukkan cara
untuk mencapai tujuan yang kita inginkan secara mandiri. Namun, menurut sebagian
orang pandangan Hume ini yang aneh, sebab ia menyatakan bahwa kita tidak dapat
berpikir tentang Hasrat dan karena itu tidak dapat menyatakan Hasrat apapun sebagai
sesuatu yang tidak rasional.

IMPERATIF HIPOTESIS DAN IMPERATIF KATEGORIS

3
 Imperatif hipotesis terbagi dalam dua jenis. Pertama, imperatif 'teknis', instruksi yang
menunjuk pada sarana teknis untuk mencapai tujuan yang dipilih. Kedua, imperatif
asertif. hal ini bertumpu pada sebuah keinginan, tapi bukan keinginan yang dimiliki
seseorang.
 Imperatif kategoris, tampaknya tidak ada kebenaran yang perlu diperiksa.

NALAR PRAKTIS MURNI DAN HUKUM MORAL


Kant memberi 4 contoh mengenai metode penalaran praktis murni :
1. Alasan seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang dapat mencelakai dirinya sendiri.
2. Kondisi keuangan yang buruk selalu memberikan janji-janji palsu.
3. Orang yang suka bermalas-malasan
4. Orang yang tidak memiliki rasa peduli

UNIVERSALISABILITAS
Filsafat moral sebagai keuniversalan adalah metode penerapan suatu pengujian terhadap setiap
tindakan yang masuk akal. Hal ini merupakan, prosedur untuk melihat apakah alasan tindakan
anda dapat diterapkan pada semua orang secara setara atau apakah alasan tersebut lenih baik
daripada permohonan khusus dalam kasus itu sendiri. Menurut Kant, jika kita ingin mengetahui
apakah apa yang kita usulkan benar secara moral atau tidak, maka tanyakan pada diri kita sendiri
apakah kita dapat secara konsisten menghendaki agar setiap orang juga memiliki alasan yang
sama dengan kita.

4
BAB 7
UTILITARIANISME
Konsepsi yang lebih sukses dapat dicapai dengan memberikan kebanggan pada kebahagiaan dan
kesuksesan kita dalam mewujudkannya. Hal ini akan dibahas dalam bab Utilitarianisme.

UTILITAS DAN PRINSIP KEBAHAGIAAN TERBESAR


Utilitas berarti ‘kegunaan’, dan para reformis social diberi label demikian karena mereka
menjadikan kepraktisan dan kegunaan institusi-institusi social sebagai ukuran penilaian mereka,
bukan signifikansi religiusnya atau fungsi tradisional. Pada zaman Victoria, Konsepsi utilitas
yang keras ini mendasari makna modern dari ‘utilitarian’ yang artinya ‘berkaitan dengan
kegunaan saja, tanpa memperhatikan keindahan atau kesenangan’.

JEREMY BENTHEM
Jeremy Bentham (1748–1832) adalah orang yang sangat luar biasa. Dia kuliah di Universitas
Oxford pada usia dua belas tahun dan lulus pada usia lima belas tahun. Dia kemudian belajar
hukum dan dipanggil ke bar pada usia sembilan belas tahun. Dia tidak pernah benar-benar
mempraktikkan hukum, karena dia segera terlibat dengan reformasi sistem hukum Inggris, yang
menurutnya rumit dan tidak jelas dalam teori dan prosedurnya serta dampaknya yang tidak
manusiawi dan tidak adil. Menurut Benthem ‘utilitas’ bukan ‘kegunaan tanpa memperhatikan
kesenangan’, melainkan ‘kegunaan tanpa memperhatikan kesenangan’. Bahwa harta benda pada
benda apa pun, yang cenderung menghasilkan manfaat, keuntungan, kesenangan, kebaikan atau
kebahagiaan untuk mencegah terjadinya kenakalan, rasa sakit, kejahatan, atau ketidakbahagiaan.
Salah satu kontribusi Bentham terhadap teori utilitarianisme adalah penjabaran 'kalkulus
hedonis', suatu sistem yang membedakan dan mengukur berbagai jenis kesenangan dan kesakitan
sehingga bobot relatif dari konsekuensi berbagai tindakan dapat dibandingkan. Dengan cara ini,
menurutnya, ia telah menyediakan metode pengambilan keputusan yang rasional bagi pembuat
undang-undang, pengadilan, dan individu, yang akan menggantikan prasangka yang tidak

5
berdasar dan proses yang sangat aneh, dalam pandangan Bentham, yang menjadi dasar
pengambilan keputusan politik, peradilan, dan administratif. biasanya muncul.

EGOTISME, ALTRUISME, DAN KEBAJIKAN UMUM


 Egoisme dapat dicirkan sebagai sikap yang memberikan kebanggan pada kesejahteraan
diri sendiri. Kaum utilitarian bersikeras bahwa kesejahteraan setiap orang harus
diperlakukan setara.
 Altruisme adalah doktrin bahwa kepentingan orang lain harus didahulukan diatas
kepentingan kita sendiri.
 Bagaimanapun hal ini mungkin terjadi, utilitarianisme tentu saja memperbolehkan kita
untuk memikirkan kesejahteraan kita sendiri, namun tidak mengesampingkan
kesejahteraan orang lain. Jika yang penting adalah kebahagiaan secara umum, maka
kebahagiaan diri sendiri sama pentingnya dengan kebahagiaan orang lain.

TINDAKAN DAN ATURAN UTILITARIANISME


 Menurut Benthem, mengatakan bahwa setiap tindakan harus sesuai dengan kebahagiaan
terbesar, dan kita harus bertindak sesuai aturan perilaku yang paling kondusif untuk
kebahagiaan terbesar.
 Pentingnya aturan keadilan bagi kebahagiaan kita semua, menurut Mill, biasanya
menimbulkan perasaan marah ketika salah satu dari aturan tersebut dilanggar. Namun
meskipun kita mempunyai perasaan yang sangat kuat dan istimewa mengenai keadilan
dan hak, setelah direnungkan kita dapat melihatnya bahwa keadilan adalah sebuah nama
untuk persyaratan moral tertentu, yang, jika dilihat secara kolektif, mempunyai skala
manfaat sosial yang lebih tinggi, dan oleh karena itu kewajiban yang lebih penting
dibandingkan kewajiban lainnya; meskipun kasus-kasus tertentu mungkin terjadi di mana
beberapa kewajiban sosial lainnya begitu penting, sehingga mengabaikan salah satu
prinsip umum keadilan.
 Pada saatnya nanti kita harus bertanya apakah perbedaan antara utilitarianisme tindakan
dan aturan dapat dipertahankan sedemikian rupa untuk memberikan pembelaan terhadap
keberatan yang baru saja kita pertimbangkan. Namun sebelum kita beralih ke

6
pemeriksaan umum terhadap doktrin secara keseluruhan, ada satu perbedaan lagi yang
perlu diperkenalkan dan dijelaskan.

UTILITARIANISME DAN KONSEKUENSIALISME


Utilitarianisme tindakan berpendapat bahwa tindakan harus dinilai secara langsung berdasarkan
konsekuensinya terhadap kebahagiaan. Konsekuensi yang kondusif bagi kebahagiaan terbesar.
Etika utilitarian mempunyai dua aspek penting, yaitu hedonis dan konsekuensialis. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun utilitarianisme merupakan doktrin konsekuensialis,
utilitarianisme tidak sama dengan konsekuensialisme. Hal ini membuka kemungkinan terjadinya
dua jenis kritik yang berbeda. Kita mungkin mengkritik kaum utilitarian karena perhatian
mereka yang terlalu besar terhadap kebahagiaan atau karena perhatian mereka yang eksklusif
terhadap konsekuensi. Jika salah satu kritik tersebut terbukti substansial, hal ini menandakan
penolakan terhadap doktrin tersebut secara keseluruhan. Sangatlah penting untuk membedakan
kedua aspek utilitarianisme ini, karena meskipun kita berpikir (seperti banyak orang) bahwa
pentingnya kebahagiaan tidak bisa dibesar-besarkan, mungkin saja konsekuensi dari suatu
tindakan tidak terlalu penting. urusan. Apakah terdapat kritik substansial terhadap kedua hal
tersebut merupakan pertanyaan yang harus kita selidiki sekarang. Mari kita mulai dengan
konsekuensialisme.

MEMASTIKAN KONSEKUENSI
Konsekuensi dari suatu tindakan mempunyai konsekuensinya sendiri, dan konsekuensi tersebut
pada gilirannya juga mempunyai konsekuensi. Situasinya menjadi lebih rumit ketika kita
menambahkan konsekuensi negatif, yaitu ketika kita mempertimbangkan hal-hal
itujanganterjadi karena apa yang kita lakukan serta hal-hal yang kita lakukan. Penambahan
konsekuensi negatif membuat perluasan konsekuensi tindakan kita menjadi tidak terbatas, yang
berarti sulit untuk menilainya. Hal ini mungkin membuat hal tersebut menjadi tidak mungkin,
karena saat ini tidak ada pemahaman yang jelas mengenai gagasan tersebut itu konsekuensi dari
suatu tindakan sama sekali.

PENILAIAN DAN RESEP

7
 Alasan kami mengambil tindakannya sebagai titik tolak penilaian kami dan tidak melihat
lebih jauh lagi hal-hal yang melatarbelakanginya, hanya karena kami memilih untuk
menanyakan akibat dari tindakan tersebut dan bukan yang sebelumnya. Kita bisa dengan
mudah bertanya tentang konsekuensi dari tindakan si pembunuh dan menganggapnya
mengerikan juga. Tidak ada ketidakpastian di sini asalkan kita jelas mengenai tindakan
atau peristiwa mana yang konsekuensinya ingin kita nilai. Perbedaan antara memutuskan
bagaimana bertindak dan menilai bagaimana kita bertindak jelas merupakan hal yang
paling penting bagi konsekuensialisme, karena kita tidak dapat mengetahui konsekuensi
dari tindakan kita sebelum kita mengambil tindakan tersebut. Akibatnya, doktrin yang
dibatasi pada penilaian setelah peristiwa tersebut tidak memiliki penerapan praktis.
Namun jika kita tidak dapat menilai konsekuensi sebenarnya sebelum kejadian tersebut
terjadi, bagaimana kita memutuskan apa yang harus dilakukan? Jawabannya adalah kita
harus mengandalkan generalisasi tentang sebab dan akibat dan mengikuti aturan umum.
 Apakah perbedaan antara penilaian dan resep mengatasi keberatan terhadap
konsekuensialisme yang ingin dipenuhi? Keberatan pertama, bahwa tindakan apa pun
mempunyai rangkaian konsekuensi yang panjang dan tak terhingga sehingga mustahil
untuk diantisipasi atau dinilai, menimbulkan beberapa pertanyaan filosofis yang sangat
mendalam dan sulit mengenai sebab dan akibat. Oleh karena itu, kesulitan apa pun dalam
memperkirakan konsekuensi dalam arti yang lebih absolut tidak dapat menyelesaikan
perselisihan tersebut demi kepentingan salah satu pihak.
 Contoh : Seseorang yang menggalang dana dan mengirimkan pasokan medis ke beberapa
wilayah di dunia yang dilanda bencana. Obat-obatan tidak disimpan dengan baik dan
akibatnya terkontaminasi. Konsekuensinya adalah mereka yang menerima bantuan
tersebut akan jatuh sakit parah dan pada akhirnya lebih banyak orang yang meninggal
dibandingkan jika tidak ada bantuan yang dikirimkan. Kantian berpendapat bahwa contoh
semacam ini menunjukkan bahwa konsekuensi tidak relevan dengan manfaat moral dari
suatu tindakan.

KONSEKUENSIALISME DAN SPONTANITAS


Apa yang dikatakan tentang spontanitas itu benar, keyakinan bahwa spontanitas adalah
konsekuensi dari suatu tindakan itulah yang pada akhirnya memerlukan kita.bukanuntuk

8
menjadi praktisi konsekuensialis. Jika kita memperluas alur pemikiran ini dari
konsekuensialisme secara umum ke utilitarianisme secara khusus, kita harus menyimpulkan
bahwa keyakinan pada Prinsip Kebahagiaan Terbesar mengharuskan kita untuk tidak
mempraktikkan utilitarianisme setidaknya untuk beberapa waktu. Kebahagiaan terbesar tidak
selalu diberikan oleh mereka yang menghabiskan waktu dan tenaga untuk perhitungan hedonis,
namun terkadang oleh mereka yang secara spontan mengikuti naluri terbaiknya.

TINDAKAN DAN ATURAN


Tindakan utilitarian, perlu diingat, meyakini bahwa setiap tindakan harus diambil untuk
memaksimalkannya kebahagiaan, aturan utilitarian berpendapat bahwa tindakan kita harus
ditentukan oleh aturan yang, jika dipatuhi secara umum, akan membawa pada kebahagiaan
terbesar. Di satu sisi, kita tidak selalu bisa memperkirakan konsekuensi tindakan kita dengan
tingkat keakuratan apa pun, dan di sisi lain, kita tidak bisa memperkirakan konsekuensi tindakan
kita dengan akuratumumkesejahteraan dan kebahagiaan sering kali mengharuskan orang untuk
bertindak secara spontan dan dibimbing oleh naluri mereka sendiri. Namun semua ini
menunjukkan bahwa masyarakat harus mengikutinyaaturanperilaku, dan sering kali harus
melakukannya dengan cara yang sepenuhnya tidak reflektif dan intuitif. Namun, mereka harus
mengikuti aturan-aturan utilitarian, aturan-aturan yang dirancang sesuai dengan apa yang paling
kondusif bagi kesejahteraan dan kebahagiaan semua orang.
Beberapa filsuf berpendapat bahwa perbedaan antara utilitarianisme tindakan dan aturan pada
akhirnya tidak dapat dipertahankan sesuai dengan tujuan. Bagi banyak orang, hal ini tampaknya
merupakan prinsip dasar keadilan, namun dalam pandangan utilitarian, kekuatan aturan ini, baik
kita menyebutnya sebagai aturan keadilan atau tidak, muncul dari hubungannya yang penting
dengan utilitas sosial. Kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebagian besar orang dalam
masyarakat luas akan terwujud dengan baik jika para penegak hukum menganggap peraturan ini
tidak dapat diganggu gugat. Namun, kita baru saja melihat bahwa konflik semacam itu dapat
dengan mudah dihilangkan dengan menyempurnakan peraturan secara cermat agar
mempertimbangkan keadaan-keadaan khusus ini; dengan kata lain dengan membuat aturan yang
berbeda. Oleh karena itu, berdasarkan pandangan utilitarian mengenai masalah ini, tidak ada
dilema yang nyata. Jadi, utilitarianisme aturan tidak memberikan penjelasan lebih dari

9
utilitarianisme tindakan. Dalam bahasa filosofis, utilitarianisme tindakan dan aturan bersifat ko-
ekstensif.

BAB 8
KONTRAKTUALISME

KEKUATAN PERJANJIAN
Mengapa seseorang harus menepati janji? Janji memiliki kekuatan untuk menghasilkan
kewajiban melakukan apa yang telah disepakati. Pemikiran inilah yang mendukung gagasan
kontraktualisme, di mana prinsip-prinsip moral berakar pada kesepakatan sosial.
Kontraktualisme menganggap moralitas sebagai seperangkat aturan dan prinsip yang harus
disepakati jika masyarakat ingin berfungsi dengan baik.
Dalam sejarah kontraktualisme, ada dua konsep penting yaitu 'keadaan alam' dan 'kontrak sosial'.
Konsep ini digunakan oleh beberap filsuf dalam menemukan alasan rasional untuk kontrak sosial
yang mengatur hubungan antara individu dalam masyarakat. Kontrak sosial tersebut akan
menjadi dasar hukum dan moralitas, serta menjadi landasan kewajiban sosial untuk mengakui
dan memenuhi kebutuhan orang lain.

JOHN LOCKE AND ‘TACIT’ CONSENT (PERSETUJUAN DIAM-DIAM)


John Locke adalah seorang filsuf Inggris menulis dua risalah tentang Pemerintahan. Pada risalah
pertama, Ia menentang klaim bahwa otoritas penguasa berasal dari Tuhan melalui manusia
pertama, Adam. Risalah kedua, ia menguraikan dan mempertahankan gagasan sebaliknya, bahwa
penguasa sebenarnya berhutang kekuasaan kepada rakyatnya, karena kekuasaan penguasa
berasal dari dukungan rakyat. Kekuasaan yang dijalankan oleh penguasa sebenarnya adalah hak-
hak individu yang diserahkan kepadanya untuk ditegakkan dan dilindungi. Poin utama dari
risalah ini adalah kewajiban individu terhadap orang lain dalam masyarakat.

10
Locke berpendapat bahwa setiap orang yang mendapatkan manfaat dari suatu pemerintah secara
tidak langsung memberikan persetujuan diam-diam serta berkewajiban untuk tunduk pada
hukum pemerintah tersebut. Argumen serupa juga dapat dibuat dalam konteks kewajiban moral,
di mana mereka yang memperoleh manfaat dari aturan moral dapat dianggap juga telah setuju
secara diam-diam. Namun, Hume mengkritik gagasan ini, menurutnya persetujuan diam-diam
hanya dapat terjadi jika seseorang memiliki pilihan untuk tidak setuju dengan suatu aturan.

JOHN RAWLS AND ‘HYPOTHETICAL’ CONSENT (PERSETUJUAN 'HIPOTETIS')


John Rawls adalah seorang filsuf politik yang menggunakan konsep persetujuan hipotetis yang
tujuannya untuk mencapai prinsip-prinsip sosial dan politik yang adil. Dia mengemukakan dua
prinsip dasar yang mempertimbangkan kepentingan diri sendiri secara rasional. Prinsip pertama
adalah memberikan kebebasan individu sebanyak mungkin dengan ketentuan kebebasan yang
sama untuk semua orang. Prinsip kedua adalah mendistribusikan kekayaan secara adil dengan
membatasi kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin.
Namun, banyak kritikus yang berpendapat bahwa eksperimen pemikiran Rawls memiliki
kelemahan dalam penalaran karena tidak mampu mengatasi kesenjangan antara motivasi egoistik
dan kewajiban altruistik. Persetujuan dalam konteks kontraktualisme harus didasarkan pada
kesepakatan sebenarnya, bukan sekadar hipotetis. Jika menggunakan konsep persetujuan
hipotetis, individu hanya diminta untuk mematuhi peraturan yang telah mereka setujui
sebelumnya. Namun, hal ini menjadi tidak berlaku jika seseorang sama sekali tidak setuju.

HOBBES AND THE DICTATES OF PRACTICAL REASON (PERINTAH-


PERINTAH NALAR PRAKTIS)
Menurut Hobbes, masalah utama kehidupan sosial adalah masalah koordinasi sosial, di mana
orang harus menemukan cara untuk mencapai tujuan mereka tanpa bertengkar. Menurutnya,
aturan saja tidak cukup tetapi masyarakat harus mematuhi aturan tersebut. Satu-satunya solusi
adalah membentuk lembaga dengan otoritas dan kekuatan untuk menegakkan aturan, bahkan
dengan memaksa individu untuk bertindak sesuai dengan aturan tersebut.

Hobbes berpendapat bahwa otoritas yang berdaulat diperlukan untuk memerintah individu dan
mengabaikan penalaran mereka. Penalaran Hobbes menunjukkan bahwa kaum egois rasional

11
harus menerima aturan-aturan tatanan sosial yang dapat ditegakkan karena hal ini adalah demi
kepentingan terbaik mereka, bahkan ketika penerapan aturan-aturan tersebut bertentangan
dengan tujuan dan keinginan mereka. Argumen Hobbes berfokus pada keberadaan dan
kepentingan negara sebagai pusat tatanan sosial. Jika moralitas memiliki peran dalam hal ini,
maka moralitas harus ditegakkan dan ditentukan oleh negara.

POLITIK, MORALITAS DAN AGAMA


Kesimpulan bahwa negara adalah penentu moral tertinggi tidak dapat diterima oleh banyak orang
karena beberapa alasan. Pertama, pemikiran Barat menganggap politik dan moralitas sebagai
sesuatu yang berbeda, sedangkan sebagian besar negara demokrasi modern meyakini bahwa
hukum tidak boleh digunakan untuk menegakkan keyakinan moral tertentu. Kedua, ada perilaku-
perilaku yang dianggap tidak bermoral, tetapi tidak bisa diatur oleh hukum. Misalnya, orang
tidak dapat dipaksa menjadi baik atau murah hati. Ketiga, jika hukum yang disahkan negara
menjadi penentu benar salahnya moral, maka akan menempatkan negara itu sendiri di luar
jangkauan moralitas.

Menurut Locke, peran negara adalah untuk memastikan penerapan hak-hak individu yang
melindungi individu dari tindakan negara yang tidak adil. Hak-hak ini berasal dari hukum alam,
yang merupakan peraturan moral yang mengatur hubungan manusia bahkan sebelum masyarakat
politik dibentuk. Sumber otoritas moralitas tidak hanya berasal dari negara berdaulat, seperti
yang diajukan oleh Hobbes. Menurunya, hak-hak dan otoritas moralitas berasal dari Tuhan, dan
pemimpin bertanggung jawab kepada Tuhan dan rakyatnya.

12
BAB 9
ETIKA, AGAMA DAN MAKNA HIDUP

THE ARGUMENT SO FAR


Pertanyaan utama dalam etika adalah "Apa jenis kehidupan terbaik yang dapat dijalani oleh
manusia? Jawaban pertama berasal dari padangan egoisme, yang menganggap bahwa kehidupan
terbaik adalah kehidupan yang memuaskan keinginan diri sendiri. Namun, egoisme tidak
mempertimbangkan bahwa kita sering kali tidak yakin dengan apa yang kita inginkan. Kedua,
hedonisme berpendapat bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh kesenangan,
namun hedonisme juga memiliki kendala kesulitan dalam mengejar kesenangan tersebut. Ketiga,
Aristoteles menganggap bahwa kesejahteraan adalah nilai tertinggi yang memiliki fungsi atau
tujuan alamiah. Namun, pertanyaan muncul apakah manusia memiliki tujuan atau fungsi alamiah
yang jelas. Selanjutnya, eksistensialisme mengungkapkan bahwa kebebasan manusia dalam
bertindak dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Namun mengapa harus bertindak sesuai
dengan nalar seperti yang dipahami Kant, jika hal itu membuat kita tidak bahagia?
Utilitarianisme, yang mengedepankan kebahagiaan manusia, juga tidak menjawab pertanyaan
tentang pengorbanan kebahagiaan pribadi demi kebahagiaan umum.
Dapat disimpulkan bahwa beberapa teori etika yang telah dikemukakan, memiliki kekurangan
dan pandangan yang sangat negatif. Oleh karena itu, banyak orang mencari agama sebagai cara
untuk mencapai keseimbangan antara kebebasan, kebahagiaan, dan tuntutan moral.

OTORITAS MORALITAS
Masalah yang dihadapi dalam kehidupan moral melibatkan persaingan antara keinginan pribadi
dan kewajiban sosial. Kontraktualisme menawarkan solusi untuk mengatasi masalah ini dengan

13
menjadikan perjanjian atau kontrak sebagai dasar kewajiban sosial. Namun, kontraktualisme
cenderung menempatkan moralitas di bawah politik. Beberapa pemikir melihat solusi ini terletak
pada kehendak Tuhan yang berotoritas. Ketaatan terhadap kehendak Tuhan menarik karena
sesuai dengan kepentingan pribadi yang rasional, serta sejalan dengan keadilan dan kesejahteraan
semua ciptaan.

Namun, masalahnya tidak sesederhana itu karena masih ada keraguan yang mempertanyakan
masalah keberadaan Tuhan, pengetahuan tentang kehendak-Nya, dan apakah itu memberikan
panduan hidup yang lebih baik daripada filosofi non-religius.

KEBERADAAN TUHAN DAN MASALAH KEJAHATAN


Apakah Tuhan itu ada? Keberadaan Tuhan menjadi subjek perdebatan dalam sejarah manusia.
Para filsuf dan teolog telah mengembangkan beberapa argumen yang berbeda untuk mendukung
hipotesis bahwa Tuhan itu ada. Salah satu aspek penting dari hubungan antara keberadaan Tuhan
dan etika adalah masalah kejahatan. Agama-agama Timur seperti Hindu dan Buddha tidak
memiliki konsep Tuhan sebagaimana agama-agama monoteistik Barat. Meskipun demikian,
dalam agama-agama monoteistik ini, kepercayaan pada Tuhan yang sempurna dan sumber segala
kebaikan perlu dikualifikasikan. Para filsuf dan teolog Kristen lebih berfokus pada masalah
kejahatan dibandingkan dengan agama-agama lain. Masalah ini memiliki sisi praktisnya, di mana
orang yang percaya akan kasih Allah sering kali bertanya-tanya di mana kasih Allah ketika
melihat penderitaan dan kehancuran di dunia. Masalah ini juga bisa diinterpretasikan secara
filosofis, menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada Tuhan yang penuh kasih.
Namun, beberapa orang masih mempertimbangkan argumen ini, sementara yang lain mencoba
menemukan kelemahannya. Apakah ada jawaban yang memuaskan atau tidak, masih perlu
ditinjau lebih lanjut.

MASALAH PENGETAHUAN AGAMA


Jika Tuhan memang ada, dapatkah kita mengetahui dengan pasti apa kehendak-Nya bagi kita?
Setiap agama memberikan pandangan yang berbeda-beda. Contohnya, dalam hal poligami,
agama Kristen melarangnya sementara Islam mengizinkannya. Pertanyaan selanjutnya adalah
apakah agama memberikan panduan hidup yang lebih baik daripada panduan sekuler?

14
Jawabannya tergantung pada pandangan non-agama tentang kebaikan. Jika kebaikan bergantung
pada kehendak Tuhan, maka kita mencapai kesimpulan bahwa agama tidak dapat menjadi
pijakan utama dalam menentukan kode etik dan panduan hidup yang baik.

DILEMA euthyphro
Dalam dialog Euthyphro karya Plato, Euthyphro seorang ahli agama didesak oleh Sokrates untuk
menjelaskan konsep kebenaran dan keadilan dalam agama. Euthyphro menjelaskan kasus di
mana ia menuntut ayahnya sendiri atas pembunuhan pelayan mereka. Socrates meminta
Euthyphro untuk menjelaskan ilmu hukum ilahi yang ia klaim lebih baik dari anggota
keluarganya yang lain.
Dalam dialog ini, menyajikan tiga bagian utama. Bagian pertama Socrates berpendapat bahwa
hanya apa yang disetujui oleh semua dewa yang dapat menjadi panduan untuk berperilaku baik
yang mengacu pada satu Tuhan. Bagian ketiga membahas kemungkinan hidup yang saleh dan
bagaimana manusia dapat melayani Tuhan dengan sempurna. Namun, fokus utama dialog ini
adalah bagian kedua, di mana Socrates memberikan Euthyphro sebuah dilema dengan
menanyakan apakah sesuatu itu baik karena disetujui oleh Tuhan atau apakah Tuhan hanya
menyetujuinya karena itu baik. Pertanyaan ini membuka dialog filsafat yang lebih dalam tentang
sumber kebenaran dan moralitas. Namun, berpikir bahwa baik dan buruk bergantung pada
kehendak Tuhan tidak dapat secara logis menjadi dasar moralitas.

PENGALAMAN KEAGAMAAN DAN PRAKTIK KEAGAMAAN


Teks ini membahas dua pertimbangan penting tentang pengalaman keagamaan dan praktik
keagamaan. Yang pertama adalah masalah kejahatan, realitas penderitaan dan kesengsaraan.
Dalam permasalahan ini, banyak orang cenderung berpaling kepada Tuhan atau agama sebagai
harapan akan adanya keberadaan Tuhan yang penuh kasih.
Yang kedua adalah bahwa agama tidak selalu menjamin nilai-nilai moral dengan memberikan
aturan-aturan yang tegas.Hanya sedikit penjelasan dalam literatur suci agama tentang jalan moral
atau kesuksesan duniawi. Kedua hal ini menyoroti pentingnya pengalaman keagamaan dalam

15
menguatkan keyakinan akan keberadaan Tuhan serta fakta bahwa agama tidak selalu
memberikan aturan-aturan tegas untuk kehidupan yang baik moral dan kesuksesan duniawi.
Agama-agama tidak secara utama terkait dengan etika atau moralitas, tetapi lebih berfokus pada
hubungan dengan Tuhan dan kehidupan religius. Agama juga mengubah cara pandang manusia
dan memiliki kekuatan mentransformasi dunia lainnya. Meskipun agama tidak memberikan
jawaban pasti terhadap masalah-masalah kompleks, pentingnya agama adalah memberikan
makna bagi fenomena alam dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

MITOS TENTANG SISYPHUS


Kisah mitos tentang Sisyphus menunjukkan kehidupan yang tidak memiliki makna. Sisyphus
seorang raja legendaris yang dihukum dengan tugas menggulingkan batu besar ke atas bukit,
namun batu tersebut selalu jatuh ke bawah, membuatnya harus memulai dari awal lagi. Pekerjaan
ini tidak ada artinya karena tidak akan berhasil dan tak berujunga. Namun, dari ketidakbermakan
tersebut, kita dapat mempertanyakan apa yang bisa memberi makna dalam kehidupan. Mitos
Sisyphus menggambarkan pentingnya pemikiran tentang makna hidup dalam konteks manusia
dan memberikan kesempatan bagi para filsuf untuk menggali lebih dalam tentang pertanyaan ini.

NILAI SUBJEKTIF DAN MAKNA OBJEKTIF


Dalam kasus Sisyphus, nilai subjektif terkait dengan aktivitasnya yang membuatnya merasa
bahagia meskipun terlihat sia-sia dan konyol. Namun, ia tidak menyadari sepenuhnya akan
hukuman dan kehidupannya tetap tidak berarti. Makna objektif dapat ditemukan dalam pekerjaan
keras Sisyphus jika dia mengetahui bahwa batu-batu yang didorongnya akan membentuk
bangunan spektakuler. Namun, jika dia tidak mengetahuinya, maka kerja kerasnya tidak
memiliki makna subjektif bagi dirinya sendiri. Untuk memberikan kehidupan yang penuh
makna, diperlukan adanya tujuan atau maksud yang dilayani oleh aktivitas yang dilakukan.
Analisis ini juga berlaku untuk egoisme, kesenangan, eksistensialisme, kantianisme, dan
utilitarianisme, yang semuanya tidak mampu menyatukan makna objektif dan nilai subjektif.
Beberapa filsuf berpendapat bahwa sudut pandang objektif dan subjektif tidak dapat disatukan,
tetapi penting bagi manusia untuk menghargai pentingnya hidup secara subjektif.
Richard Taylor berpendapat bahwa makna subjektif lebih penting daripada makna objektif
karena makna objektif tidak dapat diperoleh. Dia menggunakan mitos Sisyphus sebagai contoh

16
untuk menjelaskan pandangannya. Kedua pendapat tersebut memberikan nilai subjektif dan tidak
dapat memberikan nilai objektif.

PERSPEKTIF AGAMA
Para penulis seperti Camus, Taylor, dan Nagel menolak pandangan umum bahwa agama dapat
memberikan perspektif yang menggabungkan makna obyektif dan nilai subyektif. Namun, tidak
semua agama memiliki perspektif seperti itu. Agama Buddha, misalnya, melihat manusia sebagai
makhluk yang terperangkap dalam roda kehidupan yang tak terelakkan. Moksa atau pembebasan
dapat dicapai dengan menekan nafsu keinginan dan menghapus semua keterikatan dengan dunia.
Agama Buddha menemukan nilai tertinggi dalam kepunahan diri pribadi. Agama-agama
monoteistik di Barat, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, dapat memberikan perspektif seperti
yang dicari, dengan melihat ciptaan sebagai hasil dari kehendak Tuhan. Manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Tuhan, dan memiliki kebebasan untuk menyimpang dari prinsip-
prinsip penciptaan-Nya. Keselamatan dan penebusan mencakup upaya untuk mengembalikan
hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bagaimana pandangan
agama tentang ciptaan dan kehendak Ilahi terkait dengan topik-topik yang dibahas.

TIGA KESULITAN YANG DIPERTIMBANGKAN KEMBALI


Tiga kesulitan yang dipertimbangkan lagi yaitu masalah kejahatan, pengetahuan agama, dan
dilema Euthyphro. Dalam perspektif agama, tujuan akhir dari semua pemikiran dan aktivitas
manusia adalah untuk mengembalikan hubungan harmonis dengan Tuhan. Meskipun kejahatan
dianggap sebagai penghalang untuk mencapai hubungan tersebut, kejahatan juga bisa
menguatkan kepercayaan religius dengan menciptakan ketergantungan pada Tuhan. Gagasan
kasih Tuhan juga harus dipahami bahwa Dia ingin memberikan hubungan yang harmonis dengan
ciptaan-Nya.
Dalam teks, dijelaskan bahwa perbedaan dalam agama tidak dapat dipecahkan dengan cara yang
sama seperti perbedaan ilmiah. Masalah pengetahuan agama melibatkan dilema Euthyphro, di
mana kita tidak memiliki pilihan selain menggunakan standar kebaikan dan keburukan yang
lebih dikenal untuk menilai klaim agama yang bersaing. Namun, standar agama ini hanya dapat
diketahui melalui pengalaman religius manusia.

17
KESATUAN ANTARA YANG OBJEKTIF DAN SUBJEKTIF - 'DI MANA
KEGEMBIRAAN SEJATI DAPAT DITEMUKAN'

Penggabungan antara nilai subjektif dan makna objektif dapat terjadi melalui agama. Agama
menawarkan tujuan ilahi dan kepegawaian relatif, tetapi juga menghadapi kesulitan filosofis dan
bahasa yang serius. Keyakinan agama tidak hanya berasal dari intelektualitas tetapi juga
perasaan dan pengalaman religius. Agama tidak dapat sepenuhnya memenuhi tugas filosofis.

Agama dapat mengatasi ketegangan antara nilai subjektif dan makna objektif yang menjelaskan
sifat dan makna objektif alam semesta. Dunia yang paling memuaskan adalah manusia mengikuti
ketentuan ilahi sehingga dapat menemukan nilai subjektif terbesar dalam tujuan ilahi. Namun,
pemahaman agama kadang sulit dicapai karena adanya kesulitan dalam pemikiran dan bahasa
agama.
Keyakinan agama dapat menjadi solusi bagi beberapa orang untuk mengatasi konflik dalam
hidup mereka. Namun, ada juga pilihan lain, seperti hidup dengan dikotomi antara kepentingan
pribadi dan tuntutan moral, atau memilih salah satu konsepsi secara filosofis. Namun, argumen-
argumen ini belum sepenuhnya memuaskan dan perlu diperiksa kembali.

18

Anda mungkin juga menyukai