Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat, rahmat, dan karuniaNya kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul
“Pragmatisme” tepat pada waktunya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat
kami harapkan untuk menyempurnakan makalah ini.
Penulis
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
maupun matematika, filosof Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi,
sedangkan pragmatisme James adalah personal, psikologis dan bahkan mungkin
religius.
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
a. Bagi Penulis
Makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan menambah
wawasan serta pengetahuan.
b. Bagi pembaca
4
BAB II
PEMBAHASAN
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma
berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan
pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang merujuk
pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat
pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.
Aliran ini pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20.
Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan
berbeda yang ada pada saat itu. kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu
yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”.
(bandung, syaripudin tatang 2006)
5
Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat
rasionalistik descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari kant,
idealisme absolut hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya. warisan ini
memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki
kekuatan instrinsik yang besar. warisan ini pulalah yang telah mendorong para
filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar
spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. akan tetapi, di
pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya
pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme).
Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio
kehilangan tempatnya. rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas
manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. hasil
dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. termasuk di
dalamnya yakni ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
a. Bahwa kita tidak pernah memiliki konsep yang menyeluruh tentang realitas,
b. Pengetahuan mengenai obyek-obyek material bersumber dari persepsi dengan
perspektif yang berbeda-beda,
c. Dibutuhkan pemahaman multidimensi atau memerlukan pemahaman
pluralitas. Jadi pemahaman komprehensif mesti dilihat dalam pluralitas.
6
Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-
nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. prinsip yang dipegang kaum
pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang
penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi
dalam tindakan.
John Dewey adalah seorang filsuf asal Amerika, yang lahir di Burlington,
Vermont, pada tahun 1859.John Dewey bukan hanya aktif sebagai seorang penulis
atau filsuf, tetapi aktif juga sebagai seorang pendidik dan kritikus. Ia pada
mulanya banyak mempelajari filsafat Hegel. Namun kemudian ia bersifat kritis
terhadap filsafat Hegel karena melihat bahwa aliran idealisme ini terlalu menutup
lingkungan hidup manusia pada dimensi kognitif intelektual semata-mata. John
Dewey sangat prihatin dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan
pemerintahan. Iabegitu tertarik untuk melakukan pemecahan terhadap masalah-
masalah pertumbuhan sosial melalui eksperimentasi ilmiah.1
7
bukan sebaliknya memandang masyarakat sebagai penghalang bagi kebebasan
dan perkembangan individu. Dewey di sini melihat bahwa kepribadian manusia
tidak melekat pada kodrat manusianya. Menurutnya, kepribadian itu diperoleh
berkat peranan yang dimainkan seseorang di dalam masyarakat. Pragmatisme
tidak menggunakan istilah alam semesta, melainkan dunia. Menurut Pragmatisme,
dunia adalah proses atau tata, di mana manusia hidup didalamnya. Istilah dunia di
sini dapat dianggap sebagai hal yang sinonim dengan kosmos dan realitas.
8
ketrampilan. Semua inilah yang memberinya bantuan dalam rangka perjuangan
hidup tersebut.3
9
manusia. Eksperimen juga dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah
dalam lingkup pengalaman manusia. Pengetahuan manusia pun tumbuh di dalam
pengalaman itu pula, maka apa yang disebut sebagai “penyelidikan” (inquiry)
adalah sangat penting. Berpikir secara lurus merupakan rangkaian upaya untuk
menghubungkan ide-ide sedemikian rupa sehingga ide-ide itu memimpin untuk
memperoleh hasil yang memuaskan. Ide-ide, dengan ini, akan bermanfaat dalam
penyelesaian masalah yang dihadapi manusia. Kecerdasan manusia merupakan
sesuatu yang bersifat kreatif dan berupa pengalaman yang terus diwujudkan dalam
tindakan praktis. Semua kecerdasan ini merupakan unsur-unsur pokok dalam
segala pengetahuan manusia. John Dewey menjelaskan bahwa dengan
eksperimen, manusia kemudian diarahkan pada pengambilan keputusan sehingga
secara demikian manusia menentukan hari depannya. Kecerdasan manusia
menciptakan hari depannya dengan jalan melakukan tindakan-tindakan.7
10
Dalam pandangan ini, maka yang benar ialah apa yang pada akhirnya
disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran ditegaskan dalam
istilah-istilah penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan yang sekali ditentukan
kemudian tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam praktiknya kebenaran itu
memiliki nilai fungsional tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada
dasarnya dapat berubah.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai
penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan
meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata
“temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.
Kedua, kata “futurisme”, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada
hari kemarin. Ketiga, “milionarisme”, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik
dengan tenaga kita. Pandangan ini dianut oleh William James.9
11
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praktis.
12
ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Pragmatisme
memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan,
dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang
terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan
dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis
pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi
demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis
selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu
dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan
perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru,
maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
13
praktis, menguntungkan, demi kepentingan sendiri, dan untuk masa sekarang ini,
detik ini juga. Mereka tidak cukup sabar untuk berpikir jauh kedepan, menabur
untuk menuai di kemudian hari. Kita berada dalam dunia berbudaya “mie-instan”.
Pemikiran dan pertimbangan jangka panjang, sikap yang perduli terhadap
penalaran yang baik telah ditinggalkan. Rasa keingintahuan tentang banyak hal
sudah semakin menipis dan diabaikan.
Budaya pragmatisme merusak struktur dan integritas sosial dalam dunia modern
dan akan terus berlanjut dalam masa yang akan datang.
Siswa sekolah hanya untuk mendapat nilai yang baik, lulus dengan gelar,
entah bagaimana pun caranya. Mereka bukan sekolah untuk mencapai suatu
taraf ilmu untuk mengejar nilai dan kualitas hidup dan didikan yang tinggi.
Pelajar yang belajar satu macam bidang tidak perduli tentang bidang yang
lain, tidak perduli tentang kaitan ilmu yang dia pelajari dengan berbagai
bidang dalam hidupnya. Mereka tidak tertarik untuk mempelajari hal yang
mereka anggap tidak relevan.
Anak-anak dididik oleh orang tua dan guru bukan untuk menjadi manusia
yang dewasa, bermoral baik, berintegritas, agung, suci, memiliki intelektual
yang tinggi. Mereka dididik supaya PANDAI. Untuk apa pandai? Supaya
kaya.
Saya tidak pernah mengerti kaitan pandai dengan kaya. Karena saya banyak
sekali melihat orang kaya yang sama sekali rendah dan bodoh.
Kualitas manusia yang pragmatis, menghasilkan segala sesuatu yang mutunya
tidak tinggi. Barang hasil manufaktur dan industri memiliki kualitas yang
rendah karena semakin pendek masa pakai suatu produk, semakin sering
produk itu harus dibeli, sehingga keuntungan produsen akan terus meningkat.
Manajemen di berbagai bidang termasuk didalamnya mulai dari perusahaan
hingga pada pemerintahan sebuah Negara menghasilkan putusan-putusan
yang sifatnya pragmatis, spesifik untuk menyelesaikan kasus khusus, namun
14
karena dilakukan tanpa landasan pemikiran dan wawasan yang jelas (karena
memikirkan itu semua adalah terlalu merepotkan) sehingga hasil keputusan
hampir selalu menimbulkan permasalahan baru.
Budaya korupsi juga merupakan hasil dari pragmatisme. Pejabat belajar
supaya pintar, pintar supaya kaya. Setelah menjabat, dia perlu kaya. Apapun
caranya.
Manusia yang katanya beragama memiliki kehidupan yang terpecah-pecah
dan fragmental. Mereka hanya baik di dalam rumah ibadah, hanya baik ketika
menjalankan ritual agama, namun hidupnya di luar menjadi liar karena
mereka menganggap bahwa hidup suci di dalam dunia keseharian dan dunia
kerja itu tidak praktis dan merugikan. Sebuah perilaku yang merepotkan dan
tidak ada manfaatnya.
15
BAB III
PENUTUP
16
perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang
berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Praja, Juhaya S.2003. Aliran- Aliran Filsafat & Etika, Jakarta: Prenada Media.
Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan
Epistemologi secara kultural, Yogyakarta: Kanisius.
Murtiningsih, Wahyu. 2012. Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah,
Jogjakarta: IRCiSoD.
17