Skripsi
Diajukan kepada Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)
Oleh
Disusun oleh:
DI BAWAH BIMBINGAN
JAKARTA
2014 M/1436 H
ABSTRAK
Fikri Latipatul Huda (NIM. 1110011000077). Pendidikan Keimanan (Kajian
Tafsir Surat Al-An’am Ayat 74-79).
Setiap manusia dilahirkan memiliki potensi. Potensi itu berupa fitrah akan
pengakuan adanya Allah swt. Pendidikan Keimanan yaitu usaha sadar dalam
menanamkan akan dasar-dasar keimanan kepada peserta didik yang berfungsi
untuk mengembangkan segala potensi yang telah dimiliki oleh peserta didik agar
potensi yang telah dimiliki oleh peserta didik dapat dikembangkan kepada jalan
kebenaran. Oleh karena itu seorang pendidik harus mampu membantu
mengembangkan potensi yang telah dimiliki oleh peserta didik menuju arah yang
baik. Berbicara tentang keimanan, erat kaitannya dengan tauhid. Karena inti dari
keimanan itu yaitu beriman kepada Allah swt. Sehingga beriman kepada Allah
swt. mengandung implikasi keimanan akan wujud-Nya, ke-Esaan-Nya ketuhanan-
Nya dan keimanan akan nama-nama baik-Nya dan sifat-sifat luhur-Nya yang
terwujud dalam tauhid ulûhiyyah, tauhid rubûbiyyah dan tauhid asmâ` wa sifat.
Dalam Q.S. al-An’am ayat 74-79 ini membahas tentang bagaimana upaya Nabi
Ibrâhîm dalam menanamkan keimanan kepada ayah dan kaumnya yang
menyembah berhala dan menyembah bintang, bulan dan matahari.
Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif melalui penulusuran
data-data kepustakaan atau library research. Library research yaitu serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca
dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Adapun metode yang digunakan
dalam pembahasan ayat adalah metode tafsir tahlili yaitu metode tafsir yang
digunakan oleh para mufassir dalam menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang
tercantum dalam mushaf. Dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan
ditafsirkan, menjelaskan makna lafaz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan
munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat. Sedangkan metode
pembahasannya menggunakan metode deskriptif-analisis dengan cara
mengumpukan data, analisis data kemudian menarik kesimpulan.
Dalam penelitian ini, penulis memperoleh nilai-nilai pendidikan keimanan
yang meliputi: Pertama, tauhid ulûhiyyah yang terdiri atas Allah swt. satu-satunya
sumber hidayah, penghindaran dari segala bentuk kemusyrikan dan ikhlas dalam
beribadah kepada Allah swt. Kedua, tauhid rubûbiyyah yang terdiri atas meyakini
Allah swt. sebagai satu-satunya Pencipta dan meyakini bahwa Allah swt. sebagai
satu-satunya Pengatur. Ketiga, tauhid asmâ` wa sifat yang terdiri atas meyakini
bahwa Allah swt. bersifat wujud, meyakini bahwa Allah swt bersifat qidam dan
meyakini bahwa Allah swt bersifat baqâ.
Kata Kunci: Pendidikan Keimanan
i
ABSTRACT
Fikri Latipatul Huda (NIM. 1110011000077). Faith Education
(Interpretation Study of Chapter Al-An’am Verse 74-79).
Every human is born with the potential which has been given by Allah SWT.
That potential is a natural tendency about the confession of the existence of Allah
SWT. Faith education is the conscious effort in engrafting the basic faith to
students where the function is to evolving every potential which has been had by
the students in order to develop it in to right way. Therefore a teacher has to help
students in developing the potential which has been had by the students in to the
better way. The faith has strong relationship with tauhid (knowledge about the
One-God) because the core of faith is belief in Allah SWT. Therefore, belief in
Allah SWT contains the faith implication about His existence, His One-God, His
divinity, His good names and His supreme attributes which are materialized in
tauhid ulûhiyyah, tauhid rubûbiyyah and tauhid asmâ` wa sifat. Holy Koran
chapter Al-An’am discusses about how the effort of prophet Ibrahim in engrafting
the faith to his father and his community who are paganism, worshiper of the
animals, moon and sun.
The skripsi uses qualitative method through investigation of data in library or
library research. Library research is connected activities which have correlation
with library data collection, reading, taking note and analyzing the object of study.
The method that is used in this study is tahlili method. It is the interpretation
method which is used by the experts of Koran interpretation in explaining the
content of verses in Koran from various aspects and observes the verses of holy
Koran. The writer starts from mentioning the verses that will be interpreted,
explaining the sense of words, explaining the munasabah of verses and explaining
the content of verses. Furthermore, the discussion method in this study uses
descriptive analysis method by collecting the data, analyzing it and making the
conclusion.
.
In this study, the writer gets the values of faith education which involve: first,
tauhid ulûhiyyah which consists of Allah is the only one source of guidance,
avoidance from every types of polytheist and sincerity in worshipping to Allah
SWT. Second, tauhid rubûbiyyah which consists of believing in Allah SWT as the
only one controller. Third, tauhid asmâ` wa sifat which consists of believing in
the existence of Allah and Allah is antecedence (qidam) and eternal (baqa’)
Key word : Faith Education
ii
KATA PENGANTAR
iii
7. K.H Bahrudin, S.Ag selaku guru/pengasuh Pondok Pesantren Daar El-
Hikam Ciputat Tangerang Selatan, yang telah banyak memberikan
ilmunya, motivasi, nasihat-nasihatnya serta dengan kesabarannya yang
luar biasa yang selalu mendidik hati ini agar selalu berada dalam jalan
rida-Nya sehingga penulis tidak pernah putus asa untuk menyelesaikan
skripsi ini.
8. Teristimewa untuk ibunda tersayang Hj. Atikah dan Almarhum ayahanda
tercinta Ahmad Hujjatul Islam yang selalu memberikan kasih sayang,
motivasi dan do’anya kepada penulis.
9. Saudara-saudariku tersayang Moch. Abdul Hadi, Moch. Badru Rifa’i,
Endah Rafika Kholilah yang selalu memberikan do’a dan motivasi kepada
penulis.
10. Keluarga besar LEMKA (Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an) yang selalu
memberikan motivasi dan menghibur penulis dalam penulisan ini.
11. Sahabat-sahabatku seperjuangan Nida Afifah Nur, Wiwin Sutianah,
Nurfitriani, Ratu Shodfatul Munifah, Eem Sulaemah, Teti resmiawati,
Suprapti dan yang lainnya, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu-
persatu tapi, tidak mengurangi rasa hormat penulis, yang senantiasa
mendoakan dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam
melakukan menyelesaikan skripsi ini.
12. Keluarga besar Pondok Pesantren Daar El-Hikam Ciputat Tangerang
Selatan, terima kasih atas kebersamaannya yang selama ini memberikan
bimbingan, do’a, dan motivasi kepada penulis.
13. Keluarga besar Jurusan Pendidikan Agama Islam kelas B angkatan
akademik 2010 yang selama ini bersama-sama menyelesaikan studi S1 di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
14. Keluarga besar Kelas Tafsir Hadits Jurusan Pendidikan Agama Islam yang
selama ini bersama-sama menyelesaikan studi S1 di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan dan
iv
pahala dari Allah swt. semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak. Amin Ya Rabbal ‘alamin.
v
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ........................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 10
C. Pembatasan Masalah .............................................................. 10
D. Rumusan Masalah ................................................................... 10
E. Tujuan Penelitian ................................................................... 11
F. Manfaat Penelitian .................................................................. 11
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Keimanan ........................................... 12
B. Materi Pendidikan Keimanan .................................................. 17
C. Metode Pendidikan Keimanan ................................................ 28
D. Faktor Penunjang Pendidikan Keimanan ................................ 40
E. Kajian Relevansi ..................................................................... 45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................... 47
B. Metode Penulisan .................................................................... 47
C. Fokus Penelitian ...................................................................... 47
D. Prosedur Penelitian ................................................................ 47
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tafsir Surat al-An’am [6] : 74–79 ........................................... 52
1. Teks dan Terjemah Ayat ................................................... 52
2. Tafsir Mufradat Ayat ......................................................... 53
3. Tafsir Surat al-An’am [6] : 74–79 ..................................... 58
vi
B. Pendidikan Keimanan yang terkandung dalam surat al-An’am [6]
ayat 74-79 ................................................................................ 67
1. Tauhid Ulûhiyyah ............................................................. 68
a. Allah swt. satu-satunya sumber hidayah ..................... 70
b. Penghindaran dari segala bentuk kemusyrikan ............ 72
c. Ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt. .................. 75
2. Tauhid Rubûbiyyah .......................................................... 78
a. Meyakini Allah swt. sebagai satu-satunya Pencipta ....
...................................................................................... 80
b. Meyakini bahwa Allah swt. sebagai satu-satunya Pengatur
...................................................................................... 82
3. Tauhid Asmâ wa sifat ....................................................... 83
a. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat wujud ............... 85
b. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Qidam .............. 86
c. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Baqâ ................. 87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 89
B. Saran ........................................................................................ 90
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
2. Vokal
Tanda Huruf Latin
̶َ a Tanda dan Huruf Latin
̶ِ i
Huruf
ْ َى
ي ai
u
ْىو
َ au
3. Mâdd (Panjang)
Harakat Huruf dan
dan Huruf Tanda
ىا â
ْىِي Î
ْىو
ُ û
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an datang dengan membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka
menyadari jati diri dan hakikat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Juga agar
mereka tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga mereka tidak menduga
bahwa hidup mereka hanya dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan
kematian. Bisikan hati yang melahirkan keyakinan semacam itu, menjadikan
manusia berusaha memahami apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah swt.,
Tuhan Maha Pencipta itu.1
Fungsi utama al-Qur‟an sebagai hidayah (petunjuk) bagi manusia dalam
mengelola hidupnya di dunia secara baik dan merupakan rahmat untuk alam
semesta, disamping pembeda antara yang hak dan yang batil juga sebagai penjelas
terhadap segala sesuatu, akhlak, moralitas, dan etika-etika yang patut
dipraktekkan manusia dalam kehidupan mereka. Penerapan semua ajaran Tuhan
itu akan membawa dampak positif bagi manusia.2 Al-Qur‟an secara garis besar
berisi dua prinsip besar yaitu berhubungan dengan masalah keimanan yang
disebut akidah dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari‟ah. 3
Menurut Quraish Shihab, al-Qur‟an mempunyai tiga petunjuk pokok:
1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang
tersimpul dalam keimanan akan ke-Esaan Tuhan.
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-
norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam
kehidupannya secara individual dan kolektif.
1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, ( Bandung: Mizan, 1993), Cet. VII, h. 15
2
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani, (Ciputat: WNI Press, 2009), Cet. I, h. 203
3
Nur Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2013), Cet. I, h. 26
1
2
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".
Ayat diatas merupakan nasihat pertama kali yang disampaikan oleh
Luqman kepada putranya, ini menunjukkan bahwa pendidikan yang pertama kali
dilakukan ialah pembentukan keyakinan kepada Allah swt. yaitu pendidikan
keimanan sehingga dengan keimanan ini akan berpengaruh terhadap sikap dan
kepribadian anak.7
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan iman ialah mengikat anak
dengan dasar-dasar Iman, rukun Islam dan dasar-dasar Syari‟at, sejak anak mulai
mengerti dan dapat memahami sesuatu. Kewajiban para pendidik adalah
menumbuhkan anak atas dasar pemahaman dan dasar-dasar pendidikan iman dan
ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga anak akan terikat dengan
Islam, baik akidah maupun ibadah, di samping penerapan metode maupun
peraturan. Setelah anak mendapatkan petunjuk dan pendidikan tentang keimanan
4
M. Quraish Shihab, op.cit., h. 40
5
Nur Uhbiyati, op. cit., h. 27
6
Ibid., h. 22
7
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. V, h. 156
3
ini, ia hanya akan mengenal Islam sebagai din-nya, al-Qur‟an sebagai Imamnya
dan Rasulullah saw. sebagai pemimpin dan keteladanan.8
Iman merupakan fondasi yang digunakan Islam dalam membangun pribadi
muslim, sebab iman merupakan unsur paling mendasar yang menjadi penggerak
emosinya dan pengarah segala keinginannnya. Seandainya unsur iman benar-
benar dominan dalam jiwa manusia, maka pastilah seseorang akan istiqâmah. Ia
senantiasa menempuh jalan yang hak, mampu mengendalikan kelakuannya, serta
mengetahui mana yang positif dan mana yang negatif. Inilah yang dituntut Islam
dari kita.9 Iman juga memberikan api kekuatan yang besar dalam tekad,
keberanian, kesabaran, ketabahan dan tawakal. Oleh karena itu orang beriman
akan sanggup menghadapi tugas-tugas berat dan meninggalkan kesenangan di
dunia ini. Semua itu ia lakukan semata-mata mencari keridaan-Nya.10 Keimanan
dalam ajaran Islam merupakan pokok (ushul) yang dari padanya ke luar cabang-
cabang ajaran Islam. Keimanan akan melahirkan perbuatan yang baik (amal-
shalih) yang merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.11
Membicarakan keimanan berarti membicarakan persoalan akidah dalam
Islam. Pengertian akidah (aqidah dalam bahasa Arab) secara etimologi adalah
ikatan dan/atau sangkutan. Akidah dalam pengertian terminologi adalah iman,
keyakinan yang menjadi pegangan hidup bagi setiap pemeluk agama Islam. Oleh
karena itu, akidah selalu ditautkan dengan rukun iman atau arkân al-iman yang
merupakan asas bagi ajaran Islam. Islam adalah agama tauhid. Perkataan tauhid
erat hubungannya dengan kata wahid (satu tau esa) dalam bahasa Arab. Sebagai
istilah yang dipergunakan dalam membahas ketuhanan (segala sesuatu mengenai
8
Abdullah Naşih „Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid I, (Semarang:
CV. Asy-Syifa, 1981), Cet. III, h. 151
9
Abdurrahman Hasan Habanakah Al-Maidani, Pokok-Pokok Akidah Islam, Terj. dari Al-
Aqidah Al-Islamiyah wa Ususuha oleh A. M. Basalamah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Cet. II, h.
34
10
Sayyid Naimullah, Keajaiban Aqidah; Jalan Terang Menuju Islam Kaffah, (Jakarta:
Lintas Pustaka Publisher, 2004), Cet. I, h. 37
11
Hamzah Ya‟qub, Ilmu Ma‟rifah; Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin, (Jakarta:
CV. Atisa, 1988), Cet. III, h. 36
4
Tuhan). Tauhid adalah keyakinan akan keesaan Tuhan yang dalam ajaran Islam
disebut Allah. Allah adalah penamaan khusus Islam pada Tuhannya.12
Inti penting dari keimanan itu adalah tauhid kepada Allah swt. Jika
diinginkan adanya konsistensi, maka dalam membahas segala sesuatu yang
berkaitan dengan pendidikan Islam, kita tidak mungkin melakukannya tanpa
melihat hubungannya dengan tauhid atau faham Ketuhanan Yang Maha Esa.
Seperti diketahui, sebagaimana ungkapan Nurcholish Madjid, bahwa tauhid
adalah pondasi atau asas bagi semua bangunan Islam, bahkan seharusnya fondasi
bagi semua bangunan kemanusiaan yang benar. Tauhid adalah bagian paling inti
ajaran Islam.13
Keimanan yang berlandaskan tauhid ulûhiyyah, rubûbiyyah, maupun
tauhid asma‟ dan sifat, dapat memperkokoh diri untuk beramal saleh dan tetap
dalam keadaan ketakwaan. Iman dengan pemaknaan tauhid ulûhiyyah
memberikan pemahaman yang benar terhadap Allah swt. bahwasannya Dia saja
yang berhak disembah, ditaati, dan manusia tidak dibenarkan berlaku syirik
kepada-Nya. Sesungguhnya Allah swt. tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah
maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.14
Dalam kehidupan, kalimat tauhid Lâ ilâha illâllah akan senantiasa
memberikan kesan yang kuat kepada umat manusia, seperti yang dikatakan oleh
Abdul A‟la Maududi. Abdul A‟la Maududi mengatakan bahwa orang mukmin
yang mengimani kalimat tauhid, wawasan pikirannya akan luas karena ia
meyakini rubûbiyyah Allah sebagai zat yang menciptakan langit dan bumi sebagai
penguasa alam semesta, sebagai pemilik barat dan timur. Bahkan Dialah yang
memberi rezeki dan mengatur manusia. Iman kepada kalimat tauhid akan
melahirkan rasa percaya pada diri dan kebesaran jiwanya. Ia yakin bahwa tak ada
12
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), Cet. IV, h.
2
13
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
Cet. I, h. 78
14
Khairunnas Rajab, Psikologi Ibadah; Memakmurkan Kerajaan Ilahi di Hati Manusia,
(Jakarta: Amzah, 2011), Cet. 1, h.125-126
5
yang dapat mengalanginya, selain Allah swt. Hanya Dialah yang boleh memberi
manfaat dan mudarat. Dialah yang mematikan dan menghidupkan dan Dia jugalah
pemilik segala hukum, kekuasaan dan kedaulatan. Orang yang mengimani kalimat
tauhid akan memahami dengan sepenuh hatinya bahwa jalan menuju keselamatan
dan kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan kebersihan jiwa dan amal soleh. Ia
beranggapan begini karena ia beriman kepada Zat Yang Maha Kaya dan Maha
Adil. Hanya Dialah tempat bergantung.15
Dari uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwasannya al-
Qur‟an merupakan pedoman bagi kehidupan manusia yang di dalamnya terdapat
ajaran-ajaran yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai hamba Allah swt.
Diantara isi dari ajaran al-Qur‟an yang paling utama yaitu masalah keimanan.
Keimanan ini penting dimiliki oleh setiap manusia, karena dengan keimanan ini
seseorang akan menyadari perannya sebagai hamba Allah swt. dengan meyakini
bahwa hanya Allah swt. adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan
menyadari bahwa tidak ada Tuhan yang mampu menciptakan alam semesta ini
kecuali Allah swt. Sehingga dengan adanya keyakinan itu, menjadikan manusia
menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri kepada Allah swt sehingga ia akan
melaksanakan segala perintah-perintah Allah swt. tanpa sedikitpun adanya
keraguan di dalam dirinya.
Manusia dilahirkan dengan membawa fitrah-fitrah tertentu. Al-Qur‟an
mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa
hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.16
Demikian difahami dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30.
15
Sayyid Naimullah, op. cit., h. 36
16
M. Qurasih Shihab, Wawasan al-Qur‟an; Tafsir Mauđu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. V, h. 15
6
itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. “
Dalam ayat lain dikemukakan, pada Q.S. al-A‟raf : 172
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Disamping itu, terdapat beberapa sabda Nabi saw. tentang fitrah dengan
beberapa riwayat dari para sahabat yang berbeda pula muatannya. Sebuah sabda
Nabi saw. yang populer, yang banyak disitir oleh para ulama antara lain sebagai
berikut:
َكمَا تُىْتَجُ البٍَِيمَ ُت،ًِِّجسَاو
ِ َ أََْ ُيم،ًِِّصرَاو
ِ َ ََيُى،ًِِ فَأَبََُايُ يٍَُُِدَاو،ِطرَة ْ علَى ال ِف َ ُمَا مِهْ مَ ُْلُُدٍ ِإلَا يُُلَذ
ًَِطرَةَ الل ْ { ِف:ًُْ ٌَلْ تُحِسُُنَ فِيٍَا مِهْ جَذْعَاءَ» ثُّمَ يَقُُلُ أَبُُ ٌُرَ ْيرَةَ رَضِيَ اللًَُ عَى،َج ْمعَاء َ ًَبٍِيمَت
}ُك الذِيهُ القَيِّم
َ ِخ ْلقِ اللَ ًِ َرل
َ ِس عَلَ ْيٍَا الَ تَبْذِيلَ ل
َ ط َر الىَا َ الَتِي َف
“Tiada seorang bayi pun melainkan dilahirkan dalam fitrah yang bersih.
Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi
sebagaimana binatang melahirkan binatang kesekuruhannya. Apakah
kalian mengetahui di dalamnya ada binatang yang rumpung hidungnya?
Kemudian Abu Hurairah membaca ayat dari surat ar-Rum: 30 ini. „...
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut futrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus.”(H.R.
Bukhari)17
Fitrah yang disebutkan pada dalil-dalil di atas mengandung implikasi
kependidikan yang berkonotasi kepada faham nativisme. Oleh karena itu, kata
fitrah mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar
beragama yang benar dan lurus (ad-din al-qayyim) yaitu Islam.18 Fitrah
merupakan modal dasar seorang bayi untuk menerima agama tauhid. Dengan
demikian, orang tua dan pendidik berkewajiban melakukan dua langkah berikut :
17
Muhammad bin Isma‟il Abu „Abdullah al-Bukhari, Şahih al-Bukhari, Juz II, (tt.p., Dâr
an-Najah, 2001), Cet. I, h. 95
18
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), Cet. IV, h. 42-43
7
19
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 145
20
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011), Cet. II, h. 55
21
Sayyid Naimullah, op. cit., h. 91
8
22
Ibid., h. 8
23
M. Qurasih Shihab, op. cit., h. 14
9
dibuktikan dengan beberapa argumentasi; Pertama, Fitrah yang bersih, kedua akal
yang sehat dan yang ketiga dengan panca indera.24
Di dalam al-Qur‟an banyak sekali ayat-ayat yang membahas tentang
pendidikan keimanan, salah satu ayat yang membahas tentang pendidikan
keimanan yaitu surat al-An‟am ayat 74-79. Surat al-An‟am berarti surat yang
dinamai “Binatang Ternak”, adalah surat 6 dalam susunan mushaf. Dia diturunkan
di Makkah. Abu Ishaq al-Asfaraini berkata: “Sesungguhnya di dalam surat al-
An‟am terdapat tiang-tiang pokok Akidah Tauhid.” Dan beliau berkata
selanjutnya: “Penyususnan ini dan keletakan surat ditempatnya yang sekarang,
sesudah surat al-Maidah adalah tepat benar. Sebab akhir surat dari surat al-Maidah
adalah pembatalan kepercayaan Nasrani yang mengatakan bahwa Isa al-Masih
anak Allah atau Allah sendiri, yang telah ditegur dengan keras dan dijelaskan
bahwa kepercayaan itu kufur adanya dan sangat kacau.25
Di dalam surat ini dijelaskan bagaimana sikap Nabi Ibrâhîm as. dalam
mengajarkan akan pendidikan keimanan kepada kaum dan ayahnya yang
menyembah berhala. Kemudian Allah swt. memperlihatkan kepada Nabi Ibrâhîm
as. akan kekuasaan-Nya Yang Maha Agung segala yang ada di langit dan dibumi,
dengan adanya ciptaan Allah swt. tersebut dapat dijadikan pelantara untuk
memperteguh keimanannya. Oleh karena itu, di dalam Q.S. al-An‟am ini
dijelaskan bagaimana cara Nabi Ibrâhîm as. dalam mengajarkan kepada kaumnya
agar bertauhid kepada Allah swt. yang menurut penulis ini sangat penting
dijadikan sebagai rujukan dengan mencontoh kepada Nabi Ibrâhîm as. dalam
mendidik kaumnya.
Mengingat betapa pentingnya pendidikan keimanan yang harus dimiliki
oleh setiap muslim khususnya, tentunya yang berlandaskan pada al-Qur‟an, ini
sangat penting dan perlu digali lebih dalam untuk dijadikan rujukan dan pedoman
bagi kehidupan umat muslim agar memperkokoh keimanan setiap muslim.
24
Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Buku Pintar Akidah; Panduan Praktis Memamahami
Akidah, Terj. dari Al-Mukhtaşar fiel „Aqidah oleh Ibnu Syarqi, (Klaten: Wafa Press, 2012), Cet. I,
h. 97
25
Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), h.
106
10
1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 13
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet.
III, h. 263
3
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), Cet. IX, h. 6
4
Armai Arief, Refolmulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Crsd Press, 2005), Cet. I, h. 17
12
13
5
Zuhairini, dkk, op. cit., h. 92
6
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), Cet. V,
h. 12
7
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN-Malang Press,
2008), Cet. I, h. 16
8
Rois Mahfud, Al-Islam; Pendidikan Agama Islam, (Palangka Raya: Erlangga, 2011), h.
144
9
Ibid., h. 148
14
keteguhan hati.11 Iman berasal dari Bahasa Arab, yaitu: artinya aman,
14
M. Saberanity, Keimanan Ilmu Tauhid, (Tangerang: Lekdis Nusantara, 2006), Cet. II, h.
2
15
Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung: Diponegoro, 2010), Cet. XVIII, h. 16
16
Mawardi Labay El-Sulthani, Zikir dan Do‟a; Iman Pengaman Dunia, (Jakarta: Al-
Mawardi Priman, 2000), h. 35
16
keraguan, serta memberi pengaruh terhadap pandangan hidup, tingkah laku dan
perbuatan sehari-hari.”17
Menurut Abu Ishaq Ibrâhîm az-Zujaj yang dikutip oleh Moh. Rowi Latif
bahwa iman yaitu meyakini dan mempercayai dengan sepenuh hati terhadap
syari‟at yang didatangkan oleh Nabi Muhammad saw. yang diwujudkan dalam
bentuk ketaatan serta penerimaan segala hal yang didatangkan dari Nabi saw.
Selain itu, iman merupakan keyakinan yang tidak dicampuri sedikit pun oleh
keraguan dengan melaksanakan segala yang diwajibkan atas dirinya. 19
Begitu pula definisi tentang iman, Imam Ibnu Qayyim berpendapat yang
dikutip oleh Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma‟asy, bahwa hakikat iman
adalah sesuatu yang terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua
macam: Perkataan hati yaitu keyakinan dan perkataan lisan yaitu menyatakan
keislaman. Perbuatan juga ada dua macam: Perbuatan hati yaitu niat dan
keikhlasan, dan perbuatan anggota badan. Jika keempat unsur ini hilang, maka
hilanglah kesempurnaan iman. Jika hilang pengakuan di dalam hati, maka
hilanglah manfaat unsur-unsur yang lainnya.20
17
Yusuf Al Qardhawi, Iman dan Kehidupan, Terj. dari Al-Iman wal Hayat oleh
Fachruddin HS, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. III, h. 3
18
Abdullah Nashih „Ulwan, Saat Mu‟min Merasakan Kelezatan Iman, (Jakarta: Robbani
Press, 1992), Cet. I, h. 1
19
Moh. Rowi Latif, Bagaimana Anda Menjadi Orang Mu‟min, (Surabaya: PT. Bungkul
Indah, 1995), Cet. I, h. 13
20
Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma‟asy, Mengupas Kebodohan, Terj. dari Al Jahl
bi Masail Al I‟tiqad wa Hukmuhu oleh Asep Saefullah dan Kamaluddi Sa‟diyatul Haramain,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), Cet. I, h. 28
17
21
Badi‟uzzaman Sa‟id Nursi, Iman Kunci Kesempurnaan, Terj. dari Al-Iman wa
Takamulul-Insan oleh Muhammad Misbah, (Jakarta: Robbani Press, 2004), Cet. I, h. 12
18
sumber ajaran Islam.22 Oleh karena itu, materi sangat penting dalam pendidikan
Islam karena materi merupakan salah satu komponen dalam pendidikan Islam.
1) Akidah; materi ini dianggap sebagai materi utama dalam pendidikan islam,
yang dapat menjadi motor penggerak jiwa manusia untuk menjalankan
amalan lainnya.
2) Ibadah; materi ini merupakan tema sentral dalam al-Qur‟an dan harus
dipelajari untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
3) Akhlak; materi ini sebagai upaya membentengi manusia/peserta didik dari
dekadensi moral manusia dalam kehidupan sehari-hari.
4) Jihad; materi ini diwajibkan sebagai sarana untuk memperjuangkan Islam
dalam pengaruh imperialisme Barat, disamping itu jihad dalam arti luas
adalah termasuk melawan hawa nafsu dan melawan setan.
5) Jasmani; materi ini untuk menumbuhkan kesehatan badan atau fisik
manusia/peserta didik, karena aspek kesehatan fisik sangat berpengaru
terhadap jiwa dan akal.24
Tauhid berasal dari kata wahhada ( ُ )وَحَّ َدهberarti meng-Esakan atau tidak
berbilang. Dalam pengertian secara syar‟i (agama) tauhid adalah meniadakan
persamaan terhadap dzat Allah, sifat-sifat, perbuatan, sekutu dan ketuhanan-Nya
22
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 120
23
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2010), Cet. IX, h. 58
24
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 124
19
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan. 4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Selain itu, tauhid memiliki makna meyakini ke-Esaan Allah swt. dalam
Rubûbiyyah, Ikhlas beribadah kepada-Nya, serta menetapkan bagi-Nya nama-
nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam: Tauhid
Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah serta tauhid Asmâ` wa Sifat.26
1. Tauhid Uluhiyyah
Makna secara ijmali (global) dari tauhid ini adalah Pengi‟tikadan diri
secara bulat-bulat bahwa Allah swt. adalah ilâhul Haqq (yang berhak diibadahi)
dan tidak ada ilâhul Haqq selain-Nya.27 Sebagai hambanya kita harus meyakini
sesungguhnya hanya Allah swt. adalah Tuhan yang patut untuk disembah dan
tidak ada lagi tuhan yang wajib disembah kecuali Allah swt. Tauhid ini adalah
inti dari dakwah para rasul saw., karena ia adalah asas dan pondasi tempat
dibangunnya seluruh amal.28 Rasul merupakan para utusan Allah swt. yang
diberikan amanat kepadanya untuk mengajarkan kaumnya yaitu berupa ajaran
untuk bertauhid kepada-Nya merupakan ajaran yang paling utama karena tauhid
ini merupakan esensi dari iman kepada Allah swt. Pada hakekatnya jenis tauhid
25
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi , Aqidah Seorang Mukmin, Terj. dari Aqîdatul
Mukmin oleh Salim Bazemool, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1994), Cet. I, h. 81
26
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid, jilid I Terj. dari At-Tauhid Liş Şaffil
Awwal al-Ali oleh Agus Hasan Bashori, (Jakarta: Darul Haq, 2011), Cet. I, h. 19
27
Muhammad Na‟im Yasin, Iman: Rukun, Hakikat dan yang membatalkannya, Terj. dari
Al-Iiman, Arkaanuhu, Haqiqatuhu, Nawaqidhuhu oleh Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1992), Cet. V, h. 24
28
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Op. Cit., h. 53
20
29
Muhammad Na‟im Yasin, Op. Cit., h. 25
30
Darwis Abu Ubaidah, Panduan Akidah Ahlu Sunnah Wal Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka al-
Kausar, 2008), Cet. I, h. 49
31
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Op. Cit., h. 83
32
Abdurrahman Madjrie, Meluruskan Akidah, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), Cet.
I, h. 83
21
33
Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam,
Terj. dari Almadkhalu Lidirâsatil „Aqidatil Islamiyyah „Ala Madzhabi Ahlisunnah wal Jama‟ah,
oleh Muhammad Anis Matta, (Jakarta: Robbani Press, 1998), Cet. I, h. 141
34
Ibid., h. 142
35
Syekh Muhammad bin Shalih al Utsamin, Prinsip-prinsip Keimanan Terj. dari Syarhu
Ushulil Iman oleh Ali Makhtum As-Salamy, (Riyadh: Haiatul Ighatsah al Islamiah al Alamiah,
1993), Cet. I, h. 26
22
d) Raqib dan Atib. Pekerjaan mereka yaitu mencatat semua kebaikan dan
keburukan manusia (amal baik dan amal buruk).
36
Rois Mahfud, Op. Cit., h. 17
37
Darwis Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 137
23
Adapun firman Allah swt. yang berkaitan dengan para utusatn-Nya serta
pengangkatan risalahnya yaitu terdapat dalam Q.S. an-Nahl : 36
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Tâgut",
38
Zainuddin, Ilmu Tauhid lengkap, (Jakarta: PT. Rineka, 1996), Cet. II, h. 91
39
Ibid., h. 104
40
Darwis Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 160
24
Seorang muslim berkeyakinan bahwa Allah swt. telah memberi wahyu dan
mensucikan para utusan-Nya diantara manusia dengan menugaskannya untuk
menyampaikan wahyu tersebut agar tidak ada alasan lagi bagi manusia kelak pada
hari kiamat. Allah swt. mengutus mereka dengan dibekali penjelasan-penjelasan
dan mukzizat. Mereka adalah manusia yang tak lepas dari kemanusiaannya seperti
makan, minum, jatuh sakit, lupa atau ingat dan hidup atau mati. Mereka adalah
manusia yang benar-benar paling sempurna tanpa kecuali.41
Hari kiamat disebut juga dengan yaumul akhir (hari akhir), yaumul ba‟ats
(hari kebangkitan), yaumul hisâb (hari perhitungan), yaumul jazâ‟i (hari
pembalasan), yaitu pembalasan atas segala amal perbuatan manusia selama hidup
di dunia. Keyakinan dan kepercayaan akan adanya hari kiamat memberikan satu
pelajaran bahwa semua yang bernyawa, terutama manusia akan mengalami
kematian dan akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala
amal perbuatannya di dunia. Hari kiamat menandai babak akhir dari sejarah hidup
manusia di dunia. Kedatangan hari kiamat tidak dapat diragukan lagi bahkan
proses terjadinya pun sangat jelas.42 Bagi seorang muslim wajib mengimani
bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara dan tidak akan lama akan
dihidupkan dan dihadapkan kepada Allah swt. untuk mempertanggung jawabkan
segala perbuatan yang pernah dilakukannya semasa hidup di dunia.43 Sehingga
dengan beriman kepada hari akhir akan selalu mengingatkan kepada seseorang
agar selalu meningkatkan ibadahnya baik dari segi kualitas maupun kuantitas
karena kehidupan di dunia hanyalah kehidupan sementara dan tidak abadi.
Adapun kehidupan yang abadi adalah kehidupan akhirat.
41
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Pola Hidup Muslim; Aqidah, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1993), Cet. II, h. 53
42
Rois Mahfud, Op. Cit., h. 20
43
Darwis Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 170
25
44
M. Saberanity, Op. Cit., h. 84
45
Rois Mahfud, Op. Cit., h. 21
46
M. Saberanity, Op. Cit., h. 85
47
Syekh Muhammad bin Shalih al „Uśaimin, Op. Cit., h. 30
26
Takrif secara jelas mengenai tauhid ini adalah, bahwa tauhid asmâ dan
sifat berdiri di atas tiga asas yaitu:
a. Mensucikan dan meninggikan Allah swt. dari hal yang menserupakan-Nya
dengan mahluk, atau dari suatu kekurangan. Maka tauhidullah di dalam sifat-
Nya adalah pengi‟tikadan diri secara bulat-bulat untuk mengakui bahwa Allah
swt. memerintahkan agar mensucikan-Nya, Dia bersih dari beristri, bersekutu,
tidak ada bandingan kesamaan, tidak ada syafaat (tanpa izin Allah).
b. Iman kepada asma dan sifat yang telah ditetapkan dalam Kitabullah dan
sunnah rasul, tanpa membatasinya dengan mengurangi-mengurangi atau
menambah-menambah, atau berpaling walau sedikitpun, atau
mengabaikan/menganggap tidak ada terhadap ketetapan-ketetapan tersebut.
c. Membuang khayalan (yang berlebih-lebihan) untuk memvisualisasikan sifat-
sifat tersebut. Yaitu dituntut bagi Mukmin (hamba) yang mukallaf untuk
mengimani sifat-sifat dan asma-asma yang nash-nashnya jelas tertera di
dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tanpa perlu membahas atau
mempersoalkan visualisasinya. Yang demikian itu disebabkan sifat-sifat
Allah sama sekali berbeda dengan sifat-sifat mahluk yang diciptakan-Nya,
yang secara lazim memerlukan pembuktian baik secara material maupun
visual.48
Tauhid asmâ wa sifat ini merupakan tauhid dalam mensucikan Allah dari
hal-hal yang dapat mengotori keimanan seseorang. Karena telah kita yakini
bahwasannya Allah yang hanya memiliki sifat kesempurnaan, yang bersih dari
sekutu sebagaimana faham-faham yang dianut oleh orang-orang trinitas
bahwasannya Allah memiliki anak. Padahal sudah jelas di dalam al-Qur‟an
bahwasannya Allah tidak memiliki anak dan tidak pula diperanakkan.
48
Muhammad Na‟im Yasin, Op. Cit., h. 35
27
49
Zainuddin, Op. Cit., h. 95
28
yang menjadi pelengkap syari‟at dan hukum-hukum kitab yang lain.50 Hal ini
berdasarkan firman-Nya:
50
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Op. Cit., h. 39
51
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2007), Cet. 3, h. 163
52
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 65
53
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Op. Cit., h. 163
29
Menurut M. Arifin yang dikutip oleh Toto Suharto bahwa secara bahwa
secara bahasa kata metode berasal dari istilah Yunani meta yang berarti melalui,
dan hodos yang berarti jalan yang dilalui. Jadi, metode berarti jalan yang dilalui.54
Metode ialah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang
paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.”55 Sedangkan secara terminologi
metode adalah segala hal yang mengacu pada cara-cara untuk menyampaikan
materi pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik, disampaikan dengan efektif
dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditentukan. 56
1. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah cara penyajian yang dilakukan guru dengan
penjelasan secara langsung kepada siswa.57 Peran murid dalam metode ini sebagai
penerima pesan, mendengarkan, memperhatikan, dan mencatat keterangan-
keterangan guru bilamana diperlukan.58
2. Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab ialah suatu cara mengajar dimana seorang guru
mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan pelajaran yang
telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca sambil memperhatikan proses
berfikir diantara murid-murid.
54
Toto Suharto, Filsafat pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Cet. I, h.
134
55
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Op. Cit., h. 9
56
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta,
2012), Cet. II, h. 88
56
Armai Arief dan Busahdiar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Wahana Kardofa,
2009), Cet. I, h. 120
57
Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 120
58
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), Cet. I, h. 44
30
59
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet.
II, h. 135
60
M. Basyiruddin Usman, Op. Cit., h. 44
61
Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 122
62
M. Basyiruddin Usman, Op. Cit., h. 45
63
Armai Arief dan Busahdiar, Loc. Cit.,
31
64
Ibid., h. 123
65
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet.
II, h. 141
66
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), Cet. I, h. 36
67
Ramayulis, Op. Cit., h. 142
32
70
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 136
71
Abdurrahman An Nahlawi, Op. Cit., h. 205
34
72
Heri Gunawan, Op. Cit., h. 89
35
peserta didik disuruh bercerita sendiri dengan mengambil tema-tema materi kisah
sejarah Islam yang perlu diresapi dan diteladani.73
Kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan ternyata mempunyai
daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiah manusia
untuk menyukai cerita itu dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap
perasaan. Oleh karena itu, Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah
satu teknik pendidikan.74
Dalam pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu
bidang studi), kisah sebagai metode pendidikan amat penting. Dikatakan amat
penting, alasannya antara lain sebagai berikut:
b) Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk
mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya.
c) Kisah Qurani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu
menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Karena tokoh
cerita ditampilkan dalam konteks yang menyeluruh, atau pendengar dapat
ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang
menjadi tokohnya.
d) Kisah Qur‟ani mendidik perasaan keimanan dengan cara:
1) Membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, rida dan cinta;
2) Mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu
puncak, yaitu kesimpulan kisah;
3) Melibatkan pembaca dan pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia
terlibat secara emosional.75
73
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 144
74
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I,
h. 97
75
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 140-141
36
4. Metode Keteladanan
Murid-murid cenderung meneladani pendidiknya; ini diakui oleh semua
ahli pendidikan, baik dari Barat maupun dari Timur. Dasarnya ialah karena secara
psikologis anak memang senang meniru, tidak saja yang baik, yang jelek pun
ditirunya. Sifat anak didik itu diakui dalam islam. Umat meneladani Nabi, Nabi
meneladani al-Qur‟an. „Aisyah pernah berkata bahwa akhlak Rasul Allah itu
adalah al-Qur‟an.78
Metode teladan yakni metode yang digunakan pendidik dengan cara
memberikan memberikan contoh tauladan atau perilaku yang baik dalam
76
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 144
77
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 142
78
Ibid., h. 142
37
kehidupan sehari-hari, sehingga bisa ditiru oleh peserta didik.79 Pribadi Rasul itu
adalah interpretasi al-Qur‟an secara nyata. Tidak hanya caranya beribadah,
caranya berkehidupan sehari-hari pun kebanyakan merupakan contoh tentang cara
berkehidupan Islami.
Ada beberapa konsep dalam metode keteladanan:
a) Metode pendidikan Islam berpusat pada keteladanan. Yang memberikan
teladan itu adalah guru, kepala sekolah dan semua aparat sekolah. Dalam
pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para pemimpin masyarakat, para
da‟i. Konsep ini jelas diajarkan oleh Rasulullah saw.
b) Teladan untuk guru-guru (dan lain-lain) ialah Rasulullah. Guru tidak boleh
mengambil tokoh yang diteladani selain Rasul Allah saw. Sebab Rasul
itulah teladan yang terbaik. Rasul meneladankan bagaimana kehidupan
yang dikehendaki Tuhan karena Rasul itu adalah penafsiran ajaran
Tuhan.80
5. Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang
agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan (habituation) ini
berintikan pengalaman. Karena yang dibiasakan itu ialah sesuatu yang diamalkan.
Inti pembiasaan adalah pengulangan.81 Dalam pembinaan sikap, metode
pembiasaan sebenarnya cukup efektif. Pembiasaan tidak hanya perlu bagi kanak-
kanak dan sekolah dasar. Diperguruan tinggi pun pembiasaan masih diperlukan.
Karena pembiasaan berintikan pengulangan, maka metode pembiasaan
juga berguna untuk menguatkan hafalan. Rasulullah berulang-ulang berdo‟a
dengan do‟a yang sama. Akibatnya ia hafal benar do‟a itu, dan sahabatnya yang
mendengarkan do‟a yang berulang-ulang itu juga hafal do‟a itu.82
Al-Qur‟an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode
pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan,
79
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 144
80
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 143
81
Heri Gunawan, Op. Cit., h. 93
82
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 144-145
38
sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa
kehilangan banyak tenaga dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Selain itu, al-
Qur‟an juga terus menerus mengingatkan tujuan yang ingin dicapai dengan
kebiasaan itu, dan dengan menjalin hubungan yang hidup antara manusia dengan
Allah.83
“Mereka berkata: "Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak
mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah
orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.”
Pendidikan Islam memberikan perhatian khusus kepada metode „ibrah
agar pelajar dapat mengambil dari kisah-kisah dalam al-Qur‟an, sebab kisah-kisah
itu bukan sekadar sejarah, melainkan sengaja diceritakan Tuhan karena ada
pelajaran („ibrah) yang penting di dalamnya. Pendidik dalam pendidikan Islam
harus memanfaatkan metode ini.
83
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I,
h. 101
84
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 145
39
85
Abdurrahman An Nahlawi, Op. Cit., h. 280
86
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 145-146
87
Ibid., h. 146
88
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 146
40
89
Zuhairini, dkk, Op. cit., h. 167
90
Armai Arief dan Busahdiar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Wahana Kardofa,
2009), Cet. I, h. 134
91
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Bumi Aksara, 2009), Cet. X, h.
194
92
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perpektif al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005), h. 255
41
a. Lingkungan Keluarga
93
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 202
94
Abuddin Nata, Op. Cit., h. 256
95
Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 136
96
Umar Tirtarahadja dan S .L . La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2008), Cet. II, h. 170
42
b. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah adalah lingkungan pendidikan yang bersifat formal.
Sedangkan rumah tangga sebagaimana telah diuraikan di atas, adalah lingkungan
pendidikan anak yang bersifat informal.97
Setelah memasuki lingkungan sekolah maka mulailah anak menerima
pengetahuan yang bersifat sistematis dan konseptual berupa sejumlah mata mata
pelajaran. Di sini anak mulai berinteraksi dengan orang lain, yaitu teman-teman
sebayanya dan guru. Karen itu guru harus memiliki kepribadian, agama, akhlak,
sikap, penampilan, pakaian dan cara bicara yang baik terhadap anak didik. Di
sekolah anak terkadang mencari figur idola yang menurut dia dapat diteladani.98
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam
membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa,
“pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak ini dibagi tiga
kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid; dan 3)
hubungan antar anak.”
Melalui kurikulum yang berisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan
guru sebagai pendidik sera pergaulan antarteman di sekolah dalam menanamkan
kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan
moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang. 99
c. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan dan lembaga pendidikan ketiga setelah
keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dimulai sejak anak-anak lepas dari
asuhan keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dilaksanakan tidak begitu
terikat dengan peraturan dan syarat tertentu.100 Masyarakat dapat diartikan pula
sebagai komunitas yang amat heterogen dengan berbagai aspeknya. Di dalamnya
terdapat kegiatan dalam bidang agama, sosial, ekonomi, politik, seni budaya, ilmu
97
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005), h. 270
98
Armai Arief dan Busahdiar,Op. Cit., h. 149
99
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Cet. I, h.
84
100
Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 142
43
pengetahuan dan lain sebgainya. Semuanya itu merupakan lingkungan yang dapat
digunakan untuk kegiatan pendidikan.101
Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang
mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh
belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya.
Bahkan, terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa
keagamaan, baik dalam bentuk posistif maupun negatif.102
Dengan begitu, lingkungan masyarakat memiliki peran dalam pelaksanaan
pendidikan. Karena selain hidup di lingkungan sekolah maupun keluarga, anak
juga ikut berpasrtisipasi dalam masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas, bahwa dalam masyarakat terdapat norma dan tata nilai, sehingga norma dan
tata nilai inilah yang dapat mempengaruhi terhadap perkembangan keagamaan
anak. Masyarakat yang peduli akan pendidikan keagamaan akan membantu
terhadap perkembangan keagamaan peserta didik sedangkan lingkungan
masyarakat yang tidak peduli akan pendidikan keagamaan justru akan
menjerumuskan anak kepada hal negatif seperti maraknya kemorosatan moral
yang banyak terjadi di masyarakat, hal ini terjadi karena kurangnya pendidikan
khususnya keagaman kepada anak.
2. Media Pembelajaran
Kegiatan belajar sebagai unsur utama dari pelaksanaan pendidikan, yang
secara umum diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku baik sikap
hidupnya (perilaku afektif), pengetahuannya (perilaku kognitif), maupun
keterampilannya (perilaku psikomotorik).103
Menurut Yudhi Munadi, “ada tiga prinsip yang layak diperhatikan dalam
masalah pembelajaran. Pertama, proses pembelajaran menghasilkan
perubahan perilaku anak didik yang relatif. Kedua, anak didik memiliki
potensi, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk
101
Abuddin Nata, Op. Cit., h. 277
102
Bambang Syamsul Arifin, Op. Cit., h. 85
103
Djamaluddin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam; Sejarah, Ragam dan Kelembagaan,
(Semarang: Rasail, 2006), h. 89
44
104
Yudhi Munadi, Media Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada (GP), 2012), Cet. IV, h.
4
105
Ibid., h. 4
106
Aziz Fahrirrizi dan Ahmad Dardiri, Strategi Pembelajaran Bahasa Arab, (Jakarta: t.p.,
2012), h. 96
45
107
Yudhi Munadi, Op. Cit., h. 57
46
1. Surat yang dibahas pada penelitian sebelumya yaitu surat Yusuf as. dengan
menguraikan tentang nilai-nilai pendidikan keimanan dalam kisah Nabi
Yusuf as. yang terdapat di dalam Q.S. Yusuf, sedangkan pada penelitian ini
ayat yang di bahas yaitu Q.S. surat al-An‟am ayat 74-79. Selain itu dalam
metode penafsirannya, penelitian sebelumnya menggunakan metode tafsir
maudhu‟i sedangkan penelitian kali ini menggunakan metode tafsir tahlili.
2. Sesuai dengan judulnya, yaitu Metode Pendidikan Keimanan. Maka berbeda
dengan peneitian ini. Penelitian ini lebih fokus kepada mendeskripsikan nilai-
nilai pendidikan keimanan khususnya yang terkandung dalam Q.S. al-An‟am
ayat 74-79.
3. Dalam penelitian yang berjudul “Zikir sebagai upaya Pendidikan Keimanan”
ini memaparkan tentang hubungan zikir terhadap pendidikan keimanan.
Berbeda dengan penelitian ini, pada penelitian ini lebih fokus kepada
pendidikan dengan memaparkan tentang pendidikan keimanan yang
terkandung di dalam Q.S. al-An‟am ayat 74-79. Selain itu pembahasannya,
penelitian sebelumnya tidak menggunakan metode tafsir.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi
yang diterbitkan oleh Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013.
C. Fokus Penelitian
Berdasarkan judul, maka penulis memfokuskan pada kajian pendidikan
keimanan yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 74-79 yang sifatnya
mendeskripsikan dan menganalisa tentang pendidikan keimanan yang terkandung
dalam surat al-An’am ayat 74-79.
D. Prosedur Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian
kualitatif yaitu penelitian di mana peneliti dalam melakukan penelitiannya
menggunakan teknik-teknik observasi, wawancara atau interview, analisis isi, dan
metode pengumpulan data lainnya untuk menyajikan respons-respons dan
perilaku subjek,1 dengan menelusuri data-data kepustakaan atau library research.
Menurut Mestika Zed, studi kepustakaan atau Library research yaitu serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca
1
Punaji Setyosari, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), Cet. II, h. 40
47
48
2. Sumber data
Menurut Lofland sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong dalam
bukunya metodologi penelitian kualitatif mengatakan bahwa sumber data utama
dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lainnya. Berkaitan dengan hal itu, pada bagian ini
jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto
dan statistik.4
Adapun sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
sumber data tertulis dengan menggunakan data informasi yang bersifat literatur
kepustakaan, karena metode penelitian yang dipilih adalah library research yang
bersumber datanya bersumber dari buku-buku tafsir seperti tafsir al-Maragi, al-
Misbah, Ibnu Kaśir dan buku pendidikan khususnya yang berhubungan dengan
pembahasan.
2
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
h. 3
3
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2002), Cet. I, h. 45
4
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), Cet. XXXI, h. 157
49
5
Ibid., h. 248
50
amat kritis dalam proses penelitian. Adapun analisis data ini terbagi dua yaitu
analisis statistik dan nonstatistik.6
Dalam analisis data ini, penulis menggunakan analisis nonstatistik yaitu
data yang memiliki sifat verbal berupa ungkapan-ungkapan.7 Dalam proses
analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif-analisis yaitu memberikan
gambaran tentang data yang dianalisis dengan cara mengumpukan data, analisis
data kemudian menarik kesimpulan.
Adapun metode tafsir yang digunakan dalam pembahasan ayat adalah
metode tafsir tahlili (analisis), menurut Hamka Hasan metode tafsir tahlili yaitu
suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat alqur’an
dari seluruh aspeknya. Penafsir memulai uraiannya dengan menyebutkan arti kata-
kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti ayat. Ia juga mengemukakan
munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat
8
tersebut satu sama lain. Menurut Quraish Shihab munasabah yaitu adanya
keserupaan dan kedekatan di antara berbagai ayat, surah dan kalimat yang
mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan
makna antar ayat dan macam-macam hubungan atau kemestian dalam pikiran
(nalar).9 Penafsir juga membahas mengenai asbabun nuzul, yaitu sesuatu yang
melatar belakangi turunnya satu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu
peristiwa atau menceritakan sesuatu peristiwa, atau menjelaskan hukum yang
terdapat dalam peristiwa tersebut.10
Adapun kelebihan dari metode tahlili ini antara lain adanya potensi untuk
memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosa kata ayat,
syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut
segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat. Analisi ayat
dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan
kecenderungan mufassir. Sementara kelemahan metode tahlili ini, walaupun
6
Punaji Setyosari, Op. Cit., h. 209
7
Ibid, h. 209
8
Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadist, (Jakarta: Lembaga Penelitian Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 4
9
Abu Anwar, Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. III, h. 61
10
Dawud Al-Aţţar, Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), Cet. I, h. 127
51
dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokok bahasan, karena seringkali satu
ayat pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutan pada ayat lain.11
Menurut Quraish Shihab yang dikutip oleh Abuddin Nata, prosedur yang
ditempuh dalam metode tahlili ini adalah sebagai berikut:
a. Bermula dari kosa-kata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan
sebagaimana urutan dalam al-Qur’an.
b. Menjelaskan asbab an-nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan yang
diberikan oleh Hadis (bi ar- riwayah).
c. Menjelaskan munasabah atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat
sebelum atau sesudahnya.
d. Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan
menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan
Hadis Rasulullah saw. atau dengan menggunakan penalaran rasional atau
berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan.
e. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum
mengenai suatu masalah atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat
tersebut.12
Dilihat dari segi pendekatannya, metode tafsir tahlili ini ada yang
menggunakan sandaran pada hadis-hadis Rasulullah saw. yang selanjutnya
disebut tafsir bi al-Ma’śûr dan ada yang menggunakan sandaran pada penalaran
atau pendapat akal yang disebut dengan tafsir bi al-ra’yi.13
11
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 219
12
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), Cet.
I, h. 169
13
Ibid., h. 169
BAB IV
52
53
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. 79. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi,
dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk
orang-orang yang mempersekutukan tuhan.
1
Ibnu Manťûr, Lisânul „Arabi, (Beirut: Dar Sader, 1997), Cet. I, h. 79
2
Ibrâhîm Muşţafa, Mu‟jam Al-Wasîţ, (Kairo: Dar Ad-Da‟wa, ), h. 25
3
Ibnu Manťûr, Op. Cit., h. 96
54
sehingga ilâh diartikan sebagai yang disembah atau yang diherankan. Disebut ilâh
karena ia disembah, atau karena ia menimbulkan keheranan pada akal manusia.4
Demikian pula para ulama mengartikan Ilâh dengan yang disembah
dengan menegaskan bahwa Ilâh adalah segala sesuatu yang disembah, baik
penyembahan itu tidak dibenarkan oleh agama Islam; seperti terhadap matahari,
bintang, bulan, manusia, atau berhala; maupun yang dibenarkan dan diperintahkan
oleh Islam, yakni Dzat yang wajib wujud-Nya, Allah swt. Karena itu, jika seorang
Muslim mengucapka Lâ Ilâha Illâ Allâh maka dia telah menafikan segala tuhan,
kecuali Tuhan yang nama-Nya “Allah”.5
Selain diartikan sebagai sembahan, ada juga yang mengartikan bahwa ilâh
itu mengherankan atau menakjubkan, karena segala perbuatan ciptaan-Nya
menakjubkan atau apabila dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat
ketidak tahuan makhluk tentang hakikat Dzat Yang Maha Agung itu. Apapun
yang terlintas di dalam benak menyangkut Dzat Allah, maka Allah tidak
demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan, “Berpikirlah
tentang makhluk-makhluk Allah, dan jangan berpikir tentang Dzat-Nya.” 6
ِ ضاله ٍجي: đalâlim mubîn kata đalâl berasal dari kata đalla - yađillu - đalâl
wa đalâlatan ()ضو – يضو – ضاله ٗضالىخ. Kata ini terambil dari akar kata yang
terdiri dari huruf-huruf đâ‟ ()ضبء, lâm (ً)ال, dan lâm (ً – )الtasydid huruf lâm –
yang menurut bahasa bermakna „kehilangan jalan‟, „bingung‟, atau „tidak
mengetahui arah‟. Di dalam konteks immaterial, kata đalla (ّ )ضوdiartikan sebagai
„sesat dari jalan kebajikan‟, „meninggalkan jalan kebenara‟, atau „menyimpang
dari tuntunan agama‟, atau lawan kata dari kata „petunjuk‟. Mufasir wanita.
Aisyah bintu Asy-Syati‟ merumuskan makna kata đalla (ّ )ضوsebagai „setiap
tindakan atau ucapan yang tidak menyentuh kepada kebenaran‟.7
Kata đalâl dalam ayat ini disifati dengan kata mubîn, kata mubîn ini
merupakan bentuk ism fâ‟il dari abâna – yubînu – Ibânatan ( إثبّخ- ِ)أثبُ – يجي,
4
Ahsin W. al-Hafiż, Kamus Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. II, h. 20
5
M. Quraish Shihab, dkk, Ensiklopedia Al-Qur‟an; Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h. 77
6
Ibid., h. 76
7
Ibid., h. 1
55
turunan huruf ba‟, ya‟ dan nûn, memiliki dua makna denotasi, yaitu „jarak‟ dan
„tersingkap‟. Dari makna yang pertama, „jarak‟, lahir bentuk lain, seperti bain (ِثي
– pemisah, antara) karena merupakan batas yang jelas antara dua hal atau tempat.
Dari makna yang kedua, „tersingkap‟, berkembang menjadi, antara lain:
„menjelaskan‟ karena menyingkap hal sesuatu; „fasih‟ (ucapannya) karena lebih
jelas pengungkapannya, sehingga maksud tersingkap dengan jelas pula; bayân
(ُ ثيب- penjelasan) karena hal menyingkapkan makna yang masih samar-samar.8
Secara umum, kata mubîn di dalam al-Qur‟an digunakan sebagai sifat
keadaan, baik yang menunjukkan sesuatu yang baik maupun sesuatu yang jelek.
Dalam ayat ini, kalimat (ِ )ضاله ٍجيmenunjukkan kepada keadaan yang tidak baik,
yaitu menjelaskan tentang kesesatan bapak dan kaum Nabi Ibrâhim as. yang
menjadikan berhala sebagai tuhan mereka.
ِ اىَ٘قْي: al-mûqinîn adalah bentuk jamak dari mûqin, dan kata mûqin itu
sendiri merupakan bentuk ism al-fâ‟il ( = اعٌ اىفبعوkata benda yang menunjukkan
pelaku) dari kata ayqana – yûqinu – îqânan – mûqin (ِ ٍ٘ق- )ايقِ – ي٘قِ – ايقبّب, dan
kata mûqin terambil dari kata yaqîn. Kata yaqîn ini mengandung makna
pengetahuan yang tidak disentuh dengan keraguan sedikit pun.
Selain itu, yakin itu sendiri memiliki arti sebagai pengetahuan yang
mantap tentang suatu dibarengi dengan tersingkirnya apa yang mengeruhkan
pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun dalih-dalih yang dikemukakan
lawan. Sebelum tiba keyakinannya, seseorang terlebih dahulu disentuh oleh
keraguan, namun ketika seseorang itu sampai pada tahap yakin maka keraguan
yang tadinya ada akan menjadi sirna. Karena itu, kaum mûqinîn disifati sebagai
“orang-orang yang menemukan keyakinannya dalam dirinya, atau menemukan
keimanannya dengan segenap indranya”.9
Yaqîn merupakan tingkatan ilmu yang lebih tinggi dari ma‟rifah
(pengetahuan) dan dirâyah (pengetahuan). Oleh karena itu dikatakan - bukan
ma‟rifatul-yaqîn. Yaqîn ada tiga tingkat: „ilmul-yaqîn, „ainul-yaqîn, dan haqqul-
8
Ibid., h. 1
9
Ahsin W. al-Hafiż, Op. Cit., h. 200
56
yaqîn. Menurut orang-orang sufi, yaqîn ialah penglihatan mata kepala dengan
kekuatan iman, tanpa dalil dan keterangan.10
ّٚ سث: Rabbî, kata ّٚ سثterbentuk dari dua kata yaitu rabb dan ya‟
mutakallim wahdah sehingga kedudukannya menjadi iḍâfat yaitu terdiri dari
muḍaf dan muḍaf ilaih. Kata rabb (ّ )سةyang secara etimologis berati pemelihara,
pendidik, pengasuh, pengatur yang menumbuhkan. Kata rabb biasa dipakai
sebagai salah satu nama Tuhan karena Tuhanlah yang secara hakiki menjadi
pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluk-Nya.
Oleh sebab itu, kata tersebut biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan kata Tuhan.11 Al-Maragi mengartikan lafadz Rabbi yaitu Pemilikku dan
pengatur usahaku.12
حْيف: hanîf biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu.
Kebalikan dari hânif adalah az-Zaig, artinya miring dari hak ke arah kebatilan,
dari hidâyah kepada đalâlah.13 Dalam kitab tafsir jalalain, kata hanîf diartikan
condong kepada agama yang lurus.14Kata ini pada mulanya digunakan untuk
menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya kepada telapak pasangannya.
Yang kanan condong ke arah kiri, dan kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan
manusia dapat berjalan lurus. Kelurusan itu, menjadikan si pejalan tidak mencong
ke kiri, tidak pula ke kanan. Ajaran Nabi Ibrâhim as. adalah hanîf, tidak bengkok,
tidak memihak kepada pandangan hidup yang hanya memenuhi kebutuhan
jasmani, tidak juga semata-mata mengarah kepada kebutuhan ruhani.15
Kata hanîf itu sendiri berasal dari akar kata hanafa. Kata tersebut apabila
didefiasikan dari kata kerjanya yaitu hanafa – yahnifu – hanîfan, artinya condong
atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Maksud kecenderungan disini
yaitu kecenderungan kepada yang benar.
10
M. Quraiş Şihab, dkk, Op. Cit., h. 1102
11
Ibid., h. 801
12
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir al-Maragi Terj. dari Tafsir al-Maragi oleh
K. Anshori Umar Sitanggal, dkk, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1992), cet. II, h. 288
13
Ahsin W. al-Hafiż, Op. Cit., h. 95
14
Syaikh Jalâluddin bin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Syaikh Abdul ar-Rahman
bin Abi Bakr as-Suyuţi, Tafsir Jalâlain, (tt.p., Haramain: 2007), Cet. VI, h. 120
15
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2009), Cet. I, h. 517
57
16
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. II, h. 62
58
dan pengendali alam semesta; namun, orang musyrik itu tidak mengingkari Allah
sebagai Tuhan.17
17
M. Quraiş Şihab, dkk, Op. Cit., h. 664
18
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h.506
19
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan dari Allah; Ringkasan tafsir Ibnu Katsir, Terj.
dari Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir oleh Syihabuddin, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), Cet. VIII, h. 235
20
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 508
21
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Op. Cit., h. 235
59
yang berakal untuk menyembah apa yang sebanding dengannya dalam penciptaan,
tidak pula apa yang berada di dalam kekuasaan Al-Khaliq, butuh kepada Allah
Yang Maha Kaya lagi Maha Kuasa, tidak kuasa untuk mendatangkan manfaat
maupun kemudaratan, tidak pula dapat memberi dan menahan pemberian.22
Sehingga dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang menyembah berhala
mereka dalam kesesatan yang nyata. Disifatinya kesesatan dengan nyata untuk
menjelaskan apa yang telah terjadi pada diri mereka.
Dari penjelasan para mufassir di atas akan Q.S. al-An‟am ini dapat
disimpulkan bahwa Ayat ini menjelaskan tentang kisah Nabi Ibrâhîm as. dalam
menghadapi kaumnya yang menjadikan patung-patung sebagai tuhan mereka.
Tidak hanya kaumnya saja, namun ayah Nabi Ibrâhîm as. sendiri yaitu yang
disebutkan dalam ayat ini bernama azar juga menyembah berhala. Di sini Nabi
Ibrâhîm as. tidak mempercayai akan tuhan-tuhan yang mereka sembah. Bahkan
Nabi Ibrâhîm as. membantah akan keyakinan mereka itu dengan menjelaskan
akan kesesatan dan kemusyrikan mereka.
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ini, dalam tafsir ath-
Tabari dijelaskan ada empat perbedaan pendapat para ulama dalam menafsirkan
lafaz ( ٍين٘دmalakût) pada ayat ini. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa
maknanya adalah “Kami perlihatkan kepadanya penciptaan langit dan
bumi.”Kedua, berpendapat bahwa lafaz al malakût artinya kerajaan. Ketiga,
berpendapat bahwa maksudnya adalah ayat-ayat langit dan bumi. Dan keempat,
22
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Ci., h. 290
60
Adapun tujuan Allah swt. diperlihatkannya kerajaan langit dan bumi yaitu
agar dia mengetahui sunnah Kami terhadap makhluk, kebijaksanaan Allah di
dalam mengatur kerajaan, dan ayat-ayat yang menunjukkan Rubûbiyyah-Nya.
Supaya dengan itu, dia dapat menegakkan hujjah terhadap orang-orang musyrik
yang sesat, dan supaya dia sendiri termasuk orang-orang yang benar-benar yakin
sampai ke tingkat „ainul- yaqin.26 Selain itu, untuk menetapkan tauhid kepada
Allah swt., agar ia mengetahui hakikat hidayah yang diberikan kepadanya, dan
mengetahui kesesatan kaumnya yang menyembah berhala.27
Allah swt. menjadikan Nabi Ibrâhîm as. masuk dalam kelompok al-
Mûqinîn, yakni orang-orang yang telah teguh keyakinannya. Salah satu ciri
anggota kelompok ini adalah terbukanya bagi mereka sebagian tabir metafisika
23
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. dari Jami‟ Al
Bayan an Ta‟wil Ayi Al Qur‟an oleh Akhmad Affandi, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet.
I, h. 154
24
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 510
25
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 291
26
Ibid., h. 291
27
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., h. 163
61
sesuai dengan kehendak Ilahi.28 Hamka menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Nabi
Ibrâhîm as. memperoleh ilmu Ladunni.29
“Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata:
"Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya
tidak suka kepada yang tenggelam.”
Proses pemikiran atau cara membungkam para penyembah benda-benda
langit itu bermula atau dimulai Ketika malam telah menutupinya menjadi sangat
gelap sehingga meliputi seluruh totalitasnya bahkan sekelilingnya. Tenggelamnya
bintang adalah salah satu bukti ketidakwajarannya untuk dipertuhankan.30 Ketika
Allah Ta‟ala mulai memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepadanya,
dilihatnya sebuah bintang besar yang menonjol dari bintang Jupiter yang
merupakan tuhan terbesar bagi sebagian penyembah bintang dari bangsa Yunani
dan Romawi Kuno.31 Ketika melihat itu, Ibrâhîm as. berkata:
28
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 511
29
Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), h.
252
30
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 512
31
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 291
62
32
Syekh Muhammad Nawawi, Tafsir Munir; Juz I, (Semarang: Thaha Putra, t.t ), h. 247
33
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 292
34
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 513
35
Ibid., h. 513
63
“Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku".
tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika
Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang
yang sesat."
Setelah terbukti bahwa bintang tidak pantas dijadikan sebagai tuhan
karena ia tenggelam, maka beralihlah kepada bulan yang cahayanya tampak lebih
besar dibandingkan dengan bintang. Ketika melihat permulaan terbitnya bulan di
balik ufuk, Nabi Ibrâhîm as. bekata, “Inilah Tuhanku.”
36
Ibid., h. 515
37
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 294
64
mereka ternodai. Dalam langkah ketiga, ia beralih dari sindiran kepada terus
terang, menyatakan kebebasannya dari mereka, dan bahwa mereka benar-benar
berada dalam kemusyrikan yang nyata.38 Setelah jelas bahwa Hal ini setelah
kebenaran benar-benar tampak, sebagaimana ayat selanjutnya :
“Ia lebih besar dari bintang dan bulan.” Tampak dari sini, bahwa Ibrâhîm
memperpanjang argumentasinya untuk menyudutkan mereka. Dalam
pembicaraannya ini pula terdapat pendahuluan untuk menegakkan hujjah atas
mereka, dan tahapan untuk memancing perhatian mereka agar mau mendengarkan
pembicaraan sesudah sindiran yang di khawatirkan akan mereka sangkal.
38
Ibid., h. 294
65
Dalam tafsir ath-Thabari dijelaskan, bahwa berita dari Allah swt. tentang
ucapan Nabi Ibrâhîm as. ( ) َٕزَا سَثِيketika melihat bintang, bulan dan matahari,
sama sekali bukan karena ketidaktahuan beliau bahwa semua itu bukan tuhan
namun sebaliknya, ungkapan tersebut merupakan pengingkaran bahwa semuanya
bukan tuhan. Juga dalam rangka melecehkan kaumnya yang menyembah berhala.
Maksudnya, bintang, bulan dan matahari saja tidak pantas dijadikan tuhan, maka
apalagi berhala yang mereka sembah, padahal semuanya lebih bercahaya dari
pada berhala, sementara berhala lebih kecil. Itu hanyalah ungkapan debat yang
diungkapkan kepada kaumnya, seperti yang biasa dilakukan oleh ahli debat yang
membantah lawan dan menjelaskan kebatilan pendapatnya.40
Begitu pula Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya mengenai cara Nabi
Ibrâhîm as. pada Q.S. al-An‟am ayat 74-78 dalam mengungkapkan akan kasesatan
ayah dan kaumnya yaitu pada tataran pertama berupa dialog dengan ayahnya,
Nabi Ibrâhîm as. hendak menjelaskan kesalahan mereka dalam menyembah
berhala-berhala arđi yang bersosok malaikat samawi agar berhala-berhala itu
memintakan syafa‟at untuk mereka kepada Pencipta Yang Maha Agung. Mereka
berpandangan bahwa terlalu hina bila menyembah-Nya secara langsung.
Sebenarnya mereka hanya menjadikan patung-patung malaikat itu sebagai
perantara untuk memintakan pertolongan, rezeki, dan semacamnya kepada Yang
Maha Pencipta.
39
Ibid., h. 295
40
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., h. 153
66
Setelah Nabi Ibrâhîm as. meniadakan unsur ketuhanan dari ketiga planet
yang bercahaya menurut pandangan mata dan membuktikan kebatilannya dengan
argumentasi yang qaţ‟i maka “ia berkata, „Wahai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kalian sekutukan.” Yakni, aku terlepas diri dari
penyembahan planet itu dan dari menjadikannya sebagai penolong.41
41
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i,Op. Cit., h. 237
42
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 516
43
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Op. Cit., h. 237
67
44
Ahmad Muşţafa al-Maragi, Op. Cit., h. 296
45
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Op. Cit., h.117
68
1. Tauhid Ulûhiyyah
Tauhid Ulûhiyyah adalah meng-Esakan Allah Ta‟ala dan beribadah
kepada-Nya sesuai dengan syari‟at yang telah ditetapkan. Sehingga manusia akan
menyerahkan atau menggantungkan dirinya kepada Allah agar mendapatkan
rahmat dari-Nya.47 Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-An‟am : 162-163
46
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), cet. III, h. 41
47
Syaikh Abu Bakar Jabir al-jazairi, Op. Cit., h. 99
69
48
Ali Muhammad al-Bajawi, Muhammad Ahmad Jad al-Maula dan Muhammad Abu al-
Fadhl Ibrahim, Untaian Kisah dalam al-Qur‟an, (Jakarta: Darul Haq, 2007), h. 49
49
Muhammad Ali Ash-Shabuni, An-Nubuwah wal Anbiya,(Jakarta: Gema Insani Press,
1992), Cet. I, h. 67
70
“Musa berkata: "Tuhan Kami ialah (tuhan) yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.”
50
Tim Baitu Kilmah Jogjakarta, Ensiklopedi Pengetahuan al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta:
Kamil Pustaka, 2013), Cet. II, h. 75
51
Ibid., h. 75
71
54
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Op. Cit., h. 8
55
Imam Hâfiť Syamsuddin aż-Zahabi, Al-Kabâ`ir, (Beirut: Dâr Al-Fikr, t.t), h. 9
74
2) Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menyebabkan pelakunya dari agama Islam, tetapi ia
mengurangi tauhid dan merupakan perantara (wasilah) kepada syirik besar.
Syirik kecil ada dua macam:
a) Syirik Nyata (ťahir) : yaitu syirik dalam bentuk ucapan dan perbuatan.
Dalam bentuk ucapan misalnya bersumpah dengan nama selain Allah
saw. Rasulullah saw. bersabda:
ٍََِْ حَيَفَ ثِغَيْشِاهللِ فَقَذْ مَفَشَ اَْٗ اَشْشَك
“Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah
berbuat kufur atau syirik.”(H.R. at-Tirmiżi)56
b) Syirik Tersembunyi (Khafi): Yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat,
seperti ingin dipuji orang (riya`) dan ingin didengar (sum‟ah). Jika riya`
itu mencampuri (niat) suatu amal, maka amal itu menjadi tertolak.
Karena itu, ikhlas dalam beramal adalah suatu keharusan. Allah swt
berfirman:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
56
Muhammad bin „Isa at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi, (Kairo: Dâr Ibn al-Jauzi, 2011), Cet.
I, h. 296
75
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
Adapun makna ibadah dalam bahasa arab berarti kehinaan dan
ketundukkan. Sedangkan secara istilah arti ibadah yaitu nama yang merangkum
segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan,
perbuatan yang tampak dan yang tidak tampak, dengan kecintaan, kepasrahan dan
ketundukkan yang sempurna, serta membebaskan diri dari segala yang
bertentangan dan menyalahinya.59
Ibadah memiliki dua rukun:
Pertama, kesempurnaan cinta yang merupakan tujuan akhirnya itu
merupakan hak Allah semata, karena hanya Allah yang dicintai secara sempurna
semata karena Zat-Nya. Sedang segala sesuatu selain Allah dicintai karena sebab-
57
Syaikh Muhammad Quthb, Melawan Syirik & Ilhad, (Jakarta: Harakah, 2002), Cet. I, h.
10
58
Muhammad Said al-Qahthani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Qutb,
Memurnikan Lâ Ilâha Illallah, Terj. Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. I, h. 19
59
Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Buraikan, Op. Cit., h. 196
76
sebab tertentu di luar dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah:
165
60
Muhammad bin Isma‟il Abu „Abdullah al-Bukhari, Şahih al-Bukhari, Juz I, (tt.p., Dâr
an-Najah, 2001), Cet. I, h. 15
61
Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Buraikan, Op. Cit., h. 891
77
62
Abdul Majid Az-Zindani, Al-Iman, (Kuala Lumpur: Al-Hidayah, 1996), Cet. I, h. 158
63
Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Kalimat Tauhid, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007),
Cet. I, h. 85
64
Syaikh Muhammad Nawawi, Nurul Ať-ťalam, (Jedah : Haramain, t.t.,), h. 44
65
Muhammad Na‟im Yasin, Op. Cit., h. 29
78
2. Tauhid Rubûbiyyah
Tauhid Rubûbiyyah yang dimaksud adalah mengesakan Allah sebagai
satu-satunya yang menciptakan segala yang ada dan yang akan ada. Dan meyakini
bahwasannya Allah yang Maha Kuasa dan Maha Pengatur seluruh mekanisme
gerak dan segala hajat makhluknya.66
Nilai pendidikan tauhid rubûbiyyah yang terdapat dalam Q.S. al-An‟am :
75 adalah memahami rubûbiyyah Allah yang artinya : “ Dan Demikianlah Kami
perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di
langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang
yakin.”
Dalam Q.S al-An‟am ayat 75 ini dapat difahami bahwasannya Allah swt.
mendidik Nabi Ibrâhîm as. dengan memperlihatkan kepadanya kekuasaan melalui
alam semesta. Dengan melihat akan ciptaan dan kekuasaan Allah swt. yang ada
di seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwasannya adanya seluruh alam
semesta ini berarti adanya Sang Pencipta dan Allah adalah satu-satunya pencipta
yang menciptakan seluruh alam semesta ini. Ini merupakan salah satu cara Allah
dalam mendidik rasulnya dalam mengajarkan tauhid dengan tujuan agar semakin
mantap keimanan Nabi Ibrâhîm as.
Menurut Arifin sebagaimana yang dikutip oleh Hamdani Ihsan dan A.
Fuad Ihsan bahwa dalam al-Qur‟an dan Sunah nabi dapat ditemukan metode-
metode untuk pendidikan agama antara lain:
a. Perintah/Larangan
b. Cerita
c. Peragaan
d. Intruksional (bersifat pengajaran)
e. Acquistion (self education = mendidik diri sendiri)
f. Mutual Education (mengajar dalam kelompok)
g. Exposition (dengan menyajikan yang didahului dengan motivasion
(menimbulkan minat)
66
Muhammad Said al-Qahthani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Qutb,
Op. Cit., h. 14
79
67
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), Cet. I, h. 7
68
Muhammad Ali Aş-Şabuni, Op. Cit., h. 67
80
Selain itu, dalam mengajarkan tauhid rubûbiyyah pada Q.S. al-An‟am ayat
76-78 ini, Nabi Ibrâhîm as. menjadikan bintang, bulan dan matahari ini sebagai
media untuk mengenalkan kepada kaumnya bahwa bintang, bulan dan matahari
merupakan makhluk yang Allah swt. ciptakan bukan tuhan seperti yang mereka
yakini. Dengan ini menunjukkan bahwa benda-benda itu ada penciptanya yaitu
Allah yang mana Allah swt. sebagai satu-satunya pencipta. Kemudian dengan
pergerakannya benda-benda itu seperti matahari terbit pada siang hari dan bulan
bintang muncul pada malam hari itu menunjukkan bahwa itu semua tidak akan
berjalan kecuali ada pengaturnya. Disini menunjukkan bahwa Allah sebagai satu-
satunya Tuhan yang mengatur seluruh perjalanan alam semesta ini.
Dengan adanya ciptaan Allah seperti dalam ayat ini berupa bintang, bulan
dan matahari seharusnya dijadikan sebagai pelantara untuk meningkatkan
keimanan kita kepada Allah karena Dia-lah yang telah menciptakan alam semesta
ini dan telah mengatur perjalan alam semesta ini, namun kesalahan yang
dilakukan oleh orang-orang musyrik yaitu menjadikan ciptaan Allah ini sebagai
tuhan mereka.
Nilai pendidikan yang terkandung dalam tauhid rubûbiyyah ini adalah:
a. Meyakini ke-Esaan Allah swt. sebagai Pencipta
Mentauhidkan Allah swt. sebagai Pencipta yaitu seseorang meyakini
bahwasannya tidak ada Pencipta kecuali Allah.70 Adapun ayat yang menetapkan
bahwa adanya pencipta selain Allah swt yaitu sebagaimana firman Allah swt
dalam Q.S. Al-Mu‟minûn: 14
69
Nur Uhbiyati, Op. Cit., h. 194
70
Muhammad bin Şâlih Al-„Uśaimin, Kitab At-Tauhid, (Riyađ: Daar Ibn Al-Jauzi, 1999),
h. 9
81
71
Muslim bin al-Hajjaj Abu Hasan, Şahih Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ Al-„Arabi, t.t.,), h.
1669
72
Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Op. Cit., h. 104
82
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan menjawab:
"Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui".”
Pada tahap rubûbiyyah ini, seorang muslim harus percaya bahwa
perkembangan benda, dan hubungan antara makhluk dengan sesama makhluk,
73
Muhammad bin Şâlih, Op. Cit., h. 9
83
efek yang dibuatnya dan efek yang dilakukan terhadapnya adalah semuanya di
bawah pengaturan dan perintah Allah swt.74
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa Allah swt. merupakan satu-
satunya Tuhan yang mengatur seluruh pergerakan alam semesta ini, begitu pula
dengan peredaran bulan dan matahari, dan munculnya siang dan malam itu semua
merupakan aturan Allah swt.
74
Muhammad Taqi Misbah, Monotoisme: Sistem Akidah dan Nilai Islam, (Jakarta: PT.
Lentera Basritama), Cet. I, h. 54
75
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman Kepada Allah Terj. dari Al-imanu Billahi oleh
Umar Mujtahid, (Jakarta: Ummul Qura), Cet. I, h. 107
76
Ali Muhammad al-Bajawi, Muhammad Ahmad Jad al-Maula dan Muhammad Abu al-
Fadhl Ibrahim, Op. Cit., h. 52
84
ketika kaumnya sedang ikut dalam perayan suatu acara, maka Nabi Ibrâhîm as.
gunakan kesempatan itu unntuk mengahancurkan berhala-berhala yang disembah
oleh kaumnya hingga berhala-berhala itu menjadi kepingan-kepingan kecuali
terhadap berhala yang paling besar, Nabi Ibrâhîm as. tidak menghancurkan
berhala paling besar itu.
Setelah kembali dari perayaan itu, kaumnya merasa kaget melihat berhala-
berhala yang mereka telah hancur. Ketika itu mereka memanggil Nabi Ibrâhîm as.
untuk meminta kesaksiannya karena pada saat itu, Nabi Ibrâhîm as. tidak ikut
dalam acara perayaan mereka dan mereka tahu bahwa Nabi Ibrâhîm as. tidak
mempercayai akan tuhan-tuhan mereka. Akhirnya ketika Nabi Ibrâhîm as. ditanya
oleh kaumnnya siapa yang menghancurkan berhala-berhala itu, maka Nabi
Ibrâhîm as. menjawab bahwa patung yang paling besar itulah yang telah
menghancurkan patung-patung yang lainnya. Dari sini kaumnya berfikir karena
bagaimana mungkin berhala itu dapat menghancurkan berhala-berhala yang lain
dan tidak pula bisa menjawab pertanyaan yang mereka. Kemudian kaumnya
berkata”Wahai Ibrahim, kamu sudah tahu bahwa berhala ini tidak dapat menjawab
pertanyaan” dan di sinilah tampak akan kesesatan mereka bahwa tuhan yang
mereka sembah ternyata tidak bisa berbuat apa-apa.77
Seperti halnya terhadap tuhan-tuhan yang mereka sembah berupa bintang,
bulan dan matahari yang mereka sembah yang keadaannya kadang ada dan
mengilang itu menunjukkan bahwa benda-benda yang mereka jadikan sebagai
tuhan mereka itu tidak mungkin bisa dijadikan sebagai tuhan, karena bagaimana
kita bisa menyembah mereka sedangkan keadaan benda-benda itu terkadang ada
dan menghilang, dan bagaimana kita bisa memohon kepada benda-benda itu
karena ketika kita membutuhkannya benda-benda itu menghilang.
Dengan demikian dapat difahami bahwa berubahnya keadaan bintang,
bulan dan matahari itu menunjukkan bahwa bintang, bulan dan matahari
merupakan makhluk Allah swt. yang berifat baru dan ini bertentangan dengan
sifat qidam Allah swt.
77
Ibid., h. 60
85
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah
menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya
kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
Dalam ayat di atas Allah menegaskan, tidaklah pantas bagi manusia itu
mengingkari akan adanya Allah Yang Maha Kuasa, karena Allah swt. itu telah
menjadikan manusia itu dalam dua kali mati (berada di alam barzakh pertama
dalam perut ibu, dan di alam barzakh yang kedua dalam kubur) dan
menjadikannya dua kali hidup (hidup di dunia dan hidup di akhirat).79
Adapun arti wujud yaitu ada, mustahil adam (tidak ada). Bukti dari pada
sifat wujud Allah swt. yaitu adanya alam yang kita saksikan ini dengan segala isi
dan kandungannya adalah barang baru. Dan setiap yang baru itu pasti ada yang
78
Nur Uhbiyati, Op. Cit., 170
79
Abd Kadir M.Z, An Nurul Bahir Ilal Imanil Kamil, (Jakarta: PT. Serajaya Santra, 1985),
Cet. I, h. 19
86
mengadakan. Oleh karena itu menunjukkan bahwa alam itu ada yang menciptakan
yaitu Allah swt.80
b. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Qidam
Qidam berarti terdahulu. Allah swt bersifat Qidam berarti keberadaan-Nya
itu terdahulu, tidak ada awal dan akhirnya. Dia tidak didahului oleh wujud yang
lain. Oleh karena itu, Allah swt. mustahil bersifat huduś (baru).81 Al-Halimi r.a.
berkata dalam mengartikan qadimnya Allah swt. yaitu: Sesungguhnya Dia Allah
zat yang ada yang tidak ada permulaan bagi wujudnya, dan dzat yang ada yang
tidak ada henti-hentinya (terus menerus ada). Maka dikatakanlah Allah swt. itu
Qadîm dengan arti bahwa Allah mendahului seluruh yang ada dan apabila Allah
seperti itu (mendahului segala yang ada) maka tidak boleh adanya permulaan bagi
wujud-Nya, karena seandainya adanya permulaan bagi wujud-Nya Allah niscaya
hal itu menuntut adanya selain Allah yang menciptakan-Nya dan niscaya selain
Allah itu wajib ada sebelum Allah. Maka ketika itu, Allah tidak sah mendahului
segala yang ada. Jelaslah bahwa ketika kita mensifati Allah bahwasannya Dia
mendahului segala yang ada maka mewajibkan bagi kita bahwa adanya Allah
tanpa permulaan.82
Dalil bahwa Allah swt. bersifat qidam (terdahulu) adalah keberadaan alam
semesta. Sebagai khaliq (Pencipta), keberadaan Allah swt tentu lebih dahulu dari
pada alam yang menjadi makhluk-Nya. Di dalam al-Qur‟an dijelaskan:
“Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia
Maha mengetahui segala sesuatu.”
Adapun yang dimaksud dengan qidam pada hak Allah Ta‟ala adalah qidam
zati yaitu tidak adanya awal bagi wujud. Adapun qidam pada hak manusia yaitu
qidam zamani maksudnya panjangnya masa yang ditetapkan dengan tahun, begitu
80
Sayyid Husein Afandy A-Jisr Ath Tharabilisiy, Memperkokoh Akidah Islamiyah Dalam
perspektif Ahlusunnah waljama‟ah Terj. dari Al-Hushuunul Hamidiyyah Lil Muhâfađah „Alal
„Aqqa`id Al-Islamiyyah oleh Abdullah Zakiy Al-Kaaf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. I,
h. 20
81
M. Saberanity, Op. Cit., h. 20
82
Baihaqi, Al-Asmâ` wa al-Şifât, ( Beirut: Daar Kutb, t.t), h. 23
87
pula dengan qidam iḍafi yaitu seperti qidamnya bapak disnisbahkan pada anak.
Dengan demikian qidam itu ada tiga yakni Zati, Zamani dan Iđafi.83
c. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Baqâ
Baqa‟ artinya kekal. Allah swt. bersifat Baqa‟ berarti wajib kekal, ada
selama-lamanya, tetap dan tidak berubah. Mustahil Allah swt bersifat fana‟
(binasa).84
Dalam ilmu tauhid, baqâ` ada tiga makna:
a. Baqâ` Nisbi, yaitu kekal atau abadinya itu karena disandarkan kepada yang
lain.
b. Baqâ` Zamani, yaitu abadi yang tidak ada akhir tapi ada permulaannya dan
terikat zaman.
c. Baqâ` Haqiqi, yaitu kekalnya sesuatu yang tidak ada permulaan, tidak ada
akhir, tidak terikat zaman, dan tidak disandarkan kepada yang lain.85
Choer Affandy membedakan antara Baqâ` Haqiqi dan Baqâ` Zamani,
perhatikan firman Allah swt dalam Q.S. ar-Rahman: 27
83
Syekh Ibrahim al-Laqqoni, Permata Ilmu tauhid; Satu Pendalaman Iktikad Ahlus
Sunnah Wal Jama‟ah, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1997), h. 104
84
M. Saberanity, Op. Cit., h. 21
85
Choer Affandy, „Aqidah Islamiyyah, (Tasik Malaya: t.p, 1991), h. 37
86
Ibid., h. 37
88
87
Baihaqi, Op.Cit., h. 26
BAB V
A. Kesimpulan
1. Tauhid Ulûhiyyah
Nabi Ibrâhîm a.s mengajak kaum dan ayahnya untuk beribadah kepada
Allah lalu menjelaskan akan kesesatan kaum dan ayahnya karena menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan. Dalam mendidik ayahnya, Nabi Ibrâhîm a.s
menggunakan metode hiwar atau dialog dengan bahasa yang sopan santun.
Adapun pendidikan keimanan yang terdapat pada tauhid ulûhiyyah yaitu: Allah
satu-satunya sumber hidayah, penghindaran dari segaa bentuk kemusyrikan dan
ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt.
2. Tauhid Rubûbiyyah
Pendidikan keimanan yang terkandung dalam tauhid rubûbiyyah yaitu
Allah swt memperlihatkan akan kerajaan langit dan bumi sebagai pelantara untuk
meningkatkan keimanan kepada Allah sebagai satu-satunya pencipta alam
semesta ini. Selain itu, Nabi Ibrâhîm a.s dalam mengajarkan tauhid kepada
kaumnya dengan mengajak kaumnya untuk berdebat dan menjadikan bintang,
bulan dan matahari sebagai media untuk mematahkan argumen mereka bahwa
bintang, bulan dan matahari tidak pantas pantas dijadikan sebagai tuhan. Nilai
89
90
B. Saran
Dari kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa saran yang
diharapkan dapat menjadi salah satu upaya dalam mengembangkan konsep
pendidikan di Indonesi khususnya pada pendidikan Islam.
Pertama, al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat Islam. Begitu
pula di dalam dunia pendidikan, al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan. Oleh
karena itu dalam pelaksanaan pendidikan khususnya dalam pendidikan Islam agar
tidak terlepas dari al-Qur’an.
Kedua, Sebagai seorang pendidik guru harus menerapkan akan dasar-
dasar keimanan kepada peserta didiknya, karena keimanan merupakan fondasi
dari bangunan Islam. Adapun dalam kegiatan pendidikan guru harus mampu
menentukkan metode yang tepat dalam menerapkan materi pada setiap
pembelajaran karena salah satu kunci tercapainya tujuan pendidikan yaitu dapat
menentukkan metode yang tepat dan sesuai dengan materi. Selain itu, seorang
guru harus mengetahui tingkat pemahaman siswa karena dengan mengetahui
tingkat pemahaman siswa guru mampu menyesuaikan dalam penyampaian materi
kepada siswa.
DAFTAR PUSTAKA
91
92
Ma’asy, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad. Mengupas Kebodohan, Terj. Dari
Al Jahl bi Masail Al I’tiqad wa Hukmuhu oleh Asep Saefullah dan
Kamaluddi Sa’diyatul Haramain. Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2001.
Madjrie, Abdurrahman. Meluruskan Akidah. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, Cet.
I, 1997.
Mahfud, Rois. Al-Islam; Pendidikan Agama Islam. Palangka Raya: Erlangga,
2011.
Al Maidani, Abdurrahman Hasan Habanakah. Pokok-Pokok Akidah Islam, Terj.
dari Al-Aqidah Al-Islamiyah wa Ususuha oleh A. M. Basalamah. Jakarta:
Gema Insani, Cet. II, 2004.
Manťûr, Ibnu. Lisânul ‘Arab. Beirut: Dar Sader, Cet. I, 1997.
Al Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maragi Terj. dari Tafsir Al-
Maragi oleh K. Anshori Umar Sitanggal, dkk. Semarang : PT. Karya Toha
Putra, Cet. II, 1992.
Misbah, Muhammad Taqi. Monotoisme: Sistem Akidah dan Nilai Islam, (Jakarta:
PT. Lentera Basritama, Cet. I, 1996.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet. XXXI, 2013.
Munadi, Yudhi. Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada (GP), Cet. IV,
2012.
Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, Cet. XIV. 1997.
Muşţafa, Ibrâhîm. Mu’jam Al-Wasîţ. Kairo: Dar Ad-Da’wa, Cet. V, 2011.
Al Musyaiqih, Khalid bin Ali. Buku Pintar Akidah; Panduan Praktis
Memamahami Akidah, Terj. dari Al-Mukhtaşar Fiel ‘Aqidah oleh Ibnu
Syarqi, (Klaten: Wafa Press, Cet. I, 2012
MZ, Abd Kadir. An Nurul Bahir Ilal Imanil Kamil, Jakarta: PT. Serajaya Santra,
Cet. I, 1985.
Al Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.
Jakarta: Gema Insani Press. 1995.
94
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid, jilid I, Terj. dari At-Tauhid liş
Şaffil Awwal Al-Ali oleh Agus Hasan Bashori. Jakarta: Darul Haq, Cet. I,
2011.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. IX, 2010.
________. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. IX, 2007.
Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Terj. dari Jami’ Al
Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an oleh Akhmad Affandi, dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, Cet. I, 2008.
Tharabilisiy, Sayyid Husein Afandy A-Jisr. Memperkokoh Akidah Islamiyah
Dalam perspektif Ahlusunnah waljama’ah Terj. dari Al-Hushuunul
Hamidiyyah Lil Muhâfađah ‘Alal ‘Aqqa`id Al-Islamiyyah oleh Abdullah
Zakiy Al-Kaaf. Bandung: CV. Pustaka Setia,Cet. I, 1999.
Tim Ahli Tauhid. Kitab Tauhid. Jakarta: Darul Haq, 1998.
Tim Baitu Kilmah Jogjakarta, Ensiklopedi Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits.
Jakarta: Kamil Pustaka, Cet. II, 2013.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2007.
Tirmiżi, Muhammad bin ‘Isa. Sunan at-Tirmiżi. Kairo: Dâr Ibn al-Jauzi, Cet. I,
2011.
Tirtarahadja, Umar dan S .L . La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, Cet. II, 2008.
Ubaidah, Darwis Abu. Panduan Akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Jakarta:
Pustaka al-Kausar, Cet. I, 2008.
Uhbiyati, Nur. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, Cet. 1, 2013.
Ulwan, Abdullah Nashih. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid I.
Semarang: CV. Asy-Syifa, Cet. III, 1981
97