ANGGOTA:
FAKULTAS PSIKOLOGI
Puji Tuhan kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan apapun.
Makalah ini kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga pembuatan makalah ini berjalan dengan lancar untuk itu kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu dan berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari itu semua kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
penyusunan kalimat,tata bahasa,dan lainnya. Oleh karena itu dengan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
A. PENDAHULUAN.................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
A. ALIRAN PRAGMATISME..................................................................................2
B. ALIRAN VITALISME..........................................................................................4
C. ALIRAN FENOMENOLOGISME.......................................................................5
D. ALIRAN EKSISTENSIALISME..........................................................................8
A. KESIMPULAN...................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Filsafat berasal dari Bahasa Yunani dan terdiri dari 2 kata majemuk yatu philos yang
berarti cinta atau sahabat, dan Sophia berarti kebijaksanaan, kearifan, dan pengetahuan.
Dengan kata lain filsafat adalah love of wisdom atau cinta kebijaksanaan.
Tetapi filsafat sendiri memiliki beberapa definisi yang berbeda tergantung siapa ahlinya.
Menurut plato filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli
dan murni. Selain itu plato juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang
sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
Sejarah filsafat sendiri memiliki beberapa pemikiran sendiri salah satunya adalah
sejarah filsafat pemikiran barat. Sejarah filsafat pemikiran barat sendiri memilik beberapa
aliran seperti zaman modern : aliran renaissance, aliran idealisme jerman, aliran materialisme,
aliran pragmatism, aliran vitalisme, aliran fenomenologisme, aliran eksistensialisme, aliran
positivisme, aliran filsaft analitis, aliran flsafat strukturalisme dan postmodernisme.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu pengertian aliran pragmatisme?
2. Apa itu pengertian aliran vitalisme?
3. Apa itu pengertian aliran fenomenologisme?
4. Apa itu pengertian aliran eksistensialisme?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata bahasa yunani yaitu pragma yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran
sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu
kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Suatu konsep atau peraturan sama sekali
tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi
masyarakat.
Aliran pragmatisme adalah aliran yang bersedia menerima segala hal, asalkan hal
tersebut berakibat baik atau berguna. Aliran ini mementingkan kegunaan suatu pengetahuan
dan bukan kebenaran objektif dari pengetahuan. Pragmatisme akan menguji suatu
pengetahuan dan akan mengetahui kebenaran pengetahuan tersebut melalui konsekuensi dari
pelaksanaan pengujiannya. Dengan demikian, aliran pragmatisme tidak mau direpotkan
dengan pertanyaan-pertanyan seputar kebenaran yang bersifat metafisik.
2
3. William James
Dia mengatakan secara singkat bahwa pragmatism adalah realitas yang sudah kita
ketahui berguna untuk mengukur suatu kebenaran konsep seseorang yang harus
mempertimbangkan konsekuensi yang akan diterapkan pada konsep tersebut. Pandangan
pragmatisme
1. Metafisika
Pragmatisme terdiri dari seluruh pendekatan empiris yaitu semua apa yang
dapat dirasakan itu benar artinya akal, jiwa, dan materi adalah hal yang tidak dapat di
pisahkan. Karena itu para cendekiawan pragmatisme tidak pernah mendasarkan satu hal
kebenaran. Dan menurut mereka pengalaman yang di alami di setiap manusia akan
berubah juga realita manusia itu berubah. Realita bukanlah hal yang abstrak dan hanya
pengalaman biasa yang dapat berubah ubah dan terus berubah seiring berjalannya
waktu. Setiap manusia mempunyai tanggung jawab atas lingkungan dan realitas hidup
akan lebih indah jika kita sebagai manusia banyak mempelajari isu makna yang terkan
dung dalam realitas kehidupan.
2. Epistimologi
Corak dari pragmatisme adalah konsep kegunaan. Mengarah kepada sains dan
bukan metafisik. Dan pragmatisme cenderung kepada kepercayaan. Hal yang perlu
diketahui oleh pragmatisme adalah bersifat pribadi dan tidak diberitakan, dan jika ada
hal yang sangat dibutuhkan untuk diberitakan, maka harus diberitakan akan tetapi tidak
ada yang sepihak hingga kebenaran akan selalu bersifat valid dan jujur. Pragmatisme
mengklaim bahwasannya manusia selalu mempunyai rasa keinginan untuk meneliti dan
tidak mau menerima suatu produk yang belum teruji. Untuk memecahkan masalah
manusia harus memiliki penagalam pengalaman dalam meneliti dan meliki alat guna
mencari sebuah solusi dari akar masalah-masalah penelitian.
Pragmatisme menunjukkan kedapa kita bahwa tujuan berfikir adalah kemajuan
hidup, yaitu untuk memajukan dan memperbanyak capital dengan cara sepragtis
mungkin. metode intelegen adalah guna memperoleh informasi, dan ketika kita
mengetahui informasi maka kita dapat menyelesaikan masalah. Intelegensi mengacu
pada hipotesa yang dimana hipotesa untuk memecahkan masalah, dan hipotesa ini
menjelaskan masalah masalah terkait.
3
3. Aksiologi
Pandangan pragmatisme tentang nilai itu adalah relatif atau situasional.
Kaidah moral dan etika itu tidak tetap, selalu berubah sesuai situasi, waktu , tempat,
persepsi masyarakat dan juga pengaruh kemajuan IPTEK. Pendekatan pragmatisme
terhadap nilai benar salah, baik buruk itu didasarkan pada kemanfaatan dalam
kehidupan masyarakat dan bukan didasarkan pada teori.
B. Aliran vitalisme
Vitalisme adalah paham atau aliran dalam filsafat manusia yang beranggapan bahwa
kenyataan sejati pada dasarnya adalah energi, daya, kekuatan, atau nafsu yang bersifat
irasional atau tidak rasional. Dengan memberi tekanan pada kenyataan yang tidak rasional,
maka vitalisme berbeda dari idealisme dan materialisme. Vitalisme percaya bahwa kenyataan
sejati pada dasarnya adalah berupa adalah energi, daya, kekuatan, non fisik yang tidak
rasional dan liar. Setiap keputusan atau perilaku mausia yang dianggap rasional pada
dasarnya adalah rasionalisasi saja dari keputusan-keputusan yang tidak rasional tersebut.
Menurut aliran ini rasio hanyalah alat yang berfungsi untuk merasionalisasikan hal-hal atau
keputusan-keputusan yang sebetulnya tidak rasional.
Vitalisme adalah suatu doktrin yang mengatakan bahwa suatu kehidupan terletak di luar
dunia materi dan karenanya kedua konsep ini, kehidupan dan materi, tidak bisa saling
mengintervensi. Dimana doktrin ini menghadirkan suatu konsep energi, elan vital, yang
menyokong suatu kehidupan dan energi ini bisa disamakan dengan keberadaan suatu jiwa.
Pada awal perkembangan filosofi di dunia medis, konsep energi ini begitu kental sehingga
seseorang dinyatakan sakit karena adanya ketidakseimbangan dalam energi vitalnya. Dalam
kebudayaan barat, yang dikaitkan dengan Hippocrates, energi vital ini diwakilkan dengan
humor, dan dalam budaya timur diwakilkan oleh dimaupun prana.
Vitalisme merupakan doktrin yang sering kali digunakan sebagai acuan pada zaman
dahulu. Akan tetapi sekarang doktrin ini ditolak oleh para ilmuan aliran utama. “organisme
hidup secara mendasar berbeda dari wujud yang tidak hidup karena mereka mengandung
beberapa elemen non-fisik atau dikendalikan oleh dasar yang berbeda yang mana bukan
merupakan benda tidak bernyawa”. Secara eksplisit vitalisme membawa asas vital, yang
mana elemen tersebut sering kali mengacu kepada vital spark, “energi”, atau “élan vital”,
yang sering kali disamakan dengan “jiwa”. Vitalisme memiliki sejarah yang panjang dalam
4
filosofi kedokteran. Kebanyakan praktik penyembuhan tradisional mengemukakan bahwa
penyakit merupakan hasil dari ketidakseimbangan energi vital yang dapat menyebabkan
masalah di antara hal-hal hidup dan tidak hidup. Pada tradisi barat yang dikemukakan oleh
Hippocrates, kekuatan vital ini berkaitan dengan watak dan hati. Pada tradisi Timur juga
dikenal kekuatan serupa yang bernama qi dan prana. Seringkali hal ini dibandingkan dengan
reduksionisme, yang ditentang oleh psikisialisme.Aliran Vitalisme ini juga sebuah perbuatan
baik menurut aliran ini adalah orang yang kuat, dapat memaksakan dan menekankan
kehendaknya agar berlaku dan ditaati oleh orang-orang yang lemah. Manusia hendaknya
mempunyai daya hidup atau vitalitas untuk menguasai dunia dan keselamatan manusia
tergantung daya hidupnya. Vitalisme juga memandang bahwa kehidupan tidak sepenuhnya
dijelaskan secara fisika, kimiawi, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup. Henry
Bergson (1958-1941) menyebutkan Elan Vital. Dikatakan bahwa Elan Vital merupakan
sumber dari sebab kerja dan perkembangan dalam alam. Asa hidup ini memimpin dan
mengatur gejala hidup dan menyesuaikannya dengan tujuan hidup. Oleh karena itu Vitalisme
sering juga dinamakan finalisme.
C. Aliran Fenomenologisme
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi merupakan sebuah
aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat
dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita.
Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang
kemudian diterima oleh akal (otak) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis
dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir
5
secara kritis. Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek
memaknai obyek- obyek di sekitarnya.
Sejarah fenomenologi
Ahli matematika Jerman Edmund Husserl, dalam tulisannya yang berjudul Logical
investigations (1900) mengawali sejarah fenomenologi. Fenomenologi sebagai
salah satu cabang filsafat, pertama kali dikembangkan di universitas-universtas
Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian di
lanjutkan oleh Martin Heidehher dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya
Sartre, Heidegger, dan Merleau-Ponty memasukkan ide- ide dasar fenomenologi dalam
pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus dari eksistensialisme adalah
eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar, atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar.
6
yakni terhadap kesadaran kita yang disebut epoche. Husserl mengonsentrasikan
diri terhadap ciri- ciri atau sifat kesadaran yang membuat tindakan- tindakan kita
seperti sebuah objek. Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang
perlu diketahui. Diantaranya :
- Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula
nomena (sesuatu yang berada di balik fenomena)
- Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.Kesadaran adalah
sesuatu yang intensional (terbuka dan terarah pada subjek)
- Substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan
dan sekaligus bisa terjangkau.
2. Martin Heidegger
Fenomenologi didefinisikan sebagai pengetahuan dan keterampilan
membiarkan sesuatu seperti apa adanya. Pemikirannya yang paling inovatif,
adalah mencari “cara untuk menjadi” lebih penting ketimbang mempertanyakan
apa yang ada di sekitar kita. Pemahaman mengenai “menjadi” didapatkan
dengan fenomenologi
3. Max Scheller ( 1874 - 1928 )
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu untuk
memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan
realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi). Menerapkan metode
fenomenologi dalam penyelidikan hakikat teori pengenalan, etika, filsafat
kebudayaan, keagamaan, dan nilai. Secara skematis, pandangan Scheler
mengenai fenomenologi dibedakan ke dalam tiga bagian, yakni: Penghayatan
(erleben), atau pengalaman intuitif yang langsung menuju ke “yang diberikan.
Setiap manusia menghadapi sesuatu dengan aktif, bukan dalam bentuk
penghayatan yang pasif. Perhatian kepada “apanya” (washiet, whatness,
esensi), dengan tidak memperhatikan segi eksistensi dari sesuatu. Hasserl menyebut
hal ini dengan “reduksi transedental”. Perhatian kepada hubungan satu sama lain
(wesenszusammenhang) antar esensi. Hubungan ini bersifat a priori (diberikan)
dalam institusi, sehingga terlepas dari kenyataan. Hubungan antar esensi ini dapat
bersifat logis maupun non logis.
7
D. Aliran eksistensialisme
Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar
dan “sistensi” yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas
eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus
keluar dari dirinya.
8
Tokoh-tokoh aliran eksistensialisme
1. Karl Jaspers
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan
semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif
sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri dan memandang filsafat
bertuju mengembalikan manusia kepada jatidirinya kembali. Ada dua
fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
2. Soren Aabye Kiekeegaard
Mengedepankan teori bahwa eksistensi manusia bukanlah sesuatu
yang kaku dan statis tetapi senantiasa terbentuk, manusia juga
senantiasa melakukan upaya dari sebuah hal yang sifatnya hanya
sebagai spekulasi menuju suatu yang nyata dan pasti, seperti upaya
mereka untuk menggapai cita-citanya pada masa depan.
3. Jean Paul Sartre
“Manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan
berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri”. Itu adalah salah satu
statement dan mungkin bernilai teori yang terkenal darinya.
4. Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang teruji adalah manusia yang cenderung
melalui jalan yang terjal dalam hidupnya dan definisi dari aliran
eksistensialisme menurutnya adalah manusia yang mempunyai
keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa
manusia harus menjadi manusia super dan yang mempunyai mental
majikan bukan mental budak supaya manusia tidak diam dengan
kenyamanan saja.
5. Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah memusatkan semua hal kepada
manusia dan mengembalikan semua masalah apapun ujung-
ujungnya adalah manusia sebagai subjek atau objek dari masalah
tersebut.aliran eksistensialisme adalah aliran yang cenderung
memandang manusia sebagai objek hidup yang memiliki taraf yang
tinggi, dan keberadaan dari manusia ditentukan dengan dirinya
sendiri bukan melalui rekan atau kerabatnya, serta berpandangan
bahwa manusia adalah satu-satunya mahluk hidup yang dapat eksis
9
dengan apapun disekelilingnya karena manusia disini dikaruniai
sebuah organ urgen yang tidak dimiliki oleh mahluk hidup lainnya
sehingga pada akhirnya mereka dapat menempatkan dirinya sesuai
dengan keadaan dan selalu eksis dalam setiap hidupnya dengan
organ yang luar biasa hebat tersebut.
Eksistensialisme adalah pandangan filosofi yang menekankan keberadaan
individu, kebebasan dan pilihan. Aliran filsafat ini berpendapat bahwa manusialah
yang mendefinisikan maknanya sendiri dalam hidup, dan mencoba membuat
keputusan yang rasional meskipun berada di alam semesta yang tidak rasional.
10
Eksistensialis menegaskan bahwa manusia ‘dilemparkan’ ke dalam alam semesta yang konkret
dan tak terpisahkan yang tidak dapat ‘dipikirkan’ dan karenanya keberadaan (berada di dunia)
akan mendahului kesadaran , dan yang realitas. Kierkegaard sendiri melihat rasionalitas
sebagai mekanisme yang digunakan manusia untuk melawan kecemasan eksistensial mereka,
ketakutan mereka saat berada di dunia. Sementara sartre melihat rasionalitas sebagai bentuk
“itikad buruk”, upaya diri untuk memaksakan struktur pada dunia fenomena yang secara
fundamental tidak rasional dan acak. Itikad buruk ini menghalangi kita untuk menemukan
makna dalam kebebasan, dan membatasi kita dalam pengalaman sehari-hari.
Kierkegaard juga menekankan bahwa individu harus memilih jalan mereka sendiri tanpa
bantuan standar yang universal dan obyektif. Kemudian Friedrich Nietzsche berpendapat
bahwa individu harus memutuskan situasi mana yang dihitung sebagai situasi moral. Maka
dari itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar eksistensialis percaya bahwa pengalaman
pribadi dan bertindak berdasarkan keyakinannya sendiri sangat penting dalam mencapai
kebenaran, dan bahwa pemahaman situasi oleh seseorang yang terlibat dalam situasi itu lebih
unggul daripada pengamat obyektif yang terpisah. Seseorang yang mempercayai
eksistensialisme bisa jadi seorang ateis, teologis atau agnostis. Karena faktor penting bagi
seorang eksistensialis adalah setiap orang memiliki kebebasan agar dapat memilih untuk
percaya atau tidak.
Sejarah Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari filsuf abad ke-19 Søren Kierkegaard dan Friedrich
Nietzsche, meskipun keduanya tidak menggunakan istilah tersebut dalam menerangkan
pemikiran mereka. Eksistensialis Prancis seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Simone
de Beauvoir menulis karya ilmiah dan fiksi yang mempopulerkan tema eksistensial seperti
ketakutan, kebosanan, keterasingan, absurd, kebebasan, komitmen dan ketiadaan. Selain itu
filsuf lainnya seperti Martin Heidegger, Karl Jaspers dan Edmund Husserl, dan Fyodor
Dostoevsky, Franz KafkazGeorg Wilhelm Friedrich Hegel dan Arthur Schopenhauer juga
memiliki pengaruh penting pada perkembangan Eksistensialisme, karena filosofi Kierkegaard
dan Nietzsche ditulis sebagai tanggapan atau menentang mereka.
11
pertanyaan tentang keberadaan manusia, dan perasaan bahwa tidak ada tujuan atau penjelasan
pada inti keberadaan.
Kebanyakan ekstensialis berpendapat bahwa, karena tidak ada Tuhan atau kekuatan
transenden lainnya, satu-satunya cara untuk melawan ketiadaan ini adalah dengan merangkul
keberadaan guna mencari makna dalam hidup masing-masing individu. Dengan demikian,
Eksistensialisme percaya bahwa individu sepenuhnya bebas dan harus mengambil tanggung
jawab pribadi untuk diri mereka sendiri walaupun dengan tanggung jawab ini kemungkinan
besar memunculkan kecemasan, kesedihan atau ketakutan yang mendalam. Oleh karena itu, ia
menekankan tindakan, kebebasan dan keputusan sebagai hal yang fundamental, dan
berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi kondisi kemanusiaan yang pada
dasarnya absurd adalah dengan menjalankan kebebasan dan pilihan pribadi kita.
Eksistensialis menegaskan bahwa manusia ‘dilemparkan’ ke dalam alam semesta yang konkret
dan tak terpisahkan yang tidak dapat ‘dipikirkan’ dan karenanya keberadaan (berada di dunia)
akan mendahului kesadaran, dan yang realitas.
Itikad buruk ini menghalangi kita untuk menemukan makna dalam kebebasan, dan
membatasi kita dalam pengalaman sehari-hari. Kierkegaard juga menekankan bahwa individu
12
harus memilih jalan mereka sendiri tanpa bantuan standar yang universal dan obyektif.
Kemudian Friedrich Nietzsche berpendapat bahwa individu harus memutuskan situasi mana
yang dihitung sebagai situasi moral.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar eksistensialis percaya bahwa
pengalaman pribadi dan bertindak berdasarkan keyakinannya sendiri sangat penting dalam
mencapai kebenaran, dan bahwa pemahaman situasi oleh seseorang yang terlibat dalam
situasi itu lebih unggul daripada pengamat obyektif yang terpisah. Seseorang yang
mempercayai eksistensialisme bisa jadi seorang ateis, teologis atau agnostis. Karena faktor
penting bagi seorang eksistensialis adalah setiap orang memiliki kebebasan agar dapat
memilih untuk percaya atau tidak.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Vitalisme adalah paham atau aliran dalam filsafat manusia yang beranggapan bahwa
kenyataan sejati pada dasarnya adalah energi, daya, kekuatan, atau nafsu yang bersifat
iirasional atau tidak rasional. Dengan memberi tekanan pada kenyataan yang tidak rasional,
maka vitalisme berbeda dari idealisme dan materialisme.
14
DAFTAR PUSTAKA
15