Anda di halaman 1dari 126

PENDIDIKAN KEIMANAN

(KAJIAN TAFSIR SURAT AL-AN’AM AYAT 74-79)

Skripsi
Diajukan kepada Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)

Oleh

FIKRI LATIPATUL HUDA


NIM : 1110011000077

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2014 M
Pendidikan Keimanan
(Kajian Tafsir Surat Al-An’am ayat 74-79)
Skripsi

Diajukan kepada Fakutas Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam


(S.Pd.I)

Disusun oleh:

Fikri Latipatul Huda


1110011000077

DI BAWAH BIMBINGAN

Abdul Ghofur, M.A


NIP. 19681208 199703 1 003

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014 M/1436 H
ABSTRAK
Fikri Latipatul Huda (NIM. 1110011000077). Pendidikan Keimanan (Kajian
Tafsir Surat Al-An’am Ayat 74-79).
Setiap manusia dilahirkan memiliki potensi. Potensi itu berupa fitrah akan
pengakuan adanya Allah swt. Pendidikan Keimanan yaitu usaha sadar dalam
menanamkan akan dasar-dasar keimanan kepada peserta didik yang berfungsi
untuk mengembangkan segala potensi yang telah dimiliki oleh peserta didik agar
potensi yang telah dimiliki oleh peserta didik dapat dikembangkan kepada jalan
kebenaran. Oleh karena itu seorang pendidik harus mampu membantu
mengembangkan potensi yang telah dimiliki oleh peserta didik menuju arah yang
baik. Berbicara tentang keimanan, erat kaitannya dengan tauhid. Karena inti dari
keimanan itu yaitu beriman kepada Allah swt. Sehingga beriman kepada Allah
swt. mengandung implikasi keimanan akan wujud-Nya, ke-Esaan-Nya ketuhanan-
Nya dan keimanan akan nama-nama baik-Nya dan sifat-sifat luhur-Nya yang
terwujud dalam tauhid ulûhiyyah, tauhid rubûbiyyah dan tauhid asmâ` wa sifat.
Dalam Q.S. al-An’am ayat 74-79 ini membahas tentang bagaimana upaya Nabi
Ibrâhîm dalam menanamkan keimanan kepada ayah dan kaumnya yang
menyembah berhala dan menyembah bintang, bulan dan matahari.
Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif melalui penulusuran
data-data kepustakaan atau library research. Library research yaitu serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca
dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Adapun metode yang digunakan
dalam pembahasan ayat adalah metode tafsir tahlili yaitu metode tafsir yang
digunakan oleh para mufassir dalam menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang
tercantum dalam mushaf. Dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan
ditafsirkan, menjelaskan makna lafaz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan
munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat. Sedangkan metode
pembahasannya menggunakan metode deskriptif-analisis dengan cara
mengumpukan data, analisis data kemudian menarik kesimpulan.
Dalam penelitian ini, penulis memperoleh nilai-nilai pendidikan keimanan
yang meliputi: Pertama, tauhid ulûhiyyah yang terdiri atas Allah swt. satu-satunya
sumber hidayah, penghindaran dari segala bentuk kemusyrikan dan ikhlas dalam
beribadah kepada Allah swt. Kedua, tauhid rubûbiyyah yang terdiri atas meyakini
Allah swt. sebagai satu-satunya Pencipta dan meyakini bahwa Allah swt. sebagai
satu-satunya Pengatur. Ketiga, tauhid asmâ` wa sifat yang terdiri atas meyakini
bahwa Allah swt. bersifat wujud, meyakini bahwa Allah swt bersifat qidam dan
meyakini bahwa Allah swt bersifat baqâ.
Kata Kunci: Pendidikan Keimanan

i
ABSTRACT
Fikri Latipatul Huda (NIM. 1110011000077). Faith Education
(Interpretation Study of Chapter Al-An’am Verse 74-79).
Every human is born with the potential which has been given by Allah SWT.
That potential is a natural tendency about the confession of the existence of Allah
SWT. Faith education is the conscious effort in engrafting the basic faith to
students where the function is to evolving every potential which has been had by
the students in order to develop it in to right way. Therefore a teacher has to help
students in developing the potential which has been had by the students in to the
better way. The faith has strong relationship with tauhid (knowledge about the
One-God) because the core of faith is belief in Allah SWT. Therefore, belief in
Allah SWT contains the faith implication about His existence, His One-God, His
divinity, His good names and His supreme attributes which are materialized in
tauhid ulûhiyyah, tauhid rubûbiyyah and tauhid asmâ` wa sifat. Holy Koran
chapter Al-An’am discusses about how the effort of prophet Ibrahim in engrafting
the faith to his father and his community who are paganism, worshiper of the
animals, moon and sun.
The skripsi uses qualitative method through investigation of data in library or
library research. Library research is connected activities which have correlation
with library data collection, reading, taking note and analyzing the object of study.
The method that is used in this study is tahlili method. It is the interpretation
method which is used by the experts of Koran interpretation in explaining the
content of verses in Koran from various aspects and observes the verses of holy
Koran. The writer starts from mentioning the verses that will be interpreted,
explaining the sense of words, explaining the munasabah of verses and explaining
the content of verses. Furthermore, the discussion method in this study uses
descriptive analysis method by collecting the data, analyzing it and making the
conclusion.
.
In this study, the writer gets the values of faith education which involve: first,
tauhid ulûhiyyah which consists of Allah is the only one source of guidance,
avoidance from every types of polytheist and sincerity in worshipping to Allah
SWT. Second, tauhid rubûbiyyah which consists of believing in Allah SWT as the
only one controller. Third, tauhid asmâ` wa sifat which consists of believing in
the existence of Allah and Allah is antecedence (qidam) and eternal (baqa’)
Key word : Faith Education

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’âlamin, segala puji terhatur kepada Dzat Yang Maha


Luhur, Dzat Yang Maha Kuasa yang dengan kudrat dan iradat-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar
Sarjana program strata satu (S1), jurusan Pendidikan Agama Islam pada Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2014.
Untaian shalawat dan salam selalu tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang menjadi panutan kita semua, yang telah berjuang untuk
melaksanakan tugas kerasulannya dalam mengemban amanah dari Sang Rabbu
‘Izzati untuk mendidik umatnya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa.
Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa
penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan, motivasi
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis haturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya khususnya kepada:
1. Ibu Dra. Hj. Nurlena Rifa’i, MA. Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan.
2. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag selaku Kepala Jurusan Pendidikan
Agama Islam.
3. Ibu Hj. Marhamah Saleh, LC. MA selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan
Agama Islam.
4. Bapak Abdul Ghofur M.A selaku pembimbing skripsi yang senantiasa
membimbing, mengarahkan, dan memberikan motivasi kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Khalimi M.Ag selaku Dosen pembimbing akademik yang telah
membantu dan memberikan saran kepada penulis.
6. Seluruh Dosen dan Staff jurusan Pendidikan Agama Islam.

iii
7. K.H Bahrudin, S.Ag selaku guru/pengasuh Pondok Pesantren Daar El-
Hikam Ciputat Tangerang Selatan, yang telah banyak memberikan
ilmunya, motivasi, nasihat-nasihatnya serta dengan kesabarannya yang
luar biasa yang selalu mendidik hati ini agar selalu berada dalam jalan
rida-Nya sehingga penulis tidak pernah putus asa untuk menyelesaikan
skripsi ini.
8. Teristimewa untuk ibunda tersayang Hj. Atikah dan Almarhum ayahanda
tercinta Ahmad Hujjatul Islam yang selalu memberikan kasih sayang,
motivasi dan do’anya kepada penulis.
9. Saudara-saudariku tersayang Moch. Abdul Hadi, Moch. Badru Rifa’i,
Endah Rafika Kholilah yang selalu memberikan do’a dan motivasi kepada
penulis.
10. Keluarga besar LEMKA (Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an) yang selalu
memberikan motivasi dan menghibur penulis dalam penulisan ini.
11. Sahabat-sahabatku seperjuangan Nida Afifah Nur, Wiwin Sutianah,
Nurfitriani, Ratu Shodfatul Munifah, Eem Sulaemah, Teti resmiawati,
Suprapti dan yang lainnya, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu-
persatu tapi, tidak mengurangi rasa hormat penulis, yang senantiasa
mendoakan dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam
melakukan menyelesaikan skripsi ini.
12. Keluarga besar Pondok Pesantren Daar El-Hikam Ciputat Tangerang
Selatan, terima kasih atas kebersamaannya yang selama ini memberikan
bimbingan, do’a, dan motivasi kepada penulis.
13. Keluarga besar Jurusan Pendidikan Agama Islam kelas B angkatan
akademik 2010 yang selama ini bersama-sama menyelesaikan studi S1 di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
14. Keluarga besar Kelas Tafsir Hadits Jurusan Pendidikan Agama Islam yang
selama ini bersama-sama menyelesaikan studi S1 di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan dan

iv
pahala dari Allah swt. semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak. Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Jakarta, 09 Oktober 2014

Fikri Latipatul Huda

v
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ........................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 10
C. Pembatasan Masalah .............................................................. 10
D. Rumusan Masalah ................................................................... 10
E. Tujuan Penelitian ................................................................... 11
F. Manfaat Penelitian .................................................................. 11
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Keimanan ........................................... 12
B. Materi Pendidikan Keimanan .................................................. 17
C. Metode Pendidikan Keimanan ................................................ 28
D. Faktor Penunjang Pendidikan Keimanan ................................ 40
E. Kajian Relevansi ..................................................................... 45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................... 47
B. Metode Penulisan .................................................................... 47
C. Fokus Penelitian ...................................................................... 47
D. Prosedur Penelitian ................................................................ 47
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tafsir Surat al-An’am [6] : 74–79 ........................................... 52
1. Teks dan Terjemah Ayat ................................................... 52
2. Tafsir Mufradat Ayat ......................................................... 53
3. Tafsir Surat al-An’am [6] : 74–79 ..................................... 58

vi
B. Pendidikan Keimanan yang terkandung dalam surat al-An’am [6]
ayat 74-79 ................................................................................ 67
1. Tauhid Ulûhiyyah ............................................................. 68
a. Allah swt. satu-satunya sumber hidayah ..................... 70
b. Penghindaran dari segala bentuk kemusyrikan ............ 72
c. Ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt. .................. 75
2. Tauhid Rubûbiyyah .......................................................... 78
a. Meyakini Allah swt. sebagai satu-satunya Pencipta ....
...................................................................................... 80
b. Meyakini bahwa Allah swt. sebagai satu-satunya Pengatur
...................................................................................... 82
3. Tauhid Asmâ wa sifat ....................................................... 83
a. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat wujud ............... 85
b. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Qidam .............. 86
c. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Baqâ ................. 87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 89
B. Saran ........................................................................................ 90

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 91


LAMPIRAN

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Konsonan

Huruf Huruf Latin Huruf Huruf Latin


Arab Arab
‫ا‬ Tidak ‫ط‬ ţ
dilambangkan ‫ظ‬ ť
‫ث‬ ś ‫ع‬ ‘
‫ح‬ h ‫غ‬ g
‫خ‬ kh ‫ة‬ h
‫ذ‬ ż
‫ش‬ sy
‫ص‬ ş
‫ض‬ đ

2. Vokal
Tanda Huruf Latin
̶َ a Tanda dan Huruf Latin
̶ِ i
Huruf
ْ َ‫ى‬
‫ي‬ ai
u
ْ‫ىو‬
َ au

3. Mâdd (Panjang)
Harakat Huruf dan
dan Huruf Tanda
‫ىا‬ â
ْ‫ىِي‬ Î
ْ‫ىو‬
ُ û

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur‟an datang dengan membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka
menyadari jati diri dan hakikat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Juga agar
mereka tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga mereka tidak menduga
bahwa hidup mereka hanya dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan
kematian. Bisikan hati yang melahirkan keyakinan semacam itu, menjadikan
manusia berusaha memahami apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah swt.,
Tuhan Maha Pencipta itu.1
Fungsi utama al-Qur‟an sebagai hidayah (petunjuk) bagi manusia dalam
mengelola hidupnya di dunia secara baik dan merupakan rahmat untuk alam
semesta, disamping pembeda antara yang hak dan yang batil juga sebagai penjelas
terhadap segala sesuatu, akhlak, moralitas, dan etika-etika yang patut
dipraktekkan manusia dalam kehidupan mereka. Penerapan semua ajaran Tuhan
itu akan membawa dampak positif bagi manusia.2 Al-Qur‟an secara garis besar
berisi dua prinsip besar yaitu berhubungan dengan masalah keimanan yang
disebut akidah dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari‟ah. 3
Menurut Quraish Shihab, al-Qur‟an mempunyai tiga petunjuk pokok:
1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang
tersimpul dalam keimanan akan ke-Esaan Tuhan.
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-
norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam
kehidupannya secara individual dan kolektif.

1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, ( Bandung: Mizan, 1993), Cet. VII, h. 15
2
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani, (Ciputat: WNI Press, 2009), Cet. I, h. 203
3
Nur Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2013), Cet. I, h. 26

1
2

3. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar


hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan
sesamanya.4
Di dalam al-Qur‟an terdapat banyak sekali ayat-ayat yang mengemukakan
prinsip-prinsip pendidikan ini. Karena itu umat Islam harus pandai-pandai
mengambil ayat tersebut untuk dijadikan landasan pelaksanaan pendidikan bagi
anak-anak atau generasi muda.5
Pendidikan Islam mempunyai fungsi yang bermacam-macam antara lain
yaitu menumbuhkan dan memelihara keimanan. Sebagaimana telah kita ketahui
bersama setiap anak lahir di dunia ini telah dibekali pembawaan “beragama
tauhid”. 6 Oleh karena itu, pendidikan keimanan menempati urutan pertama dalam
pendidikan Islam. Sebagaimana dalam Q.S. Luqman : 13

               
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".
Ayat diatas merupakan nasihat pertama kali yang disampaikan oleh
Luqman kepada putranya, ini menunjukkan bahwa pendidikan yang pertama kali
dilakukan ialah pembentukan keyakinan kepada Allah swt. yaitu pendidikan
keimanan sehingga dengan keimanan ini akan berpengaruh terhadap sikap dan
kepribadian anak.7
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan iman ialah mengikat anak
dengan dasar-dasar Iman, rukun Islam dan dasar-dasar Syari‟at, sejak anak mulai
mengerti dan dapat memahami sesuatu. Kewajiban para pendidik adalah
menumbuhkan anak atas dasar pemahaman dan dasar-dasar pendidikan iman dan
ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga anak akan terikat dengan
Islam, baik akidah maupun ibadah, di samping penerapan metode maupun
peraturan. Setelah anak mendapatkan petunjuk dan pendidikan tentang keimanan

4
M. Quraish Shihab, op.cit., h. 40
5
Nur Uhbiyati, op. cit., h. 27
6
Ibid., h. 22
7
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. V, h. 156
3

ini, ia hanya akan mengenal Islam sebagai din-nya, al-Qur‟an sebagai Imamnya
dan Rasulullah saw. sebagai pemimpin dan keteladanan.8
Iman merupakan fondasi yang digunakan Islam dalam membangun pribadi
muslim, sebab iman merupakan unsur paling mendasar yang menjadi penggerak
emosinya dan pengarah segala keinginannnya. Seandainya unsur iman benar-
benar dominan dalam jiwa manusia, maka pastilah seseorang akan istiqâmah. Ia
senantiasa menempuh jalan yang hak, mampu mengendalikan kelakuannya, serta
mengetahui mana yang positif dan mana yang negatif. Inilah yang dituntut Islam
dari kita.9 Iman juga memberikan api kekuatan yang besar dalam tekad,
keberanian, kesabaran, ketabahan dan tawakal. Oleh karena itu orang beriman
akan sanggup menghadapi tugas-tugas berat dan meninggalkan kesenangan di
dunia ini. Semua itu ia lakukan semata-mata mencari keridaan-Nya.10 Keimanan
dalam ajaran Islam merupakan pokok (ushul) yang dari padanya ke luar cabang-
cabang ajaran Islam. Keimanan akan melahirkan perbuatan yang baik (amal-
shalih) yang merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.11
Membicarakan keimanan berarti membicarakan persoalan akidah dalam
Islam. Pengertian akidah (aqidah dalam bahasa Arab) secara etimologi adalah
ikatan dan/atau sangkutan. Akidah dalam pengertian terminologi adalah iman,
keyakinan yang menjadi pegangan hidup bagi setiap pemeluk agama Islam. Oleh
karena itu, akidah selalu ditautkan dengan rukun iman atau arkân al-iman yang
merupakan asas bagi ajaran Islam. Islam adalah agama tauhid. Perkataan tauhid
erat hubungannya dengan kata wahid (satu tau esa) dalam bahasa Arab. Sebagai
istilah yang dipergunakan dalam membahas ketuhanan (segala sesuatu mengenai

8
Abdullah Naşih „Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid I, (Semarang:
CV. Asy-Syifa, 1981), Cet. III, h. 151
9
Abdurrahman Hasan Habanakah Al-Maidani, Pokok-Pokok Akidah Islam, Terj. dari Al-
Aqidah Al-Islamiyah wa Ususuha oleh A. M. Basalamah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Cet. II, h.
34
10
Sayyid Naimullah, Keajaiban Aqidah; Jalan Terang Menuju Islam Kaffah, (Jakarta:
Lintas Pustaka Publisher, 2004), Cet. I, h. 37
11
Hamzah Ya‟qub, Ilmu Ma‟rifah; Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin, (Jakarta:
CV. Atisa, 1988), Cet. III, h. 36
4

Tuhan). Tauhid adalah keyakinan akan keesaan Tuhan yang dalam ajaran Islam
disebut Allah. Allah adalah penamaan khusus Islam pada Tuhannya.12
Inti penting dari keimanan itu adalah tauhid kepada Allah swt. Jika
diinginkan adanya konsistensi, maka dalam membahas segala sesuatu yang
berkaitan dengan pendidikan Islam, kita tidak mungkin melakukannya tanpa
melihat hubungannya dengan tauhid atau faham Ketuhanan Yang Maha Esa.
Seperti diketahui, sebagaimana ungkapan Nurcholish Madjid, bahwa tauhid
adalah pondasi atau asas bagi semua bangunan Islam, bahkan seharusnya fondasi
bagi semua bangunan kemanusiaan yang benar. Tauhid adalah bagian paling inti
ajaran Islam.13
Keimanan yang berlandaskan tauhid ulûhiyyah, rubûbiyyah, maupun
tauhid asma‟ dan sifat, dapat memperkokoh diri untuk beramal saleh dan tetap
dalam keadaan ketakwaan. Iman dengan pemaknaan tauhid ulûhiyyah
memberikan pemahaman yang benar terhadap Allah swt. bahwasannya Dia saja
yang berhak disembah, ditaati, dan manusia tidak dibenarkan berlaku syirik
kepada-Nya. Sesungguhnya Allah swt. tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah
maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.14
Dalam kehidupan, kalimat tauhid Lâ ilâha illâllah akan senantiasa
memberikan kesan yang kuat kepada umat manusia, seperti yang dikatakan oleh
Abdul A‟la Maududi. Abdul A‟la Maududi mengatakan bahwa orang mukmin
yang mengimani kalimat tauhid, wawasan pikirannya akan luas karena ia
meyakini rubûbiyyah Allah sebagai zat yang menciptakan langit dan bumi sebagai
penguasa alam semesta, sebagai pemilik barat dan timur. Bahkan Dialah yang
memberi rezeki dan mengatur manusia. Iman kepada kalimat tauhid akan
melahirkan rasa percaya pada diri dan kebesaran jiwanya. Ia yakin bahwa tak ada

12
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), Cet. IV, h.
2
13
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
Cet. I, h. 78
14
Khairunnas Rajab, Psikologi Ibadah; Memakmurkan Kerajaan Ilahi di Hati Manusia,
(Jakarta: Amzah, 2011), Cet. 1, h.125-126
5

yang dapat mengalanginya, selain Allah swt. Hanya Dialah yang boleh memberi
manfaat dan mudarat. Dialah yang mematikan dan menghidupkan dan Dia jugalah
pemilik segala hukum, kekuasaan dan kedaulatan. Orang yang mengimani kalimat
tauhid akan memahami dengan sepenuh hatinya bahwa jalan menuju keselamatan
dan kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan kebersihan jiwa dan amal soleh. Ia
beranggapan begini karena ia beriman kepada Zat Yang Maha Kaya dan Maha
Adil. Hanya Dialah tempat bergantung.15
Dari uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwasannya al-
Qur‟an merupakan pedoman bagi kehidupan manusia yang di dalamnya terdapat
ajaran-ajaran yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai hamba Allah swt.
Diantara isi dari ajaran al-Qur‟an yang paling utama yaitu masalah keimanan.
Keimanan ini penting dimiliki oleh setiap manusia, karena dengan keimanan ini
seseorang akan menyadari perannya sebagai hamba Allah swt. dengan meyakini
bahwa hanya Allah swt. adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan
menyadari bahwa tidak ada Tuhan yang mampu menciptakan alam semesta ini
kecuali Allah swt. Sehingga dengan adanya keyakinan itu, menjadikan manusia
menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri kepada Allah swt sehingga ia akan
melaksanakan segala perintah-perintah Allah swt. tanpa sedikitpun adanya
keraguan di dalam dirinya.
Manusia dilahirkan dengan membawa fitrah-fitrah tertentu. Al-Qur‟an
mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa
hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.16
Demikian difahami dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30.

                 

       


“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah

15
Sayyid Naimullah, op. cit., h. 36
16
M. Qurasih Shihab, Wawasan al-Qur‟an; Tafsir Mauđu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. V, h. 15
6

itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. “
Dalam ayat lain dikemukakan, pada Q.S. al-A‟raf : 172

               

             
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Disamping itu, terdapat beberapa sabda Nabi saw. tentang fitrah dengan
beberapa riwayat dari para sahabat yang berbeda pula muatannya. Sebuah sabda
Nabi saw. yang populer, yang banyak disitir oleh para ulama antara lain sebagai
berikut:
‫ َكمَا تُىْتَجُ البٍَِيمَ ُت‬،ًِِ‫ّجسَاو‬
ِ َ‫ أََْ ُيم‬،ًِِ‫ّصرَاو‬
ِ َ‫ ََيُى‬،ًِِ‫ فَأَبََُايُ يٍَُُِدَاو‬،ِ‫طرَة‬ ْ ‫علَى ال ِف‬ َ ُ‫مَا مِهْ مَ ُْلُُدٍ ِإلَا يُُلَذ‬
ًَِ‫طرَةَ الل‬ ْ ‫ { ِف‬:ًُْ‫ ٌَلْ تُحِسُُنَ فِيٍَا مِهْ جَذْعَاءَ» ثُّمَ يَقُُلُ أَبُُ ٌُرَ ْيرَةَ رَضِيَ اللًَُ عَى‬،َ‫ج ْمعَاء‬ َ ً‫َبٍِيمَت‬
}ُ‫ك الذِيهُ القَيِّم‬
َ ِ‫خ ْلقِ اللَ ًِ َرل‬
َ ِ‫س عَلَ ْيٍَا الَ تَبْذِيلَ ل‬
َ ‫ط َر الىَا‬ َ ‫الَتِي َف‬
“Tiada seorang bayi pun melainkan dilahirkan dalam fitrah yang bersih.
Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi
sebagaimana binatang melahirkan binatang kesekuruhannya. Apakah
kalian mengetahui di dalamnya ada binatang yang rumpung hidungnya?
Kemudian Abu Hurairah membaca ayat dari surat ar-Rum: 30 ini. „...
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut futrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus.”(H.R.
Bukhari)17
Fitrah yang disebutkan pada dalil-dalil di atas mengandung implikasi
kependidikan yang berkonotasi kepada faham nativisme. Oleh karena itu, kata
fitrah mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar
beragama yang benar dan lurus (ad-din al-qayyim) yaitu Islam.18 Fitrah
merupakan modal dasar seorang bayi untuk menerima agama tauhid. Dengan
demikian, orang tua dan pendidik berkewajiban melakukan dua langkah berikut :

17
Muhammad bin Isma‟il Abu „Abdullah al-Bukhari, Şahih al-Bukhari, Juz II, (tt.p., Dâr
an-Najah, 2001), Cet. I, h. 95
18
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), Cet. IV, h. 42-43
7

Pertama, membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat Allah.


Kedua, membiasakan anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang
kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri anak.19
Dari beberapa dalil di atas dapat kita fahami, bahwa setiap manusia yang
dilahirkan memiliki fitrah untuk bertauhid kepada Allah swt., oleh karena itu
pendidikan keimanan berfungsi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh
peserta yaitu berupa fitrah akan mengakui adanya Allah swt. agar dengan adanya
pendidikan keimanan ini dapat tertanam kepada anak didik akan dasar-dasar
keimanan, rukun Islam dan dasar-dasar syari‟at. Sehingga dengan tertanamnya
akan dasar-dasar keimanan kepada anak didik dapat menempatkan hubungan
antara hamba dengan khaliknya menjadi bermakna dan dapat melahirkan pada diri
peserta didik keimanan yang kuat.
Fitrah ada kalanya tertutup atau hilang oleh sebab-sebab tertentu. Oleh
karena itu, fitrah menghendaki pengembangan. Begitu pula dengan keadaan
fitrah-fitrah yang lain, seperti dengan fitrah beragama.20
Zaman yang kita hadapi sekarang ini jauh lebih beragam, baik dari segi
budaya, fikrahnya, maupun ideologinya. Semua itu akan mengancam kelestarian
hidup yang serasi dan sesuai dengan konsep Ilâhiyah. Mempertahankan iman
adalah perjuangan, demikian pula dalam bersabar. Semua itu merupakan
perjuangan yang panjang dan tak kunjung habis.21
Tidak sedikit ditemukan dalam kehidupan manusia dewasa ini yaitu krisis
keimanan dengan sebab yang beraneka ragam yang salah satu diantaranya yaitu
sedikitnya orang-orang yang menyerukan agar mentauhidkan Allah swt. dalam
melakukan ibadah dan ketaatan-Nya. Padahal telah diberitakan di dalam al-Qur‟an
bahwasannya Allah swt. adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan
satu-satunya Tuhan yang menciptakan seluruh makhluk yang ada di langit
maupun di bumi. Keenganan manusia untuk mengetahui hukum-hukum agama

19
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 145
20
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011), Cet. II, h. 55
21
Sayyid Naimullah, op. cit., h. 91
8

karena kesibukannya dalam mengurusi urusan dunia, mengikuti hawa nafsunya


dan merebaknya kebodohan ini dalam mengetahui agama yang benar. Adapun
sebab yang paling meresahkan adalah kurangnya pengetahuan yang menimpa
manusia khususnya umat islam yang mendorongnya untuk bersikap ekstrem
dalam memahami hak Pencipta atas mereka sehingga menjerumuskan mereka ke
dalam berbagai pertentangan yang menafikan tauhid ulūhiyyah secara keseluruhan
atau menafikan sebagian rincian dari tauhid ini. Selain itu, tidak sedikit umat
islam yang lebih percaya kepada para paranormal, mereka mendatangi para
paranormal itu untuk mengetahui tentang nasibnya, mereka lupa bahwasannya
Allah satu-satunya Tuhan yang telah mengatur seluruh alam semesta ini dan
Allah telah menentukkan perjalanan hidup makhluknya. Sehingga dengan semua
ini dapat mengotori fitrah yang telah Allah swt. berikan kepada makhluknya.
Oleh karena itu pendidikan keimanan sangat penting, karena dalam
pendidikan keimanan ini seseorang akan dididik akan nila-nilai ketuhanan,
sehingga dengan tertanamnya nilai-nilai ketuhanan dalam diri seseorang akan
menyadari akan keberadaannya di dunia ini dan menyadari bahwa semua yang
terjadi itu tidak terlepas dari kehendak-Nya.
Islam datang untuk menghapuskan sesembahan manusia atas manusia,
pengabdian yang menyesatkan dan menghapus semua aturan yang berasaskan dari
penolakan terhadap prinsip islam. Islam datang untuk menaklukan kesesatan yang
dilakukan oleh umat manusia yang mengabdi kepada hawa nafsunya. 22 Al-Qur‟an
datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan membawa ajaran tauhid.23
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa para Nabi merupakan amanat
wahyu, pengemban amanah dan pembela tauhid. Mereka diberi amanat untuk
mendidik kaumnya. Salah satu amanat yang paling utama ialah mengajak
kaumnya untuk beriman kepada Allah swt. dengan upaya menanamkan keyakinan
akan adanya Allah swt. Adapun untuk membuktikan akan adanya Allah swt. dapat

22
Ibid., h. 8
23
M. Qurasih Shihab, op. cit., h. 14
9

dibuktikan dengan beberapa argumentasi; Pertama, Fitrah yang bersih, kedua akal
yang sehat dan yang ketiga dengan panca indera.24
Di dalam al-Qur‟an banyak sekali ayat-ayat yang membahas tentang
pendidikan keimanan, salah satu ayat yang membahas tentang pendidikan
keimanan yaitu surat al-An‟am ayat 74-79. Surat al-An‟am berarti surat yang
dinamai “Binatang Ternak”, adalah surat 6 dalam susunan mushaf. Dia diturunkan
di Makkah. Abu Ishaq al-Asfaraini berkata: “Sesungguhnya di dalam surat al-
An‟am terdapat tiang-tiang pokok Akidah Tauhid.” Dan beliau berkata
selanjutnya: “Penyususnan ini dan keletakan surat ditempatnya yang sekarang,
sesudah surat al-Maidah adalah tepat benar. Sebab akhir surat dari surat al-Maidah
adalah pembatalan kepercayaan Nasrani yang mengatakan bahwa Isa al-Masih
anak Allah atau Allah sendiri, yang telah ditegur dengan keras dan dijelaskan
bahwa kepercayaan itu kufur adanya dan sangat kacau.25
Di dalam surat ini dijelaskan bagaimana sikap Nabi Ibrâhîm as. dalam
mengajarkan akan pendidikan keimanan kepada kaum dan ayahnya yang
menyembah berhala. Kemudian Allah swt. memperlihatkan kepada Nabi Ibrâhîm
as. akan kekuasaan-Nya Yang Maha Agung segala yang ada di langit dan dibumi,
dengan adanya ciptaan Allah swt. tersebut dapat dijadikan pelantara untuk
memperteguh keimanannya. Oleh karena itu, di dalam Q.S. al-An‟am ini
dijelaskan bagaimana cara Nabi Ibrâhîm as. dalam mengajarkan kepada kaumnya
agar bertauhid kepada Allah swt. yang menurut penulis ini sangat penting
dijadikan sebagai rujukan dengan mencontoh kepada Nabi Ibrâhîm as. dalam
mendidik kaumnya.
Mengingat betapa pentingnya pendidikan keimanan yang harus dimiliki
oleh setiap muslim khususnya, tentunya yang berlandaskan pada al-Qur‟an, ini
sangat penting dan perlu digali lebih dalam untuk dijadikan rujukan dan pedoman
bagi kehidupan umat muslim agar memperkokoh keimanan setiap muslim.

24
Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Buku Pintar Akidah; Panduan Praktis Memamahami
Akidah, Terj. dari Al-Mukhtaşar fiel „Aqidah oleh Ibnu Syarqi, (Klaten: Wafa Press, 2012), Cet. I,
h. 97
25
Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), h.
106
10

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penulis mengangkat


permasalahan tersebut dan dituangkannya dalam skripsi dengan judul ”
Pendidikan Keimanan (Kajian Tafsir Surat Al-An’am ayat 74-79)”.
B. Masalah Penelitian
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasi
beberapa masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan
ini yaitu:
a. Banyak masyarakat muslim yang belum faham akan pendidikan keimanan
yang terkandung dalam al-Qur‟an
b. Sedikit pengetahuan masyarakat muslim akan pentingnya pendidikan
keimanan
c. Sedikit masyarakat muslim dalam menerapkan pendidikan keimanan
d. Sedikit rasa tanggung jawab masyarakat dalam menyerukan untuk
bertauhid kepada Allah swt.
2. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, untuk memperjelas dan memberi arah
yang tepat dalam pembahasan skripsi ini, maka penulis batasi pembahasannya
pada masalah tentang banyak masyarakat muslim yang belum faham akan
pendidikan keimanan yang terkandung dalam al-Qur‟an, yang dibatasi pada:
a. Ayat al-Qur‟an yang akan dibahas pada skripsi ini hanya pada Q.S. al-
An‟am ayat 74-79 yang membahas pendidikan keimanan.
b. Maksud pendidikan keimanan disini adalah keimanan kepada Allah swt.
yang inti dari iman ini adalah tauhid.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan
masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu :
a. Bagaimana tafsir Q.S. Al-An‟am ayat 74-79 menurut para mufassir?
b. Apa sajakah pendidikan keimanan yang terdapat di dalam Q.S al-An‟am
ayat 74-79?
11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui penafsiran Q.S. Al-An‟am ayat 74-79 menurut para
mufassir.
b. Untuk mengetahui pendidikan keimanan yang terdapat pada Q.S. Al-
An‟am ayat 74-79.
2. Manfaat Penelitian
a. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis.
b. Dapat mempelajari dan memahami al-Qur‟an sebagai petunjuk dan
pedoman hidup manusia agar ajarannya dapat direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Dapat memberikan konstribusi dalam penulisan khususnya dalam dunia
pendidikan islam.
d. Penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindaklanjuti oleh
penulis berikutnya.
BAB II

TEORI PENDIDIKAN KEIMANAN

A. Pengertian Pendidikan Keimanan


Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” yang diberi awalan “pe” dan
akhiran “kan”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah
pendidikan ini semula berasal dari Bahasa Yunani yaitu “Paedagogie”, yang
berarti bimbingan yang diberikan kepada anak.1 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia pendidikan ialah “Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran.”2
Sedangkan menurut pendapat para ahli mengenai pengertian pendidikan
adalah sebagai berikut:
Menurut Ahmad Tafsir “Pendidikan adalah usaha meningkatkan diri dalam
segala aspeknya. Definisi ini mencakup kegiatan pendidikan yang melibatkan
guru maupun yang tidak melibatkan guru (pendidik); mencakup pendidikan
formal, maupun nonformal serta informal. Segi yang dibina oleh pendidikan
dalam definisi ini adalah seluruh aspek kepribadian”.3
Pengertian pendidikan menurut Armai Arief yaitu pendidikan merupakan
usaha yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam rangka untuk
membimbing perkembangan rohani dan jasmaninya menuju ke arah kedewasaan
sehingga dengan adanya bimbingan ini dapat menjadikan anak menjadi manusia
yang berguna baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk hidup dalam masyarakat. 4

Menurut Zuhairin dkk, berpendapat bahwa “Pendidikan dalam pengertian


luas adalah “meliputi semua perbuatan atau semua usaha dari generasi tua

1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 13
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet.
III, h. 263
3
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), Cet. IX, h. 6
4
Armai Arief, Refolmulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Crsd Press, 2005), Cet. I, h. 17

12
13

untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya,


kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha
untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik
jasmaniah maupun rohaniah. Di samping itu pendidikan sering juga
diartikan sebagai suatu usaha-usaha manusia untuk membimbing anak yang
belum dewasa ke tingkat kedewasaan, dalam arti sadar dan mampu memikul
tanggub jawab atas segala perbuatannya dan dapat berdiri di atas kaki
sendiri.”5

Muzayyin Arifin memandang bahwa “Pendidikan merupakan upaya dalam


membina dan mengembangkan pribadi manusia, dari aspek rohani maupun
jasmani yang dilakukan secara bertahap.”6

Sementara dalam pendapat A. Fatah Yasin pendidikan merupakan kegiatan


yang di dalamnya terdapat: 1). Proses pemberian layanan untuk menuntun
perkembangan peserta didik, 2). Proses untuk mengeluarkan atau
menumbuhkan potensi yang terpendam dalam diri peserta didik, 3). Proses
memberikan sesuatu kepada peserta didik sehingga tumbuh menjadi besar,
baik fisik maupun non-fisiknya, 4). Proses penanaman moral atau proses
pembentukan sikap, perilaku dan melatih kecerdasan intelektual peserta
didik.7
Rois Mahfud mendefinisikan, “Pendidikan merupakan upaya transformasi
pengetahuan dalam diri individu agar dia tidak hanya memiliki kreativitas, tetapi
juga memiliki kesadaran ketuhanan (Transendental).”8
“Pendidikan, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003 merupakan usaha sadar dan
terencana melalui proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat
mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spritiual keagamaan,
pengendalian diri, kerpibadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”9
Adapun definisi pendidikan menurut D. Marimba, yang dikutip oleh Nur
Uhbiyati dalam bukunya Dasar-dasar ilmu pendidikan Islam, bahwa:

5
Zuhairini, dkk, op. cit., h. 92
6
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), Cet. V,
h. 12
7
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN-Malang Press,
2008), Cet. I, h. 16
8
Rois Mahfud, Al-Islam; Pendidikan Agama Islam, (Palangka Raya: Erlangga, 2011), h.
144
9
Ibid., h. 148
14

Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum


agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau
menyatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah yaitu kepribadian
yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta
berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan
nilai-nilai Islam.10
Dari beberapa pengertian pendidikan di atas penulis menarik kesimpulan
bahwasannya pengertian pendidikan adalah suatu usaha sadar yang dilakukan
oleh pendidik kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam
membimbing perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar peserta didik
memiliki kesadaran akan Tuhannya.
Adapun mengenai istilah keimanan, keimanan berasal dari kata iman yang
diberi imbuhan “ke – an” yang memiliki arti keyakinan, ketetapan hati dan

keteguhan hati.11 Iman berasal dari Bahasa Arab, yaitu: artinya aman,

tentram, artinya mempercayai, mempercayai.12

Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah,


iman adalah:

“Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan


dengan anggota badan.”13

Adapun definisi iman menurut para ahli adalah sebagai berikut:

M. Saberanity mendefinisikan bahwa iman adalah:

“Yaitu membenarkan segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah yang


bersumber dari Allah SWT.”14
10
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013), Cet.
I, h. 16
11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. IV, h. 526
12
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), Cet. XIV, h. 41
13
Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid, (Jakarta: Darul Haq, 1998), h. 2
15

Sayid Sabiq memberikan pengertian iman sebagai berikut: Pengertian


keimanan atau akidah itu tersusun dari enam perkara, yaitu:

1. Makrifah kepada Allah, makrifat dengan nama-nama-Nya yang mulia dan


sifat-sifat-Nya yang tinggi. Juga makrifat dengan bukti-bukti wujud atau ada-
Nya serta kenyataan sifat keagungan-Nya dalam alam semesta atau di dunia
ini.
2. Makrifat dengan alam yang ada di balik alam semesta ini yakni alam yang
tidak dapat dilihat. Demikian pula kekuatan-kekuatan kebaikan yang
terkandung di dalamnya yakni yang berbentuk malaikat, juga kekuatan-
kekuatan jahat yang berbentuk iblis dan sekalian tentaranya dari golongan
syetan. Selain itu juga makrifat dengan apa yang ada di dalam alam yang lain
lagi seperti jin dan ruh.
3. Makrifat dengan kitab-kitab Allah yang diturunkan oleh-Nya kepada para
Rasul. Kepentingannya ialah dijadikan sebagai batas untuk mengetahui antara
yang hak dan yang batil, baik dan jelek, halal dan haram, juga antara yang
bagus dan yang buruk.
4. Makrifat dengan Nabi-Nabi serta Rasul-rasul Allah Ta‟ala yang dipilih oleh-
Nya. Untuk menjadi pembimbing kearah petunjuk serta pemimpin seluruh
mahluk guna menuju arah yang lebih baik.
5. Makrifat dengan hari akhir dan peristiwa-peristiwa yang terjadi disaat itu
seperti hari kebangkitan dari kubur (hidup lagi sesudah mati), memperoleh
balasan, pahala atau siksa, surga atau neraka.
6. Makrifat kepada takdir (qađa dan qadar) yang di atas landasan itulah
berjalannya peraturan segala yang ada di alam semesta ini, baik dalam
penciptaan atau cara mengaturnya.”15
Iman menurut Mawardi Labay yaitu mempercayai akan ke-Esaan Allah
swt dengan segala sifat-sifat-Nya yang sempurna, iman bukanlah sekedar percaya
saja, melainkan juga harus dibuktikan dengan amal perbuatan nyata. 16

Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Iman dan Kehidupan” mengatakan


bahwa: “Iman menurut pengertian yang sesungguhnya ialah kepercayaan yang
meresap ke dalam hati dengan penuh keyakinan tanpa dicampuri oleh syak dan

14
M. Saberanity, Keimanan Ilmu Tauhid, (Tangerang: Lekdis Nusantara, 2006), Cet. II, h.
2
15
Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung: Diponegoro, 2010), Cet. XVIII, h. 16
16
Mawardi Labay El-Sulthani, Zikir dan Do‟a; Iman Pengaman Dunia, (Jakarta: Al-
Mawardi Priman, 2000), h. 35
16

keraguan, serta memberi pengaruh terhadap pandangan hidup, tingkah laku dan
perbuatan sehari-hari.”17

Abdullah Nashih „Ulwan mendefinisikan bahwa iman ialah keyakinan


seorang mu‟min akan kekuasaan Allah swt. yang memiliki wewenang terhadap
kehidupan dan kematian seseorang, begitu pula meyakini akan kehendak Allah
swt. terhadap segala yang terjadi pada diri seorang hamba.18

Menurut Abu Ishaq Ibrâhîm az-Zujaj yang dikutip oleh Moh. Rowi Latif
bahwa iman yaitu meyakini dan mempercayai dengan sepenuh hati terhadap
syari‟at yang didatangkan oleh Nabi Muhammad saw. yang diwujudkan dalam
bentuk ketaatan serta penerimaan segala hal yang didatangkan dari Nabi saw.
Selain itu, iman merupakan keyakinan yang tidak dicampuri sedikit pun oleh
keraguan dengan melaksanakan segala yang diwajibkan atas dirinya. 19

Begitu pula definisi tentang iman, Imam Ibnu Qayyim berpendapat yang
dikutip oleh Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma‟asy, bahwa hakikat iman
adalah sesuatu yang terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua
macam: Perkataan hati yaitu keyakinan dan perkataan lisan yaitu menyatakan
keislaman. Perbuatan juga ada dua macam: Perbuatan hati yaitu niat dan
keikhlasan, dan perbuatan anggota badan. Jika keempat unsur ini hilang, maka
hilanglah kesempurnaan iman. Jika hilang pengakuan di dalam hati, maka
hilanglah manfaat unsur-unsur yang lainnya.20

17
Yusuf Al Qardhawi, Iman dan Kehidupan, Terj. dari Al-Iman wal Hayat oleh
Fachruddin HS, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. III, h. 3
18
Abdullah Nashih „Ulwan, Saat Mu‟min Merasakan Kelezatan Iman, (Jakarta: Robbani
Press, 1992), Cet. I, h. 1
19
Moh. Rowi Latif, Bagaimana Anda Menjadi Orang Mu‟min, (Surabaya: PT. Bungkul
Indah, 1995), Cet. I, h. 13
20
Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma‟asy, Mengupas Kebodohan, Terj. dari Al Jahl
bi Masail Al I‟tiqad wa Hukmuhu oleh Asep Saefullah dan Kamaluddi Sa‟diyatul Haramain,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), Cet. I, h. 28
17

Sementara menurut Sayyid Nursi iman adalah kekuatan. Manusia yang


menggapai iman hakiki bisa menghadapi alam wujud dan membebaskan diri dari
himpitan-himpitan peristiwa dengan bersandar pada kekuatan imannya.21

Dari berbagai definisi iman di atas, penulis mengambil kesimpulan


bahwasannya iman adalah keyakinan dengan membenarkan segala yang
didatangkan oleh Allah berupa keyakinan kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitabnya,
para Rasul, iman kepada hari akhir serta iman kepada qađa dan qadarnya Allah
yang dibuktikan dengan perbuatan sehingga keimanan ini dapat mempengaruhi
tingkah laku seseorang yang menjadikannya hamba yang taat kepada Allah swt.
dan meyakini akan keberadaan-Nya dengan melaksanakan ibadah secara tulus dan
ikhlas kepada Allah swt.

Sehingga dapat didefinisikan bahwa pendidikan keimanan merupakan


usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didiknya dengan tujuan
agar peserta didik memiliki kesadaran akan Tuhannya dengan menanamkan
keyakinan akan rukun iman yang enam yaitu beriman kepada Allah, Malaikat,
Kitab-kitab, Hari kiamat serta qađa dan qadar-Nya. Selain itu pendidikan
keimanan berfungsi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta
didik yaitu potensi mengakui akan adanya Allah swt. sehingga dengan
tertanamnya keimanan ini menjadikan peserta didik menjadi hamba yang taqwa
dan taat kepada Allah swt.

B. Materi Pendidikan Keimanan

Untuk bisa mencapai tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang


diharapkan, maka tentu saja materi yang akan disajikan atau yang
diperbincangkan sebagai bahan kajian adalah materi-materi yang diambil dari

21
Badi‟uzzaman Sa‟id Nursi, Iman Kunci Kesempurnaan, Terj. dari Al-Iman wa
Takamulul-Insan oleh Muhammad Misbah, (Jakarta: Robbani Press, 2004), Cet. I, h. 12
18

sumber ajaran Islam.22 Oleh karena itu, materi sangat penting dalam pendidikan
Islam karena materi merupakan salah satu komponen dalam pendidikan Islam.

Menurut Ahmad Tafsir, materi Pendidikan Islam pada masa Rasulullah


adalah menyangkut: Pendidikan keimanan, Ibadah, Akhlak, ekonomi dan dasar
politik termasuk musyawarah.23

Sementara menurut Hasan al-Bana yang dikutip oleh A. Fatah Yasin,


bahwasannya secara rinci materi pendidikan islam itu meliputi:

1) Akidah; materi ini dianggap sebagai materi utama dalam pendidikan islam,
yang dapat menjadi motor penggerak jiwa manusia untuk menjalankan
amalan lainnya.
2) Ibadah; materi ini merupakan tema sentral dalam al-Qur‟an dan harus
dipelajari untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
3) Akhlak; materi ini sebagai upaya membentengi manusia/peserta didik dari
dekadensi moral manusia dalam kehidupan sehari-hari.
4) Jihad; materi ini diwajibkan sebagai sarana untuk memperjuangkan Islam
dalam pengaruh imperialisme Barat, disamping itu jihad dalam arti luas
adalah termasuk melawan hawa nafsu dan melawan setan.
5) Jasmani; materi ini untuk menumbuhkan kesehatan badan atau fisik
manusia/peserta didik, karena aspek kesehatan fisik sangat berpengaru
terhadap jiwa dan akal.24

Dari uraian di atas dapat difahami bahwasannya materi pendidikan Islam


mencakup berbagai aspek, baik sifatnya duniawi maupun ukhrawi. Adapun inti
materi pendidikan keimanan adalah tauhid, yang dibagi menjadi tauhid ulûhiyyah,
tauhid rubûbiyyah dan tauhid asmâ wa sifat.

Tauhid berasal dari kata wahhada ( ُ‫ )وَحَّ َده‬berarti meng-Esakan atau tidak
berbilang. Dalam pengertian secara syar‟i (agama) tauhid adalah meniadakan
persamaan terhadap dzat Allah, sifat-sifat, perbuatan, sekutu dan ketuhanan-Nya

22
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 120
23
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2010), Cet. IX, h. 58
24
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 124
19

maupun ibadah-Nya.25 Sebagaimana firman Allah swt. yang menghilangkan


persamaan dengan-Nya dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4.

                

 
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan. 4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Selain itu, tauhid memiliki makna meyakini ke-Esaan Allah swt. dalam
Rubûbiyyah, Ikhlas beribadah kepada-Nya, serta menetapkan bagi-Nya nama-
nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam: Tauhid
Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah serta tauhid Asmâ` wa Sifat.26

1. Tauhid Uluhiyyah
Makna secara ijmali (global) dari tauhid ini adalah Pengi‟tikadan diri
secara bulat-bulat bahwa Allah swt. adalah ilâhul Haqq (yang berhak diibadahi)
dan tidak ada ilâhul Haqq selain-Nya.27 Sebagai hambanya kita harus meyakini
sesungguhnya hanya Allah swt. adalah Tuhan yang patut untuk disembah dan
tidak ada lagi tuhan yang wajib disembah kecuali Allah swt. Tauhid ini adalah
inti dari dakwah para rasul saw., karena ia adalah asas dan pondasi tempat
dibangunnya seluruh amal.28 Rasul merupakan para utusan Allah swt. yang
diberikan amanat kepadanya untuk mengajarkan kaumnya yaitu berupa ajaran
untuk bertauhid kepada-Nya merupakan ajaran yang paling utama karena tauhid
ini merupakan esensi dari iman kepada Allah swt. Pada hakekatnya jenis tauhid

25
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi , Aqidah Seorang Mukmin, Terj. dari Aqîdatul
Mukmin oleh Salim Bazemool, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1994), Cet. I, h. 81
26
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid, jilid I Terj. dari At-Tauhid Liş Şaffil
Awwal al-Ali oleh Agus Hasan Bashori, (Jakarta: Darul Haq, 2011), Cet. I, h. 19
27
Muhammad Na‟im Yasin, Iman: Rukun, Hakikat dan yang membatalkannya, Terj. dari
Al-Iiman, Arkaanuhu, Haqiqatuhu, Nawaqidhuhu oleh Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1992), Cet. V, h. 24
28
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Op. Cit., h. 53
20

ulûhiyyah ini menghimpun seluruh tauhid jenis lainnya. Menghimpun tauhid


rubûbiyyah, begitu juga dengan tauhid asmâ` dan sifat-sifat-Nya.29
Mengimani atau mempercayai ulûhiyah Allah swt. adalah dengan cara
meng-Esakan Allah swt. dengan perbuatan para hamba yang dilandasi oleh niat
yang ikhlas untuk mendekatkan diri kepada-Nya sesuai dengan apa yang telah
disyari‟atkan. Dalam bahasa yang sangat sederhana dapat dikatakan bahwa
mengimani ulûhiyah Allah swt. adalah menjadikan Allah swt. sebagai sasaran
(tujuan) tunggal dalam menjalankan berbagai aktifitas ubûdiyyah.30 Oleh karena
segala bentuk ibadah yang kita lakukan harus dilandasi dengan niat semata-mata
karena Allah swt. dan tidak sedikit pun dikotori oleh niat yang lain.
Dari uraian di atas dapat difahami bahwasannya tauhid ulûhiyah ini
merupakan keyakinan bahwa Allah swt. adalah satu-satunya Tuhan yang wajib
disembah dan tidak ada sekutu baginya. Tauhid ulûhiyah ini merupakan inti dari
tauhid yang lainnya yaitu tauhid rubûbiyyah serta tauhid asmâ` wa sifat. Adapun
yang termasuk pada tauhid ulûhiyah ini adalah iman kepada Allah swt. Iman
kepada Allah swt. adalah meyakini dengan akal akan wujud (ada) dan
keberadaan-Nya sebagai pencipta, pemelihara dan Tuhan seluruh makhluk
ciptaan-Nya.31
2. Tauhid Rubûbiyyah
Ar-Rabb berasal dari kata Arab Rabba-Yurabbi-Rabban atau Tarbiyah
bermakna „mendidik‟.32 Rubûbiyyah adalah kata yang dinisbatkan kepada salah
satu nama Allah swt., yaitu „Rabb‟. Nama ini mempunyai beberapa arti, antara
lain: al-Murabbi (pemelihara), al-Nâşir (penolong), al-Mâlik (pemilik), al-Muslih
(yang memperbaiki), al-Sayyid (tuan) dan al-Wali (wali). Dalam terminologi
syari‟at Islam, istilah tauhid rubûbiyyah berarti percaya bahwa hanya Allah swt.
satu-satu-Nya Pencipta, Pemilik, Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya Ia

29
Muhammad Na‟im Yasin, Op. Cit., h. 25
30
Darwis Abu Ubaidah, Panduan Akidah Ahlu Sunnah Wal Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka al-
Kausar, 2008), Cet. I, h. 49
31
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Op. Cit., h. 83
32
Abdurrahman Madjrie, Meluruskan Akidah, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), Cet.
I, h. 83
21

menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan sunnah-sunnah-


Nya.33
Tauhid Rubûbiyyah mencakup dimensi-dimensi keimanan berikut ini:
a. Beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum. Misalnya
menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, menguasai dll.
b. Beriman kepada takdir Allah.
c. Beriman kepada dzat Allah.34
Mengimani rubûbiyyah Allah swt. maksudnya mengimani sepenuhnya
bahwa Dia-lah Rabb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya.
Perintah Allah swt. mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara‟
(syar‟i). Dia adalah pengatur alam, sekaligus sebagai pemutus seluruh perkara
sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga pemutus peraturan-peraturan ibadah
serta hukum-hukum mu‟amalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya.35
Demikian jelaslah, bahwsannya tauhid rubûbiyyah ini memiliki makna
bahwa Allah swt. merupakan satu-satunya Tuhan yang memiliki wewenang
terhadap mahluk-mahluk-Nya yang mengatur seluruh jagad alam raya ini, tidak
ada sekutu baginya dalam mengatur seluruh tatanan alam raya ini. Begitu pula
Allah swt. yang mengatur perjalanan kehidupan seseorang. Oleh karena itu kita
sebagai orang mu‟min, harus mengimani akan tauhid rubûbiyyah Allah. Karena
tidak sedikit orang mengaku beriman kepada Allah swt. namun tidak beriman
terhadap ketentuannya. Padahal semua yang terjadi dalam kehidupan ini
merupakan ketentuannya.
Adapun tauhid rubûbiyyah terdiri atas iman kepada malaikat, Rasul-rasul,
hari kiamat serta iman kepada qađa dan qadar. Adapun penjelasannya sebagai
berikut:

33
Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam,
Terj. dari Almadkhalu Lidirâsatil „Aqidatil Islamiyyah „Ala Madzhabi Ahlisunnah wal Jama‟ah,
oleh Muhammad Anis Matta, (Jakarta: Robbani Press, 1998), Cet. I, h. 141
34
Ibid., h. 142
35
Syekh Muhammad bin Shalih al Utsamin, Prinsip-prinsip Keimanan Terj. dari Syarhu
Ushulil Iman oleh Ali Makhtum As-Salamy, (Riyadh: Haiatul Ighatsah al Islamiah al Alamiah,
1993), Cet. I, h. 26
22

1) Iman kepada Malaikat


Malaikat adalah makhluk ciptaan Allah swt. yang bersumber dari cahaya;
ia tidak dapat dilihat atau diindrai dengan panca indra manusia. Namun demikian,
ia tetap ada dan melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Allah swt.
Malaikat juga adalah makhluk ciptaan Allah swt. yang tidak pernah melanggar
perintah Allah swt.36 Beriman terhadap akan keberadaan para malaikat merupakan
salah satu diantara sekian syarat untuk dibenarkan iman seseorang. Bagi seorang
Muslim, beriman kepada para malaikat, dengan mengimani bahwa para malaikat
itu adalah makhluk-makhluk Allah swt. yang sangat mulia.37
Adapun 10 Malaikat yang wajib diketahui oleh setiap pribadi Muslim itu,
adalah:

a) Jibril. Tugasnya yaitu menjabat kepala/pimpinan Malaikat. Disamping


itu, ia mempunyai tugas mulia dari Allah yakni menyampaikan wahyu
kepada para Rasul dan Nabi.

b) Mikail. Tugasnya mengatur kesejahteraan umat, misalnya mengantarkan


hujan, angin, rezeki kepada seluruh makhluk.

c) Munkar dan Nakir. Mereka bertugas menanyai manusia setelah mati di


dalam kubur.

d) Raqib dan Atib. Pekerjaan mereka yaitu mencatat semua kebaikan dan
keburukan manusia (amal baik dan amal buruk).

e) Israfil . petugas meniup sangkakala (terompet/shur) pada hari kiamat dan


hari kebangkitan di padang Mahsyar.

f) Ridwan. Bertugas menjaga surga.

g) Malik. Tugasnya menjaga neraka jahannam. Malaikat Malik disebut juga


Malaikat Zabaniyah.

36
Rois Mahfud, Op. Cit., h. 17
37
Darwis Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 137
23

Dengan demikian, beriman kepada Malaikat berarti percaya bahwa Allah


swt. telah menciptakan makhluk halus yang dinamakan Malaikat yang sifat serta
pekerjaannya berlainan dengan manusia dan hidup di alam yang lain pula (alam
ghaib).38

2) Iman kepada Rasul

Rasul berarti utusan mengandung makna manusia–manusia pilihan yang


menerima wahyu dari Allah swt. dan bertugas untuk menyampaikan isi wahyu
(berita gembira dan pemberi peringatan (basyîran wa nażîra) kepada tiap-tiap
umatnya. Berbagai ayat dalam al-Qur‟an menjelaskan tentang Rasul, ada yang
diceritakan di dalam al-Qur‟an ada juga sebagian yang tidak diceritakan. Rasul
yang disebutkan namanya dalam al-Qur‟an hanyalah sebanyak 25 orang.
Mengenai jumlah Rasul tidak ada yang mengetahui pasti, meskipun ada ulama
yang mengatakan jumlah seluruhnya 124.000 (seratus duapuluh empat ribu) orang
namun hanya Allah yang mengetahui jumlahnya. Adapun yang diangkat menjadi
Rasul 313 orang dan ini pun ada perbedaan pendapat. 39 Para ulama menjelaskan
akan perbedaan antara Nabi dan Rasul. Mereka mengatakan bahwa setiap rasul
pasti nabi, tetapi tidak setiap Nabi adalah Rasul. Yang membedakan antara
keduanya adalah jika Rasul mempunyai kewajiban untuk menyampaikan risalah
(wahyu) yang diterimanya kepada umatnya. Sementara Nabi tidak ada kewajiban
menyampaikan ajaran yang diterimanya itu kepada umat manusia.40

Adapun firman Allah swt. yang berkaitan dengan para utusatn-Nya serta
pengangkatan risalahnya yaitu terdapat dalam Q.S. an-Nahl : 36

           

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Tâgut",

38
Zainuddin, Ilmu Tauhid lengkap, (Jakarta: PT. Rineka, 1996), Cet. II, h. 91
39
Ibid., h. 104
40
Darwis Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 160
24

Seorang muslim berkeyakinan bahwa Allah swt. telah memberi wahyu dan
mensucikan para utusan-Nya diantara manusia dengan menugaskannya untuk
menyampaikan wahyu tersebut agar tidak ada alasan lagi bagi manusia kelak pada
hari kiamat. Allah swt. mengutus mereka dengan dibekali penjelasan-penjelasan
dan mukzizat. Mereka adalah manusia yang tak lepas dari kemanusiaannya seperti
makan, minum, jatuh sakit, lupa atau ingat dan hidup atau mati. Mereka adalah
manusia yang benar-benar paling sempurna tanpa kecuali.41

3) Iman kepada Hari Akhir

Hari kiamat disebut juga dengan yaumul akhir (hari akhir), yaumul ba‟ats
(hari kebangkitan), yaumul hisâb (hari perhitungan), yaumul jazâ‟i (hari
pembalasan), yaitu pembalasan atas segala amal perbuatan manusia selama hidup
di dunia. Keyakinan dan kepercayaan akan adanya hari kiamat memberikan satu
pelajaran bahwa semua yang bernyawa, terutama manusia akan mengalami
kematian dan akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala
amal perbuatannya di dunia. Hari kiamat menandai babak akhir dari sejarah hidup
manusia di dunia. Kedatangan hari kiamat tidak dapat diragukan lagi bahkan
proses terjadinya pun sangat jelas.42 Bagi seorang muslim wajib mengimani
bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara dan tidak akan lama akan
dihidupkan dan dihadapkan kepada Allah swt. untuk mempertanggung jawabkan
segala perbuatan yang pernah dilakukannya semasa hidup di dunia.43 Sehingga
dengan beriman kepada hari akhir akan selalu mengingatkan kepada seseorang
agar selalu meningkatkan ibadahnya baik dari segi kualitas maupun kuantitas
karena kehidupan di dunia hanyalah kehidupan sementara dan tidak abadi.
Adapun kehidupan yang abadi adalah kehidupan akhirat.

41
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Pola Hidup Muslim; Aqidah, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1993), Cet. II, h. 53
42
Rois Mahfud, Op. Cit., h. 20
43
Darwis Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 170
25

4) Iman kepada Qađa dan Qadar


Qađa adalah ketentuan-ketentuan yang ditentukan Allah swt. Sedang
Qadar adalah pelaksanaan dari ketentuan tersebut.44 Iman kepada qađa dan qadar
memberikan pemahaman bahwa kita wajib meyakini Kemahabesaran dan
Kemahakuasaan Allah swt. sebagai satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas
tunggal dalam menurukan dan menentukan ketentuan apa saja bagi makhluk
ciptaan-Nya. Manusia diberi kemampuan (qudrat) dan otonomi untuk
menentukan sendiri nasibnya dengan ikhtiar dan do‟anya kepada Allah swt.45
Dengan beriman kepada qađa dan qadar seseorang akan meyakini bahwa segala
kejadian yang terjadi dalam kehidpannya itu merupakan ketentuan Allah swt.
sehingga dia selalu optimis bahwa apa yang terjadi merupakan ketentuan dari
Allah swt. dan dia akan menjalani kehidupan ini dengan tawakkal kepada Allah
swt. dengan mengingat dirinya bahwa hanya Allah swt. satu-satunya yang
berkuasa akan hidupnya. Namun disamping itu, Allah swt. memerintahkan kepada
manusia agar terus berusaha untuk mengerjakan kebaikan. Dengan kata lain,
semua yang berlaku dan terjadi adalah menurut qađa dan qadar-Nya.46 Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟an Q.S. al-Qamar : 49

 
     

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”

3. Tauhid Asmâ Wa Sifât


Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah swt. yakni menetapkan
nama-nama dan sifat yang sudah ditetapkan Allah swt. untuk diri-Nya dalam kitab
suci-Nya atau sunnah rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya
tanpa tahrif (penyelewengan), ta‟ţil (penghapusan), takyif (menanyakan
bagaimana?), dan tamśil (menyerupakan).47

44
M. Saberanity, Op. Cit., h. 84
45
Rois Mahfud, Op. Cit., h. 21
46
M. Saberanity, Op. Cit., h. 85
47
Syekh Muhammad bin Shalih al „Uśaimin, Op. Cit., h. 30
26

Takrif secara jelas mengenai tauhid ini adalah, bahwa tauhid asmâ dan
sifat berdiri di atas tiga asas yaitu:
a. Mensucikan dan meninggikan Allah swt. dari hal yang menserupakan-Nya
dengan mahluk, atau dari suatu kekurangan. Maka tauhidullah di dalam sifat-
Nya adalah pengi‟tikadan diri secara bulat-bulat untuk mengakui bahwa Allah
swt. memerintahkan agar mensucikan-Nya, Dia bersih dari beristri, bersekutu,
tidak ada bandingan kesamaan, tidak ada syafaat (tanpa izin Allah).
b. Iman kepada asma dan sifat yang telah ditetapkan dalam Kitabullah dan
sunnah rasul, tanpa membatasinya dengan mengurangi-mengurangi atau
menambah-menambah, atau berpaling walau sedikitpun, atau
mengabaikan/menganggap tidak ada terhadap ketetapan-ketetapan tersebut.
c. Membuang khayalan (yang berlebih-lebihan) untuk memvisualisasikan sifat-
sifat tersebut. Yaitu dituntut bagi Mukmin (hamba) yang mukallaf untuk
mengimani sifat-sifat dan asma-asma yang nash-nashnya jelas tertera di
dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tanpa perlu membahas atau
mempersoalkan visualisasinya. Yang demikian itu disebabkan sifat-sifat
Allah sama sekali berbeda dengan sifat-sifat mahluk yang diciptakan-Nya,
yang secara lazim memerlukan pembuktian baik secara material maupun
visual.48

Tauhid asmâ wa sifat ini merupakan tauhid dalam mensucikan Allah dari
hal-hal yang dapat mengotori keimanan seseorang. Karena telah kita yakini
bahwasannya Allah yang hanya memiliki sifat kesempurnaan, yang bersih dari
sekutu sebagaimana faham-faham yang dianut oleh orang-orang trinitas
bahwasannya Allah memiliki anak. Padahal sudah jelas di dalam al-Qur‟an
bahwasannya Allah tidak memiliki anak dan tidak pula diperanakkan.

Disini dapat difahami bahwasannya Allah swt. satu-satunya Tuhan yang


wajib diimani dan disembah, kita sebagai orang mu‟min dituntut untuk
mengimani akan ke-Esaan Allah dalam beribadah, kekuasaan Allah dalam

48
Muhammad Na‟im Yasin, Op. Cit., h. 35
27

penciptaan-Nya. Kita hanya diperintahkan untuk memikirkan tentang ciptaan-Nya


namun tidak diperintahkan untuk memikirkan bagaimana dzat Allah.

Adapun iman terhadap tauhid asmâ` wa sifat termasuk kepada iman


kepada kitab Allah karena salah satu sifat wajb bagi Allah yaitu sifat kalam, dan
kitab Allah merupakan kalamullah. Selain itu, seorang mu‟min dituntut untuk
mengimani sifat-sifat dan asma-asma yang nash-nashnya jelas tertera di dalam
Kitabullah. Sedang yang dimaksud dengan beriman kepada kitab-kitab Allah,
berarti kita wajib pula meyakini, bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan
beberapa kitab kepada para Nabi-Nya. Tujuan Allah menurunkan kitab-kitab itu
yaitu agar digunakan sebagai pedoman bagi seluruh manusia menuju jalan hidup
yang benar dan diridhai Allah swt. atau dengan kata lain berfungsi sebagai
penuntun menuju kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat. Diantara sekian
banyak kitab yang telah diturunkan Allah kepada NabiNya, hanya ada empat yang
wajib kita ketahui :

1) Taurat diturunkan kepada Nabi Musa as

2) Zabur diturunkan kepada Nabi Daud as

3) Injil diberikan kepada Nabi Isa as

4) Al-Qur‟an diturnkan kepada Nabi penutup, Muhammad SAW.49

Orang Islam adalah orang yang beriman kepada kitab-kitab yang


diturunkan Allah dan diwahyukan kepada para utusan-Nya. Kitab-kitab itu adalah
kalam Allah yang diwahyukan oleh Allah kepada para nabi dan rasul-Nya agar
mereka menyampaikan syari‟at dan agamaNya. Kitab yang teragung ini ada
empat: Pertama, al-Qur‟an al-Karim yang diwahyukan kepada Muhammad,
kedua, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as., ketiga Zabur yang
diturunkan kepada Nabi Daud as., keempat, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa
as. Diantara yang empat, al-Qur‟an adalah Kitab yang paling sempurna. Dialah

49
Zainuddin, Op. Cit., h. 95
28

yang menjadi pelengkap syari‟at dan hukum-hukum kitab yang lain.50 Hal ini
berdasarkan firman-Nya:

           

     

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan


Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta
kitab yang Allah turunkan sebelumnya.”

C. Metode Pendidikan Keimanan

Dalam proses pendidikan, metode mempunyai kedudukan yang sangat


penting dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan, karena ia menjadi sarana
yang membermaknakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum
pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh anak didik
menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya. Tanpa
metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efektif dan
efisien dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan.51 Karena
bagaimanapun baik dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan islam, ia tidak
akan berarti apa-apa manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam
mentransformasikannya kepada peserta didik.52

Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang


kelancaran jalannya proses belajar mengajar sehingga banyak tenaga dan waktu
yang terbuang sia-sia. Oleh karena itu, metode yang ditetapkan oleh seorang guru
dapat berdaya guna dan berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.53

50
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Op. Cit., h. 39
51
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2007), Cet. 3, h. 163
52
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 65
53
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Op. Cit., h. 163
29

Menurut M. Arifin yang dikutip oleh Toto Suharto bahwa secara bahwa
secara bahasa kata metode berasal dari istilah Yunani meta yang berarti melalui,
dan hodos yang berarti jalan yang dilalui. Jadi, metode berarti jalan yang dilalui.54
Metode ialah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang
paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.”55 Sedangkan secara terminologi
metode adalah segala hal yang mengacu pada cara-cara untuk menyampaikan
materi pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik, disampaikan dengan efektif
dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditentukan. 56

Sehingga metode merupakan salah satu unsur penting dalam proses


melaksanakan kegiatan pendidikan yaitu dalam proses belaja mengajar. Dari
penjelsan di atas dapat difahami bahwasannya metode merupakan cara yang
digunakan dalam melaksanakan pendidikan agar dapat tercapai segala hal yang
menjadi tujuan pendidikan. Adapun macam-macam metode yang digunakan
dalam pendidikan Islam yaitu:

1. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah cara penyajian yang dilakukan guru dengan
penjelasan secara langsung kepada siswa.57 Peran murid dalam metode ini sebagai
penerima pesan, mendengarkan, memperhatikan, dan mencatat keterangan-
keterangan guru bilamana diperlukan.58
2. Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab ialah suatu cara mengajar dimana seorang guru
mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan pelajaran yang
telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca sambil memperhatikan proses
berfikir diantara murid-murid.
54
Toto Suharto, Filsafat pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Cet. I, h.
134
55
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Op. Cit., h. 9
56
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta,
2012), Cet. II, h. 88
56
Armai Arief dan Busahdiar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Wahana Kardofa,
2009), Cet. I, h. 120
57
Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 120
58
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), Cet. I, h. 44
30

Guru mengharapkan dari murid-murid jawaban yang tepat dan berdasarkan


fakta. Dalam tanya jawab, pertanyaan adakalanya dari pihak murid (dalam hal ini
guru atau murid yang menjawab). Apabila murid-murid tidak menjawabnya
barulah guru memberikan jawabannya.59
Menurut Hyman Moedjiono yang dikutip oleh Basyiruddin Usman, guru
dapat menempuh berbagai teknik yang variasi dalam mengajukan pertanyaan,
antara lain:
a. The mixed strategy, yakni mengkombinasikan berbagai tipe dan jenis
pertanyaan;
b. The speaks strategy, yakni mengajukan pertanyaan yang saling bertalian
satu sama lain;
c. The plateaus strategy, mengajukan pertanyaan yang sama jenisnya
terhadap sejumlah siswa sebelum beralih kepada jenis pertanyaan yang
lain;
d. The inductive strategy, yakni dengan berbagai pertanyaan siswa didorong
untuk dapat menarik generalisasi dari hal-hal yang umum, atau dari
berbagai fakta menuju hukum-hukum;
The deductive strategy, yakni dari suatu generalisasi yang dijadikan sebagai
titik tolak, siswa diharapkan dapat menyatakan pendapatnya tentang berbagai
kasus atau data yang ditanyakan.60
3. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan
memperagakan kepada siswa suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang
dipelajari.61 Misalnya demonstrasi tentang cara memandikan mayat orang
muslim/muslimah dengan menggunakan model atau boneka, demonstrasi tentang
tata cara tawaf pada saat mnunaikan ibadah haji dan sebagainya.62
4. Metode Karya Wisata
Metode karya wisata yaitu cara penyajian pelajaran dengan membawa
siswa mempelajari sumber-sumber mata pelajaran.63

59
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet.
II, h. 135
60
M. Basyiruddin Usman, Op. Cit., h. 44
61
Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 122
62
M. Basyiruddin Usman, Op. Cit., h. 45
63
Armai Arief dan Busahdiar, Loc. Cit.,
31

5. Metode Pemecahan Masalah


Metode pemecahan masalah merupakan cara penyajian bahan pelajaran dengan
menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan atau dianalisis dalam usaha
mencari pemecahan atau jawaban siswa.64
6. Metode Diskusi
Kata “diskussi” berasal dari bahasa Latin yaitu: “discussus” yang berarti
“to examine”, “investigate” (memeriksa, menyelidik). “Discuture” berasal dari
akar kata dis+cuture. “Dis” artinya terpisah “cuture” artinya menggoncang atau
memukul” (to shake atau strike), kalau diartikan maka discuture ialah suatu
pukulan yang dapat memisahkan sesuatu. Atau dengan kata lain membuat sesuatu
itu jelas dengan cara memecahkan atau menguraikan sesuatu tersebut (to clear
away by breaking up or cuturing).65
Metode diskusi ialah suatu cara mempelajari materi pelajaran dengan
memperdebatkan masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi secara
rasional dan objektif. Cara ini menimbulkan perhatian dan perubahan tingkah laku
peserta didik dalam belajar. Metode diskusi juga dimaksudkan untuk dapat
merangsang siswa dalam belajar dan berfikir secara kritis dan mengeluarkan
pendapatnya secara rasional dan objektif dalam pemecahan suatu masalah.66
Sebagai dasar metode diskusi dapat dilihat al-Qur‟an dan perbuatan-
perbuatan Nabi sendiri.67 Dalam al-Qur‟an Q.S. an-Nahl ayat 125, Allah swt.
berfirman :

              

           

64
Ibid., h. 123
65
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet.
II, h. 141
66
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), Cet. I, h. 36
67
Ramayulis, Op. Cit., h. 142
32

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan


pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
7. Metode Simulasi
Metode ini pada hakikatnya diangkat dari situasi kehidupan. Simulasi
berasal dari kata simulate yang berarti berpura-pura atau berbuat seolah-olah, atau
simulation yang berarti tiruan atau perbuatan yang hanya berpura-pura.68
8. Metode Eksperimen
Metode eksperimen adalah cara penyampaian bahan pelajaran dengan
melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sesuatu yang sedang
dipelajari.
9. Metode Unit atau Proyek
Metode proyek atau unit adalah penyajian bahan pelajaran yang bertitik
tolak dari suatu masalah, kemudian dibahas dari berbagai segi yang berhubungan
sehingga pemecahannya secara keseluruhan dan bermakna.

Adapun mengenai metode yang digunakan dalam pendidikan keimanan,


sebagai penulis kutip dari pendapat Abdurrahman an Nahlawi, bahwasannya ada
beberapa metode yang dapat digunakan guna melaksanakan pendidikan keimanan
ialah sebagai berikut:69

1. Metode Hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi


Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih
mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang
dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu bahan pembicaraan
tidak dibatasi; dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu dan
lain-lain. Hiwar mempunyai dampak yang dalam bagi pembicara dan juga bagi
pendengar pembicaraan itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
68
Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 125-127
69
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press,1995 ), h. 204
33

Pertama, dialog itu berlangsung secara dinamis karena kedua pihak


terlibat langsung dalam pembicaraa; tidak membosan.
Kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan karena ia
ingin tahu kesimpulannya. Ini biasa diikuti dengan penuh perhatian, tampaknya
tidak bosan dan penuh semangat.
Ketiga, metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan
kesan dalam jiwa, yang membantu mengarahkan seseorang menemukan sendiri
kesimpulannya.
Keempat, bila hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak tuntunan
Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat, itu akan mempengaruhi
peserta sehingga meninggalkan pengaruh berupa pendidikan akhlak, sikap dalam
berbicara, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya.70
Menurut Abdurrahman an Nahlawi bentuk dialog yang terdapat dalam al-
Qur‟an dan sunnah sangat variatif. Namun, bentuk yang paling terpenting adalah
dialog khitabi (seruan Allah) dan ta‟abbudi (penghambaan terhadap Allah), dialog
deskriptif, dialog naratif, dialog argumentatif, serta dialog nabawiyah. Adapun
penjelasannya sebagai berikut :71
a. Dialog Khitabi dan Ta‟abbudi
Al-Qur‟an diturunkan untuk menjadi petunjuk dan sebagai kabar
gembira bagi orang-orang yang bertaqwa. Di dalamnya, pada puluhan
tempat, Allah menyeru hamba-hamba yang beriman melalui seruannya
“Yâ ayyuhal lażîna âmanû.” Seorang mukmin yang membaca seruan
tersebut, niscaya akan segera menjawab: „Yâ Rabbi, aku memenuhi
seruan-Mu.” Hubungan antara Allah dan tanggapan seorang mumin
itulah melahirkan dialog.
b. Dialog Deskriptif
Dialog deskriptif disajikan dengan deskriptif atau orang-orang
yang tengah berdialog. Pendeskripsian ini meliputi gambaran kondisi
hidup dan psikologis orang-orang yang berdialog sehingga kita dapat

70
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 136
71
Abdurrahman An Nahlawi, Op. Cit., h. 205
34

memahami kebaikan dan keburukannya. Selain itu, pendeskripsian itu


berpengaruh juga pada mentalitas seseorang sehingga perasaan
ketuhanan dan perilaku positif manusia akan berkembang.
c. Dialog Naratif
Dialog naratif tampil dalam episode kisah yang bentuk dan alur
ceritanya jelas sehingga menjadi bagian dari cara atau unsur cerita dalam
al-Qur‟an. Al-Qur‟an tidak menyajikan unsur dramatik walaupun dalam
penyajian kisahnya terdapat unsur dialog.
d. Dialog Argumentatif
Di dalam dialog argumentatif, kita akan menemukan diskusi dan
perdebatan yang diarahkan kepada pengokohan hujjah atas kaum
musyrikin agar mereka mengakui pentingnnya keimanan dan peng-Esaan
kepada-Nya, mengakui kerasulan akhir Nabi Muhammad saw., mengakui
kebatilan tuhan-tuhan mereka dan mengakui kebenaran seruan Rasulullah
saw.
e. Dialog Nabawiyah
Pada dasarnya, Rasulullah saw. telah menjadikan jenis dan bentuk
dialog Qur‟ani sebagai pedoman dalam mempraktikkan metode
pendidikan dan pengajaran beliau. Hal ini tidak mengherankan karena
bagaimanapun akhlak beliau adalah al-Qur‟an. Metode pendidikan dan
pengajaran beliau merupakan aplikasi yang dinamis dan manusia dari
ayat-ayat Allah swt.

2. Metode Kisah Qurani dan Nabawi


Menurut kamus Ibn Manzur yang dikutip oleh Heri Gunawan bahwa kisah
berasal dari kata qaşşa-yaquşşu-qişşatan, mengandung arti potongan berita yang
diikuti dan pelacak jejak.72 Metode kisah yakni metode yang digunakan oleh
pendidik dengan cara bercerita suatu kejadian untuk diresapi peserta didik, atau

72
Heri Gunawan, Op. Cit., h. 89
35

peserta didik disuruh bercerita sendiri dengan mengambil tema-tema materi kisah
sejarah Islam yang perlu diresapi dan diteladani.73
Kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan ternyata mempunyai
daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiah manusia
untuk menyukai cerita itu dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap
perasaan. Oleh karena itu, Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah
satu teknik pendidikan.74
Dalam pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu
bidang studi), kisah sebagai metode pendidikan amat penting. Dikatakan amat
penting, alasannya antara lain sebagai berikut:
b) Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk
mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya.
c) Kisah Qurani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu
menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Karena tokoh
cerita ditampilkan dalam konteks yang menyeluruh, atau pendengar dapat
ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang
menjadi tokohnya.
d) Kisah Qur‟ani mendidik perasaan keimanan dengan cara:
1) Membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, rida dan cinta;
2) Mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu
puncak, yaitu kesimpulan kisah;
3) Melibatkan pembaca dan pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia
terlibat secara emosional.75

3. Metode Amśal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi


Metode amśal, yakni metode yang digunakan oleh pendidik dengan cara
mengambil perumpamaan-perumpamaan dalam ayat-ayat al-Qur‟an untuk
diketahui dan diresapi peserta didik, sehingga peserta didik dapat mengambil

73
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 144
74
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I,
h. 97
75
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 140-141
36

pelajaran dari perumpamaan tersebut.76 Adakalanya Tuhan mengajari umat


dengan membuat perumpamaan, misalnya dalam surat al-Baqarah : 17:

...     


“Perumpamaan orang-orang kafir itu adalah seperti orang yang
menyalakan api ....”
Cara seperti itu dapat juga digunakan oleh guru dalam mengajar.
Pengungkapannya tentu saja sama dengan metode kisah, yaitu dengan berceramah
membaca teks. Kebaikan metode ini antara lain ialah seagai berikut:
a) Mempermudah siswa memahami konsep yang abstrak; ini terjadi karena
perumpamaan itu mengambil benda konkrit seperti kelemahan tuhan orang
kafir diumpamakan dengan sarang laba-laba. Sarang laba-laba memang
lemah sekali, disentuh dengan lidi pun dapat rusak.
b) Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat
dalam perumpamaan tersebut.
c) Merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan haruslah
logis, mudah difahami. Jangan sampai dengan menggunakan
perumpamaan malah pengertiannya kabur atau hilang sama sekali.
d) Amśal Qur‟ani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya
untuk berbuat amat baik dan menjauhi kejahatan.77

4. Metode Keteladanan
Murid-murid cenderung meneladani pendidiknya; ini diakui oleh semua
ahli pendidikan, baik dari Barat maupun dari Timur. Dasarnya ialah karena secara
psikologis anak memang senang meniru, tidak saja yang baik, yang jelek pun
ditirunya. Sifat anak didik itu diakui dalam islam. Umat meneladani Nabi, Nabi
meneladani al-Qur‟an. „Aisyah pernah berkata bahwa akhlak Rasul Allah itu
adalah al-Qur‟an.78
Metode teladan yakni metode yang digunakan pendidik dengan cara
memberikan memberikan contoh tauladan atau perilaku yang baik dalam
76
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 144
77
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 142
78
Ibid., h. 142
37

kehidupan sehari-hari, sehingga bisa ditiru oleh peserta didik.79 Pribadi Rasul itu
adalah interpretasi al-Qur‟an secara nyata. Tidak hanya caranya beribadah,
caranya berkehidupan sehari-hari pun kebanyakan merupakan contoh tentang cara
berkehidupan Islami.
Ada beberapa konsep dalam metode keteladanan:
a) Metode pendidikan Islam berpusat pada keteladanan. Yang memberikan
teladan itu adalah guru, kepala sekolah dan semua aparat sekolah. Dalam
pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para pemimpin masyarakat, para
da‟i. Konsep ini jelas diajarkan oleh Rasulullah saw.
b) Teladan untuk guru-guru (dan lain-lain) ialah Rasulullah. Guru tidak boleh
mengambil tokoh yang diteladani selain Rasul Allah saw. Sebab Rasul
itulah teladan yang terbaik. Rasul meneladankan bagaimana kehidupan
yang dikehendaki Tuhan karena Rasul itu adalah penafsiran ajaran
Tuhan.80

5. Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang
agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan (habituation) ini
berintikan pengalaman. Karena yang dibiasakan itu ialah sesuatu yang diamalkan.
Inti pembiasaan adalah pengulangan.81 Dalam pembinaan sikap, metode
pembiasaan sebenarnya cukup efektif. Pembiasaan tidak hanya perlu bagi kanak-
kanak dan sekolah dasar. Diperguruan tinggi pun pembiasaan masih diperlukan.
Karena pembiasaan berintikan pengulangan, maka metode pembiasaan
juga berguna untuk menguatkan hafalan. Rasulullah berulang-ulang berdo‟a
dengan do‟a yang sama. Akibatnya ia hafal benar do‟a itu, dan sahabatnya yang
mendengarkan do‟a yang berulang-ulang itu juga hafal do‟a itu.82
Al-Qur‟an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode
pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan,

79
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 144
80
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 143
81
Heri Gunawan, Op. Cit., h. 93
82
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 144-145
38

sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa
kehilangan banyak tenaga dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Selain itu, al-
Qur‟an juga terus menerus mengingatkan tujuan yang ingin dicapai dengan
kebiasaan itu, dan dengan menjalin hubungan yang hidup antara manusia dengan
Allah.83

6. Metode „Ibrah dan Mau‟iťah


Al-Nahlawi berpendapat bahwa kata „ibrah dan mau‟iťah memiliki
perbedaan dari segi makna. „Ibrah dan i‟tibar ialah suatu kondisi psikis yang
menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi,
dengan menggunakan nalar yang menyebabkan hati mengakuinya. Adapun
mau‟iťah ialah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara
menjelaskan pahala atau ancamannya.84
Penggunaan „ibrah dalam Qur‟an dan sunah ternyata berbeda-beda sesuai
dengan objek „ibrah itu sendiri. Pengambilan „ibrah dari kisah hanya akan dapat
dicapai oleh orang yang berfikir dengan akal dan hatinya seperti firman Allah swt.
dalam Q.S. Yusuf : 11

           
“Mereka berkata: "Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak
mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah
orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.”
Pendidikan Islam memberikan perhatian khusus kepada metode „ibrah
agar pelajar dapat mengambil dari kisah-kisah dalam al-Qur‟an, sebab kisah-kisah
itu bukan sekadar sejarah, melainkan sengaja diceritakan Tuhan karena ada
pelajaran („ibrah) yang penting di dalamnya. Pendidik dalam pendidikan Islam
harus memanfaatkan metode ini.

83
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I,
h. 101
84
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 145
39

Aburrahman an Nahlawi membagi jenis „ibrah yang terdapat dalam al-


Qur‟an dan Hadits kepada dua jenis, yaitu „Ibrah melalui Kisah dan „Ibrah
melalui Nikmat dan Makhluk Allah swt.85
Rasyid Ridla, tatkala menafsirkan surat al-Baqarah ayat 232,
menyimpulkan bahwa mau‟izah adalah nasihat dengan cara menyentuh kalbu.
Kata wa‟z itu dapat berarti macam-macam.
Pertama berarti nasihat, yaitu sajian bahasan tentang kebenaran dengan
maksud mengajak orang dinasihati untuk mengamalkannya. Nasihat yang baik itu
harus bersumber pada Yang Mahabaik, yaitu Allah. Yang menasihati harus lepas
dari kepentingan-kepntingan dirinya secara bendawi dan duniawi.
Kedua, mau‟izah berarti tadzkir (peringatan). Yang memberi nasihat
hendaknya berulang kali mengingatkan agar nasihat itu meninggalkan kesan
sehingga orang yang dinasihati tergerak untuk mengikuti nasihat itu. 86

7. Metode Targib dan Tarhib


Targib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai
bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targib bertujuan agar
orang mematuhi aturan Allah. Tarhib demikian juga. Akan tetapi tekanannya ialah
targib agar melakukan kebaikan, sedangkan tarhib agar menjauhi kejahatan.
Metode ini didasarkan atas fitrah (sifat kejiwaan) manusia, yaitu sifat keinginan
kepada kesenangan, keselamatan dan tidak menginginkan kepedihan,
kesengsaraan.87
Metode ini digunakan pendidikan dengan cara memberikan targib (janji-
janji kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan) dan tarhib (ancaman
karena melakukan perbuatan dosa). Metode ini dimaksudkan agar peserta didik
menjauhi perbuatan yang dilarang dan melaksanakan perbuatan yang
diperintahkan oleh Allah swt.88

85
Abdurrahman An Nahlawi, Op. Cit., h. 280
86
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 145-146
87
Ibid., h. 146
88
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 146
40

D. Faktor Penunjang Pendidikan Keimanan


Dalam melaksanakan pendidikan Islam, diperlukan adanya beberapa faktor
pendidikan yang ikut menunjang berhasilnya atau tidaknya pendidikan itu. Oleh
karena itu dalam melaksanakan pendidikan Islam beberapa fakor pendidikan perlu
mendapat perhatian yang sebaik-baiknya.89 Begitu pula dengan pendidikan
keimanan, memerlukan beberapa faktor yang dapat menunjang berhasilnya
pelaksanaan pendidikan. Menurut konsepsi Islam ada beberapa faktor pendidikan
yang menurut penulis dapa juga dijadikan sebagai faktor penunjang pendidikan
keimanan yaitu:
1. Lingkungan
Menurut Mohammad al-Toumy al-Syaibani yang dikutip oleh Armai Arief
mengatakan bahwa lingkungan adalah ruang lingkup yang berinteraksi dengan
insan yang menjadi medan dan aneka bentuk kegiatannya.90 Lingkungan
(environmet) sebagai dasar pengajaran adalah faktor tradisional yang
mempengaruhi tingkah laku individu dan merupakan faktor belajar yang
penting.91
Di dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan perlunya
membina rumah tangga yang mawaddah, sakinah dan marhamah, membangun
sarana dan prasarana peribadatan seperti masjid, dan perlunya mewujudkan
sebuah pemerintahan yang sejahtera, adil dan makmur di bawah kepemimpinan
yang bijaksana, jujur, amanah dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
kehidupan manusia.92 Secara tidak langsung bahwa di dalam al-Qur‟an terdapat
tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan
masyarakat.

89
Zuhairini, dkk, Op. cit., h. 167
90
Armai Arief dan Busahdiar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Wahana Kardofa,
2009), Cet. I, h. 134
91
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Bumi Aksara, 2009), Cet. X, h.
194
92
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perpektif al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005), h. 255
41

a. Lingkungan Keluarga

Fatah Yasin mengutip pendapat wahyu tentang definisi keluarga,


bahwasannya keluarga (kawula warga) adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang
dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan
ditandai oleh kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat
dan sebagainya. Sedangkan inti dari keluarga itu adalah ayah, ibu dan anak.93
Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama bagi seorang
anak. Hal ini terjadi karena seorang anak memiliki ikatan darah/keturunan dengan
orang tuanya yang tidak bisa dipisahkan hingga akhir hayat. Jauh sebelum
mengenal dunia luar lainnya, seorang anak terlebih dahulu mengenal
keluarganya.94

Dengan begitu lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama kali


bagi anak dalam memperoleh pendidikan. Karena dalam lingkungan keluarga ini,
merupakan proses awal bagi terbentuknya proses sosialisasi dan perkembangan
individu. Oleh karena itu, sebagai orang tua sekaligus sebagai pendidik dalam
keluarga memiliki tanggung jawab dalam mengarahkan perkembangan anaknya
menuju kedewasaan, sehingga anak tersebut dapat hidup mandiri.95
Lingkungan keluarga sungguh-sungguh merupakan pusat pendidikan yang
penting dan menentukan, karena itu tugas pendidikan adalah mencari cara,
membantu para ibu dalam tiap kelarga agar dapat mendidikan anaknya dengan
optimal. Anak-anak yang biasa turut serta mengerjakan segala pekerjaan di dalam
keluarganya, dengan sendirinya mengalami dan mempraktekkan bermacam-
macam kegiatan yang amat berfaedah bagi pendidikan watak dan budi pekerti
seperti kejujuran, keberanian, ketenangan dan sebagainya.96

93
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 202
94
Abuddin Nata, Op. Cit., h. 256
95
Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 136
96
Umar Tirtarahadja dan S .L . La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2008), Cet. II, h. 170
42

b. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah adalah lingkungan pendidikan yang bersifat formal.
Sedangkan rumah tangga sebagaimana telah diuraikan di atas, adalah lingkungan
pendidikan anak yang bersifat informal.97
Setelah memasuki lingkungan sekolah maka mulailah anak menerima
pengetahuan yang bersifat sistematis dan konseptual berupa sejumlah mata mata
pelajaran. Di sini anak mulai berinteraksi dengan orang lain, yaitu teman-teman
sebayanya dan guru. Karen itu guru harus memiliki kepribadian, agama, akhlak,
sikap, penampilan, pakaian dan cara bicara yang baik terhadap anak didik. Di
sekolah anak terkadang mencari figur idola yang menurut dia dapat diteladani.98
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam
membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa,
“pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak ini dibagi tiga
kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid; dan 3)
hubungan antar anak.”
Melalui kurikulum yang berisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan
guru sebagai pendidik sera pergaulan antarteman di sekolah dalam menanamkan
kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan
moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang. 99
c. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan dan lembaga pendidikan ketiga setelah
keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dimulai sejak anak-anak lepas dari
asuhan keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dilaksanakan tidak begitu
terikat dengan peraturan dan syarat tertentu.100 Masyarakat dapat diartikan pula
sebagai komunitas yang amat heterogen dengan berbagai aspeknya. Di dalamnya
terdapat kegiatan dalam bidang agama, sosial, ekonomi, politik, seni budaya, ilmu

97
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005), h. 270
98
Armai Arief dan Busahdiar,Op. Cit., h. 149
99
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Cet. I, h.
84
100
Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 142
43

pengetahuan dan lain sebgainya. Semuanya itu merupakan lingkungan yang dapat
digunakan untuk kegiatan pendidikan.101
Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang
mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh
belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya.
Bahkan, terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa
keagamaan, baik dalam bentuk posistif maupun negatif.102
Dengan begitu, lingkungan masyarakat memiliki peran dalam pelaksanaan
pendidikan. Karena selain hidup di lingkungan sekolah maupun keluarga, anak
juga ikut berpasrtisipasi dalam masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas, bahwa dalam masyarakat terdapat norma dan tata nilai, sehingga norma dan
tata nilai inilah yang dapat mempengaruhi terhadap perkembangan keagamaan
anak. Masyarakat yang peduli akan pendidikan keagamaan akan membantu
terhadap perkembangan keagamaan peserta didik sedangkan lingkungan
masyarakat yang tidak peduli akan pendidikan keagamaan justru akan
menjerumuskan anak kepada hal negatif seperti maraknya kemorosatan moral
yang banyak terjadi di masyarakat, hal ini terjadi karena kurangnya pendidikan
khususnya keagaman kepada anak.

2. Media Pembelajaran
Kegiatan belajar sebagai unsur utama dari pelaksanaan pendidikan, yang
secara umum diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku baik sikap
hidupnya (perilaku afektif), pengetahuannya (perilaku kognitif), maupun
keterampilannya (perilaku psikomotorik).103
Menurut Yudhi Munadi, “ada tiga prinsip yang layak diperhatikan dalam
masalah pembelajaran. Pertama, proses pembelajaran menghasilkan
perubahan perilaku anak didik yang relatif. Kedua, anak didik memiliki
potensi, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk

101
Abuddin Nata, Op. Cit., h. 277
102
Bambang Syamsul Arifin, Op. Cit., h. 85
103
Djamaluddin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam; Sejarah, Ragam dan Kelembagaan,
(Semarang: Rasail, 2006), h. 89
44

dikembangkan tanpa henti. Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal


itu tidak tumbuh linear sejalan proses kehidupan.”104

Sejalan pemahaman tersebut, guru tidaklah dipahami sebagai satu-satunya


sumber belajar, tetapi dengan posisinya sebagai peran penggiat, ia pun harus
mampu merencana dan mencipta sumber-sumber belajar lainnya sehingga tercipta
lingkungan belajar yang kondusif. Sumber-sumber belajar selain guru inilah yang
disebut sebagai penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan dan/atau
diciptakan secara terencana oleh para guru atau pendidik, biasanya dikenal
sebagai “Media Pembelajaran”.105
Mengenai pengertian Media, menururt Aziz Fahrurrizi dan Ahmad Dardiri
mendefinisikan bahwa media merupakan segala bentuk benda yang digunakan
untuk menyalurkan pesan antara guru dan murid dalam rangka merangsang
pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan peserta didik bisa berupa hard dan
berupa soft. Bahkan juga segala hal yang memungkinkan peserta didik
memperoleh pengetahuan.106
Selanjutnya, Yudhi Munadi menjelaskan bahwa media dalam proses
pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yakni
media audio, media visual, media audio visual dan multimedia.
a. Media Audio adalah media yang hanya melibatkan indera pendengaran
dan hanya mampu memanipulasi kemampuan suara semata. Dilihat dari
pesan yang diterimanya media audio ini menerima pesan verbal dan non
verbal. Pesan verbal audio yakni bahasa lisan atau kata-kata, dan pesan
non verbal audio adalah seperti bunyi-bunyian dan vokalisasi, seperti
gerutuan, gumam, musik dan lain-lain.
b. Media Visual adalah media yang hanya melibatkan indera penglihatan.
Termasuk dalam jenis media ini adalah media cetak-verbal, media
cetak-grafis dan media visual non-cetak.
c. Media Audio Visual adalah media yang melibatkan indera pendengaran
dan penglihatan sekaligus dalam satu proses. Sifat pesan yang dapat
disalurkan melalui media dapat berupa pesan verbal dan non verbal yang
terdengar layaknya media audio di atas. Pesan visual terdengar dan
terlihat itu dapat disajikan melalui program audio visual seperti
dokumenter, film docudokumenter, film drama, dan lain-lain.

104
Yudhi Munadi, Media Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada (GP), 2012), Cet. IV, h.
4
105
Ibid., h. 4
106
Aziz Fahrirrizi dan Ahmad Dardiri, Strategi Pembelajaran Bahasa Arab, (Jakarta: t.p.,
2012), h. 96
45

d. Multimedia yakni media yang melibatkan berbagai indera dalam sebuah


proses pembelajaran. Termasuk dalam media ini adalah segala sesuatu
yang memberikan pengalaman secara langsung bisa melalui komputer
dan internet, bisa juga melalui pengalaman berbuat dan pengalaman
terlibat.107

d. Hasil Penelitian yang Relevan


Penulis telah berusaha mencari penelitian yang relevan dengan mencari
tema yang sama pada skripsi-skripsi yang berbentuk penelitian library research.
Adapun penelitian yang penulis temukan yaitu:
1. Hasil penelitian Wasikhatun Rizqi yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan
Keimanan dalam Kisah Al-Qur‟an (Kajian Q.S.Yusuf as).” Dalam skripsi ini
menjelaskan akan nilai-nilai pendidikan keimanan yang terkandung dalam
kisah Nabi Yusuf as. yang terdapat dalam Q.S. Yusuf as. Adapun metode
yang digunakan dalam pembahasan tafsirnya yaitu menggunakan metode
tafsir mauđu‟i yaitu dengan mengklasifikasikan nilai-nilai pendidikan
keimanan berdasarkan tema berupa rukun iman yang enam, kemudian
dijelaskan nilai-nilai pendidikan keimanan yang terdapat dalam kisah Nabi
Yusuf as. dan seterusnya.
2. Hasil penelitian oleh Lukmanul Hakim yang berjudul “Metode Pendidikan
Keimanan dalam surat al-Waqi‟ah ayat 57-74.” Sesuai judulnya, dalam
skripsi ini penulis lebih fokus pada metode pendidikan keimanan dengan
mendeskripsikan serta menganalisa tentang fenomena, peristiwa, aktifitas
sosial, kepercayaan dan pemikiran orang secara individual dan kelompok.
Sehingga metode pendidikan keimanan yang didapat dalam penelitian ini
yaitu metode amśal. Adapun metode penafsiran yang digunakan dalam
penulisan ini adalah metode tafsir tahlili.
3. Hasil penelitian Nuriyah Hakimah yang berjudul “Zikir sebagai upaya
Pendidikan Keimanan.” Dalam penelitian ini penulis memaparkan bagaimana
upaya zikir terhadap pendidikan keimanan.

107
Yudhi Munadi, Op. Cit., h. 57
46

Dari beberapa judul yang penulis di atas, terdapat perbedaan dalam


penulisan ini:

1. Surat yang dibahas pada penelitian sebelumya yaitu surat Yusuf as. dengan
menguraikan tentang nilai-nilai pendidikan keimanan dalam kisah Nabi
Yusuf as. yang terdapat di dalam Q.S. Yusuf, sedangkan pada penelitian ini
ayat yang di bahas yaitu Q.S. surat al-An‟am ayat 74-79. Selain itu dalam
metode penafsirannya, penelitian sebelumnya menggunakan metode tafsir
maudhu‟i sedangkan penelitian kali ini menggunakan metode tafsir tahlili.
2. Sesuai dengan judulnya, yaitu Metode Pendidikan Keimanan. Maka berbeda
dengan peneitian ini. Penelitian ini lebih fokus kepada mendeskripsikan nilai-
nilai pendidikan keimanan khususnya yang terkandung dalam Q.S. al-An‟am
ayat 74-79.
3. Dalam penelitian yang berjudul “Zikir sebagai upaya Pendidikan Keimanan”
ini memaparkan tentang hubungan zikir terhadap pendidikan keimanan.
Berbeda dengan penelitian ini, pada penelitian ini lebih fokus kepada
pendidikan dengan memaparkan tentang pendidikan keimanan yang
terkandung di dalam Q.S. al-An‟am ayat 74-79. Selain itu pembahasannya,
penelitian sebelumnya tidak menggunakan metode tafsir.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian


Objek yang dibahas dalam penelitian ini ialah pendidikan keimanan yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an khususnya yang terkandung dalam surat al-
An’am ayat 74-79. Sedangkan waktu penelitian terhitung dari bulan Februari
sampai dengan bulan Oktober 2014.

B. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi
yang diterbitkan oleh Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013.

C. Fokus Penelitian
Berdasarkan judul, maka penulis memfokuskan pada kajian pendidikan
keimanan yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 74-79 yang sifatnya
mendeskripsikan dan menganalisa tentang pendidikan keimanan yang terkandung
dalam surat al-An’am ayat 74-79.

D. Prosedur Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian
kualitatif yaitu penelitian di mana peneliti dalam melakukan penelitiannya
menggunakan teknik-teknik observasi, wawancara atau interview, analisis isi, dan
metode pengumpulan data lainnya untuk menyajikan respons-respons dan
perilaku subjek,1 dengan menelusuri data-data kepustakaan atau library research.
Menurut Mestika Zed, studi kepustakaan atau Library research yaitu serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca

1
Punaji Setyosari, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), Cet. II, h. 40

47
48

dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.2 Sementara menurut M. Iqbal


Hasan studi kepustakaan atau Library research yaitu kegiatan mendalami,
mencermati, menelaah dan mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam
kepustakaan (sumber bacaan, buku-buku referensi atau hasil penelitian lain) untuk
menunjang penelitiannya.3 Secara rinci penelitian ini berusaha untuk menemukan
jawaban bagaimana penafsiran Q.S Al-An’am ayat 74-79 menurut para mufassir
dan apa saja pendidikan keimanan yang terkandung dalam surat al-An’am ayat
74-79.

2. Sumber data
Menurut Lofland sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong dalam
bukunya metodologi penelitian kualitatif mengatakan bahwa sumber data utama
dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lainnya. Berkaitan dengan hal itu, pada bagian ini
jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto
dan statistik.4
Adapun sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
sumber data tertulis dengan menggunakan data informasi yang bersifat literatur
kepustakaan, karena metode penelitian yang dipilih adalah library research yang
bersumber datanya bersumber dari buku-buku tafsir seperti tafsir al-Maragi, al-
Misbah, Ibnu Kaśir dan buku pendidikan khususnya yang berhubungan dengan
pembahasan.

3. Teknik Pengumpulan Data


Dikarenakan jenis penilitian yang dilakukan adalah library reseach, maka
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah study
literature (book survey), yakni mengumpulkan kitab-kitab tafsir yang

2
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
h. 3
3
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2002), Cet. I, h. 45
4
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), Cet. XXXI, h. 157
49

pembahasannya berkaitan dengan masalah yang akan dikaji, kemudian


mengumpulkan bahan-bahan yang terkait dengan masalah pendidikan keimanan.
Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam teknik pengumpulan
data ini adalah :
a. Mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti,
dengan mengambil dari beberapa sumber buku yang saling berhubungan.
b. Mengklasifikasi data-data dari sumber tersebut, yakni dengan cara
mengelompokkan data-data berdasarkan jenisnya, yaitu:
1) Sumber Data Primer
a. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
b. Tiga buku tafsir al-Qur’an: Pertama, Tafsir Al-Misbah karya Quraish
Shihab. Kedua, Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi.
Ketiga Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.
2) Sumber Data Sekunder
a. Buku-buku yang membahas tentang pengetahuan al-Qur’an.
b. Kamus-kamus yang berisikan tentang kosa-kata al-Qur’an yang mana
isinya berupa petunjuk praktis untuk mengetahui makna pada setiap
kosa-kata al-Qur’an.
c. Buku-buku pendidikan yang khususnya membahas tentang masalah
yang akan dikaji.
d. Buku-buku Aqidah yang menunjang dalam penulisan ini.

4. Teknik Analisis Data


Setelah data dikumpulkan, data perlu diolah atau dianalisis. Analisi data
kualitatif menurut Bogdan dan Biklen adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, menggorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain.5 Analisis data merupakan pekerjaan yang

5
Ibid., h. 248
50

amat kritis dalam proses penelitian. Adapun analisis data ini terbagi dua yaitu
analisis statistik dan nonstatistik.6
Dalam analisis data ini, penulis menggunakan analisis nonstatistik yaitu
data yang memiliki sifat verbal berupa ungkapan-ungkapan.7 Dalam proses
analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif-analisis yaitu memberikan
gambaran tentang data yang dianalisis dengan cara mengumpukan data, analisis
data kemudian menarik kesimpulan.
Adapun metode tafsir yang digunakan dalam pembahasan ayat adalah
metode tafsir tahlili (analisis), menurut Hamka Hasan metode tafsir tahlili yaitu
suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat alqur’an
dari seluruh aspeknya. Penafsir memulai uraiannya dengan menyebutkan arti kata-
kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti ayat. Ia juga mengemukakan
munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat
8
tersebut satu sama lain. Menurut Quraish Shihab munasabah yaitu adanya
keserupaan dan kedekatan di antara berbagai ayat, surah dan kalimat yang
mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan
makna antar ayat dan macam-macam hubungan atau kemestian dalam pikiran
(nalar).9 Penafsir juga membahas mengenai asbabun nuzul, yaitu sesuatu yang
melatar belakangi turunnya satu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu
peristiwa atau menceritakan sesuatu peristiwa, atau menjelaskan hukum yang
terdapat dalam peristiwa tersebut.10
Adapun kelebihan dari metode tahlili ini antara lain adanya potensi untuk
memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosa kata ayat,
syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut
segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat. Analisi ayat
dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan
kecenderungan mufassir. Sementara kelemahan metode tahlili ini, walaupun

6
Punaji Setyosari, Op. Cit., h. 209
7
Ibid, h. 209
8
Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadist, (Jakarta: Lembaga Penelitian Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 4
9
Abu Anwar, Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. III, h. 61
10
Dawud Al-Aţţar, Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), Cet. I, h. 127
51

dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokok bahasan, karena seringkali satu
ayat pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutan pada ayat lain.11
Menurut Quraish Shihab yang dikutip oleh Abuddin Nata, prosedur yang
ditempuh dalam metode tahlili ini adalah sebagai berikut:
a. Bermula dari kosa-kata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan
sebagaimana urutan dalam al-Qur’an.
b. Menjelaskan asbab an-nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan yang
diberikan oleh Hadis (bi ar- riwayah).
c. Menjelaskan munasabah atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat
sebelum atau sesudahnya.
d. Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan
menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan
Hadis Rasulullah saw. atau dengan menggunakan penalaran rasional atau
berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan.
e. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum
mengenai suatu masalah atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat
tersebut.12
Dilihat dari segi pendekatannya, metode tafsir tahlili ini ada yang
menggunakan sandaran pada hadis-hadis Rasulullah saw. yang selanjutnya
disebut tafsir bi al-Ma’śûr dan ada yang menggunakan sandaran pada penalaran
atau pendapat akal yang disebut dengan tafsir bi al-ra’yi.13

11
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 219
12
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), Cet.
I, h. 169
13
Ibid., h. 169
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tafsir Surat al-An’am ayat 74-79


1. Teks dan Terjemah Ayat

              

         

               

              

           

         


     

         

     

“ 74. Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar,


"Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."
75. Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda
keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami
memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin. 76. Ketika malam
telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah
Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka
kepada yang tenggelam." 77. Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia
berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata:
"Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku
Termasuk orang yang sesat." 78. Kemudian tatkala ia melihat matahari
terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala
matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku

52
53

berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. 79. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi,
dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk
orang-orang yang mempersekutukan tuhan.

2. Tafsir Mufradat Ayat


ً‫ اصْب‬: ashnâm, adalah bentuk jamak dari kata ٌْ‫( ص‬şanam), yaitu sesuatu
yang dipahat dari kayu, dan dibentuk dari emas atau logam. Disebutkan dalam
hadits bahwasannya aşnâm dan şanam yaitu sesuatu yang dijadikan sembahan
selain Allah. Begitu pula diriwayatkan oleh Ibnu „Abbas dari Ibn „Arabi
bahwasannya ٌْ‫( ص‬şanam) yaitu gambar yang disembah.1 Dalam bahasa arab,
terdapat sinonim kata ٌْ‫( ص‬şanam) yaitu ِ‫( ٗث‬waśan) . Kata ٌْ‫( ص‬şanam)
diartikan sesuatu yang berwujud atau berbentuk, sedangkan ِ‫( ٗث‬waśan) diartikan
sebagai sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak berwujud. Sama halnya dengan
pendapat Ibnu „Arafah mengartikan ِ‫( ٗث‬waśan) sesuatu yang dijadikan
sesembahan yang tidak berbentuk sedangkan ٌْ‫( ص‬şanam) itu yang berbentuk.
Ada juga yang berbeda dalam mengartikan kata ٌْ‫( ص‬şanam) dan ِ‫(ٗث‬waśan).
Kata ِ‫( ٗث‬waśan) diartikan sebagai sesuatu yang berwujud dari kayu, atau batu,
atau emas yang dipahat dan disembah, sedangkan ٌْ‫( ص‬şanam) tidak berbentuk.
Terlepas dari perbedaan itu semua, kata yang sering digunakan yaitu kata
ٌْ‫(ص‬şanam).
‫ ءاىٖخ‬: Âlihah yaitu segala sesuatu yang disembah.2 Bahkan ada yang
berpendapat Matahari kadang disebut ilâh, karena ia disembah oleh orang-orang
musyrik. Demikian pula dengan benda-benda lain yang menjadi ilâh apabila
disembah oleh manusia. Âlihah merupakan bentuk jamak dari kata ilâh, menurut
Ibnu Atsîr, lafadz ilâh berasal dari kata aliha-ya`lahu.3 Kata ilâh sendiri
merupakan bentuk maşdar dari kata kerja alaha yang berarti menyembah atau
heran. Walaupun ilah berbentuk maşdar, namun ia mengandung arti ism maf‟ûl,

1
Ibnu Manťûr, Lisânul „Arabi, (Beirut: Dar Sader, 1997), Cet. I, h. 79
2
Ibrâhîm Muşţafa, Mu‟jam Al-Wasîţ, (Kairo: Dar Ad-Da‟wa, ), h. 25
3
Ibnu Manťûr, Op. Cit., h. 96
54

sehingga ilâh diartikan sebagai yang disembah atau yang diherankan. Disebut ilâh
karena ia disembah, atau karena ia menimbulkan keheranan pada akal manusia.4
Demikian pula para ulama mengartikan Ilâh dengan yang disembah
dengan menegaskan bahwa Ilâh adalah segala sesuatu yang disembah, baik
penyembahan itu tidak dibenarkan oleh agama Islam; seperti terhadap matahari,
bintang, bulan, manusia, atau berhala; maupun yang dibenarkan dan diperintahkan
oleh Islam, yakni Dzat yang wajib wujud-Nya, Allah swt. Karena itu, jika seorang
Muslim mengucapka Lâ Ilâha Illâ Allâh maka dia telah menafikan segala tuhan,
kecuali Tuhan yang nama-Nya “Allah”.5
Selain diartikan sebagai sembahan, ada juga yang mengartikan bahwa ilâh
itu mengherankan atau menakjubkan, karena segala perbuatan ciptaan-Nya
menakjubkan atau apabila dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat
ketidak tahuan makhluk tentang hakikat Dzat Yang Maha Agung itu. Apapun
yang terlintas di dalam benak menyangkut Dzat Allah, maka Allah tidak
demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan, “Berpikirlah
tentang makhluk-makhluk Allah, dan jangan berpikir tentang Dzat-Nya.” 6
ِ‫ ضاله ٍجي‬: đalâlim mubîn kata đalâl berasal dari kata đalla - yađillu - đalâl
wa đalâlatan (‫)ضو – يضو – ضاله ٗضالىخ‬. Kata ini terambil dari akar kata yang
terdiri dari huruf-huruf đâ‟ (‫)ضبء‬, lâm (ً‫)ال‬, dan lâm (ً‫ – )ال‬tasydid huruf lâm –
yang menurut bahasa bermakna „kehilangan jalan‟, „bingung‟, atau „tidak
mengetahui arah‟. Di dalam konteks immaterial, kata đalla (ّ‫ )ضو‬diartikan sebagai
„sesat dari jalan kebajikan‟, „meninggalkan jalan kebenara‟, atau „menyimpang
dari tuntunan agama‟, atau lawan kata dari kata „petunjuk‟. Mufasir wanita.
Aisyah bintu Asy-Syati‟ merumuskan makna kata đalla (ّ‫ )ضو‬sebagai „setiap
tindakan atau ucapan yang tidak menyentuh kepada kebenaran‟.7
Kata đalâl dalam ayat ini disifati dengan kata mubîn, kata mubîn ini
merupakan bentuk ism fâ‟il dari abâna – yubînu – Ibânatan (‫ إثبّخ‬- ِ‫)أثبُ – يجي‬,

4
Ahsin W. al-Hafiż, Kamus Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. II, h. 20
5
M. Quraish Shihab, dkk, Ensiklopedia Al-Qur‟an; Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h. 77
6
Ibid., h. 76
7
Ibid., h. 1
55

turunan huruf ba‟, ya‟ dan nûn, memiliki dua makna denotasi, yaitu „jarak‟ dan
„tersingkap‟. Dari makna yang pertama, „jarak‟, lahir bentuk lain, seperti bain (ِ‫ثي‬
– pemisah, antara) karena merupakan batas yang jelas antara dua hal atau tempat.
Dari makna yang kedua, „tersingkap‟, berkembang menjadi, antara lain:
„menjelaskan‟ karena menyingkap hal sesuatu; „fasih‟ (ucapannya) karena lebih
jelas pengungkapannya, sehingga maksud tersingkap dengan jelas pula; bayân
(ُ‫ ثيب‬- penjelasan) karena hal menyingkapkan makna yang masih samar-samar.8
Secara umum, kata mubîn di dalam al-Qur‟an digunakan sebagai sifat
keadaan, baik yang menunjukkan sesuatu yang baik maupun sesuatu yang jelek.
Dalam ayat ini, kalimat (ِ‫ )ضاله ٍجي‬menunjukkan kepada keadaan yang tidak baik,
yaitu menjelaskan tentang kesesatan bapak dan kaum Nabi Ibrâhim as. yang
menjadikan berhala sebagai tuhan mereka.
ِ‫ اىَ٘قْي‬: al-mûqinîn adalah bentuk jamak dari mûqin, dan kata mûqin itu
sendiri merupakan bentuk ism al-fâ‟il ( ‫ = اعٌ اىفبعو‬kata benda yang menunjukkan
pelaku) dari kata ayqana – yûqinu – îqânan – mûqin (ِ‫ ٍ٘ق‬- ‫)ايقِ – ي٘قِ – ايقبّب‬, dan
kata mûqin terambil dari kata yaqîn. Kata yaqîn ini mengandung makna
pengetahuan yang tidak disentuh dengan keraguan sedikit pun.
Selain itu, yakin itu sendiri memiliki arti sebagai pengetahuan yang
mantap tentang suatu dibarengi dengan tersingkirnya apa yang mengeruhkan
pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun dalih-dalih yang dikemukakan
lawan. Sebelum tiba keyakinannya, seseorang terlebih dahulu disentuh oleh
keraguan, namun ketika seseorang itu sampai pada tahap yakin maka keraguan
yang tadinya ada akan menjadi sirna. Karena itu, kaum mûqinîn disifati sebagai
“orang-orang yang menemukan keyakinannya dalam dirinya, atau menemukan
keimanannya dengan segenap indranya”.9
Yaqîn merupakan tingkatan ilmu yang lebih tinggi dari ma‟rifah
(pengetahuan) dan dirâyah (pengetahuan). Oleh karena itu dikatakan - bukan
ma‟rifatul-yaqîn. Yaqîn ada tiga tingkat: „ilmul-yaqîn, „ainul-yaqîn, dan haqqul-

8
Ibid., h. 1
9
Ahsin W. al-Hafiż, Op. Cit., h. 200
56

yaqîn. Menurut orang-orang sufi, yaqîn ialah penglihatan mata kepala dengan
kekuatan iman, tanpa dalil dan keterangan.10
ّٚ‫ سث‬: Rabbî, kata ّٚ‫ سث‬terbentuk dari dua kata yaitu rabb dan ya‟
mutakallim wahdah sehingga kedudukannya menjadi iḍâfat yaitu terdiri dari
muḍaf dan muḍaf ilaih. Kata rabb (ّ‫ )سة‬yang secara etimologis berati pemelihara,
pendidik, pengasuh, pengatur yang menumbuhkan. Kata rabb biasa dipakai
sebagai salah satu nama Tuhan karena Tuhanlah yang secara hakiki menjadi
pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluk-Nya.
Oleh sebab itu, kata tersebut biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan kata Tuhan.11 Al-Maragi mengartikan lafadz Rabbi yaitu Pemilikku dan
pengatur usahaku.12
‫ حْيف‬: hanîf biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu.
Kebalikan dari hânif adalah az-Zaig, artinya miring dari hak ke arah kebatilan,
dari hidâyah kepada đalâlah.13 Dalam kitab tafsir jalalain, kata hanîf diartikan
condong kepada agama yang lurus.14Kata ini pada mulanya digunakan untuk
menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya kepada telapak pasangannya.
Yang kanan condong ke arah kiri, dan kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan
manusia dapat berjalan lurus. Kelurusan itu, menjadikan si pejalan tidak mencong
ke kiri, tidak pula ke kanan. Ajaran Nabi Ibrâhim as. adalah hanîf, tidak bengkok,
tidak memihak kepada pandangan hidup yang hanya memenuhi kebutuhan
jasmani, tidak juga semata-mata mengarah kepada kebutuhan ruhani.15
Kata hanîf itu sendiri berasal dari akar kata hanafa. Kata tersebut apabila
didefiasikan dari kata kerjanya yaitu hanafa – yahnifu – hanîfan, artinya condong
atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Maksud kecenderungan disini
yaitu kecenderungan kepada yang benar.

10
M. Quraiş Şihab, dkk, Op. Cit., h. 1102
11
Ibid., h. 801
12
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir al-Maragi Terj. dari Tafsir al-Maragi oleh
K. Anshori Umar Sitanggal, dkk, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1992), cet. II, h. 288
13
Ahsin W. al-Hafiż, Op. Cit., h. 95
14
Syaikh Jalâluddin bin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Syaikh Abdul ar-Rahman
bin Abi Bakr as-Suyuţi, Tafsir Jalâlain, (tt.p., Haramain: 2007), Cet. VI, h. 120
15
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2009), Cet. I, h. 517
57

M. Dawam Rahardjo mengutip pendapat Hadrat Mirza Nâshir Ahmad


yang merujuk kepada beberapa sumber bahwa kata hanîf memiliki beberapa
makna:
a. Orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengarahkan dirinya
kepada petunjuk;
b. Orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa
keinginan untuk berpaling dari padanya;
c. Seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam
dan terus menerus mempertahankannya secara teguh;
d. Seseorang yang mengikuti agama Ibrâhim as. ; dan
e. Orang yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.16
ِ‫ ٍششمي‬: Musyrikîn, kata musyrikîn merupakan bentuk jamak dari kata
musyrik. Dan kata musyrik itu sendiri merupakan bentuk ism al-fâ‟il ( ‫= اعٌ اىفبعو‬
kata benda yang menunjukkan pelaku) dari kata asyraka – yusyriku – isyrâk –
musyrik ( ‫)أششك – يششك – إششاك – ٍششك‬, dan perbuatannya disebut syirk (‫)ششك‬.
Secara bahasa, Ibnu Manťûr mengartikan kata syirk sebagai persekutuan dan
bagian. Sementara al-Aşfahani mengartikan dengan percampuran dua hal atau
lebih, baik secara substansi atau secara makna. Karena musyrik merupakan pelaku
syirk maka secara bahasa kata itu berarti orang yang melakukan
persekutuan/perserikatan atau membagi bagian tertentu.
Adapun secara istilah, syirk berarti menjadikan sesuatu bersama Allah
sebagai tuhan untuk bisa disembah. Sesuatu yang dimaksud bisa berbentuk benda
hidup seperti binatang, pohon, atau benda mati seperti patung. Dengan kata lain,
di dalam bentuk materi seperti matahari, bangunan, maupun immateri, yaitu ruh,
jin, dan sebagainya. Dengan demikian, orang musyrik pada hakikatnya adalah
orang yang mengingkari ke-Esaan Tuhan, apakah dari segala zat, sifat, maupun
perbuatan-Nya. Pengingkaran terhadap tiga segi tersebut konsekuensinya
membawa kepada pengingkaran terhadap kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta

16
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. II, h. 62
58

dan pengendali alam semesta; namun, orang musyrik itu tidak mengingkari Allah
sebagai Tuhan.17

3. Tafsir Surat al-An’am [6] : 74 - 79

              

 

“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar,


"Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang
nyata."
Menurut Quraish Shihab bahwa Azar adalah (‫ )اة‬ab/bapak Nabi Ibrâhîm
as. dengan kata orang tua alasan beliau merujuk kepada Q.S. Yûsuf ayat 4 yang
berbunyi : (ٔ‫ )إرقبه ي٘عف ألثي‬idz qâla Yûsufu li abîhi. Para ulama berbeda pendapat
menyangkut Azar, apakah dia ayah kandung Nabi Ibrahim as. atau pamannya,
sebagaimana mereka berbeda pendapat tentang kata itu apakah dia nama atau
gelar serta maknanya dan mengapa dia dinamai demikian.18
Nabi Ibrâhîm as. menasihati bapaknya yang menyembah berhala dan
melarangnya berbuat demikian. Namun, sang ayah tidak menggubrisnya. 19 Dalam
surat al-An‟am ini merupakan ucapan Nabi Ibrâhîm setelah berkali-kali beliau
menyampaikan kepada orang tuanya tentang kesesatan mempersekutukan
Tuhan.20 Kesesatan dalam ayat ini yaitu tersesat dan tidak memiliki petunjuk
kemana seharusnya mereka berjalan. Bahkan, mereka berada dalam kebingungan
21
dan ketidak tahuan dikarenakan ayah Nabi Ibrâhîm dan kaumnya menyembah
berhala.
Menurut al-Maraghi maksud berhala-berhala ini adalah patung-patung
yang dipahat dari batu, dibuat dari kayu, atau dari logam. Tidak layak bagi orang

17
M. Quraiş Şihab, dkk, Op. Cit., h. 664
18
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h.506
19
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan dari Allah; Ringkasan tafsir Ibnu Katsir, Terj.
dari Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir oleh Syihabuddin, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), Cet. VIII, h. 235
20
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 508
21
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Op. Cit., h. 235
59

yang berakal untuk menyembah apa yang sebanding dengannya dalam penciptaan,
tidak pula apa yang berada di dalam kekuasaan Al-Khaliq, butuh kepada Allah
Yang Maha Kaya lagi Maha Kuasa, tidak kuasa untuk mendatangkan manfaat
maupun kemudaratan, tidak pula dapat memberi dan menahan pemberian.22
Sehingga dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang menyembah berhala
mereka dalam kesesatan yang nyata. Disifatinya kesesatan dengan nyata untuk
menjelaskan apa yang telah terjadi pada diri mereka.
Dari penjelasan para mufassir di atas akan Q.S. al-An‟am ini dapat
disimpulkan bahwa Ayat ini menjelaskan tentang kisah Nabi Ibrâhîm as. dalam
menghadapi kaumnya yang menjadikan patung-patung sebagai tuhan mereka.
Tidak hanya kaumnya saja, namun ayah Nabi Ibrâhîm as. sendiri yaitu yang
disebutkan dalam ayat ini bernama azar juga menyembah berhala. Di sini Nabi
Ibrâhîm as. tidak mempercayai akan tuhan-tuhan yang mereka sembah. Bahkan
Nabi Ibrâhîm as. membantah akan keyakinan mereka itu dengan menjelaskan
akan kesesatan dan kemusyrikan mereka.

        

“Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda


keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami
memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin.”
Setelah Allah swt. memperlihatkan kebenaran kepada Nabi Ibrâhîm yaitu
dengan menjelaskan akan kesesatan ayah dan kaumnya, maka pada ayat ini Allah
memperlihatkan kepada Nabi Ibrâhîm akan kerajaan langit dan bumi.

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ini, dalam tafsir ath-
Tabari dijelaskan ada empat perbedaan pendapat para ulama dalam menafsirkan
lafaz ‫( ٍين٘د‬malakût) pada ayat ini. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa
maknanya adalah “Kami perlihatkan kepadanya penciptaan langit dan
bumi.”Kedua, berpendapat bahwa lafaz al malakût artinya kerajaan. Ketiga,
berpendapat bahwa maksudnya adalah ayat-ayat langit dan bumi. Dan keempat,

22
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Ci., h. 290
60

berpendapat bahwa maksudnya adalah Allah memperlihatkan bintang, bulan dan


matahari.23

Lafadz (‫ )ٍين٘د اىغَ٘اد ٗاالسض‬diartikan pula oleh Quraish Shihab sebagai


Kepemilikan Allah terhadap langit dan bumi, yakni seluruh alam raya,
mengandung juga makna kekuasaan dan wewenang penuh dalam mengaturnya
serta tidak dapat dialihkan atau dicabut oleh pihak lain sebagaimana kepemilikan
makhluk.24Selanjutnya al-Maraghi menjelaskan bahwa (‫)ٍين٘د اىغَ٘اد ٗاالسض‬
kerajaan langit dan bumi; Yakni diciptakan keduanya dengan segala isinya,
berupa aturan-aturan yang indah dan buatan yang mengagumkan. Kemudian Allah
perlihatkan padanya bintang-bintang yang beredar pada orbitnya di atas jalur yang
tetap. Dan diperlihatkan pula padanya bumi dan yang ada di dalam berbagai
lapisannya, berupa barang-barang tambang yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Selain itu, Allah tampakan padanya perkara bumi itu, baik yang bersifat
batin maupun lahir. 25

Adapun tujuan Allah swt. diperlihatkannya kerajaan langit dan bumi yaitu
agar dia mengetahui sunnah Kami terhadap makhluk, kebijaksanaan Allah di
dalam mengatur kerajaan, dan ayat-ayat yang menunjukkan Rubûbiyyah-Nya.
Supaya dengan itu, dia dapat menegakkan hujjah terhadap orang-orang musyrik
yang sesat, dan supaya dia sendiri termasuk orang-orang yang benar-benar yakin
sampai ke tingkat „ainul- yaqin.26 Selain itu, untuk menetapkan tauhid kepada
Allah swt., agar ia mengetahui hakikat hidayah yang diberikan kepadanya, dan
mengetahui kesesatan kaumnya yang menyembah berhala.27

Allah swt. menjadikan Nabi Ibrâhîm as. masuk dalam kelompok al-
Mûqinîn, yakni orang-orang yang telah teguh keyakinannya. Salah satu ciri
anggota kelompok ini adalah terbukanya bagi mereka sebagian tabir metafisika

23
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. dari Jami‟ Al
Bayan an Ta‟wil Ayi Al Qur‟an oleh Akhmad Affandi, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet.
I, h. 154
24
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 510
25
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 291
26
Ibid., h. 291
27
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., h. 163
61

sesuai dengan kehendak Ilahi.28 Hamka menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Nabi
Ibrâhîm as. memperoleh ilmu Ladunni.29

Kemudian Allah memperinci akan kerajaan langit dan bumi yang


sebagaimana dalam ayat selanjutnya:

               



“Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata:
"Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya
tidak suka kepada yang tenggelam.”
Proses pemikiran atau cara membungkam para penyembah benda-benda
langit itu bermula atau dimulai Ketika malam telah menutupinya menjadi sangat
gelap sehingga meliputi seluruh totalitasnya bahkan sekelilingnya. Tenggelamnya
bintang adalah salah satu bukti ketidakwajarannya untuk dipertuhankan.30 Ketika
Allah Ta‟ala mulai memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepadanya,
dilihatnya sebuah bintang besar yang menonjol dari bintang Jupiter yang
merupakan tuhan terbesar bagi sebagian penyembah bintang dari bangsa Yunani
dan Romawi Kuno.31 Ketika melihat itu, Ibrâhîm as. berkata:

‫قَبهَ َٕزَا سَثِي‬

“Inilah Tuhanku”. Perkataan ini dikemukakannya di dalam forum


perdebatan dan adu argumentasi dengan kaumnya, sebagai permulaan
pengingkarannya terhadap mereka. Pertama-tama, dia mengemukakan perkataan
mereka sendiri guna menarik perhatian mereka supaya mau mendengarkan hujjah
atas kebatilan sembahan terhadap bintang itu. Pertama-tama dia mengaburkan
pandangan mereka, sehingga mereka menduga bahwa dia menyetujui pandangan

28
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 511
29
Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), h.
252
30
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 512
31
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 291
62

mereka. Kemudian, dia menyampaikan kritiknya, yang dalilnya didasarkan atas


indra dan akal.

Namun, tatkala bintang itu terbenam dan menghilang, dia berkata,


“Sesungguhnya aku tidak menyukai apa yang terbenam dan menghilang”.
Menurut Syekh Muhammad Nawawi dalam tafsir munîr menjelaskan maksudnya
adalah tidak suka menyembah tuhan-tuhan yang berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain, dan yang berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain
yang terhalang oleh tutup-tutup.32 Perkataan ini disampaikan karena orang yang
sehat fitrahnya tidak akan menyukai sesuatu yang hilang dari padanya, dan tidak
pula merasa kesepian karena kehilangannya.33 Tenggelamnya bintang adalah salah
satu bukti ketidak wajarannya untuk dipertuhankan. Gerak menunjukkan
perubahan pada tempat dan ini menunjukkan bahwa ia baru, selanjutnya ini
menunjukkan bahwa wujudnya tidak wajib dalam arti boleh ada dan boleh tidak
ada (mumkin al-wujud) dan yang demikian – bila wujud – pasti ada yang
mewujudkan sehingga ia tidak mungkin Tuhan.34

Dengan demikian pernyataan Nabi Ibrâhîm a.s tersebut mengenai wujud


Allah di atas mengisyaratkan bahwa sesuatu yang disembah seharusnya dikagumi
dan dicintai sehingga yang tidak mencintai sesuatu tidaklah wajar mengabdi
kepadanya. Memang, bisa saja seseorang menyembah sesuatu karena takut
kepada-Nya, tetapi yang demikian itu tidak merupakan puncak pengabdian atau
bahkan tidak wajar dinamai ibadah. Ibadah yang sebenarnya adalah yang
berpangkal dari rasa kagum dan cinta kepada Tuhan.35

               

   

32
Syekh Muhammad Nawawi, Tafsir Munir; Juz I, (Semarang: Thaha Putra, t.t ), h. 247
33
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 292
34
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 513
35
Ibid., h. 513
63

“Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku".
tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika
Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang
yang sesat."
Setelah terbukti bahwa bintang tidak pantas dijadikan sebagai tuhan
karena ia tenggelam, maka beralihlah kepada bulan yang cahayanya tampak lebih
besar dibandingkan dengan bintang. Ketika melihat permulaan terbitnya bulan di
balik ufuk, Nabi Ibrâhîm as. bekata, “Inilah Tuhanku.”

Penggunaan kata (‫ )ٕزا‬hâdzâ pada Q.S. al-An‟am ayat 77 di atas, juga


sebelum dan sesudahnya bukan saja menunjuk sesuatu yang tertentu, tetapi juga
mengandung makna bahwa yang ditunjuk itu adalah sesuatu yang sebelumnya
telah dicari, lalu kini ditemukan.36

Ketika bulan itu tenggelam sebagaimana halnya bintang, maka Nabi


Ibrâhîm as. berkata sambil mendengarkannya kepada orang-orang sekitarnya,
“Sekiranya Tuhanku tidak memberiku petunjuk dan taufik untuk mencapai
kebenaran dalam mentauhidkan-Nya, tentulah aku sudah termasuk kaum zalim
yang tidak mencapai kebenaran dalam hal itu. Sehingga, mereka tidak mendapat
petunjuk, menyembah selain Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak
mengamalkan apa yang diridai oleh Allah Ta‟ala”.37

Ucapan Nabi Ibrâhîm as. tersebut behubungan dengan penolakannya yang


telah dikemukakan ketika melihat bintang yang tenggelam bahkan semua yang
tenggelam dan yang di sini bulan pun demikian. Dengan tenggelamnya bulan,
terbukti bahwa jika beliau mempertuhankannya, beliau pasti sesat dan karena itu
beliau lanjutkan dengan berkata pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.

Di sini terdapat sindiran yang lebih pantas dikatakan terdapat


keterusterangan kesesatan kaumnya, dan isyarat kepada bergantungkannya
hidayah Ad-Din pada wahyu Ilahi. Di sini sindiran meningkat karena hujjah
lawan bicara setelah terpojok dengan pembuktian pertama, sehingga keyakinan

36
Ibid., h. 515
37
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 294
64

mereka ternodai. Dalam langkah ketiga, ia beralih dari sindiran kepada terus
terang, menyatakan kebebasannya dari mereka, dan bahwa mereka benar-benar
berada dalam kemusyrikan yang nyata.38 Setelah jelas bahwa Hal ini setelah
kebenaran benar-benar tampak, sebagaimana ayat selanjutnya :

       


        

   

“Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah


Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia
berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan.”
Sambil menunjuk matahari, Nabi Ibrâhîm as. berkata, “Yang aku lihat
sekarang, inilah Tuhanku”.
ُ‫َٕزَا اَمْجَش‬

“Ia lebih besar dari bintang dan bulan.” Tampak dari sini, bahwa Ibrâhîm
memperpanjang argumentasinya untuk menyudutkan mereka. Dalam
pembicaraannya ini pula terdapat pendahuluan untuk menegakkan hujjah atas
mereka, dan tahapan untuk memancing perhatian mereka agar mau mendengarkan
pembicaraan sesudah sindiran yang di khawatirkan akan mereka sangkal.

Setelah matahari itu terbenam, sebagaimana yang lainnya menghilang, lalu


tertutuplah cahayanya, dan kesunyian melebihi kesunyian karena tenggelamnya
bintang dan bulan. Maka, Nabi Ibrâhîm as. membeberkan sejelas-jelasnya, apa
yang dia kehendaki setelah sindiran itu, sambil melepaskan diri dari kemusyrikan
kaum karena keburukannya dengan memutar balik dan mengulur-ulur
pembicaraan dengan penuh kelembutan hingga sampai kepada apa yang dia
kehendaki dengan cara yang terbaik dan terhalus, sambil membebaskan diri dari

38
Ibid., h. 294
65

sembahan-sembahan yang mereka jadikan Tuhan dan tuhan-tuhan selain Allah


itu.39

Dalam tafsir ath-Thabari dijelaskan, bahwa berita dari Allah swt. tentang
ucapan Nabi Ibrâhîm as. (‫ ) َٕزَا سَثِي‬ketika melihat bintang, bulan dan matahari,
sama sekali bukan karena ketidaktahuan beliau bahwa semua itu bukan tuhan
namun sebaliknya, ungkapan tersebut merupakan pengingkaran bahwa semuanya
bukan tuhan. Juga dalam rangka melecehkan kaumnya yang menyembah berhala.
Maksudnya, bintang, bulan dan matahari saja tidak pantas dijadikan tuhan, maka
apalagi berhala yang mereka sembah, padahal semuanya lebih bercahaya dari
pada berhala, sementara berhala lebih kecil. Itu hanyalah ungkapan debat yang
diungkapkan kepada kaumnya, seperti yang biasa dilakukan oleh ahli debat yang
membantah lawan dan menjelaskan kebatilan pendapatnya.40

Begitu pula Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya mengenai cara Nabi
Ibrâhîm as. pada Q.S. al-An‟am ayat 74-78 dalam mengungkapkan akan kasesatan
ayah dan kaumnya yaitu pada tataran pertama berupa dialog dengan ayahnya,
Nabi Ibrâhîm as. hendak menjelaskan kesalahan mereka dalam menyembah
berhala-berhala arđi yang bersosok malaikat samawi agar berhala-berhala itu
memintakan syafa‟at untuk mereka kepada Pencipta Yang Maha Agung. Mereka
berpandangan bahwa terlalu hina bila menyembah-Nya secara langsung.
Sebenarnya mereka hanya menjadikan patung-patung malaikat itu sebagai
perantara untuk memintakan pertolongan, rezeki, dan semacamnya kepada Yang
Maha Pencipta.

Dalam tataran kedua, Ibrahim menjelaskan kesalahan dan kesesatan


mereka karena menyembah patung-patung yang melambangkan tujuh buah tata
surya, yaitu bulan, Merkurius, Venus, matahari, Mars, Yupiter dan Saturnus.
Menurut mereka, planet yang kuat cahayanya dan paling mulia ialah matahari,
kemudian bulan dan Venus. Mula-mula Nabi Ibrâhîm as. menjelaskan bahwa
planet Venus tidak layak mendapat predikat tuhan, sebab planet ditaklukkan dan

39
Ibid., h. 295
40
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., h. 153
66

ditetapkan dalam peredaran tertentu, tidak menyimpang ke kiri maupun ke kanan,


dan tidak memiliki kehendak untuk mengatur dirinya sendiri. Namun Venus
merupakan salah satu benda yang diciptakan bercahaya karena ia memiliki
hikmah yang besar. Demikian pula halnya dengan matahari dan bulan dijelaskan
oleh Nabi Ibrâhîm as. satu demi satu.

Setelah Nabi Ibrâhîm as. meniadakan unsur ketuhanan dari ketiga planet
yang bercahaya menurut pandangan mata dan membuktikan kebatilannya dengan
argumentasi yang qaţ‟i maka “ia berkata, „Wahai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kalian sekutukan.” Yakni, aku terlepas diri dari
penyembahan planet itu dan dari menjadikannya sebagai penolong.41

Setelah membebaskan diri dari kemusyrikan mereka itu, dia menutup


dengan menjelaskan akidahnya: akidah tauhid yang murni. Dia berkata :

           

 

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan


langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan”.
“Aku menghadapkan wajahku dalam keadaan hanîfan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan”, yakni bukan menganut apa yang dianut oleh kaumnya
bahkan oleh siapa pun yang mengakui dalam hati, atau ucapan, atau perbuatannya
bahwa ada penguasa atau pemberi pengaruh terhadap sesuatu selain Allah swt.
atau kecuali atas izin-Nya”.42 Hanîf di sini juga diartikan cenderung dari
kemusyrikan kepada tauhid.43

41
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i,Op. Cit., h. 237
42
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 516
43
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Op. Cit., h. 237
67

Menyerahkan muka kepada Allah Ta‟ala adalah menghadapkan hati


kepada-Nya. Diungkapkan demikian karena wajah adalah manifestasi terbesar
bagi apa yang tersimpan di dalam jiwa, berupa menerima, berpaling, senang, duka
cita dan sebagainya. Mengarahkan wajah kepada-Nya berarti mengarahkannya
hanya kepada-Nya di dalam memohon kebutuhan dan ikhlas beribadah, karena
Dialah yang berhak diibadahi, yang kuasa memberikan balasan dan pahala.44

B. Pendidikan Keimanan yang Terkandung di dalam Surat al-An’am Ayat


74-79
Pendidikan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Secara
kodrati manusia membutuhkan pendidikan. Salah satu pendidikan yang paling
dasar ditanamkan adalah pendidikan keimanan dalam bentuk pendidikan Tauhid,
karena pada dasarnya manusia memiliki fitrah berupa keimanan kepada Allah
yang dilahirkan dengan dibekali fitrah untu beragama tauhid. Begitu pula para
rasul dalam menyampaikan risalahnya untuk menanamkan tauhid ke dalam jiwa
umatnya, mengajak mereka supaya beriman kepada Allah, menyembah,
mengabdi, dan berbakti kepada-Nya dengan melarang berbuat musyrik kepada-
Nya. Adapun aspek tauhid ini adalah:
Aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang
berketuhanan. Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia
menjadi makhluk berketuhananan atau agama adalah didalam jiwa manusia
terdapat insting yang disebut insting religius atau garizah diniyah (insting
percaya pada agama). Itulah sebabnya tanpa proses pendidikan insting
tersebut tidak akan mungkin berkembang secara wajar. Dengan demikian
pendidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan insting
religius atau gazirah diniyah tersebut.45
Dari uraian di atas dapat difahami bahwa pendidikan keimanan itu
merupakan pendidikan yang paling utama yang harus ditanamkan dalam diri
setiap muslim yang ditanamkan sejak dini. Karena pendidikan keimanan ini
merupakan pendidikan dalam upaya untuk mengajak anak didik untuk meyakini
kepada rukun-rukun iman yang enam, yang pokok utamanya ialah iman kepada
Allah swt. dalam bentuk tauhid, karena inti dari keimanan adalah tauhid. Sehingga

44
Ahmad Muşţafa al-Maragi, Op. Cit., h. 296
45
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Op. Cit., h.117
68

dengan adanya pendidikan tauhid ini, dapat mengembangkan fitrahnya sebagai


manusia yang telah dibekali dengan fitrah ketauhidan dengan bertujuan adanya
pendidikan tauhid ini dapat menjaga kesucian fitrah manusia yang telah Allah swt.
anugerahkan agar menjadi hamba yang berbakti kepada Allah swt.
Dengan begitu yang dimaksud dengan pendidikan tauhid adalah pemberian
bimbingan kepada anak didik agar ia menjadi jiwa tauhid yang kuat dan mantap
dan memiliki tauhid yang baik dan benar. Bimbingan itu dilakukan tidak hanya
dengan lisan dan tulisan tetapi juga – bahkan kini yang terpenting – dengan sikap,
tingkah laku dan perbuatan. Sedangkan yang dimaksud pendidikan dan
pengajaran tauhid ialah pemberian pengertian tentang ketauhidan, baik sebagai
akidah yang wajib diyakini maupun sebagai filsafat hidup yang membawa kepada
kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.46 Adapun mengenai pembahasan tauhid
dalam ayat ini mencakup pada tauhid ulûhiyyah, tauhid rubûbiyyah dan tauhid
asmâ wa sifât.

1. Tauhid Ulûhiyyah
Tauhid Ulûhiyyah adalah meng-Esakan Allah Ta‟ala dan beribadah
kepada-Nya sesuai dengan syari‟at yang telah ditetapkan. Sehingga manusia akan
menyerahkan atau menggantungkan dirinya kepada Allah agar mendapatkan
rahmat dari-Nya.47 Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-An‟am : 162-163

             

     

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku


hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (162) Tiada sekutu bagiNya;
dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (163)
Adapun pendidikan tauhid yang terdapat pada Q.S. al-An‟am ayat 74
yaitu tauhid ulûhiyyah, pada ayat ini dijelaskan bagaimana cara Nabi Ibrâhîm as.

46
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), cet. III, h. 41
47
Syaikh Abu Bakar Jabir al-jazairi, Op. Cit., h. 99
69

dalam meluruskan ajaran-ajaran ayah dan kaumnya yang menyembah berhala.


Ayah Nabi Ibrâhîm as. percaya bahwa berhala-berhala itu dapat memberi manfaat
kepada mereka dan dapat mendatangkan mađarat. Padahal tuhan yang disembah
oleh ayahnya itu tidak lain hanya patung yang tidak dapat membawa manfaat dan
mendatangkan mađarat. Oleh karena itu Nabi Ibrâhîm as. mengajak kepada
ayahnya agar menyembah kepada Tuhan yang sebenarnya dan yang pantas untuk
disembah.

Dalam dakwahnya Nabi Ibrâhîm as. mengajak ayahnya agar meninggalkan


kepercayaan ayahnya yaitu sebagai penyembah berhala, bahkan profesi ayahnya
itu sebagai pembuat dan yang memperjual belikan berhala-berhala itu. Nabi
Ibrâhîm as. tidak memulai dakwah kepada ayahnya dengan mencela dan mencaci-
maki apa yang disembahnya atau merendahkan tuhannya. Nabi Ibrâhîm as.
memulai pembicaraan bersama ayahnya dengan memanggilnya, “Wahai ayah”,
supaya dapat mempengaruhi perasaannya dan dapat menyentuh relung hatinya.
Kemudian Nabi Ibrâhîm as. bertanya kepadanya tentang apa yang membuatnya
tunduk beribadah kepada berhala meskipun berhala tersebut tidak mendengarkan
do‟a dan pujiannya, tidak melihat ketudukkan dan kekhusyu‟annya dan tidak
dapat menolak bencana ketika berhala diminta untuk menghilangkan bencana
tersebut atau memberikan suatu hadiah ketika ia diminta.48

Dapat difahami bahwasannya cara Nabi Ibrâhîm as. mengajak ayahnya


agar bertauhid kepada Allah swt. dengan cara mengajak ayahnya berdialog antara
Nabi Ibrâhîm as. dengan kaumnya yaitu dengan ungkapannya kepada ayah
“Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?”49

Adapun nilai pendidikan yang terkandung dalam tauhid ulûhiyyah ini


yaitu:

48
Ali Muhammad al-Bajawi, Muhammad Ahmad Jad al-Maula dan Muhammad Abu al-
Fadhl Ibrahim, Untaian Kisah dalam al-Qur‟an, (Jakarta: Darul Haq, 2007), h. 49
49
Muhammad Ali Ash-Shabuni, An-Nubuwah wal Anbiya,(Jakarta: Gema Insani Press,
1992), Cet. I, h. 67
70

a. Allah satu-satunya sumber hidayah


Dalam Q.S. al-An‟am ayat 77 Nabi Ibrâhîm memohon hidayah kepada
Allah swt. agar diberikan petunjuk kepada ajaran yang benar karena kesesatan
kaumnya yang menyembah berhala. Dan Nabi Ibrâhîm as. yakin bahwa hanya
Allah satu-satunya yang memberi hidayah.
Hidayah atau petunjuk adalah perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang.
Karena demikian pentingnya hal ini, bahkan Rasulullah saw mengajarkan kepada
kita untuk meminta petunjuk kepada Allah swt minimal 17 kali dalam sehari
semalam, disetiap shalat yang kita kerjakan yaitu dengan do‟a yang terdapat
dalam surat al-fatihah50 yang berbunyi:

   


“Tunjukilah Kami jalan yang lurus”

Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Al-Fawa`id, mengatakan bahwa:


“Ayat di atas mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya hamba tidak
akan mendapatkan jalan untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan
tetap istiqamah di atas jalan yang lurus. Dan tidak ada jalan untuk meraih
keistiqamahan baginya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya kepada
dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan baginya untuk beribadah kepada-Nya
kecuali dengan pertolongan-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan
baginya untuk bisa istiqamah di atas jalan tersebut dengan hidayah dari-
Nya.” 51
Para ulama membagi hudâ (ٙ‫ )ٕذ‬atau hidayah menjadi empat macam:

Pertama, hidayah yang secara umum diberikan kepada manusia berakal,


berupa kemampuan nalar, kecerdasan dan ilmu pengetahuan, seperti di ungkap di
dalam Q.S. Thâha : 50

        

“Musa berkata: "Tuhan Kami ialah (tuhan) yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.”

50
Tim Baitu Kilmah Jogjakarta, Ensiklopedi Pengetahuan al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta:
Kamil Pustaka, 2013), Cet. II, h. 75
51
Ibid., h. 75
71

Kedua, hidayah yang diberikan kepada manusia melalui pelantara para


nabi, berupa ajaran agama. Hidayah ini lebih tinggi tingkatannya dari yang
pertama. Ini dikemukakan antara lain pada Q.S. al-Anbiyâ : 73

         
 

      


“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada,
mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah.”
Ketiga, hidayah berupa taufik yang khusus diberikan kepada orang
tertentu. Jenis hidayah ini antara lain terdapat dalam Q.S. al-Baqarah : 213

             

    


“Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-
Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya
kepada jalan yang lurus.”
Keempat, hidayah yang akan diberikan di akhirat berupa kenikmatan
surgawi. Inilah hidayah yang paling tinggi tingkatannya, seperti yang di sebut di
daam Q.S. al-A‟raf: 43

               

               

     


    
“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada
mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata:
"Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki Kami kepada (surga) ini. dan
Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi
Kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan Kami,
membawa kebenaran." dan diserukan kepada mereka: "ltulah surga yang
diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan."
72

b. Penghindaran dari segala bentuk kemusyrikan


Pada Q.S. al-An‟am ayat 78 ini Nabi Ibrâhîm as. menjelaskan akan
kesesatan kaumnya yang menyembah bintang, bulan dan matahari. Setelah
menyaksikan bahwa bintang, bulan dan matahai itu tidak pantas untuk disembah
maka Nabi Ibrâhîm as. membebaskan diri dari segala bentuk kemusyrikan
kaumnya.
Syirik merupakan satu-satunya dosa besar yang tidak akan diampuni oleh
Allah selama pelakunya tidak bertaubat. Oleh karena itu, syirik merupakan
perbuatan yag harus dihindari karena syirik ini dapat mengahancurkan keimanan
seseorang.
Adapun definisi syirik yaitu menyamakan selain Allah swt. dengan Allah
swt. dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah swt, seperti berdo‟a
kepada selain Allah swt disamping berdo‟a kepada Allah swt, atau memalingkan
suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo‟a dan
sebagainya kepada selainNya.52
Mensyarikatkan Allah dalam beribadah kepada-Nya, baik dalam
kepercayaan, kepatuhan, permohonan atau do‟a, maupun dalam bentuk pemujaan
dan pengorbanan, semuanya itu pada hakikatnya adalah suatu penyelewengan dan
sekaligus pembangkangan terhadap hak-hak Allah yang berdaulat penuh dijagat
raya ini. Rasulullah dalam haditsnya menjelaskan tentang bahaya syirik,
diantaranya sabdanya53 yaitu:
ِٚ‫جوٌ ف‬
ُ َ‫ رُثَبةٍ َٗدَخَوَ اىَْبسَ س‬ِٚ‫جوٌ ف‬
ُ َ‫ قَبهَ دَخَوَ اىْجََْخَ س‬.ٌ‫ اهلل عيئ ٗعي‬ٚ‫ه اهللِ صي‬
ُ ْ٘‫ع‬
ُ َ‫عَِْ طَبسِقِ ثِِْ شَِٖبةٍ أََُ س‬
‫ يُقَشِةَ ىَ ُٔ شَيْئًب‬َٚ‫جْ٘ ُص ُٓ اَحَذٌ حَّت‬
ُ َ‫ قًٍَْ٘ ىَ ٌُْٖ صٌٌََْ ىَبي‬َٚ‫جيَبُِ عَي‬
ُ َ‫ ٍَشَ س‬: َ‫عْ٘هَ اهللِ؟ قَبه‬
ُ َ‫ مَيْفَ رَاىِلَ يَبس‬:‫ُرثَبةٍ قَبىُْ٘ا‬
.َ‫ قَبىُْ٘اىَ ُٔ قَشِةْ َٗىَْ٘ ُرثَبثًب فَقَشَةَ ُرثَبثًب فَخَيُْ٘ا عَجِيْيَ ُٔ فَذَخَوَ اىَْبس‬.‫ة‬
ُ ِ‫ ٍَبأُقَش‬ِٙ‫ ىَيْظَ عِ ْذ‬:َ‫ قَبه‬.ْ‫فَقَبىُْ٘ا ىِؤَحَذََِِٕب قَشِة‬
)‫ (سٗآ احَذ‬.َ‫ فَضَشَ ُث٘ا عُ ُْقَ ُٔ فَذَخَوَ اىْجََْخ‬.َ‫ذ ىُِبقَشِةَ ىِبَحَذٍ شَيْئًب دَُُْٗ اهللِ عَضََٗجَو‬
ُ ْ ُ‫ ٍَبم‬:َ‫َٗقَبىُْ٘ا ىِيْآخِشَحِ قَشِةْ فَقَبه‬
“Hadits dari Thariq bin Syihab menyatakan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Ada seorang masuk surga sebab seekor lalat dan ada seorang
masuk neraka karena seekor lalat pula”. Mereka bertanya, “Bagaimana
demikian ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dua orang berjalan melewati
52
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid, jilid III, Terj. dari At-Tauhid
Lish-Shaffits Tsalits al-„Ali oleh Ainul Haris Arifin, (Jakarta: Darul Haq, 1999), h. 6
53
Mansur Said, Bahaya Syirik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h. 11
73

kaum yang mempunyai berhala. Tak seorang pun diperkenankan melewati


berhala itu sebelum memberikan (mengorbankan) sesuatu (sajian). Lalu
kaum itu berkata kepada salah seorang dari dua lelaki tadi, “(Kalau anda
mau lewat) berikanlah sajian kepada berhala itu”. Dia menjawab, “Aku
tidak mempunyai apa-apa untuk bersaji”. Mereka berkata kepadanya,
“Berikanlah sajian sekalipun dengan seekor lalat”. Kemudian dengan
seekor lalat ia bersaji, dan oleh mereka ia dibiarkan (diperkenankan)
meneruskan perjalannanya. Karena perbuatannya itu ia masuk neraka.
Kemudian mereka berkata kepada seorang lagi, “Bersajilah!” Orang yang
kedua ini menjawab, “Aku tidak akan bersaji (berkurban) sedikitpun
kepada selain Allah „Azza Wajalla”. Lalu kaum itu marah dan memenggal
batang lehernya. Namun (selanjutnya Nabi mengatakan), ia pasti bakal
masuk surga”. (H.R. Ahmad).
Dari hadiś di atas dapat difahami, bahwasannya syirik merupakan suatu
perbuatan yang harus dijauhi karena akibat dari perbuatan syirik itu dapat
menjerumuskan kepada pelakunya masuk ke dalam neraka meskipun perbuatan
syirik itu terlihat kecil.
Untuk menghindari segala bentuk kemusyrikan, seseorang perlu
mengetahui segala bentuk kemusyrikan. Syirik ada dua jenis yaitu syirik besar dan
syirik kecil.
1) Syirik Besar
Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan
menjadikannya kekal di dalam neraka, jika ia dunia dan belum bertaubat dari
padanya.54 Menurut Imam Hâfiť Syamsuddin aż-Zahabi bahwa syirik ini yaitu
menjadikan Allah sekutu dan beribadah kepada selain-Nya baik berupa batu,
pohon, matahari, bulan, nabi, syaikh atau bintang dan selainnya.55 Syirik besar
ada empat macam, yaitu: Syirik Dakwah (Do‟a), Syirik Niat, Keinginan dan
Tujuan, Syirik Ketaatan dan Syirik Kecintaan

54
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Op. Cit., h. 8
55
Imam Hâfiť Syamsuddin aż-Zahabi, Al-Kabâ`ir, (Beirut: Dâr Al-Fikr, t.t), h. 9
74

2) Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menyebabkan pelakunya dari agama Islam, tetapi ia
mengurangi tauhid dan merupakan perantara (wasilah) kepada syirik besar.
Syirik kecil ada dua macam:
a) Syirik Nyata (ťahir) : yaitu syirik dalam bentuk ucapan dan perbuatan.
Dalam bentuk ucapan misalnya bersumpah dengan nama selain Allah
saw. Rasulullah saw. bersabda:
َ‫ٍَِْ حَيَفَ ثِغَيْشِاهللِ فَقَذْ مَفَشَ اَْٗ اَشْشَك‬
“Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah
berbuat kufur atau syirik.”(H.R. at-Tirmiżi)56
b) Syirik Tersembunyi (Khafi): Yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat,
seperti ingin dipuji orang (riya`) dan ingin didengar (sum‟ah). Jika riya`
itu mencampuri (niat) suatu amal, maka amal itu menjadi tertolak.
Karena itu, ikhlas dalam beramal adalah suatu keharusan. Allah swt
berfirman:

             
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Sebagaimana telah kita ketahui bahwasannya syirik itu merupakan suatu


penurunan martabat yang merusak fitrah manusia yang telah Allah anugerahkan
kepadanya. Menurut Syaikh Muhammad Quthb menjelaskan bahwa ada beberapa
hal penyebab syirik diantaranya yaitu:
1. Al-I‟jab (mengagumi sesuatu) dan ta‟ťim (mengagungkan sesuatu)
2. Cenderung mempercayai sesuatu yang bisa dijangkau indera (fisik) saja dan
lalai dari sesuatu yang tidak terjangkau indra (metafisik/gaib)
3. Mengikuti Hawa Nafsu dan Syahwat
4. Takabbur dalam beribadah kepada Allah

56
Muhammad bin „Isa at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi, (Kairo: Dâr Ibn al-Jauzi, 2011), Cet.
I, h. 296
75

5. Adanya ţagut-ţagut yang ingin disembah manusia dan menolak untuk


berhukum dengan apa yang Allah turunkan.57
c. Ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt.
Setelah Nabi Ibrâhîm membebaskan dari dari kemusyrikan yang dilakukan
oleh kaumnya maka pada Q.S. al-An‟am ayat 79 Nabi Ibrâhîm menghadapkan
muka kepada Allah dalam arti mengarahkan kepada Allah dalam memohon dan
ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.
Orang yang bertauhid ulûhiyyah beribadah semata-mata karena Allah dan
tidak menyembah yang lain, hanya takut kepada Allah dan hanya kepada Allah
tempat bersandar dan berharap.58 Tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya yaitu
untuk beriman kepada-Nya salah satunya dengan beribadah kepada-Nya.
sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Aż-Zâriyât: 56

      

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
Adapun makna ibadah dalam bahasa arab berarti kehinaan dan
ketundukkan. Sedangkan secara istilah arti ibadah yaitu nama yang merangkum
segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan,
perbuatan yang tampak dan yang tidak tampak, dengan kecintaan, kepasrahan dan
ketundukkan yang sempurna, serta membebaskan diri dari segala yang
bertentangan dan menyalahinya.59
Ibadah memiliki dua rukun:
Pertama, kesempurnaan cinta yang merupakan tujuan akhirnya itu
merupakan hak Allah semata, karena hanya Allah yang dicintai secara sempurna
semata karena Zat-Nya. Sedang segala sesuatu selain Allah dicintai karena sebab-

57
Syaikh Muhammad Quthb, Melawan Syirik & Ilhad, (Jakarta: Harakah, 2002), Cet. I, h.
10
58
Muhammad Said al-Qahthani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Qutb,
Memurnikan Lâ Ilâha Illallah, Terj. Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. I, h. 19
59
Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Buraikan, Op. Cit., h. 196
76

sebab tertentu di luar dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah:
165

    


“... Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah.
.”

Rasulullah saw. bersabda:


َ‫ال َٗح‬
َ‫ح‬ َ َ‫الثٌ ٍَِْ مَُِ فِئِ َٗجَذ‬
َ ‫ " َث‬:َ‫ اهللُ عَيَئِْ َٗعَيٌََ قَبه‬َٚ‫ عَِِ اىَْجِيِ صَي‬،ُْٔ َ‫عَِْ أَ َّظِ ثِِْ ٍَبِىلٍ سَضِيَ اىئَُ ع‬
َ‫ َٗأَُْ يَنْ َشَٓ أَُْ يَعُ٘د‬،َِٔ‫حتَ اىََ ْشءَ الَ يُحِجُُٔ إِىَب ىِي‬
ِ ُ‫ َٗأَُْ ي‬،‫عَ٘إََُب‬
ِ ‫حتَ إِىَئِْ ٍََِب‬
َ َ‫ أَُْ يَنَُُ٘ اىئَُ َٗ َسعُ٘ىُُٔ أ‬:ُِ‫اإلِيََب‬
" ِ‫فِي اىنُفْشِ مَََب يَنْ َشُٓ أَُْ يُقْزَفَ فِي اىَْبس‬
“Dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw. bersabda: Ada tiga hal yang bila
terdapat dalam diri seseorang, niscaya ia akan mendapatkan manisnya
iman; yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada segala
sesuatu selain keduanya, dan bahwa ia tidak mencintai seseorang
melainkan hanya semata karena Allah, dan bahwa ia benci kembali kepada
kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam neraka.”(H.R.
Bukhari)60
Kedua, puncak ketundukkan dan kepasrahan. Ini merupakan hak Allah
semata. Bagian ini mengandung makna bahwa ia harus mendahlukan syari‟at
Allah atas yang lainnya, dan bila kehendak Allah dan Rasul-Nya bertentangan
dengan hawa nafsunya dan kemauannya, maka ia senantiasa mendahulukan
kehendak Allah dan Rasul-Nya.61 Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa: 65

     


        

     


“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.”

60
Muhammad bin Isma‟il Abu „Abdullah al-Bukhari, Şahih al-Bukhari, Juz I, (tt.p., Dâr
an-Najah, 2001), Cet. I, h. 15
61
Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Buraikan, Op. Cit., h. 891
77

Menurut Abdul Majid az-Zindani, bahwasannya tidak ada ibadah yang


“shahihah” (ibadah yang diterima oleh Allah Ta‟ala) itu melainkan ibadah yang
ikhlas karena Allah Ta‟ala yaitu ibadah yang di dalamnya terdapat kepatuhan bagi
Allah serta menyempurnakan kasih-sayang kepada Allah Ta‟ala dan melakukan
ibadah ini diniatkan untuk mendapatkan keridaan dari Allah semata, sehingga
ikhlas beribadah ini menjadi syarat dalam ibadah.62
Adapun hubungan antara tauhid dengan ikhlas yaitu kalimat tauhid disebut
sebagai kalimat ikhlash. Karena kalimat ikhlas ini mengandung arti segala
perbuatan yang murni dikerjakan karena Allah.63
Syekh Muhammad Nawawi menjelaskan, bahwa ikhlas ada tiga tingkatan:
1) Ikhlas beribadah kepada Allah atau mengerjakan sesuatu dengan tidak
mengharapkan pahala dan bukan karena takut akan siksa-Nya, tetapi ibadah
ini merupakan bentuk pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Dan ini
merupakan tingkat ikhlas yang tinggi.
2) Beribadah kepada Allah atau beramal dengan ta‟at kepada Allah karena
mengharapkan pahala dan takut akan siksa-Nya, atau mengharapkan syurga
Allah dan takut akan neraka.
3) Beribadah kepada Allah karena mengharapkan kemuliaan dengan ibadahnya
itu, seperti ingin disebut sebagai ahli ibadah dan sholeh. Atau beramal untuk
urusan dunia seperti membaca surat al-Waqi‟ah dengan tujuan ingin menjadi
kaya. Dan ini merupakan tingkatan ikhlas yang paling rendah.64
Adapun yang dimaksud dengan ikhlas untuk beribadah kepada Allah yaitu
menempatkan cintanya kepada Allah di atas segala-galanya. Namun bukan berarti
harus suci menyampingkan kecintaan terhadap materi, orang tua dan anak-
anaknya, harta benda dan lain-lain materi duniawi. Akan tetapi menempatkan
kecintaanya kepada terhadap materi duniawi dibawah kecintaannya kepada
Allah.65

62
Abdul Majid Az-Zindani, Al-Iman, (Kuala Lumpur: Al-Hidayah, 1996), Cet. I, h. 158
63
Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Kalimat Tauhid, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007),
Cet. I, h. 85
64
Syaikh Muhammad Nawawi, Nurul Ať-ťalam, (Jedah : Haramain, t.t.,), h. 44
65
Muhammad Na‟im Yasin, Op. Cit., h. 29
78

2. Tauhid Rubûbiyyah
Tauhid Rubûbiyyah yang dimaksud adalah mengesakan Allah sebagai
satu-satunya yang menciptakan segala yang ada dan yang akan ada. Dan meyakini
bahwasannya Allah yang Maha Kuasa dan Maha Pengatur seluruh mekanisme
gerak dan segala hajat makhluknya.66
Nilai pendidikan tauhid rubûbiyyah yang terdapat dalam Q.S. al-An‟am :
75 adalah memahami rubûbiyyah Allah yang artinya : “ Dan Demikianlah Kami
perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di
langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang
yakin.”
Dalam Q.S al-An‟am ayat 75 ini dapat difahami bahwasannya Allah swt.
mendidik Nabi Ibrâhîm as. dengan memperlihatkan kepadanya kekuasaan melalui
alam semesta. Dengan melihat akan ciptaan dan kekuasaan Allah swt. yang ada
di seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwasannya adanya seluruh alam
semesta ini berarti adanya Sang Pencipta dan Allah adalah satu-satunya pencipta
yang menciptakan seluruh alam semesta ini. Ini merupakan salah satu cara Allah
dalam mendidik rasulnya dalam mengajarkan tauhid dengan tujuan agar semakin
mantap keimanan Nabi Ibrâhîm as.
Menurut Arifin sebagaimana yang dikutip oleh Hamdani Ihsan dan A.
Fuad Ihsan bahwa dalam al-Qur‟an dan Sunah nabi dapat ditemukan metode-
metode untuk pendidikan agama antara lain:
a. Perintah/Larangan
b. Cerita
c. Peragaan
d. Intruksional (bersifat pengajaran)
e. Acquistion (self education = mendidik diri sendiri)
f. Mutual Education (mengajar dalam kelompok)
g. Exposition (dengan menyajikan yang didahului dengan motivasion
(menimbulkan minat)

66
Muhammad Said al-Qahthani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Qutb,
Op. Cit., h. 14
79

h. Function (pelajaran dihidupkan dengan praktek)


i. Explanation (memberikan penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas)
Dari sembilan metode di atas, metode yang terdapat dalam ayat ini adalah
metode peragaan, yaitu Allah swt. mengajarkan kepada Nabi Ibrâhîm as. tentang
tauhid dengan menampakkan kerajaan yang ada dilangit dan di bumi. Dengan
metode ini, Allah memerintahkan kepada makhluk-Nya agar melihat akan ciptaan
dan seluruh gejala yang terjadi di alam semesta ini.
Peragaan ialah suatu cara yang dilakukan oleh guru dengan maksud
memberikan kejelasan secara realita terhadap pesan yang disampaikan sehingga
dapat dimengerti dan dipahami oleh para siswa. Dengan peragaan, diharapkan
proses pengajaran terhindar dari verbalisme, yaitu siswa hanya tau kata-kata yang
diucapkan oleh guru tetapi tidak dimengerti oleh maksudnya. Untuk itu sangat
diperlukan peragaan dalam pengajaran terhadap siswa di tingkat dasar.67
Nabi Ibrâhîm as. hidup di lingkungan para penyembah bintang, bulan dan
matahari. Beliau mengajarkan kaumnya agar mentauhidkan Allah dengan cara
beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan
mereka. Kemudian beliau menggiring kaumnya menuju i‟tiqad (aqidah) yang
benar setahap demi setahap, setapak demi setapak. Karena itulah, beliau
mengatakan: “Ini Tuhanku”, ketika melihat bintang, kemudian mengatakan yang
demikian pula terhadap bulan dan matahari.68 Ungkapan ini Nabi Ibrâhîm as.
diungkapkan dalam forum perdebatan dan adu argumentasi dengan kaumnya
dengan tujuan untuk mematahkan aqidah mereka yang sesat dan untuk mengajak
kaumnya untuk berfikir menggunakan logika yang sehat dan dengan argumentasi
serta keterangan yang jelas. Debat merupakan cara yang Nabi Ibrâhîm as. gunakan
untuk mengajak kaumnya agar bertauhid kepada Allah swt.
Debat merupakan metode yang penting dan efektif untuk mengasah otak,
latihan mengeluarkan pendapat, mengalahkan lawan, menumbuhkan kepercayaan
dalam diri sendiri bahkan mampu membina kecakapan berbicara tanpa teks.

67
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), Cet. I, h. 7
68
Muhammad Ali Aş-Şabuni, Op. Cit., h. 67
80

Menurut Ibnu Khaldun diskusi dibidang masalah-masalah ilmiah


membantu untuk memahami ilmu itu dalam kemampuan untuk menguraikannya.
Salah satu sajak berbunyi:
‫اىعِيْ ٌُ ثِبْىفٌَِْٖ َٗثِبىْ َُزَامَشَحِ َٗاىذَسْطِ َٗاىْفِنْشَحِ َٗىِيْ ََُْبظَشَح‬
“Ilmu adalah dengan pengertian dan mudzakarah, dengan studi, berfikir
dan berdebat”. 69

Selain itu, dalam mengajarkan tauhid rubûbiyyah pada Q.S. al-An‟am ayat
76-78 ini, Nabi Ibrâhîm as. menjadikan bintang, bulan dan matahari ini sebagai
media untuk mengenalkan kepada kaumnya bahwa bintang, bulan dan matahari
merupakan makhluk yang Allah swt. ciptakan bukan tuhan seperti yang mereka
yakini. Dengan ini menunjukkan bahwa benda-benda itu ada penciptanya yaitu
Allah yang mana Allah swt. sebagai satu-satunya pencipta. Kemudian dengan
pergerakannya benda-benda itu seperti matahari terbit pada siang hari dan bulan
bintang muncul pada malam hari itu menunjukkan bahwa itu semua tidak akan
berjalan kecuali ada pengaturnya. Disini menunjukkan bahwa Allah sebagai satu-
satunya Tuhan yang mengatur seluruh perjalanan alam semesta ini.
Dengan adanya ciptaan Allah seperti dalam ayat ini berupa bintang, bulan
dan matahari seharusnya dijadikan sebagai pelantara untuk meningkatkan
keimanan kita kepada Allah karena Dia-lah yang telah menciptakan alam semesta
ini dan telah mengatur perjalan alam semesta ini, namun kesalahan yang
dilakukan oleh orang-orang musyrik yaitu menjadikan ciptaan Allah ini sebagai
tuhan mereka.
Nilai pendidikan yang terkandung dalam tauhid rubûbiyyah ini adalah:
a. Meyakini ke-Esaan Allah swt. sebagai Pencipta
Mentauhidkan Allah swt. sebagai Pencipta yaitu seseorang meyakini
bahwasannya tidak ada Pencipta kecuali Allah.70 Adapun ayat yang menetapkan
bahwa adanya pencipta selain Allah swt yaitu sebagaimana firman Allah swt
dalam Q.S. Al-Mu‟minûn: 14

69
Nur Uhbiyati, Op. Cit., h. 194
70
Muhammad bin Şâlih Al-„Uśaimin, Kitab At-Tauhid, (Riyađ: Daar Ibn Al-Jauzi, 1999),
h. 9
81

    

“Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”


Dan seperti sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Muslim dari „Aisyah
ra dalam hal para pelukis yang dikatakan kepada mereka:

ٌْ‫أَحْ ُيْ٘ا ٍَبا خَيَقْ ُّت‬

“Hidupkan apa yang kalian buat itu”(H.R. Muslim)71

Maka penciptaan yang dimaksud pada hadis di atas bukanlah penciptaan


yang sebenarnya (arti hakiki) dan bukan pula penciptaan setelah ketiadaan, tetapi
maksudnya adalah merubah sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan yang lain,
ditambah pula proses merubah di sini tidak mencakup kepada seluruh perubahan,
tapi dibatasi pada sesuatu yang bisa dilakukan seseorang dan dibatasi pada daerah
yang sempit sehingga tidak bertentangan dengan keyakinan kita dalam
mentauhidkan Allah swt. dalam Penciptaan.
Selain itu al-Khalq yakni bahwa Allah swt. adalah Pencipta segala sesuatu
sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah swt. dalam
Q.S. Aż-Zumar ayat 62

          

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa „menciptakan‟ dalam pengertian


yang mutlak (universal) adalah kekhususan bagi Allah swt. Adapun
„menciptakan‟ dalam pengertian yang terbatas seperti menciptakan baju, pena atau
semacamnya boleh dinisbatkan kepada makhuk. Yakni „mencipta‟ maka manusia
tidak boleh membuat atau menciptakan sesuatu yang dilarang oleh Allah swt.72

71
Muslim bin al-Hajjaj Abu Hasan, Şahih Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ Al-„Arabi, t.t.,), h.
1669
72
Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Op. Cit., h. 104
82

b. Meyakini ke-Esaan Allah swt. sebagai Pengatur


Mentauhidkan Allah sebagai Pengatur yaitu seseorang meyakini bahwa
tidak ada pengatur selain Allah swt.73 Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S.
Yunus: 31-32

           

     


         

              

  


“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan
bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah
"Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" (31) Maka (Zat yang
demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada
sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu
dipalingkan (dari kebenaran)? (32).”
Adapun yang dimaksud manusia sebagai pengatur, itu terbatas di bawah
kekuasaannya dan terbatas pada izin secara syara‟. Bagian tauhid rubûbiyyah ini
merupakan bagian tauhid yang orang-orang musyrik tidak menentangnya, bahkan
mereka meyakininya. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Az-Zukhruf: 9

           
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan menjawab:
"Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui".”
Pada tahap rubûbiyyah ini, seorang muslim harus percaya bahwa
perkembangan benda, dan hubungan antara makhluk dengan sesama makhluk,

73
Muhammad bin Şâlih, Op. Cit., h. 9
83

efek yang dibuatnya dan efek yang dilakukan terhadapnya adalah semuanya di
bawah pengaturan dan perintah Allah swt.74
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa Allah swt. merupakan satu-
satunya Tuhan yang mengatur seluruh pergerakan alam semesta ini, begitu pula
dengan peredaran bulan dan matahari, dan munculnya siang dan malam itu semua
merupakan aturan Allah swt.

3. Tauhid Asmâ wa sifat


Tauhid ini maknanya adalah mengimani nama-nama baik dan sifat-sifat
luhur yang disebutkan Allah swt. untuk dirinya-Nya dalam kitab-Nya dan
disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam sunnahnya tanpa merubah lafal atau
makna-maknanya (tahrif), tanpa diabaikan dengan cara dinafikan atau dinafikan
sebagiannya dari-Nya (ta‟thil), tanpa disesuaikan dengan membatasi esensinya
atau menyebut tata cara tertentu (takyif), dan tanpa menyerupakan dengan sifat-
sifat makhuk (tasybih).75
Nabi Ibrâhîm as. adalah orang yang berhati cerdas, mempunyai pendapat
yang benar dan pemikiran yang tajam. Dia ingin menggabungkan kecerdasan
pandangan kaumnya dengan kecerdasan ayah dan kaumnya, menggabungkan
perasaan dengan hati ayah dan kaumnya, agar mereka memahami akidah yang
dibawanya dan mengetahui akan kebenaran dakwahnya.76 Nabi Ibrâhîm as. dalam
mendidik kaumnya untuk bertauhid asmâ wa śifat dengan cara mengajak
kaumnya untuk berpikir secara kritis dan logis agar membuka fikiran mereka
bahwasannya benda-benda yang mereka dijadikan sebagai tuhan itu sebenarnya
tidak layak untuk disembah.
Seperti dalam kisah Nabi Ibrâhîm as., dalam menghancurkan berhala-
berhala yang disembah oleh kaumnya. Ketika kaumnya sedang mengadakan acara
maka Nabi Ibrâhîm as. tidak ikut dalam acara itu dengan alasan sakit. Ternyata

74
Muhammad Taqi Misbah, Monotoisme: Sistem Akidah dan Nilai Islam, (Jakarta: PT.
Lentera Basritama), Cet. I, h. 54
75
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman Kepada Allah Terj. dari Al-imanu Billahi oleh
Umar Mujtahid, (Jakarta: Ummul Qura), Cet. I, h. 107
76
Ali Muhammad al-Bajawi, Muhammad Ahmad Jad al-Maula dan Muhammad Abu al-
Fadhl Ibrahim, Op. Cit., h. 52
84

ketika kaumnya sedang ikut dalam perayan suatu acara, maka Nabi Ibrâhîm as.
gunakan kesempatan itu unntuk mengahancurkan berhala-berhala yang disembah
oleh kaumnya hingga berhala-berhala itu menjadi kepingan-kepingan kecuali
terhadap berhala yang paling besar, Nabi Ibrâhîm as. tidak menghancurkan
berhala paling besar itu.
Setelah kembali dari perayaan itu, kaumnya merasa kaget melihat berhala-
berhala yang mereka telah hancur. Ketika itu mereka memanggil Nabi Ibrâhîm as.
untuk meminta kesaksiannya karena pada saat itu, Nabi Ibrâhîm as. tidak ikut
dalam acara perayaan mereka dan mereka tahu bahwa Nabi Ibrâhîm as. tidak
mempercayai akan tuhan-tuhan mereka. Akhirnya ketika Nabi Ibrâhîm as. ditanya
oleh kaumnnya siapa yang menghancurkan berhala-berhala itu, maka Nabi
Ibrâhîm as. menjawab bahwa patung yang paling besar itulah yang telah
menghancurkan patung-patung yang lainnya. Dari sini kaumnya berfikir karena
bagaimana mungkin berhala itu dapat menghancurkan berhala-berhala yang lain
dan tidak pula bisa menjawab pertanyaan yang mereka. Kemudian kaumnya
berkata”Wahai Ibrahim, kamu sudah tahu bahwa berhala ini tidak dapat menjawab
pertanyaan” dan di sinilah tampak akan kesesatan mereka bahwa tuhan yang
mereka sembah ternyata tidak bisa berbuat apa-apa.77
Seperti halnya terhadap tuhan-tuhan yang mereka sembah berupa bintang,
bulan dan matahari yang mereka sembah yang keadaannya kadang ada dan
mengilang itu menunjukkan bahwa benda-benda yang mereka jadikan sebagai
tuhan mereka itu tidak mungkin bisa dijadikan sebagai tuhan, karena bagaimana
kita bisa menyembah mereka sedangkan keadaan benda-benda itu terkadang ada
dan menghilang, dan bagaimana kita bisa memohon kepada benda-benda itu
karena ketika kita membutuhkannya benda-benda itu menghilang.
Dengan demikian dapat difahami bahwa berubahnya keadaan bintang,
bulan dan matahari itu menunjukkan bahwa bintang, bulan dan matahari
merupakan makhluk Allah swt. yang berifat baru dan ini bertentangan dengan
sifat qidam Allah swt.

77
Ibid., h. 60
85

Hal yang Nabi Ibrâhîm lakukan ini, merupakan asas-asas dalam


menanamkan pendidikan terutama dalam menanamkan pendidikan keimanan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Sayid Ramadhan al-Buwythi
dalam bukunya yang berjudul “Al-Manhajut Tarbawi Faried al-Qur‟an. Beliau
mengungkapkan bahwa ada tiga macam asas/ dasar yang dipakai oleh al-Qur‟an
dalam menanamkan pendidikan. Pertama; Muhakamah Aqliyah, kedua; al-Qishah
wa Tarikh dan ketiga Al-Itsmah Al-wijadniyah.78
Adapun nilai pendidikan yang terkandung dalam tauhid asmâ wa şifat
yaitu:
a. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Wujud
Sebagaimana yang telah disinggung pada Q.S. al-An‟am ayat 75 bahwa
Allah swt. yang menciptakan seluruh alam semesta ini, dengan adanya alam
semesta menunjukkan bahwa adanya Pencipta yaitu Allah swt.
Dalam al-Qur‟an telah ditegaskan bahwa Allah itu ada, diantaranya seperti
dalam Q.S. al-Baqarah: 28

            


  
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah
menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya
kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
Dalam ayat di atas Allah menegaskan, tidaklah pantas bagi manusia itu
mengingkari akan adanya Allah Yang Maha Kuasa, karena Allah swt. itu telah
menjadikan manusia itu dalam dua kali mati (berada di alam barzakh pertama
dalam perut ibu, dan di alam barzakh yang kedua dalam kubur) dan
menjadikannya dua kali hidup (hidup di dunia dan hidup di akhirat).79
Adapun arti wujud yaitu ada, mustahil adam (tidak ada). Bukti dari pada
sifat wujud Allah swt. yaitu adanya alam yang kita saksikan ini dengan segala isi
dan kandungannya adalah barang baru. Dan setiap yang baru itu pasti ada yang

78
Nur Uhbiyati, Op. Cit., 170
79
Abd Kadir M.Z, An Nurul Bahir Ilal Imanil Kamil, (Jakarta: PT. Serajaya Santra, 1985),
Cet. I, h. 19
86

mengadakan. Oleh karena itu menunjukkan bahwa alam itu ada yang menciptakan
yaitu Allah swt.80
b. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Qidam
Qidam berarti terdahulu. Allah swt bersifat Qidam berarti keberadaan-Nya
itu terdahulu, tidak ada awal dan akhirnya. Dia tidak didahului oleh wujud yang
lain. Oleh karena itu, Allah swt. mustahil bersifat huduś (baru).81 Al-Halimi r.a.
berkata dalam mengartikan qadimnya Allah swt. yaitu: Sesungguhnya Dia Allah
zat yang ada yang tidak ada permulaan bagi wujudnya, dan dzat yang ada yang
tidak ada henti-hentinya (terus menerus ada). Maka dikatakanlah Allah swt. itu
Qadîm dengan arti bahwa Allah mendahului seluruh yang ada dan apabila Allah
seperti itu (mendahului segala yang ada) maka tidak boleh adanya permulaan bagi
wujud-Nya, karena seandainya adanya permulaan bagi wujud-Nya Allah niscaya
hal itu menuntut adanya selain Allah yang menciptakan-Nya dan niscaya selain
Allah itu wajib ada sebelum Allah. Maka ketika itu, Allah tidak sah mendahului
segala yang ada. Jelaslah bahwa ketika kita mensifati Allah bahwasannya Dia
mendahului segala yang ada maka mewajibkan bagi kita bahwa adanya Allah
tanpa permulaan.82
Dalil bahwa Allah swt. bersifat qidam (terdahulu) adalah keberadaan alam
semesta. Sebagai khaliq (Pencipta), keberadaan Allah swt tentu lebih dahulu dari
pada alam yang menjadi makhluk-Nya. Di dalam al-Qur‟an dijelaskan:

          
“Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia
Maha mengetahui segala sesuatu.”
Adapun yang dimaksud dengan qidam pada hak Allah Ta‟ala adalah qidam
zati yaitu tidak adanya awal bagi wujud. Adapun qidam pada hak manusia yaitu
qidam zamani maksudnya panjangnya masa yang ditetapkan dengan tahun, begitu

80
Sayyid Husein Afandy A-Jisr Ath Tharabilisiy, Memperkokoh Akidah Islamiyah Dalam
perspektif Ahlusunnah waljama‟ah Terj. dari Al-Hushuunul Hamidiyyah Lil Muhâfađah „Alal
„Aqqa`id Al-Islamiyyah oleh Abdullah Zakiy Al-Kaaf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. I,
h. 20
81
M. Saberanity, Op. Cit., h. 20
82
Baihaqi, Al-Asmâ` wa al-Şifât, ( Beirut: Daar Kutb, t.t), h. 23
87

pula dengan qidam iḍafi yaitu seperti qidamnya bapak disnisbahkan pada anak.
Dengan demikian qidam itu ada tiga yakni Zati, Zamani dan Iđafi.83
c. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Baqâ
Baqa‟ artinya kekal. Allah swt. bersifat Baqa‟ berarti wajib kekal, ada
selama-lamanya, tetap dan tidak berubah. Mustahil Allah swt bersifat fana‟
(binasa).84
Dalam ilmu tauhid, baqâ` ada tiga makna:
a. Baqâ` Nisbi, yaitu kekal atau abadinya itu karena disandarkan kepada yang
lain.
b. Baqâ` Zamani, yaitu abadi yang tidak ada akhir tapi ada permulaannya dan
terikat zaman.
c. Baqâ` Haqiqi, yaitu kekalnya sesuatu yang tidak ada permulaan, tidak ada
akhir, tidak terikat zaman, dan tidak disandarkan kepada yang lain.85
Choer Affandy membedakan antara Baqâ` Haqiqi dan Baqâ` Zamani,
perhatikan firman Allah swt dalam Q.S. ar-Rahman: 27

      


“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.”
Perhatikan pula pada Q.S. al-Mu`minûn: 11

   ....

“ .... Mereka kekal di dalamnya.”


Kata yang digunakan dalam Q.S. ar-Rahman ayat 27 untuk Allah swt.
dengan kata ٚ‫ يجق‬, dalam Q.S. al-Mu`minûn ayat 11 dengan kata ُٗ‫خبىذ‬, artinya
sama kekal abadi, hanya kekalnya Allah swt. itu wajibul wujud sedangkan
kekalnya Mu`minin di surga adalam mumkinul wujud, karena ada dan kekalnya
diciptakan Allah swt.86

83
Syekh Ibrahim al-Laqqoni, Permata Ilmu tauhid; Satu Pendalaman Iktikad Ahlus
Sunnah Wal Jama‟ah, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1997), h. 104
84
M. Saberanity, Op. Cit., h. 21
85
Choer Affandy, „Aqidah Islamiyyah, (Tasik Malaya: t.p, 1991), h. 37
86
Ibid., h. 37
88

Begitu pula pendapat Abu sulaiman al-Khathabi bahwa baqâ dan


dawamnya Allah swt. itu tidak sama dengan dengan baqâ dan dawamnya syurga.
Hal itu karena baqanya Allah swt. selamanya dan tanpa awal. Sementara kekalnya
syurga dan neraka abadi tapi tidak azali. Sifat azali adalah sesuatu yang terus
menerus pada masa lalu sementara sifat abadi sesuatu yang terus menerus pada
masa sekarang dan akan datang. Sementara surga dan nerakan itu diciptakan dan
ada setelah keduanya tidak ada. Ini perbedaan antara baqânya Allah swt. dengan
baqânya surga dan neraka.87

87
Baihaqi, Op.Cit., h. 26
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup umat islam termasukdalam hal


pendidikan. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak nilai-nilai pendidikan.
Diantaranya yaitu terdapat dalam Q.S. al-An’am ayat 74-79 mengenai pendidikan
keimanan. Keimanan merupakan unsur yang terpenting di dalam agama Islam,
karena dengan adanya keimanan ini akan megantarkan seseorang kepada jalan
kebenaran. Inti keimanan adalah tauhid. Tauhid yaitu meyakini bahwa Allah swt
satu-satuNya Tuhan alam semesta ini yang wajib disembah.

Adapun pendidikan keimanan yang penulis temukan dalam Q.S. al-


An’am ayat 74-79 yaitu

1. Tauhid Ulûhiyyah
Nabi Ibrâhîm a.s mengajak kaum dan ayahnya untuk beribadah kepada
Allah lalu menjelaskan akan kesesatan kaum dan ayahnya karena menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan. Dalam mendidik ayahnya, Nabi Ibrâhîm a.s
menggunakan metode hiwar atau dialog dengan bahasa yang sopan santun.
Adapun pendidikan keimanan yang terdapat pada tauhid ulûhiyyah yaitu: Allah
satu-satunya sumber hidayah, penghindaran dari segaa bentuk kemusyrikan dan
ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt.
2. Tauhid Rubûbiyyah
Pendidikan keimanan yang terkandung dalam tauhid rubûbiyyah yaitu
Allah swt memperlihatkan akan kerajaan langit dan bumi sebagai pelantara untuk
meningkatkan keimanan kepada Allah sebagai satu-satunya pencipta alam
semesta ini. Selain itu, Nabi Ibrâhîm a.s dalam mengajarkan tauhid kepada
kaumnya dengan mengajak kaumnya untuk berdebat dan menjadikan bintang,
bulan dan matahari sebagai media untuk mematahkan argumen mereka bahwa
bintang, bulan dan matahari tidak pantas pantas dijadikan sebagai tuhan. Nilai

89
90

pendidikan keimanan yang terdapat dalam tauhid rubûbiyyah yaitu meyakini


Allah swt. sebagai satu-satunya Pencipta dan meyakini bahwa Allah swt. sebagai
satu-satunya Pengatur alam semesta ini.
3. Tauhid Asmâ wa şifat
Dalam mengajarkan kaumnya untuk bertahuid asmâ wa şifat, Nabi
Ibrâhîm a.s mengajak kepada kaumnya untuk berfikir secara kritis dan logis
bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu berupa berhala, bintang, bulan dan
matahari hanyalah makhluk Allah swt. yang tidak pantas untuk disembah. Adapun
nilai pendidikan keimanan yang terdapat pada tauhid asmâ wa şifat yaitu
meyakini akan sifat wujud Allah, meyakini bahwa Allah swt bersifat qidam dan
meyakini bahwa Allah swt bersifat baqa`.

B. Saran
Dari kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa saran yang
diharapkan dapat menjadi salah satu upaya dalam mengembangkan konsep
pendidikan di Indonesi khususnya pada pendidikan Islam.
Pertama, al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat Islam. Begitu
pula di dalam dunia pendidikan, al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan. Oleh
karena itu dalam pelaksanaan pendidikan khususnya dalam pendidikan Islam agar
tidak terlepas dari al-Qur’an.
Kedua, Sebagai seorang pendidik guru harus menerapkan akan dasar-
dasar keimanan kepada peserta didiknya, karena keimanan merupakan fondasi
dari bangunan Islam. Adapun dalam kegiatan pendidikan guru harus mampu
menentukkan metode yang tepat dalam menerapkan materi pada setiap
pembelajaran karena salah satu kunci tercapainya tujuan pendidikan yaitu dapat
menentukkan metode yang tepat dan sesuai dengan materi. Selain itu, seorang
guru harus mengetahui tingkat pemahaman siswa karena dengan mengetahui
tingkat pemahaman siswa guru mampu menyesuaikan dalam penyampaian materi
kepada siswa.
DAFTAR PUSTAKA

Affandy, Choer . Aqidah Islamiyyah. Tasik Malaya: t.p. : 1991.


Ali, Zainuddin. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. IV,
2011.
Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
Cet. II, 2011.
Amrullah, Abdul Malik Karim. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983.
Anwar, Abu. Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar. Jakarta: Amzah, Cet. III, 2009.
Arief, Armai dan Busahdiar, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Wahana
Kardofa, Cet. I, 2009.
Arief, Armai. Refolmulasi Pendidikan Islam. Jakarta: Crsd Press, Cet. I, 2005.
Arifin, Bambang Syamsul. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia, Cet. I,
2008.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. IV, 2009.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. V, 2010.
Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cet. III, 1996.
Al Aţţar, Dawud. Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Hidayah, Cet. I, 1994.
Baihaqi. Al-Asmâ` wa Al-Şifât. Beirut: Daar Al-Kutb, t.t.
Al Bajawi, Ali Muhammad., dkk,. Untaian Kisah dalam Al-Qur’an. Jakarta:
Darul Haq, 2007.
Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdullah. Şahih al-Bukhari. tt.p. : Dâr
an-Najah, Cet. I, 2001.
Al Buraikan, Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah. Pengantar Studi Aqidah
Islam, Terj. Dari Almadkhalu Lidiraasatil ‘Aqidatil Islamiyyah ‘ala
Madzhabi Ahlisunnah wal Jama’ah, oleh Muhammad Anis Matta. Jakarta:
Robbani Press, Cet. I, 1998.
Darwis, Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam; Sejarah, Ragam dan
Kelembagaan. Semarang: Rasail, 2006.

91
92

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.


Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. IV, 2008.
Fahrirrizi, Aziz dan Ahmad Dardiri. Strategi Pembelajaran Bahasa Arab. Jakarta:
t.p., 2012.
Al Fauzan, Shalih bin Fauzan bin Abdullah. Kitab Tauhid, jilid III, Terj. dari At-
Tauhid Lish-Shaffits Tsalits al-‘Ali oleh Ainul Haris Arifin, (Jakarta: Darul
Haq, 1999.
Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi. Bandung:
Alfabeta, Cet. II, 2012.
Al Hafiż, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, Cet. II, 2006.
Hamalik, Oemar. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara, Cet. X,
2009.
Hasan, Hamka. Metodologi Penelitian Tafsir Hadist. Jakarta: Lembaga penelitian
Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Hasan, M. Iqbal. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor:
Ghalia Indonesia, Cet. I, 2002.
Hasan, Muslim bin al-Hajjaj Abu Hasan. Şahih Muslim. Beirut: Dâr Ihyâ Al-
‘Arabi. t.t.,
Ihsan, Hamdani dan A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV.
Pustaka Setia, Cet. II, 2001.
Al Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir. Aqidah Seorang Mukmin, Terj. Dari
Aqiidatul Mukmin oleh Salim Bazemool. Solo: CV. Pustaka Mantiq, Cet. I,
1994.
________. Pola Hidup Muslim; Aqidah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet.
II, 1993.
Al Laqqoni, Syekh Ibrahim. Permata Ilmu tauhid; Satu Pendalaman Iktikad
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Terj. Mujiburrahman. Surabaya: Mutiara Ilmu,
1997.
Latif, Moh. Rowi. Bagaimana Anda Menjadi Orang Mu’min. Surabaya: PT.
Bungkul Indah, Cet. I, 1995.
93

Ma’asy, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad. Mengupas Kebodohan, Terj. Dari
Al Jahl bi Masail Al I’tiqad wa Hukmuhu oleh Asep Saefullah dan
Kamaluddi Sa’diyatul Haramain. Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2001.
Madjrie, Abdurrahman. Meluruskan Akidah. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, Cet.
I, 1997.
Mahfud, Rois. Al-Islam; Pendidikan Agama Islam. Palangka Raya: Erlangga,
2011.
Al Maidani, Abdurrahman Hasan Habanakah. Pokok-Pokok Akidah Islam, Terj.
dari Al-Aqidah Al-Islamiyah wa Ususuha oleh A. M. Basalamah. Jakarta:
Gema Insani, Cet. II, 2004.
Manťûr, Ibnu. Lisânul ‘Arab. Beirut: Dar Sader, Cet. I, 1997.
Al Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maragi Terj. dari Tafsir Al-
Maragi oleh K. Anshori Umar Sitanggal, dkk. Semarang : PT. Karya Toha
Putra, Cet. II, 1992.
Misbah, Muhammad Taqi. Monotoisme: Sistem Akidah dan Nilai Islam, (Jakarta:
PT. Lentera Basritama, Cet. I, 1996.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet. XXXI, 2013.
Munadi, Yudhi. Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada (GP), Cet. IV,
2012.
Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, Cet. XIV. 1997.
Muşţafa, Ibrâhîm. Mu’jam Al-Wasîţ. Kairo: Dar Ad-Da’wa, Cet. V, 2011.
Al Musyaiqih, Khalid bin Ali. Buku Pintar Akidah; Panduan Praktis
Memamahami Akidah, Terj. dari Al-Mukhtaşar Fiel ‘Aqidah oleh Ibnu
Syarqi, (Klaten: Wafa Press, Cet. I, 2012
MZ, Abd Kadir. An Nurul Bahir Ilal Imanil Kamil, Jakarta: PT. Serajaya Santra,
Cet. I, 1985.
Al Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.
Jakarta: Gema Insani Press. 1995.
94

Naimullah, Sayyid. Keajaiban Aqidah; Jalan Terang Menuju Islam Kaffah.


Jakarta: Lintas Pustaka Publisher, Cet. I, 2004.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. I,
1997.
________. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 1998.
________. Pendidikan dalam Perpektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005.
________. Pendidikan dalam Perspektif Hadits. Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet.
I, 2005.
________. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Prenada Media Group, Cet. I,
2011.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Kepribadian Qur’ani. Ciputat: WNI Press, Cet. I, 2009.
Nawawi, Syaikh Muhammad. Nurul Ať-ťalam. Jedah : Haramain, t.t.
________. Tafsir Munir; Juz I. Semarang: Thaha Putra, t.t.
Nursi, Badi’uzzaman Sa’id. Iman Kunci Kesempurnaan, Ter. Dari Al-Iman wa
Takamulul-Insan oleh Muhammad Misbah. Jakarta: Robbani Press, Cet. I,
2004.
Al Qahthani, Muhammad Said. Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad
Qutb, Memurnikan Lâ Ilâha Illallah, Terj. Abu Fahmi, (Jakarta: Gema
Insani Press, Cet. X, 1996.
Al Qardhawi, Yusuf. Iman dan Kehidupan judul Terj. dari Al-Iman wal Hayat
oleh Fachruddin HS. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. III, 1993.
Quthb, Syaikh Muhammad. Melawan Syirik & Ilhad. Jakarta: Harakah, Cet. I,
2002.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, Cet. II, 2002.
Rajab, Khairunnas. Psikologi Ibadah; Memakmurkan Kerajaan Ilahi di Hati
Manusia. Jakarta: Amzah, Cet. I, 2011.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
________. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. II,
1994.
95

Al Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis,


Teoritis dan Praktis. Ciputat: PT. Ciputat Press, Cet. II, 2005.
Al Razi, Imam Fakhruddin. Tafsir Kalimat Tauhid. Bandung: Pustaka Hidayah,
Cet. I, 2007.
Al Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah; Ringkasan tafsir Ibnu
Katsir, jilid II, Terj. dari Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu
Katsir oleh Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani, Cet. VIII, 2005.
Saberanity, M. Keimanan Ilmu Tauhid. Jakarta: Mitra fajar Indonesia, Cet. II,
2006.
Sabiq, Sayid. Aqidah Islam. Bandung: Diponegoro, Cet. XVIII, 2010.
Said, Mansur. Bahaya Syirik dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996.
Setyosari, Punaji. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, Cet. II, 2012.
Al Shabuni, Muhammad Ali. An-Nubuwah wal Anbiya. Jakarta: Gema Insani
Press, Cet. I, 1992.
Al Shallabi, Ali Muhammad. Iman Kepada Allah Terj. dari Al-imanu Billahi oleh
Umar Mujtahid. Jakarta: Ummul Qura, Cet. I, 2014.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an;Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, Cet. VII, 1993.
________. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati, Cet. I, 2009.
________. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Mauđu’i atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan. Cet. V, 1997.
Shihab, M. Quraish., dkk., Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata. Jakarta:
Lentera Hati, 2007.
Suharto, Toto. Filsafat pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, Cet. I,
2011
Al Sulthani, Mawardi Labay. Zikir dan Do’a; Iman Pengaman Dunia, Jakarta: Al-
Mawardi Priman, 2000..
96

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid, jilid I, Terj. dari At-Tauhid liş
Şaffil Awwal Al-Ali oleh Agus Hasan Bashori. Jakarta: Darul Haq, Cet. I,
2011.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. IX, 2010.
________. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. IX, 2007.
Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Terj. dari Jami’ Al
Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an oleh Akhmad Affandi, dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, Cet. I, 2008.
Tharabilisiy, Sayyid Husein Afandy A-Jisr. Memperkokoh Akidah Islamiyah
Dalam perspektif Ahlusunnah waljama’ah Terj. dari Al-Hushuunul
Hamidiyyah Lil Muhâfađah ‘Alal ‘Aqqa`id Al-Islamiyyah oleh Abdullah
Zakiy Al-Kaaf. Bandung: CV. Pustaka Setia,Cet. I, 1999.
Tim Ahli Tauhid. Kitab Tauhid. Jakarta: Darul Haq, 1998.
Tim Baitu Kilmah Jogjakarta, Ensiklopedi Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits.
Jakarta: Kamil Pustaka, Cet. II, 2013.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2007.
Tirmiżi, Muhammad bin ‘Isa. Sunan at-Tirmiżi. Kairo: Dâr Ibn al-Jauzi, Cet. I,
2011.
Tirtarahadja, Umar dan S .L . La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, Cet. II, 2008.
Ubaidah, Darwis Abu. Panduan Akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Jakarta:
Pustaka al-Kausar, Cet. I, 2008.
Uhbiyati, Nur. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, Cet. 1, 2013.
Ulwan, Abdullah Nashih. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid I.
Semarang: CV. Asy-Syifa, Cet. III, 1981
97

‘Ulwan, Abdullah Nashih. Saat Mu’min Merasakan Kelezatan Iman. Jakarta:


Robbani Press, Cet. I, 1992.
Uśaimin, Syekh Muhammad bin Shalih. Kitab At-Tauhid. Riyađ: Dâr Ibn Al-
Jauzi, Cet. III, 1999.
________. Prinsip-prinsip Keimanan, Terj. dari Syarhu Ushulil Iman oleh Ali
Makhtum Assalamy. Riyađ: Haiatul Ighatsah al Islamiah, Cet. I, 1993.
Usman, M. Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat
Pers, Cet. I, 2002.
Ya’qub, Hamzah. Ilmu Ma’rifah; Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin.
Jakarta: CV. Atisa, Cet. III, 1988.
Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Yogyakarta: UIN-Malang
Press, Cet. I, 2008.
Yasin, Muhammad Na’im. Iman: Rukun, Hakikat dan yang membatalkannya, Ter.
Dari Al-Iiman, Arkaanuhu, Haqiqatuhu, Nawaqidhuhu, Abu Fahmi. Jakarta:
Gema Insani Press, Cet. V, 1992.
Al Zahabi, Imam Hâfiť Syamsuddin. Al-Kabâ`ir. Beirut: Dâr Al-Fikr, t.t.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
2004.
Al Zindani, Abdul Majid. Al-Iman. Kuala Lumpur: Al-Hidayah, Cet. I, 1996.
Zuhairini., dkk., Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 2009.

Anda mungkin juga menyukai