Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat, rahmat, dan karuniaNya kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul
“Pragmatisme” tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini berkat bantuan dan


tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak,
untuk itu dalam kesempatan ini kami menyatakan rasa hormat dan terima kasih
kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Filsafat Umum yang
telah memberikan kami motivasi dalam menyusun makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat
kami harapkan untuk menyempurnakan makalah ini.

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... 1

Daftar Isi ................................................................................................................ 2

Bab I Pendahuluan ............................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 3


1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 4
1.3 Tujuan ................................................................................................... 4
1.4 Manfaat ................................................................................................. 4

Bab II Pembahasan ...............................................................................................5

2.1 Pengertian pragmatisme ...................................................................... 5

2.2 Aliran Ajaran John Dewey .................................................................. 7

2.3 Teori Kebenaran Pragmatis ...............................................................


11

2.4 Pragtisme Dan Konsep Hidup Modern .............................................


13

Bab III Penutup ....................................................................................................


16

Daftar Pustaka .....................................................................................................


17.................................................................................................

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pragmatis dipandang sebagai aliran filsafat modern yang lahir di


Amerika akhir abad 19 hingga awal abad 20. Namun sebenarnya berpangkal pada
filsafat empiris Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa
yang manusia alami. Filsafat ini cenderung mengabaikan hal-hal yang bersifat
metafisik tradisional dan terarah pada hal-hal yang pragmatis kehidupan.
Pragmatisme lahir di tengah-tengah situasi sosial Amerika yang dilanda berbagai
problema terkait dengan kuat dan masuknya urbanisasi dan industrialisasi.
Berakhirnya perang dunia I dengan korban sekitar 8,4 juta jiwa secara tidak
langsung telah melahirkan dampak psikologis yang begitu meluas dan memicu
terjadi berbagai perubahan-perubahan bangsa, khususnya filusuf di dalam
menyadari hidup dan kehidupannya. Eropa abad pertengahan kehilangan utopia
hidupnya mulai dari moralitas serta spritual. Atas nama nasionalisme dan demi
mengejar keuntungan-keuntungan serta kebanggaan semu, dunia yang selama ini
beradab telah membuktikan diri hadir menjadi dunia yang sepenuhnya irasional,
horor dan buta terhadap gagasan-gagasan nilai yang dibangunnya.

Dalam kondisi seperti di atas ini, pragmatisme lahir di Amerika. Aliran


ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mualai dari Charles
Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-
1952) dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert
Mead (1863-1931). Ketiga filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi

3
maupun matematika, filosof Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi,
sedangkan pragmatisme James adalah personal, psikologis dan bahkan mungkin
religius.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu pragmatisme Jhon Dewey?


2. Bagaimana teori kebenaran pragmatis ?
3. Bagaimana pragmatisme dan konsep hidup modern?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pragmatisme Jhon Dewey.


2. Untuk mengetahui tentang teori kebenaran pragmatis.
3. Untuk mengetahui pragmatisme dan konsep hidup modern.

1.4 Manfaat

a. Bagi Penulis

Makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan menambah
wawasan serta pengetahuan.

b. Bagi pembaca

Semoga makalah ini berfungsi menambah pengetahuan bagi para


pembaca.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma
berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan
pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang merujuk
pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat
pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.

Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar


adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-
akibat yang bermanfaat secara praktis aliran ini menganggap benar pada sesuatu
jika memiliki nilai praktis. hal apapun bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar
jika memberi kemanfaatan yang bersifat praktis, baik itu mimpi, hal mistis, dan
pengalaman pribadi. dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kebenaran bersifat relatif tidak mutlak. efeknya adalah sifat individualitas dari
para pelakunya.

Aliran ini pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20.
Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan
berbeda yang ada pada saat itu. kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu
yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”.
(bandung, syaripudin tatang 2006)

5
Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat
rasionalistik descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari kant,
idealisme absolut hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya. warisan ini
memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki

kekuatan instrinsik yang besar. warisan ini pulalah yang telah mendorong para
filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar
spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. akan tetapi, di
pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya
pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme).

Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio
kehilangan tempatnya. rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas
manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. hasil
dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. termasuk di
dalamnya yakni ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

seperti yang sudah dijelaskan di atas, secara filosofis, pragmatisme


berusaha untuk menjebatani dua aliran filsafat tradisional ini. atas salah satu cara
pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. hal-hal itu
seperti:

a. Bahwa kita tidak pernah memiliki konsep yang menyeluruh tentang realitas,
b. Pengetahuan mengenai obyek-obyek material bersumber dari persepsi dengan
perspektif yang berbeda-beda,
c. Dibutuhkan pemahaman multidimensi atau memerlukan pemahaman
pluralitas. Jadi pemahaman komprehensif mesti dilihat dalam pluralitas.

Selain sependapat dengan empirisme untuk beberapa hal di atas,


pragmatisme juga sependapat dengan tradisi rasionalisme dan idealisme dalam hal
keseluruhan nilai hidup, terutama moralitas dan agama memberi makna untuk
hidup manusia.

6
Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-
nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. prinsip yang dipegang kaum
pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang
penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi
dalam tindakan.

2.2 Aliran Ajaran John Dewey

John Dewey adalah seorang filsuf asal Amerika, yang lahir di Burlington,
Vermont, pada tahun 1859.John Dewey bukan hanya aktif sebagai seorang penulis
atau filsuf, tetapi aktif juga sebagai seorang pendidik dan kritikus. Ia pada
mulanya banyak mempelajari filsafat Hegel. Namun kemudian ia bersifat kritis
terhadap filsafat Hegel karena melihat bahwa aliran idealisme ini terlalu menutup
lingkungan hidup manusia pada dimensi kognitif intelektual semata-mata. John
Dewey sangat prihatin dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan
pemerintahan. Iabegitu tertarik untuk melakukan pemecahan terhadap masalah-
masalah pertumbuhan sosial melalui eksperimentasi ilmiah.1

Pragmatisme (John Dewey) menekankan bahwa manusia adalah makhluk


yang bebas, merdeka, kreatif serta dinamis. Manusia memiliki kemampuan untuk
bekerja sama, dengannya ia membangun masyarakatnya. Pragmatisme
mempunyai keyakinan bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang
wajar. Karena itu, ia dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang
bersifat menekan atau mengancam diri dan lingkungannya sendiri.2

Menurut Hardono Hadi (1994: 37), Dewey sangat menekankan hubungan


erat antara seorang pribadi dan peranannya di dalam masyarakat. John Dewey
dalam hal ini memandang bahwa seorang individu hanya bisa disebut sebagai
pribadi kalau ia mengemban dan menampilkan nilai-nilai sosial masyarakatnya.
Setiap gagasan mengenai individu haruslah memasukkan nilai-nilai masyarakat,

1Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi


secara kultural, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 102
2Ibid.

7
bukan sebaliknya memandang masyarakat sebagai penghalang bagi kebebasan
dan perkembangan individu. Dewey di sini melihat bahwa kepribadian manusia
tidak melekat pada kodrat manusianya. Menurutnya, kepribadian itu diperoleh
berkat peranan yang dimainkan seseorang di dalam masyarakat. Pragmatisme
tidak menggunakan istilah alam semesta, melainkan dunia. Menurut Pragmatisme,
dunia adalah proses atau tata, di mana manusia hidup didalamnya. Istilah dunia di
sini dapat dianggap sebagai hal yang sinonim dengan kosmos dan realitas.

Kemajuan (progresi) menjadi inti perhatian Pragmatisme yang sangat


besar. Pragmatisme, karena itu memandang beberapa bidang ilmu pengetahuan
sebagai bagian-bagian utama dari kebudayaan. Menurutnya, bidang-bidang ilmu
pengetahuan inilah yang mampu menumbuhkan kemajuan kebudayaan.
Kelompok ilmu ini meliputi “Ilmu Hayat”, “Antropologi”, “Psikologi”, serta
“Ilmu Alam”. Ilmu-ilmu ini dipandang telah mengembangkan hal yang hakiki
bagi kemajuan kebudayaan pada umumnya dan bagi Pragmatisme pada khususnya
(Imam Barnadib, 1994: 28). Jelaslah bahwa selain kemajuan lingkungan,
pengalaman mendapat perhatian yang cukup penting pula dalam Pragmatime.

John Dewey mengartikan pengalaman sebagai dinamika hidup;


menurutnya hidup adalah perjuangan, tindakan, dan perbuatan. Akibatnya,
Pragmatisme dalam hal ini juga memandang bahwa hakikat pengalaman adalah
perjuangan pula. Ide-ide, teori-teori, atau cita-cita, tidaklah cukup hanya diakui
sebagai hal-hal yang ada. Adanya teori atau cita-cita ini haruslah dicari artinya
bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud baik yang lain. Manusia harus dapat
mengfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan
yang silih berganti. Pragmatisme dengan ini memandang hidup dan kehidupan
sebagai suatu perjuangan yang berlangsung terus menerus. Setiap konsep atau
teori harus dapat ditentukan oleh konsekuensi-konsekuensi praktisnya.
Pragmatisme (John Dewey) memandang bahwa manusia berada dalam keadaan
perjuangan yang berlangsung terus menerus terhadap alam sekitar. Keadaan ini
mendorong manusia untuk mengembangkan pelbagai perabotan kehidupan yang
dimilikinya seperti kecerdasan, dinamika, kreativitas, intelektual, jiwa, serta

8
ketrampilan. Semua inilah yang memberinya bantuan dalam rangka perjuangan
hidup tersebut.3

John Dewey adalah seorang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan


untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur
kehidupan manusia serta aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.4

Dan tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi


perbuatan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam
dalam pemikiran metafisika yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada
pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis.
Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu sistem norma dan nilai.
Menurut Dewey, pemikiran berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan
bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak tersebut
dibangkitkan segera ketika dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan
persoalan dalam dunia sekitarnya. Dan, gerak tersebut berakhir dalam beberapa
perubahan dalam dunia atau dalam diri kita sendiri.5

Walaupun Dewey seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut


sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Experience (pengalaman) adalah salah
satu kunci dalam filsafat intrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada
pengalaman penyelidikan serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis.
Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-
nilai.6

Pragmatisme menunjukkan bahwa pikiran atau pengetahuan yang


merupakan kemampuan khas manusia, dapat berkembang sebagai alat untuk
mengadakan eksperimen terhadap alam sekitar. Eksperimen tersebut dimaksudkan
untuk menguasai dan membentuk alam sekitar agar terpenuhi kebutuhan hidup

3Aholiab Watloly, Tanggung Jawab ..., hal. 102-103


4 Juhaya S. Praja, Aliran…, Hal. 173
5Wahyu Murtiningsih, ParaFilsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah, (Jogjakarta: IRCiSoD,
2012), Hal. 184
6 Juhaya S. Praja, Aliran…, Hal. 173

9
manusia. Eksperimen juga dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah
dalam lingkup pengalaman manusia. Pengetahuan manusia pun tumbuh di dalam
pengalaman itu pula, maka apa yang disebut sebagai “penyelidikan” (inquiry)
adalah sangat penting. Berpikir secara lurus merupakan rangkaian upaya untuk
menghubungkan ide-ide sedemikian rupa sehingga ide-ide itu memimpin untuk
memperoleh hasil yang memuaskan. Ide-ide, dengan ini, akan bermanfaat dalam
penyelesaian masalah yang dihadapi manusia. Kecerdasan manusia merupakan
sesuatu yang bersifat kreatif dan berupa pengalaman yang terus diwujudkan dalam
tindakan praktis. Semua kecerdasan ini merupakan unsur-unsur pokok dalam
segala pengetahuan manusia. John Dewey menjelaskan bahwa dengan
eksperimen, manusia kemudian diarahkan pada pengambilan keputusan sehingga
secara demikian manusia menentukan hari depannya. Kecerdasan manusia
menciptakan hari depannya dengan jalan melakukan tindakan-tindakan.7

Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan yang didalamnya


mengandung pemisahan antara subjek dan objek atau pemisahan antara pelaku
dan sasarannya. Di dalam pengalaman langsung itu, subjek dan objek bukanlah
dipisahkan, melainkan dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang
mengalaminya sebagai suatu hal yang penting atau yang berarti. Apabila terdapat
pemisahan antara subjek dan objek, maka hal itu bukanlah pengalaman,
melainkan pemikiran kembali atas pengalaman. Pemikiran itulah yang menyusun
sasaran pengetahuan.8

Instrumentalisme merupakan suatu usaha untuk menyusun suatu teori


yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu berfungsi
dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan.

7Aholiab Watloly, Tanggung Jawab ..., hal. 103-104


8Wahyu Murtiningsih, Para..., Hal. 184.

10
Dalam pandangan ini, maka yang benar ialah apa yang pada akhirnya
disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran ditegaskan dalam
istilah-istilah penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan yang sekali ditentukan
kemudian tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam praktiknya kebenaran itu
memiliki nilai fungsional tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada
dasarnya dapat berubah.

Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai
penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan
meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata
“temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.
Kedua, kata “futurisme”, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada
hari kemarin. Ketiga, “milionarisme”, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik
dengan tenaga kita. Pandangan ini dianut oleh William James.9

2.3 Teori Kebenaran Pragmatis

Teori Pragmatik (The Pragmatic Theory of Truth) Teori kebenaran


pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil
atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi
manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of
Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria
apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan
kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”. Pragmatisme menantang segala
otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran
adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang
memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme
adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang

9Juhaya S. Praja, Aliran…, hal. 173-174

11
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praktis.

Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa


manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia. Kata kunci teori ini adalah:
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang
memuaskan (satisfactory consequencies). Teori ini pada dasarnya mengatakan
bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-
tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis,
sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Menurut teori pragmatis,
“kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah
benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai
kegunaan praktis bagi kehidupan manusia” . Dalam pendidikan, misalnya di UIN,
prinsip kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada
masing-masing Fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas
daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau
menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak
mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether
really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau
dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our
ptactice. We can act as if there were a God”. Dalam hal ini, menurut penganut
pragmatis, kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik;
yang menjadi justifikasi dari segala tindakan kita; dan yang meningkatkan suatu
kesuksesan adalah kebenaran. Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas
maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi
kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu
itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang
berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless).
Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori

12
ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Pragmatisme
memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan,
dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang
terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan
dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis
pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi
demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis
selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu
dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan
perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru,
maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.

2.4 Pragtisme Dan Konsep Hidup Modern

Pragmatisme, secara sederhana, adalah gerakan filsafat yang menyatakan


bahwa sebuah pernyataan atau pemikiran atau tindakan dianggap benar jika bisa
dimaanfatkan atau difungsikan dan berhasil dengan memuaskan. Sebagai ekstensi
dari pemikiran ini, pernyataan atau pemikiran atau tindakan yang sifatnya
pragmatis, selalu mengarah kepada hal yang praktis, yang harus dapat diterima
dengan mudah, dilakukan dengan gampang, dan menyelesaikan masalah dengan
hasil yang dapat dilihat dengan segera sebagai takaran “berhasil dengan
memuaskan”. Konsekuensinya, segala ide, pemikiran, konsep, teori yang sifatnya
tidak bersinggungan langsung dengan aspek praktika dengan segera ditolak.

Di tengah-tengah masyarakat modern, sebagian besar manusia hidup


dengan cara yang pragmatis. Entah sadar ataupun tidak sadar, filsafat ini telah
mencengkeram pola pikir manusia modern. Entah mereka mengerti atau tidak,
pernah mendengar atau bahkan tidak pernah mendengar istilah ini, masyarakat
modern melakukan dan mengikuti filsafat pragmatisme.

Masyarakat modern semakin tidak memperdulikan konsep dan pemikiran


yang baik dan benar dan bernilai. Mereka mengejar segala sesuatu yang sifatnya

13
praktis, menguntungkan, demi kepentingan sendiri, dan untuk masa sekarang ini,
detik ini juga. Mereka tidak cukup sabar untuk berpikir jauh kedepan, menabur
untuk menuai di kemudian hari. Kita berada dalam dunia berbudaya “mie-instan”.
Pemikiran dan pertimbangan jangka panjang, sikap yang perduli terhadap
penalaran yang baik telah ditinggalkan. Rasa keingintahuan tentang banyak hal
sudah semakin menipis dan diabaikan.
Budaya pragmatisme merusak struktur dan integritas sosial dalam dunia modern
dan akan terus berlanjut dalam masa yang akan datang.

Berikut akan saya berikan beberapa contoh akibat filsafat pragmatisme:

 Siswa sekolah hanya untuk mendapat nilai yang baik, lulus dengan gelar,
entah bagaimana pun caranya. Mereka bukan sekolah untuk mencapai suatu
taraf ilmu untuk mengejar nilai dan kualitas hidup dan didikan yang tinggi.
 Pelajar yang belajar satu macam bidang tidak perduli tentang bidang yang
lain, tidak perduli tentang kaitan ilmu yang dia pelajari dengan berbagai
bidang dalam hidupnya. Mereka tidak tertarik untuk mempelajari hal yang
mereka anggap tidak relevan.
 Anak-anak dididik oleh orang tua dan guru bukan untuk menjadi manusia
yang dewasa, bermoral baik, berintegritas, agung, suci, memiliki intelektual
yang tinggi. Mereka dididik supaya PANDAI. Untuk apa pandai? Supaya
kaya.
Saya tidak pernah mengerti kaitan pandai dengan kaya. Karena saya banyak
sekali melihat orang kaya yang sama sekali rendah dan bodoh.
 Kualitas manusia yang pragmatis, menghasilkan segala sesuatu yang mutunya
tidak tinggi. Barang hasil manufaktur dan industri memiliki kualitas yang
rendah karena semakin pendek masa pakai suatu produk, semakin sering
produk itu harus dibeli, sehingga keuntungan produsen akan terus meningkat.
 Manajemen di berbagai bidang termasuk didalamnya mulai dari perusahaan
hingga pada pemerintahan sebuah Negara menghasilkan putusan-putusan
yang sifatnya pragmatis, spesifik untuk menyelesaikan kasus khusus, namun

14
karena dilakukan tanpa landasan pemikiran dan wawasan yang jelas (karena
memikirkan itu semua adalah terlalu merepotkan) sehingga hasil keputusan
hampir selalu menimbulkan permasalahan baru.
 Budaya korupsi juga merupakan hasil dari pragmatisme. Pejabat belajar
supaya pintar, pintar supaya kaya. Setelah menjabat, dia perlu kaya. Apapun
caranya.
 Manusia yang katanya beragama memiliki kehidupan yang terpecah-pecah
dan fragmental. Mereka hanya baik di dalam rumah ibadah, hanya baik ketika
menjalankan ritual agama, namun hidupnya di luar menjadi liar karena
mereka menganggap bahwa hidup suci di dalam dunia keseharian dan dunia
kerja itu tidak praktis dan merugikan. Sebuah perilaku yang merepotkan dan
tidak ada manfaatnya.

15
BAB III

PENUTUP

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti


tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa
yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan
akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Satu hal yang harus
digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam
menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik,
religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana
konsekuensi praktisnya.

Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap


pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap
pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi
bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala
macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali
tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan
keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah
yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme
mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil
memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan
keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi
positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini
muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar
pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu.
Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap

16
perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang
berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Praja, Juhaya S.2003. Aliran- Aliran Filsafat & Etika, Jakarta: Prenada Media.
Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan
Epistemologi secara kultural, Yogyakarta: Kanisius.
Murtiningsih, Wahyu. 2012. Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah,
Jogjakarta: IRCiSoD.

17

Anda mungkin juga menyukai