Anda di halaman 1dari 10

PRAGMATISME ( JOHN DEWEY )

Makalah Ini Kami Buat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“FILSAFAT UMUM”
Dosen Pembimbing : M.SYAHRUL ULUM,M.Sos

Disusun Oleh :
1. Dewi Kultsum Aulia (933403620)
2. Bherliana Bethary Eka Kalbu (933404520)
3. Mohammad Naufal Junaidy (933403520)

PROGRAM STUDI FILSAFAT


FALKUTAS USHULUDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alikum warahmatullahi wabarakatuh
 Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Positivisme (Auguste Comte)” ini hingga selesai
tepat waktu. Atas izin dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa
kurang suatu apapun.
Tak lupa pula kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita dihari akhir kelak. Rasa terima kasih
juga kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah ini yang telah memberikan masukan
dan saran-saran yang sangat bermanfaat dalam proses pembuatan makalah ini.
Sebelumnya kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan
kami semoga makalah yang telah kami buat ini bermanfaat bagi semua orang yang
membutuhkan.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Kediri, 9 Desember 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penulisan 4

BAB II PEMBAHASAN 5
A. Definisi Pragmatisme 5
B. Konsep Pragmatisme menurut John Dewey 7
C. Deskripsikan kritik terhadap Pragmatisme 9

BAB III PENUTUP 10


A. Kesimpilan 10
B. Saran 10

DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat modern telah muncul sejak abad ke-14 dan ke-15 yaitu sejak adanya krisis zaman
pertengahan. Filsafat modern ditandai dengan munculnya gerakan renaissance yang mengacu
pada gerakan keagamaan. Seiring perjalanan waktu manusia mulai mengalihkan perhatiannya
pada ilmu pengetahuan yang mengakibatkan nilai filsafat yang makin merosot. Dalam masa itu
hingga awal abad ke-20 muncullah berbagai aliran pemikiran seperti rasionalisme, empirisme,
kritisisme, eksistensialisme, pragmatisme dan lain-lain.
Sebagai salah satu aliran pemikiran, pragmatisme telah muncul sejak abad ke-19.
Pragmatisme merupakan aliran yang membenarkan sesuatu berdasarkan manfaatnya secara
praktis. Salah satu tokoh dalam filsafat pragmatisme adalah John Dewey. Oleh karena itu kami
merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana filsafat pragmatisme dan pemikiran-
pemikiran John Dewey tentang pragmatisme yang akan kami bahas dalam makalah ini
B. .. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pragmatisme?


2. Jelaskan konsep pragmatisme menurut John Dewey?
3. Deskripsikan kritik terhadap pragmatisme ?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian pragmatism


2. Untuk mengetauhi konsep pragmatism menurut John Dewey
3. Untuk mengetahui deskripsi kritik terhadap pragmatism
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pragmatisme

Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan,
tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 – 1910)
di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-
mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it
works ( apabila teori dapat diaplikasikan), sehingga pertanyaan yang muncul bukanlah what is
tetapi what for. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-
1914) sebagai doktrin pragmatisme.

Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh Charles S. Pierce dari Immanuel Kant. Kant sendiri
memberi nama “keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana
yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki
keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana
dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi
Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di
terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya.

Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-19 di Amerika.
Karena itu sering dikatakan bahwa pragmatisme merupakan sumbangan yang paling orisinal dari
pemikiran Amerika terhadap perkembangan filsafat dunia. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan
untuk menjebatani dua kecenderungan berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan
yang mau dijembatani itu yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang
praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes
dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah
pemikir rasionalistik lainnya. Warisan ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang
terhormat kerena memiliki kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah
mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya
nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi, di pihak lain
ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat
praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga
rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas manusiawi
yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil dari model pemikiran ini
yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK).

Menurut teori klasik tentang kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori
korespondensi dan teori koherensi. Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si
pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran
empiris. Sedangkan teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide apriori atau
kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain.
Secara filosofis, pragmatisme berusaha untuk menjebatani dua aliran filsafat tradisional ini. Atas
salah satu cara, pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. William
James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah
cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari
Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian
dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme
telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme
maupun Neorealisme dan Neopositivisme.

Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori


kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William
James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909). Pada awal perkembangannya,
pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan
filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia.
Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda
untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang
hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno.

Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada
kedua tradisi tersebut. Prinsip yang dipegang kaum pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya
menerima teori ini atau itu; yang penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang
dapat berfungsi dalam tindakan.

Karena itulah pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat tentang tindakan. Itu berarti bahwa
pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus memberikan
jawaban terakhir atas masalah-masa1ah filosofis. Pragmatisme hanya berusaha menentukan
konsekwensi praktis dari masa1ah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masa1ah-
masalah itu.

Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan
dari Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut sama-
sama dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus
pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William
James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial. Pragmatisme
Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James.

Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip “naturalisme empiris atau empirisme
naturalis”. Istilah “naturalisme” ia terangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi
bukanlah satu-satunya pemerosesan istimewa dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya
Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek
yang memandang obyek. Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana
berkembang dari alam.
Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan
tanggapan panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia
mula-mula bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia
mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia
mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus.
Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan. Dewey menyebut situasi tempat
manusia hidup sebagai situasi problematis. Cara manusia bertindak dalam situasi problematis ini
tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi
problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia
buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah mengarah ke
tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Baru setelah orang bertindak dalam situasi
problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud.

Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat naturalistis sebagai “perkembangan
terus-menerus hubungan organisme dengan lingkungannya”. Dari pandangan tersebut bisalah kita
menggolongkan Dewey sebagai seorang empiris karena ia bertitik tolak dari pengalaman dan
kembali kepengalaman. Si subyek bergumul dengan situasi problematika yang real empiris dan
memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan. Pengalaman
sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses “doing dan undergoing”, suatu hubungan aktif
antara organisme dengan lingkungannya. Dewey tidak membedakan antara subyek dengan obyek,
antara tindak dengan benda material.

John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James
mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey
mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi
masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan
psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis

Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis
yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman.

B. Konsep Pragmatisme Menurut John Dewe

Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman.  Pengalaman (Experience) adalah salah satu
kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah “mengenai” (about) dan “untuk” (For)
pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses “
saling memengaruhi” (take and give) antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik.
Dewey menolak orang yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak untuk
percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa pengalaman bukannya suatu
tabir yang menutupi menusia sehingga tidak melihat alam. Pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi
manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam.

Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang
mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang bergerak secara terpisah dan semua
pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita
berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan
segera dan kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada dunia sekitarnya,
dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam dunia kita. Pengalaman
yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang terkandung di dalamnya pemisahan subyek dan obyek,
pemisahan antara pelaku dan sarananya. Di dalam pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi
dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai satu hal yang penting
atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman,
melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun sasaran
pengetahuan.  Atas dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis
pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai
dasar dan fungsi sosial.

Pokok pandangan ini muncul sebagai kritiknya atas pokok dari filsafat jaman sebelumnya yang
mengemukakan pandangan tentang realitas dan fungsi pengetahuan yang membingungkannya.
Menurutnya, kaum empiris telah beranggapan bahwa pikiran selalu menunjuk pada obyek-obyek dari
alam, dan bahwa setiap ide selalu berhubungan dengan suatu realitas. Dengan kata lain, pengetahuan
seakan-akan dibentuk setelah subyek berhadapan dengan atau memandang sesuatu di luar dirinya. Inilah
yang disebut “a spectator theory of knowledge”. Menurut teori ini, subyek pengetahuan bertindak
bagaikan seorang penonton yang hanya dengan memandang sudah mendapatkan ide tentang obyeknya.
Inilah pandangan kaum rasionalis. Menurut pandangan ini, rasio merupakan suatu instrumen untuk
memperhatikan apa yang tetap dan pasti pada alam. Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah dan
berbeda.
Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis
terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Atas pengaruh Hegelian, Dewey
mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya
“terselesaikan” dalam pengalaman. Hal ini disebabkan karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang
berdaya guna.  Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam
yang mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga bersifat
dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan kekuatan yang
dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam
konteks ini, berpikir adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan
bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata.

Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di atas, Dewey membagi
aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran selalu berada dalam a) situasi yang
membingkungkan dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya,
aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan
bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan
yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey
teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu
usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama
menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman,
yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk
menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.

Dunia yang ada sekarang ini, yakni dunia pria dan wanita, dunia sawah dan pabrik, dunia tumbuhan dan
binatang, dunia yang kita hiruk pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah dunia pengalaman kita.
Kita harus berusaha memakainya dan kemudian berusaha membentuk suatu masyarakat diamana setiap
orang dapat hidup dalam kemerdekaan dan kecerdasan.

Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul untuk memberikan arti dari sejumlah
situasi-situasi yang terganggu oleh pekerjaan diluar hipotesis atau membimbing kepada perbuatan yang
akan dilakukan. Kata Dewey, kegunaan kerja pikiran tidak lain hanya merupakan cara jalan untuk
melayani kehidupan. Makanya, ia dengan kerasnya menuntut untuk menggunakan metode ilmu alam
(Scientific Method) bagi semua lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak(etika),
estetika, politik dan lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan dengan
lingkungan dan ebutuhan hidup.
Menurut Dewey yang dimaksud dengan  Scientific Method ialah cara yang dipakai oleh seseorang
sehingga bisa melampaui segi pemikiran semata-mata pada segi amalan. Dengan demikian, suatu pikiran
bisa diajukan sebagai pemecahan suatu kesulitan (to solve problematic situation), dan kalau berhasil maka
pikiran itu benar.

Dengan demikian, pengalaman merupakan salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme.
Pengalaman tidak akan bisa terlepas, karena pengalaman berintegrasi dengan alam dan kehidupan
manusia. Pengalaman tidak bisa kita lupakan karena, pengalaman bisa menjadi tolak ukur kita untuk
melangkah ke depan dengan lebih baik. Pandangan John Dewey dalam pemikiran dan pengalaman ada
istilah yang disebut instrumental. Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to
conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in
experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism,
operationalism, functionalism, dan experimentalism.

Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang
logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam
bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi
dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di
masa depan.  Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah
instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatism

C. Deskripsi Pragmatisme menurut John Dewey

Pragmatismenya merupakan reaksi terhadap pandangan Descartes, Locke, dan Kant.


Pemikirannya dipengaruhi oleh Wittgenstein, Heidegger, dan Dewey. Pemikirannya juga
berkaitan dengan para filsuf pragmatis sebelumnya, utamanya Dewey, sekaligus sebagai penerus
ide-ide Dewey. Meskipun demikian, pragmatismenya memiliki kekhasan. Bagi Rorty, kesadaran
bukanlah entitas yang menilai status ontologis di mana proses mental berlangsung.Oleh sebab itu,
epistemologi yang berdasarkan pemikiran demikian tidak diperlukan. Pragamatisme atau
neopragmatismenya nampak dari cara memperlakukan kesadaran dan epistemology
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pragmatisme dapat dikatan sebagai teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria
tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
Pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide ide melalui konsekuensi-konsekuensi daripada
Pratik atau pelaksanaannya. Artinya , ide ide itu belum dikatakan benar atau salah sebelum diuji.
Kaum pragmatis tidak berhenti pada perumusan pemikiran, gagasan, teori, pernyataan, tetapi
mengaitkan semua itu dengan tindakan nyata. Pragmatisme menekankan kesederhanaan,
kemudahan, kepraktisan, dampak positif langsung dan manfaat. Namun, pragmatisme
mempersempit kebenaran menjadi terbatas pada kebenaran yang dapat dipraktekan, dilaksanakan,
dan membawa dampak nyata.
B. Saran
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi tercapainya kesempurnaan
penulisan makalah di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

http://blog.unnes.ac.id/anselasudi/?p=34

Anda mungkin juga menyukai