Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MAKALAH

FILSAFAT PRAGMATISME DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

Prof. Waspodo, M.Ed., Ph.D.

Disusun oleh:
H. Herman Mayori
NIM:07013682126021

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Program Doktor Administrasi Publik
Universitas Sriwijaya
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
RahmatNya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah filsafat ilmu pada Program Doktor
Administrasi Publik. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembacanya dan
dapat menambah wawasan bagi kita semua. Penulis mengucapkan terima kasih atas
bimbingan Prof. Waspodo, M.Ed., Ph. D yang telah memberikan berbagai penjelasan dan
materi serta bimbingan dalam penulisan makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
untuk rekan-rekan Program Doktoral Angkatan 2021 yang selalu saling berbagi ilmu dan
informasi untuk kemajuan bersama.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan ilmu dan referensi dalam
penulisan tentang cabang ilmu filsafat ini. Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran
sebagai perbaikan makalah dan pengalaman untuk penulisan di masa yang akan datang.

Penulis

H. Herman Mayori
NIM:07013682126021
A. Pendahuluan
Pragmatisme berasal dari kata bahasa Yunani, yakni “pragma” yang memiliki arti
dengan tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa
kriteria kebenaran apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh karena
itu, kebenaran sifatnya menjadi relatif dan menjadi tidak mutlak. Aliran pragmatisme pada
hakikatnya adalah aliran yang bersedia menerima segala hal, asalkan hal tersebut berakibat
baik atau berguna. Aliran ini mementingkan kegunaan suatu pengetahuan dan bukan
kebenaran objektif dari pengetahuan. Pragmatisme akan menguji suatu pengetahuan dan akan
mengetahui kebenaran pengetahuan tersebut melalui konsekuensi dari pelaksanaan
pengujiannya. Dengan demikian, aliran pragmatisme tidak mau direpotkan dengan
pertanyaan-pertanyan seputar kebenaran yang bersifat metafisik.

Pragmatisme sudah banyak dibicarakan oleh para ahli, baik dilihat sebagai aliran
pemikiran filsafat, maupun sebagai konsepsi yang bersifat praktis. Pragmatisme juga dikenal
sebagai sikap dan metode yang lebih menekankan pada akibat dan kegunaan setiap konsep
atau gagasan daripada berputar-putar dengan masalah metafisis-filosofis. Paham ini memiliki
karakteristik yang membedakannya dari paham-paham lainnya. Respon terhadap paham ini
bermacam-macam. Banyak yang mendukung dan banyak pula yang menentangnya. Kesan
negatif terhadap paham ini muncul antara lain karena paham ini dinilai enggan dengan
perdebatan filosofis yang tiada henti, enggan mendiskusikan asumsi-asumsi dasar, persepsi
dan nilai-nilai yang mendasar, dan cenderung langsung turun pada perencanaan praktis.

Secara de facto, perbincangan mengenai pragmatisme tidak dapat dilepaskan dari


bidang-bidang filsafat seperti etika dan epistemologi. Dengan kata lain, pragmatisme dapat
dirasakan apabila mengkaji dengan bidang-bidang filsafat seperti etika dan lebih-lebih
epistemologi. Kaitan antara pragmatsime dan etika menghasilkan teori utilitarianisme yang
memandang baik dan buruknya tindakan manusia dari segi manfaatnya (Susesno, 1991: 122).
Kaitan antara pragmatisme dan epistemologi antara lain melahirkan teori kebenaran
pragmatis, yang beranggapan bahwa kebenaran itu bukan terdapatnya konsistensi antara
pernyataan yang satu dengan pernyataan yang lainnya, sebagaimana dikembangkan oleh
kaum rasionalis. Pun demikian, pragmatism tidak memiliki korespondensi antara pernyataan
dan kenyataan sebagaimanana dikembangkan oleh empirisme, melainkan memandang
kebenaran itu dari akibat praktisnya (Shah, 1988: xiii). Sebuah pernyataan dikatakan benar
jika pernyataan itu bermanfaat atau berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Disaat yang sama, relasi antara pragmatisme dan epistemologi banyak dibicarakan
oleh para pemikir pragmatis Amerika seperti Peirce, James, dan Dewey. Pada umumnya
mereka menolak pandangan tradisional yang spekulatif dan ahistoris, dan berupaya
mengembangkan filsafat yang lebih bercorak ilmiah. Tradisi filsafat yang pragmatis tersebut
kemudian dilanjutkan oleh para pemikir lain yang bercorak analitis, namun kecenderungan
para filsuf analitis terjebak pada pandangan neo-Kantian yang mempertahankan filsafat yang
berpusat pada epistemologi. Pandangan yang terakhir ini akhir-akhir ini digugat antara lain
oleh filsuf Amerika kontemporer, yang juga penerus ide-ide Dewey yakni Richard Rorty
(Borradori, 1984: 103). Rorty menggugat bahkan mengkritik secara tajam terhadap
epistemologi, namun yang dimaksud adalah epistemologi absolut. Jadi, dia mengkritik
epistemologi absolut, yakni epistemologi yang menjadi fondasi bagi pengetahuan lainnya dan
epistemlogi yang selalu mencari korespondensi (kesesuaian/kecocokan) antara pernyataan
dan kenyataan, sebagaimana dikembangkan oleh Immanuel Kant dan para neo-Kantianis.
Pemikirannya menyangkut bidang-bidang yang sangat luas termasuk bidang epistemologi.
Pandangan epistemologinya berbeda dengan kaum pragamatis sebelumnya. Pandangannya
yang pragmatis utamanya dalam bidang epistemology sudah barang tentu membawa
implikasi tersendiri terhadap bidang-bidang pengetahuan yang lainnya termasuk dalam
bidang pendidikan. Meskipun dia sendiri dalam karya-karya tersebut (karya-karya yang
sekarang dijadikan bahan penelitian ini) tidak secara langsung membicarakan masalah
pendidikan. Namun, karena cabang-cabang suatu sistem filsatat dapat mendasari berbagai
pemikiran mengenai pendidikan (Barnadib, 1987: 7), maka sudah tentu pandangan pragmatis
Richard Rorty dapat berimplikasi dalam pendidikan pula.

Tokoh-tokoh pragmatism dan pendapatnya mengenai pragmatisme

1. Charles sandre piere (1839)

Charles berpendapat bahwa apapun yang berpengaruh bila dikaitkan dengan praktis,
maka pragmatisme bukanlah sebuah filsafat, bukan teori kebenaran, dan bukan metafisika,
melainkan adalah suatu cara untuk manusia dalam memecahkan masalah. Dari dua pendapat
diatas bisa disimpulkan bahwasannya pragmatisme bukan hanya sekedar teori pembelajaran
filsafat dan mencari kebenaran, akan tetapi pragmatism lebih kearah pada tataran ilmu
kepraktisan guna membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia.
2. John Dewey (1859-1952)

Dewey berpendapat bahwasannya berfilsafat guna memperbaiki kehidupan manusia


dan lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia. Ia juga menyatakan bahwa filsafat
memberikan pengarahan dan filsafat tidak diperkenankan kebawa arus dalam ide-ide
metafisis yang tidak praktis.

3. William James

Dia mengatakan secara singkat bahwa pragmatism adalah realitas yang sudah kita ketahui
berguna untukmengukur suatu kebenaran konsep seseorang yang harus mempertimbangkan
konsekuensi yang akan diterapkan paa konsep tersebut.

Pandangan pragmatisme

a. Metafisika

Pragmatisme seluruhnya membeberkan penedekatan empiris yaitu semua apa apa


yang dapat dirasakan itu benar artinya akal, jiwa, dan materi adalah hal yang tidak dapat
dipisahkan. Karena itu para cendekiawan pragmatism tidak pernah mendasarkan satu hal
kebenaran. Dan menurut mereka pengalaman yang di alami di setiap manusia akan berubah
juka realita manusia itu berubah. Realita bukanlah hal yang abtrak dan hanya pengalaman
biasa yang dapat berubah ubah dan terus berubah seiring berjalannya waktu.setiap manusia
mempunyai tanggung jawab atas lingkungan dan realitas hidup akan lebih indah jika kita
sebagai manusia banyak mempelajari isu makna yang terkan dung dalam realitas kehidupan.

Tema pokok filsafat pragmatism:

1. Esensi realitas adalah perubahan


2. Hakikat sosial dan biologis manusia yang esensial
3. Realitas value
4. Penggunaan intergrasi secara terus menerus.
Pragmatism menyetujui pendapat- pendapat manusia adalah tolak ukur segala tujuan dan alat
pendukung harus terbuka untuk diperbaiki secara terus menerus.

b. Epistimologi

Corak dari pragmatism adalah konsep kegunaan. Mengarah kepada sains dan bukan
metafisik. Dan pragmatism cenderung kepada kepercayaan. Hal yang perlu di ketahui oleh
pragmatism adalah bersifat pribadi dan tidak diberitakan, dan jika ada hal yang sangat
dibutuhkan untuk di beritakan, maka harus diberitakan akan tetapj tidak ada yang sepihak
hingga kebenaran akan selalu bersifat valid dan jujur. Pragmatisme mengklaim bahwasannya
manusia selalu mempunyai rasa keinginan untuk meneliti dan tidak mau menerima suatu
produk yang belum teruji. Untuk memecahkan masalah manusia harus memiliki pengalaman-
pengalaman dalam meneliti dan memiliki alat guna mencari sebuah solusi dari akar masalah-
masalah penelitian.

Pragmatism menunjukkan kedapa kita bahwa tujuan berfikir adalah kemajuan hidup,
yaitu untuk memajukan dan memperbanyak capital dengan cara seperaktis mungkin. Metode
intelegen adalah guna memperoleh informasi, dan ketika kita mengetahui informasi maka kita
dapat menyelesaikan masalah. Intelegensi nengacu pada hipotesa yang dimana hipotesa untuk
memecahkan masalah, dan hipotesa ini menjelaskan masalah masalah terkait. Untuk
memecahkan masalah itu, ada lima cara menurut dewey dalam wini rosyidin yaitu:

1. Indeterminate situation, atau situasi tegang


2. Diagnosis, mencari penyebab timbulnya masalah
3. Hypothesis, gagasan atau ide ide informasi untuk dikumpulkan
4. Hypothesis testing, membandingkan informasi untuk di praktik kana tau di uji
5. Evaluation, mengkaji ulang apakah ada kesalahan pada point point sebelumnya.

Dari konsep di atas, dewey sangat berusaha membuat konsep,pertimbangan, dan kesimpulan
dalam rupa yang beragam dan gampang. Menurut dewey, yang benar berate di setujui dan di
terima dikalangan semua orang.

c. Aksiologi

Pandangan pragmatisme tentang nilai itu adalah relatif atau situasional. Kaidah moral
dan etika itu tidak tetap, selalu berubah sesuai situasi, waktu, tempat, persepsi masyarakat
dan juga pengaruh kemajuan IPTEK. Pendekatan pragmatisme terhadap nilai benar salah,
baik buruk itu didasarkan pada kemanfaatan dalam kehidupan masyarakat dan bukan
didasarkan pada teori.

Implementasi filsafat pragmatisme pada administrasi publik


Filsafat pragmatisme, jika dilihat dari sisi yang lain memiliki nilai positif, karena
dapat membawa dari aspek teoritis kepada aspek praktis, berupaya menurunkan filsafat ke
tanah (membumi) dan menghadapi masalah-masalah yang hidup. Dengan ungkapan lain,
pragmatisme berusaha untuk membumikan filsafat agar dapat digunakan untuk memecahkan
masalah keseharian di sekitar kita, sebagaimana dikemukakan oleh Dewey, bahwa filsafat
pragmatisme bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta aktivitasnya untuk
memenuhi kebutuhan manusiawi (Titus dkk, 1984 : 353).

Dalam aspek tatanan deskripsi itu, jika dikaitkan dengan kebijakan publik, aliran
pragmatisme memberikan suatu konsepsi berfikir yang lebih melihat dan mendahulukan arah
kegunaannya. Pada saat yang sama, kebijakan publik menekankan suatu proses dan perilaku
yang empiris kepada para pembuat kebijakan publik yang memiliki wewenang dan otoritas
secara langsung harus memperhatikan dan mementingkan asas kegunaan di setiap kebijakan
yang ditetapkan. Proses pembuatan kebijkan pun secara sengaja memberikan cara berfikir
kepada para pelaku kebijakan untuk melihat aspek manfaatnya. Dalam pandangan filsafat
pragmatisme, pembuat kebijakan memiliki esensi realitas terhadap setiap perubahan sosial
dan biologis manusia. Dengan kata lain, para pembuat kebijakan publik secara naluriah dan
amaliah memiliki kecenderungan untuk terus secara dinamis dalam mengintegrasikan nilai
realiatas dan permasalahan yang ada dalam masyarakat dalam rangka untuk memecahkan
problematika-problematika mereka.

Maka dalam tatanan implementasi nantinya, kebijakan dengan berbasis pragmatisme


selalu menekankan pada aspek kegunaan dan asas kebermanfaatan pada setiap menyelesaikan
masalah dimanapun yang telah dilakukan oleh para pembuat kebijakan, agar nantinya orang-
orang yang merasakan kebijakan tersebut merasakan efek positif ysng berhasil merubah dan
meningkatkan taraf kehidupan mereka. Peranan pembuat kebijakan dalam aliran filsafat
pragmatisme berguna sebagai lokomotif dan pembimbing dalam menciptakan asas
kebermanfaatan dan kegunaan tanpa memperhatikan nilai dan estetika sebuah kebijakan.
Oleh karena itu, sebuah kebijakan harus mampu menyesuaikan segala aspek, dimana
perannya sebagai usaha dan wadah untuk merubah kehidupan manusia yang terus berubah-
ubah. Disaat yang sama, sebuah kebijakan juga harus lebih mengedepankan dan
mementingkan kegunaan suatu pengetahuan dan bukan kebenaran objektif dari pengetahuan.

Daftar Pustaka

Borradori, G. (2013). Philosophy in a time of terror: Dialogues with Jurgen Habermas and


Jacques Derrida. University of Chicago Press.
Idi, A., & Sahrodi, J. (2017). Moralitas Sosial dan Peranan Pendidikan Agama. Intizar, 23(1),
1-16.
Magnis-Suseno, F. (1991). Berfilsafat dari Konteks. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Oesman, O. Alfian (Eds). 1991. Pancasila sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
Salam, B. (1997). Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik, Jakarta: PT. Rineka
Cipta. Samsul Nizar, R. (2012). Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia.
Shah, S. S., Shah, A. A., & Khaskhelly, N. (2019). Pragmatism research paradigm: a
philosophical framework of advocating methodological pluralism in social science
research. Grassroots, 52(1).
Thaib, R. M. T. R. M. (2018). Pragmatisme: Konsep Utilitas Dalam
Pendidikan. Intelektualita, 4(1).

Anda mungkin juga menyukai