Anda di halaman 1dari 17

PRAGMATISME

PSIKOLOGI

DISUSUN OLEH:

Farid Karyanto : 12519277


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………...2
1.3 Tujuan Makalah………………………………………………………………………..2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pragmatisme………………………………………………………………..3
2.2 Ciri-ciri Filsafat Pragmatisme………………………………………………………….3
2.3 Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme…………………………………………………….4
2.4 Perkembangan Psikologi……………………………………………………………….11

BAB III PENUTUP


Kesimpulan…………………………………………………………………………………13

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang
sama sekali baru, Socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah
menggunakannya secara metodis John Locke (1632 - 1704), George Berkeley (1685 -1753),
dan Dayid Hume (1711 - 1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikiran
pragmatis ini (Copleston, 1966: 342). Dari segi historis, abad ke-19 di tandai dengan
skeptisisme yang di tiupkan oleh teorievolusi Darwin. Nilai religius dan spiritual menjadi,
dipertanyakan. Filsafat Unitarian, suatu aliran pemikiran yang hanya menerima ke Esaan,
Tuhan yang bergantung padaargumen-argumen tentang teologi kodrati dan perwahyuan,
lemah dalam membela diri  terhadap evolusi onisme. Karena kaum ilmuan menerima teori
evolusi Darwin, filosof-filosof Unitarian menjadi tenggelam. Lebih lagi karena keyakinan
bahwa pemikiranmengenai proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan atheisme dan
bahwamanusia hanya bisa membenarkan eksistensinya dengan agama, mereka tidak
dapatmengintegrasikan hipotesis evolusi ke dalam keyakinan mereka (Bukhart, dalam
Mohammad, 2014: 5).
Pada saat yang sama, suatu kelompok pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan
untuk menghadapi krisis teologi ini tanpa mengorbankan ajaran agama yang essensial.
Kelompok ini melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanis tentang teori Darwin dapat
menghancurkan agama dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang fatalistis. Mereka
khawatir bahwa interpretasi ini dapat berakhir dengan sikap yang pasif, apatis, bunuh diri dan
semacamnya. Karena itu mereka menganjurkan agar evolusi Darwin dipahami secara lain.
Dan karena filsafat Unitarian sendiri hampir mati, kelompok iniyang dikenal dengan
"Perkumpulan Metafisika", menyusun prinsip-prinsip pragmatismbaik secara bersama
maupun secara individual dalam menghadapi evolusi Darwin (Kucklick, dalam Mohammad
2014:5)
Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh C.S. Peirce dari Immanuel Kant. Kant
sendiri memberi nama "keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan
suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”.
Manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan
belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberiresep untuk menyembuhkan
penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau
berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya.la
belum menyadari bahwa keyakinan seperti itu juga cocok untuk filsafat. Karena Peirce sangat
tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah atau eksperiemntal, ia mengambil
alih istilah pragmatisme untuk merancang suatu filsafat yang mau berpeling kepada
konsekwensi praktis atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya.
Filsafat tradisional, menurut Peirce, pendeknya, tidak menambah sesuatu yang baru.
Dengan sistemnya yang tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih
menutup jalan untuk diadakan penyelidikan danbukannya membawa kemajuan bagi filsafat
dan ilmu pengetahuan. Dalam rangka itulah, Peirce mencoba merintis suatu pemikiran
filosofis baru yang agaklain dari pemikiran filosofis tradisional.  Pemikiran filosofis yang
baru ini diberi nama Pragmatisme. Pragmatisme lalu dikena pada permulaannya sebagai
usaha Peirce untuk merintis suatu metode bagi pemikiran filosofis sebagaimana yang
dikehendaki di atas. Pragmatisme merupakan bagian sentral dari usaha membuat filsafat
tradisional menjadiilmiah. Tetapi untuk merevisi seluruh pemikiran filosofis tradisional
bukan suatu hal yang mudah. Untuk maksud benar-benar dibutuhkan revisi dalam logika dan
metafisika yang merupakan dasar filsafat.

Dengan demikian, progmatisme muncul sebagai usaha refleksi analitis dan filosofis
mengenai kehidupan Amerika sendiri yang dibuat oleh orang Amerika di Amerika sebagai
suatu bentuk pengalaman mendasar, dan meninggalkan jejaknya pada setiapkehidupan
Amerika. Oleh karena itu, ada suatu alasan yang kuat untuk meyakini bahwapragmatisme
mewakili suatu pandangan asli Amerika tentang hidup dan dunia. Atau barangkali lebih tepat
kalau dikatakan bahwa pragmatisme mengkristalisasikan keyakinan-keyakinan dan sikap-
sikap yang telah menentukan perkembangan Amerika sebagaimana menggejala dalam
berbagai aspek kehidupannya, misalnya dalam penerapan teknologi, kebijaksanaan-
kebijaksanaan politik pemerintah, dan sebagainya (Mohammad, 2004: 3-4).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian filsafat pragmatisme?
2. Siapa saja tokoh-tokoh filsafat pragmatisme?
3. Bagaimana pemikiran James William tentang filsafat pragmatisme?
4. Bagaimana pemikiran John Dewey tentang filsafat pragmatisme?

1.3 Tujuan Makalah


1. Untuk mengetahui pengertian aliran filsafat pragmatisme
2. Untuk mengetahui latar belakang kemunculan aliran filsafat pragmatisme
3. Untuk mengetahui konsep pemikiran James William tentang aliran filsafat pragmatisme
4. Untuk mengetahui konsep pemikiran John Dewey tentang aliran filsafat pragmatisme
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filsafat Pragmatisme


Secara etimologis, pragmatisme mempunyai akar kata dari bahasa Yunani,
pragmatikos, yang dalam bahasa Latin menjadi prgamaticus, berarti cakap dan
berpengalaman dalam urusan hukum, kenegaraan dan perdagangan. Akar katanya dalam
bahasa Inggris adalah pragmatic, yang berarti berkaitan dengan hal-hal praktis. Didapati juga
bahwa asal katanya adalah pragma, berarti sesuatu yang dilakukan, suatu aksi, berbuat, suatu
konsekuensi; dan prassein, berarti berbuat. Kemudian, pada level konseptual, secara umum
pragmatisme berarti hanya idea (pemikiran, pendapat, teori) yang dapat dipraktikkan saja
yang dianggap benar dan berguna. Idea-idea yang hanya ada dalam idea (seperti idea pada
Plato, pengertian umum pada Socrates, definisi pada Aristoteles), juga kebimbangan terhadap
realitas objek indera (pada Descartes), semua itu nonsens bagi pragmatisme. Yang ada ialah
yang ialah apa yang real ada; demikian kata James ketika ia membantah Zeno yang
mengaburkan arti gerak. 
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala
sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat
atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif
dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan
kepada individu-individu. Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa
yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual,
konkret, dan terpisah satu sama lain. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima
begitu saja. Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan
bukan merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan
kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-
pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan
oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.

2.2 Ciri-ciri Filsafat Pragmatisme


Pragmatisme lebih baik dipahami dalam konteks histori dan kulturalnya. Aliran ini
muncul selama suatu periode yang ditandai oleh perkembangan ilmiah yang sangat pesat,
industrialisasi, dan kemajuan material. Ia berkembang pada waktu teori evolusi mulai
dikumandangkan sehingga mengingatkan banyak pemikir bahwa humanitas dan masyarakat
selalu dalam keadaan bergerak menuju kemajuan secara terus-menerus. Masa kemunculannya
ditandai dengan merosotnya kepercayaan dan nilai-nilai agama tradisional. Akibatnya, orang
merasa perlu untuk merenungkan Kembali konsep-konsep dasar tentang nilai, agama, ilmu,
komunitas, dan individu.
Kaum pragmatis menganggap semua teori dan institusi sebagai hipotesis dan solusi
tentative. Mereka yakin bahwa upaya untuk memperbaiki masyarakat harus diarahkan pada
problem solving, dan bahwa proses kemajuan harus terus bergulir. Aliran ini mencari titik
tengah antara konsep-konsep metafisik tradisional tentang hakikat realitas, dan teori-teori
nihilism dan irrasionalisme radikal yang sangat popular di Eropa kala itu. Kaum pragmatis
tidak percaya adanya suatu ide absolut tentang kebaikan atau keadilan. Mereka menganggap
konsep-konsep itu bersifat relatif dan bergantung pada konteks di mana konsep-konsep itu
didiskusikan. Para pengkritik pragmatism mengatakan bahwa penolakan kaum pragmatis
terhadap suatu yang absolut membawa implikasi negative bagi masyarakat. Dengan
demikian, kata para pengkritik, itu merupakan tantangan bagi dasar-dasar agama dan
pemerintah, dan menyebabkan merosotnya standar moral.

2.3 Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme


Ada tiga tokoh utama dari pragmatisme Amerika yang karya-karya dan pandangannya
sangat mempengaruhi perkembangan psikologi, sosiologi, pendidikan, metode ilmiah,
filsafat, kritik kebudayaan, dan gerakan-gerakan reformasi sosial. Mereka adalah Charles
Sanders Pierce, William James, dan John Dewey. Namun, pada makalah ini kita akan
berfokus pada William James dan John Dewey. Berikut diuraikan pandangan-pandangan
mereka.

1. William James (1842-1910 M)


Untuk melihat seberapa jauh James mengembangkan versinya, terlebih dulu
perlu dilihat sekilas kehidupan James, latar belakangnya, serta berbagai minatnya.
Karena, darinya dapat dilihat bagaimana James telah mengubah pragmatisme menjadi
filsafat yang “bergerak” (hidup), pragmatisme pada James pada dasarnya merupakan
filsafat untuk bertindak. Pertama, James lahir di kota New York pada tahun 1842.
Ayahnya, Henry James, Sr. adalah seorang yang terkenal, berkebudayaan tinggi,
pemikir yang kreatif, dan seorang kepala rumah tangga yang menekankan kemajuan
intelektual. Henry James rajin mempelajari manusia dan agama. Ia mengembangkan
anak-anaknya secara luas dan sedapat-dapatnya dengan kebebasan dan
individualisme, dan memberikan ide-ide serta pengalamannya yang penting kepada
mereka. Potensi intelektual yang tinggi keluarganya berbackground kekayaan
material. Keluarganya juga menerapkan dan mengembangkan humanisme dalam
kehidupan.
Kedirian interes filsafat James ada pada dua sisi, yaitu keilmuan dan
keagamaan. Dalam keilmuan, studi tentang kemedisan telah memberi pemikirannya
sebuah tendensi ke arah materialisme, yang terjaga oleh kendali emosi keagamaannya.
Feeling keagamaannya sangat Protestan, sangat demokratis dan penuh dengan nuansa
humanistik. Setelah mencermati gaya dan alur sistem pragmatisme James, penulis
menemukan konstruksi metodologis yang terdiri dari empat unsur:
1. Peristilahan
2. Metode Meliorisme
3. Teori Kebenaran
4. Metafisika dan Epistemologi

1. Konfirmasi Peristilahan (Konseptualisasi)


Implikasi dari pandangan nonsense James adalah penafiannya terhadap:
pertama, adanya idea yang hanya idea. Padahal idea yang hanya idea
sebenarnya ada. Kalaupun “idea” seperti pada Plato dianggapnya tidak ada,
tetapi “pengertian umum” pada Socrates dan “definisi” pada Aristoteles tidak
dapat dikatakan tidak ada. Sementara John Lock – meskipun ia empiris—
mengakui adanya idea, asal saja memiliki kenyataan di alam ini; kenyataan itu
tidak mesti terjadi sekarang. “Idea” pada Socrates dan Aristoteles itu ada,
karena: (1) idea itu dibuat melalui abstraksi, dan (2) idea itu beroperasi dalam
kehidupan. Misalnya, idea tentang “kursi” adalah tempat duduk yang
bersandaran. Idea ini dibuat dan beroperasi ketika orang mengenali suatu
objek yang disebut kursi. Orang itu dapat menetapka objek itu kursi meskipun
ia belum pernah mengenalnya. Kedua, James menganggap idea yang aplikatif
saja yang benar. Padahal, banyak juga idea yang tidak aplikatif. Misalnya, (1)
idea tentang adil, tetap ada meskipun keadilan tidak pernah muncul di dunia
ini, dan (2) idea tentang Tuhan, juga benar sekalipun Tuhan tidak pernah
muncul dalam pengalaman empiris.

2. Metode Meliorisme
Inti metode meliorisme James adalah pengambilan keputusan di antara
idea-idea yang berlawanan, tetapi tidak harus dan tidak selalu demikian.
Dikatakan tidak selalu, karena dapat ditemukan banyak idea yang
bertentangan, yang benar-benar tidak dapat digabungkan, tidak mungkin
didamaikan dalam satu keputusan, seperti kasus teisme dan ateisme.
Meliorisme mencoba untuk menggabungkan isme-isme yang berbeda.
Padahal, suatu isme tententu merupakan suatu sistem yang utuh. Bagian-
bagiannya terkait, tidak dapat dipisah-pisahkan. Apabila dipaksakan untuk
mengambil dan menggabungkan bagian-bagian sistem isme-isme yang
berbeda, niscaya menimbulkan kekacauan dalam sistem yang lama dan
sekaligus dalam sistem yang baru sebagai hasil gabungan. Meliorisme James
menyatakan bahwa “seharusnya” isme-isme itu dapat digabungkan. Tetapi,
“adanya” ternyata tidak dapat digabungkan. Di sini meliorisme menjadi tidak
pragmatis lagi.
Jauh sebelum masa James, sekitar 23 abad, sudah ada metode yang
esensinya sama dengan metode Meliorisme, yakni metode Dialektika (atau
secara lengkap Maieutik Dialektis Kritis Induktif) milik Socrates (470-399
SM). Keduanya (Meliorisme dan Dialektika) memiliki kelemahan, bukan pada
kedirian metodenya, akan tetapi pada kasus- kasus kehidupan, sebagaimana
contoh kasus teisme dan ateisme di atas.

3. Teori Kebenaran
Inti teorinya adalah, bahwa kebenaran sebuah proposisi adalah hal
pokok dari akibat-akibat yang berguna yang ditunjukkannya. Dalam teori
kebenaran, James menggunakan metode meliorismenya untuk menilai
kebenaran asionalisme dan empirisme, lalu mencoba mendamaikan keduanya.
James menerima tough minded, karena ada yang sesuai dengan pragmatisme,
yaitu empirisisme. Ia juga menerima tender minded, karena watak pragmatism
James menerima kehadiran agama. Keduanya merupakan watak
kefilsafatannya yang pokok. Tetapi, untuk membedah agama, James tidak
menggunakannya, melainkan dari sudut pandang filsafat dan psikologi, berupa
penjelasan deskripsinya dan hasil evaluasinya. 
Tough minded menyatakan diri dalam pendekatan empiris, dalam
mencari kebenaran. Ia hanya berkepentingan terhadap fakta-fakta yang dapat
diindera, lalu bernuansa materialistis, dan bersikap skeptis terhadap apa saja
yang berwajah immateri. Tandanya adalah pendekatan sedikit demi sedikit dan
pluralistis. Apa yang didapatkan adalah kenyataan sebagian-sebagian, bukan
kenyataan yang menyeluruh tentang objek. Sikap ini melahirkan pesimisme,
lalu menuju fatalisme yang tidak mempunyai daya- harapan menghadapi
keganasan alam (hewan dan cuaca). Karakter ini berbeda dengan tender
minded, yang temperamennya tampak dalam pemikiran dan usaha intelektual,
lebih sistematis, dan lebih konsisten daripada kepercayaan tough minded.
Karenanya, tender minded menemukan abstraksi-abstraksi dan eksistensi
immaterial, cenderung idealistis. Para filosofnya tidak menemukan kesulitan
dalam menemukan nilai-nilai abadi dan absolut. Pendapat-pendapatnya tidak
berubah menurut perubahan pengalaman dan dunia yang ditangkapnya.
Konsekuensinya adalah, mereka cenderung menjadi idealistis, optimistis, dan
religius, juga cenderung meyakini kebebasan kemauan dan menentang
fatalisme, dan menolak skeptisisme.

4. Metafisika dan istemologi


Menurut tipologi Russel, James secara utama adalah seorang
psikologis, akan tetapi ia dipandang penting dalam filsafat pada dua
perhitungan: (1) ia menyebarkan doktrin yang disebutnya radical empiricism,
dan (2) ia adalah seorang dari tiga protagonis  tentang teori yang disebut
pragmatisme atau instrumentalisme. Empirisisme radikal itu berisi tentang
pandangan James tentang dunia, sebagaimana karyanya Essays on Radical
Empiricism dan A Pluralistic Universe pada penjelasan di muka. Di sini ia
mempraktikkan pragmatismenya dalam wilayah metafisika dan
epistemologi. Inti pandangannya adalah bahwa pemikiran (pengetahuan)
abstrak tentang alam semesta hanya dapat disusun lewat pengalaman. Fakta
tidak lebih dari sekadar pengalaman (bersifat a posteriori). Karena itu James
menolak pengetahuan a priori yang tidak dapat menyusun keterangan yang
komprehensip semisal fakta “beratnya batu”. Apa yang tidak dapat dilacak
dengan cara itu dianggap bukan pengetahuan. Melalui pandangan tersebut
James memperlihatkan ketidakpuasannya terhadap pandangan tender minded
yang menyebabkan hal-hal yang konkret, yang hidup, yang plural bahkan
lenyap ke alam abstrak, dan juga terhadap pandangan tough minded yang
tidak menghasilkan keterangan yang komprehensip tentang alam semesta ini.
Karena itulah ia menawarkan urgensi empirisisme radikal yang berpandangan
pluralistis, dan menolak monisme yang mengajarkan bahwa segala sesuatu
pada hakikatnya tunggal. Karena hakikat ini tidak empiris, menurut gaya
kritisnya.

Pragmatisme dalam Dakwah: Orientasi dan Implikasinya


1. Dakwah yang pragmatis mementingkan tercapainya “tujuan antara”
daripada “tujuan final”.
2. Cara yang ditempuhnya adalah menawarkan jalan-jalan plural bagi
pengamalan keagamaan sesuai dengan minat dan selera mad’u. Cara ini
mempresentasikan berbagai corak untuk dipilih; apakah berbagai aliran
kalam dan tasawuf, ragam madhab fikih, atau aneka segi lainnya dalam
Islam. Cara ini menawarkan garansi fleksibilitas pengamalan keagamaan
dalam kondisi yang variatif seirama dengan variasi selera tersebut. Nuansa
ajakannya lebih memperhatikan model “verstehen” yang menekankan
pemahaman terhadap kondisi humanitas mad’u, daripada “erkleren” yang
mementingkan pada penyampaian pesan Islam kepada mereka. Tetapi,
apabila model verstehen tidak berhati-hati, ia dapat terjebak dalam klaim
“menghalalkan segala cara” demi tercapainya tujuan dakwah.
3. Bagi da’i, pragmatisme dakwah dapat berupa pementingan terhadap
“tebalnya amplop” pada saat melaksanakan misi dakwah. Ini dapat
berakibat terjadinya pergeseran nilai tugas mulia dakwah ke penyuburan
kantong diri. Maka, dapat jadi, pertimbangan urgensi dakwah bukan pada
kondisi objektif lapangannya, akan tetapi pada kepentingan individual.
Meskipun demikian, orientasi individual dapat memacu pada
profesionalitas aktor dakwah. Di sinilah “nilai ikhlas” benar-benar
memperoleh tempat dan makna yang individual. Dengan penjelasan lain,
kadar ikhlas da’i dapat berukuran “tebal-tipisnya amplop” yang
diterimanya, sesuai dengan derajat penghargaan terhadap profesionalitas
diri.
4. Bagi mad’u, ada keleluasaan dalam menentukan cara dan jalan yang
diminatinya untuk pengamalan beragamanya. Tetapi, di sisi itu, ada
kemungkinan anekdotik diterapkannya perhitungan matematis terhadap
nilai pahala dan dosa. Dapat jadi dia, dengan semaunya, menganggap plus
terhadap lima perbuatan dosa yang ditimbang dengan satu perbuatan baik.
Karena setiap perbuatan dosa bernilai satu, dan setiap perbuatan baik
berpahala sepuluh, demikianlah si mad’u bergaya pragmatis.

Telaah atas Historical Background Pragmatisme dan Karakter Filsafat


William James
1. Pragmatisme pada awalnya berkembang di Amerika, di luar Eropa.
Background historisnya dapat dipahami dalam dua hal: (1) keniscayaan
munculnya pragmatisme sebagai respon terhadap isme filsafat sebelumnya
(aspek dialektika sejarah), dan (2) orientasinya untuk menyikapi kenyataan
riil dalam kehidupan manusia (telaah perspektif kultural). Background
kedua inilah yang terutama sangat menentukan terhadap watak
pragmatisme yang menekankan pada kepentingan praktis daripada
hegemoni teoretis-ideal yang secara umum menjadi watak filsafat Eropa.
2. Keberadaannya sebagai bangsa bangsa Amerika sebagai bangsa muhajirun
turut menentukan karakter filsafatnya. Mereka dihadapkan pada persoalan
psikologis sebagai imigran untuk melakukan survive di luar kampung
halamannya sendiri. Dari sini ditemukan kata kunci filsafatnya “how to
survive”. Secara metodologis, kata kunci ini pada dasarnya merupakan
kopi dari Darwin. Ketika Pierce –perintis pragmatisme—datang, Amerika
telah merdeka sekitar 150 tahun sebelumnya. Demikian ini berarti bahwa
pragmatisme yang dirintisnya merupakan produk dari sikap kritis terhadap
kondisi Amerika masa tersebut. Betapa ini merupakan hasil ijtihad yang
tandas dan kredibel untuk menemukan (discovery) kultur baru (new
culture) bagi bangsa Amerika sendiri. Narasi itu sesungguhnya bernuansa
metodologis diperlukannya metode baru untuk memproduk new culture.
Sebab, produksi ini memandang bahwa metode induktif dan deduktif tidak
lagi relevan untuk kondisi keimigranan mereka. Apa yang mereka
perlukan adalah metodologi baru yang disebutnya new logic. Dengan ini
mereka mengembangkan berbagai penelitian yang terus dieksaminasi
dengan pembuktian-pembuktian secara intensif, melalui jurnal-jurnal yang
memuat akselerasi hasil ragam eksperimen berbagai bidang kepentingan.
Kultur inilah yang menjadikan mereka senantiasa agresif dalam
memecahkan berbagai persoalan secara solid dan valid. Di keseharian
mereka, dengan mudah dapat ditemui kajian-kajian di berbagai daerah
Amerika. Di antara hasil kerja intensif metode tersebut adalah: (1)
keraksasaan peluncuran pesawat Challanger; (2) fleksibilitas produk
minuman “Coca-Cola”, celana “Jeans”, “Dunkink Donat’s”, “Kentaki
Fried Chiken (KFC)”; (3) inovasi akseleratif-aktual sistem “Computer”
yang dirajai oleh Bill Gate, mulai dari jenis Personal Computer (PC),
sistem Local Area Network (LAN), Internet, hingga pelayanan terhadap
kepentingan-kepentingan khusus (special requirment) seperti keperluan
medis, sistem ekonomi, pengendalian alat- alat elektronik, operasi sekuriti,
sistem informasi maupun komunikasi, sistem pengolahan data, dan
sebagainya.
3. Ada beberapa cara untuk melakukan survive: pertama, habit of mind. Pada
level ini taqlid diperlukan agar tidak terperosok ke dalam fatalitas. Kedua,
belieft, adanya keyakinan atau asumsi tertentu yang mendasari sikap untuk
berbuat. Ketiga, doubt, sikap meragukan terhadap munculnya tantangan-
tantangan baru. Keempat, kombinasi belieft dan doubt melahirkan
perlunya inquiry untuk memecahkan persoalan. Kelima, meaning, melalui
simbolic logic yang didasari oleh critical logic (abductive), bukan dengan
inductive atau deductive. Di antara kelima cara ini, pragmatisme Amerika
yang dirintis oleh Pierce menekankan pada cara keempat (inquiry) dan
kelima (abductive), sebagaimana poin keempat berikut.
4. Sistem kerja abductive yang ditawarkan oleh Pierce menyatakan hubungan
sistematis antara empirisisme dan rasionalisme, yang dikemas kedalam
pragmatisme.

Sistem kerja pragmatisme menekankan pada hal-hal sebagai berikut:


1. Dalil-dalil yang bersifat sementara
2. Pengujian terhadap fakta-fakta
3. Falliability of Knowledge (Corrigible), yang berimplikasi
poin keempat berikut:
4. Kebenaran disimbolkan dengan a truth (dengan t kecil), bukan Truth
(dengan t besar).
Keempatnya itu mengilhami simbolic logic, hingga sampai pada kata
kunci akhir filsafat Amerika adalah filsafat proses (human being qua
process).
5. Pragmatisme James menekankan pada latar psikologis antropologi
bangsanya. Critical logic yang ditanamkan oleh Pierce, dikembangkan
oleh James melalui radical empiricism. Ini tampak dengan tandas pada
karyanya The Varieties of Religious Experience. Hasil dari penelitian ini
adalah penemuannya tentang nuansa pluralistik dari fenomena-fenmomena
keberagamaan. Sementara dalam karyanya The Will to Believe, ia
menekankan belieft (cara kedua survive) sebagai basis untuk bertindak.
Cara ini diperkuatnya melalui karyanya Decision and Thruth ketika
mengkaji eksistensialisme agama.

2. John Dewey (1859-1952 M)


Dewey dalam bukunya The School and Society (1976: 39-40) menyatakan
bahwa: “[kita harus] membuat setiap sekolah kita sebagai embrio kehidupan
masyarakat, aktif dengan tipe-tipe pekerjaan yang merefleksikan kehidupan dalam
masyarakat pada umumnya dan menyebarkan semangat seni, sejarah dan
pengembangan ilmu ke semua orang. Ketika sekolah memperkenalkan dan
melatih tiap anak dalam masyarakat menjadi bagian dari masyarakat dengan
belajar dari masyarakat kecil di sekolah, memenuhkan dia dengan spirit melayani
dan menyediakan baginya instrumen-instrumen yang efektif agar dapat digunakan
secara pribadi, kita dapat berharap dengan baik tentang suatu masyarakat besar
yang layak, penuh cinta dan harmoni.”
Pragmatisme Pendidikan yang dipelopori oleh filsuf Amerika John Dewey
didasarkan pada perubahan, proses, relatifitas, dan rekonstruksi pengalaman.
Pragmatisme pendidikan Dewey cukup dipengaruhi oleh teori evolusi Charles
Darwin bahwa semua makhluk hidup baik secara biologis maupun sosiologis
memiliki naluri untuk bertahan hidup dan untuk berkembang. Setiap organisme
hidup di dalam habitat atau lingkungannya. Dalam proses kehidupan, organisme
manusia mengalami situasi-situasi yang problematik sebagai ancaman bagi
kelanjutan eksistensinya. Manusia yang sukses dalam hal ini adalah yang mampu
memecahkan masalah- masalah itu dan menambahkan rincian-rincian dari proses-
proses pemecahan masalah yang berbeda-beda ke dalam gudang pengalaman-
pengalamannya untuk digunakan menghadapi masalah-masalah yang mungkin
saja mirip di masa akan datang. Dalam filsafat pendidikan John Dewey,
pengalaman adalah kata kunci. Pengalaman dapat didefinisikan sebagai interaksi
antara makhluk manusia dengan lingkungannya. Dalam pandangan Darwin, untuk
hidup tergantung dari kemampuan memecahkan masalah-masalah, maka Dewey
memandang bahwa pendidikan menjadi tempat pelatihan bagi ketrampilan-
ketrampilan dan metode-metode pemecahan masalah (problem solving skills and
methods).
Filsafat pragmatis Dewey dapat juga disebut sebagai filsafat
eksperimentalisme. Hal itu disebabkan karena menurutnya “tujuan dan rencana,
dalam hal ini konsep-konsep manusia hanya dapat divalidasi dengan
menjadikannya dasar tindakan dan dari konsekuensi-konsekuensi yang lahir dari
tindakan-tindakan itulah tujuan, rencana atau konsep-konsep manusia dapat
dinilai.” Penilaian berdasarkan konsekuensi tindakan juga diterapkan di dunia
pendidikan. Bagi Dewey, suatu kurikulum atau strategi metodologi hanya dapat
dikatakan valid dan berhasil bila telah diujicobakan dan dari uji coba itu hasil-
hasilnya dapat dinilai. Ia dengan jelas menolak dasar- dasar pendidikan yang a
priori seperti yang dikembangkan oleh kaum idealis, realis dan perennialis.

Pragmatisme dalam Pemecahan Masalah: Orientasi dan Implikasinya


Dewey menekankan metodologi yang berhubungan dengan proses
pemecahan masalah. Belajar berarti seseorang terlibat di dalam pemecahan
masalah. Dalam epistemologi eksperimental menurut Dewey, siswa/pelajar, baik
sebagai individu maupun anggota kelompok menggunakan metode-metode ilmu
untuk memecahkan baik masalah pribadi maupun masalah sosial.
Menurut Dewey, anak-anak belajar lebih banyak dan lebih cepat ketika
guru mendorong rasa keingintahuan alami mereka, bukan menjadikan mereka
sebagai subjek yang kaku dan berdisiplin dengan cara-cara memberikan hukuman
secara tradisional seperti dalam pendidikan abad ke-19 pada umumnya. Oleh
karena itu, ia menggunakan permainan dan bentuk-bentuknya yang beragam
sebagai alat belajar. Dari situlah, ia membentuk metodologi pendidikan modern
abad ke-20. Dalam pengamatannya, ia menemukan bahwa cara anak-anak belajar
banyak hal adalah sama dengan orang dewasa, yang berbeda hanyalah informasi
yang mereka butuhkan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka
mengerti dalam sudut pandang mereka sendiri. Oleh karena itu, pendidikan
menurutnya bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, tetapi akan bermakna dalam
rangka pemecahan masalah-masalah. 
Ia tidak sekedar memikirkan konsep pendidikan secara pragmatis, tetapi
mengujicobakannya. Pada tahun 1894, Dewey pindah dari Universitas Michigan
ke Universitas Chicago yang baru berumur 3 tahun sebagai kepala Departemen
Filsafat di sana. Dia membuka Laboratorium Sekolah Universitas Chicago. Lewat
laboratorium itulah ia menguji pemikirannya tentang pendidikan yang
revolusioner itu. Sekolah itu kemudian dikenal dengan nama Sekolah Dewey,
yang menjadi model dari sekolah-sekolah yang superior secara akademis di USA
dan seluruh dunia sampai saat ini. Sekolah Dewey dibuka dengan 16 siswa dan 2
pengajar, namun dalam 7 tahun, berkembang menjadi 140 siswa, 23 pengajar dan
10 asisten pengajar. Sekolah itu dibuka dalam 10 kelas, mulai dari pra-sekolah
sampai kelas 10. Sekolah menetapkan proyek- proyek yang menarik sesuai
dengan usia para siswa. Siswa yang paling muda ‘bermain’ rumah-rumahan,
belajar berbagai tugas seperti memasak, menjahit, menggergaji dan memaku kayu
dan membuat perabotan. Tetapi sementara bermain, mereka juga belajar
matematika dengan mengukur, menambah dan mengurangi. Mereka juga belajar
membaca dengan melihat resep masakan, juga belajar pola dan rencana dalam
proses menjahit.
Anak umur 6 tahun (kelas 1) menggunakan ketrampilan dan peralatan
dalam taman kanak- kanak untuk ‘membangun’ suatu peternakan, menggunakan
blok-blok untuk tiap bangunan dan menanam tanaman-tanaman tiruan di atas meja
pasir yang besar. Dengan membagi meja itu ke dalam area-area berbeda untuk
tanaman-tanaman berbeda, mereka belajar tentang pecahan matematika. Anak-
anak yang berumur enam tahun belajar dengan menggunakan tongkat-tongkat
untuk membagi area bermain mereka ke dalam beberapa bagian. Sambil bermain,
mereka belajar mengkonversi ukuran, dari inci ke kaki, yard, are dan unit-unit
ukuran lainnya. Mereka mempelajari tentang volume ketika menggunakan
gantang dalam permainan. Mereka belajar penjumlahan dan pengurangan serta
satuan-satuan uang dengan bermain sebagai petani yang melakukan panen atas
hasil panen dan menjualnya ke pasar. Mereka juga belajar menulis dan membaca
dengan cepat karena harus membuat label-label tanaman yang harus mereka
tanam dan kemudian jual di pasar. Mereka belajar melukis rencana bangunan
untuk membangun rumah pertanian, gudang, kandang, dan melakukan pelabelan
terhadap tiap bagian dari rencana itu dengan kata-kata yang jelas dan tepat.
Mereka harus mengukur dengan pasti dan benar untuk menentukan blok nomor
berapa yang akan digunakan membangun apa. Setiap kesalahan yang mereka buat,
baik dalam pelabelan maupun pengukuran, akan membuat rumah pertanian dan
yang lainnya tidak akan selesai atau roboh karena salah perhitungan. Dari situlah
mereka belajar, dengan cara menghitung lagi dengan benar dan membangun lagi.
Dengan cara belajar terus menerus dari kesalahan-kesalahan itu, mereka dapat
memecahkan masalah-masalah itu dengan benar.
Siswa kelas 2 mempelajari kehidupan pra-sejarah dengan membangun gua
buatan (menggunakan balok dan lembaran-lembaran kertas besar) dan berpura
pura hidup di dalamnya. Dalam setiap langkah untuk itu, siswa
mengkombinasikan apa yang mereka baca di buku dengan melakukannya. Siswa
kelas tiga belajar tentang peradaban awal, sementara siswa 9 tahun belajar tentang
sejarah lokal dan geografi. Siswa 10 tahun belajar tentang sejarah kolonial dengan
cara membangun pondok-pondok kayu pertahanan. Selain itu, ‘Darmawisata’ juga
digunakan Dewey sebagai salah satu metode belajarnya guna menangkap
imajinasi anak didiknya.
Anak kelas enam dan semua siswa yang lebih besar belajar dengan bekerja
pada proyek- proyek yang melibatkan hal-hal yang lebih kompleks, seperti
politik, pemerintahan dan ekonomi. Tidak lupa proyek-proyek penelitian ilmiah:
biologi, kimia, dan fisika dalam laboratorium di kelas. Demokrasi diajarkan
dengan cara mempraktekkannya. Setiap kesempatan, kesalahan dalam
pemahaman tentang demokrasi selalu dibetulkan dengan cara pengulangan.
Masalahnya adalah untuk mengajar di Sekolah Dewey lebih sulit daripada di
sekolah-sekolah konvensional atau sekolah-sekolah biasa. Guru yang mengajar di
sana harus dilatih dalam metode Dewey dan juga mendapatkan pelatihan yang
cukup tentang psikologi anak. Selain itu, guru juga harus menjadikan pengetahuan
tiap hari sebagai kemampuan diri. Pengetahuan tiap hari yang harus dikuasai oleh
guru itu adalah penguasaan ketrampilan yang harus difasilitasi pembelajarannya
kepada murid, mulai dari menjahit, pertukangan, fisika, musik, seni, olahraga dan
lain sebagainya. Guru dalam perspektif pendidikan aliran pragmatisme bukanlah
guru yang terpaku pada diktat tetapi guru yang dituntut untuk kreatif. Guru harus
belajar mempertahankan agar anak didik senang belajar dengan melihat dunia dari
sudut pandang anak-anak serta sudut pandang orang dewasa.

2.4 Perkembangan Psikologi


Aliran filsafat pragmatism merupakan dasar bagi psikologi fungsional di Amerika.
Pragmatisme memberikan ciri fungsional kepada psikologi Amerika, dan psikologi
fungsional kemudian memungkinkan transisi dari model Wundt yang ketat ke sistem-sistem
lain yang berkembang di Amerika. James dan Peirce yang lebih dikenal sebagai filsuf adalah
peletak dasar psikologi fungsional di Amerika.
Pragmatisme adalah sistem filsafat khas Amerika yang lahir di Amerika. Sebagai
filsafat, pragmatisme mementingkan hasil, bukan metode. Oleh sebab itu, filsafat
pragmatisme tidak memiliki doktrin komprehensif, tetapi lebih merupakan cara berfilsafat
yang khas Amerika. Filsafat pragmatism menumbuhkan iklim intelektual yang mempelajari
bukan apa yang dilakukan seseorang tetapi bagaimana orang itu melakukannya.
Psikologi fungsional bukan sistem psikologi formal seperti psikologi struktural,
psikologi Gestalt, behaviourisme, atau psikoanalisa. Ia mementingkan aplikasi dan manfaat
dari psikologi. Para psikolog fungsional berbeda dari psikolog struktural dalam hal alasan
melakukan eksperimen psikologis, dan bukan jenis eksperimen yang dilakukan. Fokus para
fungsionalis adalah bagaimana aktivitas jiwa dan manfaat yang diberikannya.
James adalah tokoh yang memperkenalkan ilmu psikologi eksperimental di Amerika.
Dia mendorong usaha mendirikan psikologi empiris, yang padahal ia sendiri bukan seorang
empiris. Psikologi fungsional terbuka bagi aplikasi-aplikasi praktis dan membutuhkan data
perilaku yang dapat diobservasi. Ia menulis buku The Principles of Psychology (1890) yang
kemudian digunakan sebagai buku teks psikologi di Amerika.
Dia mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tentang kehidupan mental dan mengatakan
bahwa pengalaman merupakan arus kesadaran yang berkesinambungan. Jiwa dan tubuh
adalah aspek subyektif dan obyektif dari pengalaman, tak dapat dipisahkan. Cakupan
psikologinya lebih luas dari Wundt. Jiwa adalah proses personal, yang berubah,
berkesinambungan, dan selektif. Oleh sebab itu, dia memilih pendekatan empiris untuk
mempelajari pengalaman yang terfokus pada fungsi-fungsi jiwa.
Seperti James, Peirce melihat kesadaran dan proses mental dari konsekuensi
praktisnya. Tetapi, berbeda dengan James, dia menekankan konsekuensi logis dari ide-ide
(bukan konsekuensi psikologis). Dia yakin jiwa terkait erat dengan struktur organisasi pada
informasi-informasi sensoris.
Baik James maupun Peirce, berjasa dalam menciptakan atmosfer intelektual yang siap
menerima formulasi baru dari psikologi. Unsur-unsur dari pandangan pragmatis mereka
mendahului sistem-sistem selanjutnya dalam pemikiran di Amerika. Empirisme James
cenderung menerima perilaku yang dapat diobservasi sebagai data psikologis, sedangkan
Peirce lebih menekankan organisasi mental yang konsisten dengan perkembangan psikologi
Gestalt selanjutnya.
Tokoh-tokoh lain dalam psikologi fungsional di Amerika antara lain Hugo
Munsterberg (1863-1916), William McDougall (1871-1938), G. Stanley Hall (1844-1924),
James Angeli (1869-1949), Harvey Carr (1873-1954), James McKeen Cattell (1880-1944),
dan Edward Lee Thorndike (1874-1949). Dewey, Angeli dan Carr berasal dari
fungsionalisme Chicago, sedangkan Cattell dan Thorndike dari fungsionalisme Columbia.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pragmatisme James merupakan faham tentang pemikiran, pendapat, dan teori, yang
dapat dipraktikkan yang dianggap benar dan berguna. Dengan ini James menganggap
nonsens terhadap “ide” Plato, “pengertian umum” Socrates, definisi Aristoteles, skeptisisme
Descartes. Pragmatisme James merupakan suatu cara anti intelektual, sementara Peirce
sebaliknya. Peirce membatasi pragmatismenya semata-mata pada suatu teori tentang
pengertian, sementara James menganggap bahwa selain itu, pragmatisme juga perlu
mengambil sikap tentang kebenaran. Pragmatisme James menjadi berguna dan dapat dipakai
dalam kehidupan, baik pada seseorang maupun nilai-nilai manusiawi di dalam agama dan
moral, lebih dari sekadar hal-hal yang semata-mata mengenai pengertian rasional ilmiah
sebagaimana pada Peirce.
Metode yang digunakan James adalah meliorisme, dengan cara menggabungkan
keberlawanan rasionalisme dan empirisisme, untuk memecahkan masalah-masalah
filsafatnya. Sementara dalam mengkaji agama, ia melibatkan kerjasama filsafat dan
psikologi, dengan target diperolehnya deskripsi dan evaluasi terhadap pengalaman-
pengalaman beragama para individu untuk mengetahui makna dan pentingnya agama. Warna
psikologis filsafatnya diilhami oleh antropologi keimigranan bangsanya, untuk menciptakan
kultur baru yang khas dan dinamis. Sedangkan makna survivalnya adalah penekanannya pada
faktof belieft dan decision untuk bertindak. Pahamnya tentang kebenaran memunculkan
karakteristik pragmatisme yang humanistis. Di sini, moral memperoleh wajah yang
pluralistik. Sehingga kebenaran yang humanistis berwajah subjektif dan indivualistis.
Penemuan James menegaskan bahwa ia adalah filosof pertama yang menerapkan metode dan
hasil penelitian psikologi untuk mengetahui watak-watak keagamaan pada manusia.
Penekanan filsafatnya adalah pada pentingnya faktor usaha dan kesukarelaan dalam
keputusan dalam memperjelas sesuatu. Penekanan ini menjadikan pragmatisme James
bersifat voluntaristis.
Kata kunci pragmatisme James adalah: “tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran
umum, semua kebenaran belum final”. Kata kunci ini berada dalam breakdown filsafat
Amerika yang menekankan proses sebagai manusia (human being qua process). Dalam
dakwah, pragmatisme menjadikan agama bernuansa fleksibel dan verstehen, sekaligus dapat
memacu naiknya derajat profesionalitas, akan tetapi berhadapan dengan kemungkinan
terjebak dalam “menghalalkan segala cara” untuk mencapai tujuan antara dan orientasi
kepentingan duniawi.
Dari bahasan tentang pengalaman John Dewey di atas, sangat jelas terlihat bahwa
aliran Pragmatisme Pendidikan menghadirkan nuansa lain dari dunia pendidikan yang selama
ini biasa diketahui. Pragmatisme pendidikan memposisikan anak didik sebagai pihak yang
sangat penting dan mesti dipahami dengan baik dan benar. Dengan pemahaman yang baik
dan benar terhadap kebutuhan anak didik, diharapkan agar anak didik dapat menikmati sistem
pendidikan yang diterapkan kepada mereka.
Dalam proses pelaksanaan pendidikan saat ini, pendidikan yang dimulai dari play group
sampai dengan di tingkat pendidikan tinggi juga telah menganut pragmatisme pendidikan.
Walaupun demikian, tidak ada satu aliran pendidikan pun yang diterapkan secara sendiri-
sendiri dalam sistem pendidikan. Selalu saja ada gabungan dari aliran-aliran pendidikan yang
ada sehingga menghasilkan suatu sistem pendidikan yang baik dan dapat memenuhi standar.

DAFTAR PUSTAKA

Bochenski, I.M., (1956), Contemporary European Philosophy, University of California Press

Patrick Distante, (2000), History of Western Philosophy

Roger Jones, Philosophy Since the Enlightenment

Blikololong, J.B., Filsafat Umum Untuk Mahasiswa Psikologi, UG Penerbit Gunadarma

Angeles, Peter A. Dictionary of Philosophy. New York: Harper Collins Publisher, 1991.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Bronstein, Daniel J., et.al., ed., Basic Problems of Philosophy. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.: 1965.

Chalmers. Apa itu yang dinamakan ilmu?, terj. Redaksi Hasta Mitra. Jakarta: Hasta Mitra,
1982.

Diamond, Malcolm L. Contemporary Philosophy and Religious Thought: An Introduction to


the Philosophy of Religion. New York: McGraw-Hill Book Company, 1974.
Encyclopedia Americana. 1977.

Hamlyn, D.W. The Penguin History of Western Philosophy. England-New York: Penguin
Group, 1987.

Hutchins, Robert Maynard, Editor in Chief, Great Books of Western World Jilid 5,53,54.
Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1986.

James, William. The Varieties of Religious Experience. New York: New American Library,
1958.

James, William. “The Will to Believe” dalam Bronstein, Daniel J., et.al., ed., Basic Problems
of Philosophy. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.: 1965.

Mangunhardjana, A. Isme-Isme dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Mudhofir, Ali. Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 1996.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Russel, Bertrand. History of Western Philosophy. Buku kopian pada Perpustakaan PPs IAIN
Sunan Ampel, tp., tt.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Hingga James. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1990.

Dewey, John, 1920, Reconstruction in Philosophy, Henry Holt and Company: NY.

Dewey, John, 1938, Logic: The Theory of Inquiry, Henry Holt & Co., Inc.: NY.

Dewey, John, (Jo Ann Boydston, Ed.), 1976, The School and Society, Southern Illinois
University Press.

Ornstein, Alan, C., & Levine, Daniel, U., (ed.), 1988, An Introduction to The Foundation of
Education, Houghton Miftin Company: Boston.

Palmer, Joy, A., 2001, Fifty Major Thinkers on Education: From Confucius to Dewey,
Routledge: London.

Provenzo, Eugene, F., & John Philip Renaud (ed.), 2009, Encyclopedia of The Social and
Cultural Foundations of Education (vol. 1-3). Sage Publications: London.

Shook, John, R., & Joseph Margolis (ed.), 2006, A Companion to Pragmatism, Blackwell
Publishing: MA.

Anda mungkin juga menyukai