Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

“Teori Filsafat Positivime ”

DOSEN PENGAMPU:
Nazarudin, S.Si, M.Si, Ph.D

DISUSUN OLEH:
Nining Mulyani (P2A522004)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN


IPA FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS
JAMBI 2022
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Teori Filsafat
Positivisme” ini tanpa ada halangan suatu apapun. Penyusunan makalah ini tidak
lain dengan adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu kami
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Nazarudin, S.Si, M.Si, Ph.D selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Pendidikan
2. Orang tua, yang senantiasa memberikan dukungan dan dorongan kepada kami.
3. Teman-teman yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan berkah, rahmat, dan
perlindungan-Nya atas semua budi luhur dan nama baik dari semua pihak tersebut
diatas.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, 05 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................3
C. Tujuan.............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................4
A. Pengertian Epitemologi Positivisme...............................................................4
B. Kelebihan Epitemologi Positivisme................................................................6
C. Kelemahan Epitemologi Positivisme..............................................................7
BAB III PENUTUP................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Menurut Irham Nugroho (2016) Istilah positivisme paling tidak mengacu


pada dua hal berikut : pada teori pengetahuan (epistemologi) dan pada teori (akal
budi) manusia. Sebagai teori tentang perkembangan sejarah manusia, istilah
posivisme identik dengan tesis comte sendiri mengenai tahap-tahap
perkembangan akal budi manusia, yang secara linier bergarak dalam urut-urutan
yang tidak terputus. Perkembangan itu bermula dari tahap mistis atau teologi.
Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar 1825).
Positivisme berakar pada empirisme, prinsip filosofik tentang positivisme
dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon (sekitar 1600).
Tesis positivism adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid,
dan faktafakta sejarah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan
demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek di
belakang fakta, menolak segala penggunaan metode diluar yang digunakan untuk
menelaah fakta.

Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman modern, khususnya
abad ke-17, adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang
epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah
sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa
yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Usaha manusia untuk mencari
pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung terus menerus
dengan penuh semangat, seperti rasionalisme, empirisme ataupun yang lainnya.
Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi
epistemologi yang kuat untuk mendasarkan diri pada pengalaman manusia dan
meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut
(Harudin, 2018).

Aguste Comte kemudian membagi ilmu pengetahuan yang bersifat


spekulatif atau teoritis tadi ke dalam ilmu pengetahuan yang abstrak atau umum
dan ilmu pengetahuan yang konkret atau kusus. Untuk membuktikan adanya
kemajuan yang telah dicapai manusia dalam ilmu pengetahuannya, Aguste Comte
menempuh cara dengan mengadakan penggolongan (klasifikasi) ilmu
1
pengetahuan. Aguste Comte mengakui bahwa tujuan ilmu pengetahuan itu pada
akhirnya mengarah kepada pencapaian kekuasaan, sebagaimana semboyan
mengatakan “knowladge is power” namun kita tidak boleh melupakan bahwa
disamping itu masih terdapat tujuan lain yang lebih tinggi, yaitu bahwa ilmu
pengetahuan memberi kepuasan kepada manusia melalui pengenalan hukum-
hukum gejala (fenomena) alam semesta, dan dengan mengenal hukum-hukum
gejala tadi, manusia akan mampu meramalkan, dan bahkan mampu pula merubah
alam itu untuk kepentingannya (Koentono wibisono, 1983 : 22).

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini yaitu :
1. Apa Pengertian Epitesmologi Positivisme?
2. Apa Kelebihan Epistemologi Positivisme?
3. Apa Kekurangan Epistemologi Positivisme?

C. Tujuan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka tujuan dalam
makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui Pengertian Epitesmologi Positivisme
2. Untuk mengetahui Kelebihan Epistemologi Positivisme
3. Untuk mengetahui Kekurangan Epistemologi Positivisme

3
BAB II
PEMBAHASA
N

A. Pengertian Epitemologi Positivisme


Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008: 416), epistemologi diartikan
sebagai cabang ilmu filsafat yang mempelajari dasar-dasar dan batas-batas
pengetahuan. Dari definisi ini kita melihat epistemologi adalah cabang dari
ilmu filsafat, dan tentu epistemologi sendiri adalah sebuah ilmu. Sementara
menurut J. Sudarminta (2002), epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang
secara khusus menggeluti pertanyaan- pertanyaan yang bersifat menyeluruh
dan mendasar tentang pengetahuan. Magnis-Suseno (2005) dalam M. Sanusi,
filsafat pengetahuan alias epistemologi tidak bisa lepas dari apa yang
namanya kepentingan. Dalam arti, tidak ada satu pun pengetahuan yang bebas
nilai. Sejak semula, dalam merumuskan kalimat-kalimat dasar mereka, setiap
pengetahuan sudah diresapi secara hakiki oleh kepentingan-kepentingan vital
manusia. Karena itu sangat penting bagi kita semua untuk memperhatikan
setiap kepentingan, karena kalau kita tidak memperhatikannya, menganggap
setiap penelitian-penelitian yang kita lakukan sebagai obyektif, kita akan buta
terhadap pengaruh kepentingan-kepentingan kita atas cara kita memahami
realitas. Kita menganngap hasil penelitian kita obyektif padahal sesuatu itu
tidak semata-mata obyektif, dan ini berarti kita dibutakan secara ideologis.

Istilah positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar


tahun 1825 M) jikalau kita melihat lebih lanjut, maka dapat kita katakan
bahwa positivisme merupakan kelanjutan dari empirisme. Prinsip filosofik
tentang positivisme pertama kali dikembangkan oleh seorang empiris Inggris
yang bernama Francis Bacon (sekitar tahun 1600 M.). Pada abad ke-19
timbullah filsafat yang disebut Positivisme, yang diturunkan dari kata positif.
Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang
positif. Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif
adalah segalah yang tampak, segala gejala. Demikian Positivisme membatasi
filsafat dan ilmu pengetahuan kepada bidang gejala-gejala. Apa yang dapat
kita lakukan ialah segala fakta, yang menyajikan kepada kita sebagai
4
penampakan atau gejala, kita terima seperti apa adanya. Sesudah itu kita
berusaha untuk mengatur fakta-fakta tadi menurut hukum tertentu, akhirnya
dengan berpangkal kepada hukum-hukum yang telah ditemukan tadi kita
mencoba melihat ke masa depan, apa yang akan tampak sebagai gejala dan
menyesuaikan diri dengannya. Arti segala ilmu pengetahuan ialah mengetahui
untuk dapat melihat ke masa depan. Jadi kita hanya dapat menyatakan fakta-
faktanya, dan menyelidiki hubungan-hubungannya yang satu dengan yang
lain. Maka tiada gunanya untuk menanyakan kepada hakekat atau sebab-sebab
yang sebenarnya dari gejalagejala itu. Yang harus diusahakan orang ialah
menentukan syarat-syarat di mana menurut persamaannya dan urutannya.

Positivisme merupakan pradigma ilmu pengetahuan yang paling awal


muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar
dari paham ontologi yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam
kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya
penelitian dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang
ada dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul
abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah yang ada dan
bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul abad ke-
19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri
dari enam jilid dengan judul The course of positive philosophy (1830-1842).
Positivisme merupakan peruncingan tren pemikiran sejarah barat modern yang
telah mulai menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia Abad pertengahan,
melalui rasionalisme dan empirisme. Positivisme adalah sorotan yang
khususnya terhadap metodologi dalam refleksi filsafatnya. Dalam positivisme
kedudukan pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunya metodologi
yang berkambang secara menyakinkan sejak renaissance, dan sumber pada
masa Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu,
positivisme menempatkan metodologi ilmu alam pada ruang yang dulunya
menjadi wilayah refleksi epistemology, yaitu pengetahuan manusia tentang
kenyataan (Budi Hardiman, 2003 : 54).

Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang


lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari
pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual
dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan
5
positif adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta
tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi
(proyeksi) ke masa depan (Asmoro A, 2001: 116).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa epitemologi Positivisme merupakan teori


pengetahuan yang membicarakan bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan muncul dalam dunia ilmu pendidikan dan pengetahuan.

B. Kelebihan Epitemologi Positivisme


Menurut Galeh Prabowo (2017) Adapun beberapa keunggulan dalam
epistemologi positivisme. Pertama, keobjektifan dalam positivisme dapat
terukur dan teruji secara empirik. Kedua, positivisme mengakui adanya
relativisme ilmu pengetahuan. Implikasinya adalah ia lebih toleran dengan
adanya perbedaan hasil suatu penelitian. Ketiga, penelitian dengan memakai
positivisme mampu diterapkan untuk memahami masa lalu, masa kini dan
memprediksi masa depan. Keunggulan tersebut berkaitan dengan asumsi dasar
positivisme yang bertujuan mencari hukum-hukum umum. Untuk selanjutnya,
hukum-hukum itu mampu menggambarkan perkembangan sejarah
kebudayaan suatu masyarakat.

Diantara kelebihan positivisme adalah:

1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari
faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan


menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu
menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary,
melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.

3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong


untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas
menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.

4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan


teknologi.

5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada


epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai
6
dasar pemikirannya.

Menurut Khabib Kamaludin (2021:230) Diantara kelebihan positivisme


adalah:

1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari
faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan


menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu
menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary,
melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.

3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong


untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas
menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.

4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan


teknologi.

5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada


epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai
dasar pemikirannya.

C. Kelemahan Epitemologi Positivisme


Positivisme selain memiliki keunggulan rupanya menyimpan kelemahan,
Diantara kelemahan positivisme adalah:

1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai


sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian
fisik-biologik.

2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji


kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia
yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan
neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar
kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham
positivisme berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak
percaya kepada agama semakin meningkat.
7
3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia
tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam
positivisme semua hal itu dinafikan.

4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak
dapat menemukan pengetahuan yang valid.

5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang


nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut
adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa
panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga
kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal
yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.

6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai


teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan
sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan
berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan
sebagai masyarakat positivisme. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan
ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus – yakni realitas
sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah
yang final.

Menurut Kamaludin Khabib (2021) Diantara kelemahan positivisme


adalah:

1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial


dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-
nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam
pengertian fisik-biologik.

2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat


diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya
manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan,
surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama
adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada
saat paham positivisme berkembang pada abad ke 19, jumlah orang
yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.

8
3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga
manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada.
Karena dalam positivisme semua hal itu dinafikan.

4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak
dapat menemukan pengetahuan yang valid.

5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang


nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut
adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui
bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal
banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian

6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia


sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap
tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai
tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang
digambarkan sebagai masyarakat positivisme. Bias teoritik seperti itu
tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar
siklus – yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik
akhir sebuah tujuan sejarah yang final.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dalam pembahasan di atas, maka pemakalah dapat menyimpulkan
beberapa hal. Secara garis besar epistemologi positivisme itu penekanan pada metode ilmiah,
mendasarkan sesuatu pengetahuan atas prinsip verifikasi, penolakan terhadap metafisika, dan
sebagainya.
Dengan adanya epistemologi positivisme maka mempunyai kelebihan diantaranya dan yang
paling terpenting adalah kemajuan di bidang sains dan teknologi. Dan penggunaannya di
masyarakat sangat luas terutama untuk penelitian sosial. Terdapat kelemahan-kelemahan ataupun
kritik terhadapnya analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai
akar terpuruknya nilainilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan
manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologi. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap
sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya
manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik
berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.

10
DAFTAR PUSTAKA

Harudin. (2018). Teori Filsafat Positivisme : UIN Alaudin Makasar

Kamaludin, Khabib. (2021). Pengembangan Epistemologi Positivisme Dalam


Memahami Konsep Menghitung Keliling Dan Luas Lingkaran Di MI
Muhammadiyah Kebutuh Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga : IAIN
Purwokerto

Nugroho, Irham. (2016). Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis dan


Nilai Etisnya Terhadap Sains: Jurnal

Prabowo, Galeh. (2016). Positivisme dan Strukturalisme : Sebuah Pertemuan


Epitemologi dalam Ilmu Sosial : Semarang
Sanusi, M. Telaah Epistemologi Positivisme dan Fenomenologi (Sebuah
Perbandingan): Universitas Gajah Madha

11

Anda mungkin juga menyukai