Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

FILSAFAT POSITIVISME

Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas


Mata kuliah:
FILSAFAT UMUM

Dosen Pengapu:

Binti Kholifatul rosyidah s.h.,m.h

DI SUSUN OLEH:

Bayu aji sukma

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM HIDAYATUT THULLAB

(STAIHID) KRDIRI
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat


Tuhan Yang Maha Esa.
Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul
“Filsafat Barat Abad
Modren Positivisme.”
dengan
tepat waktu. Makalah
disusun untuk memenuhi
tugas Mata kuliah Filsafat
Umum. Selain itu,
makalah ini bertujuan
menambah wawasan
tentang filsafat
Positivisme bagi para
pembaca dan
juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan
terimakasih kepada ibu
Afni Lindra, MA selaku
dosen mata kuliah filsafat
umum. Ucapan terima
kasih juga disampaikan
kepada semua pihak
yang telah membantu
diselesaikannya makalah
ini. Penulis menyadari
makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh
sebab itu, saran dan kritik
yang membangun
diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Bukittinggi, 9 Juni 2022
Penulis
Puji syukur ke hadirat
Tuhan Yang Maha Esa.
Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul
“Filsafat Barat Abad
Modren Positivisme.”
dengan
tepat waktu. Makalah
disusun untuk memenuhi
tugas Mata kuliah Filsafat
Umum. Selain itu,
makalah ini bertujuan
menambah wawasan
tentang filsafat
Positivisme bagi para
pembaca dan
juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan
terimakasih kepada ibu
Afni Lindra, MA selaku
dosen mata kuliah filsafat
umum. Ucapan terima
kasih juga disampaikan
kepada semua pihak
yang telah membantu
diselesaikannya makalah
ini. Penulis menyadari
makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh
sebab itu, saran dan kritik
yang membangun
diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Bukittinggi, 9 Juni 2022
Penulis
Puji syukur ke hadirat
Tuhan Yang Maha Esa.
Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul
“Filsafat Barat Abad
Modren Positivisme.”
dengan
tepat waktu. Makalah
disusun untuk memenuhi
tugas Mata kuliah Filsafat
Umum. Selain itu,
makalah ini bertujuan
menambah wawasan
tentang filsafat
Positivisme bagi para
pembaca dan
juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan
terimakasih kepada ibu
Afni Lindra, MA selaku
dosen mata kuliah filsafat
umum. Ucapan terima
kasih juga disampaikan
kepada semua pihak
yang telah membantu
diselesaikannya makalah
ini. Penulis menyadari
makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh
sebab itu, saran dan kritik
yang membangun
diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Bukittinggi, 9 Juni 2022
Penulis
Puji syukur ke hadirat
Tuhan Yang Maha Esa.
Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul
“Filsafat Barat Abad
Modren Positivisme.”
dengan
tepat waktu. Makalah
disusun untuk memenuhi
tugas Mata kuliah Filsafat
Umum. Selain itu,
makalah ini bertujuan
menambah wawasan
tentang filsafat
Positivisme bagi para
pembaca dan
juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan
terimakasih kepada ibu
Afni Lindra, MA selaku
dosen mata kuliah filsafat
umum. Ucapan terima
kasih juga disampaikan
kepada semua pihak
yang telah membantu
diselesaikannya makalah
ini. Penulis menyadari
makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh
sebab itu, saran dan kritik
yang membangun
diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Bukittinggi, 9 Juni 2022
  Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat kehadirat
rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga makalah ini dapat saya selesaikan dengan
tepat waktu guna untuk memenuhi tugas mata kuliah FILSAT UMUM. Makalah ini
mengandung isi tentang “FILSAFAT POSITIVISME” , kami adalah seorang
mahasiswa maka kami tak henti-hentinya menginginkan bimbingan dari ibu dosen
agar senantiasa mengkritisi kesalahan kami. Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua orng yang membaca makalah ini meskipun terdapat banyak
kekurangan didalamnya.Penyusun BAYU AJI SUKMA syukur Penulis panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat Umum
Positivisme” Pada makalah ini Penulis banyak mengambil dari berbagai sumber
dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. oleh sebab itu, dalam
kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari


sempurna, untuk itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…

14  November  2017

Penulis

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang masalah............................................................
2. Tujuan.......................................................................................
BAB II
1. Pengertian Positivisme..............................................................
2. Sejarah muncul nya Positivisme...............................................
3. Ajaran Ajaran Didalam Filsafat Positivisme............................
4. Konsep Positivisme Serta kelemahan dalam Pengembangan ilmu
Pengetahuan..............................................................................
5. Sejarah kemunculan Positivisme Logis....................................
BAB III
Penutup.....................................................................................
1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal
muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari
paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam
kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya
penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang
ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.Positivisme muncul pada
abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang
terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-
1842).
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta
sosial (social-fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum,
sistem politik, pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar
kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu
ditanyakan oleh penelitian kepada individu yang dijadikan responden penelitian.
Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran
(penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek
dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang bersangkutan.
Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang
layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektifitas
temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian menggunakan
metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh
betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka
mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian objektif,
juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap
bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu
pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific
Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut:
dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur
(measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable).
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk
mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam
mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan
bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang
mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan
dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut
bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan
tersebut.

1.2  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami secara luas
tentang filsafat ilmu pasca posotivisme.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Pengertian Positivisme
Positivisme merupakan  suatu aliran  filsafat  yang menyatakan  ilmu-
ilmu  alam  (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak spekuliasi dari suatu  filosofis  atau metafisik. Dapat  pula dikatakan
positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa  filsafat  itu hendaknya semata-
mata  mengenai  dan  berpangkal pada  peristiwa-peristiwa  positif”[1]Jadi, dapat
dikatakan titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual
dan positif, sehingga metafisika ditolaknya, karena positif adalah dalam artian
segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-
pengalaman objektif bukannya metafisika[2]yang merupakan ilmu pengetahuan
yg berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan.[3] Aliran ini
menurut Atang Abdul Hakim mirip dengan aliran empirisme, namun tidak
menyetujui pendapat John Locke yang masih mengakui pentingnya jiwa dalam
mengolah apa yang ditangkap indra. Bagi positivisme hakikat sesuatu adalah
benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah.[4]
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang
berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua
harus didasarkan pada data empiris. Karena aliran ini lahir sebagai penyeimbang
pertentangan yang terjadi antara aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran
positivisme ini lahir berusaha menyempurnakan aliran empirisme dan
rasionalisme, dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran..
2.2   Sejarah Kemunculan Positivisme
Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar
1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh
seorang filosof berkebangsaan Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di
sekitar abad ke-17. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi,
komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik
kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas
hukum alam.
Barulah pada paruh kedua abad ke-19 muncullah Auguste Comte (1798-
1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang dilahirkan di
Montpellier pada tahun 1798 dari
keluarga pegawai negeri yang beragama Katolik. Comte menggunakan istilah ini
kemudian mematoknya sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan
agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie
Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam
enam jilid.
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi
peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada
perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase
metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan
ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak
dan fungsi yang mengatur alam ini.
Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan
monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang
terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya
pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan
oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’.
Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan
pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden,
esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia
telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta
tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia
menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya
mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.[5]
2.3   Ajaran-ajaran di dalam filsafat Positivisme
Positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam,
yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol,
digeneralisasi sehingga gejala ke depan bisa diramalkan. Yang mana positivisme
menganggap ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara
universal adalah valid. Jadi, ajaran di dalam filsafat positivisme dapat dipaparkan
sebagai berikut:[6]
1.   Positivisme bertolak dari pandangan bahwa filsafat positivisme hanya
mendasarkan pada kenyataan (realita, fakta) dan bukti terlebih dahulu.
2.   Positivisme tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang esensi
3.   Positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala-
gejala alam diterangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari itu kemudian
didapatkan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung dari ruang dan
waktu.
4.   Positivisme menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat
digeneralisasi sehingga kedepan dapat diramalkan (diprediksi).
5.   Positivisme menyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi menjadi
unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.
2.4   Konsep Positivisme serta Kelemahan dalam Pengembangan Ilmu   
        Pengetahuan
Konsep positivisme adalah penelitian dengan metode kuantitatif yang
bersifat obyektif, dan juga Hipotetik. Di dalam konsep tersebut terdapat beberapa
kelemahan yaitu sebagai berikut:
1.      Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai
akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini
dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2.      Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji
kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang
nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal
yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan
keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada
abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3.      Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak
dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic
semua hal itu dinafikkan.
4.      Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat
menemukan pengetahuan yang valid.
5.      Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang
dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada
panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas
dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja,
padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6.      Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi
yang optimis, tetapi juga terkesan lincah – seakan setiap tahapan sejarah evolusi
merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian
bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic.[7]1
2.4   Sejarah Kemunculan Positivisme Logis
Positivisme logis muncul dari hasil perombakan dari positivisme yang
mana Positivisme logis merupakan aliran pemikiran dalam  filsafat yang
membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan
pengamatan atau pada analisis definisi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini
mengurangi metafisik dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan
dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep  dan  pernyataan-
pernyataan ilmiah yang dapat diversifikasi secara empiris.[8]
Positivisme  logis  adalah  filsafat  ilmu pengetahuan yang timbul pada
abad  ke-20 di Wina, ibu kota kekaisaran Habsburg dan pusat dunia musik di
Austria, Eropa Tengah. Pada abad ke-19 sudah  ada  beberapa  orang  yeng
memperhatikan  pengembangan  ilmu pengetahuan  dan menulis  tentang  gejala
ini. Namun usaha-usaha mempelajari ilmu pengetahuan itu belum bersifat
sistematis dan juga belum menghasilkan teori. Positivisme logis adalah usaha
pertama yang tertuju pada sasaran ini dan berkembang pada masa
M.Schlick (1882-1936) menjadi maha ilmu pengetahuan induktif di Universitas
Wina. Schlick membentuk kelompok bersama antara lain R. Carnap (1891-
1970), ahli logika, Ph.Frank, ahli ilmu pasti, V. Kraft, ahli sejarah, H. Feigl dan F.
Waismann, dua ahli  filsafat.  
Kelompok ini disebut Der Wiener Kreis (Kelompok Wina). Pada tahun
1929 R. Carnap, bersama H. Hahn, ahli ilmu pasti, dan O Neurath (1882-1945),
ahli Sosiologi menerbitkan sebuah manifes yang berjudul, Wissenschaftliche
Weltauf fassung “Der Wiener Kreis” (pandangan  Dunia  Ilmiah,  Kelompok
Wina).  
Tulisan  ini  mendapat  sambutan hangat di beberapa negara  lain. Di
Berlin, ibukota  Jerman,  dibentuk  satu  kelompok yang disebut Der Beriner
Gruppe (Kelompok  Berlin)  yang  meliputi antara  lain H. Reichenbach (1891-
1953), R. Von  Mises  dan C.G  Hempel  .  Di Inggris A.J Ayer juga tertarik  pada
positivisme logis. Di Amerika Serikat C. Morris  dan  E. Nagel mengikuti
aliran  filsafat  ilmu pengetahuan  ini.

1 [5] Juhaya S. Praja, AliranAliran Filsafat dan Etika Prenada (Jakarta: Media, 2003), 133.


[6] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012), 6-7.

[7] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1
[8] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012), 6-7.

[9] Emma Dysmala Somantri, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme (Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013), 3-4.
Positivisme  Logis  merupakan  aliran pemikiran  yang
membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan
pengamatan atau pada analisis defnisi dan relasi antara istilah-istilah. Tugas
pertamanya dipersiapkan untuk  ilmu dan yang kedua  khusus  untuk  filsafat.
Karena menurut positivisme  Logis,  filsafat  ilmu  murni hanya sebagai suatu
analisis logis tentang bahasa ilmu atau sebuah proposisi saja.
Fungsi  analisis  ini disatu  pihak, mengurangi  “metafisika”, dan di lain
pihak, meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Penelitian ini  bertujuan
menentukan isi konsep-konsep dan pernyatan-pernyataan ilmiah yang dapat
diverifikasi secara empiris.[9] Mengenai tugas filsafat sebagai analisis logis
terhadap pengetahuan ilmiah, maka berkembanglah sebuah prinsip yang disebut
verifikasi atau kriteria kebermaknaan. Menurut Anyer Ihwal hubungan antara
proposisi sebagai simbol dengan  realitas yang disimbolkannya perlu ditempuh
lewat prinsip verifikasi.
Berikut prinsip-prinsip verifikasi:
1.      Suatu proposisi (pernyataan) dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat
diverifikasi. Arti suatu pernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang
berdasarkan pengalaman empiris.
2.      Yang mesti dilakukan itu adalah verifikasi bukan menghasilkan suatu pernyataan
yang mesti benar. Proposisi “di rumah itu ada tiga orang pencuri” adalah
bermakna walaupun setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan “
John tidak akan mati” bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi untuk
membuktikan ketidakbenarannya secara empiris. Sebaliknya ungkapan “hari ini
cuaca lebih baik daripada di luar” tidak bermakna, sebab dalam ungkapan itu
sendiri terdapat kontradiksi (pertentangan).
3.      Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya
pernyataan itu tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah
bermakna karena secara empirik tidak dapat diverifikasi, atau tidak dapat di
analisis secara empirik. Kalimat metafisik God Exists bukanlah kalimat yang
secara faktual bermakna. Demikian pula halnya kalimat God does not exist.

BAB III
PENUTUP
3.1   Kesimpulan
Tujuan utama yang  ingin dicapai
oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika).
Karena ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran metafisis
yang  merusak  obyektivitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran  metafisis
dari  ilmu, para  ilmuan  hanya  akan menjadikan  fakta yang dapat ditangkap
dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya
dengan tugas filsafat.
Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala
sesuatu  yang  ada  di  alam.  Tugas  filsafat adalah memberi penjelasan logis
terhadap pemikiran. Oleh  karena  itu  filsafat
bukanlah  teori. Filsafat  adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasilkan proposisi-
proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh  filsafat  adalah  penjelasan  terhadap
proposisi-proposisi.
Di dalam perkembangan positivisme juga muncul aliran positivisme logis
yang mana aliran ini lebih menaruh perhatian pada upaya menentukan bermakna
atau tidak bermaknanya suatu pernyataan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan,
bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah.

DAFTAR PUSTAKA
 
[1] Endang Saifuddin Anshari,  Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) , 99
[2] Achmadi Asmoro, Filsafat Umum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), 120.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[4] Soegiono dan Tamsil Muis, Filsafat Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), 39.
[5] Juhaya S. Praja, AliranAliran Filsafat dan Etika Prenada (Jakarta: Media, 2003), 133.

[6] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari

2012), 6-7.
[7] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1
[8] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari
2012), 6-7.
[9] Emma Dysmala Somantri, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme (Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013), 3-4.

Anda mungkin juga menyukai