OLEH:
KELOMPOK 2
ANGGOTA :
2320532002 RINDY CITRA DEWI
2320532006 LIZA YANTI
1
kekayaan materi atau kekuasaan yang tidak terbatas. Iniliah kehidupan yang baik bagi
Faustus.
Jika kita berpegang teguh pada dunia ini, dan jika kita menafsirkan kekalahan Faustus
sebagai peristiwa yang terjadi pada masa kini dan bukan peristiwa di masa depan,
pertama-tama kita perlu menunjukkan bahwa secara material kehidupan terbaik (yang
pasti dia nikmati) bukanlah secara moral kehidupan terbaik, dan kedua, ada lebih
banyak hal yang patut dipuji mengenai moralitas.
Dari kisah Faustus menunjukkan bahwa ia melakukan kesalahan, mengacu pada
perbedaan antara kebaikan material dan moral, antara cara kita hidup dan cara kita
berperilaku, antara kebaikan dan kebaikan moral. Namun, kita juga harus menunjukkan
mengapa satu jenis kehidupan yang baik – melakukan hal yang benar – lebih disukai
dibandingkan jenis kehidupan yang lain – yang berjalan dengan baik. Ini berarti, seperti
yang dilihat Plato, menunjukkan mengapa, ketika dihadapkan pada pilihan, kita harus
lebih memilih menderita secara materi daripada melakukan kejahatan.
2
baik. Namun ia berpikir bahwa ada perbedaan penting antara tindakan seseorang yang
secara spontan dan dengan senang hati melakukan apa yang benar dan tindakan yang
sama yang dilakukan oleh orang yang melakukan tindakan tersebut, mungkin dengan
kesulitan, tetapi semata-mata Karena itu benar.
Alasan Kant berpikir bahwa kebaikan dan keburukan moral sejati melekat pada tindakan
terlepas dari perasaan orang yang melakukannya terletak pada keyakinannya bahwa
'kecenderungan tidak dapat diperintahkan' sedangkan tindakan dapat diperintahkan.
Karena orang hanya dapat dipuji atau dicela jika mereka dapat dianggap bertanggung
jawab, maka pujian dan celaan hanya dapat dikaitkan dengan tindakan, bukan perasaan.
Menurut pandangan Kant, tindakanlah yang menentukan nilai moral
3
Imperatif hipotesis terbagi dalam dua jenis. Pertama, imperatif 'teknis', instruksi yang
menunjuk pada sarana teknis untuk mencapai tujuan yang dipilih. Kedua, imperatif
asertif. hal ini bertumpu pada sebuah keinginan, tapi bukan keinginan yang dimiliki
seseorang.
Imperatif kategoris, tampaknya tidak ada kebenaran yang perlu diperiksa.
UNIVERSALISABILITAS
Filsafat moral sebagai keuniversalan adalah metode penerapan suatu pengujian terhadap setiap
tindakan yang masuk akal. Hal ini merupakan, prosedur untuk melihat apakah alasan tindakan
anda dapat diterapkan pada semua orang secara setara atau apakah alasan tersebut lenih baik
daripada permohonan khusus dalam kasus itu sendiri. Menurut Kant, jika kita ingin mengetahui
apakah apa yang kita usulkan benar secara moral atau tidak, maka tanyakan pada diri kita sendiri
apakah kita dapat secara konsisten menghendaki agar setiap orang juga memiliki alasan yang
sama dengan kita.
4
BAB 7
UTILITARIANISME
Konsepsi yang lebih sukses dapat dicapai dengan memberikan kebanggan pada kebahagiaan dan
kesuksesan kita dalam mewujudkannya. Hal ini akan dibahas dalam bab Utilitarianisme.
JEREMY BENTHEM
Jeremy Bentham (1748–1832) adalah orang yang sangat luar biasa. Dia kuliah di Universitas
Oxford pada usia dua belas tahun dan lulus pada usia lima belas tahun. Dia kemudian belajar
hukum dan dipanggil ke bar pada usia sembilan belas tahun. Dia tidak pernah benar-benar
mempraktikkan hukum, karena dia segera terlibat dengan reformasi sistem hukum Inggris, yang
menurutnya rumit dan tidak jelas dalam teori dan prosedurnya serta dampaknya yang tidak
manusiawi dan tidak adil. Menurut Benthem ‘utilitas’ bukan ‘kegunaan tanpa memperhatikan
kesenangan’, melainkan ‘kegunaan tanpa memperhatikan kesenangan’. Bahwa harta benda pada
benda apa pun, yang cenderung menghasilkan manfaat, keuntungan, kesenangan, kebaikan atau
kebahagiaan untuk mencegah terjadinya kenakalan, rasa sakit, kejahatan, atau ketidakbahagiaan.
Salah satu kontribusi Bentham terhadap teori utilitarianisme adalah penjabaran 'kalkulus
hedonis', suatu sistem yang membedakan dan mengukur berbagai jenis kesenangan dan kesakitan
sehingga bobot relatif dari konsekuensi berbagai tindakan dapat dibandingkan. Dengan cara ini,
menurutnya, ia telah menyediakan metode pengambilan keputusan yang rasional bagi pembuat
undang-undang, pengadilan, dan individu, yang akan menggantikan prasangka yang tidak
5
berdasar dan proses yang sangat aneh, dalam pandangan Bentham, yang menjadi dasar
pengambilan keputusan politik, peradilan, dan administratif. biasanya muncul.
6
pemeriksaan umum terhadap doktrin secara keseluruhan, ada satu perbedaan lagi yang
perlu diperkenalkan dan dijelaskan.
MEMASTIKAN KONSEKUENSI
Konsekuensi dari suatu tindakan mempunyai konsekuensinya sendiri, dan konsekuensi tersebut
pada gilirannya juga mempunyai konsekuensi. Situasinya menjadi lebih rumit ketika kita
menambahkan konsekuensi negatif, yaitu ketika kita mempertimbangkan hal-hal
itujanganterjadi karena apa yang kita lakukan serta hal-hal yang kita lakukan. Penambahan
konsekuensi negatif membuat perluasan konsekuensi tindakan kita menjadi tidak terbatas, yang
berarti sulit untuk menilainya. Hal ini mungkin membuat hal tersebut menjadi tidak mungkin,
karena saat ini tidak ada pemahaman yang jelas mengenai gagasan tersebut itu konsekuensi dari
suatu tindakan sama sekali.
7
Alasan kami mengambil tindakannya sebagai titik tolak penilaian kami dan tidak melihat
lebih jauh lagi hal-hal yang melatarbelakanginya, hanya karena kami memilih untuk
menanyakan akibat dari tindakan tersebut dan bukan yang sebelumnya. Kita bisa dengan
mudah bertanya tentang konsekuensi dari tindakan si pembunuh dan menganggapnya
mengerikan juga. Tidak ada ketidakpastian di sini asalkan kita jelas mengenai tindakan
atau peristiwa mana yang konsekuensinya ingin kita nilai. Perbedaan antara memutuskan
bagaimana bertindak dan menilai bagaimana kita bertindak jelas merupakan hal yang
paling penting bagi konsekuensialisme, karena kita tidak dapat mengetahui konsekuensi
dari tindakan kita sebelum kita mengambil tindakan tersebut. Akibatnya, doktrin yang
dibatasi pada penilaian setelah peristiwa tersebut tidak memiliki penerapan praktis.
Namun jika kita tidak dapat menilai konsekuensi sebenarnya sebelum kejadian tersebut
terjadi, bagaimana kita memutuskan apa yang harus dilakukan? Jawabannya adalah kita
harus mengandalkan generalisasi tentang sebab dan akibat dan mengikuti aturan umum.
Apakah perbedaan antara penilaian dan resep mengatasi keberatan terhadap
konsekuensialisme yang ingin dipenuhi? Keberatan pertama, bahwa tindakan apa pun
mempunyai rangkaian konsekuensi yang panjang dan tak terhingga sehingga mustahil
untuk diantisipasi atau dinilai, menimbulkan beberapa pertanyaan filosofis yang sangat
mendalam dan sulit mengenai sebab dan akibat. Oleh karena itu, kesulitan apa pun dalam
memperkirakan konsekuensi dalam arti yang lebih absolut tidak dapat menyelesaikan
perselisihan tersebut demi kepentingan salah satu pihak.
Contoh : Seseorang yang menggalang dana dan mengirimkan pasokan medis ke beberapa
wilayah di dunia yang dilanda bencana. Obat-obatan tidak disimpan dengan baik dan
akibatnya terkontaminasi. Konsekuensinya adalah mereka yang menerima bantuan
tersebut akan jatuh sakit parah dan pada akhirnya lebih banyak orang yang meninggal
dibandingkan jika tidak ada bantuan yang dikirimkan. Kantian berpendapat bahwa contoh
semacam ini menunjukkan bahwa konsekuensi tidak relevan dengan manfaat moral dari
suatu tindakan.
8
menjadi praktisi konsekuensialis. Jika kita memperluas alur pemikiran ini dari
konsekuensialisme secara umum ke utilitarianisme secara khusus, kita harus menyimpulkan
bahwa keyakinan pada Prinsip Kebahagiaan Terbesar mengharuskan kita untuk tidak
mempraktikkan utilitarianisme setidaknya untuk beberapa waktu. Kebahagiaan terbesar tidak
selalu diberikan oleh mereka yang menghabiskan waktu dan tenaga untuk perhitungan hedonis,
namun terkadang oleh mereka yang secara spontan mengikuti naluri terbaiknya.
9
utilitarianisme tindakan. Dalam bahasa filosofis, utilitarianisme tindakan dan aturan bersifat ko-
ekstensif.
BAB 8
KONTRAKTUALISME
KEKUATAN PERJANJIAN
Mengapa seseorang harus menepati janji? Janji memiliki kekuatan untuk menghasilkan
kewajiban melakukan apa yang telah disepakati. Pemikiran inilah yang mendukung gagasan
kontraktualisme, di mana prinsip-prinsip moral berakar pada kesepakatan sosial.
Kontraktualisme menganggap moralitas sebagai seperangkat aturan dan prinsip yang harus
disepakati jika masyarakat ingin berfungsi dengan baik.
Dalam sejarah kontraktualisme, ada dua konsep penting yaitu 'keadaan alam' dan 'kontrak sosial'.
Konsep ini digunakan oleh beberap filsuf dalam menemukan alasan rasional untuk kontrak sosial
yang mengatur hubungan antara individu dalam masyarakat. Kontrak sosial tersebut akan
menjadi dasar hukum dan moralitas, serta menjadi landasan kewajiban sosial untuk mengakui
dan memenuhi kebutuhan orang lain.
10
Locke berpendapat bahwa setiap orang yang mendapatkan manfaat dari suatu pemerintah secara
tidak langsung memberikan persetujuan diam-diam serta berkewajiban untuk tunduk pada
hukum pemerintah tersebut. Argumen serupa juga dapat dibuat dalam konteks kewajiban moral,
di mana mereka yang memperoleh manfaat dari aturan moral dapat dianggap juga telah setuju
secara diam-diam. Namun, Hume mengkritik gagasan ini, menurutnya persetujuan diam-diam
hanya dapat terjadi jika seseorang memiliki pilihan untuk tidak setuju dengan suatu aturan.
Hobbes berpendapat bahwa otoritas yang berdaulat diperlukan untuk memerintah individu dan
mengabaikan penalaran mereka. Penalaran Hobbes menunjukkan bahwa kaum egois rasional
11
harus menerima aturan-aturan tatanan sosial yang dapat ditegakkan karena hal ini adalah demi
kepentingan terbaik mereka, bahkan ketika penerapan aturan-aturan tersebut bertentangan
dengan tujuan dan keinginan mereka. Argumen Hobbes berfokus pada keberadaan dan
kepentingan negara sebagai pusat tatanan sosial. Jika moralitas memiliki peran dalam hal ini,
maka moralitas harus ditegakkan dan ditentukan oleh negara.
Menurut Locke, peran negara adalah untuk memastikan penerapan hak-hak individu yang
melindungi individu dari tindakan negara yang tidak adil. Hak-hak ini berasal dari hukum alam,
yang merupakan peraturan moral yang mengatur hubungan manusia bahkan sebelum masyarakat
politik dibentuk. Sumber otoritas moralitas tidak hanya berasal dari negara berdaulat, seperti
yang diajukan oleh Hobbes. Menurunya, hak-hak dan otoritas moralitas berasal dari Tuhan, dan
pemimpin bertanggung jawab kepada Tuhan dan rakyatnya.
12
BAB 9
ETIKA, AGAMA DAN MAKNA HIDUP
OTORITAS MORALITAS
Masalah yang dihadapi dalam kehidupan moral melibatkan persaingan antara keinginan pribadi
dan kewajiban sosial. Kontraktualisme menawarkan solusi untuk mengatasi masalah ini dengan
13
menjadikan perjanjian atau kontrak sebagai dasar kewajiban sosial. Namun, kontraktualisme
cenderung menempatkan moralitas di bawah politik. Beberapa pemikir melihat solusi ini terletak
pada kehendak Tuhan yang berotoritas. Ketaatan terhadap kehendak Tuhan menarik karena
sesuai dengan kepentingan pribadi yang rasional, serta sejalan dengan keadilan dan kesejahteraan
semua ciptaan.
Namun, masalahnya tidak sesederhana itu karena masih ada keraguan yang mempertanyakan
masalah keberadaan Tuhan, pengetahuan tentang kehendak-Nya, dan apakah itu memberikan
panduan hidup yang lebih baik daripada filosofi non-religius.
14
Jawabannya tergantung pada pandangan non-agama tentang kebaikan. Jika kebaikan bergantung
pada kehendak Tuhan, maka kita mencapai kesimpulan bahwa agama tidak dapat menjadi
pijakan utama dalam menentukan kode etik dan panduan hidup yang baik.
DILEMA euthyphro
Dalam dialog Euthyphro karya Plato, Euthyphro seorang ahli agama didesak oleh Sokrates untuk
menjelaskan konsep kebenaran dan keadilan dalam agama. Euthyphro menjelaskan kasus di
mana ia menuntut ayahnya sendiri atas pembunuhan pelayan mereka. Socrates meminta
Euthyphro untuk menjelaskan ilmu hukum ilahi yang ia klaim lebih baik dari anggota
keluarganya yang lain.
Dalam dialog ini, menyajikan tiga bagian utama. Bagian pertama Socrates berpendapat bahwa
hanya apa yang disetujui oleh semua dewa yang dapat menjadi panduan untuk berperilaku baik
yang mengacu pada satu Tuhan. Bagian ketiga membahas kemungkinan hidup yang saleh dan
bagaimana manusia dapat melayani Tuhan dengan sempurna. Namun, fokus utama dialog ini
adalah bagian kedua, di mana Socrates memberikan Euthyphro sebuah dilema dengan
menanyakan apakah sesuatu itu baik karena disetujui oleh Tuhan atau apakah Tuhan hanya
menyetujuinya karena itu baik. Pertanyaan ini membuka dialog filsafat yang lebih dalam tentang
sumber kebenaran dan moralitas. Namun, berpikir bahwa baik dan buruk bergantung pada
kehendak Tuhan tidak dapat secara logis menjadi dasar moralitas.
15
menguatkan keyakinan akan keberadaan Tuhan serta fakta bahwa agama tidak selalu
memberikan aturan-aturan tegas untuk kehidupan yang baik moral dan kesuksesan duniawi.
Agama-agama tidak secara utama terkait dengan etika atau moralitas, tetapi lebih berfokus pada
hubungan dengan Tuhan dan kehidupan religius. Agama juga mengubah cara pandang manusia
dan memiliki kekuatan mentransformasi dunia lainnya. Meskipun agama tidak memberikan
jawaban pasti terhadap masalah-masalah kompleks, pentingnya agama adalah memberikan
makna bagi fenomena alam dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
16
untuk menjelaskan pandangannya. Kedua pendapat tersebut memberikan nilai subjektif dan tidak
dapat memberikan nilai objektif.
PERSPEKTIF AGAMA
Para penulis seperti Camus, Taylor, dan Nagel menolak pandangan umum bahwa agama dapat
memberikan perspektif yang menggabungkan makna obyektif dan nilai subyektif. Namun, tidak
semua agama memiliki perspektif seperti itu. Agama Buddha, misalnya, melihat manusia sebagai
makhluk yang terperangkap dalam roda kehidupan yang tak terelakkan. Moksa atau pembebasan
dapat dicapai dengan menekan nafsu keinginan dan menghapus semua keterikatan dengan dunia.
Agama Buddha menemukan nilai tertinggi dalam kepunahan diri pribadi. Agama-agama
monoteistik di Barat, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, dapat memberikan perspektif seperti
yang dicari, dengan melihat ciptaan sebagai hasil dari kehendak Tuhan. Manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Tuhan, dan memiliki kebebasan untuk menyimpang dari prinsip-
prinsip penciptaan-Nya. Keselamatan dan penebusan mencakup upaya untuk mengembalikan
hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bagaimana pandangan
agama tentang ciptaan dan kehendak Ilahi terkait dengan topik-topik yang dibahas.
17
KESATUAN ANTARA YANG OBJEKTIF DAN SUBJEKTIF - 'DI MANA
KEGEMBIRAAN SEJATI DAPAT DITEMUKAN'
Penggabungan antara nilai subjektif dan makna objektif dapat terjadi melalui agama. Agama
menawarkan tujuan ilahi dan kepegawaian relatif, tetapi juga menghadapi kesulitan filosofis dan
bahasa yang serius. Keyakinan agama tidak hanya berasal dari intelektualitas tetapi juga
perasaan dan pengalaman religius. Agama tidak dapat sepenuhnya memenuhi tugas filosofis.
Agama dapat mengatasi ketegangan antara nilai subjektif dan makna objektif yang menjelaskan
sifat dan makna objektif alam semesta. Dunia yang paling memuaskan adalah manusia mengikuti
ketentuan ilahi sehingga dapat menemukan nilai subjektif terbesar dalam tujuan ilahi. Namun,
pemahaman agama kadang sulit dicapai karena adanya kesulitan dalam pemikiran dan bahasa
agama.
Keyakinan agama dapat menjadi solusi bagi beberapa orang untuk mengatasi konflik dalam
hidup mereka. Namun, ada juga pilihan lain, seperti hidup dengan dikotomi antara kepentingan
pribadi dan tuntutan moral, atau memilih salah satu konsepsi secara filosofis. Namun, argumen-
argumen ini belum sepenuhnya memuaskan dan perlu diperiksa kembali.
18