Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

FILSAFAT MODERN :
Positivisme Dan Fenomeologi
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Filsafat
Dosen pengampu : hairul Huda M.Pdi

Oleh :
1. Danu Pratama (2110911024)
2. Habib muzaky yahya (2110911025
3. Salim rafi’i (211)
4. (1710651042)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 3
C. Tujuan ..................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 4
A. Pengertian Filsafat Positivisme............................................................................... 4
B. Sejarah Munculnya Filsafat Positivisme................................................................. 5
C. Tokoh Penganut Filsafat Positivisme...................................................................... 6
D. Pengertian Fenomenologi........................................................................................ 7
E. Tokoh-tokoh Penganut Fenomenologi.................................................................... 8
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 12
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 12
B. Saran ....................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 13
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Filsafat Positivisme dan
Fenomenologi” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Juga penulis
berterima kasih pada Bapak Nur Khamid, M. Hum. selaku Dosen mata kuliah Pengantar Filsafat
yang telah memberikan tugas ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai filsafat positivisme dan fenomenologi. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan datang.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di zaman modern sekarang ini, berbagai fasilitas dengan segala kemudahannya
membuat semua orang bebas untuk mengungkapkan pendapat dengan berbagai metode,
alasan, tujuan, topik, dan bahasa. Namun sayangnya, sebagian besar dari warga
mengungkapkan pendapatnya tanpa dasar atau fakta yang jelas serta menomor satukan
egoisitas atau kepentingan pribadi mereka. Hingga terkadang pendapat dengan dasar yang
tidak jelas tersebut mampu menyulut pertentangan yang dapat berakibat menjadi perkelahian
atau perpecahan. Hal ini tentu saja membuat kehidupan menjadi tidak harmonis, nyaman,
damai, dan tentram.
Adanya kebebasan tanpa batas saat ini merupakan salah satu akibat dari
perkembangan dunia barat. Termasuk perkembangan pemikiran barat yang tercermin dalam
pandangan filsafatnya. Makalah ini akan membahas mengenai salah satu perkembangan
filsafat modern dunia barat yaitu filsafat positivisme dan juga fenomenologi. Positivisme
merupakan salah satu aliran filsafat yang menolak adanya spekulasi dan semua didasarkan
pada data empiris. Sedangkan fenomenologi adalah suatu kajian tentang bagaimana manusia
sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Makalah ini diharapkan dapat menjadi
alternatif jawaban untuk permasalahan kebebasan tanpa batas sekarang ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud filsafat positivisme?
2. Bagaimana sejarah munculnya filsafat positivisme?
3. Siapa tokoh penganut filsafat positivisme?
4. Apakah yang dimaksud dengan fenomenologi?
5. Siapa tokoh penganut fenomenologi?
C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk membahas atau memaparkan
mengenai bagian dari perkembangan filsafat modern yaitu filsafat positivisme dan
fenomenologi. Makalah ini juga akan membahas mengenai sejarah munculnya positivisme
serta tokoh penganut filsafat positivisme dan fenomenologi. Diharapkan pembaca dari
makalah ini dapat mengetahui dan memahami filsafat positivisme dan fenomenologi lebih
jelas dan mengambil hal-hal positif yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Positivisme
Nama positivisme diintroduksi A. Comte dalam perbendaharaan kata filosofis. Tentu
saja, nama ini berasal dari kata “positif”. Di sini kata “positif” sama artinya dengan faktual
(apa yang berdasarkan fakta-fakta). Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah
boleh melebihi fakta-fakta. Oleh karenanya tidak mengherankan, bila positivisme menolak
cabang filsafat yang biasanya disebut metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda atau
“penyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme tidak mempunyai arti apapun. Ilmu
pengetahuan, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang
terdapat antara fakta-fakta. Di sinilah letak kesamaan antara positivisme dan empirisme,
bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya terletak disini, bahwa
positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman obyektif, tetapi empirisme
menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subyektif.
Pada dasarnya, positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya
menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia
menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya
eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme
plus rasionalisme.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan
mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka
meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang
berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham
realisme, materialisme, naturalisme, filsafat dan empirisme.

B. Sejarah Munculnya Filsafat Positivisme


Paham ini muncul di Prancis yang dipelopori oleh Auguste Comte (1798 – 1857).
Menurutnya untuk menciptakan masyarakat baru yang serba teratur, maka perlu adanya
perbaikan jiwa atau budi terlebih dahulu. Menurut Comte pemikiran atau jiwa atau budi
manusia berkembang dalam tiga tahap atau zaman, yaitu zaman teologis, zaman ontologis
atau metafisis dan zaman positivistis.1
1. Tahap Teologi
Tahap atau tingkat yang menerangkan segalanya dengan pengaruh dan sebab-
sebab yang melebihi kodrat. Pada zaman atau tahap teologis, orang mengarahkan
rohnya kepada hakekat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama dan tujuan
terakhir segala sesuatu. Jadi orang masih percaya kepada kemungkinan adanya
pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Orang yakin bahwa di belakang tiap
kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak yang secara khusus.
2. Tahap Metafisika
Tahap atau tingkat metafisika hendak menerangkan segala sesuatunya melalui
abstraksi. Pada zaman metafisika, kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau dewa-
dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-
pengertian, atau pengada-pengada yang lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam
sesuatu yang bersifat umum, yang disebut alam, dan yang dipandang sebagai asal
segala penampakan atau gejala yang khusus.
3. Tahap Positif
Tahap atau tingkat positif hanya menghiraukan yang sungguh-sungguh serta
sebab-akibat yang sudah tertentukan. Zaman positif adalah zaman ketika orang tahu,
bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang
mutlak, baik pengenalan teologis maupun pengenalam metafisis. Ia tidak mau lagi
melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang
sejati dari segala sesuatu yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang
berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-
fakta yang telah dikenal atau disajikan kepadanya, yaitu dengan pengamatan dan
dengan memakai akalnya.

1
Menurut Comte, semua ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian
teologis, sesudah itu dikeruhkan oleh pemikiran metafisis, dan akhirnya tiba di zaman
positif.

C. Tokoh Penganut Filsafat Positivisme


1. Auguste Comte (1798 – 1857)
Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste Francois Xavier Comte, lahir di
Montepellier, Perancis (1798). Keluarganya beragama khatolik yanga berdarah
bangsawan. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup
disana. Auguste Comte beberapa tahun lamanya menjadi sekretaris pada seorang
bangsawan Perancis yang bernama Henri de Saint-Simon. Orang ini bergiat dalam bidang
sosial berhubungan dengan problem-problem baru yang muncul pada waktu itu karena
lahirnya industri. Karya Comte yang utama adalah Cours de philosophie positive (Kursus
tentang filsafat positif) yang terdiri dari enam jilid.
2. John Stuart Mill (1806-1873)
Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan sistem positivisme pada ilmu
jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart Mill memberikan landasan psikologis terhadap
filsafat positivisme. Karena psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti
halnya dengan kaum positif, Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber
pengetahuan ialah pengalaman. Karena itu induksi merupakan metode yang paling
dipercaya dalam ilmu pengetahuan.
3. H. Taine (1828-1893)
Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan
kesastraan.
4. Emile Durkheim (1852-1917)
Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.
D. Pengertian Fenomenologi
Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Kata
fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari phainesthai / phainomai /
phainein yang artinya menampakkan atau memperlihatkan. Fenomenologi juga berarti ilmu
pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu
mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri.
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai
obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan,
maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi
mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan
pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa,
dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran
murni yang dialami manusia.
Seorang fenomenalisme suka melohat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu
positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum
dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya
dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu
metode pemikiran, “a way of looking at things.”. Gejala adalah akivitas , misalnya gejala
gedung putih adalah akomodasi, konvergensi, dan fiksasi dari mata orang yang melihat
gedung itu, ditambah aktivitas lain yang perlu supaya gejala itu muncul.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat difahami bahwa fenomenologi berarti ilmu
tentang fenomenon-fenomenon apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang
berpusat pada analisi terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
E. Tokoh – tokoh Penganut Fenomenologi
1. Edmund Husserl (1859-1938)
Edmund Husserl (1859-1938) lahir di kota kecil Proznitz daerah Moravia dan
berasal dari golongan Yahudi menengah. Selama hidupnya, Husserl banyak menulis
naskah-naskah (50.000 lembar tulisan) mengenai fenomenologi namun sedikit yang
ditebitkan pada waktu hidupnya.
Fenomenologi adalah cara berpikir (metode) yang dikemukakan oleh Husserl
pada awa abad ke-20. Ia mengupayakan fenomenologi sebagai metode ketat untuk
memperoleh teori yang benar dan pasti seperti kepastian matematik. Dalam fenomenologi
Husserl, ada beberapa istilah penting yang perlu dipahami. Di antara istilah tersebut
seperti epoche, reduksi, intensionalitas, dan Lebenswelt.
a. Epoche
Hal utama yang menunjang keberhasilan metode fenomenologis tersebut
adalah ketika seseorang (peneliti, ilmuwan, dan lain sebagainya) mampu
membebaskan dirinya dari praduga-praduga atau penilaian atau pengandaian.
Praduga-praduga itu dapat berbentuk keyakinan, stigma, stereotipe, teori-teori
atau langgam berpikir yang sudah menjadi kebiasaan. Hal-hal semacam itu oleh
Husserl mesti disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung [( )]. Maksud
disimpan dalam tanda kurung bukanlah berarti menyingkirkan hal-hal yang
terdapat dalam tanda kurung tersebut (seperti paduga-praduga, penilaian,
pengandaian tadi) melainkan menunda atau mengosongkan diri dari hal tersebut.
Dengan kata lain, tanpa memberi keterangan benar-salah terlebih dahulu kepada
fenomena yang muncul atau tampak itu.
Inilah yang disebut dengan epoche (penundaan) tersebut. Tujuannya agar
keterangan yang tampak dalam fenomena itu benar-benar asli, genuine atau tidak
terlebih dahulu disusupi/dicampuri oleh praduga-praduga, pengandaian, penilaian
pengamat.
b. Reduksi
Dalam rangka untuk memunculkan hakekat tersebut, maka epoche
mengisyaratkan reduksi-reduksi (penyaringan-penyaringan) tertentu. Menurut
Husserl, ada tiga reduksi yang dapt digunakan. Ketiga reduksi tersebut adalah
reduksi fenomenologis, reduksi eidetis, dan reduksi transendental.
c. Intensionalitas
Kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu, demikian ujar
Husserl. Dengan kata lain, kesadaran selalu terarah pada suatu objek. Kesadaran
yang selalu terarah pada suatu objek, inilah yang dimaksud dengan istilah
intensionalitas itu (intensionalitas berasal dari bahasa Latin yakni intendere yang
mengandung arti “mengarah kepada” atau “keterarahan”).
d. Lebenswelt
Lebenswelt adalah dunia sebagaimana kita atau saya hayati (dunia-
pengalaman/dunia yang dihayati/dunia sehari-hari). Lebenswelt itu atau dunia
yang dihayati itu bukanlah mengacu kepada “dunia nyata” yang sudah
dikategorikan oleh kategori-kategori filosofis atau ilmiah seperti yang terdapat
pada pandangan idealisme maupun realisme. Tidak sebagaimana dunia yang
dipandang oleh idealisme dan realisme tersebut atau juga dunia nyata yang sudah
dikategorikan oleh kategori-kategori filosofis atau ilmiah, Lebenswelt lebih
mengacu kepada dunia yang belum ditafsirkan atau dikategorikan baik oleh ilmu
pengetahuan (ilmiah) maupun filsafat. Dengan kata lain, Lebenswelt adalah dunia
yang disadari secara pra-filosofis, pra-ilmiah dan pra-reflektif.
Husserl menolak positivisme. Positivisme menurut Husserl telah ”membunuh”
filsafat. Alasannya, karena paradigma positivisme tidak mampu melihat kesadaran,
makna hidup, dan motivasi sebagai pemberi makna pada fakta fisis (tingkah laku).
Positivisme telah mengubah Lebenswelt sedemikian rupa sehingga kita mengalami
kesulitan untuk melihat benda-benda sebagaimana aslinya. Husserl menolak pandangan
positivisme (objektivisme) ini, karena secara nyata pandangan itu mengabaikan peran
manusia (dimensi subjek) dalam menciptakan ilmu pengetahuan.
2. Max Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu
untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung
dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi). Menurutnya ada 3 fakta
yang memegang peranan penting dalam pengalaman filsafat. Diantaranya:
1. Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-
benda yang nampak dalam pengalaman biasa.
2. Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang
langsung dan semakin abstrak.
3. Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari
pengalaman langsung.
3. Hartman (1882-1950)
Nicolai Hartman berpendapat bahwa antara subjek dan objek itu saling
berhadapan. Objek menentukan sifat pengetahuan. Objek itu mungkin ada lepas dari
subjek dan dapat disebut sesuatu yang berdiri sendiri (ansichsein). Subtansi ini
mempunyai objek yang riil dan idial. Tetapi ini belum menentukan arah kerealisme atau
keidealisme. Analisa lebih lanjut menyatakan, bahwa realisme lebih dapat menerangkan,
dan mengartikan gejala pengetahuan daripada idiealsme. Semua macam idealisme
mengandung pertentangan. Yang menyokong realisme pertama ialah cenderung manusia
realistis. Ini tentu saja bukan bukti, akan tetapi kalau idealisme mau benar, maka haruslah
ia dapat menerangkan gejala relisme pada manusia ini.
4. Martin Heidegger (1889-1976)
Heidegger menyebut fenomenologinya sebagai “fenomenologi hermeneutika”.
Terkadang, fenomenologi Heidegger juga disebut sebagai “analisis eksistensial.” Ini
lantaran fokus pengamatan Heidegger atau fenomenologinya adalah diarahkan kepada
dunia manusia atau dalam sitilah Heidegger yakni in-der-welt-sein (“ada-dalam-dunia”).
“Ada-dalam-dunia” menunjukkan keterlibatan (concerned with), keterikatan
(proccupation), komitmen (commitment) dan keakraban (familiaruty) manusia dengan
lingkungan alam dan budayanya.
5. Jean Paul Sartre (1905-1980)
Jean-Paul Sartre lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15
April 1980 pada umur 74 tahun. ia adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang
dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih
dulu ada dibanding esensi (Lexistence precede lessence). Manusia tidak memiliki apa-apa
saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-
komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan
nilai adalah kebebasan manusia (Lhomme est condamne a etre libre).
Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak.
Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris).
Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.
6. Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)
Maurice Merleau-Ponty adalah seorang filsuf fenomenologi, "kesadaran" abad 20.
Aliran filsafatnya mula-mula dipengaruhi oleh fenomenologi dari Husserl dan Heidegger
serta Sartre, namun lambat laun di memisahkan diri dan memasukkan teori dari Saussure
dalam buku Levi Strauss dalam bidang bahasa.
Salah satu teori Pounty dapat dilihat dari caranya melakukan kritisisme, dari
hipotesa yang dilakukan secara psikologi, dia berpendapat bahwa manusia melakukan
tindakan berawal dari refleksi psikologinya. Dari perilaku yang dia jadikan "tanda" atau
fenomena, maka dapat kita peroleh data tentang seseorang terkait prinsip hidup yang
menjadikannya bertindak. Selalu ada kaitan antara pengalaman masa lalu yang
mempengaruhi perilaku saat ini. Keterhubungan ini terjadi pada neuro-psikologi manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata
berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas
dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan
tidak mengenal adanya spekulasi.
2. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yaitu Teologi, Metafisis dan
Positif.
3. Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme : Auguste Comte ( 1798 – 1857 ), John
Stuart Mill ( 1806 – 1873 ), H. Taine ( 1828 – 1893 ), Emile Durkheim (1852 – 1917 ).
4. Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat
untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena
atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan
merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.
5. Aliran fenomenologi mempunyai beberapa tokoh-tokoh yang menjadi acuan dasar yang
mengemukakan tentang aliran fenomenologi tersebut. Diantara tokoh-tokohnya yaitu
Edmund Husserl, Max Scheller, Nicolai Hartman, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre,
dan Maurice merlea-ponty.

B. Saran
Penulisan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik
yang sifatnya membangun dan saran-saran dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis
demi menutupi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Jerman, Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI, 1981.
Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2011.
Dagun, Save M., Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
http://dhanalana11.blogspot.co.id/2013/06/positivisme.html (Sabtu, 10 September 2016, 16:18)
http://gudangmaterikuliah.blogspot.co.id/2012/04/filsafat-positivisme.html
(Sabtu,10 September 2016, 10:33)
http://rumpoet-liar.blogspot.co.id/2011/09/empirisme.html (Sabtu, 1 Oktober 2016, 19:32)
https://ebdaaprilia.wordpress.com/2014/09/22/makalah-filsafat-fenomenologi/ (Sabtu, 1 Oktober
2016, 19:48)
https://www.scribd.com/doc/192558547/Makalah-Filsafat-Ilmu-Positivisme (Sabtu, 10
September 2016, 16:50)
Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2015.
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Rachman, Maman, dkk, Filsafat Ilmu, Semarang: UPT MKU Unnes, 2006.
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2001.
Tafsir, Ahmad, FILSAFAT UMUM Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA, 2000.

Anda mungkin juga menyukai